Anda di halaman 1dari 41

1

B. POLA INTERAKSI SOSIAL PESERTA DIDIK ANTAR ETNIK


DIATUR SEKOLAH GURU DAN YAYASAN

1. Kerjasama
Kerjasama adalah suatu wujud interaksi sosial antar individu atau antar
kelompok dalam suatu masyarakat untuk mencapai tujuan bersama. Kerjasama
untuk mencapai tujuan bersama ini kemudian melahirkan dinamika sosial, baik
dinamika yang bersifat positif maupun negatif. Dalam proses interaksi sosial,
kerjasama berwujud dalam berbagai bentuk dan berbagai aspek. Kerjasama sangat
tergantung pada kebutuhan dan kepentingan dari individu yang terlibat interaksi.
Kerjasama bisa berwujud dalam bentuk yang positif dan juga bisa berwujud
dalam bentuk yang negatif. Kerjasama juga bisa meliputi semua aspek sosial dan
strata sosial.
Interaksi sosial yang terjadi di SMA Karuna Dipa tidak terlepas dari peran
para aktor sosial. Aktor-aktor sosial yang selalu terlibat dalam interaksi sosial di
sekolah tersebut seperti pengurus yayasan, kepala Sekolah, guru, tenaga
kependidikan lainnya, organisasi siswa inter sekolah,
mereka dalam interaksi sosial adalah untuk mencapai tujuan bersama, yakin
terwujudnya lembaga pendidikan yang berkualitas, sehingga dapat mencapai
tujuan pendidikan nasional, maupun tujuan institusional yang telah dirumuskan
oleh yayasan, dan pihak sekolah berupa visi dan misi sekolah.
Berdasarkan catatan dokumen yang diperoleh di lapangan penelitian,
bahwa visi dan misi sekolah SMA Karuna Dipa adalah sebagai berikut:

Visi SMA Karuna Dipa adalah mempersiapkan siswa unggul dalam


prestasi yang bertaqwa dan berbudi luhur. Untuk mencapai visi tersebut,
SMA Karuna Dipa Palu mempunyai, misi, mengoptimalkan kegiatan
belajar mengajar (KBM), melakukan pelayanan pendidikan yang
maksimal, meningkatkan profesional guru, dan disiplin pada seluruh warga
sekolah. Membimbing dan memacu prestasi siswa baik dibidang akademik
maupun non akademik. Membina dan membimbing siswa dalam kegiatan
kerohanian/keagamaan sesuai dengan agama yang dianut.

Berdasarkan visi dan misi SMA Karuna Dipa, dapat dikemukakan lebih
lanjut, bahwa visi dan misi utama sekolah tersebut, adalah mewujudkan
sekolah yang unggul dengan prestasi peserta didik, yang berbasis pada
keimanan dan ketaqwaan. Ini menunjukkan bahwa SMA Karuna Dipa adalah
sekolah yang memiliki tujuan utama untuk mencerdaskan kehidupan bangsa
kegiatan akademik yang berkualitas, membangun keluhuran budi pekerti, dan
menyadari bahwa mereka berasal dari latar belakang sosial, ekonomi dan
agama yang berbeda. Rumusan visi dan misi sekolah, tidak hanya dirumuskan
oleh pihak sekolah dan guru, tetapi juga melibatkan pihak yayasan dan bahkan
peserta didik.
Rumusan visi dan misi sekolah dirumuskan secara bersama, sehingga
peserta yayasan, pimpinan sekolah dan guru serta peserta didik dituntut
bekerjasama dan memiliki tanggung jawab bersama dalam mencapai visi dan

misi tersebut. Dari kerjasama merumuskan visi dan misi itu terlihat, bahwa
tidak ada pihak yang memaksakan kehendak kepada pihak lain, semua pihak
memiliki kebebasan sekaligus tanggung jawab.
Secara lebih rinci ketua yayasan Karuna Dipa RBCR mengemukakan
bahwa:
Visi dan misi yang ada di sekolah ini (SMA Karuna Dipa, Pen.), dirumuskan
secara bersama oleh pihak yayasan, pihak sekolah dan peserta didik dan
bahkan masyarakat. Sebagai ketua yayasan saya tidak ingin memaksakan
kehendak saya pribadi. Itulah sebabnya walaupun sekolah ini didirikan oleh
yayasan Karuna Dipa yang berlatar belakang agama . Budha, namun sekolah
ini bukan sekolah misi untuk agama Budha. Begitu pula sebaliknya, sekalipun
pada umumnya guru yang ada di sekolah ini berlatar belakang agama Islam,
namun mereka juga tetap menghargai kehendak yayasan, sehingga mereka
juga terikat oleh ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh pihak
yayasan. Dengan pola kerjasama seperti ini, maka visi dan misi sekolah ini
lebih berorientasi kepada pengembangan akademik dan kecerdasan peserta
didik (Wawancara pada tanggal 12 Agustus 2014)

Keterangan yang hampir sama dikemukakan pula oleh kepala sekolah


SMA Karuna Dipa JMLD, sebagai berikut:

Visi dan misi yang ada di sekolah SMA Karuna Dipa, dirumuskan secara
bersama oleh pihak yayasan, melalui suatu musyawarah. Sekalipun rumusan

awalnya di rumuskan oleh kepala sekolah dan guru, namun rumusan itu
kemudian dibawah ke dalam forum musyawarah, yang dihadiri oleh pihak
yayasan, pimpinan sekolah, guru-guru dan masyarakat dan bahkan
perwakilan peserta didik. Dari hasil musyawarah itu, kemudian ditetapkan
rumusan visi dan misi sekolah dan disetujui oleh semua peserta rapat. Sebagai
kepala sekolah saya merasakan adanya kerjasama yang luar biasa, sehingga
rumusan visi dan misi sekolah disetujui oleh semua pihak secara sukarela,
karena dalam forum musyawarah itu, semua pihak dipersilahkan untuk
mengemukakan pendapatnya tentang rumusan visi dan misi yang ideal sesuai
dengan tujuan pendidikan dan misi para guru dan misi yayasan (Wawancara
12 Agustus 2014)
Dengan pola kerjasama yang demikian terlihat bahwa rumusan visi dan
misi SMA Karuna Dipa lebih menonjolkan misi akademik, dari pada misi
pengembangan agama tertentu. Dari visi dan misi itu menunjukkan bahwa
program utama SMA Karuna Dipa adalah untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa dan pembentukan kepribadian. SMA Karuna Dipa tidak berorientasi
sebagai lembaga- pendidikan dengan pengembangan dan misi agama tertentu,
sekalipun sekolah tersebut diarungi oleh yayasan dengan latar belakang agama
dan keyakinan tertentu. Tujuan utama sekolah adalah untuk mewujudkan
peserta didik yang tunduk dan patuh pada ajaran agama, sesuai keyakinan nya,
dengan kualitas keimanan dan ketaqwaan sebagai dasar untuk membangun
kepribadian

yang

luhur,

menunjukkan

prestasi

akademik,

serta

mengekspresikan diri dalam kegiatan-kegiatan ekstra kurikuler untuk


mendukung pencapaian prestasi dalam berbagai bidang.
Salah

seorang

peserta

didik

di

SMA Karuna Dipa

EVSM,

mengemukakan lebih lanjut bahwa;


Di sekolah kami ini (SMA Karuna Dipa, Pen.), semua siswa dari berbagai
latar belakang suku dan agama diberikan kesempatan yang sama untuk
menunjukkan dan meraih prestasi akademik dan prestasi lainnya yang positif.
Tidak ada satu siswa pun yang memperoleh perlakuan istimewa, semua sama.
Siswa memiliki hak untuk mengekspresikan dirinya dan meraih prestasinya,
kami selalu ditekankan agar selalu menghayati visi dan misi sekolah. Dari
istilah kami menyadari bahwa program utama sekolah ini adalah untuk
mencerdaskan kami semua. Pihak yayasan dan kepala sekolah serta guru
telah bekerjasama dengan baik untuk memajukan kami. Oleh karena itu,
upaya-upaya tersebut harus kami hargai dengan menunjukkan prestasi sesuai
dengan bakat dan bidang ilmu yang kami minati (Wawancara padatanggal 3
September 2014)
Hasil wawancara di atas mengandung makna, bahwa semua peserta
didik memiliki hak dan kewajiban yang sama, dan memiliki kesempatan yang
una untuk meraih cita-citanya. Semua peserta didik diberi kebebasan untuk
mengekspresikan dirinya, mencari ilmu sesuai dengan cita-citanya, mengembangkan kepribadiannya sesuai dengan etika dan norma yang dianutnya,
meraih prestasi akademik sebagai bekal bagi dirinya untuk menghadapi masa

depannya. Semua peserta didik dituntut untuk secara bersama meraih prestasi
sekaligus menjaga nama baik sekolahnya.
Di kalangan para guru juga dituntut untuk menunaikan tugas dan
tanggung jawabnya sebagai guru. Guru-guru di SMA Karuna Dipa dituntut
untuk menunaikan tugasnya sesuai dengan visi, misi dan tujuan dan program
sekolah. Menyangkut hal ini salah seorang guru berinisial ADTN
mengemukakan lebih lanjut, bahwa;
Semua guru-guru yang ada di SMA Karuna Dipa berkewajiban untuk
membimbing peserta didiknya agar meraih prestasi akademik sesuai visi, misi
dan tujuan penyelenggaraan pendidikan yang telah dirumuskan bersama. Para
guru

juga

dituntut

untuk

mengespresikan

dirinya

sesuai

dengan

kemampuannya. Dalam menjalankan tugas kami diikat oleh kode etik guru,
berbakti membimbing anak didik seutuhnya untuk membentuk manusia
pembangunan yang berjiwa Pancasila. Guru memiliki kejujuran profesional
dalam menerapkan kurikulum sesuai dengan kebutuhan anak didik masingmasing.

Guru

mengadakan

komunikasi

terutama

dalam

memperoleh

komunikasi tentang anak didik, tetapi menghindari diri dari kepentingan anak
didik. Pihak yayasan memberi kesempatan seluas-luas-nya kepada para guru
untuk mengeluarkan kemampuan terbaik nya dalam rangka untuk mengajar,
dan membimbing peserta didik. Penekanan utama yayasan adalah menjaga
kualitas lembaga pendidikan, penyelenggaraan pendidikan sesuai visi dan misi,
serta menjaga keharmonisan dan kerjasama antar semua pihak yang ada di
lingkungan SMA Karuna Dipa. (Wawancara, pada tanggal 3 September 2014)

Hasil wawancara dengan guru ADIN memberi gambaran lebih jauh


bahwa pelaksanaan pembelajaran di SMA Karuna Dipa berdasarkan pada visi
dan misi pendidikan yang telah dirumuskan. Dengan kata lain guru memiliki
tanggung jawab yang sangat besar dalam mewujudkan cita-cita pendidikan
sebagaimana termasuk dalam visi dan misi. Guru merupakan ujung tombak
untuk mewujudkan kualitas pendidikan. Guru dituntut untuk menunaikan tugas
profesional nya sesuai dengan ketentuan yang telah digariskan. Guru dituntut
untuk berekpresi namun pada saat yang sama ekspresi tersebut harus sesuai
dengan pedoman yang telah disepakati.
Di dalam melaksanakan tugasnya guru dituntut untuk mendidik peserta
didiknya sesuai dengan kode etik guru. Yakni guru bertanggung jawab untuk
mendidik peserta didik yang berjiwa pembangunan berlandaskan Pancasila. Ini
menunjukkan bahwa guru dituntut untuk mendahulukan wawasan kebangsaan
dalam mendidik. Guru dituntut untuk menjalankan kurikulum sesuai dengan
kurikulum yang telah dirumuskan bersama, dan guru dituntut untuk
membangun komunikasi yang harmonis dan bermartabat dengan peserta
didiknya. Pihak yayasan memberikan kebebasan penuh kepada para guru untuk
menjalankan tugasnya. Pihak yayasan tidak memberikan penekanan tertentu, di
luar visi dan misi pendidikan, pihak yayasan hanya menekankan agar kualitas
pendidikan selalu di jaga dan keharmonisan kerjasama selalu ditingkatkan.
Hasil observasi di lapangan penelitian juga menunjukkan bahwa,
kerjasama antara pihak yayasan, sekolah (pimpinan sekolah dan para guru)
menunjukkan adanya kerjasama yang baik dalam upaya untuk meningkatkan

kualitas pendidikan sesuai dengan visi dan misi sekolah yang telah dirumuskan
bersama. Secara berkala pihak yayasan mengunjungi sekolah untuk mengontrol
sekaligus memberi evaluasi, dan pada saat yang sama pihak sekolah
menunjukkan data-data atau paling tidak memberi informasi tentang berbagai
hal yang telah dicapai. Dengan kerjasama yang demikian terlihat bahwa
masing-masing pihak menunjukkan tanggung jawab yang sama dalam upaya
mencapai visi dan misi pendidikan.
Upaya kerjasama yang selalu dijalin oleh pihak yayasan, pihak sekolah
dan masyarakat tidak hanya dalam upaya untuk mencapai visi, misi dan tujuan
pendidikan, tetapi juga kerjasama dalam menumbuhkembangkan lembaga
pendidikan Karuna Dipa. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa
sekolah ini berada di bawah yayasan Karuna Dipa yang didirikan oleh
masyarakat penganut agama Budha. Yayasan ini pada awalnya adalah untuk
menyalurkan aspirasi masyarakat pemeluk agama Budha di Kota Palu agar
memiliki yayasan dan lembaga pendidikan sendiri, untuk mendidik anak-anak
mereka, karena mereka merasakan adanya kesulitan untuk mencari lembaga
pendidikan yang sesuai dengan keinginan dan aspirasi mereka.
Salah satu pengurus yayasan (Akog) mengemukakan bahwa;
Untuk menghimpun aspirasi dan menyatukan ummat Budha, maka tercatat
ide untuk mendirikan organisasi atau perkumpulan. Dari ide ini kemudian
dibentuk lah pengurus agama Budha Werawada, setelah organisasi ini
terbentuk maka terumuskan lagi ide untuk mendirikan lembaga pendidikan.
Karena untuk mendapatkan pendidikan yang sesuai dengan aspirasi kami

terpaksa mengirim anak-anak sekolah di luar daerah, seperti di pulau Jawa.


Dengan kegiatan ini kami berpikir untuk mendirikan sekolah sendiri,
sehingga anak-anak kami dapat memperoleh pendidikan yang sesuai dengan
harapan kami, namun tidak perlu lagi ke luar daerah. (wawancara, pada
tanggal 8 September 2014)
Dari keterangan sekertaris yayasan di atas, terkandung makna yang jelas
bahwa-pendirian lembaga pendidikan pada awalnya dimaksudkan untuk
menjadi tempat menuntut ilmu bagi anak-anak yang beragama Budha yang
pada umumnya berasal dari etnis Tionghoa, namun dalam perkembangannya
anak yang bersekolah di sekolah tersebut tidak hanya berasal dari komunitas
agama Budha, namun mulai membuka diri untuk menerima peserta didik lain
di luar agama Budha. Hal ini dimaksudkan agar yayasan Karuna Dipa turut
serta dalam upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dalam konteks yang
lebih luas, yakni bukan hanya mencerdaskan anak-anak dari kalangan
Tionghoa yang beragama Budha, tetapi juga, menjangkau seluruh anak bangsa
yang berminat masuk di Karuna Dipa.
Ketua Yayasan Karuna Dipa RBCD menjelaskan lebih lanjut bahwa.
Untuk lebih memperkuat peran yayasan Karuna Dipa dalam mencerdaskan
kehidupan bangsa, maka kami membuka diri untuk menerima peserta didik
dari etnis dan agama lain selain agama Budha. Selain itu ha! ini dilakukan
agar SMA Karuna Dipa dapat tumbuh dan berkembang dengan baik, karena
jangkauan penerimaan peserta didik semakin luas, yang diharapkan akan
banyak peminat yang masuk. Menurut yang kami tahu, bahwa sekolah ini

10

dipahami oleh masyarakat luas sebagai sekolah yang khusus bagi etnis
Tionghoa dan beragama Budha, padahal sebenarnya tidak demikian. Oleh
karena itu sebagai ketua yayasan saya selalu berharap kepada pihak sekolah
(pimpinan dan para guru) untuk selalu mensosialisasikan bahwa sekolah ini
terbuka untuk semua kalangan masyarakat dari berbagai etnis dan agama.
Karena dalam upaya untuk menumbuhkembangkan sekolah diperlukan
pengenalan secara terus menerus kepada pihak masyarakat, dan pada saat
yang sama pihak yayasan dan pihak sekolah dan masyarakat juga dituntut
untuk selalu membangun kerjasama yang harmonis, agar SMA Karuna Dipa
semakin di terima dan dikenal oleh masyarakat luas. (wawancara pada
tanggal 12 Juli 2014)
Dari keterangan di atas diperoleh makna yang jelas bahwa yayasan
Karuna Dipa membuka diri untuk menerima peserta didik dari berbagai pihak.
Keterbukaan dalam menerima peserta didik dan berbagai pihak merupakan
kebijakan ini harus disosialisasikan secara terus menerus baik oleh pihak
yayasan, pihak sekolah dan bahkan oleh pihak peserta didik kepada masyarakat
luas, sehingga persepsi dan anggapan yang selama ini berkembang secara
perlahan dapat dicicil dan masyarakat dapat menerima keberadaan yayasan
Karuna Dipa. Dengan keterbukaan yang selalu dijaga oleh pihak sekolah, guru
dan yayasan, juga memberi efek yang sangat positif bagi keberadaan SMA
Karuna Dipa. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa secara
geografis SMA karuna Dipa berada dalam wilayah yang selalu berkonflik, baik
konflik sosial atau berlatar belakang sosial ekonomi, maupun konflik yang

11

berlatar belakang sebagai keagamaan. Namun demikian, hal tersebut tidak


berdampak pada keadaan SMA Karuna Dipa, ini menunjukkan bahwa
masyarakat di sekitar sekolah tersebut telah menganggap sekolah tersebut
adalah milik masyarakat, karena anak mereka bersekolah di sekolah tersebut.
Lebih jauh salah seorang guru berinisial SWTO mengungkapkan bahwa:
Salah satu faktor yang menguntungkan dari keberadaan sekolah ini, adalah
masyarakat sudah menganggap bahwa sekolah ini adalah milik semua
masyarakat, karena di antara anak mereka ada yan bersekolah di sini.
Keberadaan SMA Karuna Dipa, di wilayah ini sangat aman dan terhindar dari
konflik. Bahkan masyarakat sekitar juga turut bertanggung jawab atas
keamanan sekolah ini. Pihak yayasan, sekolah dan guru dalam waktu-waktu
tertentu selalu mengundang tokoh masyarakat di sekitar sini, dan juga orang
tua peserta didik, untuk memberikan penjelasan tentang keberadaan dan
program sekolah ini, sekaligus menaruh harapan kepada mereka agar secara
bersama menjaga keberadaan sekolah, bekerjasama untuk mencapai visi dan
misi pendidikan yang telah dirumuskan, dan bekerjasama untuk menumbuh
kembangkan sekolah. (Wawancara, pada tanggal 10 September 2014)
Dari keterangan di atas mengandung makna bahwa kerjasama yang
dikembangkan oleh pihak sekolah, guru dan yayasan juga melibatkan
masyarakat, sehingga masyarakat secara lambat laun menganggap bahwa
sekolah ini adalah sekolah kita bersama dan karenanya harus dijaga pula secara
bersama. Dengan demikian, pihak sekolah dan guru dan bahkan yayasan tidak
terganggu oleh konflik-konflik yang ada di masyarakat, dengan kondisi

12

keamanan seperti ini pihak, sekolah, guru dan yayasan selalu berkonsentrasi
dan

bahkan

memiliki

kesempatan

yang

banyak

untuk

memikirkan

pengembangan SMA Karuna Dipa ke depan.


Kerja sama yang ditumbuhkan oleh pihak sekolah, guru dan yayasan,
juga diterapkan kepada seluruh peserta didik, dengan mendidik mereka untuk
membiasakan diri bekerja sama. Kerjasama yang terlihat pada saat peneliti
melakukan pengamatan langsung pada peserta didik multi etnik dan multi
agama terlihat pada beberapa aspek, dalam proses pembelajaran pendidik
memberi tugas dalam bentuk kelompok belajar, dalam kondisi ini peserta didik
mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru baik di kelas maupun di luar kelas
(pekerjaan rumah) secara bersama-sama. Kelompok belajar yang dibentuk oleh
guru dan atau kelompok yang dibentuk untuk menyelesaikan tugas
pembelajaran adalah melibatkan semua etnik dan agama. Dengan ketentuan
seperti itu, maka kelompok100% terbentuk adalah kelompok ravage heterogen.
Keterangan lebih lanjut diperoleh dari salah seorang guru RAHIM, yang
mengemukakan komentar nya dalam satu sesi wawancara sebagai berikut:

Bila saya memberikan tugas kelompok kepada mereka, ada ketentuan yang
harus dilaksanakan, seperti kelompok yang dibentuk haruslah kelompok
yang melibatkan semuanya, tidak melihat dari sisi etnik ataupun agama,
dengan cara mengurut kelompok berdasarkan nomor urut absen dan atau
berdasarkan hitungan deret meja, sehingga member peluang yang sama
kepada peserta didik berlainan etnik dan agama untuk bersatu dalam satu

13

kelompok. Hal ini saya maksudkan agar mereka terbiasa untuk bersama
dan terbiasa untuk bekerjasama dalam menyelesaikan tugas, sehingga
dapat tumbuh tanggung jawab bersama dalam menyelesaikan tugas, dan
dalam konteks yang lebih luas mereka dapat menyelesaikan masalah
secara bersama. Dengan tanggung jawab bersamanya tumbuh di kalangan
mereka, tugas dikumpul tepat pada waktu yang ditentukan (wawancara, 9
Mei 2014).

Hal senada yang dipaparkan oleh JSMN, wakasek bidang kurikulum


bahwa:

saya mengajarkan mata pelajaran Kimia dalam memberi tugas saya urut
melalui absen kadang dari urut nama yang terakhir, kadang ditengah,
terkadang juga dari urutan pertama, hal ini saya lakukan disamping untuk
menghindari kejenuhan siswa juga melihat bagaimana kerjasama mereka
dalam melaksanakan tanggungjawab yang diberikan, (wawancara, 11 Mei
2014).
Pengakuan kedua guru tersebut diperkuat oleh peserta didik yang
berinisial NOMS, dalam satu sesi wawancara sebagai berikut:

Kami dalam melaksanakan tugas yang diberikan guru dikerjakan secara


berkelompok baik di kelas maupun di luar kelas, dan pembentukan
kelompok biasanya dilakukan oleh guru atau kami sendiri, dengan
ketentuan kelompok tersebut terdiri dari teman-teman yang berlainan etnis

14

dan agama. Oleh guru, kami dibiasakan untuk terlibat menyelesaikan tugas
bersama, (wawancara, tanggal 11 Mei 2014).

Keterangan senada dikemukakan pula oleh ARNT, bahwa:

Saya dan teman-teman selalu mengerjakan tugas dengan teman lain tanpa
melihat etnik dan agama, tugas biasa dikerjakan di kelas biasa juga
diselesaikan di rumah sesuai kesepakatan dengan guru kapan tugas tersebut
dikumpul. (wawancara pada tanggal, 10 September 2014).
Dari paparan guru dan peserta didik tersebut menggambarkan bahwa
ada kebiasaan yang selalu ingin ditumbuhkan di kalangan para peserta didik,
untuk selalu membiasakan mereka berkumpul atau berserikat dari berbagai
kalangan, agar tumbuh kebiasaan dan kesadaran bahwa berkumpul dan
berserikat dari berbagai etnik dan agama adalah suatu realitas yang harus
dibiasakan. Dengan pembiasaan seperti itu diharapkan peserta didik dapat
membiasakan diri untuk saling bekerjasama baik dalam menyelesaikan tugas
kelompok di sekolah maupun tugas-tugas lainnya.
Kerjasama yang selalu dikembangkan baik dalam bentuk upaya
mengontrol secara bersama-sama, keterbukaan untuk saling memberi informasi
tentang kegiatan yang dilakukan di sekolah, serta kerjasama dalam menerapkan
kebijakan yang didasari oleh musyawarah untuk mufakat, merupakan pola
kerjasama yang sangat efektif, sehingga segala bentuk kegiatan dan kebijakan

15

strategis yang diterapkan selalu atas sepengetahuan pihak yayasan dan pihak
sekolah.
Dengan pola kerjasama yang diterapkan memberi dampak positif
terhadap keberadaan SMA Karuna Dipa. Hal ini dapat dibuktikan dengan
selalu bertambahnya peserta didik baru yang mendatar dari tahun ke tahun.
SMA Karuna Dipa dari tahun mengalami perkembangan baik secara kualitas
maupun kuantitas. Pola kerja sama yang diterapkan juga membawa kehidupan
yang harmonis di kalangan peserta didik, sehingga di sekolah ini tidak terjadi
perselisihan antar siswa yang disebabkan oleh perbedaan etnik dan agama.
Terwujudnya kehidupan yang harmonis antar peserta didik dari berbagai
latar belakang etnik dan agama tidak terlepas dari pola interaksi yang dibangun
oleh masing-masing individu di sekolah tersebut. Pihak yayasan, kepala
sekolah, guru, peserta didik dan tenaga kependidikan lainnya, secara bersama
membangun komitmen kebersamaan, komitmen keterbukaan dan yang lebih
penting adalah komitmen kerjasama atas dasar kepentingan bersama untuk
secara bersama-sama membangun SMA Karuna Dipa, agar dapat berkembang
untuk meningkatkan tugas akademik nya.
Terwujudnya pola interaksi sosial dalam bentuk kerjasama pertamapertama dibangun oleh pihak yayasan dan sekolah. Antara yayasan dan pihak
sekolah yang dipresentasikan oleh para pimpinan sekolah dan guru. Mereka
berupaya untuk membangun komitmen kerjasama dalam berbagai bentuk,
seperti selalu berupaya membangun kerjasama untuk mencapai visi dan misi
sekolah yang telah ditetapkan, bekerjasama dalam menumbuhkembangkan

16

sekolah, dan bekerjasama untuk menciptakan keamanan di lingkungan sekolah,


baik keamanan yang bersifat internal, maupun keamanan yang bersifat
eksternal yakni berupaya agar sekolah tidak terlibat konflik dengan pihak
masyarakat.

2. Akomodasi dan Asimilasi


Telah diuraikan sebelumnya bahwa, SMA Karuna Dipa adalah sebuah
sekolah di Kota Palu yang peserta didik dan pendidikannya terdiri dari multi
etnik dan multi agama. Kondisi ini apabila tidak dijaga akan dapat
menimbulkan pertentangan sosial, disebabkan oleh adanya perbedaan cara
pandang, perbedaan kepentingan dan perbedaan tujuan dalam kehidupan sosial.
Menyadari adanya kenyataan ini, pihak sekolah dan guru, serta pihak yayasan,
selalu menumbuhkan kesadaran bersama agar sekolah ini tidak terjerumus ke
dalam pertentangan dan konflik. Mereka saling menjaga kepentingan, saling
menghargai prakarsa dan tujuan, dan menghindari untuk saling engeksploitasi.
Berdasarkan data sebelumnya bahwa untuk mengatasi konflik internal di
sekolah, mereka sejak awal masuk sekolah telah di informasikan dan
didasarkan bahwa mereka menghadapi kenyataan yang heterogen yang tak bisa
dihindari, mereka sejak awal harus menyadari bahwa kenyataan harus diterima
dan disikapi dengan baik, agar mereka dapat berinteraksi dengan sesama teman
yang berbeda secara harmonis.
Untuk menjaga keharmonisan masing-masing individu yang terlibat
dalam interaksi sosial di SMA Karuna Dipa berusaha untuk saling menjaga

17

keseimbangan peran. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh kepala sekolah


sebagai berikut:
Untuk menjaga keharmonisan dalam interaksi sosial di antara kami baik
metriks sosial avatar peserta didik, metatarsi sosial antar guru dan yayasan,
kami selalu mengedepankan kesamaan peran, saling menjaga peran dan
menjalankan fungsi dan peran itu dengan baik, dengan berusaha menjalin
kerjasama yang baik. Untuk menjaga keseimbangan peran masing-masing
individu agar mengambil peran sesuai dengan tugas dan fungsinya, tidak
boleh ada kelompok tertentu yang sangat menonjol dalam melakukan
kegiatan. Sebagai contoh jika sekelompok siswa berdasarkan etnik dan
atau agama mengadakan kegiatan sosial, maka kegiatan yang sama harus
pula dilakukan oleh kelompok etnik dan atau agama yang lain. Sehingga
dengan demikian saling kecemburuan dapat dihindari, karena mereka
semua memperoleh porsi yang sama dalam melakukan kegiatan. Di sinilah
letak peran dan fungsi kepala sekolah, guru dan yayasan untuk mengontrol
berbagai kegiatan peserta didik agar dilakukan secara seimbang
(Wawancara tanggal 8 Oktober 2014).
Keterangan yang hampir sama diperoleh dari salah seorang peserta didik
yang juga pengurus OSIS, KVNO dengan mengungkapkan sebagai berikut:
Oleh kepala sekolah dan guru kami selalu ditekankan agar melakukan
kegiatan secara bersama dan seimbang, di antara kami tidak boleh ada
yang melakukan kegiatan-kegiatan yang menonjolkan etnik dan agama
tertentu, jika teman kami merayakan hari-hari besar keagamaannya, maka
kami juga diberi kesempatan yang sama, dalam hal kegiatan yang
dilakukan secara bersama, maka semua teman dari berbagai etnik dan
agama juga semuanya turut terlibat. Untuk menjaga keseimbangan
kegiatan, itu maka OSIS, melalui rapat program dan kegiatan memberikan

18

arahan, kegiatan mana yang dilakukan secara berkelompok berdasarkan


agama dan etnik dan kegiatan mana yang dilakukan secara bersama-sama,
sehingga dari program itu terlihat bahwa semua individu yang ada di
sekolah ini kegiatannya semua terakomodir, tersalurkan dan tidak ada yang
saling menghambat. (wawancara tanggal 4 Oktober 2014)
Dari pihak yayasan juga memberi perhatian yang besar agar SMA
Karuna Dipa, tidak terlibat dalam konflik internal, dan konflik yang
disebabkan oleh perbedaan etnik dan agama. Pihak yayasan berupaya untuk
memberi kebebasan kepada pihak sekolah, guru dan peserta didik untuk
melalukan berbagai kegiatan pembelajaran dan atau kegiatan ekstra kurikuler,
yang bertujuan untuk mempererat persatuan dan persaudaraan di kalangan
peserta didik yang ada di SMA Karuna Dipa. Pihak yayasan berupaya untuk
tidak mencampuri apalagi mengintervensi kegiatan-kegiatan peserta didik.
Pihak yayasan bahkan meng-anjurkan agar kegiatan-kegiatan yang ada
dilaksanakan oleh peserta didik berupaya untuk saling mengakomodasi saling
membantu dan saling bekerjasama.
Selain interaksi sosial yang akomodatif terhadap semua aspirasi peserta
didik secara seimbang, di SMA Karuna Dipa juga terbentuk pola interaksi
sosial yang bersifat asimilasi. Hal ini ditunjukkan dengan adanya sikap terbuka
yang ditunjukkan oleh peserta didik untuk saling menerima walaupun mereka
berbeda latar belakang sosial dan berbeda keyakinan. Mereka sudah terbiasa
untuk saling menerima dan saling menghargai kebudayaan masing-masing dan
bahkan keyakinan masing-masing.
Keterangan lebih lanjut dikemukakan oleh salah seorang wakil kepala
Sekolah, MNCE sebagai berikut:

19

Peserta didik di SMA Karuna Dipa sudah dibiasakan untuk saling menerima
dan saling menghargai. Bahkan kalau diperhatikan semua etnik yang ada di
sekolah ini memiliki bahasa Indonesia yang sama yang dipengaruhi oleh
logat bahasa etnik Kaili. Hal ini menunjukkan bahwa mereka sudah berbaur
cukup lama, dan akhirnya mereka sudah terbiasa berbahasa Indonesia dengan
aksen dan logat Kaili yang khas (Wawancara tanggal 30 September 2014)
Bukan hanya sekedar penggunaan bahasa Indonesia dengan logat dan
aksen Kaili yang sangat kental, bahkan diantara mereka ada juga yang sudah tidak
dapat menggunakan bahasa ibu mereka dalam berkomunikasi sehari-hari
walaupun mereka berkomunikasi diantara sesama etnis mereka. Bahkan diantara
mereka justru lebih memahami bahasa setempat dari pada bahasa ibu mereka.
Mengenai

hal

tersebut

salah

seorang

peserta

didik

AGNS

mengemukakan bahwa:
Ibu saya seorang Tionghoa asli dan bapak saya juga Tionghoa hanya saja
ayah sudah lahir di Makassar. Ibu dan bapak saya sudah tidak terlalu fasih
berbahasa Mandarin. Kondisi tersebut juga menyebabkan saya tidak terlalu
menguasai bahasa Mandarin, akhirnya dalam pergaulan sehari-hari
menggunakan bahasa Indonesia dengan logat dan aksen Kaili yang kental.
Bahkan saya bisa memahami apabila adateman berbahasa Kaili, sekalipun
saya tidak bisa mempraktekkannya dengan lancar, namun apa yang mereka
katakan saya tahu maksudnya (wawancara tanggal 5 Agustus 2014)
Apa yang dikemukakan oleh wakasek, dan salah seorang peserta didik
tersebut, ternyata menunjukkan hal yang sama di lapangan penelitian. Setelah
penulis menelusuri dan menginvestigasi para peserta didik, ternyata menunjukkan
bahwa mereka menggunakan logat dan aksen bahasa Indonesia dengan logat Kaili
yang kental. Dari kalangan etnik Tionghoa juga begitu, walaupun mereka belum
sepenuhnya bisa menghilangkan logat dan aksen bahasa mereka, namun mereka
berbahasa Indonesia dengan logat aksen Kaili yang kental.

20

Sekalipun banyak mengalami perubahan dalam penggunaan bahasa,


namun pihak yayasan dan sekolah membuat kebijakan agar semua peserta didik
harus mempelajari bahasa Mandarin. Hal ini dimaksudkan agar semua peserta
didik dapat mempelajari salah satu aspek dari budaya Tionghoa, sehingga mereka
bisa memahami dan menerimanya. Di kalangan etnik Tionghoa sendiri dengan
mempelajari bahasa Mandarin, mereka dapat secara perlahan dapat menggunakan
bahasa ibu mereka sekaligus mereka dapat melestarikan budaya terutama bahasa
yang mereka miliki. Tujuan inti dari semua itu adalah, dengan mempelajari bahasa
asing (Mandarin, Inggris), mereka dapat menguasai bahasa internasional, sebagai
salah satu prasyarat untuk memasuki pergaulan internasional jika kelak mereka
telah keluar dari sekolah tersebut.
Di kalangan peserta didik juga ada yang mengalami perkawinan campuran,
seperti peserta didik yang bapaknya Tionghoa, dan ibunya berasal dari etnik Kaili
setempat. Ada juga peserta didik yang lahir dari perkawinan silang antara Jawa
dan Kaili, etnik Manado dengan etnik Tionghoa, Tionghoa dengan Bugis. Dengan
latar belakang keluarga yang lahir dari perkawinan campuran, banyak peserta
didik yang sudah terbiasa hidup di antara dua kebudayaan yang berbeda, sudah
terbiasa hidup dalam keluarga yang berbeda etnik.
Lebih lanjut salah seorang peserta didik FRSM mengungkapkan kondisi
yang dia alami, karena lahir dari bapak lbu yang berbeda etnik, sebagai berikut.
Saya lahir dari keluarga yang kawin campuran, bapak saya berasal dari etnik
Tionghoa dan ibu saya dari etnik Bugis. Banyak hal unik yang saya alami,
misalnya sepupu-sepupu saya yang asli Bugis berbeda bentuk fisiknya dengan

21

saya, sehingga hal ini melahirkan keunikan tersendiri dalam keluarga kami. Saya
juga merasakan perpaduan budaya yang berbeda sehingga saya sudah terbiasa
melaksanakan adanya tradisi-tradisi yang berbeda. Saya justru merasakan adanya
kegembiraan tersendiri dengan kondisi keluarga kami yang seperti ini, jika kami
baergabung dengan keluarga dari bapak, situasinya sangat jauh berbeda jika kami
bergabung dengan keluarga dari pihak ibu. Terasa ada perbedaan budaya yang
mencolok, tetapi bagi keluarga kami hal ini merupakan suatu rahmat dan
kenikmatan tersendiri, karena lahir dari dua latar belakang sosial budaya yang
berbeda.(wawancara tanggal 15 Juli 2014)
Salah seorang peserta didik, KVNO juga mengemukakan bahwa:
Sebagai seorang anak yang lahir dari perpaduan etnik yang berbeda, sudah
terbiasa untuk hidup dalam situasi budaya dan tradisi yang berbeda. Bapak
saya berasal Kalimantan dan beragama Budha kawin dengan ibu saya yang
beretnik Jawa dan beragama Katolik, dan saya sendiri beragama Katholik.
Kondisi ini sudah saya alami sejak saya lahir dan sudah terbiasa. Saya
sudah terbiasa berkumpul dan bergaul dengan keluarga yang berbeda etnik
dan agama. Saya berbaur dengan mereka dan tidak ada masalah. Hal ini
juga mempengaruhi sikap dan pandangan saya terhadap dengan temanteman yang berbeda agama dan etnik. Bahkan sekalipun orang tua saya
berasal dari Kalimantan dan Jawa, namun saya lebih akrab berbahasa
Indonesia dengan aksen dan logat Kaili, karena saya sudah sangat lama
bergaul dan berbaur dengan teman-teman di sekolah serta di tengah
masyarakat. (wawancara tanggal 15 Juli 2014)
Pembauran yang sudah cukup lama berlangsung, bahkan boleh jadi hal ini
terjadi sejak mereka kecil telah bergaul antara satu etnik dengan etnik yang
lainnya, baik di tengah masyarakat maupun di sekolah telah melahirkan
kebudayaan dan tradisi yang berbeda dengan tradisi asli keluarga mereka. Bukti
dari pembauran ini adalah terjadinya adanya pembauran budaya, adopsi bahasa
yang bukan bahasa ibu. Ini menunjukkan bahwa proses pembauran yang yang

22

berlangsung lama akan menyebabkan terjadinya pergeseran dalam suatu budaya


tertentu. Namun pada saat yang sama pembauran budaya yang berbeda akan dapat
saling memperkaya budaya masing-masing.
Asimilasi budaya yang terjadi di SMA Karuna Dipa tidak terlepas dari
peran guru, sekolah dan yayasan. Pihak yayasan, sekolah dan guru selalu memberi
kesempatan kepada peserta didik untuk mengekspresikan budaya yang mereka
miliki masing-masing dan pada saat yang sama mereka yang berbeda budaya dan
etnik diberi pula kesempatan untuk. saling berbaur agar mereka dapat saling
memahami dan saling menerima budaya masing-masing.
Hal ini dikemukakan lebih lanjut oleh kepala sekolah JMLD, bahwa:
Di sekolah ini sering dilaksanakan festival atau semacam pementasan budaya
dari etnik tertentu di sekolah ini dan semua peserta didik dianjurkan untuk
turut berpartisipasi atau paling tidak menyaksikan pementasan budaya tersebut. Di sekolah ini sering diadakan pementasa tari jepeng yang diperagakan
oleh mereka yang beretnik Kaili dan Bugis, sekalipun tari jepeng ini bukan
asli dari etnik Kaili dan etnis Bugis, melainkan hasil pembauran budaya
Islam, namun hal ini sering diperaktekkan di sekolah ini dan semua peserta
didik dianjurkan untuk berpartisipasi atau menyaksikan pementasan tersebut.
Begitu pula ketika ada pementasan barongsai, juga semua peserta didik turut
menyaksikan pementasan tersebut. Peserta didik di sekolah ini sudah terbiasa
untuk menyaksikan pementasan budaya, sekalipun budaya yang dipentaskan
itu bukan dari budaya mereka namun mereka sangat memberi apresiasi dan
bahkan banyak diantara mereka yang melibatkan diri. (wawancara tanggal 16
Agustus 2014)
Keterangan yang dikemukakan oleh kepala sekolah menunjukkan bahwa
proses pembauran budaya di sekolah tidak terlepas dari peran guru, sekolah dan
yayasan

untuk

memberi

kesempatan

kepada

peserta

didik

untuk

mengekspresikan budaya mereka dan peserta didik lainnya diberi kesempatan


untuk turut berpartisipasi. Ini menunjukkan pihak yayasan dan sekolah memberi

23

perlakuan yang sama kepada semua peserta didik dengan memberi kesempatan
kepada mereka untuk berekspresi sesuai dengan kebiasaan dan budaya yang
mereka miliki. Pihak yayasan dan sekolah memberikan perlakuan yang adil agar
mereka semua dapat saling memahami karakter dan budaya masing-masing.
Kenyataan di lapangan penelitian juga menunjukkan adanya proses
asimilasi yang cukup baik. Hal ini ditunjukkan pada waktu ada pementasan
barongsai yang dipertunjukkan oleh siswa-siswa yang beretnis Tionghoa, dan
pementasan tersebut berlangsung sangat sukses dan semua peserta didik, guruguru dan para hadirin menyaksikan pementasan tersebut. Selama pementasan
berlangsung para hadirin tak henti-hentinya memberikan tepuk tangan setiap kali
mereka menujukkan gerakan-gerakan yang menakjubkan. Bahkan penonton ada
yang sampai berdiri, menunjukkan ekspresi decak kagum karena mereka sebagian
besar baru menyaksikan secara langsung pagelaran barongsai. Para penonton
memberikan komentar yang hampir sama bahwa pementasan itu sangat memukau.
Apresiasi yang ditunjukkan oleh peserta didik dan guru yang menyaksikan
pementasan tersebut yang bernada positif, menujukkan adanya penerimaan yang
baik terhadap pementasan budaya (barongsai), sekalipun apa yang dipentaskan
bukan berasal dari budaya mereka.
Keberadaan peserta didik yang sudah terbiasa dengan proses asimilasi baik
yang terjadi di lingkungan keluarga mereka, maupun di tengah masyarakat yang
kemudian sekolah dan yayasan membuka peluang bagi proses asimilasi di
sekolah, akan semakin memberi kesempatan kepada peserta didik untuk
menyelami masing-masing budaya yang berbeda melalui proses interaksi sosial.

24

Interaksi sosial yang berlangsung dalam proses saling menerima dan saling
menghargai akan mendorong peserta didik untuk saling memahami budaya
masing-masing yang pada gilirannya mendorong terciptanya proses pembauran
menuju persatuan dan kesatuan.
Dari berbagai paparan data hasil wawancara, observasi dan dokumentasi
ditemukan bahwa pola interaksi sosial yang berlangsung di SMA Karuna Dipa
adalah pola interaksi sosial yang asosiatif. Dikatakan demikian karena disekolah
tersebut terjadi pola interaksi sosial yang menunjukkan adanya kerjasama, pihak
yayasan, sekolah dan guru. Mereka membangun kerjasama untuk mencapai visi
dan misi sekolah yang telah ditetapkan, bekerjasama untuk meningkatkan kualitas
pendidikan, menumbuhkan kerjasama agar SMA Karuna Dipa semakin diterima
masyarakat, sehingga sekolah tersebut tumbuh dan berkembang baik secara
kualitas maupun kuantitas, bekerjasama untuk menciptakan keamanan di
lingkungan sekolah, baik keamanan yang bersifat internal, maupun keamanan
yang bersifat eksternal yakni berupaya agar sekolah tidak terlibat konflik dengan
pihak masyarakat.
Wujud dari kerjasama itu juga ditularkan kepada peserta didik agar mereka
juga selalu membangun kerjasama, baik kerjasama dalam upaya menyelesaikan
tugas-tugas pembelajaran yang dibebankan oleh para guru, maupun kerjasama
dalam bentuk ektra kurikuler, kerjasama dalam bidang sosial keagamaan. Ini
menunjukkan bahwa interaksi sosial berlangsung dengan sangat kohesif yang
ditandai dengan munculnya kebersamaan dalam menghadapi segala sesuatu baik

25

dalam konteks pengembangan lembaga pendidikan, maupun dalam konteks


pembiasaan kepada peserta didik.
Pola interaksi sosial yang asosiatif terlihat juga pada interaksi yang bersifat
akomodatif dan asimilatif. Pihak yayasan berusaha untuk selalu mengakomodasi
kepentingan kepala sekolah dan guru, dan pada saat yang sama pihak kepala
sekolah dan guru juga mengakomodasi kepentingan yayasan. Hasil dari saling
mengakomodasi ini, terlihat bahwa sekalipun yayasan berlatar belakang agama
Budha, namun mereka tidak menjadikan SMA Karuna Dipa sebagai media misi
untuk pengembangan agama Budha, akan tetapi justru menjadi lembaga untuk
saling menghargai dan saling menguatkan keyakinan masing-masing, tidak ada
propaganda, tidak ada intervensi eksploitasi antara satu pemeluk agama dengan
pemeluk agama yang lain.
Mereka juga menujukkan kehidupan yang saling membaur baik dalam
konteks pembauran sosial sehingga terwujud interaksi sosial yang harmonis
maupun dalam bentuk pembauran budaya. Banyak di antara mereka yang
mengalami pembauran sehingga bahasa dan aksen mereka sangat dipengaruhi
aksen bahasa setempat walau mereka sesungguhnya berasal dari etnis yang
berbeda. Mereka sudah terbiasa dalam pembauran budaya sehingga tampak
adanya saling menerima budaya yang berbeda.
Untuk lebih jelasnya temuan penelitian yang berkaitan dengan pola
interaksi sosial yang diatur yayasan, sekolah dan guru, dapat dilihat dalam matriks
5.2. berikut ini :

26

Matriks 5.2. Pola interaksi sosial yang diatur oleh yayasan


sekolah dan guru Di SMA Karuna Dipa Palu
Masalah
1

Pola Interaksi Sosial


2

Kerjasama

Pola interaksi sosial


peserta didik antar
etnik yang diatur
sekolah, guru dan
yayasan di SMA
Karuna Dipa Palu

Akomodasi

Asimilasi

Wujud Interaksi Sosial


3
1. Pimpinan sekolah, guru dan yayasan bekerjasama untuk
merumuskan visi dan misi sekolah, sekaligus
bekerjasama untuk mewujudkan visi misi sekolah
tersebut.
2. Pimpinan sekolah, guru dan yayasan sesuai dengan hak dan
kewajiban
serta
kewenangannya
masing-masing
bekerjasama untuk meningkatkan kualitas pembelajaran
dan mutu luaran pendidikan
3. Pimpinan sekolah, guru dan yayasan bekerjasama untuk
menumbuhkembangkan sekolah agar sekolah tersebut
dapat diterima oleh masyarakat
4. Pimpinan sekolah, guru dan yayasan bekerjasama menjaga
keharmonisan, sehingga sekolah tersebut terhindar dari
berbagai konflik baik konflik internal, maupun konflik
dengan masyarakat
5. Kerjasama antara pimpinan sekolah, guru dan yayasan
ditularkan kepada peserta didik berupa kebiasaan untuk
bekerjasama baik dalam menyelesaikan tugastugas pembelajaran, membiasakan kerjasama dalam
ekstra kurikuler, dan membiasakan kerjasama dalam
kegiatan sosial keagamaan.
1. Pihak yayasan memberi kesempatan yang seluas-luasnya
kepada pihak sekolah untuk melakukan kegiatan baik
dalam bentuk pembelajaran, maupun kegiatan ekstra
kurikuler
2. Pihak yayasan dan pimpinan sekolah serta guru, selalu
berupaya untuk mengakomodir semua kegiatan peserta
didik, baik dalam bentuk pembelajaran, maupun kegiatan
sosial keagamaan secara seimbang, tanpa menonjolkan
salah satu etnik dan agama tertentu
3. Peserta didik dari berbagai etnik dan agama diberi
kesempatan yang sama untuk mengadakan kegiatan dan
mengekspresikan bakat dan minat serta keinginankeinginan-nya dalam bentuk kegiatan amal dan kegiatan
sosial.
1. Pihak yayasan, pimpinan sekolah dan guru selalu memberi
kesempatan dan bahkan membuat kebijakan yang
memungkinkan semua peserta didik saling berbaur antara
satu dengan yang lainnya.
2. Kebanyakan peserta didik karena pergaulan yang sudah
berlangsung lama, kemudian terpengaruh oleh bahasa
dan aksen masyarakat setempat. Peserta didik etnik
Tionghoa misalnya, sudah banyak terpengaruh oleh
bahasa dan aksen masyarakat etnik Kaili
3. Banyak peserta didik yang mengalami perkawinan silang,
sehingga mereka sudah terbiasa hidup dalam dua tradisi
dan budaya yang -berbeda.
4. Antar peserta didik yang kemudian saling berbaur dapat
menerima ekspresi budaya dari etnik lainnya, Misalnya
budaya jepeng yang akrab dengan masyarakat etnik
Kaili, dapat diterima baik oleh peserta didik etnik
Tionghoa, begitu pula sebaliknya budaya barongsai yang
khas etnik Tionghoa dapat diapreseasi baik oleh peserta
didik etnik lainnya.

27

Temuan penelitian sebagaimana terurai dalam matriks 5.2. menunjukkan


bahwa Pola interaksi sosial peserta didik antar etnik yang diatur sekolah, guru dan
yayasan di SMA Karuna Dipa Palu adalah pola interaksi kerjasama, akomodasi
dan asimilasi. Temuan-temuan penelitian tersebut dibahas lebih 5istematis dan
rinci sebagai berikut:
1

Kerjasama
Temuan penelitian menunjukkan bahwa kerjasama merupakan salah bentuk

interaksi sosial yang ada di SMA Karuna Dipa Palu. Hal ini dapat dilihat dalam
beberapa hal seperti; Pimpinan sekolah, guru dan yayasan bekerjasama untuk
merumuskan visi dan misi sekolah, sekaligus bekerjasama untuk mewujudkan visi
misi sekolah tersebut. Pimpinan sekolah, guru dan yayasan sesuai dengan hak dan
kewajiban serta kewenangannya masing-masing bekerjasama untuk meningkatkan
kualitas pembelajaran dan mutu luaran pendidikan. Pimpinan sekolah, guru dan
yayasan bekerjasama untuk menumbuh kembangkan sekolah agar sekolah
tersebut dapat diterima oleh masyarakat. Pimpinan sekolah, guru dan yayasan
bekerjasama menjaga keharmonisan, sehingga sekolah tersebut terhindar dari
berbagai konflik baik konflik internal, maupun konflik dengan masyarakat.
Kerjasama antara pimpinan sekolah, guru dan yayasan ditularkan kepada peserta
didik berupa kebiasaan untuk bekerjasama baik dalam menyelesaikan tugas-tugas
pembelajaran, membiasakan kerjasama dalam ekstra kurikuler, dan membiasakan
kerjasama dalam kegiatan sosial keagamaan.
Kerja sama merupakan salah satu pola interaksi sosial yang terwujud
apabila orang perorang atau kelompok yang terlibat dalam interaksi itu memiliki

28

kepentingan yang sama dan masing-masing mereka memiliki pengetahuan dan


pengendalian terhadap diri sendiri untuk memenuhi kepentingan-kepentingan
tersebut. Munculnya kesadaran tentang adanya kepentingan yang sama dan
adanya organisasi merupakan faktor penentu bagi lahirnya kerja sama. (Cooley,
dalam Soekanto, 2003).
Uraian sebagaimana telah dikemukakan memberikan dasar yang kuat
bahwa kerja sama hanya akan terjadi jika individu yang terlibat interaksi sosial,
masing-masing memiliki kepentingan yang sama untuk mewujudkan sesuatu atau
untuk meraih sesuatu. Di.SMA Karuna Dipa Palu, dari masing-masing pihak
yakni yayasan, guru dan sekolah, memiliki kepentingan yang sama untuk
mencapai visi dan misi pendidikan, meningkatkan kualitas dan kuantitas,
Mengelola sekolah agar senantiasa dapat diterima oleh masyarakat dari berbagai
kalangan etnik dan agama, menjaga keamanan sekolah baik internal maupun
eksternal. Kepentingan bersama ini hanya akan terwujud jika masing-masing
pihak menyadari bahwa kepentingan bersama ini harus dilakukan dengan
melakukan kerja sama.
Kerja sama juga terjadi apabila suatu kelompok atau organisasi merasa ada
bahaya dan ancaman dari luar, (Soekanto, 2003). Bahaya dan ancaman yang
dimaksud tidak hanya dalam konteks fisik, tetapi juga dalam arti bahaya dan
ancaman yang dapat mengganggu kelanjutan eksistensi. Jika suatu kelompok
merasa terancam eksistensinya, maka besar kemungkinan kelompok itu akan
membangun kerjasama untuk mengatasinya. Keberadaan SMA Karuna Dipa
selalu dalam ancaman dan bahaya, Karena mau atau tidak SMA Karuna Dipa

29

harus mampu bersaing dengan sekolah sederajat lainnya untuk meraih simpati dan
kepercayaan masyarakat, ketidak mampuan bersaing dengan sekolah lain yang
sederajat merupakan ancaman yang serius karena hal itu dapat berakibat langsung
pada kurangnya peminat dan pada gilirannya akan meyebabkan sekolah tersebut
kehilangan eksistensi. Dalam konteks ini semua pihak yang terlibat di SMA
Karuna Dipa, mulai dari pihak yayasan, pimpinan sekolah dan guru-guru, tenaga
kependidikan lainnya, peserta didik, serta pihak-pihak yang terlibat lainnya, harus
mampu bekerja sama, mengedepankan kebersamaan dan mengesampingkan ego
masing-masing, agar mereka selalu mampu menjaga kualitas dan kuantitas
lembaga pendidikan yang dikelolanya, memelihara persatuan dan kesatuan antar
peserta didik yang berbeda etnik dan agama, dan selalu menjaga keseimbangan,
keadilan dalam memberi perlakuan dan membangun hubungan sosial di tengah
keberbedaan mereka.
Kemampuan bekerja sama untuk membangun persatuan dan kesatuan,
menjaga keseimbangan dalam hubungan sosial dengan memberi perlakuan yang
sama kepada semua etnik yang berbeda, merapatkan poin penting bagi SMA
Karuna Dipa untuk menjaga eksistensinya. Bahkan kemampuan untuk menjaga
keseimbangan dan hubungan sosial di antara etnik dan agama yang berbeda
merupakan modal penting yang dapat dijadikan lambang atau "merek" bagi
keberadaan SMA Karuna Dipa.
Berdasarkan data penelitian menunjukkan bahwa bentuk kerja sama yang
menonjol yang dilakukan oleh pihak yayasan, guru dan sekolah adalah kerja sama
yang berbentuk ko-optasi (co-optation). Ko-optasi adalah salah satu bentuk kerja

30

sama yang saling menerima unsur-unsur baru dalam kepemimpinan, atau


pelaksanaan politik dalam suatu organisasi, sebagai salah satu cara untuk
menghindari

terjadinya

kegoncangan

dalam

stabilitas

organisasi

yang

bersangkutan. (Thompson dan McEwen, dalam Soekanto, 2003). Unsur-unsur


baru dalam kepeminpinan secara lebih luas dapat dipahami, adalah kebiasaankebiasaan baru, tata etika baru, aturan-aturan baru, ide dan gagasan baru, dari
masing-masing pihak yang berbeda etnik dan agama yang kemudian diramu
secara bersama, disepakati bersama sebagai dasar untuk membangun kerja sama.
Untuk mengelola SMA Karuna vDipa dengan baik diperlukan kearifan dari
masing-masing pihak. Pihak yayasan yang umumnya berbeda etnik dan agama
dengan para guru, dibutuhkan kelapangan dada dari masing-masing pihak untuk
saling menerima unsur-unsur baru dalam menjalankan roda organisasi. Pihak
yayasan yang beretnik Tionghoa dan beragama Budha, dituntut untuk menerima
hal-hal baru, ide-ide baru, dan bahkan kepentingan-kepentingan dari para guru
yang berasal dari berbagai etnik dan umumnya beragama Islam. Hanya dengan
kesadaran kerja sama yang bersifat ko-optasi roda organisasi SMA Karuna Dipa
dapat dijalankan, untuk mempertahankan eksistensinya sekaligus menjalankan
perannya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Dapat dikatakan lebih lanjut bahwa kerja sama yang terjadi di SMA
Karuna Dipa yang dilakukan oleh pihak yayasan, sekolah dan guru adalah kerja
sama yang saling menguntungkan, kerja sama yang saling menerima gagasan
baru, yang bersifat ko-optasi untuk menjalankan roda organisasi. Dengan kerja
sama yang demikian SMA Karuna Dipa dapat menjelma menjadi sekolah yang

31

semakin diminati dan dipercaya oleh masyarakat karena memiliki keunikan


tersendiri. Keunikan itu terletak pada realitas keberbedaan etnik dan agama antara
pihak yayasan, sekolah dan guru, namun demikian mereka mampu mengelola
keunikan itu melalui kerja sama yang baik, sehingga sekolah tersebut dapat
menjalankan tugas dan fungsi pendidikannya.
2

Akomodasi
Temuan penelitian menunjukkan bahwa interaksi sosial yang terjadi di

SMA Karuna Dipa, selain dalam bentuk kerja sama, juga menunjukkan adanya
interaksi sosial dalam bentuk akomodasi. Hal ini dapat dilihat dalam hubungan
sosial keseharian yang mereka lakukan, pihak yayasan memberi kesempatan yang
seluas-luasnya kepada pihak sekolah untuk melakukan kegiatan baik dalam
bentuk pembelajaran, maupun kegiatan ektra kurikuler. Pihak yayasan dan
pimpinan sekolah serta guru, selalu berupaya untuk mengakomodir semua
kegiatan peserta didik, baik dalam bentuk pembelajaran, maupun kegiatan sosial
keagamaan secara seimbang, tanpa menonjolkan salah satu etnik dan agama
tertentu. Peserta didik dari berbagai etnik dan agama diberi kesempatan yang
sama untuk mengadakan kegiatan dan mengekspresikan bakat dan minat serta
keinginan-keinginannya dalam bentuk kegiatan amal dan kegiatan sosial.
Kesediaan pihak yayasan memberi kesempatan seluas-seluasnya kepada
pihak guru untuk melakukan berbagai program pendidikan dan pengajaran sesuai
dengan program yang telah direncanakan, merupakan bentuk akomodasi yang
dilakukan oleh pihak yayasan. Para pengurus yayasan yang beretnik Tionghoa dan
beragama Budha tentunya berkeinginan kuat untuk membina peserta didik agar

32

sesuai dengan prinsip, nilai, norma dan bahkan agama yang dimiliki oleh etnik
Tionghoa yang beragama Budha. Sebagai pemilik yayasan, mereka tentu memiliki
kekuasaan dan kesempatan untuk melakukan hal tersebut. Namun hal itu tidak
dapat dilakukan, karena pihak yayasan berhadapan dengan pihak pimpinan
sekolah dan guru yang pada umumnya tidak beretnik Tionghoa, dan para guru
tersebut umumnya beragama Islam. Para guru juga tentu memiliki idealisme,
prinsip, nilai, norma dan bahkan agama yang dianutnya yang dapat dijadikan
pedoman dan dasar untuk mengelola lembaga pendidikan Karuna Dipa. Sekalipun
demikian guru-guru tersebut tidak bisa memaksakan prinsip, nilai dan norma yang
mereka miliki karena mereka bernaung di bawah suatu yayasan yang dikelola oleh
sekelompok individu yang beretnik Tionghoa dan beragama Budha.
Pimpinan sekolah dan guru tidak hanya berhadapan dengan pihak yayasan,
tetapi juga berhadapan dengan peserta didik yang berbeda etnik dan agama. Para
guru juga tidak dapat memaksakan kehendaknya berdasarkan prinsip, nilai, norma
dan bahkan agama yang mereka anut, kepada para peserta didiknya. Ini
disebabkan peserta didik yang mereka hadapi adalah peserta didik yang sangat
heterogen, dari sisi etnis peserta didik di SMA Karuna lebih banyak yang beretnis
Tionghoa, kemudian disusul etnis Kaili, Bugis-Makassar, Manado, Jawa dan
beberapa etnis lainnya. Dari sisi penganut agama mayoritas penganut Kristen,
kemudian disusul penganut Islam, Budha, Katholik dan Hindu. Hal ini juga
mendorong para guru untuk memberikan sikap dan perlakuan yang adil, terutama
dalam hal prinsip, nilai dan norma tanpa melihat etnik dan agama peserta
didiknya.

33

Heterogenitas etnik dan agama di SMA Karuna Dipa dalam konteks


hubungan sosial bisa berakibat ganda. Di satu sisi perbedaan etnik dan agama
dapat menjadi pemicu terjadinya pertentangan dan bahkan konflik nilai dan
norma, namun pada sisi yang lain perbedaan tersebut justru dapat menjadi dasar
untuk membangun hubungan dan interaksi sosial yang harmonis. Dengan
demikian, untuk membangun hubungan sosial yang harmonis di tengah keberbedaan harus selalu dibarengi dengan upaya-upaya untuk menjaga kestabilan dan
keseimbangan interaksi, dengan cara melakukan akomodasi.
Akomodasi merupakan suatu cara untuk menyeimbangkan hubungan sosial
dan meredakan suatu pertentangan sosial antar individu atau kelompok terutama
yang ada hubungannya dengan nilai dan norma, (Bungin 2006). Tujuan
akomodasi adalah untuk mengurangi pertentangan antara individu atau kelompok
yang berbeda, mencegah meledaknya pertentangan, akomodasi juga memungkinkan terjadinya kerjasama di kalangan individu atau kelompok (Soekanto,
2003). Hubungan sosial yang bersifat akomodatif lebih dibutuhkan ketika individu
dan kelompok yang membangun hubungan sosial berasal dari etnik dan agama
yang berbeda.
Bentuk akomodasi yang dilakukan oleh masing-masing pihak yang terlibat
hubungan sosial di SMA Karuna Dipa bersifat tolerant-participation, (Soekanto,
2003). Dikatakan demikian karena masing-masing pihak yang terlibat hubungan
sosial

di

SMA

Karuna

Dipa

dalam

mengelola

lembaga

pendidikan

mengedepankan kebersamaan dan selalu menjaga keseimbangan interaksi, serta


berupaya untuk menghindari perselisihan disebabkan oleh perbedaan nilai dan

34

norma. Masing-masing pihak yang terlibat hubungan sosial di SMA Karuna Dipa
menyadari sepenuhnya bahwa mereka memiliki sistem nilai dan norma serta
keyakinan yang berbeda, namun demikian sistem nilai yang mereka miliki tidak
bisa dipaksakan untuk diterapkan secara sepihak hanya berdasar pada kewenangan
dan kekuasaan yang mereka miliki. Dalam konteks yang demikian, maka masingmasing pihak harus saling mengakomodasi dengan cara memberi kesempatan
kepada semua pihak untuk menerapkan sistem nilai mereka sesuai medan
sosialnya masing-masing, dan bahkan mereka justru saling membantu, misalnya
dalam melakukan kegiatan sosial keagamaan.
Dengan akomodasi yang toleran pihak yayasan, sekolah dan guru
membangun hubungan sosial tanpa ketegangan, walau mereka diselimuti dengan
berbagai perbedaan sosial. Dengan interaksi yang akomodatif, masing-masing
pihak menyadari keberadaan untuk saling memberi kesempatan dan bahkan saling
membantu sesuai dengan proporsinya dalam melakukan kegiatan-kegiatan
berdasar pada tata nilai dan norma, adat istiadat, budaya dan bahkan keyakinan
agama mereka, selama apa yang dilaksanakan tidak mengganggu dan atau
menciderai kehidupan sosial dan keagamaan peserta didik dari etnik dan agama
lain. Pihak yayasan, kepala sekolah dan guru tidak boleh membatasi, dan bahkan
menekan peserta didik dalam mengekspresikan dan melaksanakan kegiatan
berdasar pada prinsip, nilai, norma, budaya dan bahkan agama, selama kegiatan
positif.
Hubungan sosial yang akomodatif yang ada di SMA Karuna Dipa Palu
membawa dampak dalam kehidupan sosial peserta didik. Kehidupan sosial yang

35

mereka jalani setiap hari menjadikan mereka memiliki keluasan wawasan,


kelenturan sikap dan perilaku. Keluasan wawasan, ditandai dengan adanya
pemahaman bahwa prinsip, nilai dan norma yang mereka miliki sesungguhnya
memiliki tujuan yang sama sekalipun dalam penerapan dan praktek yang berbeda.
Prinsip, nilai dan norma yang mereka miliki masing-masing, semuanya
mendorong mereka untuk membangun hubungan sosial yang harmonis. Dengan
wawasan seperti itu kemudian melahirkan kelenturan sikap dan perilaku yang
ditandai dengan sikap dan perilaku yang saling menghargai saling membantu, dan
menghindarkan diri dari perilaku yang saling memaksakan dan saling
menghalangi untuk mengekspresikan prinsip, nilai dan norma masing-masing
dalam membangun hubungan sosial.
Dapat ditegaskan lebih lanjut bahwa dengan interaksi sosial yang
akomodatif justru memberi dampak yang sangat positif dalam pengelolaan
lembaga pendidikan di SMA Karuna Dipa Palu. Pihak yayasan, sekolah dan guru
justru dapat mengembangkan kegiatan-kegiatan secara bersama tanpa saling
menghalangi dan saling membatasi. Hubungan sosial seperti ini justru menjadikan
SMA Karuna Dipa lebih berkembang, semakin dipercaya masyarakat. Dan yang
lebih penting dari itu, adalah memberi pembelajaran kepada peserta didik untuk
membangun hubungan sosial yang asosiatif dengan membiasakan diri bersikap
akomodatif terhadap orang lain yang berbeda etnik dan agama.
3

Asimilasi
Selain interaksi sosial yang berbentuk kerja sama dan akomodasi, juga

ditemukan adanya interaksi sosial yang berbentuk asimilasi yang dilakukan oleh

36

yayasan, guru dan peserta didik di SMA Karuna Dipa Palu. Temuan penelitian
menunjukkan bahwa pihak yayasan, pimpinan sekolah dan guru selalu memberi
kesempatan dan bahkan membuat kebijakan yang memungkinkan semua peserta
didik saling berbaur antara satu dengan yang lainnya. Kebanyakan peserta didik
karena pergaulan yang sudah berlangsung lama, kemudian terpengaruh oleh
bahasa dan aksen masyarakat setempat. Peserta didik etnik Tionghoa misalnya,
sudah banyak terpengaruh oleh bahasa dan aksen masyarakat etnik Kaili. Banyak
peserta didik yang mengalami perkawinan silang, sehingga mereka sudah terbiasa
hidup dalam dua tradisi dan budaya yang berbeda. Antar peserta didik yang
kemudian saling berbaur dapat menerima ekspresi budaya dari etnik lainnya,
Misalnya budaya jepeng yang akrab dengan masyarakat etnik Kaili, dapat
diterima baik oleh peserta didik etnik Tionghoa, begitu pula sebaliknya budaya
barongsai yang khas etnik Tionghoa dapat diapresiasi baik oleh peserta didik etnik
lainnya.
Hubungan sosial yang berbasis kerja sama dan akomodasi hampir dapat
dipastikan akan melahirkan interaksi sosial yang bersifat asimilasi. Dalam banyak
hubungan sosial yang masyarakatnya saling memahami, saling menerima, saling
mengakomodasi akan membuka jalan ke arah asimilasi, karena para pihak lebih
saling mengenal dan dengan timbulnya benih-benih toleransi mereka lebih mudah
untuk saling mendekati, (Soekanto, 2003). Kebiasaan hubungan sosial yang
dipraktekkan oleh kelompok-kelompok yang berbeda etnik dan agama di SMA
Karuna Dipa, yang sangat toleran, saling memahami dan saling menerima
mengantarkan mereka pada kedekatan interaksi.

37

Kedekatan hubungan sosial ini memungkinkan mereka untuk saling


menyelami lebih dalam baik dalam aspek pribadi, maupun dalam aspek sosial
budaya. Pemahaman pribadi dan sosial budaya inilah yang kemudian menjadikan
lebih dekat dan lebih akrab.
Proses asimilasi terjadi apabila bertemu kelompok manusia yang berbeda
budaya, kemudian antar kelompok saling bergaul secara langsung dan sangat
intensif dalam waktu yang lama, sehingga kebudayaan dari masing-masing
kelompok berubah dan saling menyesuaikan diri (Soekanto, 2003). Di SMA
Karuna Dipa bertemu kelompok manusia dari berbagai etnik, budaya dan agama,
dari masing-masing kelompok kemudian bergaul secara intens, misalnya pihak
yayasan bergaul secara intens dengan pihak sekolah dan guru untuk selalu
mempertemukan visi dan misi serta program-program pengembangan sekolah,
begitu pula pertemuan yang terjadi secara intens antara pihak guru dan peserta
didik baik dalam kegiatan pembelajaran maupun dalam kegiatan ekstra dan non
kurikuler. Pertemuan secara intens juga terjadi antar peserta didik yang berbeda
etnik dalam kegiatan belajar kelompok maupun dalam kegiatan ekstra kurikuler
dan kegiatan sosial keagamaan.
Pertemuan antar kelompok di sekolah tersebut tidak hanya intens tetapi
juga berlangsung dalam waktu yang cukup lama, paling tidak dalam siklus tiga
tahunan bagi peserta didik, sehingga budaya, pola pikir, kebiasaan-kebiasaan,
sikap dan perilaku masing-masing berubah dan saling menyesuaikan diri. Peserta
didik etnik Tionghoa misalnya karena pergaulan sehari-hari dan dalam waktu
yang lama akhirnya mereka kemudian terpengaruh dengan dialeg dan aksen

38

bahasa Kaili. Pada saat yang sama etnik, selain etnik Tionghoa, sudah terbiasa
dengan barongsai, mereka tidak canggung lagi menggunakan beberapa aksesoris
dan simbol yang berasal dari budaya Tionghoa, misalnya lambang sekolah,
beberapa ornamen simbol budaya Tionghoa yang ada di sekolah, karena mereka
merasa hal tersebut bukan lagi milik Tionghoa semata, tetapi itu sudah menjadi
simbol sekolah mereka, dan karenanya mereka merasa itu sudah menjadi milik
mereka dan mereka juga berhak menggunakannya.
Asimilasi dapat terjadi jika didukung oleh beberapa faktor seperti adanya
sikap yang toleran, adanya penghargaan terhadap kebudayaan kelompok lain,
adanya sikap terbuka, adanya persamaan unsur dalam kebudayaan serta adanya
perkawinan campuran, (Setiadi dan Kolip, 2011). Berdasarkan pandangan tersebut
proses asimilasi yang terjadi di SMA Karuna Dipa tidak terlepas dari adanya sikap
toleran yang ditunjukan oleh pihak yayasan, guru dan peserta didik, mereka tidak
saling memaksakan kehendak untuk menerapkan nilai dan-norma yang mereka
miliki. Mereka juga sudah terbiasa untuk saling menghargai kebudayaan masingmasing. Guru, peserta didik dan pengurus yayasan, sama-sama terbuka dan
memberi untuk menerapkan nilai dan prinsip di kelompok mereka masing-masing,
dan bahkan jika nilai dan norma yang mereka memiliki membawa dampak
bersama maka mereka saling mendukung penerapan nilai dan norma tersebut.
Tidaklah mengherankan misalnya konsep menjalin silaturrahim dalam ajaran
Islam yang diterapkan oleh peserta didik muslim dapat diterima oleh peserta didik
dari etnik dan agama lain, karena konsep silaturrahim tiada lain adalah menjalin
persau-daraan, persatuan dan kesatuan antar sesama, mereka merasa senasib dan

39

sepenanggungan karena mereka berasal dari sekolah yang sama. Asimilasi


semakin berkembang di SMA Karuna Dipa karena banyak di antara peserta didik
yang lahir dari perkawinan campuran, sehingga membiasakan peserta didik
tersebut hidup dalam dua budaya yang berbeda, dan bahkan ada di antara mereka
hidup dalam dua keyakinan yang berbeda. Kondisi ini membiasakan peserta didik
tersebut untuk menyelami dan memahami perbedaan budaya dan agama itu, dan
kemudian memetik pelajaran berharga dari keadaan tersebut untuk diterapkan
dalam kehidupan sehari-harinya di tengah-tengah hubungan sosial yang berbeda
etnik.
Proses asimilasi yang terjadi di SMA Karuna Dipa yang dilakukan oleh
pengurus yayasan, pimpinan sekolah dan guru, peserta didik, serta tenaga
kependidikan lainnya, adalah proses asimilasi yang alamiah. Dikatakan demikian
karena proses tersebut terjadi seiring dengan perkembangan hubungan sosial yang
mereka bangun. Hubungan dan interaksi sosial yang dibangun atas persamaan
antar sesama manusia, menjadikan mereka membangun hubungan sosial yang
akrab dan terbuka. Dengan hubungan sosial yang demikian, menjadikan proses
asimilasi terjadi secara sukarela dan tanpa dipaksakan. Setiap kelompok etnik dan
atau agama yang ada di SMA Karuna Dipa saling menginzinkan mengadopsi
budaya atau kebiasaan-kebiasaan, norma dan nilai, selama apa yang diadopsi itu
tidak menciderai sistem keyakinan agama mereka masing-masing. Asimilasi
seperti ini yang oleh Henslin (2006) menyebutnya sebagai asimilasi yang
diizinkan dan merupakan kebalikan dari asimilasi yang dipaksakan. Menurut
Henslin (2006) lebih lanjut, bahwa asimilasi yang dipaksakan dimana sekelompok

40

manusia yang memiliki kewenangan dan kekuasaan tidak akan membolehkan


sekelompok

manusia

lainnya

yang

berbeda

etnik

dan

agama

untuk

mempraktekkan budaya dan ajaran agama mereka. Namun hal seperti ini justru
tidak ditemukan di SMA Karuna Dipa, karena sekalipun pemilik yayasan berasal
dari etnik Tionghoa dan beragama Budha namun mereka tidak memaksakan
keyakinan mereka untuk diterapkan secara menyeluruh kepada semua peserta
didik, dan sebaliknya pihak yayasan memberi kesempatan kepada etnik dan
agama lain untuk mempraktekkan budaya dan agama mereka selama tidak saling
mengganggu, Bahkan dalam konteks mengadakan kegiatan sosial keagamaan
mereka tidak dihalangi, justru mereka dianjurkan untuk saling membantu.
Dapat ditegaskan lebih lanjut bahwa hubungan sosial yang terbuka dalam
menilai dan memahami prinsip, norma, kebiasan dan budaya dari etnik lain di
SMA Karuna Dipa, menjadi faktor terjadinya asimilasi yang kohesif, asimilasi
tanpa dipaksakan. Asimilasi tersebut memberi pembelajaran kepada peserta didik
untuk membangun hubungan sosial tanpa ketegangan walau mereka berbeda.
Asimilasi mendorong peserta didik untuk saling terbuka dan menerima
kebudayaan etnik lain, bahkan dalam beberapa aspek hubungan sosial justru
terjadi asmilasi budaya seperti bahasa, simbol-simbol budaya tertentu. Dengan
demikian asimilasi dapat menjadi pendorong terjadinya kohesifitas sosial, dengan
berupaya untuk saling terbuka menerima budaya orang lain, selama tidak
menciderai dan mengganggu kebudayaan yang dimilikinya.

41

Anda mungkin juga menyukai