Anda di halaman 1dari 11

RESTRUKTURISASI, PENJADWALAN KEMBALI

DAN REFINANCING HUTANG


(Suatu Tinjauan Dari Aspek Hukum)

Oleh:
Iswahjudi A. Karim, SH., LL.M.

KarimSyah
Sudirman Square Tower B, lantai 11
Jalan Jenderal Sudirman Kav.45-46
Jakarta 12930
E-mail: info@karimsyah.com

RESTRUKTURISASI, PENJADWALAN KEMBALI


DAN REFINANCING HUTANG
(Suatu Tinjauan Dari Aspek Hukum)
Oleh:
Iswahjudi A. Karim, SH, LL.M.
Assalamualaikum Wr. Wb,
1.

Pendahuluan
Pertama-tama kami ucapkan terima kasih kepada panitia penyelenggara, yang
telah memberikan kesempatan dan kepercayaan kepada kami untuk berbicara
mengenai aspek-aspek hukum dalam rangka restrukturisasi hutang, penjadwalan
kembali hutang (untuk selanjutnya kami sebut rescheduling) dan pelunasan
hutang melalui fasilitas refinancing (untuk selanjutnya kami sebut
refinancing).
Sebagaimana kita telah sama-sama tahu bahwa akibat serangkaian deregulasi di
bidang perbankan dimulai pada tahun 1983 dan mencapai puncaknya ketika
Paket Oktober (Pakto) 1988 dikeluarkan, dunia perbankan kita melakukan
ekspansi kredit besar-besaran. Bukan hanya kredit untuk membiayai proyekproyek pembangunan atau ekspor atau modal kerja saja yang diberikan,
melainkan juga kredit yang sifatnya konsumtif diumbar oleh ratusan bank
yang sebagian besar lahir gara-gara Pakto. Ekspansi kredit yang gila-gilaan
tersebut akhirnya menghasilkan situasi gawat di bidang ekonomi moneter di
negara kita. Kiranya tidak perlu kami jelaskan kegawatan situasi ekonomi
moneter tersebut, karena tidak relevan dengan topik dari makalah ini dan
tentunya saudara-saudara sekalian sudah mahfum.
Kemudian, saudara-saudara pun tentunya sudah mengetahui bahwa untuk
mengatasi situasi ekonomi moneter yang over-heated tersebut, Pemerintah
menjalankan kebijaksanaan uang ketat, atau yang lebih dikenal dengan tight
money policy (TMP). Akibat rem mendadak dari TMP dunia bisnis menjadi
sangat lesu, padahal 1 atau 2 tahun sebelumnya para pengusaha dan debitur
konsumen telah mengambil kredit dari bank-bank. Selanjutnya tentu sudah
dapat diramalkan bahwa pada saat jatuh temponya kredit tersebut termasuk
bunganya dan kewajiban-kewajiban pembayaran lainnya tidak dapat dibayar
kembali oleh para debitur kepada krediturnya.
1

Situasi yang kami gambarkan diatas adalah situasi global dimana si debitur
tidak mampu membayar hutang-hutangnya karena adanya perubahan
kebijaksanaan yang mendadak dari penguasa moneter. Tetapi tidak jarang juga
terjadi, walaupun dunia bisnis dan situasi ekonomi moneter dalam keadaan yang
relatif stabil, ada debitur-debitur yang tidak mampu melunasi hutang-hutangnya
sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan dalam perjanjian kredit. Hal ini
mungkin disebabkan karena mis-management di perusahaan debitur atau pasar
dari bisnis debitur kurang baik atau hal-hal lain yang sifatnya internal pada
perusahaan debitur.
2.

Pertimbangan dan Dasar Hukum


Karena debitur benar-benar tidak mampu membayar hutang-hutangnya (disini
termasuk bunga dan kewajiban-kewajiban pembayaran lain kepada kreditur,
untuk selanjutnya akan kami sebut saja sebagai hutang), dan bukan karena
debitur nakal sengaja tidak mau membayar hutang, dalam praktek banyak juga
kreditur-kreditur yang berkenaan untuk memberikan kesempatan kepada
debiturnya untuk menjadwalkan kembali pelunasan hutang debitur dan/atau
merestrukturisasi fasilitas kredit yang telah atau segera jatuh temponya.
Sebagai pertimbangan bagi kreditur untuk memberikan konsesi-konsesi berupa
rescheduling dan/atau restrukturisasi hutang atau bahkan bersedia menjadi
penjamin dari hutang debitur yang berasal dari kredit refincancing dari bank
lain yang diberikan untuk melunasi hutangnya kepada kreditur yang menjadi
penjamin tersebut, adalah bahwa si debitur dapat dikatagorikan sebagai debitur
yang bonafide. Artinya debitur tersebut telah cukup lama menjalin hubungan
bisnisnya dengan kreditur dan selama itu hubungan tersebut baik-baik saja.
Kreditur ingin mempertahankan hubungan baik tersebut dengan harapan dimasa
depan kreditur akan memperoleh bisnis yang menguntungkannya, terlepas dari
ketidakmampuan debitur melunasi hutangnya pada waktu yang diperjanjikan.
Jadi kreditur berpendapat lebih baik rugi sedikit pada saat ini demi
mengharapkan keuntungan yang lebih besar dimasa yang akan datang.
Sebaliknya jika kreditur langsung saja menghentikan fasilitas kreditnya dan
mengeksekusi jaminan-jaminan yang diberikan oleh si Debitur, hal ini tentunya
akan mempermalukan dan menjatuhkan reputasi dan kredibilitas debitur, dan
tentunya akan menutup kesempatan untuk menjalin hubungan bisnis yang
menguntungkan kreditur dimasa depan.
Dasar hukum pemberian konsesi restrukturisasi, rescheduling, dan refinancing
adalah klausula penghapusan wanprestasi. Salah satu bentuk standarnya ialah
sebagai berikut:
No waiver of any Event of Default shall constitute a waiver of any
other or any succeeding Event of Default except to the extent provided
by such waiver
2

Klausula tersebut memang tidak secara jelas menegaskan hak kreditur untuk
menghapuskan wanprestasi debitur, tetapi adanya hak tersebut tersirat dari
penafsiran a contrario atas klausula waiver tersebut. Kadang-kadang klausula
waiver ini tidak dicantumkan dalam perjanjian kredit, tetapi dianggap ada dan
telah dilaksanakan oleh kreditur untuk kepentingan debitur pada saat kreditur
dan debitur mencapai kesepakatan mengenai syarat-syarat restrukturisasi
dan/atau rescheduling hutang (pada saat perjanjian restrukturisasi/rescheduling
ditandatangani).
Restrukturisasi dan rescheduling diberikan atas dasar waiver dari wanprestasi
pembayaran (payment default). Sedangkan refinancing, selain mungkin
diberikan atas dasar waiver dari wanprestasi pembayaran, diberikan atas dasar
waiver dari wanprestasi larangan membuat hutang baru kepada kreditur lain
(indebtedness default); dan dalam hal debitur diizinkan oleh kreditur lama
untuk memberikan jaminan atas asset-assetnya kepada refinancer penalang
berarti kreditur lama telah menghapus wanprestasi atas klausula negative
pledge, atau klausula encumbrance yang tercakup dalam pasal yang
mengatur negative covenant.
3.

Rescheduling dan Restrukturisasi Hutang


Rescheduling dan restrukturisasi hutang adalah dua konsesi yang berbeda, tetapi
tidak jarang kreditur berkenaan memberikan konsesi-konsesi tersebut sekaligus
dalam waktu yang bersamaan.
Rescheduling dilakukan dengan memperpanjang masa kelonggaran untuk tidak
membayar hutang pokok (the grace period for non payment of the principal
of the loan). Hal ini berarti memperpanjang jatuh tempo dari pembayaran
kembali cicilan dari hutang pokok tersebut.
Lebih daripada itu, kadang-kadang kreditur berkenaan untuk memberikan
pengurangan jumlah pembayaran kembali pada tiap-tiap cicilan (instalment)
sebagaimana ditentukan dalam perjanjian kredit. Misalnya dalam perjanjian
kredit ditentukan bahwa hutang pokok harus dibayar lunas dalam 10 instalments
@ US$ 1,000,000.-. Kreditur kemudian memberikan keringanan bahwa pada
tiap-tiap cicilan cukup dibayar US$ 500,000.- sehingga hutang pokok dapat
dilunasi dalam 20 instalments. Karena biasanya jangka waktu pembayaran
cicilan yang satu ke pembayaran cicilan yang berikutnya tidak diubah, misalnya
6 bulan, pengurangan jumlah pembayaran cicilan berarti pula memperpanjang
masa pelunasan hutang pokok.
Dalam skema dapat digambarkan sebagai berikut:

Menurut perjanjian kredit:


Grace Period Pembayaran Kembali Hutang Pokok
1

3 tahun
initial drawdown

10

10 cicilan per 6 bulan = 5 tahun

Rescheduling:
Grace Period

Pembayaran Kembali Hutang Pokok


1

2 3

3 tahun 3 tahun
(konsesi 1)

5 6 7

8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20

20 cicilan per 6 bulan =10 tahun


(konsesi 2)

initial drawdown
Dari skema diatas terlihat bahwa hutang pokok yang seharusnya dilunasi dalam
waktu 8 tahun sejak penarikan hutang yang pertama (initial drawdown)
diberikan keringanan untuk dilunasi dalam waktu 16 tahun sejak initial
drawdown.
Restrukturisasi hutang memberikan keringanan-keringanan sebagai berikut
kepada debitur untuk melunasi hutangnya:
a.

penurunan tingkat suku bunga;

b.

pengurangan jumlah bunga yang harus dibayar;


i.
baik yang sudah jatuh tempo;
ii.
maupun yang belum jatuh tempo.

c.

penghapusan bunga atas wanprestasi pembayaran bunga (default


interest, bunga berbunga, riba adhafan mudhoafan);

d.

penghapusan bunga-bunga yang terhutang yang dapat diberikan :


i.

sama sekali tidak usah membayar bunga sama sekali (no


interest basis), atau;

ii.

e.

cukup membayar biaya bunga (cost of funding) yang


dikeluarkan oleh kreditur (cost basis). Misalnya bunga
ditentukan 1% over LIBOR, maka jika bunga LIBOR adalah
satu-satunya komponen cost of funding dari kreditur, debitur
cukup membayar bunga LIBOR tersebut. Bunga sebesar margin
1% tidak perlu dibayar.

pengurangan atau bahkan penghapusan kewajiban-kewajiban


pembayaran lainnya, seperti agency fee dan management fee.

Bentuk-bentuk restrukturisasi hutang tersebut dapat diberikan sebagian saja,


misalnya pengurangan tingkat suku bunga saja dan/atau pengurangan jumlah
bunga yang harus dibayar. Tetapi jika kondisi debitur sudah sangat payah, tidak
jarang kreditur berkenan memberikan seluruh bentuk keringanan-keringanan
dalam rangka restrukturisasi.
4.

Klausula Recapture
Rescheduling dan restrukturisasi hutang lazimnya diberikan dengan syarat
bahwa jika setelah konsesi-konsesi tersebut diberikan, kemudian terjadi lagi
wanprestasi sebagaimana diatur dalam perjanjian kreditnya (termasuk
wanprestasi atas konsesi-konsesi yang diberikan), maka kreditur berhak
menghentikan konsesi-konsesi yang telah diberikannya kepada debitur.
Misalnya ditentukan jatuh tempo pembayaran cicilan berdasarkan rescheduling
adalah tanggal 10 Juni 1993, dan ternyata debitur gagal memenuhinya. Hal ini
berarti debitur telah sekali lagi melakukan wanprestasi pembayaran (payment
default) yang sebelumnya telah dihapuskan oleh kreditur dalam rangka
rescheduling.
Penghentian konsesi-konsesi tersebut membawa konsekwensi bahwa
kewajiban-kewajiban debitur berdasarkan perjanjian kredit yang tadinya
telah dihapus oleh kreditur, termasuk kewajiban membayar hutang pokok,
bunga dan kewajiban-kewajiban pembayaran lainnya sejumlah dan pada waktu
yang ditetapkan oleh perjanjian kredit hidup dan berlaku kembali. Demikian
juga wanprestasi-wanprestasi lainnya yang tadinya telah dihapus dianggap
terjadi sejak saat penghapusan wanprestasi. Syarat yang demikian itu
dicantumkan dalam sebuah pasal yang dikenal sebagai Klausula Recapture
(Recapture Clause).
Bahkan tidak jarang kreditur hanya mau memberi konsesi-konsesi dengan syarat
recapture yang lebih keras dimana kreditur dapat sewaktu-waktu menghentikan
konsesi-konsesi yang telah diberikannya, walaupun selama waktu konsesikonsesi berjalan si debitur tidak melakukan wanprestasi apapun. Salah satu
contoh klausula recapture yang keras ini adalah sebagai berikut:

the Lenders may at any time in their sole discretion by written notice
to the Borrower revoke such concessions whereupon the obligations of
the Borrower shall be calculated under the Loan Agreement for all
purposes (including for determination of the occurrence of Events of
Default thereunder) as if such concessions had never been granted (a
certificate of the Lenders as to the amounts and allocation of the
amounts of such obligations to principal, interest, fees and the
applicable due dates of the amounts of any such obligations to be
binding upon the Borrower, absent manifest error).
Kami ingin menjuluki klausula tersebut sebagai mau untung jadi buntung.
Kami katakan mau untung karena kreditur ingin menang sendiri dalam arti
tanpa alasan apapun, tanpa adanya wanprestasi dari debitur, ia dapat dengan
semena-mena menghentikan konsesi yang telah dijanjikannya. Jadi buntung
maksudnya klausula tersebut sebenarnya merugikan kreditur sendiri karena
kemungkinan besar hakim akan membatalkan klausula tersebut karena dianggap
bertentangan dengan kepatutan dan nilai-nilai moral. Sesuatu yang sudah
diberikan tidak bisa diminta kembali tanpa adanya alasan-alasan yang sah.
Klausula yang berat sebelah tersebut dalam hukum Anglo Saxon dikenal
sebagai unconscienable contract. Dalam hukum Belanda (diatur dalam Kitab
Undang-undang Hukum Perdata yang terbaru) dikenal sebagai nisbruik van
onstandigheden (penyalahgunaan keadaan) dengan memaksa debitur yang
berada dalam keadaan terdesak (noodtoestand en afhankelijkheid) untuk
menerima persyaratan yang sangat berat sebelah tersebut. Sedangkan dalam
hukum Indonesia, walaupun larangan untuk membuat satu unconscienable
contract tidak diatur secara jelas, tetapi pasal yang menyatakan bahwa suatu
kontrak yang dibuat karena paksaan dapat mengakibatkan batalnya kontrak
tersebut (pasal 1321, 1323-1327 Kitab Undang-undang Hukum Perdata) cukup
menjadi landasan untuk membatalkan klausula recapture yang sewenangwenang.
Untuk melindungi hak-hak kreditur berdasarkan perjanjian kredit yang timbul
kembali dengan diberlakukannya klausula recapture, maka dalam perjanjian
konsesinya (the Rescheduling and Restructuring Agreement) harus
dinyatakan secara tegas bahwa penandatanganan dan pelaksanaan perjanjian
konsesi tidak dapat dianggap sebagai penghapusan dari setiap hak, kekuasaan
dan upaya hukum yang dimiliki oleh kreditur berdasarkan perjanjian kredit
dalam hal terjadi wanprestasi.
Akhirnya harus dicantumkan didalam perjanjian konsesi bahwa selain daripada
hal-hal yang dengan tegas diubah oleh perjanjian konsesi, ketentuan-ketentuan
dalam perjanjian kredit, perjanjian agunan/jaminan dan perjanjian-perjanjian
lain sehubungan dengan kredit yang diberikan akan tetap berlaku dan
mempunyai kekuatan hukum yang sah.

5.

Refinancing dan Standby L/C


Dalam suatu perjanjian kredit yang meliputi jumlah yang cukup besar (kredit
sindikasi/kredit investasi/kredit korporasi) biasanya ditentukan bahwa debitur
dilarang untuk menerima pinjaman lagi dari kreditur lain. Juga, debitur dilarang
untuk menjaminkan asset-assetnya kepada kreditur lain. Dalam hal debitur
melanggar ketentuan standar tersebut, ia dianggap telah melakukan wanprestasi
yaitu indebtedness default (karena mengambil kredit baru) dan negative
pledge default atau encumbrances default (karena menjaminkan assetnya
kepada kreditur lain). Larangan-larangan tersebut dimaksudkan agar
kemampuan debitur untuk melunasi hutangnya kepada kreditur pertama tidak
berkurang karena timbulnya kewajiban-kewajiban debitur kepada kreditur baru.
Tetapi kadang-kadang kreditur malah mendorong debitur untuk mengambil
kredit baru dari kreditur lain, dengan maksud agar dana dari kredit baru tersebut
dipakai oleh debitur untuk melunasi hutang-hutangnya kepada kreditur lama.
Jadi agar kreditur lama memperoleh pelunasan hutang melalui fasilitas
refinancing, ia justru menghapuskan wanprestasi debiturnya.
Dalam praktek transaksi refinancing dapat terjadi dalam keadaan sebagai
berikut:
debitur berhutang kepada kreditur sebesar US$ 5,000,000.- dengan tingkat suku
bunga 1,7% + LIBOR. Karena kesulitan finansial, debitur tidak mampu
melunasi hutangnya tersebut. Dilain pihak kreditur pun tidak bersedia (atau
tidak bersedia lagi-dulu pernah) atau tidak mampu (atau tidak mampu lagi-dulu
pernah) memberikan konsesi-konsesi berupa restrukturisasi maupun
rescheduling hutang. Sebagai jalan keluarnya biasanya kreditur ikut menolong
debitur untuk mencarikan kreditur baru (kreditur refinancer) yang bersedia
memberikan pinjaman baru kepada debitur yang akan dipakai untuk melunasi
hutang kepada kreditur lama. Pinjaman refinancing biasanya diberikan dengan
syarat-syarat, terutama tingkat suku bunga, yang lebih ringan daripada syaratsyarat perjanjian kredit lama. Misalnya jika tingkat suku bunga perjanjian kredit
lama 1,7% + LIBOR, maka tingkat suku bunga kredit refinancing dikurangi
menjadi 1,3% + LIBOR.
Bagi kreditur refinancer masalahnya ialah: apa jaminan yang dapat diperolehnya
dari debitur? walaupun kreditur lama misalnya telah mengizinkan debitur untuk
mengagunkan asset-assetnya kepada kreditur refinancer, kreditur refinancer
sering enggan menerima agunan tersebut. Hal ini dapat dimaklumi karena
tentunya asset-asset yang akan diagunkan kepada kreditur refinancer bukan
merupakan first quality assets (asset yang sangat berharga dan likuid) yang
biasanya sudah diagunkan kepada kreditur lama.

Selain daripada itu kreditur refinancer juga enggan menerima agunan karena
eksekusinya memerlukan waktu yang relatif lama (walaupun berupa hak
tanggungan) dan ongkos yang relatif besar. Ia akan meminta jaminan berupa
bank garansi atau standby L/C yang mudah pencairannya.
Oleh karena itu wajarlah jika kreditur lama yang berkepentingan dengan kredit
refiancing itu bersedia menjadi penjamin dari kredit refinancing dengan
menerbitkan bank garansi atau standby L/C.
Dalam praktek perbankan di Indonesia, bank garansi lebih dikenal daripada
standby L/C yang merupakan produk hukum Amerika Serikat. Sebaliknya bankbank Indonesia yang menjamin suatu kredit luar negeri (offshore loans),
biasanya diminta oleh kreditur asing untuk menerbitkan standby L/C.
Sebelum keluarnya Paket Deregulasi Februari 1991 (PakFeb) bank dilarang
menjamin kredit yang diperoleh dari bank/LKBB (SK Dir BI
No.11/110/KEP/DIR/UPPB tanggal 29 Maret 1979 dan SEBI No.11/11/UPPB
tanggal 28 Maret 1979. Tetapi setelah deregulasi yang menyebabkan
membanjirnya dana kredit luar negeri antara tahun 1988-1990, banyak bankbank yang melanggar larangan tersebut. Sejumlah bank menjadi penjamin dari
anak perusahaannya yang menerima kredit luar negeri. Demikian juga bank
yang tergabung dalam satu group usaha memberikan jaminan kepada salah satu
perusahaan dari groupnya tersebut.
Untuk mengikuti perkembangan dunia usaha, otoritas moneter kemudian
menyesuaikan diri. Dalam hal ini mencabut larangan memberikan bank
garansi/standby L/C terhadap kredit bank dengan SK Dir BI No.23/72/KEP/DIR
dan SEBI No.23/5/UKU jo SK Dir BI No.23/69/KEP/DIR dan SEBI
No.23/6/UKU (pasal 4.3) semuanya tertanggal 28 Februari 1991.
Kreditur lama yang menerbitkan standby L/C berhak menerima fee (letter of
credit fee) yang nilainya tidak melebihi 1% dari nilai nominal standby L/C
yang diterbitkan.
Dalam hal kreditur lama terpaksa mencairkan standby L/C (karena wanprestasi
kepada kreditur refiancing), maka debitur harus, segera setelah kreditur lama
mengajukan klaim mengganti kepada kreditur lama jumlah L/C yang telah
dibayarkan kepada kreditur refinancer.
Hal ini biasanya diperjanjikan sebagai berikut:
The obligations of the Borrower to reimburse the LOC Payments are
absolute and unconditional and shall be payable without any set-off,
counterclaim or defence whatsoever and, without limiting the foregoing,
8

shall be payable in full irrespective of (i) any claim that any LOC
Payment was improperly made, (ii) any dispute between the Borrower
and the Refinancier or any other person or entity whatsoever or any
claim the Borrower may have against any person or entity whatsoever,
(iii) the compromise, settlement, release or modification of any term or
provision of any agreement, instrument or document to which any LOC
relates, and (iv) any demand made or document presented under any
LOC providing to have been forged, fraudulent, invalid or insufficient in
any respect or any statement therein being untrue or inaccurate in any
respect. Any action, inaction or omission by the Issuing Lender or any of
its correspondents under or in connection with any LOC, if in good faith
and in conformity with such laws, regulations or customs as such
Issuing Lender or any of its correspondents may deem to be applicable,
shall be binding on the Borrower and no such action, inaction or
omission shall subject such Issuing Lender to any liability to the
Borrower. The Borrower understands and agrees that (a) such Issuing
Lender shall have no obligation to investigate the correctness of any
certificate or other document presented under any LOC or to make any
other factual determination in connection therewith or in connection
with any agreement or transaction to which any LOC relates and (b)
such Issuing Lender shall have no responsibility in respect of, and the
obligations of the Borrower in respect of any LOC shall not be affected
by, any term or provision of any such agreement or transaction at
variance with any term or provision hereof or of such LOC. The Issuing
Lender may honour, as complying with the terms of any LOC,
instruments or documents otherwise in order signed or issued by an
administrator, trustee in bankruptcy or other legal representative of the
beneficiary of such LOC. The Borrower further understands for any
error or delay in transmission, dispatch or delivery by any other party of
any notice or advice in connection with any LOC or delay in giving or
failure to give any notice. The occurrence of one or more of the
contingencies specified in this clause shall not affect or impair any of the
Issuing Lenders rights or powers hereunder or the obligation of the
Borrower to make reimbursement in respect of any LOC Payment.
Selain dari hak untuk memperoleh penggantian berdasarkan kontrak
(diperjanjikan), berdasarkan hukum kreditur penjamin sebenarnya sudah cukup
terlindungi haknya untuk memperoleh penggantian dengan timbulnya hak
subrogasi untuk menuntut segala hak yang dimiliki kreditur refinancer
(memperoleh pelunasan hutang) kepada debitur sebagaimana diatur dalam pasal
1402 Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia.

6.

Kesimpulan
Setelah konsesi-konsesi atas ketidakmampuan debitur untuk melunasi
hutangnya pada saat jatuh tempo diberikan, maka terdapat beberapa
kemungkinan:
a.

si debitur berhasil melunasi hutang-hutangnya sesuai dengan waktu dan


jumlah yang ditetapkan dalam perjanjian konsesi;

b.

si debitur tidak berhasil melunasi hutang-hutangnya sesuai dengan


waktu dan jumlah yang ditetapkan dalam perjanjian konsesi, tetapi
kreditur tetap berkenan memberi konsesi sekali lagi (konsesi kedua) atas
kegagalan debitur untuk memenuhi kewajibannya yang timbul dari
konsesi pertama;

c.

si debitur tidak berhasil melunasi hutang-hutangnya sesuai dengan


waktu dan jumlah yang ditetapkan dalam perjanjian konsesi, tetapi
debitur secara sukarela membiarkan kreditur mengambil pelunasan
hutang-hutangnya dari agunan-agunan yang diberikannya kepada
kreditur;

d.

si debitur tidak berhasil melunasi hutang-hutangnya sesuai dengan


waktu dan jumlah yang ditetapkan dalam perjanjian konsesi dan debitur
tidak membiarkan kreditur mengambil pelunasan hutang-hutangnya dari
agunan-agunan yang diberikannya kepada kreditur. Debitur bandel/nakal
seperti ini akan mengemukakan segala alasan, walaupun tidak masuk
akal sehat, untuk menyangkal hutang-hutangnya yang jumlahnya
membengkak lagi sesuai jumlah hutang sebelum konsesi diberikan.
Dalam
sengketa ini penegak hukum (hakim) perlu benar-benar
menguasai klausula-klausula dalam Rescheduling and Restructuring
Agreement, terutama klausula Recapture untuk dapat memberi
keputusan yang seadil-adilnya.

KarimSyah

Sudirman Square Tower B, Lantai 11


Jl. Jend. Sudirman Kav. 45-46, Jakarta 12930, INDONESIA
Tel: +62 21 577-1177 (Hunting), Fax: +62 21 577-1947, 577-1587
E-mail : info@karimsyah.com

10

Anda mungkin juga menyukai