Anda di halaman 1dari 2

Latar belakang

Pembangunan kesehatan bertujuan untuk mempertinggi derajat kesehatan masyarakat.


Demi tercapainya derajat kesehatan yang tinggi, maka wanita sebagai penerima kesehatan,
anggota keluarga dan pemberi pelayanan kesehatan harus berperan dalam keluarga, supaya
anak tumbuh sehat sampai dewasa sebagai generasimuda. Oleh sebab itu wanita, seyogyanya
diberi perhatian sebab :
(1) Wanita menghadapi masalah kesehatan khusus yang tidak dihadapi pria berkaitan dengan
fungsi reproduksinya, (2) Kesehatan wanita secara langsung mempengaruhi kesehatan anak
yangdikandung dan dilahirkan, (3) Kesehatan wanita sering dilupakan dan ia hanya sebagai
objek dengan mengatasnamakan pembangunan seperti program KB, dan pengendalian
jumlah penduduk, (4) Masalah kesehatan reproduksi wanita sudah menjadi agenda
Intemasional diantaranya Indonesia menyepakati hasil-hasil Konferensi mengenai
kesehatanreproduksi dan kependudukan (Beijing dan Kairo).
Kesehatan reproduksi adalah kesejahteraan fisik, mental dan sosial yang utuh dan
bukan hanya tidak adanya penyakit atau kelemahan, dalam segala hal yang berhubungan
dengan sistem reproduksi dan fungsi-fungsinya serta proses-prosesnya. Oleh karena itu,
kesehatan reproduksi berarti orang dapat mempunyai kehidupan seks yang memuaskan dan
aman, dan bahwa mereka memiliki kemampuan untuk bereproduksi dan kebebasan untuk
menentukan apakah mereka ingin melakukannya, bilamana dan seberapa seringkah.
Termasuk terakhir ini adalah hak pria dan wanita untuk memperoleh informasi dan
mempunyai akses terhadap cara-cara keluarga berencana yang aman, efektif dan terjangkau,
pengaturan fertilitas yang tidak melawan hukum, hak memperoleh pelayanan pemeliharaan
kesehatan kesehatan yang memungkinkan para wanita dengan selamat menjalani kehamilan
dan melahirkan anak, dan memberikan kesempatan untuk memiliki bayi yang sehat. Sejalan
dengan itu pemeliharaan kesehatan reproduksi merupakan suatu kumpulan metode, teknik
dan pelayanan yang mendukung kesehatan dan kesejahteraan reproduksi melalui pencegahan
dan penyelesaian masalah kesehatan reproduksi. Ini juga mencakup kesehatan seksual, yang
bertujuan meningkatkan status kehidupan dan hubungan-hubungan perorangan, dan bukan
semata-mata konseling dan perawatan yang bertalian dengan reproduksi dan penyakit yang
ditularkan melalui hubungan seks.
Perempuan yang perlu dijaga kehormatan dan keselamatannya dewasa ini telah kita
temui berbagai macam kasus kekerasan pada mereka yang umumnya dilakukan oleh orangorang terdekat. Berbagai macam tindakan kekerasan baik dalam rumah tangga ataupun
kekerasan yang terjadi diluar telah sering dijumpai. Bahkan bukan hanya perempuan yang
mengalami kekerasan akan tetapi juga terjadi pada anak-anak.
Di Indonesia data tentang kekerasan terhadap perempuan tidak dikumpulkan secara
sistematis pada tingkat nasional. Laporan dari institusi pusat krisis perempuan, menunjukkan
adanya peningkatan tindak kekerasan terhadap perempuan,. Menurut Komisi Perempuan
(2005) mengindikasikan 72% dari perempuan melaporkan tindak kekerasan sudah menikah
dan pelakunya selalu suami mereka. Mitra Perempuan (2005) 80% dari perempuan yang
melapor pelakunya adalah para suami, mantan suami, pacar laki-laki, kerabat atau orang tua,
4,5% dari perempuan yang melapor berusia dibawah 18 tahun. Pusat Krisis Perempuan di
Jakarta (2005); 9 dari 10 perempuan yang memanfaatkan pelayanan mengalami lebih dari

satu jenis kekerasan (fisik, fisiologi, seksual, kekerasan ekonomi, dan pengabaian), hampir
17% kasus tersebut berpengaruh terhadap kesehatan reproduksi perempuan.Hasil penelitian
yang dilakukan oleh Rifka Annisa Womsis Crisis Centre (RAWCC, 1995) tentang kekerasan
dalam rumah tangga terhadap 262 responden (istri) menunjukan 48% perempuan (istri)
mengalami kekerasan verbal, dan 2% mengalami kekerasan fisik. Tingkat pendidikan dan
pekerjaan suami (pelaku) menyebar dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi (S2);
pekerjaan dari wiraswasta, PNS, BUMN, ABRI. Korban (istri) yang bekerja dan tidak bekerja
mengalami kekerasan termasuk penghasilan istri yang lebih besar dari suami (RAWCC,
1995)Hasil penelitian kekerasan pada istri di Aceh yang dilakukan oleh Flower (1998)
mengidentifikasi dari 100 responden tersebut ada 76 orang merespon dan hasilnya 37 orang
mengatakan pernah mengalami tindak kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan berupa
psikologis (32 orang), kekerasan seksual (11 orang), kekerasan ekonomi (19 orang),
kekerasan fisik (11 orang). Temuan lain sebagian responden tidak hanya mengalami satu
kekerasan saja. Dari 37 responden, 20 responden mengalami labih dari satu kekerasan,
biasanya dimulai dengan perbedaan pendapat antara istri (korban) dengan suami lalu muncul
pernyataan-pernyataan yang menyakitkan korban, bila situasi semakin panas maka suami
melakukan kekerasan fisik.
dalam berbagai kasus, umumnya perempuan yang mengalami tindakan kekerasan
selalunya bersikap pasif dan tidak melaporkan hal tersebut terhadap pihak yang berwajib.
Sehingga hal ini berdampak terhadap lingkungan sosial yang kurang peka terhadap kekerasan
pada perempuan dan anak.

Anda mungkin juga menyukai