Oleh:
Iswahjudi A. Karim, SH., LL.M.
KarimSyah
Sudirman Square Tower B, lantai 11
Jalan Jenderal Sudirman Kav.45-46
Jakarta 12930
E-mail: info@karimsyah.com
Pendahuluan
Pertama-tama kami ucapkan terima kasih kepada panitia penyelenggara, yang
telah memberikan kesempatan dan kepercayaan kepada kami untuk berbicara
mengenai aspek-aspek hukum dalam rangka restrukturisasi hutang, penjadwalan
kembali hutang (untuk selanjutnya kami sebut rescheduling) dan pelunasan
hutang melalui fasilitas refinancing (untuk selanjutnya kami sebut
refinancing).
Sebagaimana kita telah sama-sama tahu bahwa akibat serangkaian deregulasi di
bidang perbankan dimulai pada tahun 1983 dan mencapai puncaknya ketika
Paket Oktober (Pakto) 1988 dikeluarkan, dunia perbankan kita melakukan
ekspansi kredit besar-besaran. Bukan hanya kredit untuk membiayai proyekproyek pembangunan atau ekspor atau modal kerja saja yang diberikan,
melainkan juga kredit yang sifatnya konsumtif diumbar oleh ratusan bank
yang sebagian besar lahir gara-gara Pakto. Ekspansi kredit yang gila-gilaan
tersebut akhirnya menghasilkan situasi gawat di bidang ekonomi moneter di
negara kita. Kiranya tidak perlu kami jelaskan kegawatan situasi ekonomi
moneter tersebut, karena tidak relevan dengan topik dari makalah ini dan
tentunya saudara-saudara sekalian sudah mahfum.
Kemudian, saudara-saudara pun tentunya sudah mengetahui bahwa untuk
mengatasi situasi ekonomi moneter yang over-heated tersebut, Pemerintah
menjalankan kebijaksanaan uang ketat, atau yang lebih dikenal dengan tight
money policy (TMP). Akibat rem mendadak dari TMP dunia bisnis menjadi
sangat lesu, padahal 1 atau 2 tahun sebelumnya para pengusaha dan debitur
konsumen telah mengambil kredit dari bank-bank. Selanjutnya tentu sudah
dapat diramalkan bahwa pada saat jatuh temponya kredit tersebut termasuk
bunganya dan kewajiban-kewajiban pembayaran lainnya tidak dapat dibayar
kembali oleh para debitur kepada krediturnya.
1
Situasi yang kami gambarkan diatas adalah situasi global dimana si debitur
tidak mampu membayar hutang-hutangnya karena adanya perubahan
kebijaksanaan yang mendadak dari penguasa moneter. Tetapi tidak jarang juga
terjadi, walaupun dunia bisnis dan situasi ekonomi moneter dalam keadaan yang
relatif stabil, ada debitur-debitur yang tidak mampu melunasi hutang-hutangnya
sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan dalam perjanjian kredit. Hal ini
mungkin disebabkan karena mis-management di perusahaan debitur atau pasar
dari bisnis debitur kurang baik atau hal-hal lain yang sifatnya internal pada
perusahaan debitur.
2.
Klausula tersebut memang tidak secara jelas menegaskan hak kreditur untuk
menghapuskan wanprestasi debitur, tetapi adanya hak tersebut tersirat dari
penafsiran a contrario atas klausula waiver tersebut. Kadang-kadang klausula
waiver ini tidak dicantumkan dalam perjanjian kredit, tetapi dianggap ada dan
telah dilaksanakan oleh kreditur untuk kepentingan debitur pada saat kreditur
dan debitur mencapai kesepakatan mengenai syarat-syarat restrukturisasi
dan/atau rescheduling hutang (pada saat perjanjian restrukturisasi/rescheduling
ditandatangani).
Restrukturisasi dan rescheduling diberikan atas dasar waiver dari wanprestasi
pembayaran (payment default). Sedangkan refinancing, selain mungkin
diberikan atas dasar waiver dari wanprestasi pembayaran, diberikan atas dasar
waiver dari wanprestasi larangan membuat hutang baru kepada kreditur lain
(indebtedness default); dan dalam hal debitur diizinkan oleh kreditur lama
untuk memberikan jaminan atas asset-assetnya kepada refinancer penalang
berarti kreditur lama telah menghapus wanprestasi atas klausula negative
pledge, atau klausula encumbrance yang tercakup dalam pasal yang
mengatur negative covenant.
3.
3 tahun
initial drawdown
10
Rescheduling:
Grace Period
2 3
3 tahun 3 tahun
(konsesi 1)
5 6 7
8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
initial drawdown
Dari skema diatas terlihat bahwa hutang pokok yang seharusnya dilunasi dalam
waktu 8 tahun sejak penarikan hutang yang pertama (initial drawdown)
diberikan keringanan untuk dilunasi dalam waktu 16 tahun sejak initial
drawdown.
Restrukturisasi hutang memberikan keringanan-keringanan sebagai berikut
kepada debitur untuk melunasi hutangnya:
a.
b.
c.
d.
ii.
e.
Klausula Recapture
Rescheduling dan restrukturisasi hutang lazimnya diberikan dengan syarat
bahwa jika setelah konsesi-konsesi tersebut diberikan, kemudian terjadi lagi
wanprestasi sebagaimana diatur dalam perjanjian kreditnya (termasuk
wanprestasi atas konsesi-konsesi yang diberikan), maka kreditur berhak
menghentikan konsesi-konsesi yang telah diberikannya kepada debitur.
Misalnya ditentukan jatuh tempo pembayaran cicilan berdasarkan rescheduling
adalah tanggal 10 Juni 1993, dan ternyata debitur gagal memenuhinya. Hal ini
berarti debitur telah sekali lagi melakukan wanprestasi pembayaran (payment
default) yang sebelumnya telah dihapuskan oleh kreditur dalam rangka
rescheduling.
Penghentian konsesi-konsesi tersebut membawa konsekwensi bahwa
kewajiban-kewajiban debitur berdasarkan perjanjian kredit yang tadinya
telah dihapus oleh kreditur, termasuk kewajiban membayar hutang pokok,
bunga dan kewajiban-kewajiban pembayaran lainnya sejumlah dan pada waktu
yang ditetapkan oleh perjanjian kredit hidup dan berlaku kembali. Demikian
juga wanprestasi-wanprestasi lainnya yang tadinya telah dihapus dianggap
terjadi sejak saat penghapusan wanprestasi. Syarat yang demikian itu
dicantumkan dalam sebuah pasal yang dikenal sebagai Klausula Recapture
(Recapture Clause).
Bahkan tidak jarang kreditur hanya mau memberi konsesi-konsesi dengan syarat
recapture yang lebih keras dimana kreditur dapat sewaktu-waktu menghentikan
konsesi-konsesi yang telah diberikannya, walaupun selama waktu konsesikonsesi berjalan si debitur tidak melakukan wanprestasi apapun. Salah satu
contoh klausula recapture yang keras ini adalah sebagai berikut:
the Lenders may at any time in their sole discretion by written notice
to the Borrower revoke such concessions whereupon the obligations of
the Borrower shall be calculated under the Loan Agreement for all
purposes (including for determination of the occurrence of Events of
Default thereunder) as if such concessions had never been granted (a
certificate of the Lenders as to the amounts and allocation of the
amounts of such obligations to principal, interest, fees and the
applicable due dates of the amounts of any such obligations to be
binding upon the Borrower, absent manifest error).
Kami ingin menjuluki klausula tersebut sebagai mau untung jadi buntung.
Kami katakan mau untung karena kreditur ingin menang sendiri dalam arti
tanpa alasan apapun, tanpa adanya wanprestasi dari debitur, ia dapat dengan
semena-mena menghentikan konsesi yang telah dijanjikannya. Jadi buntung
maksudnya klausula tersebut sebenarnya merugikan kreditur sendiri karena
kemungkinan besar hakim akan membatalkan klausula tersebut karena dianggap
bertentangan dengan kepatutan dan nilai-nilai moral. Sesuatu yang sudah
diberikan tidak bisa diminta kembali tanpa adanya alasan-alasan yang sah.
Klausula yang berat sebelah tersebut dalam hukum Anglo Saxon dikenal
sebagai unconscienable contract. Dalam hukum Belanda (diatur dalam Kitab
Undang-undang Hukum Perdata yang terbaru) dikenal sebagai nisbruik van
onstandigheden (penyalahgunaan keadaan) dengan memaksa debitur yang
berada dalam keadaan terdesak (noodtoestand en afhankelijkheid) untuk
menerima persyaratan yang sangat berat sebelah tersebut. Sedangkan dalam
hukum Indonesia, walaupun larangan untuk membuat satu unconscienable
contract tidak diatur secara jelas, tetapi pasal yang menyatakan bahwa suatu
kontrak yang dibuat karena paksaan dapat mengakibatkan batalnya kontrak
tersebut (pasal 1321, 1323-1327 Kitab Undang-undang Hukum Perdata) cukup
menjadi landasan untuk membatalkan klausula recapture yang sewenangwenang.
Untuk melindungi hak-hak kreditur berdasarkan perjanjian kredit yang timbul
kembali dengan diberlakukannya klausula recapture, maka dalam perjanjian
konsesinya (the Rescheduling and Restructuring Agreement) harus
dinyatakan secara tegas bahwa penandatanganan dan pelaksanaan perjanjian
konsesi tidak dapat dianggap sebagai penghapusan dari setiap hak, kekuasaan
dan upaya hukum yang dimiliki oleh kreditur berdasarkan perjanjian kredit
dalam hal terjadi wanprestasi.
Akhirnya harus dicantumkan didalam perjanjian konsesi bahwa selain daripada
hal-hal yang dengan tegas diubah oleh perjanjian konsesi, ketentuan-ketentuan
dalam perjanjian kredit, perjanjian agunan/jaminan dan perjanjian-perjanjian
lain sehubungan dengan kredit yang diberikan akan tetap berlaku dan
mempunyai kekuatan hukum yang sah.
5.
Selain daripada itu kreditur refinancer juga enggan menerima agunan karena
eksekusinya memerlukan waktu yang relatif lama (walaupun berupa hak
tanggungan) dan ongkos yang relatif besar. Ia akan meminta jaminan berupa
bank garansi atau standby L/C yang mudah pencairannya.
Oleh karena itu wajarlah jika kreditur lama yang berkepentingan dengan kredit
refiancing itu bersedia menjadi penjamin dari kredit refinancing dengan
menerbitkan bank garansi atau standby L/C.
Dalam praktek perbankan di Indonesia, bank garansi lebih dikenal daripada
standby L/C yang merupakan produk hukum Amerika Serikat. Sebaliknya bankbank Indonesia yang menjamin suatu kredit luar negeri (offshore loans),
biasanya diminta oleh kreditur asing untuk menerbitkan standby L/C.
Sebelum keluarnya Paket Deregulasi Februari 1991 (PakFeb) bank dilarang
menjamin kredit yang diperoleh dari bank/LKBB (SK Dir BI
No.11/110/KEP/DIR/UPPB tanggal 29 Maret 1979 dan SEBI No.11/11/UPPB
tanggal 28 Maret 1979. Tetapi setelah deregulasi yang menyebabkan
membanjirnya dana kredit luar negeri antara tahun 1988-1990, banyak bankbank yang melanggar larangan tersebut. Sejumlah bank menjadi penjamin dari
anak perusahaannya yang menerima kredit luar negeri. Demikian juga bank
yang tergabung dalam satu group usaha memberikan jaminan kepada salah satu
perusahaan dari groupnya tersebut.
Untuk mengikuti perkembangan dunia usaha, otoritas moneter kemudian
menyesuaikan diri. Dalam hal ini mencabut larangan memberikan bank
garansi/standby L/C terhadap kredit bank dengan SK Dir BI No.23/72/KEP/DIR
dan SEBI No.23/5/UKU jo SK Dir BI No.23/69/KEP/DIR dan SEBI
No.23/6/UKU (pasal 4.3) semuanya tertanggal 28 Februari 1991.
Kreditur lama yang menerbitkan standby L/C berhak menerima fee (letter of
credit fee) yang nilainya tidak melebihi 1% dari nilai nominal standby L/C
yang diterbitkan.
Dalam hal kreditur lama terpaksa mencairkan standby L/C (karena wanprestasi
kepada kreditur refiancing), maka debitur harus, segera setelah kreditur lama
mengajukan klaim mengganti kepada kreditur lama jumlah L/C yang telah
dibayarkan kepada kreditur refinancer.
Hal ini biasanya diperjanjikan sebagai berikut:
The obligations of the Borrower to reimburse the LOC Payments are
absolute and unconditional and shall be payable without any set-off,
counterclaim or defence whatsoever and, without limiting the foregoing,
8
shall be payable in full irrespective of (i) any claim that any LOC
Payment was improperly made, (ii) any dispute between the Borrower
and the Refinancier or any other person or entity whatsoever or any
claim the Borrower may have against any person or entity whatsoever,
(iii) the compromise, settlement, release or modification of any term or
provision of any agreement, instrument or document to which any LOC
relates, and (iv) any demand made or document presented under any
LOC providing to have been forged, fraudulent, invalid or insufficient in
any respect or any statement therein being untrue or inaccurate in any
respect. Any action, inaction or omission by the Issuing Lender or any of
its correspondents under or in connection with any LOC, if in good faith
and in conformity with such laws, regulations or customs as such
Issuing Lender or any of its correspondents may deem to be applicable,
shall be binding on the Borrower and no such action, inaction or
omission shall subject such Issuing Lender to any liability to the
Borrower. The Borrower understands and agrees that (a) such Issuing
Lender shall have no obligation to investigate the correctness of any
certificate or other document presented under any LOC or to make any
other factual determination in connection therewith or in connection
with any agreement or transaction to which any LOC relates and (b)
such Issuing Lender shall have no responsibility in respect of, and the
obligations of the Borrower in respect of any LOC shall not be affected
by, any term or provision of any such agreement or transaction at
variance with any term or provision hereof or of such LOC. The Issuing
Lender may honour, as complying with the terms of any LOC,
instruments or documents otherwise in order signed or issued by an
administrator, trustee in bankruptcy or other legal representative of the
beneficiary of such LOC. The Borrower further understands for any
error or delay in transmission, dispatch or delivery by any other party of
any notice or advice in connection with any LOC or delay in giving or
failure to give any notice. The occurrence of one or more of the
contingencies specified in this clause shall not affect or impair any of the
Issuing Lenders rights or powers hereunder or the obligation of the
Borrower to make reimbursement in respect of any LOC Payment.
Selain dari hak untuk memperoleh penggantian berdasarkan kontrak
(diperjanjikan), berdasarkan hukum kreditur penjamin sebenarnya sudah cukup
terlindungi haknya untuk memperoleh penggantian dengan timbulnya hak
subrogasi untuk menuntut segala hak yang dimiliki kreditur refinancer
(memperoleh pelunasan hutang) kepada debitur sebagaimana diatur dalam pasal
1402 Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia.
6.
Kesimpulan
Setelah konsesi-konsesi atas ketidakmampuan debitur untuk melunasi
hutangnya pada saat jatuh tempo diberikan, maka terdapat beberapa
kemungkinan:
a.
b.
c.
d.
KarimSyah
10