CKD
CKD
Disusun oleh:
SUCI LESTARI
2010730102
Dokter Pembimbing:
dr. Hudaya S, Sp.PD
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit Ginjal Kronik (PGK) merupakan salah satu masalah utama dalam pelayanan
kesehatan baik di negara maju maupun berkembang. Pada penurunan fungsi ginjal mencapai
tahap tertentu, perkembangan PGK menuju penyakit ginjal tahap akhir (PGTA) tidak
terhindarkan lagi. Walaupun presentase kejadian ini relatif tidak begitu tinggi tetapi risiko dan
beban yang diakibatkannya merupakan masalah besar. Data tersebut mengisyaratkan
pentingnya melakukan upaya pencegahan terjadinya PGK atau setidaknya menghambat
progresi penyakit.(1)
Penyakit Ginjal Kronik (PGK) dikelompokkan menurut stadium, yaitu stadium I, II,
III, dan IV. Pada stasium IV dimana terjadi penurunan fungsi ginjal yang berat tetapi belum
menjalani terapi pengganti dialisis biasa disebut kondisi pre dialisis. Umumnya pasien
diberikan terapi konservatif yang meliputi terapi diet dan medikamentosa dengan tujuan
mempertahankan sisa fungsi ginjal yang secara perlahan akan masuk ke stadium V atau fase
gagal ginjal. Status gizi kurang masih banyak dialami pasien PGK. Penelitian keadaan gizi
pasien PGK dengan Tes Kliren Kreatinin (TKK) 25 ml/mt yng diberikan terapi konservatif
di Poliklinik Ginjal Hipertensi RSCM, dijumpai 50 % dari 14 pasien dengan status gizi
kurang. Faktor penyebab gizi kurang antara lain adalah asupan makanan yang kurang sebagai
akibat dari tidak nafsu makan, mual dan muntah. (2)
Untuk mencegah penurunan dan mempertahankan status gizi, perlu perhatian melalui
monitoring dan evaluasi status kesehatan serta asupan makanan oleh tim kesehatan. Pada
dasaranya pelayanan dari suatu tim terpadu yang terdiri dari dokter, perawat, ahli gizi serta
petugas kesehatan lain diperlukan agar terapi yang diperlukan kepada pasien optimal. Asuhan
gizi (Nutrition Care) betujuan untuk memenuhi kebutuhan zat gizi agar mencapai status gizi
optimal, pasien dapat beraktivitas normal, menjaga keseimbangn cairan dan elektrolit, yang
pada akhirnya mempunyai kualitas hidup yang cukup baik. (2)
BAB II
PEMBAHASAN
I. Definisi
Gagal ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari 3 bulan,
berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria. Jika tidak
ada tanda kerusakan ginjal diagnosis penyakit ginjal kronik ditegakkan jika nilai laju filtrasi
glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73m. Batasan penyakit ginjal kronik:1.2
1. Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal, dengan atau
tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan:
Kelainan patologik
2. Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m selama > 3 bulan dengan atau tanpa
kerusakan ginjal.
Pada pasien dengan penyakit ginjal kronik, klasifikasi stadium ditentukan oleh nilai
laju filtrasi glomerulus, yaitu stadium yang lebih tinggi menunjukkan nilai laju filtrasi
glomerulus yang lebih rendah. Klasifikasi tersebut membagi penyakit ginjal kronik dalam
lima stadium. Stadium 1 adalah kerusakan ginjal dengan fungsi ginjal yang masih normal,
stadium 2 kerusakan ginjal dengan penurunan fungsi ginjal yang ringan, stadium 3 kerusakan
ginjal dengan penurunan yang sedang fungsi ginjal, stadium 4 kerusakan ginjal dengan
penurunan berat fungsi ginjal, dan stadium 5 adalah gagal ginjal. Hal ini dapat dilihat pada
Tabel 1 dan Tabel 2 berikut:1
Penjelasan
LFG
(mL/menit/1,73m2)
90
60-89
30-59
15-29
<15 atau dialisis
Tabel 2. Klasifikasi penyakit ginjal kronik dengan atau tanpa kerusakan ginjal dan atau
dengan atau tanpa peningkatan tekanan darah / hipertensi (HT).3
GFR
(ml/min/1,73 m2)
> 90
60 89
30 59
15 29
< 15 (atau dialisis)
1
2
1
2
HT
HT dengan
Normal
Penurunan
3
4
5
3
4
5
penurunan GFR
3
4
5
GFR
3
4
5
II. Etiologi1,3,4
Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian Renal Registry
(IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak sebagai berikut
glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%), hipertensi (20%) dan ginjal polikistik
(10%).
a. Glomerulonefritis
Glomerulonefritis akut mengarah pada serangkaian tertentu penyakit ginjal di mana
mekanisme kekebalan tubuh memicu peradangan dan proliferasi jaringan glomerular yang
dapat mengakibatkan kerusakan pada membran basal, mesangium, atau endotelium kapiler.
4
Hippocrates awalnya menggambarkan manifestasi nyeri punggung dan hematuria, lalu juga
oliguria atau anuria. Dengan berkembangnya mikroskop, Langhans kemudian mampu
menggambarkan perubahan pathophysiologic glomerular ini. Sebagian besar penelitian asli
berfokus pada pasien pasca-streptococcus.. Glomerulonefritis akut didefinisikan sebagai
serangan yang tiba-tiba menunjukkan adanya hematuria, proteinuria, dan silinder sel darah
merah. Gambaran klinis ini sering disertai dengan hipertensi, edema, dan fungsi ginjal
terganggu.2
Berdasarkan sumber terjadinya kelainan, glomerulonefritis dibedakan primer dan
sekunder. Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya berasal dari ginjal sendiri
sedangkan glomerulonefritis sekunder apabila kelainan ginjal terjadi akibat penyakit sistemik
lain seperti diabetes melitus, lupus eritematosus sistemik (LES), mieloma multipel, atau
amiloidosis.2
Kebanyakan kasus terjadi pada pasien berusia 5-15 tahun. Hanya 10% terjadi pada
pasien yang lebih tua dari 40 tahun. Gejala glomerulonefritis akut yaitu dapat terjadi
hematurim oligouri, edema preorbital yang biasanya pada pagi hari, hipertensi, sesak napas,
dan nyeri pinggang karena peregangan kapsul ginjal.2
b. Diabetes melitus
Menurut American Diabetes Association (2003) diabetes melitus merupakan suatu
kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena
kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua duanya.2
Diabetes melitus sering disebut sebagai the great imitator, karena penyakit ini dapat
mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan. Gejalanya sangat
bervariasi. Diabetes melitus dapat timbul secara perlahan-lahan sehingga pasien tidak
menyadari akan adanya perubahan seperti minum yang menjadi lebih banyak, buang air kecil
lebih sering ataupun berat badan yang menurun.2
Terjadinya diabetes ditandai dengan gangguan metabolisme dan hemodinamik yang
meningkatkan permeabilitas pembuluh darah, meningkatkan tekanan darah sistemik, dan
mengubah pengaturan tekanan intracapillary. Di ginjal, perubahan ini mungkin menyebabkan
munculnya protein dalam urin. Kehadiran protein urin tidak hanya tanda awal penyakit ginjal
diabetes, tetapi dapat menyebabkan kerusakan dan tubulointerstitial glomerular yang pada
akhirnya mengarah ke glomerulosclerosis diabetes. Hubungan yang kuat antara proteinuria
dan komplikasi diabetes lainnya mendukung pandangan bahwa peningkatan ekskresi protein
urin mencerminkan gangguan vaskular umum yang mempengaruhi banyak organ, termasuk
mata, jantung, dan sistem saraf .2,4
c. Hipertensi
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik 140 mmHg dan tekanan darah diastolik
90 mmHg pada seseorang yang tidak makan obat anti hipertensi. Berdasarkan penyebabnya,
hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu hipertensi esensial atau hipertensi primer yang
tidak diketahui penyebabnya atau idiopatik, dan hipertensi sekunder atau disebut juga
hipertensi renal.5,6
Tabel3.Klasifikasitekanandarahsistolik,diastolik,modifikasigayahidup,sertaterapiobat
Klasifikasi
Sistolik
Diastolik
Modifikasi Terapi
berdasarkanJointNationalCommittee(JNC)VII:5,6
Tekanan
(mmHg)
(mmHg)
Gaya
Darah
Normal
Prehipertensi
< 120
120 139
Dan < 80
Atau 80 89
Hidup
edukasi
Ya
Stage 1 HT
140 159
Atau 90 99
Ya
tidak
perlu
obat
antihipertensi
Thiazid tipe diuretik
Dapat juga ACEI, ARB,
Stage 2 HT
> 160
Ya
thiazid
tipe
Target tekanan darah pada terapi pasien dengan CKD atau diabetes adah <130/80
mmHg.
d. Ginjal polikistik
Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan atau material yang
semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan ini dapat ditemukan kista kista yang
tersebar di kedua ginjal, baik di korteks maupun di medula. Selain oleh karena kelainan
genetik, kista dapat disebabkan oleh berbagai keadaan atau penyakit. Jadi ginjal polikistik
merupakan kelainan genetik yang paling sering didapatkan. Nama lain yang lebih dahulu
dipakai adalah penyakit ginjal polikistik dewasa (adult polycystic kidney disease), oleh
karena sebagian besar baru bermanifestasi pada usia di atas 30 tahun. Ternyata kelainan ini
dapat ditemukan pada fetus, bayi dan anak kecil, sehingga istilah dominan autosomal lebih
tepat dipakai daripada istilah penyakit ginjal polikistik dewasa.2
III. Epidemiologi
Di Amerika Serikat menyatakan insidens penyakit ginjal kronik diperkitakan 100 juta
kasus perjuta penduduk per tahun, dan angka ini meningkat sekitar 8% setiap tahunnya. Di
Malaysia diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal pertahunnya. Di Negara
berkembang lainnya, insidens ini diperkirakan sekitar 40-60 kasis perjuta penduduk per
tahun.1
Penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia tahun 2000:1,7
1. Glomerulonefritis
(46,39%)
2. Diabetes Mellitus
(18,65%)
(8,46%)
5. Sebab lain
(13,65%)
Penyakit gagal ginjal kronik lebih sering terjadi pada pria daripada wanita. Insidennya
pun lebih sering pada kulit berwarna daripada kulit putih.2
V. Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang
mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama.
Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang
masih tersisa (surviving nefron) sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul
vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan hiperfiltrasi, yang diikuti
oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerolus. Proses adaptasi ini
berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa skelrosis nefron yang
masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif,
walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi.1,2
Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, ikut
memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan progresifitas tersebut.
Aktivasi jangka panjang aksis renin-angiotensin-aldosteron, sebagian diperantarai oleh
sebagai respons terhadap LFG yang mengalami sedikit penurunan. Pada stadium akhir gagal
ginjal, penderita mulai merasakan gejala-gejala yang cukup parah, karena ginjal tidak
sanggup lagi mempertahankan homeostasis cairan dan elektrolit dalam tubuh. Kemih menjadi
isoosmotis dengan plasma pada berat jenis yang tetap sebesar 1,010. Penderita biasanya
menjadi oligourik (pengeluaran kemih kurang dari 500 ml/hari) karena kegagalan glomerulus
meskipun proses penyakit mula-mula menyerang tubulus ginjal. Kompleks perubahan
biokimia dan gejala-gejala yang dinamakan sindrom uremik mempengaruhi setiap sistem
dalam tubuh. Pada stadium akhir gagal ginjal, penderita pasti akan meninggal kecuali kalau ia
mendapat pengobatan dalam bentuk transplantasi ginjal atau dialisis.1
Meskipun perjalanan klinis penyakit ginjal kronik dibagi menjadi empat stadium,
tetapi dalam prakteknya tidak ada batas-batas yang jelas antara stadium-stadium tersebut.
10
besi total / Total Iron binding Capacity (TIBC), feritin serum), mencari sumber perdarahan,
morfologi eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis dan sebagainya. 1,7
Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab utamanya, di samping penyebab
lain bila ditemukan. Pemberian eritropoetin (EPO) merupakan hal yang dianjurkan.
Pemberian tranfusi pada penyakit ginjal kronik harus dilakukan hati-hati, berdasarkan
indikasi yang tepat dan pemantauan yang cermat. Tranfusi darah yang dilakukan secara tidak
cermat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia, dan perburukan fungsi ginjal.
Sasaran hemoglobin menurut berbagai studi klinik adalah 11-12 g/dL.1
c. Kelainan mata
Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil pasien gagal
ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa hari mendapat pengobatan gagal
ginjal kronik yang adekuat, misalnya hemodialisis. Kelainan saraf mata menimbulkan gejala
nistagmus, miosis dan pupil asimetris. Kelainan retina (retinopati) mungkin disebabkan
hipertensi maupun anemia yang sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Penimbunan
atau deposit garam kalsium pada conjunctiva menyebabkan gejala red eye syndrome akibat
11
iritasi dan hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga dijumpai pada beberapa pasien gagal
ginjal kronik akibat penyulit hiperparatiroidisme sekunder atau tersier.
d. Kelainan kulit
Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas dan diduga
berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal ini akan segera hilang
setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit biasanya kering dan bersisik, tidak jarang dijumpai
timbunan kristal urea pada kulit muka dan dinamakan urea frost.1,3
e. Kelainan neuropsikiatri
Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi, insomnia, dan depresi
sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Kelainan mental berat seperti konfusi, dilusi,
dan tidak jarang dengan gejala psikosis juga sering dijumpai pada pasien GGK. Kelainan
mental ringan atau berat ini sering dijumpai pada pasien dengan atau tanpa hemodialisis, dan
tergantung dari dasar kepribadiannya (personalitas).
f. Kelainan kardiovaskular
Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada gagal ginjal kronik sangat kompleks.
Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi, aterosklerosis, kalsifikasi sistem vaskular, sering
dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal dan dapat
menyebabkan kegagalan faal jantung.
12
b. Pemeriksaan laboratorium
13
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi sesuai dengan penyakit yang
mendasarinya, penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan ureum dan kreatinin serum, dan
penurunan laju filtrasi glomerolus (LFG) yang dapat dihitung mempergunakan rumus
Kockcroft-Gault, serta kelainan biokimia darah lainnya, seperti penurunan kadar hemoglobin,
hiper atau hipokalemia, hiperfosfatemia, hipokalsemia. Kelainan urinanalisi meliputi
proteinuria, hematuri, leukosuria, dan silinder.1
VIII. Penatalaksanaan1,2,3,7
1. Terapi konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara
progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia, memperbaiki
metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit.
a.Peranan diet
14
2. Terapi simptomatik
a. Asidosis metabolik
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium
(hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat diberikan
suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera diberikan intravena
bila pH 7,35 atau serum bikarbonat 20 mEq/L.
b. Anemia
Dapat diberikan eritropoetin pada pasien gagal ginjal kronik. Dosis inisial 50
u/kg IV 3 kali dalam seminggu. Jika Hb meningkat >2 gr/dL kurangi dosis pemberian
menjadi 2 kali seminggu. Maksimum pemberian 200 u/kg dan tidak lebih dari tiga
kali dalam seminggu.8
15
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu pilihan
terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi darah harus hati-hati
karena dapat menyebabkan kematian mendadak.
Sasaran hemoglobin adal 11-12 gr/dL.
c. Keluhan gastrointestinal
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering
dijumpai pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan utama (chief
complaint) dari GGK. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa
mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu program terapi
dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik.
d. Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.
e. Kelainan neuromuskular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis reguler
yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal paratiroidektomi.
f. Hipertensi
Pemberian obat-obatan anti hipertensi terutama
penghambat Enzym
yang
diderita,
termasuk
pengendalian
diabetes,
hipertensi,
16
17
cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai co-morbidity dan co-mortality. Indikasi
non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk melakukan
sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal.
c. Transplantasi ginjal
A. Terapi Konservatif
Manajemen yang dilakukan untuk CKD merupakan terapi konservatif, hingga pasien
tersebut tidak dapat lagi melanjutkan aktivitas mereka. Yang termasuk terapi konservatif
antara lain:
1. Pengobatan penyakit dasar
Pengobatan terhadap penyakit dasar yang masih dapat dikoreksi mutlak harus
dilakukan. Termasuk disini adalah pengendalian tekanan darah, regulasi gula darah
pada pasien DM, koreksi jika ada obstruksi saluran kencing, serta pengobatan infeksi
saluran kemih (ISK).
2. Pengendalian keseimbangan air dan garam
Pemberian cairan disesuaikan dengan produksi urine, yaitu produksi urine 24 jam
ditambah 500 ml. Asupan garam tergantung evaluasi elektrolit, umumnya dibatasi 40120 mEq (920-2760 mg). diet normal mengandung rata-rata 150 mEq. Furosemide
dosis tinggi masih dapat dipakai pada awal PGK, akan tetapi pada fase lanjut tidak
lagi bermanfaat dan pada obstruksi merupakan kontra indikasi. Penimbangan berat
badan, pemantauan produksi urine, serta pencatatan keseimbangan cairan akan
membantu pengelolaan keseimbangan cairan dan garam.
3. Diet rendah protein dan tinggi kalori
Asupan protein dibatasi 0.6-0,8 g/kgBB/hari. Rata-rata kebutuhan protein sehari pada
penderita CKD adalah 20-40 gram. Kebutuhan kalori minimal 35 kkal/kgBB/hari.
Diet rendah protein tinggi kalori akan memperbaiki keluhan mual, menurunkan BUN,
dan akan memperbaiki gejala. Selain itu diet rendah protein akan menghambat
progresivitas penurunan faal ginjal.
4. Pengendalian gangguan keseimbangan elektrolit dan asam basa
Gangguan keseimbangan elektrolit utama pada PGK adalah hyperkalemia dan
asidosis. Hyperkalemia dapat tetap asimtomatis walaupun telah mengancam jiwa.
Perubahan gambaran EKG kadang baru terlihat setelah hyperkalemia membahayakan
jiwa. Pencegahan meliputi diet rendah kalium (hindari buah seperti pisang, jeruk, dan
tomat serta sayuran berlebih) dan menghindari pemakaian diuretika K-sparring.
Asidosis menyebabkan keluhan mual, lemah, air-hunger, dan drowsiness. Pengobatan
18
intravena dengan NaHCO3 hanya diberikan pada keadaan asidosis berat, sedangkan
jika tidak gawat dapat diberikan secara per-oral.
5. Pengendalian tekanan darah
Berbeda dengan pengendalian hipertensi pada umumnya, Pada PGK masalah
pembatasan cairan mutlak dilakukan. Target tekanan darah 125/75 diperlukan untuk
menghambat laju progresivitas penurunan faal ginjal. Penghambat ACE dan ARB
diharapkan akan menghambat progresivitas PGK. Pemantauan faal ginjal secara serial
perlu dilakukan pada awal pengobatan hipertensi jika digunakan penghambat ACE
dan ARB. Apabila dicurigai adanya stenosis arteria renal, penghambat ACE
merupakan kontra indikasi.
6. Pencegahan dan pengobatan osteodistrofi renal
Termasuk dari tindakan ini adalah:
- Pengendalian hiperfosfatemia
Kadar P sserum harus diperhatikan kurang dari 6 mg/dl. Dengan cara diet rendah
fosfor saja kadang tidak cukup, sehingga perlu diberikan obat pengikat fosfat.
Aluminium hidroksida 300-1800 mg diberikan bersama makan. Cara ini sekarang
ditinggalkan karena efek samping terjadinya intoksikasi aluminium dan
konstipasi. Sebagai pilihan lain dapat diberikan kalsium karbonat 500-3000 mg
bersama makan dengan keuntungan menambah asupan kalsium dan mengoreksi
hipokalsemia. Makanan yang mengandung tinggi fosfor harus dihindari, misalnya
susu, keju, yoghurt, es krim, ikan, dan kacang-kacangan. Pengendalian
-
mikrogram/hari.
Paratiroidektomi
Dilakukan jika proses ODR terus berlanjut.
7. Pengobatan gejala uremi spesifik
Termasuk disini adalah pengobatan simtomatis dari pruritus, keluhan gastrointestinal,
-
B. Terapi Non-Konservatif
Terapi ini dilakukan pada pasien yang tidak dapat lagi melakukan aktivitasnya
sebagaimana mestinya. Terapi ini antara lain:
1. Deteksi dan pengobatan komplikasi
Dengan makin lanjutnya PGK, kemungkinan timbul komplikasi makin besar.
Beberapa komplikasi merupakan indikasi untuk segera dimulainya hemodialysis
(HD) meskipun penderita belum sampai pada tahap PGK stadium 5. Komplikasi
yang merupakan indikasi untuk tindakan HD antara lain:
a. Ensefalopati uremik
b. Pericarditis atau pleuritis
c. Neuropati perifer progresif
d. ODR progresif
e. Hyperkalemia yang tidak dapat dikendalikan
dengan
pengobatan
medikamentosa
f. Sindroma overload
g. Infeksi yang mengancam jiwa
h. Keadaan sosial
2. Persiapan dialysis dan transplantasi
Penderita PGK dan keluarganya sudah harus diberitahu sejak awal bahwa pada
suatu saat penderita akan memerlukan HD atau transplantasi ginjal. Pembuatan
akses vaskuler sebaiknya sudah dikerjakan sebelum klirens kreatinin dibawah 15
ml/menit. Dianjurkan pembuatan akses vaskuler jika klirens kreatinin telah
dibawah 20 ml/menit. Perlu membatasi punksi pembuluh darah daerah ekstremitas
yang akan dipakai untuk akses vaskuler. Disamping persiapan dari segi medic
perlu pula persiapan non medic.
C. Terapi Berdasarkan Stadium
20
Menurut stadiumnya, terapi yang dapat diberikan untuk pasien dengan gagal ginjal
kronis (CKD) yaitu:
ini,
intake
protein
harian
sebanyak
0,90
g/kg/hari
dapat
21
kardiovaskular
dan
nefropati.
Mikroalbuminuria
menunjukkan
22
IX. Prognosis
Pasien dengan gagal ginjal kronik umumnya akan menuju stadium terminal atau
stadium V. Angka prosesivitasnya tergantung dari diagnosis yang mendasari, keberhasilan
terapi, dan juga dari individu masing-masing. Pasien yang menjalani dialisis kronik akan
mempunyai angka kesakitan dan kematian yang tinggi. Pasien dengan gagal ginjal stadium
akhir yang menjalani transpantasi ginjal akan hidup lebih lama daripada yang menjalani
dialisis kronik. Kematian terbanyak adalah karena kegagalan jantung (45%), infeksi (14%),
kelainan pembuluh darah otak (6%), dan keganasan (4%).2
X. Pencegahan
23
Upaya pencegahan terhadap penyakit ginjal kronik sebaiknya sudah mulai dilakukan
pada stadium dini penyakit ginjal kronik. Berbagai upaya pencegahan yang telah terbukti
bermanfaat dalam mencegah penyakit ginjal dan kardiovaskular, yaitu pengobatan hipertensi
(makin rendah tekanan darah makin kecil risiko penurunan fungsi ginjal), pengendalian gula
darah, lemak darah, anemia, penghentian merokok, peningkatan aktivitas fisik dan
pengendalian berat badan.3
24
DAFTAR PUSTAKA
1. Ketut Suwitra. Penyakit Ginjal Kronik. Aru WS, Bambang S, Idrus A, Marcellus SK,
Siti S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed. 4 Jilid I. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2007. hlm 570-3.
2. Editorial.
Gagal
Ginjal
Kronik.
Diunduh
dari:
http://emedicine.
Classification,
and
Stratification.
Diunduh
dari:
Glomerulonefritis.
Diunduh
dari:
http://emedicine.medscape.
Tekanan
Darah
Tinggi.
Diunduh
dari:
25