Anda di halaman 1dari 11

Benny Baskara -- Manifestasi Identitas Islam Suku Bajo

dalam Naskah Lontarak Assalenna Bajo


KAWISTARA

VOLUME 1 No. 1, 21 April 2011 Halaman 1-102

MANIFESTASI IDENTITAS ISLAM SUKU BAJO


DALAM NASKAH LONTARAK ASSALENNA BAJO
Benny Baskara
Inter Religius Studies (IRS) Sekolah Pascasarjana UGM Yogyakarta
Email: benbasku@gmail.com dan bensk@yahoo.co.uk

ABSTRACT
The Bajo people are known as the sea wanderers because they always wander the sea. However, aside from
their unique characteristic as people of the sea, the Bajo are also known as Muslims. Therefore, Islam is an
important element of their identity, either reflected in their daily life or written in the manuscript Lontarak
Assalenna Bajo as the form of self-narration of their cultural history. Islam has been accepted through a continual
process of negotiation and development.The Bajo people were not Muslim before they became sea wanderes. They
received the influence of Islam from the land-bound people surrounding them as a result of interactions between
the two groups.
Keywords: Bajo, Islam, identity

ABSTRAK
Suku Bajo dikenal sebagai suku pengembara laut karena kebiasaan hidupnya yang mengembara di lautan
lepas. Namun demikian, di samping karakteristiknya yang unik sebagai pengembara laut tersebut, suku Bajo
ternyata beragama Islam. Dengan demikian, Islam telah menjadi bagian dari identitas orang Bajo, yang tercermin
dari kehidupan mereka sehari-hari maupun tercantum dalam naskah “Lontarak Assalenna Bajo”sebagai catatan
tentang kehidupan masyarakat Bajo yang ditulis oleh mereka sendiri. Islam diterima oleh orang Bajo tidak secara
serta merta, namun melalui proses negosiasi dan perkembangan terus-menerus. Orang Bajo bukanlah orang Islam
dari awal sebelum mereka menjadi pengembara laut, namun mereka menerima pengaruh Islam dari orang-orang
darat di sekitarnya sebagai akibat dari hubungan mereka dengan orang-orang darat.
Kata kunci: Bajo, Islam, identitas
PENGANTAR Tenggara, dan mungkin juga di wilayah-wilayah
Suku Bajo dikenal sebagai suku pengembara perairan lainnya. Suku Bajo pada zaman dahulu
laut karena kebiasaan hidup mereka yang selalu memang mengembara di lautan lepas dengan
mengembara mengarungi lautan. Beberapa perahu-perahu tradisional mereka yang disebut
penelitian yang telah dilakukan tentang suku Bajo leppa. Namun saat ini, mereka telah banyak
antara lain menyebut mereka sebagai “Suku bermukim di tepi-tepi pantai maupun gugusan-
Pengembara Laut” (Zacot, 2008), “Sea Nomads” gugusan karang. Pemukiman tersebut tetap
(Sopher, 1965; Chou, 2003), atau “Sea People” didirikan di atas air yang menunjukkan bahwa
(Nimmo, 1972, 2001; Sather, 1997). Sebagai suku kehidupan mereka memang tidak bisa dilepaskan
pengembara laut, suku Bajo tidak hanya dijumpai dari laut.
di wilayah perairan Indonesia saja, tetapi juga Sebutan “Bajo”, “Suku Bajo”, atau “Orang
hampir di seluruh wilayah perairan Asia Bajo”, umumnya digunakan oleh penduduk di

15
Kawistara, Vol. 1, No. 1, April 2011: 15-27

wilayah Indonesia Timur untuk menyebut suku penganut Islam. Dengan demikian, bisa dikatakan
pengembara laut ini, yang tersebar di berbagai bahwa Islam telah menjadi bagian penting dalam
wilayah (Anwar, 2006). Sementara itu, di wilayah identitas orang Bajo. Hal ini dibuktikan antara
Indonesia Barat, kelompok masyarakat ini disebut lain dengan pengamatan Thomas Forrest (1779,
“Orang Laut”, “Suku Laut”, atau “Rakyat dikutip dari McAllister, 1996) sebagai berikut:
Laut”, sebutan yang biasa digunakan oleh Orang “The Badjoo people, called Orang Badjoo, are a
Melayu di Riau dan penduduk Pulau Sumatera kind of itinerent fishermen ... They lived chiefly in
pada umumnya, juga di Kepulauan Natuna, small covered boats on the coasts of Borneo and
Malaysia Barat, serta Johor Selatan. Namun di Celebes and adjacent islands. Others dwell close
Johor Utara, mereka disebut “Orang Kuala”, to the sea on these islands, their houses being
sedangkan di Sabah dan Tawau di Malaysia raised on poles, a little distance into the sea ...
They are
Timur, juga di Brunei Darussalam dan Filipina,
Mahometans.”
mereka disebut “Orang Bajau”, “Suku Asli”,
“Sama Bajau”, “Sama Dilaut”, “Bajau Laut”, Dalam penelitian La Marihi (2007) dikutip hasil
“Orang Samal”, atau “Samal Bajau Laut” (Anwar, sensus penduduk tahun 2000 di desa Bajo
2006; Chou, 2003). Di wilayah Myanmar dan Mantigola, Kepulauan Wakatobi, menyebutkan
Thailand mereka disebut sebagai orang bahwa di desa tersebut seluruhnya adalah orang
“Mawken” atau “Chao Nam” (Hope, 2001; Bajo dan semuanya (100%) beragama Islam.
Ahimsa-Putra, 2006). Demikian pula dari beberapa penelitian etnografis
Meskipun kelompok masyarakat ini sebelumnya (Sopher, 1965; Nimmo, 1972, 2001;
mempunyai sebutan yang berbeda-beda Sather, 1997; Chou, 2003) bahwa ajaran-ajaran
bergantung pada letak geografis tempat mereka Islam itu tampak dalam kehidupan sehari-hari
bermukim, namun dari sisi kebudayaan mereka orang Bajo. Dari bukti-bukti tersebut, Islam
memiliki kesamaan yang bisa menjadi suatu ciri memang telah menjadi bagian penting dalam
khas. Karakteristik yang paling mencolok adalah identitas orang Bajo, yang di samping tercermin
pola pemukiman mereka yang umumnya dalam kehidupan mereka seharihari, juga tertuang
didirikan di atas air di pesisir pantai atau di dalam tulisan tentang sejarah kehidupan mereka.
gugusan-gugusan karang, dan mata pencaharian Oleh karena itu, makalah ini bertujuan untuk
utama sebagai nelayan tradisional. Selain itu, mengungkapkan identitas keislaman orang Bajo
mereka juga menggunakan bahasa yang sama, yang tertulis dalam naskah Lontarak Assalenna
adat-istiadat, kepercayaan, dan pola perilaku yang Bajo.
cenderung sama, yang menunjukkan suatu
kesamaan budaya. Berdasarkan kesamaan budaya KERANGKA TEORITIK
ini, maka bisa dikatakan bahwa mereka adalah Dalam pandangan Liliweri (2002), bentuk
termasuk dalam satu rumpun atau berasal dari identitas ada tiga macam, yaitu identitas pribadi,
satu rumpun yang sama (Anwar, 2006; Liliweri, identitas sosial, dan identitas budaya. Identitas
2002). pribadi adalah identitas berdasarkan keunikan
Dalam makalah ini, istilah yang digunakan karakteristik pribadi yang berbeda dengan orang
untuk menyebut suku laut ini adalah “Bajo” lain, seperti bakat, kemampuan, dan pilihan
karena mengacu pada naskah Lontarak Assalenna pribadi. Identitas budaya adalah karakteristik
Bajo sebagai naskah yang ditulis oleh orang Bajo yang muncul karena seseorang itu merupakan
sendiri tentang sejarah kehidupan mereka. anggota sebuah suku bangsa atau kelompok
Naskah tersebut disebut oleh Anwar (2006) budaya tertentu. Identitas budaya meliputi proses
sebagai suatu bentuk “keluhuran dan ketinggian pembelajaran dan penerimaan terhadap tradisi,
budaya suku Bajo karena mereka mampu ciri-ciri bawaan, bahasa, agama, dan turunan dari
menuangkan idenya dalam bahasa tulisan”, bila kebudayaan tertentu. Identitas sosial terbentuk
dibandingkan dengan beberapa suku lainnya di karena seseorang menjadi anggota suatu
Nusantara yang masih mengandalkan budaya kelompok atau komunitas tertentu dalam
tutur dan tradisi lisan dalam menceritakan sejarah kebudayaan, antara lain kelompok-kelompok
kehidupannya. sosial yang berdasarkan gender, usia, kelas sosial,
Dengan karakteristiknya yang unik sebagai profesi, agama, dan lokasi tertentu (Liliweri,
suku pengembara laut, yang tentunya lebih 2002: 96-97).
banyak menghabiskan kehidupannya dengan Identitas budaya terbentuk di dalam struktur
mengembara di lautan, ternyata orang Bajo juga kebudayaan dan peran-peran dalam struktur

16
Benny Baskara -- Manifestasi Identitas Islam Suku Bajo
dalam Naskah Lontarak Assalenna Bajo

tersebut, yang meliputi polapola persepsi, dan terpilah-pilah. Identitas dibangun melalui
pemikiran, dan perasaan. Pola-pola kebudayaan diskursus, praktik, dan posisi yang berbedabeda,
memengaruhi identitas seseorang, terutama dalam dan menjadi subjek historisasi radikal dan selalu
membentuk identitas dari gagasan-gagasan dan berada dalam proses perubahan dan transformasi.
pemikiran-pemikiran tertentu, yang pada Rasa memiliki (sense of belonging), yang
gilirannya akan membimbing perilaku seseorang. dengannya identitas dibangun, terletak di dalam
Hal yang penting di sini adalah identitas itu selalu representasi simbolik dan imajiner, dan oleh
terbentuk dalam struktur kebudayaan dan struktur karenanya bisa dikatakan berada dalam ranah
sosial. Makna identitas budaya adalah fantasi atau imajiner (Hall, 1996: 4). Berdasarkan
karakteristik suatu kebudayaan yang kita ketahui proses ini, bisa dikatakan juga bahwa identitas itu
batas-batasnya, dibandingkan dengan selalu berada dalam proses negosiasi.
kebudayaan-kebudayaan lainnya. Identitas Melalui kerangka teori dari Hall (1996) ini
budaya tidak hanya bermakna karakter fisik akan dilihat bagaimana orang Bajo
semata, namun lebih bermakna sebagai suatu mengkonstruksi dan menegosiasikan
sistem dan menunjukkan suatu tata cara, motivasi, identitasnya, terutama berkaitan dengan Islam
dan orientasi berpikir, merasa, dan bertindak sebagai identitas religiusnya. Sebagai suku
(Liliweri, 2002: 72). pengembara laut, suku Bajo telah mempunyai
Dari kerangka pemikiran Liliweri (2002) di kepercayaan tradisional (indigenous belief)
atas, hal yang ingin ditegaskan di sini Lontarak
a d a l a h b a h wa n a s ka h mereka sendiri, yaitu suatu kepercayaan terhadap
Assalena Bajo merupakan cerminan dari identitas penguasa lautan, yang mereka sebut sebagai Mbo
budaya masyarakat Bajo secara umum. Dalam hal Ma Dilao. Proses penerimaan nilai-nilai Islam
ini, naskah Lontarak Assalena Bajo adalah naskah oleh orang Bajo tentu tidak terjadi dengan serta-
yang ditulis oleh orang Bajo sendiri mengenai merta, namun melalui proses negosiasi, terutama
kehidupan mereka, yang merupakan artikulasi dinegosiasikan dengan kepercayaan tradisional
dari persepsi, gagasan, dan pemikiran orang Bajo. mereka kepada penguasa lautan atau Mbo Ma
Lebih jauh, naskah Lontarak Assalena Bajo juga Dilao. Proses negosiasi inilah yang akan dilihat
merupakan rujukan untuk tata cara, motivasi, melalui teori negosiasi identitas Hall (1996)
serta orientasi berpikir, merasa, dan bertindak tersebut.
orangorang Bajo, yang membimbing perilaku Identitas seseorang selalu dibentuk dalam
orang Bajo dalam menjalani kehidupan sebagai masyarakat, demikian pendapat Berger dan
suatu masyarakat. Luckmann (1966). Mereka mengatakan bahwa
Stuart Hall (1996) menyatakan bahwa konsep “identitas adalah unsur kunci realitas subjektif
tentang identitas tidak bisa dilepaskan dari konsep dan berada dalam hubungan dialektis dengan
tentang diri dan identifikasi. Identifikasi masyarakat. Identitas dibentuk oleh proses sosial;
merupakan proses artikulasi dan pengakuan diri identitas dibentuk, diubah, dan disesuaikan oleh
dalam hubungannya dengan faktor-faktor yang hubungan-hubungan sosial.” (Berger dan
berpengaruh di sekitarnya. Dengan demikian, Luckmann, 1966: 173). Proses sosial sendiri
identifikasi selalu berada dalam proses ditentukan oleh struktur sosial; dengan demikian,
pembentukan. Dalam hubungannya dengan pembentukan, perubahan, dan penyesuaian
sejarah, identitas merupakan subjek konstruksi identitas bergantung kepada struktur sosial.
historis, dan selalu berada dalam proses Identitas seseorang juga ditentukan oleh kondisi
perubahan dan transformasi. Identitas selalu biologisnya sebagai makhluk hidup. Hubungan
dibangun dalam perkembangan historis dan antara manusia dan lingkungannya adalah suatu
praktikpraktik dalam masyarakat dan bentuk hubungan yang khas, yaitu sebagai bentuk
kebudayaan. Identitas dibangun dalam diskursus, dialektika yang terus-menerus antara manusia
dan identitas dihasilkan dalam rentang historis sebagai makhluk hidup dengan situasi sosio-
dan institusional tertentu dalam bentuk-bentuk historisnya. Dialektika ini berlangsung secara
diskursus yang spesifik. berganda: ke luar adalah dialektika antara
Di sini, konsep identitas bukanlah konsep individu dengan lingkungan sosialnya, dan ke
esensialis, melainkan strategis dan posisional. dalam adalah dialektika antara kebutuhan biologis
Artinya, konsep identitas bukanlah sesuatu yang individu dengan identitasnya yang terbangun
stabil dalam diri manusia, sesuatu yang permanen secara sosial (Berger dan Luckmann, 1966: 180).
dari awal sampai akhir tanpa perubahan. Identitas Lebih lanjut, Amartya Sen (2006) juga
bukanlah sesuatu yang utuh, selalu terbagi-bagi menegaskan bahwa identitas selalu bergantung

17
Kawistara, Vol. 1, No. 1, April 2011: 15-27

kepada konteks sosial atau lingkungan sosial. Ketiga, agama bisa mengembangkan
Manusia tergabung ke dalam kelompok yang keterikatan emosional atau komitmen dalam
berbeda-beda, melalui kelahiran, pergaulan, dan masyarakat. Komitmen seringkali berkaitan erat
persekutuan. Dengan keanggotaan ini, setiap dengan agama, yang akan membawa kepada satu
identitas kelompok akan memberikan rasa kepentingan dan kehendak bersama, seperti yang
keterikatan atau loyalitas, yang biasa disebut dilakukan oleh sebuah suku bangsa untuk
dengan “rasa memiliki” (sense of belonging). meningkatkan solidaritas internal.
Latar belakang sosial seseorang juga selalu Keempat, agama, terutama dalam bentuk
berbasis pada komunitas atau kebudayaan ritual, bisa menegakkan kebersamaan dalam
tertentu, yang menentukan proses pemikirannya masyarakat. Ritual bisa memberikan rasa
dalam membuat pilihan. Pengaruh yang memiliki dan identitas bagi manusia (Mol, 1986:
menentukan dalam komunitas atau kebudayaan 70).
ini berupa bentuk-bentuk pengetahuan lokal, Berdasarkan empat kategori tersebut, Hans Mol
norma, persepsi, dan nilai yang berlaku dalam mendefinisikan agama sebagai
komunitas atau kebudayaan tertentu (Sen, 2006: “sakralisasi identitas”. Keyakinan, loyalitas, dan
34-35). komitmen memperkuat ikatan emosional dari
Dari kedua teori yang telah dipaparkan di berbagai unsur dalam organisasi sosial, sehingga
atas, yaitu dari Berger dan Luckmann (1966) dan setiap unsur ini akan semakin kohesif. Di tingkat
Amartya Sen (2006), akan dilihat bagaimana fungsional, mekanisme sakralisasi turut andil
identitas Islam orang Bajo dibentuk dalam dalam konsolidasi setiap unsur dalam organisasi
hubungannya dengan lingkungan sosial mereka, sosial. Agama dapat menjembatani kesenjangan
baik dinamika kehidupan sosial mereka sebagai dan mampu memadukan unsur-unsur dalam
orang laut maupun dalam hubungan mereka masyarakat. Mekanisme sakralisasi meliputi
dengan orang darat. Dalam hal ini, bisa dikatakan mitos, ritual, komitmen, dan transendentalisasi
bahwa Islam merupakan agama dan kepercayaan akan menjamin berjalannya fungsi dan
orang darat yang kemudian diterima oleh orang kelangsungan hidup masyarakat (Mol, 1986: 70-
Bajo sebagai keyakinannya. Oleh karena itu, perlu 71).
dilihat sejarah dan dinamika hubungan antara Melalui kerangka pemikiran Hans Mol
orang Bajo dengan orang darat, sehingga proses (1986) ini akan dilihat bagaimana peran agama,
penerimaan Islam sebagai pengaruh dari daratan khususnya Islam, dalam konstruksi identitas
oleh orang Bajo bisa diketahui. orang Bajo. Peran tersebut adalah bagaimana
Di antara para ahli lainnya, Hans Mol (1986) Islam menjadi petunjuk bagi kehidupan sehari-
mampu memberikan gambaran yang paling jelas hari mereka, bagaimana Islam menjadi “langit
tentang hubungan antara identitas dan agama. suci” yang mampu membentuk komitmen dan
Hans Mol mengemukakan empat kategori kebersamaan dalam kehidupan orang Bajo.
peranan agama dalam masyarakat, yang pada Akhirnya, bagaimana secara umum Islam
gilirannya juga menentukan dalam pembentukan menjadi sebuah “sakralisasi identitas” orang
identitas. Pertama, agama berperan dalam Bajo. Semua kerangka teori inilah yang akan
dramatisasi dialektika hal-hal yang mendasar digunakan untuk meninjau naskah Lontarak
dalam masyarakat. Hal tersebut lazim diketahui Assalenna Bajo.
sebagai mitos dalam bentuk keyakinan primitif
dan kebijaksanaan moral, teologi dalam agama- Naskah Lontarak Assalenna Bajo
agama dunia, dan ideologi dalam bentuk sekuler. Naskah Lontarak Assalenna Bajo secara
Mitos, teologi, dan ideologi menyediakan suatu harfiah berarti “Lontarak tentang asal-usul suku
“petunjuk” bagi individu dan masyarakat untuk Bajo”. Naskah ini ditemukan di masyarakat Bajo
kehidupan yang lebih baik (Mol, 1986: 66). di Kecamatan Lasolo, Kabupaten Kendari,
Kedua, agama membuat suatu keteraturan Provinsi Sulawesi Tenggara, dan salinannya telah
transendental dalam masyarakat. Semakin disimpan di Museum Negeri Sulawesi Tenggara
kompleks sebuah masyarakat, diperlukan suatu di Kendari. Naskah aslinya sendiri ternyata telah
“langit suci” (sacred canopy) yang lebih luas lapuk dimakan usia. Naskah ini ditulis di atas
untuk menjamin keteraturannya. Fungsi ini kertas dengan huruf Lontarak dan Arab, dalam
berkaitan dengan menjamin keadilan, keutuhan, bahasa Bugis-Makassar dan Arab, berbentuk
dan kelangsungan identitas sosial. (Mol, 1986: prosa (Anwar, 2000). Nama “lontarak” sendiri
68).

18
Benny Baskara -- Manifestasi Identitas Islam Suku Bajo
dalam Naskah Lontarak Assalenna Bajo

adalah nama aksara atau huruf yang digunakan manusia yang ada di muka bumi ini. Ayat kedua
dalam naskah-naskah kuno berbahasa Bugis- berbunyi sebagai berikut:
Makassar, yang kemudian umumnya juga “… Naiyya ri munrinna adaE. IyyanaE,
dijadikan sebagai nama depan sebuah naskah. poadaadangngi, sure’ lontaraE ri onro
Naskah Lontarak Assalenna Bajo yang ditelaah marippeE, ri asengngE mula tau. Neneeta Adang
dalam makalah ini adalah naskah yang telah nennia neneeta Hawa iyyanatu riasengngi Opu
diterjemahkan dan dialihaksarakan oleh Anwar Sengngeng mallai bine.”
(2000) ke dalam Bahasa Indonesia dengan huruf Terjemahan ayat tersebut (Anwar, 2000) sebagai
Latin. berikut:
Adapun metode yang digunakan adalah “Inilah yang membahas, surat lontarak dalam
metode analisis-deskriptif- interpretatif. Naskah keadaan ringkas, mengenai asal-usul manusia
Lontarak Assalenna Bajo ditelaah dan dianalisis pertama. Nenek kita Adam dan Hawa, yang
untuk mengetahui bagian-bagian atau ayat-ayat disebut penghuni pertama bumi suami istri”.
yang mengandung nilai-nilai keislaman atau Kemudian dilanjutkan dengan ayat ketiga sebagai
bernuansa ajaran Islam. Bagian-bagian atau ayat- berikut:
ayat tersebut kemudian dideskripsikan, diuraikan, “Iyyana mula-mula ri paturung ri linoE,
dan diberikan penjelasan-penjelasan seputar maddeppaE, ri lapatella, nakonna
konteks ayat-ayat atau bagian-bagian tersebut. riapanritannaE ri ware, nainappa ri paturung ri
Selanjutnya, dilakukan interpretasi atau tanaE…”
penafsiran dari bagian-bagian atau ayat-ayat Terjemahannya (Anwar, 2000) sebagai berikut:
tersebut dengan kerangka teori-teori tentang “Dialah yang pertama diturunkan di dunia yang
identitas, untuk menjelaskan bahwa Islam telah berkembang biak, karena kemuliaannya
menjadi bagian yang penting dalam identitas ditempatkan di atas, kemudian diturunkan di
bumi…”
masyarakat Bajo.
Dari ketiga ayat yang dikutip di atas, jelaslah
Nilai-nilai Islam yang termuat dalam bahwa orang Bajo mengakui bahwa mereka
adalah orang Islam, yang berarti bahwa Islam
Naskah Lontarak Assalenna Bajo menjadi bagian yang penting dalam identitas
Manifestasi keyakinan Islam masyarakat mereka. Namun demikian, tidak dapat diketahui
Bajo yang tertuang dalam naskah Lontarak dengan pasti kapan Islam pertama kali masuk dan
Assalenna Bajo dimulai dari ayat yang pertama, dianut oleh orang Bajo. Dalam naskah Lontarak
yaitu pengakuan dan pujian kepada Allah, Tuhan Assalenna Bajo sendiri tidak disebutkan kapan
Yang Maha Tinggi dan Nabi Muhammad sebagai orang Bajo pertama kali memeluk Islam.
utusan Allah. Walaupun demikian, kita bisa melihat pada
Bunyi ayat pertama tersebut sebagai berikut: konteks naskah tersebut, sehingga kemungkinan
“Naiyya sininna pappujie, koi ri puwang Allahu orang Bajo memeluk Islam karena pengaruh dari
Taalaa, engrengngE ri suroona Muhammad kerajaan-kerajaan di sekitarnya.
Sallallahu Alaihi Wasallama.”
Konteks naskah Lontarak Assalenna Bajo
Terjemahan dari ayat tersebut (Anwar, 2000) sendiri ditulis sekitar abad ke-16 hingga ke17 di
adalah: wilayah BajoE, perkampungan masyarakat Bajo
“Segala puji bagi Allah Yang Maha Tinggi dan di teluk Bone, yang dahulu merupakan wilayah
Rasul-Nya Muhammad Sallallahu Alaihi kerajaan Bone. Oleh karena itu, kemungkinan
Wasallam”.
masyarakat Bajo memeluk Islam karena pengaruh
Ayat pertama sebagai pembuka naskah tersebut dari kerajaan Bone. Dalam naskah “Lontarak
mencerminkan suatu ikrar keimanan kepada Assalenna Bajo” ayat 249 disebutkan:
Tuhan Allah dan Rasul-Nya Muhammad, yang … salama naengkangngE tturung pole ri Mekka
mencerminkan ucapan dua kalimat syahadat ri ammulangenna asengngE Syaehe Al-Hajji
sebagai tanda keislaman seseorang yang paling Yusupu, iyyana ammulangenna mappaselleng,
mendasar, sekaligus merupakan Rukun Islam pasellengngi to Bone nadipoanreguru tooni Petta
yang pertama. MatinroE ri Rompegading, iyya toona ripatettong
Ayat kedua menyatakan bahwa orangorang Kali ri Bone nariasenna Mupeti Yusupu.
Bajo itu adalah keturunan Nabi Adam dan Siti Terjemahannya (Anwar, 2000) sebagai berikut:
Hawa, yaitu manusia yang pertama menurut “… selamat kedatangan dari Mekah pada saat
ajaran Islam dan sebagai nenek moyang seluruh pertama kalinya seorang yang bernama Syeh Haji

19
Kawistara, Vol. 1, No. 1, April 2011: 15-27

Yusuf, dialah yang pertama kali menyebarkan narape’si riatettongenna paimeng TanaE ri
Islam, mengislamkan Bone dan menjadi guru BajoE.”
Petta MatinroE ri Rompegading, dia pula Terjemahannya (Anwar, 2000) sebagai berikut:
diangkat menjadi Kadhi di Bone dan diberi gelar “Mereka berlayar menuju ke Bone, sampailah
Mufti Yusuf.” mereka di tempat semula, datang pula Lolo dan
Setelah kita mengetahui bahwa yang Ponggawa Bajo di sebelah timur Cellu, mereka
menyebarkan Islam pertama kali di kerajaan Bone bermukim membangun rumah, berkembanglah
adalah Syeh Haji Yusuf, keterangan selanjutnya agama, datanglah tuan-tuan orang Arab
yang tercantum dalam ayat 250 sebagai berikut: menyebarkan tarekat (Islam), ramailah jamaah
Riwetu mappasellenna ri Bone, nauttama selleng shalat, dihilangkanlah BissuBissu (dukun
Karaeng 1016 Hujerana Nabitta SAW, nauttama tradisional) dan persembahan, serta minuman
selleng to SoppengngE 1018 Hujerana Nabitta arak, dan hilanglah yang demikian itu, dan
SAW, nauttama selleng to WajoE 1019 Hujerana dikembangkan pula adat tradisi orang Bajo di
Nabitta SAW, nauttama selleng to Bone 1020 kampung yang diberikan oleh Petta MatinroE ri
Hujerana Nabitta SAW … Rompegading, maka bangkitlah kembali
Terjemahannya (Anwar, 2000) sebagai berikut: eksistensi negeri BajoE.”
Dari ayat di atas, tampak bahwa setelah Islam
“Pada saat mengislamkan Bone, setelah
masuknya Islam Raja Gowa tahun 1016 Hijriah disebarkan oleh ulama-ulama dari Arab, tradisi-
(Nabi SAW), masuknya Islam orang Soppeng tradisi yang bertentangan dengan ajaran Islam
tahun 1018 Hijriah, masuknya Islam orang Wajo dilarang. Namun demikian, adat tradisi yang lain
tahun 1019 Hijriah, masuknya Islam orang Bone juga dikembangkan dan didukung oleh Raja
tahun 1020 Hijriah …” Bone, Petta MatinroE ri Rompegading, sehingga
Dari ayat di atas, diketahui bahwa Islam masuk ke kehidupan masyarakat Bajo lebih berkembang.
kerajaan Bone adalah yang terakhir (tahun 1020 Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa ajaran
H), setelah Islam lebih dahulu masuk ke kerajaan- Islam bisa masuk dan berpadu dengan tradisi
kerajaan sekitarnya, yaitu Gowa tahun 1016 H, orang Bajo, dan bentuk perpaduan tersebut turut
Soppeng 1018 H, dan Wajo 1019 H. Bila disebarluaskan melalui kekuasaan oleh Raja
diperhitungkan dengan tahun Masehi, maka Bone, Petta MatinroE ri Rompegading, kepada
periode tersebut adalah antara 1595 M sampai seluruh rakyatnya, termasuk orang-orang Bajo.
1600 M, atau pada penghujung abad ke-16 dan Perpaduan antara ajaran Islam dengan nilai-
memasuki abad ke-17. Dari keterangan tersebut, nilai tradisional masyarakat Bajo telah terjalin
bisa diduga bahwa Islam masuk ke suku Bajo erat dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-
pada periode-periode ini, karena interaksi mereka hari orang Bajo sebagai norma-norma dan tata
dengan orang-orang darat. Khusus untuk aturan hidup yang harus dipatuhi. Di samping
masyarakat Bajo di BajoE, bisa diduga Islam memuat sejarah kehidupan, tata kekuasaan dan
masuk pada sekitar abad ke17, karena pengaruh sosial kemasyarakatan, naskah Lontarak
dari kerajaan Bone. Assalenna Bajo juga memuat aturan-aturan
Proses penyebaran Islam di kalangan hukum yang berlaku di masyarakat Bajo. Di
masyarakat Bajo juga tidak ditulis secara antara aturan-aturan tersebut, yang menunjukkan
terperinci dalam Lontarak Assalenna Bajo. Hanya pengaruh ajaran Islam yang cukup kuat adalah
disebutkan bahwa ulama-ulama dari tanah Arab aturan-aturan tentang tata cara perkawinan. Salah
datang menyebarkan Islam, dan setelah Islam satu dari beberapa ayat yang menyebutkan
menyebar, minuman keras, sesajian, dan dukun tentang aturan-aturan dalam perkawinan adalah
tradisional dilarang. Hal tersebut disebutkan ayat 428 yang tertulis sebagai berikut:
dalam ayat 228 sebagai berikut: Sibuangessi gau, ripassalenna gau abbainengngE
“Napada sempe’na lao muttama ri Bone, napada ri sesena sompaE komui riabbatireng
tanraapiina ri pada onro-onronna, naengka ammanarengngE pada rialena ripatuttungi
toona LoloE sibawa Ponggawa Bajo alauuna poasengngE sompa, iyyagi na 88 (aruwa polona
Cellu, napada marape’na pada mabbola, aruwa) iyyagi na 77 (pituppulo pitu) iyyagi na 66
namajere’na agamaE napada engkana tuwan- (enneppulona enneng) iyyagi na 44 (patappulo
tuwan Ara’E mappattareka, namajere’na eppaa) iyyagi na 22 (duwappulo duwa) iyyagi na
berejama’E, naripeddenni bissu-bissuE nennia 11 (seppulo seddi). Nako sompa 88 (aruwa
massoro-soroE, nennia tua paiE napada dee polona aruwa), AdeE makeppunna 8 (aruwa)
manenni sikuwaero, nariesseriattoni paimeng rellana, nako sompa 44 (patappulo eppaa), AdeE
ade abbiasangenna BajoE ri kampong makeppunna 4 (eppaa) rellana, nako sompa 22
kasiwingngE ri Petta MatinroE ri Rompegading,

20
Benny Baskara -- Manifestasi Identitas Islam Suku Bajo
dalam Naskah Lontarak Assalenna Bajo

(duwappulo duwa), AdeE makeppunna 2 (duwa) pada zaman dahulu putri raja Malaka hilang dan
rellana …. tenggelam di laut ketika sedang berlayar. Raja
Terjemahannya (Anwar, 2000) sebagai berikut: Malaka memerintahkan para prajurit untuk
“Suatu perbuatan tentang perkawinan sekitar mencari putrinya yang hilang itu, dan melarang
mahar yang tergantung pada strata keturunan mereka kembali jika tidak menemukannya. Para
yang diikuti dengan mahar, apakah 88, atau 77, prajurit sudah mencari ke berbagai penjuru namun
atau 66, atau 44, atau 22, atau 11. Jika mahar 88 tidak menemukan putri Sang Raja, dan
adat memperoleh bagian 8 real, jika mahar 44 adat memutuskan tidak kembali ke kerajaan karena
memperoleh 4 real, jika mahar 22 adat
memperoleh 2 real ...”
takut akan hukuman dari raja. Mereka memilih
mengembara di lautan lepas, dan mereka inilah
Dari ayat tersebut bisa diketahui bahwa dalam yang menjadi cikal-bakal suku Bajo (Anwar,
perkawinan pihak laki-laki harus membayar 2007).
mahar atau maskawin kepada pihak perempuan, Dugaan yang lebih dekat secara historis
seperti yang diwajibkan oleh ajaran Islam. adalah ketika Malaka ditaklukkan oleh Portugis
Besarnya nilai mahar tergantung dari status sosial pada awal abad ke-16, beberapa prajurit kerajaan
pihak laki-laki, yang menunjukkan kemampuan Malaka menolak untuk menyerah kepada Portugis
untuk membayarnya. Jumlah mahar adalah dan memilih untuk mengembara di lautan lepas.
kelipatan sebelas (88, 77, 66, 44, 22), dan adat Inilah asal-usul persebaran orang laut atau orang
memperoleh sekitar sepuluh persen dari jumlah Bajo ke berbagai wilayah perairan Nusantara dan
mahar tersebut. Nilai mahar dihitung dengan sekitarnya (Anwar, 2007). Namun demikian,
standard mata uang real, yaitu mata uang Arab, Lapian mempunyai pendapat lain. Menurutnya,
yang menunjukkan adanya pengaruh budaya penyebaran orang laut atau orang Bajo yang
Arab. umumnya mengarah ke timur perairan Nusantara
bukan karena penaklukan Portugis, namun karena
Islam Sebagai Identitas Suku Bajo konflik internal kerajaan Malaka sendiri. Para
Islam telah menjadi bagian penting dalam prajurit yang tidak ingin terlibat dan memihak
identitas budaya orang Bajo, yang terbukti dari siapa pun dalam konflik politik memilih untuk
ayat-ayat dalam naskah Lontarak Assalenna Bajo mengembara di lautan, terutama menuju ke arah
yang diwarnai oleh nilainilai ajaran Islam sebagai timur (Lapian, 2009: 106).
buah pikiran orang Bajo dalam melukiskan Berdasarkan dugaan bahwa orang Bajo
kehidupan mereka. Meskipun Islam telah berasal dari Malaka atau Johor di Semenanjung
diterima oleh masyarakat Bajo sebagai Malaya, maka implikasinya adalah mereka sudah
identitasnya, namun penerimaan ajaran Islam lebih dulu menganut Islam sebelum menjadi suku
tersebut tentu tidak terjadi dengan serta merta. pengembara laut, mengingat Malaka adalah
Penerimaan Islam oleh masyarakat Bajo tentu sebuah kerajaan Islam atau kesultanan. Dengan
melalui proses negosiasi dan perkembangan demikian, mereka membawa serta identitas
terus-menerus, dalam rangka proses pembentukan keislamannya ke mana pun mereka mengembara,
dan pembangunan identitas mereka. Proses hingga akhirnya bermukim di tepi-tepi pantai atau
negosiasi ini yang terpenting adalah proses gugusan karang di berbagai wilayah perairan.
negosiasi antara penerimaan nilainilai Islam Namun demikian, salah satu catatan Lapian
dengan kepercayaan tradisional (indigenous (2009: 109) menyebutkan bahwa orang-orang laut
belief) mereka sebagai suku laut, dan proses ini telah menyebar ke arah timur dari Johor ke
interaksi dengan masyarakat di luar mereka, yaitu wilayah kepulauan Sulu, Filipina, sebelum Islam
dengan orang-orang darat. Oleh karena itu, perlu masuk ke wilayah tersebut, sehingga orang-orang
dilihat konteks sejarah kehidupan orang Bajo, laut ini memeluk Islam karena pengaruh dari
termasuk tentang asal-usulnya, untuk mengetahui orangorang Sulu.
proses pembentukan identitasnya. Dugaan bahwa nenek moyang orang Bajo
Dalam beberapa penelitian tentang berasal dari Semenanjung Malaya dibantah oleh
masyarakat Bajo, didapati bahwa dalam legenda Horst (Hope, 2001), yang menyatakan bahwa
dan cerita rakyat Bajo, orang Bajo mengaku orang Bajo mengaku nenek moyangnya berasal
bahwa nenek moyang mereka dahulu berasal dari dari Johor karena mereka mengalami tekanan dari
Johor di Semenanjung Malaya (McAllister, 1996; kesultanan di sekitarnya. Ia memberi contoh
Hope, 2001; Anwar, 2007; Zacot, 2008; Lapian, seperti orang Bajo di Sulu yang mendapat tekanan
2009). Dalam legenda tersebut dikisahkan bahwa dari kesultanan Tausug, sehingga mereka

21
Kawistara, Vol. 1, No. 1, April 2011: 15-27

merujukkan nenek moyangnya kepada kesultanan Apabila ditelusuri lebih jauh, ternyata kisah
yang lebih tua dan lebih kuat, yaitu kesultanan tentang tumbangnya pohon besar dan terjadinya
Johor. Selanjutnya, Horst merujuk kepada banjir besar yang menjadi asalusul orang Bajo ini
penelitian Pallesen (1985) yang menyebutkan dekat dengan kisah Sawerigading yang berasal
bahwa berasal dari rumpun bahasanya, yaitu dari masyarakat Bugis (Hope, 2001). Lebih jauh,
bahasa proto-Sama, orang-orang Bajo ini berasal kisah tentang asal-usul sebuah suku atau
dari Filipina. Mereka menyebar ke selatan ke kelompok etnis yang berasal dari sebuah banjir
wilayah perairan Sulawesi dari Filipina. Karena besar juga didapati di beberapa kelompok etnis di
dugaan nenek moyang orang Bajo berasal dari Asia Tenggara (Nghiem, 1993). Oleh karena itu,
Semenanjung Malaya dibantah, maka dugaan secara tidak langsung, orang-orang Bajo ingin
bahwa orang-orang Bajo telah memeluk Islam memosisikan identitas diri mereka sejajar dengan
sebelum mereka menjadi pengembara laut juga orang-orang darat di sekitarnya dengan
terbantahkan. Dengan demikian, orang-orang mengonstruksikan bahwa asal-usul identitas
Bajo ini memeluk Islam karena pengaruh dari mereka itu satu rumpun dengan orang Bugis
kesultanan atau orang-orang darat di sekitarnya. (kisah Walenreng dan Sawerigading), orang
Di sisi lain, Lapian (2009: 111) juga Melayu (asal-usul dari Semenanjung Malaya),
mengemukakan pendapat yang mendukung, yaitu dan orang Islam pada umumnya (sebagai anak-
bahwa orang-orang Bajo di perairan Bone dan cucu Adam). Itulah mengapa McAllister (1996)
Teluk Tomini lebih berorientasi ke kerajaan mengatakan bahwa sesungguhnya asal-usul orang
Bone. Dalam naskah Lontarak Assalenna Bajo Bajo ini tetaplah sebagai sebuah spekulasi.
sendiri disebutkan bahwa orang-orang Bajo Walaupun orang Bajo mengidentifikasi diri
berasal dari daerah Ussu di Luwu, Sulawesi sebagai orang laut, namun kehidupan mereka
Selatan. Pada suatu ketika, sebuah pohon besar tidak bisa dipisahkan sama sekali dari daratan.
yang disebut Walenreng ditebang sehingga Orang Bajo tetap membutuhkan bahan makanan
mengakibatkan banjir besar yang membuat para pokok, seperti beras, sagu, atau umbi-umbian, air
penduduknya mengungsi, termasuk orangorang tawar, dan kayu bakar, yang hanya bisa diperoleh
Bajo yang dipimpin oleh Ipapu hanyut ke laut dan dari daratan. Sementara itu, orang darat tetap bisa
akhirnya terdampar di kerajaan Gowa. Kutipan hidup tanpa mengandalkan hasil-hasil laut yang
peristiwa tersebut termuat dalam ayat 8 dan 9 menjadi hasil utama dan mata pencaharian orang
sebagai berikut: Bajo. Dengan keadaan seperti ini, maka posisi
8. “… Ipapu ritubbangngi WalenrengngE tawar orang Bajo menjadi lebih lemah
nalempe…” dibandingkan dengan orang darat, karena
9. “Nasiappimalirenna ri lauu…” bagaimana pun juga ketergantungan mereka
Terjemahannya (Anwar, 2000) sebagai berikut: kepada daratan lebih tinggi dibandingkan orang
8. “…Ipapu menyatakan bahwa pohon darat yang tidak terlalu bergantung kepada lautan
Walenreng telah ditebang dan terjadi banjir…” (Ahimsa-Putra, 2006: 214).
Lemahnya posisi tawar orang Bajo bila
9. “Banyak yang hanyut ke laut…” Namun
dibandingkan dengan orang darat ini antara lain
demikian, istilah walenreng sendiri bisa diartikan
dilukiskan oleh McAllister (1996) bahwa orang-
sebagai runtuhnya sebuah kerajaan, yang dalam
orang Bajo cenderung meminta perlindungan
proses keruntuhannya itu terjadi pertumpahan
kepada kesultanan di sekitar tempat mereka
darah yang membuat banyak penduduk
bermukim dari serangan bajak laut. Dalam naskah
mengungsi (Anwar, 2006: 1). Karena peristiwa
Lontarak Assalenna Bajo sendiri disebutkan
tersebut, orang Bajo mengungsi ke kerajaan
bahwa orang Bajo harus memberikan kasiwiang
Gowa, bahkan salah seorang putri bangsawan
atau persembahan kepada Raja Bone sebanyak
Bajo diperistri oleh Raja Gowa. Ketika kerajaan
satu pikul atau satu perahu penuh. Mengenai
Gowa ditaklukkan oleh kerajaan Bone, orang
kasiwiang tersebut disebutkan dalam ayat 349
Bajo memilih untuk tunduk kepada Raja Bone.
sebagai berikut:
Oleh Raja Bone, mereka diberi tempat di pesisir “Nakkeda Ilolo ri ana-eppona maegaE napada
timur kerajaan Bone, yang diberi nama BajoE mabberena tassikappala’na, gennei sipikulu
(Anwar, 2006: 2). Kemungkinan orang laut ini napaenre’ni Ilolo ri Bone tanraapii ri Puwanna,
disebut orang “Bajo” karena berasal dari nama makkoniro rimula-appongenna ri kasiwiang
tempat “BajoE” yang diberikan oleh Raja Bone sisengngE…”
tersebut.
Terjemahannya (Anwar, 2000) sebagai berikut:

22
Benny Baskara -- Manifestasi Identitas Islam Suku Bajo
dalam Naskah Lontarak Assalenna Bajo

“Berkata Lolo (pemimpin Bajo) kepada anak Opapu oh Mbo Ma Dilao


cucunya yang banyak, maka mereka Ombotumbira
masingmasing memberi satu kapal, setelah cukup Daha aku
sepikul dibawalah Lolo naik ke Bone di hadapan Sasapata madilao
Baginda (Raja), demikianlah asal-usul (Bismillahirrahmanirrahim Oh Tuhan,
persembahannya…” Oh Mbo Ma Dilao dan wakilnya
Dengan lemahnya posisi tawar orang Bajo di jangan saya ditegur dan jangan saya
hadapan orang darat, maka keadaan tersebut diganggu di laut)
memaksa mereka untuk menerima berbagai
Sebagaimana tersebut dalam mantra di atas,
pengaruh dari darat. Penyerahan kasiwiang atau
ucapan “Bismillahirrahmanirrahim” berpadu
persembahan kepada Raja Bone menunjukkan
dengan permohonan kepada Mbo Ma Dilao, yang
adanya kepatuhan orang Bajo terhadap aturan-
menunjukkan adanya sinkretisme antara
aturan yang ditetapkan oleh kerajaan di
keyakinan tradisional masyarakat Bajo dengan
sekitarnya. Apabila kerajaan di sekitarnya
ajaran Islam.
tersebut adalah sebuah kesultanan yang
Demikianlah, bentuk sinkretisme antara
menetapkan nilainilai ajaran Islam dalam aturan-
keyakinan tradisional dan ajaran Islam tersebut
aturannya, maka aturan-aturan itu juga harus
menunjukkan adanya suatu proses negosiasi serta
dipatuhi oleh orang-orang Bajo. Dari sinilah
penerimaan atas ajaran-ajaran Islam dalam
kemungkinan besar orang-orang Bajo
konstruksi identitas masyarakat suku Bajo, dalam
mendapatkan pengaruh ajaran Islam ke dalam
hubungannya dengan lingkungan hidupnya
kehidupannya.
sebagai orang laut, dan juga dalam hubungannya
Sebelum mendapatkan pengaruh ajaran
dengan lingkungan sosialnya, khususnya ketika
Islam, masyarakat Bajo telah mempunyai
mereka berhubungan dengan orang-orang darat.
keyakinan tradisional mereka sendiri (indigenous
Dari gambaran tersebut, tampak peran Islam
belief), yang ajaran-ajarannya tertuang dalam
sebagai identitas orang Bajo yang strategis dan
adat, tradisi, dan ritual-ritual tradisional mereka.
posisional seperti pendapat Hall (1996). Islam
Bentuk keyakinan tradisional masyarakat Bajo ini
merupakan salah satu strategi orang Bajo dalam
antara lain adanya keyakinan spiritual terhadap
mempertahankan hidupnya, yaitu dengan
penguasa laut yang diistilahkan sebagai Mbo Ma
mengadopsi nilai-nilai Islam yang berasal dari
Dilao. Sebelum pergi melaut, masyarakat Bajo
darat ketika mereka harus berhubungan dengan
umumnya membaca mantra-mantra tertentu
orang darat. Secara posisional, orang Bajo tampil
untuk memohon keselamatan dan hasil laut yang
memosisikan diri sebagai orang Islam ketika
banyak kepada Mbo Ma Dilao. Selain itu,
berhubungan dengan orang darat, sehingga
masyarakat Bajo juga melakukan ritual dan
mereka lebih mudah diterima. Di sinilah tampak
membaca mantra-mantra untuk memohon
jelas bahwa konstruksi identitas masyarakat Bajo
kesembuhan kepada Mbo Ma Dilao ketika ada
juga ditentukan oleh lingkungan sosialnya, seperti
anggota masyarakat yang sakit, dan juga untuk
pendapat Sen (2006) serta Berger dan Luckmann
memohon perlindungan dan kesejahteraan.
(1966), yaitu ditentukan oleh hubungan mereka
Setelah mendapatkan pengaruh dari ajaran
dengan orang darat. Identitas keislaman orang
Islam, masyarakat Bajo kemudian
Bajo juga selalu mengalami proses negosiasi
menegosiasikan dan memadukannya dengan
(Hall, 1996) atau dialektika (Berger dan
keyakinan tradisional mereka, sehingga bentuk-
Luckmann, 1966), yaitu ke dalam berdialektika
bentuk ritual dan mantra-mantra tersebut menjadi
dengan keyakinan tradisional masyarakat Bajo,
wujud perpaduan antara nilai-nilai ajaran Islam
dan ke luar berdialektika dalam hubungan dengan
dengan keyakinan tradisional mereka. Oleh
orang-orang darat.
karena itulah sebenarnya keberagamaan orang
Dalam kerangka teori Hans Mol (1986),
Bajo ini merupakan suatu bentuk sinkretisme
Islam merupakan bentuk sakralisasi identitas
antara keyakinan tradisional mereka dengan
masyarakat Bajo, yang menjamin ikatan sosial di
ajaran-ajaran Islam (Stacey, 2007). Contohnya
dalam masyarakat Bajo maupun hubungannya
adalah salah satu bentuk mantra memohon
dengan orang-orang darat. Bentuk sakralisasi
keselamatan yang diucapkan menjelang pergi
identitas tersebut antara lain: (1) Islam
melaut sebagai berikut (dikutip dari Uniawati,
menyediakan nilai-nilai yang bisa menjadi
2006):
petunjuk hidup bagi masyarakat Bajo; (2) Islam
Bismillahirrahmanirrahim menjadi dasar bagi aturan-aturan yang berlaku di

23
Kawistara, Vol. 1, No. 1, April 2011: 15-27

dalam masyarakat Bajo, di antaranya adalah Anwar, 2007, Etnik Bajo: Bermula dari Prajurit
aturan tentang perkawinan; ketiga, Islam mampu Kerajaan, Melayu Online: www.
mengembangkan keterikatan emosional, melayuonline.com
komitmen, dan kebersamaan di dalam masyarakat Anwar, 2006, Kajian Pendidikan dan
Bajo maupun dalam hubungannya dengan orang Kebudayaan Bajo, Tinjauan Historis dan
darat sebagai sesama Kontemporer, makalah Seminar
Muslim; (3) bentuk sakralisasi identitas tersebut Perumusan Naskah Sejarah (tidak terbit),
telah tertuang dalam naskah Lontarak Assalenna Kendari: Universitas Haluoleo.
Bajo sebagai catatan dan ungkapan masyarakat
Bajo tentang kehidupan mereka sendiri. Berger, P. dan Luckmann, T., 1966, The Social
Construction of Reality, New York:
Anchor Book.
SIMPULAN
Chou, C., 2003, Indonesian Sea Nomads, London:
Islam telah menjadi bagian penting dalam
IIAS-RoutledgeCurzon.
identitas budaya suku Bajo, baik tercermin dalam
Hall, S., 1996, “Who Needs Identity?”, dalam
kehidupan mereka sehari-hari maupun yang
Hall, S. dan du Gay, P. (eds), Questions of
tercantum dalam naskah Lontarak Assalenna
Cultural Identity, London: Sage
Bajo sebagai bentuk kearifan budaya Bajo yang
Publications.
berisi catatan tentang kehidupan masyarakat Bajo
yang ditulis oleh mereka sendiri. Ikrar keyakinan Hope, S., 2001, Outcasts of the Islands, London:
pada Tuhan Allah dan Nabi Muhammad serta HarperCollins Publishers.
pengakuan Adam dan Hawa sebagai nenek Lapian, A.B., 2009, Orang Laut, Bajak Laut, Raja
moyang mereka dalam naskah tersebut Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi
menunjukkan keimanan orang Bajo terhadap Abad XX, Jakarta: Komunitas Bambu.
ajaran Islam. Lebih jauh, nilai-nilai ajaran Islam Liliweri, A., 2002, Makna Budaya dalam
juga telah menjadi dasar bagi aturan-aturan yang Komunikasi Antarbudaya, Yogyakarta:
berlaku dalam masyarakat Bajo, salah satunya
adalah mengenai aturan tentang perkawinan. LKIS.
Walaupun Islam telah diterima oleh Marihi, L., 2007, Kepemimpinan Kepala
masyarakat Bajo, proses penerimaan tersebut Madrasah Tsanawiyah Mantigola dalam
tidak terjadi begitu saja, namun melalui proses Membina Hubungan Sekolah Dengan
negosiasi dan perkembangan terusmenerus. Masyarakat Bajo, M.A. Tesis (tidak
Orang Bajo memang bukan orang Islam dari awal terbit), Kendari: Universitas Haluoleo.
sebelum mereka menjadi pengembara laut, McAllister, K.E., 1996, Ethnic Identity and
namun mereka menerima pengaruh Islam dari Changing Relations of Dependency
orang-orang darat di sekitarnya, sebagai akibat Among the Bajo Fishers of Central
hubungan antara orang Bajo dengan orang darat. Sulawesi, Disertasi (tidak terbit), Halifax,
Dalam konteks naskah Lontarak Assalenna Bajo, Nova Scotia: Dalhousie University.
yang ditulis oleh orang Bajo di BajoE di perairan Mol, H., 1986, “Religion and Identity: A Dialectic
teluk Bone, masyarakat Bajo menerima pengaruh Interpretation of ReligiousPhenomena”,
Islam dari hubungannya dengan orang-orang dari dalam Hayes, V.C. (ed.), Identity Issues
kerajaan Bone. and World Religions, Bedford Park,
Australia: Australian Association for the
Study of Religion.
DAFTAR PUSTAKA Nghiem, D.V., 1993. “The Flood Myth and the
Ahimsa-Putra, H.S., 2006, Strukturalisme Levi- Origin of Ethnic Groups in Southeast
Strauss, Yogyakarta: Kepel Press. Asia”, Journal of American Folklore, Vol.
Anonim, Lontarak Assalena Bajo, terjemahan 106, No. 421: 304-337.
Anwar, 2000, Jakarta: Program Nimmo, H.A., 1972, The Sea People of Sulu: a
Penggalakan Kajian Sumber-sumber Study of Social Change in the Philippines,
Tertulis Nusantara, Ditjen Dikti San Fransisco, USA: Chandler Publishing
Depdiknas. Company.

24
Benny Baskara -- Manifestasi Identitas Islam Suku Bajo
dalam Naskah Lontarak Assalenna Bajo

Nimmo, H.A., 2001, Magosaha: an Ethnology of


the Tawi-tawi Sama Dilaut, Manila, the
Philippines: Atteneo de Manila University
Press.
Pallesen, A.K., 1985, Culture Contact and
Language Convergence, Manila, the
Philippines: Linguistic Society of the
Philippines.
Sather, C., 1997, The Bajau Laut: Adaptation,
History, and Fate in a Maritime Fishing
Society of South-Eastern Sabah, Kuala
Lumpur, Malaysia: Oxford University
Press,
Sen, A., 2006, Identity and Violence, London:
Penguin Books.
Sopher, D.E., 1965, The Sea Nomads: a Study
Based on the Literature of the Maritime
Boat People of South East Asia,
Singapore: National Museum of
Singapore.
Uniawati, 2006, Fungsi Mantra Melaut pada
Masyarakat Suku Bajo di Sulawesi
Tenggara, Kendari: Kantor Bahasa
Provinsi Sulawesi Tenggara,.
Zacot, F.R., 2008, Orang Bajo, Suku Pengembara
Laut, terj. Fida Muljono dan Ida Budi
Pranoto, Jakarta: GramediaEFEO-FJP.

25

Anda mungkin juga menyukai