Anda di halaman 1dari 25

REFERAT

CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)

Disusun oleh:
SUCI LESTARI
2010730102

Dokter Pembimbing:
dr. Hudaya S, Sp.PD

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CIANJUR
2015

BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit Ginjal Kronik (PGK) merupakan salah satu masalah utama dalam pelayanan
kesehatan baik di negara maju maupun berkembang. Pada penurunan fungsi ginjal mencapai
tahap tertentu, perkembangan PGK menuju penyakit ginjal tahap akhir (PGTA) tidak
terhindarkan lagi. Walaupun presentase kejadian ini relatif tidak begitu tinggi tetapi risiko dan
beban yang diakibatkannya merupakan masalah besar. Data tersebut mengisyaratkan
pentingnya melakukan upaya pencegahan terjadinya PGK atau setidaknya menghambat
progresi penyakit.(1)
Penyakit Ginjal Kronik (PGK) dikelompokkan menurut stadium, yaitu stadium I, II,
III, dan IV. Pada stasium IV dimana terjadi penurunan fungsi ginjal yang berat tetapi belum
menjalani terapi pengganti dialisis biasa disebut kondisi pre dialisis. Umumnya pasien
diberikan terapi konservatif yang meliputi terapi diet dan medikamentosa dengan tujuan
mempertahankan sisa fungsi ginjal yang secara perlahan akan masuk ke stadium V atau fase
gagal ginjal. Status gizi kurang masih banyak dialami pasien PGK. Penelitian keadaan gizi
pasien PGK dengan Tes Kliren Kreatinin (TKK) 25 ml/mt yng diberikan terapi konservatif
di Poliklinik Ginjal Hipertensi RSCM, dijumpai 50 % dari 14 pasien dengan status gizi
kurang. Faktor penyebab gizi kurang antara lain adalah asupan makanan yang kurang sebagai
akibat dari tidak nafsu makan, mual dan muntah. (2)
Untuk mencegah penurunan dan mempertahankan status gizi, perlu perhatian melalui
monitoring dan evaluasi status kesehatan serta asupan makanan oleh tim kesehatan. Pada
dasaranya pelayanan dari suatu tim terpadu yang terdiri dari dokter, perawat, ahli gizi serta
petugas kesehatan lain diperlukan agar terapi yang diperlukan kepada pasien optimal. Asuhan
gizi (Nutrition Care) betujuan untuk memenuhi kebutuhan zat gizi agar mencapai status gizi
optimal, pasien dapat beraktivitas normal, menjaga keseimbangn cairan dan elektrolit, yang
pada akhirnya mempunyai kualitas hidup yang cukup baik. (2)

BAB II
PEMBAHASAN

I. Definisi
Gagal ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari 3 bulan,
berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria. Jika tidak
ada tanda kerusakan ginjal diagnosis penyakit ginjal kronik ditegakkan jika nilai laju filtrasi
glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73m. Batasan penyakit ginjal kronik:1.2
1. Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal, dengan atau
tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan:

Kelainan patologik

Petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria atau kelainan pada pemeriksaan


pencitraan radiologi

2. Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m selama > 3 bulan dengan atau tanpa
kerusakan ginjal.
Pada pasien dengan penyakit ginjal kronik, klasifikasi stadium ditentukan oleh nilai
laju filtrasi glomerulus, yaitu stadium yang lebih tinggi menunjukkan nilai laju filtrasi
glomerulus yang lebih rendah. Klasifikasi tersebut membagi penyakit ginjal kronik dalam
lima stadium. Stadium 1 adalah kerusakan ginjal dengan fungsi ginjal yang masih normal,
stadium 2 kerusakan ginjal dengan penurunan fungsi ginjal yang ringan, stadium 3 kerusakan
ginjal dengan penurunan yang sedang fungsi ginjal, stadium 4 kerusakan ginjal dengan
penurunan berat fungsi ginjal, dan stadium 5 adalah gagal ginjal. Hal ini dapat dilihat pada
Tabel 1 dan Tabel 2 berikut:1

Tabel 1. Klasifikasi penyakit ginjal kronik berdasarkan laju filtrasi glomerolus.1,3


Derajat
1
2
3
4
5

Penjelasan

LFG

Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau


Kerusakan ginjal dengan LFG ringan
Kerusakan ginjal dengan LFG sedang
Kerusakan ginjal dengan LFG berat
Gagal ginjal

(mL/menit/1,73m2)
90
60-89
30-59
15-29
<15 atau dialisis

Tabel 2. Klasifikasi penyakit ginjal kronik dengan atau tanpa kerusakan ginjal dan atau
dengan atau tanpa peningkatan tekanan darah / hipertensi (HT).3

GFR
(ml/min/1,73 m2)
> 90
60 89
30 59
15 29
< 15 (atau dialisis)

Dengan Kerusakan Ginjal


Dengan HT Tanpa HT

Tanpa Kerusakan Ginjal


Dengan HT
Tanpa HT

1
2

1
2

HT
HT dengan

Normal
Penurunan

3
4
5

3
4
5

penurunan GFR
3
4
5

GFR
3
4
5

II. Etiologi1,3,4
Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian Renal Registry
(IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak sebagai berikut
glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%), hipertensi (20%) dan ginjal polikistik
(10%).
a. Glomerulonefritis
Glomerulonefritis akut mengarah pada serangkaian tertentu penyakit ginjal di mana
mekanisme kekebalan tubuh memicu peradangan dan proliferasi jaringan glomerular yang
dapat mengakibatkan kerusakan pada membran basal, mesangium, atau endotelium kapiler.
4

Hippocrates awalnya menggambarkan manifestasi nyeri punggung dan hematuria, lalu juga
oliguria atau anuria. Dengan berkembangnya mikroskop, Langhans kemudian mampu
menggambarkan perubahan pathophysiologic glomerular ini. Sebagian besar penelitian asli
berfokus pada pasien pasca-streptococcus.. Glomerulonefritis akut didefinisikan sebagai
serangan yang tiba-tiba menunjukkan adanya hematuria, proteinuria, dan silinder sel darah
merah. Gambaran klinis ini sering disertai dengan hipertensi, edema, dan fungsi ginjal
terganggu.2
Berdasarkan sumber terjadinya kelainan, glomerulonefritis dibedakan primer dan
sekunder. Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya berasal dari ginjal sendiri
sedangkan glomerulonefritis sekunder apabila kelainan ginjal terjadi akibat penyakit sistemik
lain seperti diabetes melitus, lupus eritematosus sistemik (LES), mieloma multipel, atau
amiloidosis.2
Kebanyakan kasus terjadi pada pasien berusia 5-15 tahun. Hanya 10% terjadi pada
pasien yang lebih tua dari 40 tahun. Gejala glomerulonefritis akut yaitu dapat terjadi
hematurim oligouri, edema preorbital yang biasanya pada pagi hari, hipertensi, sesak napas,
dan nyeri pinggang karena peregangan kapsul ginjal.2

b. Diabetes melitus
Menurut American Diabetes Association (2003) diabetes melitus merupakan suatu
kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena
kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua duanya.2
Diabetes melitus sering disebut sebagai the great imitator, karena penyakit ini dapat
mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan. Gejalanya sangat
bervariasi. Diabetes melitus dapat timbul secara perlahan-lahan sehingga pasien tidak

menyadari akan adanya perubahan seperti minum yang menjadi lebih banyak, buang air kecil
lebih sering ataupun berat badan yang menurun.2
Terjadinya diabetes ditandai dengan gangguan metabolisme dan hemodinamik yang
meningkatkan permeabilitas pembuluh darah, meningkatkan tekanan darah sistemik, dan
mengubah pengaturan tekanan intracapillary. Di ginjal, perubahan ini mungkin menyebabkan
munculnya protein dalam urin. Kehadiran protein urin tidak hanya tanda awal penyakit ginjal
diabetes, tetapi dapat menyebabkan kerusakan dan tubulointerstitial glomerular yang pada
akhirnya mengarah ke glomerulosclerosis diabetes. Hubungan yang kuat antara proteinuria
dan komplikasi diabetes lainnya mendukung pandangan bahwa peningkatan ekskresi protein
urin mencerminkan gangguan vaskular umum yang mempengaruhi banyak organ, termasuk
mata, jantung, dan sistem saraf .2,4
c. Hipertensi
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik 140 mmHg dan tekanan darah diastolik
90 mmHg pada seseorang yang tidak makan obat anti hipertensi. Berdasarkan penyebabnya,
hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu hipertensi esensial atau hipertensi primer yang
tidak diketahui penyebabnya atau idiopatik, dan hipertensi sekunder atau disebut juga
hipertensi renal.5,6

Tabel3.Klasifikasitekanandarahsistolik,diastolik,modifikasigayahidup,sertaterapiobat
Klasifikasi
Sistolik
Diastolik
Modifikasi Terapi
berdasarkanJointNationalCommittee(JNC)VII:5,6
Tekanan
(mmHg)
(mmHg)
Gaya
Darah
Normal
Prehipertensi

< 120
120 139

Dan < 80
Atau 80 89

Hidup
edukasi
Ya

Stage 1 HT

140 159

Atau 90 99

Ya

tidak

perlu

obat

antihipertensi
Thiazid tipe diuretik
Dapat juga ACEI, ARB,

Stage 2 HT

> 160

Ya

BB, CCB, atau kombinasi


Kombinasi 2 jenis obat
(biasanya

thiazid

tipe

diuretik dan ACEI atau


ARB atau BB atau CCB)

Target tekanan darah pada terapi pasien dengan CKD atau diabetes adah <130/80
mmHg.

d. Ginjal polikistik
Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan atau material yang
semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan ini dapat ditemukan kista kista yang
tersebar di kedua ginjal, baik di korteks maupun di medula. Selain oleh karena kelainan
genetik, kista dapat disebabkan oleh berbagai keadaan atau penyakit. Jadi ginjal polikistik
merupakan kelainan genetik yang paling sering didapatkan. Nama lain yang lebih dahulu
dipakai adalah penyakit ginjal polikistik dewasa (adult polycystic kidney disease), oleh
karena sebagian besar baru bermanifestasi pada usia di atas 30 tahun. Ternyata kelainan ini
dapat ditemukan pada fetus, bayi dan anak kecil, sehingga istilah dominan autosomal lebih
tepat dipakai daripada istilah penyakit ginjal polikistik dewasa.2

III. Epidemiologi
Di Amerika Serikat menyatakan insidens penyakit ginjal kronik diperkitakan 100 juta
kasus perjuta penduduk per tahun, dan angka ini meningkat sekitar 8% setiap tahunnya. Di
Malaysia diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal pertahunnya. Di Negara
berkembang lainnya, insidens ini diperkirakan sekitar 40-60 kasis perjuta penduduk per
tahun.1
Penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia tahun 2000:1,7
1. Glomerulonefritis

(46,39%)

2. Diabetes Mellitus

(18,65%)

3. Obstruksi dan infeksi (12,85%)


4. Hipertensi

(8,46%)

5. Sebab lain

(13,65%)

Penyakit gagal ginjal kronik lebih sering terjadi pada pria daripada wanita. Insidennya
pun lebih sering pada kulit berwarna daripada kulit putih.2

IV. Faktor risiko


Faktor risiko gagal ginjal kronik, yaitu pada pasien dengan diabetes melitus atau
hipertensi, penyakit autoimun, batu ginjal, sembuh dari gagal ginjal akut, infeksi saluran
kemih, berat badan lahir rendah, dan faktor social dan lingkungan seperti obesitas atau
perokok, berumur lebih dari 50 tahun, dan individu dengan riwayat penyakit diabetes melitus,
hipertensi, dan penyakit ginjal dalam keluarga, berpendidikan rendah, dan terekspos dengan
bahan kimia dan lingkungan tertentu.3

V. Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang
mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama.
Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang
masih tersisa (surviving nefron) sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul
vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan hiperfiltrasi, yang diikuti
oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerolus. Proses adaptasi ini
berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa skelrosis nefron yang
masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif,
walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi.1,2
Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, ikut
memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan progresifitas tersebut.
Aktivasi jangka panjang aksis renin-angiotensin-aldosteron, sebagian diperantarai oleh

growth factor seperti

transforming growth factor (TGF-). Beberapa hal yang juga

dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronik adalah


albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual
untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerolus maupun interstitial.1
Perjalanan umum gagal ginjal kronik dapat dibagi menjadi empat stadium. Stadium
ringan dinamakan penurunan cadangan ginjal. Selama stadium ini kreatinin serum dan kadar
BUN normal dan penderita asimptomatik. Gangguan fungsi ginjal mungkin hanya dapat
diketahui dengan memberi beban kerja yang berat pada ginjal tersebut, seperti test pemekatan
kemih yang lama atau dengan mengadakan test LFG yang teliti.1
Stadium sedang perkembangan tersebut disebut insufisiensi ginjal, dimana lebih dari
75% jaringan yang berfungsi telah rusak (LFG besarnya 25% dari normal). Pada tahap ini
kadar BUN baru mulai meningkat diatas batas normal. Peningkatan konsentrasi BUN ini
berbeda-beda, tergantung dari kadar protein dalam diet. Pada stadium ini, kadar kreatinin
serum juga mulai meningkat melebihi kadar normal. Azotemia biasanya ringan, kecuali bila
penderita misalnya mengalami stress akibat infeksi, gagal jantung, atau dehidrasi. Pada
stadium insufisiensi ginjal ini pula gejala-gejala nokturia dan poliuria (diakibatkan oleh
kegagalan pemekatan) mulai timbul. Gejala-gejala ini timbul sebagai respons terhadap stress
dan perubahan makanan atau minuman yang tiba-tiba. Penderita biasanya tidak terlalu
memperhatikan gejala-gejala ini, sehingga gejala tersebut hanya akan terungkap dengan
mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang teliti.1
Stadium berat dan stadium terminal gagal ginjal kronik disebut gagal ginjal stadium
akhir atau uremia. Gagal ginjal stadium akhir timbul apabila sekitar 90% dari massa nefron
telah hancur, atau hanya sekitar 200.000 nefron saja yang masih utuh. Nilai LFG hanya 10%
dari keadaan normal, dan bersihan kreatinin mungkin sebesar 5-10 ml per menit atau kurang.
Pada keadaan ini kreatinin serum dan kadar BUN akan meningkat dengan sangat menyolok

sebagai respons terhadap LFG yang mengalami sedikit penurunan. Pada stadium akhir gagal
ginjal, penderita mulai merasakan gejala-gejala yang cukup parah, karena ginjal tidak
sanggup lagi mempertahankan homeostasis cairan dan elektrolit dalam tubuh. Kemih menjadi
isoosmotis dengan plasma pada berat jenis yang tetap sebesar 1,010. Penderita biasanya
menjadi oligourik (pengeluaran kemih kurang dari 500 ml/hari) karena kegagalan glomerulus
meskipun proses penyakit mula-mula menyerang tubulus ginjal. Kompleks perubahan
biokimia dan gejala-gejala yang dinamakan sindrom uremik mempengaruhi setiap sistem
dalam tubuh. Pada stadium akhir gagal ginjal, penderita pasti akan meninggal kecuali kalau ia
mendapat pengobatan dalam bentuk transplantasi ginjal atau dialisis.1
Meskipun perjalanan klinis penyakit ginjal kronik dibagi menjadi empat stadium,
tetapi dalam prakteknya tidak ada batas-batas yang jelas antara stadium-stadium tersebut.

VI. Gambaran klinik


Gambaran klinik gagal ginjal kronik berat disertai sindrom azotemia sangat kompleks,
meliputi kelainan-kelainan berbagai organ seperti: kelainan hemopoeisis, saluran cerna, mata,
kulit, selaput serosa, kelainan neuropsikiatri dan kelainan kardiovaskular.1,2,7
a. Kelainan hemopoeisis
Anemia normokrom normositer dan normositer (MCV 78-94 CU), sering ditemukan
pada pasien gagal ginjal kronik. Anemia pada pasien gagal ginjal kronik terutama disebabkan
oleh defisiensi eritropoetin. Hal lain yang ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah
defisiensi besi, kehilangan darah (misal perdarahan saluran cerna, hematuri), masa hidup
eritrosit yang pendek akibat terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum
tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi akut ataupun kronik.1
Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin < 10 g/dL atau hematokrit <
30 %, meliputi evaluasi terhadap status besi (kadar besi serum / serum iron, kapasitas ikat

10

besi total / Total Iron binding Capacity (TIBC), feritin serum), mencari sumber perdarahan,
morfologi eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis dan sebagainya. 1,7
Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab utamanya, di samping penyebab
lain bila ditemukan. Pemberian eritropoetin (EPO) merupakan hal yang dianjurkan.
Pemberian tranfusi pada penyakit ginjal kronik harus dilakukan hati-hati, berdasarkan
indikasi yang tepat dan pemantauan yang cermat. Tranfusi darah yang dilakukan secara tidak
cermat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia, dan perburukan fungsi ginjal.
Sasaran hemoglobin menurut berbagai studi klinik adalah 11-12 g/dL.1

b. Kelainan saluran cerna


Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien gagal ginjal
kronik terutama pada stadium terminal. Patogenesis mual dan muntah masih belum jelas,
diduga mempunyai hubungan dengan dekompresi oleh flora usus sehingga terbentuk amonia.
Amonia inilah yang menyebabkan iritasi atau rangsangan mukosa lambung dan usus halus.
Keluhan-keluhan saluran cerna ini akan segera mereda atau hilang setelah pembatasan diet
protein dan antibiotika.2

c. Kelainan mata
Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil pasien gagal
ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa hari mendapat pengobatan gagal
ginjal kronik yang adekuat, misalnya hemodialisis. Kelainan saraf mata menimbulkan gejala
nistagmus, miosis dan pupil asimetris. Kelainan retina (retinopati) mungkin disebabkan
hipertensi maupun anemia yang sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Penimbunan
atau deposit garam kalsium pada conjunctiva menyebabkan gejala red eye syndrome akibat

11

iritasi dan hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga dijumpai pada beberapa pasien gagal
ginjal kronik akibat penyulit hiperparatiroidisme sekunder atau tersier.

d. Kelainan kulit
Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas dan diduga
berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal ini akan segera hilang
setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit biasanya kering dan bersisik, tidak jarang dijumpai
timbunan kristal urea pada kulit muka dan dinamakan urea frost.1,3

e. Kelainan neuropsikiatri
Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi, insomnia, dan depresi
sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Kelainan mental berat seperti konfusi, dilusi,
dan tidak jarang dengan gejala psikosis juga sering dijumpai pada pasien GGK. Kelainan
mental ringan atau berat ini sering dijumpai pada pasien dengan atau tanpa hemodialisis, dan
tergantung dari dasar kepribadiannya (personalitas).

f. Kelainan kardiovaskular
Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada gagal ginjal kronik sangat kompleks.
Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi, aterosklerosis, kalsifikasi sistem vaskular, sering
dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal dan dapat
menyebabkan kegagalan faal jantung.

VII. Pendekatan Diagnosis


Pendekatan diagnosis gagal ginjal kronik (GGK) dilihat dari anamnesis, pemeriksaan
fisik, gambaran radiologis, dan apabila perlu gambaharan histopatologis.1,6

12

1. Memastikan adanya penurunan faal ginjal (LFG)


2. Mengejar etiologi GGK yang mungkin dapat dikoreksi
3. Mengidentifikasi semua faktor pemburuk faal ginjal (reversible factors)
4. Menentukan strategi terapi rasional
5. Meramalkan prognosis

Pendekatan diagnosis mencapai sasaran yang diharapkan bila dilakukan pemeriksaan


yang terarah dan kronologis, mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik diagnosis dan
pemeriksaan penunjang diagnosis rutin dan khusus.
a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua keluhan yang berhubungan
dengan retensi atau akumulasi toksin azotemia, etiologi GGK, perjalanan penyakit termasuk
semua faktor yang dapat memperburuk faal ginjal (LFG). Gambaran klinik (keluhan subjektif
dan objektif termasuk kelainan laboratorium) mempunyai spektrum klinik luas dan
melibatkan banyak organ dan tergantung dari derajat penurunan faal ginjal.
Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi:
i) sesuai dengan penyakit yang mendasari;
ii) sindrom uremia yang terduru daru lemah, letargi, anoreksia, mual, muntah,
nokturia, kelebihan cairan (volume overload), neuropati perifer, pruritusm uremic
frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma;
iii) gejala komplikasinya antara lain hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah
jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium,
chlorida).1

b. Pemeriksaan laboratorium

13

Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi sesuai dengan penyakit yang
mendasarinya, penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan ureum dan kreatinin serum, dan
penurunan laju filtrasi glomerolus (LFG) yang dapat dihitung mempergunakan rumus
Kockcroft-Gault, serta kelainan biokimia darah lainnya, seperti penurunan kadar hemoglobin,
hiper atau hipokalemia, hiperfosfatemia, hipokalsemia. Kelainan urinanalisi meliputi
proteinuria, hematuri, leukosuria, dan silinder.1

c. Pemeriksaan penunjang diagnosis


Pemeriksaan radiologis penyakit ginjal kronik meliputi:1
1. foto polos abdomen: dapat terlihat batu radio opak
2. pielografi intravena: sekarang jarang digunakan karena kontras seriing tidak bisa
melewati filter glomerolus, di samping kekhawatiran terjadinya pengaruh toksisk oleh
kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan
3. pielografi antergrad atau retrograde dilakukan sesuai indikasi
4. ultrasonografi ginjal dapat memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang
menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, klasifikasi
5. pemeriksaan pemindaan ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi.

VIII. Penatalaksanaan1,2,3,7
1. Terapi konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara
progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia, memperbaiki
metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit.
a.Peranan diet

14

Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau


mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan terutama
gangguan keseimbangan negatif nitrogen.
b. Kebutuhan jumlah kalori
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus adekuat dengan
tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen, memelihara status
nutrisi dan memelihara status gizi.
c. Kebutuhan cairan
Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya jumlah
diuresis mencapai 2 L per hari.
d. Kebutuhan elektrolit dan mineral
Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung dari LFG
dan penyebab dasar penyakit ginjal tersebut (underlying renal disease).

2. Terapi simptomatik
a. Asidosis metabolik
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium
(hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat diberikan
suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera diberikan intravena
bila pH 7,35 atau serum bikarbonat 20 mEq/L.
b. Anemia
Dapat diberikan eritropoetin pada pasien gagal ginjal kronik. Dosis inisial 50
u/kg IV 3 kali dalam seminggu. Jika Hb meningkat >2 gr/dL kurangi dosis pemberian
menjadi 2 kali seminggu. Maksimum pemberian 200 u/kg dan tidak lebih dari tiga
kali dalam seminggu.8

15

Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu pilihan
terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi darah harus hati-hati
karena dapat menyebabkan kematian mendadak.
Sasaran hemoglobin adal 11-12 gr/dL.
c. Keluhan gastrointestinal
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering
dijumpai pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan utama (chief
complaint) dari GGK. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa
mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu program terapi
dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik.
d. Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.
e. Kelainan neuromuskular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis reguler
yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal paratiroidektomi.
f. Hipertensi
Pemberian obat-obatan anti hipertensi terutama

penghambat Enzym

Konverting Angiotensin (Angiotensin Converting Enzyme/ ACE inhibitor). Melalui


berbagai studi terbukti dapat memperlambat proses pemburukan antihipertensi dan
antiproteinuria.
g. Kelainan sistem kardiovaskular
Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular merupakan hal yang
penting, karena 40-50% kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh
penyakit kardiovaskular. Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan
kardiovaskular

yang

diderita,

termasuk

pengendalian

diabetes,

hipertensi,

16

dislipidemia, hiperfosfatemia, dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan


keseimbanagan elektrolit.

3. Terapi pengganti ginjal


Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu
pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis
peritoneal, dan transplantasi ginjal.
a. Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik
azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien
GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG). Indikasi tindakan
terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif. Beberapa yang termasuk
dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis, ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan
paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter,
muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10
mg%.
Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m, mual, anoreksia,
muntah, dan astenia berat.
b. Dialisis peritoneal (DP)
Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis
(CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik CAPD, yaitu
pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah
menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasien- pasien yang cenderung akan
mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting,
pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal) dengan residual urin masih

17

cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai co-morbidity dan co-mortality. Indikasi
non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk melakukan
sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal.
c. Transplantasi ginjal
A. Terapi Konservatif
Manajemen yang dilakukan untuk CKD merupakan terapi konservatif, hingga pasien
tersebut tidak dapat lagi melanjutkan aktivitas mereka. Yang termasuk terapi konservatif
antara lain:
1. Pengobatan penyakit dasar
Pengobatan terhadap penyakit dasar yang masih dapat dikoreksi mutlak harus
dilakukan. Termasuk disini adalah pengendalian tekanan darah, regulasi gula darah
pada pasien DM, koreksi jika ada obstruksi saluran kencing, serta pengobatan infeksi
saluran kemih (ISK).
2. Pengendalian keseimbangan air dan garam
Pemberian cairan disesuaikan dengan produksi urine, yaitu produksi urine 24 jam
ditambah 500 ml. Asupan garam tergantung evaluasi elektrolit, umumnya dibatasi 40120 mEq (920-2760 mg). diet normal mengandung rata-rata 150 mEq. Furosemide
dosis tinggi masih dapat dipakai pada awal PGK, akan tetapi pada fase lanjut tidak
lagi bermanfaat dan pada obstruksi merupakan kontra indikasi. Penimbangan berat
badan, pemantauan produksi urine, serta pencatatan keseimbangan cairan akan
membantu pengelolaan keseimbangan cairan dan garam.
3. Diet rendah protein dan tinggi kalori
Asupan protein dibatasi 0.6-0,8 g/kgBB/hari. Rata-rata kebutuhan protein sehari pada
penderita CKD adalah 20-40 gram. Kebutuhan kalori minimal 35 kkal/kgBB/hari.
Diet rendah protein tinggi kalori akan memperbaiki keluhan mual, menurunkan BUN,
dan akan memperbaiki gejala. Selain itu diet rendah protein akan menghambat
progresivitas penurunan faal ginjal.
4. Pengendalian gangguan keseimbangan elektrolit dan asam basa
Gangguan keseimbangan elektrolit utama pada PGK adalah hyperkalemia dan
asidosis. Hyperkalemia dapat tetap asimtomatis walaupun telah mengancam jiwa.
Perubahan gambaran EKG kadang baru terlihat setelah hyperkalemia membahayakan
jiwa. Pencegahan meliputi diet rendah kalium (hindari buah seperti pisang, jeruk, dan
tomat serta sayuran berlebih) dan menghindari pemakaian diuretika K-sparring.
Asidosis menyebabkan keluhan mual, lemah, air-hunger, dan drowsiness. Pengobatan

18

intravena dengan NaHCO3 hanya diberikan pada keadaan asidosis berat, sedangkan
jika tidak gawat dapat diberikan secara per-oral.
5. Pengendalian tekanan darah
Berbeda dengan pengendalian hipertensi pada umumnya, Pada PGK masalah
pembatasan cairan mutlak dilakukan. Target tekanan darah 125/75 diperlukan untuk
menghambat laju progresivitas penurunan faal ginjal. Penghambat ACE dan ARB
diharapkan akan menghambat progresivitas PGK. Pemantauan faal ginjal secara serial
perlu dilakukan pada awal pengobatan hipertensi jika digunakan penghambat ACE
dan ARB. Apabila dicurigai adanya stenosis arteria renal, penghambat ACE
merupakan kontra indikasi.
6. Pencegahan dan pengobatan osteodistrofi renal
Termasuk dari tindakan ini adalah:
- Pengendalian hiperfosfatemia
Kadar P sserum harus diperhatikan kurang dari 6 mg/dl. Dengan cara diet rendah
fosfor saja kadang tidak cukup, sehingga perlu diberikan obat pengikat fosfat.
Aluminium hidroksida 300-1800 mg diberikan bersama makan. Cara ini sekarang
ditinggalkan karena efek samping terjadinya intoksikasi aluminium dan
konstipasi. Sebagai pilihan lain dapat diberikan kalsium karbonat 500-3000 mg
bersama makan dengan keuntungan menambah asupan kalsium dan mengoreksi
hipokalsemia. Makanan yang mengandung tinggi fosfor harus dihindari, misalnya
susu, keju, yoghurt, es krim, ikan, dan kacang-kacangan. Pengendalian
-

hiperfosfatemia juga dapat menghambat progresivitas penurunan faal ginjal.


Suplemen vitamin D3 aktif
1,25 dihidroksi vitamin D3 (kalsitriol) hanya diberikan jika kadar P normal.
Batasan pemberian jika Ca x P < 65. Dosis yang diberikan adalah 0,25

mikrogram/hari.
Paratiroidektomi
Dilakukan jika proses ODR terus berlanjut.
7. Pengobatan gejala uremi spesifik
Termasuk disini adalah pengobatan simtomatis dari pruritus, keluhan gastrointestinal,
-

dan penanganan anemia. Diet rendah protein, pengendalian P serta pemberian


difenhidramin dapat memperbaiki keluhan pruritus. Diet rendah protein juga
memperbaiki keluhan anoreksia dan mual-mual. Anemia yang terjadi pada PGK
terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoietin. Selain itu juga bias disebabkan oleh
defisiensi Fe, asam folat, atau vitamin B12. Pemberian eritropoietin rekombinan pada
penderita PGK yang menjalani HD akan memperbaiki kualitas hidup, dapat pula
diberikan pada penderita PGK pra-HD. Sebelum pemberian eritropoietin dan
suplemen Fe diperlukan evaluasi kadar SI, TIBC, dan Ferritin.
19

8. Deteksi dini dan pengobatan infeksi


Penderita PGK merupakan penderita dengan respon imun yang rendah, sehingga
kemungkinan infeksi harus selalu dipertimbangkan. Gejala febris terkadang tidak
muncul karena keadaan respon imun yang rendah ini.
9. Penyesuaian pemberian obat
Beberapa obat memerlukan penyesuaian dosis karena ekskresi metabolitnya melalui
ginjal. Penggunaan obat nefrotoksik misalnya aminoglikosida, co-trimoxazole,
amphotericin sebaiknya dihindari dan hanya diberikan pada keadaan khusus. OAINS
juga menurunkan fungsi ginjal. Tetrasiklin meningkatkan katabolisme protein.
Nitrofurantoin juga harus dihindari dan penggunaan diuretic hemat kalium harus pula
berhati-hati karena menyebabkan hyperkalemia.

B. Terapi Non-Konservatif
Terapi ini dilakukan pada pasien yang tidak dapat lagi melakukan aktivitasnya
sebagaimana mestinya. Terapi ini antara lain:
1. Deteksi dan pengobatan komplikasi
Dengan makin lanjutnya PGK, kemungkinan timbul komplikasi makin besar.
Beberapa komplikasi merupakan indikasi untuk segera dimulainya hemodialysis
(HD) meskipun penderita belum sampai pada tahap PGK stadium 5. Komplikasi
yang merupakan indikasi untuk tindakan HD antara lain:
a. Ensefalopati uremik
b. Pericarditis atau pleuritis
c. Neuropati perifer progresif
d. ODR progresif
e. Hyperkalemia yang tidak dapat dikendalikan

dengan

pengobatan

medikamentosa
f. Sindroma overload
g. Infeksi yang mengancam jiwa
h. Keadaan sosial
2. Persiapan dialysis dan transplantasi
Penderita PGK dan keluarganya sudah harus diberitahu sejak awal bahwa pada
suatu saat penderita akan memerlukan HD atau transplantasi ginjal. Pembuatan
akses vaskuler sebaiknya sudah dikerjakan sebelum klirens kreatinin dibawah 15
ml/menit. Dianjurkan pembuatan akses vaskuler jika klirens kreatinin telah
dibawah 20 ml/menit. Perlu membatasi punksi pembuluh darah daerah ekstremitas
yang akan dipakai untuk akses vaskuler. Disamping persiapan dari segi medic
perlu pula persiapan non medic.
C. Terapi Berdasarkan Stadium

20

Menurut stadiumnya, terapi yang dapat diberikan untuk pasien dengan gagal ginjal
kronis (CKD) yaitu:

1. Memperlambat perkembangan penyakit


Tindakan-tindakan ini dimaksudkan untuk menstabilkan atau memperlambat
pengurangan fungsi ginjal. Tindakan-tindakan yang dilakukan antara lain:
a. Restriksi protein
Restriksi protein ditujukan untuk mengurangi gejala-gejala uremia dan
memperlambat laju penurunan fungsi ginjal pada stadium awal dari gagal ginjal.
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa restriksi protein merupakan salah
satu tindakan efektif dalam memperlambat progresivitas CKD, khususnya
penyakit ginjal diabetic dan proteinuric. KDOQI menyarankan intake protein per
hari sebanyak 0,60-0,75 g/kg/hari, dan dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan
seperti penyakit-penyakit komorbid, ada/tidaknya proteinuria, dan status nutrisi
pasien. Jika pasien telah mencapai stadium 5 CKD, intake protein spontan akan
berkurang, dan pasien dapat memasuki fase malnutrisi protein-energi. Pada
keadaan

ini,

intake

protein

harian

sebanyak

0,90

g/kg/hari

dapat

direkomendasikan, khususnya protein dengan nilai biologis yang tinggi.


b. Mengurangi hipertensi glomerular dan proteinuria
Peningkatan tekanan filtrasi intraglomerular dan hipertrofi dari glomerular
terjadi sebagai respon dari berkurangnya jumlah nefron akibat beberapa penyakit
ginjal. Kejadian ini merupakan suatu proses maladaptive, yang akan
memperburuk fungsi ginjal. Control terhadap hipertensi sistemik maupun
glomerular sama pentingnya dengan restriksi protein pada CKD. Oleh karena itu,
dengan tujuan untuk mengurangi resiko penyakit jantung dan pembuluh darah,
pemberian terapi anti-hipertensi pada pasien dengan CKD juga ditujukan untuk

21

memperlambat progresivitas kerusakan nefron dengan mengurangi hipertensi


intraglomerular. Peningkatan tekanan darah meningkatkan proteinuria melalui
transmisi ke glomerulus.
ACE-I dan ARB menginhibisi vasokonstriksi yang disebabkan oleh efek
angiotensin pada arteriol eferen dari mikrosirkulasi glomerular. Inhibisi ini akan
menyebabkan pengurangan dari tekanan filtrasi intraglomerular serta proteinuria.
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa obat-obat ini dapat mengurangi
progresivitas gagal ginjal secara efektif pada pasien dengan penyakit ginjal
diabetic maupun nondiabetik. Hal ini berkaitan erat dengan efek pengurangan
proteinuria yang dimilikinya.
2. Memperlambat perkembangan penyakit ginjal diabetic
Nefropati diabetic merupakan salah satu penyebab tertinggi dari CKD yang
membutuhkan terapi penggantian ginjal, terutama pada negara berkembang. Oleh
karena itu, penting bagi kita untuk merumuskan suatu strategi untuk mencegah atau
memperlamat progresivitas nefropati diabetic pada pasien-pasien ini.
a. Kontrol glukosa darah
Control glikemi yang baik dapat mengurangi resiko penyakit ginjal dan
progresivitas dari diabetes tipe 1 maupun tipe 2. Direkomendasikan bahwa nilai
plasma untuk glukosa preprandial (sebelum makan) dijaga pada 5,0-7,2 mmol./L
(90-130 mg/dL) dan hemoglobin A1C sebanyak <7%.
b. Control tekanan darah dan proteinuria
Hipertensi banyak ditemukan pada pasien-pasien diabetes tipe 2. Penemuan ini
berkorelasi dengan adanya albuminuria dan merupakan suatu penentu kuat dari
penyakit

kardiovaskular

dan

nefropati.

Mikroalbuminuria

menunjukkan

penurunan GFR dan komplikasi ginjal dan kardiovaskular. Terapi menggunakan


anti-hipertensif dapat mengurangi albuminuria dan memperlambat progresivitas
pada pasien-pasien diabetic normotensive.
3. Mengatasi komplikasi-komplikasi lain dari CKD
a. Penyesuaian dosis obat
Untuk penggunaan obat-obat yang diekskresi sebanyak 70% dengan jalur
nonrenal, seperti eliminasi hepatic, penyesuaian dosis tidak diperlukan. Beberapa
obat yang harus dihindari antara lain metformin, meperidine, dan hipoglikemik
yang dieliminasi oleh ginjal. Obat-obatan NSAID juga perlu dihindari karena
beresiko dapat memperburuk fungsi ginjal. Beberapa antibiotic, antihiperteni, dan
antiaritmia memerlukan penyesuaian dosis atau perubahan pada interval dosisnya.
b. Persiapan untuk terapi penggantian ginjal

22

Restriksi protein dapat mengurangi gejala-gejala uremia, seperti mual,


muntah, anoreksia, pruritus, dll. Namun, restriksi protein dapat beresiko malnutrisi
protein-energi, oleh karena itu manajemen jangka panjang perlu diperhatikan.
Dialysis dan terapi penggantian ginjal telah terbukti memperpanjang hidup
dari ratusan bahkan ribuan pasien dengan CKD di seluruh dunia. Indikasi untuk
persiapan terapi penggantian renal yaitu pericarditis, ensefalopati, kram otot,
anorkesia, bukti terjadi malnutrisi, serta abnormalitas cairan dan elektrolit.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa dengan melakukan dialysis sebelum
onset dari gejala yang berat dan tanda-tanda uremia dapat memperpanjang umur
pasien.
c. Edukasi pasien
Persiapan social, psikologis, dan fisik serta pilihan pasien untuk transisi terapi
penggantian ginjal paling baik dilakukan dengan pendekatan perlahan. Sangat
penting bagi klinisi untuk mempersiapkan pasien dengan program edukasi intensif
yang akan menjelaskan mengenai kemungkinan dan timing dari inisiasi terapi
penggantian ginjal dan terapi-terapi lain yang tersedia. Semakin bertambahnya
pengetahuan pasien mengenai hemodialysis, peritoneal dialysis, dan transplantasi
ginjal, maka akan semakin mudah serta cocok pula keputusan mereka.

IX. Prognosis
Pasien dengan gagal ginjal kronik umumnya akan menuju stadium terminal atau
stadium V. Angka prosesivitasnya tergantung dari diagnosis yang mendasari, keberhasilan
terapi, dan juga dari individu masing-masing. Pasien yang menjalani dialisis kronik akan
mempunyai angka kesakitan dan kematian yang tinggi. Pasien dengan gagal ginjal stadium
akhir yang menjalani transpantasi ginjal akan hidup lebih lama daripada yang menjalani
dialisis kronik. Kematian terbanyak adalah karena kegagalan jantung (45%), infeksi (14%),
kelainan pembuluh darah otak (6%), dan keganasan (4%).2

X. Pencegahan

23

Upaya pencegahan terhadap penyakit ginjal kronik sebaiknya sudah mulai dilakukan
pada stadium dini penyakit ginjal kronik. Berbagai upaya pencegahan yang telah terbukti
bermanfaat dalam mencegah penyakit ginjal dan kardiovaskular, yaitu pengobatan hipertensi
(makin rendah tekanan darah makin kecil risiko penurunan fungsi ginjal), pengendalian gula
darah, lemak darah, anemia, penghentian merokok, peningkatan aktivitas fisik dan
pengendalian berat badan.3

24

DAFTAR PUSTAKA

1. Ketut Suwitra. Penyakit Ginjal Kronik. Aru WS, Bambang S, Idrus A, Marcellus SK,
Siti S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed. 4 Jilid I. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2007. hlm 570-3.
2. Editorial.

Gagal

Ginjal

Kronik.

Diunduh

dari:

http://emedicine.

medscape.com/article/238798-overview, 05 Februari 2011.


3. Editorial. KDOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease:
Evaluation,

Classification,

and

Stratification.

Diunduh

dari:

http://www.kidney.org/professionals/kdoqi/guidelines_ckd/toc.htm GGK, 05 Februari


2011.
4. Editorial.

Glomerulonefritis.

Diunduh

dari:

http://emedicine.medscape.

com/article/777272-overview, 22 Agustus 2010.


5. Editorial.

Tekanan

Darah

Tinggi.

Diunduh

dari:

http://id.wikipedia.org/wiki/Tekanan_darah_tinggi, 05 Februari 2011.


6. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Hipertensi. Azis R,
Sidartawam S, Anna YZ, Ika PW, Nafriadi, Arif M, editor. Panduan Pelayanan Medik.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. hlm 168-70.
7. Murray L, Ian W, Tom T, Chee KC. Chronic Renal failure in Ofxord Handbook of
Clinical Medicine. Ed. 7th. New York: Oxford University; 2007. 294-97.
8. Editorial. Obat Hemopoetic. MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi. Ed. 8. Jakarta:
CMP Medica Asia Pte Ltd; 2008. Hlm. 114.

25

Anda mungkin juga menyukai