1. Kerjasama
Kerjasama adalah suatu wujud interaksi sosial antar individu atau antar
kelompok dalam suatu masyarakat untuk mencapai tujuan bersama. Kerjasama
untuk mencapai tujuan bersama ini kemudian melahirkan dinamika sosial, baik
dinamika yang bersifat positif maupun negatif. Dalam proses interaksi sosial,
kerjasama berwujud dalam berbagai bentuk dan berbagai aspek. Kerjasama sangat
tergantung pada kebutuhan dan kepentingan dari individu yang terlibat interaksi.
Kerjasama bisa berwujud dalam bentuk yang positif dan juga bisa berwujud
dalam bentuk yang negatif. Kerjasama juga bisa meliputi semua aspek sosial dan
strata sosial.
Interaksi sosial yang terjadi di SMA Karuna Dipa tidak terlepas dari peran
para aktor sosial. Aktor-aktor sosial yang selalu terlibat dalam interaksi sosial di
sekolah tersebut seperti pengurus yayasan, kepala Sekolah, guru, tenaga
kependidikan lainnya, organisasi siswa inter sekolah,
mereka dalam interaksi sosial adalah untuk mencapai tujuan bersama, yakin
terwujudnya lembaga pendidikan yang berkualitas, sehingga dapat mencapai
tujuan pendidikan nasional, maupun tujuan institusional yang telah dirumuskan
oleh yayasan, dan pihak sekolah berupa visi dan misi sekolah.
Berdasarkan catatan dokumen yang diperoleh di lapangan penelitian,
bahwa visi dan misi sekolah SMA Karuna Dipa adalah sebagai berikut:
Berdasarkan visi dan misi SMA Karuna Dipa, dapat dikemukakan lebih
lanjut, bahwa visi dan misi utama sekolah tersebut, adalah mewujudkan
sekolah yang unggul dengan prestasi peserta didik, yang berbasis pada
keimanan dan ketaqwaan. Ini menunjukkan bahwa SMA Karuna Dipa adalah
sekolah yang memiliki tujuan utama untuk mencerdaskan kehidupan bangsa
kegiatan akademik yang berkualitas, membangun keluhuran budi pekerti, dan
menyadari bahwa mereka berasal dari latar belakang sosial, ekonomi dan
agama yang berbeda. Rumusan visi dan misi sekolah, tidak hanya dirumuskan
oleh pihak sekolah dan guru, tetapi juga melibatkan pihak yayasan dan bahkan
peserta didik.
Rumusan visi dan misi sekolah dirumuskan secara bersama, sehingga
peserta yayasan, pimpinan sekolah dan guru serta peserta didik dituntut
bekerjasama dan memiliki tanggung jawab bersama dalam mencapai visi dan
misi tersebut. Dari kerjasama merumuskan visi dan misi itu terlihat, bahwa
tidak ada pihak yang memaksakan kehendak kepada pihak lain, semua pihak
memiliki kebebasan sekaligus tanggung jawab.
Secara lebih rinci ketua yayasan Karuna Dipa RBCR mengemukakan
bahwa:
Visi dan misi yang ada di sekolah ini (SMA Karuna Dipa, Pen.), dirumuskan
secara bersama oleh pihak yayasan, pihak sekolah dan peserta didik dan
bahkan masyarakat. Sebagai ketua yayasan saya tidak ingin memaksakan
kehendak saya pribadi. Itulah sebabnya walaupun sekolah ini didirikan oleh
yayasan Karuna Dipa yang berlatar belakang agama . Budha, namun sekolah
ini bukan sekolah misi untuk agama Budha. Begitu pula sebaliknya, sekalipun
pada umumnya guru yang ada di sekolah ini berlatar belakang agama Islam,
namun mereka juga tetap menghargai kehendak yayasan, sehingga mereka
juga terikat oleh ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh pihak
yayasan. Dengan pola kerjasama seperti ini, maka visi dan misi sekolah ini
lebih berorientasi kepada pengembangan akademik dan kecerdasan peserta
didik (Wawancara pada tanggal 12 Agustus 2014)
Visi dan misi yang ada di sekolah SMA Karuna Dipa, dirumuskan secara
bersama oleh pihak yayasan, melalui suatu musyawarah. Sekalipun rumusan
awalnya di rumuskan oleh kepala sekolah dan guru, namun rumusan itu
kemudian dibawah ke dalam forum musyawarah, yang dihadiri oleh pihak
yayasan, pimpinan sekolah, guru-guru dan masyarakat dan bahkan
perwakilan peserta didik. Dari hasil musyawarah itu, kemudian ditetapkan
rumusan visi dan misi sekolah dan disetujui oleh semua peserta rapat. Sebagai
kepala sekolah saya merasakan adanya kerjasama yang luar biasa, sehingga
rumusan visi dan misi sekolah disetujui oleh semua pihak secara sukarela,
karena dalam forum musyawarah itu, semua pihak dipersilahkan untuk
mengemukakan pendapatnya tentang rumusan visi dan misi yang ideal sesuai
dengan tujuan pendidikan dan misi para guru dan misi yayasan (Wawancara
12 Agustus 2014)
Dengan pola kerjasama yang demikian terlihat bahwa rumusan visi dan
misi SMA Karuna Dipa lebih menonjolkan misi akademik, dari pada misi
pengembangan agama tertentu. Dari visi dan misi itu menunjukkan bahwa
program utama SMA Karuna Dipa adalah untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa dan pembentukan kepribadian. SMA Karuna Dipa tidak berorientasi
sebagai lembaga- pendidikan dengan pengembangan dan misi agama tertentu,
sekalipun sekolah tersebut diarungi oleh yayasan dengan latar belakang agama
dan keyakinan tertentu. Tujuan utama sekolah adalah untuk mewujudkan
peserta didik yang tunduk dan patuh pada ajaran agama, sesuai keyakinan nya,
dengan kualitas keimanan dan ketaqwaan sebagai dasar untuk membangun
kepribadian
yang
luhur,
menunjukkan
prestasi
akademik,
serta
seorang
peserta
didik
di
EVSM,
depannya. Semua peserta didik dituntut untuk secara bersama meraih prestasi
sekaligus menjaga nama baik sekolahnya.
Di kalangan para guru juga dituntut untuk menunaikan tugas dan
tanggung jawabnya sebagai guru. Guru-guru di SMA Karuna Dipa dituntut
untuk menunaikan tugasnya sesuai dengan visi, misi dan tujuan dan program
sekolah. Menyangkut hal ini salah seorang guru berinisial ADTN
mengemukakan lebih lanjut, bahwa;
Semua guru-guru yang ada di SMA Karuna Dipa berkewajiban untuk
membimbing peserta didiknya agar meraih prestasi akademik sesuai visi, misi
dan tujuan penyelenggaraan pendidikan yang telah dirumuskan bersama. Para
guru
juga
dituntut
untuk
mengespresikan
dirinya
sesuai
dengan
kemampuannya. Dalam menjalankan tugas kami diikat oleh kode etik guru,
berbakti membimbing anak didik seutuhnya untuk membentuk manusia
pembangunan yang berjiwa Pancasila. Guru memiliki kejujuran profesional
dalam menerapkan kurikulum sesuai dengan kebutuhan anak didik masingmasing.
Guru
mengadakan
komunikasi
terutama
dalam
memperoleh
komunikasi tentang anak didik, tetapi menghindari diri dari kepentingan anak
didik. Pihak yayasan memberi kesempatan seluas-luas-nya kepada para guru
untuk mengeluarkan kemampuan terbaik nya dalam rangka untuk mengajar,
dan membimbing peserta didik. Penekanan utama yayasan adalah menjaga
kualitas lembaga pendidikan, penyelenggaraan pendidikan sesuai visi dan misi,
serta menjaga keharmonisan dan kerjasama antar semua pihak yang ada di
lingkungan SMA Karuna Dipa. (Wawancara, pada tanggal 3 September 2014)
kualitas pendidikan sesuai dengan visi dan misi sekolah yang telah dirumuskan
bersama. Secara berkala pihak yayasan mengunjungi sekolah untuk mengontrol
sekaligus memberi evaluasi, dan pada saat yang sama pihak sekolah
menunjukkan data-data atau paling tidak memberi informasi tentang berbagai
hal yang telah dicapai. Dengan kerjasama yang demikian terlihat bahwa
masing-masing pihak menunjukkan tanggung jawab yang sama dalam upaya
mencapai visi dan misi pendidikan.
Upaya kerjasama yang selalu dijalin oleh pihak yayasan, pihak sekolah
dan masyarakat tidak hanya dalam upaya untuk mencapai visi, misi dan tujuan
pendidikan, tetapi juga kerjasama dalam menumbuhkembangkan lembaga
pendidikan Karuna Dipa. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa
sekolah ini berada di bawah yayasan Karuna Dipa yang didirikan oleh
masyarakat penganut agama Budha. Yayasan ini pada awalnya adalah untuk
menyalurkan aspirasi masyarakat pemeluk agama Budha di Kota Palu agar
memiliki yayasan dan lembaga pendidikan sendiri, untuk mendidik anak-anak
mereka, karena mereka merasakan adanya kesulitan untuk mencari lembaga
pendidikan yang sesuai dengan keinginan dan aspirasi mereka.
Salah satu pengurus yayasan (Akog) mengemukakan bahwa;
Untuk menghimpun aspirasi dan menyatukan ummat Budha, maka tercatat
ide untuk mendirikan organisasi atau perkumpulan. Dari ide ini kemudian
dibentuk lah pengurus agama Budha Werawada, setelah organisasi ini
terbentuk maka terumuskan lagi ide untuk mendirikan lembaga pendidikan.
Karena untuk mendapatkan pendidikan yang sesuai dengan aspirasi kami
10
dipahami oleh masyarakat luas sebagai sekolah yang khusus bagi etnis
Tionghoa dan beragama Budha, padahal sebenarnya tidak demikian. Oleh
karena itu sebagai ketua yayasan saya selalu berharap kepada pihak sekolah
(pimpinan dan para guru) untuk selalu mensosialisasikan bahwa sekolah ini
terbuka untuk semua kalangan masyarakat dari berbagai etnis dan agama.
Karena dalam upaya untuk menumbuhkembangkan sekolah diperlukan
pengenalan secara terus menerus kepada pihak masyarakat, dan pada saat
yang sama pihak yayasan dan pihak sekolah dan masyarakat juga dituntut
untuk selalu membangun kerjasama yang harmonis, agar SMA Karuna Dipa
semakin di terima dan dikenal oleh masyarakat luas. (wawancara pada
tanggal 12 Juli 2014)
Dari keterangan di atas diperoleh makna yang jelas bahwa yayasan
Karuna Dipa membuka diri untuk menerima peserta didik dari berbagai pihak.
Keterbukaan dalam menerima peserta didik dan berbagai pihak merupakan
kebijakan ini harus disosialisasikan secara terus menerus baik oleh pihak
yayasan, pihak sekolah dan bahkan oleh pihak peserta didik kepada masyarakat
luas, sehingga persepsi dan anggapan yang selama ini berkembang secara
perlahan dapat dicicil dan masyarakat dapat menerima keberadaan yayasan
Karuna Dipa. Dengan keterbukaan yang selalu dijaga oleh pihak sekolah, guru
dan yayasan, juga memberi efek yang sangat positif bagi keberadaan SMA
Karuna Dipa. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa secara
geografis SMA karuna Dipa berada dalam wilayah yang selalu berkonflik, baik
konflik sosial atau berlatar belakang sosial ekonomi, maupun konflik yang
11
12
keamanan seperti ini pihak, sekolah, guru dan yayasan selalu berkonsentrasi
dan
bahkan
memiliki
kesempatan
yang
banyak
untuk
memikirkan
Bila saya memberikan tugas kelompok kepada mereka, ada ketentuan yang
harus dilaksanakan, seperti kelompok yang dibentuk haruslah kelompok
yang melibatkan semuanya, tidak melihat dari sisi etnik ataupun agama,
dengan cara mengurut kelompok berdasarkan nomor urut absen dan atau
berdasarkan hitungan deret meja, sehingga member peluang yang sama
kepada peserta didik berlainan etnik dan agama untuk bersatu dalam satu
13
kelompok. Hal ini saya maksudkan agar mereka terbiasa untuk bersama
dan terbiasa untuk bekerjasama dalam menyelesaikan tugas, sehingga
dapat tumbuh tanggung jawab bersama dalam menyelesaikan tugas, dan
dalam konteks yang lebih luas mereka dapat menyelesaikan masalah
secara bersama. Dengan tanggung jawab bersamanya tumbuh di kalangan
mereka, tugas dikumpul tepat pada waktu yang ditentukan (wawancara, 9
Mei 2014).
saya mengajarkan mata pelajaran Kimia dalam memberi tugas saya urut
melalui absen kadang dari urut nama yang terakhir, kadang ditengah,
terkadang juga dari urutan pertama, hal ini saya lakukan disamping untuk
menghindari kejenuhan siswa juga melihat bagaimana kerjasama mereka
dalam melaksanakan tanggungjawab yang diberikan, (wawancara, 11 Mei
2014).
Pengakuan kedua guru tersebut diperkuat oleh peserta didik yang
berinisial NOMS, dalam satu sesi wawancara sebagai berikut:
14
dan agama. Oleh guru, kami dibiasakan untuk terlibat menyelesaikan tugas
bersama, (wawancara, tanggal 11 Mei 2014).
Saya dan teman-teman selalu mengerjakan tugas dengan teman lain tanpa
melihat etnik dan agama, tugas biasa dikerjakan di kelas biasa juga
diselesaikan di rumah sesuai kesepakatan dengan guru kapan tugas tersebut
dikumpul. (wawancara pada tanggal, 10 September 2014).
Dari paparan guru dan peserta didik tersebut menggambarkan bahwa
ada kebiasaan yang selalu ingin ditumbuhkan di kalangan para peserta didik,
untuk selalu membiasakan mereka berkumpul atau berserikat dari berbagai
kalangan, agar tumbuh kebiasaan dan kesadaran bahwa berkumpul dan
berserikat dari berbagai etnik dan agama adalah suatu realitas yang harus
dibiasakan. Dengan pembiasaan seperti itu diharapkan peserta didik dapat
membiasakan diri untuk saling bekerjasama baik dalam menyelesaikan tugas
kelompok di sekolah maupun tugas-tugas lainnya.
Kerjasama yang selalu dikembangkan baik dalam bentuk upaya
mengontrol secara bersama-sama, keterbukaan untuk saling memberi informasi
tentang kegiatan yang dilakukan di sekolah, serta kerjasama dalam menerapkan
kebijakan yang didasari oleh musyawarah untuk mufakat, merupakan pola
kerjasama yang sangat efektif, sehingga segala bentuk kegiatan dan kebijakan
15
strategis yang diterapkan selalu atas sepengetahuan pihak yayasan dan pihak
sekolah.
Dengan pola kerjasama yang diterapkan memberi dampak positif
terhadap keberadaan SMA Karuna Dipa. Hal ini dapat dibuktikan dengan
selalu bertambahnya peserta didik baru yang mendatar dari tahun ke tahun.
SMA Karuna Dipa dari tahun mengalami perkembangan baik secara kualitas
maupun kuantitas. Pola kerja sama yang diterapkan juga membawa kehidupan
yang harmonis di kalangan peserta didik, sehingga di sekolah ini tidak terjadi
perselisihan antar siswa yang disebabkan oleh perbedaan etnik dan agama.
Terwujudnya kehidupan yang harmonis antar peserta didik dari berbagai
latar belakang etnik dan agama tidak terlepas dari pola interaksi yang dibangun
oleh masing-masing individu di sekolah tersebut. Pihak yayasan, kepala
sekolah, guru, peserta didik dan tenaga kependidikan lainnya, secara bersama
membangun komitmen kebersamaan, komitmen keterbukaan dan yang lebih
penting adalah komitmen kerjasama atas dasar kepentingan bersama untuk
secara bersama-sama membangun SMA Karuna Dipa, agar dapat berkembang
untuk meningkatkan tugas akademik nya.
Terwujudnya pola interaksi sosial dalam bentuk kerjasama pertamapertama dibangun oleh pihak yayasan dan sekolah. Antara yayasan dan pihak
sekolah yang dipresentasikan oleh para pimpinan sekolah dan guru. Mereka
berupaya untuk membangun komitmen kerjasama dalam berbagai bentuk,
seperti selalu berupaya membangun kerjasama untuk mencapai visi dan misi
sekolah yang telah ditetapkan, bekerjasama dalam menumbuhkembangkan
16
17
18
19
Peserta didik di SMA Karuna Dipa sudah dibiasakan untuk saling menerima
dan saling menghargai. Bahkan kalau diperhatikan semua etnik yang ada di
sekolah ini memiliki bahasa Indonesia yang sama yang dipengaruhi oleh
logat bahasa etnik Kaili. Hal ini menunjukkan bahwa mereka sudah berbaur
cukup lama, dan akhirnya mereka sudah terbiasa berbahasa Indonesia dengan
aksen dan logat Kaili yang khas (Wawancara tanggal 30 September 2014)
Bukan hanya sekedar penggunaan bahasa Indonesia dengan logat dan
aksen Kaili yang sangat kental, bahkan diantara mereka ada juga yang sudah tidak
dapat menggunakan bahasa ibu mereka dalam berkomunikasi sehari-hari
walaupun mereka berkomunikasi diantara sesama etnis mereka. Bahkan diantara
mereka justru lebih memahami bahasa setempat dari pada bahasa ibu mereka.
Mengenai
hal
tersebut
salah
seorang
peserta
didik
AGNS
mengemukakan bahwa:
Ibu saya seorang Tionghoa asli dan bapak saya juga Tionghoa hanya saja
ayah sudah lahir di Makassar. Ibu dan bapak saya sudah tidak terlalu fasih
berbahasa Mandarin. Kondisi tersebut juga menyebabkan saya tidak terlalu
menguasai bahasa Mandarin, akhirnya dalam pergaulan sehari-hari
menggunakan bahasa Indonesia dengan logat dan aksen Kaili yang kental.
Bahkan saya bisa memahami apabila adateman berbahasa Kaili, sekalipun
saya tidak bisa mempraktekkannya dengan lancar, namun apa yang mereka
katakan saya tahu maksudnya (wawancara tanggal 5 Agustus 2014)
Apa yang dikemukakan oleh wakasek, dan salah seorang peserta didik
tersebut, ternyata menunjukkan hal yang sama di lapangan penelitian. Setelah
penulis menelusuri dan menginvestigasi para peserta didik, ternyata menunjukkan
bahwa mereka menggunakan logat dan aksen bahasa Indonesia dengan logat Kaili
yang kental. Dari kalangan etnik Tionghoa juga begitu, walaupun mereka belum
sepenuhnya bisa menghilangkan logat dan aksen bahasa mereka, namun mereka
berbahasa Indonesia dengan logat aksen Kaili yang kental.
20
21
saya, sehingga hal ini melahirkan keunikan tersendiri dalam keluarga kami. Saya
juga merasakan perpaduan budaya yang berbeda sehingga saya sudah terbiasa
melaksanakan adanya tradisi-tradisi yang berbeda. Saya justru merasakan adanya
kegembiraan tersendiri dengan kondisi keluarga kami yang seperti ini, jika kami
baergabung dengan keluarga dari bapak, situasinya sangat jauh berbeda jika kami
bergabung dengan keluarga dari pihak ibu. Terasa ada perbedaan budaya yang
mencolok, tetapi bagi keluarga kami hal ini merupakan suatu rahmat dan
kenikmatan tersendiri, karena lahir dari dua latar belakang sosial budaya yang
berbeda.(wawancara tanggal 15 Juli 2014)
Salah seorang peserta didik, KVNO juga mengemukakan bahwa:
Sebagai seorang anak yang lahir dari perpaduan etnik yang berbeda, sudah
terbiasa untuk hidup dalam situasi budaya dan tradisi yang berbeda. Bapak
saya berasal Kalimantan dan beragama Budha kawin dengan ibu saya yang
beretnik Jawa dan beragama Katolik, dan saya sendiri beragama Katholik.
Kondisi ini sudah saya alami sejak saya lahir dan sudah terbiasa. Saya
sudah terbiasa berkumpul dan bergaul dengan keluarga yang berbeda etnik
dan agama. Saya berbaur dengan mereka dan tidak ada masalah. Hal ini
juga mempengaruhi sikap dan pandangan saya terhadap dengan temanteman yang berbeda agama dan etnik. Bahkan sekalipun orang tua saya
berasal dari Kalimantan dan Jawa, namun saya lebih akrab berbahasa
Indonesia dengan aksen dan logat Kaili, karena saya sudah sangat lama
bergaul dan berbaur dengan teman-teman di sekolah serta di tengah
masyarakat. (wawancara tanggal 15 Juli 2014)
Pembauran yang sudah cukup lama berlangsung, bahkan boleh jadi hal ini
terjadi sejak mereka kecil telah bergaul antara satu etnik dengan etnik yang
lainnya, baik di tengah masyarakat maupun di sekolah telah melahirkan
kebudayaan dan tradisi yang berbeda dengan tradisi asli keluarga mereka. Bukti
dari pembauran ini adalah terjadinya adanya pembauran budaya, adopsi bahasa
yang bukan bahasa ibu. Ini menunjukkan bahwa proses pembauran yang yang
22
untuk
memberi
kesempatan
kepada
peserta
didik
untuk
23
perlakuan yang sama kepada semua peserta didik dengan memberi kesempatan
kepada mereka untuk berekspresi sesuai dengan kebiasaan dan budaya yang
mereka miliki. Pihak yayasan dan sekolah memberikan perlakuan yang adil agar
mereka semua dapat saling memahami karakter dan budaya masing-masing.
Kenyataan di lapangan penelitian juga menunjukkan adanya proses
asimilasi yang cukup baik. Hal ini ditunjukkan pada waktu ada pementasan
barongsai yang dipertunjukkan oleh siswa-siswa yang beretnis Tionghoa, dan
pementasan tersebut berlangsung sangat sukses dan semua peserta didik, guruguru dan para hadirin menyaksikan pementasan tersebut. Selama pementasan
berlangsung para hadirin tak henti-hentinya memberikan tepuk tangan setiap kali
mereka menujukkan gerakan-gerakan yang menakjubkan. Bahkan penonton ada
yang sampai berdiri, menunjukkan ekspresi decak kagum karena mereka sebagian
besar baru menyaksikan secara langsung pagelaran barongsai. Para penonton
memberikan komentar yang hampir sama bahwa pementasan itu sangat memukau.
Apresiasi yang ditunjukkan oleh peserta didik dan guru yang menyaksikan
pementasan tersebut yang bernada positif, menujukkan adanya penerimaan yang
baik terhadap pementasan budaya (barongsai), sekalipun apa yang dipentaskan
bukan berasal dari budaya mereka.
Keberadaan peserta didik yang sudah terbiasa dengan proses asimilasi baik
yang terjadi di lingkungan keluarga mereka, maupun di tengah masyarakat yang
kemudian sekolah dan yayasan membuka peluang bagi proses asimilasi di
sekolah, akan semakin memberi kesempatan kepada peserta didik untuk
menyelami masing-masing budaya yang berbeda melalui proses interaksi sosial.
24
Interaksi sosial yang berlangsung dalam proses saling menerima dan saling
menghargai akan mendorong peserta didik untuk saling memahami budaya
masing-masing yang pada gilirannya mendorong terciptanya proses pembauran
menuju persatuan dan kesatuan.
Dari berbagai paparan data hasil wawancara, observasi dan dokumentasi
ditemukan bahwa pola interaksi sosial yang berlangsung di SMA Karuna Dipa
adalah pola interaksi sosial yang asosiatif. Dikatakan demikian karena disekolah
tersebut terjadi pola interaksi sosial yang menunjukkan adanya kerjasama, pihak
yayasan, sekolah dan guru. Mereka membangun kerjasama untuk mencapai visi
dan misi sekolah yang telah ditetapkan, bekerjasama untuk meningkatkan kualitas
pendidikan, menumbuhkan kerjasama agar SMA Karuna Dipa semakin diterima
masyarakat, sehingga sekolah tersebut tumbuh dan berkembang baik secara
kualitas maupun kuantitas, bekerjasama untuk menciptakan keamanan di
lingkungan sekolah, baik keamanan yang bersifat internal, maupun keamanan
yang bersifat eksternal yakni berupaya agar sekolah tidak terlibat konflik dengan
pihak masyarakat.
Wujud dari kerjasama itu juga ditularkan kepada peserta didik agar mereka
juga selalu membangun kerjasama, baik kerjasama dalam upaya menyelesaikan
tugas-tugas pembelajaran yang dibebankan oleh para guru, maupun kerjasama
dalam bentuk ektra kurikuler, kerjasama dalam bidang sosial keagamaan. Ini
menunjukkan bahwa interaksi sosial berlangsung dengan sangat kohesif yang
ditandai dengan munculnya kebersamaan dalam menghadapi segala sesuatu baik
25
26
Kerjasama
Akomodasi
Asimilasi
27
Kerjasama
Temuan penelitian menunjukkan bahwa kerjasama merupakan salah bentuk
interaksi sosial yang ada di SMA Karuna Dipa Palu. Hal ini dapat dilihat dalam
beberapa hal seperti; Pimpinan sekolah, guru dan yayasan bekerjasama untuk
merumuskan visi dan misi sekolah, sekaligus bekerjasama untuk mewujudkan visi
misi sekolah tersebut. Pimpinan sekolah, guru dan yayasan sesuai dengan hak dan
kewajiban serta kewenangannya masing-masing bekerjasama untuk meningkatkan
kualitas pembelajaran dan mutu luaran pendidikan. Pimpinan sekolah, guru dan
yayasan bekerjasama untuk menumbuh kembangkan sekolah agar sekolah
tersebut dapat diterima oleh masyarakat. Pimpinan sekolah, guru dan yayasan
bekerjasama menjaga keharmonisan, sehingga sekolah tersebut terhindar dari
berbagai konflik baik konflik internal, maupun konflik dengan masyarakat.
Kerjasama antara pimpinan sekolah, guru dan yayasan ditularkan kepada peserta
didik berupa kebiasaan untuk bekerjasama baik dalam menyelesaikan tugas-tugas
pembelajaran, membiasakan kerjasama dalam ekstra kurikuler, dan membiasakan
kerjasama dalam kegiatan sosial keagamaan.
Kerja sama merupakan salah satu pola interaksi sosial yang terwujud
apabila orang perorang atau kelompok yang terlibat dalam interaksi itu memiliki
28
29
harus mampu bersaing dengan sekolah sederajat lainnya untuk meraih simpati dan
kepercayaan masyarakat, ketidak mampuan bersaing dengan sekolah lain yang
sederajat merupakan ancaman yang serius karena hal itu dapat berakibat langsung
pada kurangnya peminat dan pada gilirannya akan meyebabkan sekolah tersebut
kehilangan eksistensi. Dalam konteks ini semua pihak yang terlibat di SMA
Karuna Dipa, mulai dari pihak yayasan, pimpinan sekolah dan guru-guru, tenaga
kependidikan lainnya, peserta didik, serta pihak-pihak yang terlibat lainnya, harus
mampu bekerja sama, mengedepankan kebersamaan dan mengesampingkan ego
masing-masing, agar mereka selalu mampu menjaga kualitas dan kuantitas
lembaga pendidikan yang dikelolanya, memelihara persatuan dan kesatuan antar
peserta didik yang berbeda etnik dan agama, dan selalu menjaga keseimbangan,
keadilan dalam memberi perlakuan dan membangun hubungan sosial di tengah
keberbedaan mereka.
Kemampuan bekerja sama untuk membangun persatuan dan kesatuan,
menjaga keseimbangan dalam hubungan sosial dengan memberi perlakuan yang
sama kepada semua etnik yang berbeda, merapatkan poin penting bagi SMA
Karuna Dipa untuk menjaga eksistensinya. Bahkan kemampuan untuk menjaga
keseimbangan dan hubungan sosial di antara etnik dan agama yang berbeda
merupakan modal penting yang dapat dijadikan lambang atau "merek" bagi
keberadaan SMA Karuna Dipa.
Berdasarkan data penelitian menunjukkan bahwa bentuk kerja sama yang
menonjol yang dilakukan oleh pihak yayasan, guru dan sekolah adalah kerja sama
yang berbentuk ko-optasi (co-optation). Ko-optasi adalah salah satu bentuk kerja
30
terjadinya
kegoncangan
dalam
stabilitas
organisasi
yang
31
Akomodasi
Temuan penelitian menunjukkan bahwa interaksi sosial yang terjadi di
SMA Karuna Dipa, selain dalam bentuk kerja sama, juga menunjukkan adanya
interaksi sosial dalam bentuk akomodasi. Hal ini dapat dilihat dalam hubungan
sosial keseharian yang mereka lakukan, pihak yayasan memberi kesempatan yang
seluas-luasnya kepada pihak sekolah untuk melakukan kegiatan baik dalam
bentuk pembelajaran, maupun kegiatan ektra kurikuler. Pihak yayasan dan
pimpinan sekolah serta guru, selalu berupaya untuk mengakomodir semua
kegiatan peserta didik, baik dalam bentuk pembelajaran, maupun kegiatan sosial
keagamaan secara seimbang, tanpa menonjolkan salah satu etnik dan agama
tertentu. Peserta didik dari berbagai etnik dan agama diberi kesempatan yang
sama untuk mengadakan kegiatan dan mengekspresikan bakat dan minat serta
keinginan-keinginannya dalam bentuk kegiatan amal dan kegiatan sosial.
Kesediaan pihak yayasan memberi kesempatan seluas-seluasnya kepada
pihak guru untuk melakukan berbagai program pendidikan dan pengajaran sesuai
dengan program yang telah direncanakan, merupakan bentuk akomodasi yang
dilakukan oleh pihak yayasan. Para pengurus yayasan yang beretnik Tionghoa dan
beragama Budha tentunya berkeinginan kuat untuk membina peserta didik agar
32
sesuai dengan prinsip, nilai, norma dan bahkan agama yang dimiliki oleh etnik
Tionghoa yang beragama Budha. Sebagai pemilik yayasan, mereka tentu memiliki
kekuasaan dan kesempatan untuk melakukan hal tersebut. Namun hal itu tidak
dapat dilakukan, karena pihak yayasan berhadapan dengan pihak pimpinan
sekolah dan guru yang pada umumnya tidak beretnik Tionghoa, dan para guru
tersebut umumnya beragama Islam. Para guru juga tentu memiliki idealisme,
prinsip, nilai, norma dan bahkan agama yang dianutnya yang dapat dijadikan
pedoman dan dasar untuk mengelola lembaga pendidikan Karuna Dipa. Sekalipun
demikian guru-guru tersebut tidak bisa memaksakan prinsip, nilai dan norma yang
mereka miliki karena mereka bernaung di bawah suatu yayasan yang dikelola oleh
sekelompok individu yang beretnik Tionghoa dan beragama Budha.
Pimpinan sekolah dan guru tidak hanya berhadapan dengan pihak yayasan,
tetapi juga berhadapan dengan peserta didik yang berbeda etnik dan agama. Para
guru juga tidak dapat memaksakan kehendaknya berdasarkan prinsip, nilai, norma
dan bahkan agama yang mereka anut, kepada para peserta didiknya. Ini
disebabkan peserta didik yang mereka hadapi adalah peserta didik yang sangat
heterogen, dari sisi etnis peserta didik di SMA Karuna lebih banyak yang beretnis
Tionghoa, kemudian disusul etnis Kaili, Bugis-Makassar, Manado, Jawa dan
beberapa etnis lainnya. Dari sisi penganut agama mayoritas penganut Kristen,
kemudian disusul penganut Islam, Budha, Katholik dan Hindu. Hal ini juga
mendorong para guru untuk memberikan sikap dan perlakuan yang adil, terutama
dalam hal prinsip, nilai dan norma tanpa melihat etnik dan agama peserta
didiknya.
33
di
SMA
Karuna
Dipa
dalam
mengelola
lembaga
pendidikan
34
norma. Masing-masing pihak yang terlibat hubungan sosial di SMA Karuna Dipa
menyadari sepenuhnya bahwa mereka memiliki sistem nilai dan norma serta
keyakinan yang berbeda, namun demikian sistem nilai yang mereka miliki tidak
bisa dipaksakan untuk diterapkan secara sepihak hanya berdasar pada kewenangan
dan kekuasaan yang mereka miliki. Dalam konteks yang demikian, maka masingmasing pihak harus saling mengakomodasi dengan cara memberi kesempatan
kepada semua pihak untuk menerapkan sistem nilai mereka sesuai medan
sosialnya masing-masing, dan bahkan mereka justru saling membantu, misalnya
dalam melakukan kegiatan sosial keagamaan.
Dengan akomodasi yang toleran pihak yayasan, sekolah dan guru
membangun hubungan sosial tanpa ketegangan, walau mereka diselimuti dengan
berbagai perbedaan sosial. Dengan interaksi yang akomodatif, masing-masing
pihak menyadari keberadaan untuk saling memberi kesempatan dan bahkan saling
membantu sesuai dengan proporsinya dalam melakukan kegiatan-kegiatan
berdasar pada tata nilai dan norma, adat istiadat, budaya dan bahkan keyakinan
agama mereka, selama apa yang dilaksanakan tidak mengganggu dan atau
menciderai kehidupan sosial dan keagamaan peserta didik dari etnik dan agama
lain. Pihak yayasan, kepala sekolah dan guru tidak boleh membatasi, dan bahkan
menekan peserta didik dalam mengekspresikan dan melaksanakan kegiatan
berdasar pada prinsip, nilai, norma, budaya dan bahkan agama, selama kegiatan
positif.
Hubungan sosial yang akomodatif yang ada di SMA Karuna Dipa Palu
membawa dampak dalam kehidupan sosial peserta didik. Kehidupan sosial yang
35
Asimilasi
Selain interaksi sosial yang berbentuk kerja sama dan akomodasi, juga
ditemukan adanya interaksi sosial yang berbentuk asimilasi yang dilakukan oleh
36
yayasan, guru dan peserta didik di SMA Karuna Dipa Palu. Temuan penelitian
menunjukkan bahwa pihak yayasan, pimpinan sekolah dan guru selalu memberi
kesempatan dan bahkan membuat kebijakan yang memungkinkan semua peserta
didik saling berbaur antara satu dengan yang lainnya. Kebanyakan peserta didik
karena pergaulan yang sudah berlangsung lama, kemudian terpengaruh oleh
bahasa dan aksen masyarakat setempat. Peserta didik etnik Tionghoa misalnya,
sudah banyak terpengaruh oleh bahasa dan aksen masyarakat etnik Kaili. Banyak
peserta didik yang mengalami perkawinan silang, sehingga mereka sudah terbiasa
hidup dalam dua tradisi dan budaya yang berbeda. Antar peserta didik yang
kemudian saling berbaur dapat menerima ekspresi budaya dari etnik lainnya,
Misalnya budaya jepeng yang akrab dengan masyarakat etnik Kaili, dapat
diterima baik oleh peserta didik etnik Tionghoa, begitu pula sebaliknya budaya
barongsai yang khas etnik Tionghoa dapat diapresiasi baik oleh peserta didik etnik
lainnya.
Hubungan sosial yang berbasis kerja sama dan akomodasi hampir dapat
dipastikan akan melahirkan interaksi sosial yang bersifat asimilasi. Dalam banyak
hubungan sosial yang masyarakatnya saling memahami, saling menerima, saling
mengakomodasi akan membuka jalan ke arah asimilasi, karena para pihak lebih
saling mengenal dan dengan timbulnya benih-benih toleransi mereka lebih mudah
untuk saling mendekati, (Soekanto, 2003). Kebiasaan hubungan sosial yang
dipraktekkan oleh kelompok-kelompok yang berbeda etnik dan agama di SMA
Karuna Dipa, yang sangat toleran, saling memahami dan saling menerima
mengantarkan mereka pada kedekatan interaksi.
37
38
bahasa Kaili. Pada saat yang sama etnik, selain etnik Tionghoa, sudah terbiasa
dengan barongsai, mereka tidak canggung lagi menggunakan beberapa aksesoris
dan simbol yang berasal dari budaya Tionghoa, misalnya lambang sekolah,
beberapa ornamen simbol budaya Tionghoa yang ada di sekolah, karena mereka
merasa hal tersebut bukan lagi milik Tionghoa semata, tetapi itu sudah menjadi
simbol sekolah mereka, dan karenanya mereka merasa itu sudah menjadi milik
mereka dan mereka juga berhak menggunakannya.
Asimilasi dapat terjadi jika didukung oleh beberapa faktor seperti adanya
sikap yang toleran, adanya penghargaan terhadap kebudayaan kelompok lain,
adanya sikap terbuka, adanya persamaan unsur dalam kebudayaan serta adanya
perkawinan campuran, (Setiadi dan Kolip, 2011). Berdasarkan pandangan tersebut
proses asimilasi yang terjadi di SMA Karuna Dipa tidak terlepas dari adanya sikap
toleran yang ditunjukan oleh pihak yayasan, guru dan peserta didik, mereka tidak
saling memaksakan kehendak untuk menerapkan nilai dan-norma yang mereka
miliki. Mereka juga sudah terbiasa untuk saling menghargai kebudayaan masingmasing. Guru, peserta didik dan pengurus yayasan, sama-sama terbuka dan
memberi untuk menerapkan nilai dan prinsip di kelompok mereka masing-masing,
dan bahkan jika nilai dan norma yang mereka memiliki membawa dampak
bersama maka mereka saling mendukung penerapan nilai dan norma tersebut.
Tidaklah mengherankan misalnya konsep menjalin silaturrahim dalam ajaran
Islam yang diterapkan oleh peserta didik muslim dapat diterima oleh peserta didik
dari etnik dan agama lain, karena konsep silaturrahim tiada lain adalah menjalin
persau-daraan, persatuan dan kesatuan antar sesama, mereka merasa senasib dan
39
40
manusia
lainnya
yang
berbeda
etnik
dan
agama
untuk
mempraktekkan budaya dan ajaran agama mereka. Namun hal seperti ini justru
tidak ditemukan di SMA Karuna Dipa, karena sekalipun pemilik yayasan berasal
dari etnik Tionghoa dan beragama Budha namun mereka tidak memaksakan
keyakinan mereka untuk diterapkan secara menyeluruh kepada semua peserta
didik, dan sebaliknya pihak yayasan memberi kesempatan kepada etnik dan
agama lain untuk mempraktekkan budaya dan agama mereka selama tidak saling
mengganggu, Bahkan dalam konteks mengadakan kegiatan sosial keagamaan
mereka tidak dihalangi, justru mereka dianjurkan untuk saling membantu.
Dapat ditegaskan lebih lanjut bahwa hubungan sosial yang terbuka dalam
menilai dan memahami prinsip, norma, kebiasan dan budaya dari etnik lain di
SMA Karuna Dipa, menjadi faktor terjadinya asimilasi yang kohesif, asimilasi
tanpa dipaksakan. Asimilasi tersebut memberi pembelajaran kepada peserta didik
untuk membangun hubungan sosial tanpa ketegangan walau mereka berbeda.
Asimilasi mendorong peserta didik untuk saling terbuka dan menerima
kebudayaan etnik lain, bahkan dalam beberapa aspek hubungan sosial justru
terjadi asmilasi budaya seperti bahasa, simbol-simbol budaya tertentu. Dengan
demikian asimilasi dapat menjadi pendorong terjadinya kohesifitas sosial, dengan
berupaya untuk saling terbuka menerima budaya orang lain, selama tidak
menciderai dan mengganggu kebudayaan yang dimilikinya.
41