Chapter II 6
Chapter II 6
TINJAUAN PUSTAKA
1.
1.1
Defenisi
Demensia adalah suatu sindroma penurunan kemampuan intelektual progresif
arti konotasi yang spesifik. Yang pertama kali menggunakan kata demensia adalah
seorang enclyopedist yang bernama Celcus di dalam publikasinya De re medicine
sekitar AD 30 yang mengartikan demens sebagai istilah gila. Seabad kemudian
seorang tabib dari Cappodocian yang bernama Areteus menggunakan istilah senile
dementia pada seorang pasien tua yang berkelakuan seperti anak kecil. Kemudian pada
awal abad ke 19 seorang psikiater Prancis yang bernama Pinel menghubungkan
terminologi demensia dengan perubahan mental yang progresif pada pasien yang mirip
idiot (Sjahrir,1999)
Sampai abad ke 19 istilah demensia dianggap sebagai masa terminal dari
penyakit kejiwaan yang membawa kematian. Baru pada awal abad ke 20, yaitu tahun
1907 Alzheimer mempublikasikan suatu kasus yang berjudul A Unique Illnes
involving cerebral cortex pada pasien wanita umur 55 tahun. Kemudian kasus itu
ditabalkan sebagai penyakit Alzheimer. Pasien ini masih relatif muda dan secara
progresif bertahap mengalami gejala seperti psikosis dan demensia kemudian
meninggal 4-5 tahun setelah onset serangan pertama. Pada otopsi ditemukan 1/3 dari
bagian neuron kortek menghilang dari neuron yang tinggal menggembung berisi
gumpalan fiber dalam sitoplasmanya. Alzheimer menduga adanya perubahan kimiawi
di dalam neurofibril. Alzheimer lah yang pertama kali menemukan dan menamakan
neurofibrillary tangles (NT) dimana NT bersamaan dengan senile plaque (SP)
dianggap sebagai penanda diagnostik Alzheimer Disease. (Sjahrir,1999)
Proses penuaan tidak dapat dihambat, baik penuaan otak maupun fisik. Otak
akan atropi, sel pyramidal neuron di neokortek dan hipokampus akan mengkerut,
pengurangan dendrit dan sinaps. Seiring dengan itu maka gerakan dan reaksi akan
melambat, akan tetapi kaum tua masih dapat lari ataupun bermain tenis secukupnya.
Ingatan akan kata berkurang tetapi memori, semantik, pengetahuan, dan vocabulary
tidaklah akan menurun (Sjahrir,1999)
Pada umumnya 40% penderita demensia berada di atas 65 tahun dengan angka
insidens 187/100.000/tahunnya. Untuk demensia tidak ada perbedaan antara pria dan
wanita sedangkan untuk demensia Alzheimer lebih banyak wanita dengan rasio 1,6.
Insiden demensia Alzheimer sangatlah berkaitan dengan umur, 5% dari populasi
berusia di atas 65 tahun di Amerika dan Eropa merupakan penderita Alzheimer, dan
ini sesuai dengan makin banyak populasi orang tua di Amerika Serikat dan Eropa,
maka makin tua populasinya makin banyak kasus AD, dimana pada populasi umur 80
tahun didapati 50% penderita AD. (Sjahrir,1999)
1.3
Demensia kortikal
Demensia subkortikal
Klasifikasi lain yang berdasarkan korelasi gejala klinik dengan patologi-anatomisnya
1. Anterior : Frontal premotor cortex
Perubahan behavior, kehilangan kontrol, anti sosial, reaksi lambat.
2. Posterior: lobus parietal dan temporal
Gangguan kognitif: memori dan bahasa, akan tetapi behaviour relatif baik.
3. Subkortikal: apatis, forgetful, lamban, adanya gangguan gerak.
4. Kortikal: gangguan fungsi luhur; afasia, agnosia, apraksia.
1.4
Diagnosis klinis tetap merupakan pendekatan yang paling baik karena sampai saat ini
belum ada pemeriksaan elektrofisiologis, neuro imaging dan pemeriksaan lain untuk
menegakkan demensia secara pasti. Beberapa langkah praktis yang dapat dilakukan
antara lain :
1. Riwayat medik umum
Perlu ditanyakan apakah penyandang mengalami gangguan medik yang dapat
menyebabkan demensia seperti hipotiroidism, neoplasma, infeksi kronik. Penyakit
jantung koroner, gangguan katup jantung, hipertensi, hiperlipidemia, diabetes dan
arteriosklerosis perifer mengarah ke demensia vaskular. Pada saat wawancara
biasanya pada penderita demensia sering menoleh yang disebut head turning sign.
2. Riwayat neurologi umum
Tujuan anamnesis riwayat neurologi adalah untuk mengetahui kondisi-kondisi
khusus penyebab demensia seperti riwayat stroke, TIA, trauma kapitis, infeksi
susunan saraf pusat, riwayat epilepsi dan operasi otak karena tumor atau
1.5
1.6.1
Delirium
Delirium adalah keadaan akut dan serius, dapat mengancam jiwa. Dapat
disebabkan oleh berbagai penyakit, gangguan metabolik dan reaksi obat.
Demensia
dengan tepat
diketahui
progresif memburuk
Biasanya reversibel
Biasanya irreversible
siang ke malam
Gangguan psikomotor jelas terjadi pada fase Gangguan psikomotor terjadi pada fase lanjut
awal
1.6.2. Pseudodemensia
Depresi dapat mempengaruhi status kognisi penyandang, oleh sebab itu
sebelum mencari etiologi demensia perlu dipastikan apakah penyandang
mengalami demensia atau pseudodemensia karena depresi.
Pseudodemensia
Demensia
Awitan (onset)
Perlahan, berbulan-bulan
tingkah laku
Mood /tingkah laku
penyandang berusaha
Jelek
Normal
Ansietas, insomnia,
sendiri
Keluhan terkait
anoreksia
Durasi
Alasan konsultasi
berbulan-bulan-bertahun
Rujukan sendiri
Riwayat psikiatri
1.7
Pemeriksaan neuropsikologis
untuk membedakan proses ketuaan atau proses depresi. Sebaiknya syarat pemeriksaan
neuropsikologis memenuhi syarat sebagai berikut:
-
suatu
derajat
demensia
yang
berat.
(Asosiasi
Alzheimer
Indonesia,2003, Golomb,2001)
2.
DIABETES MELITUS
Diabetes Melitus merupakan kumpulan kelainan metabolik yang umum dengan
gejala yang sama berupa hiperglikemia. Beberapa jenis DM yang telah diketahui,
disebabkan oleh interaksi yang kompleks dari faktor genetik, faktor lingkungan dan
gaya hidup. Berdasarkan etiologi dari DM, faktor-faktor yang berperan dalam
terjadinya hiperglikemia antara lain berkurangnya sekresi insulin, berkurangnya
glucose utilization, dan peningkatan produksi glukosa. Disregulasi metabolik yang
berhubungan dengan DM menyebabkan perubahan patofisologi sekunder pada
berbagai sistem organ yang menimbulkan beban berat bagi individu penderita DM dan
bagi sistem kesehatan masyarakat. (Harrisons,2005).
2.1
Epidemiologi:
Dari berbagai penelitian epidemiologis di Indonesia, sekitar tahun 1980-an
didapatkan prevalensi DM antara 0.8% di Tanah Toraja sampai 6.1% yang didapatkan
di Manado. Hasil penelitian pada era 2000 menunjukkan peningkatan prevalensi yang
sangat tajam. Sebagai contoh penelitian di Jakarta (daerah urban) dari prevalensi DM
1,7 % pada tahun 1982 menjadi 5,7% pada tahun 1993 dan kemudian menjadi 12,8%
pada tahun 2001 di daerah sub-urban Jakarta. (Perkumpulan Endokrin Indonesia,2006)
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia 2003, diperkirakan penduduk
Indonesia yang berusia di atas 20 tahun sebesar 133 juta jiwa. Dengan prevalensi DM
pada daerah urban sebesar 14,7% dan daerah rural sebesar 7.2%, maka diperkirakan
pada tahun 2003 terdapat diabetisi sejumlah 8,2 juta di daerah urban dan 5,4 juta di
daerah rural. Selanjutnya berdasarkan pola pertambahan penduduk, diperkirakan pada
tahun 2030 nanti akan ada 194 juta penduduk yang berusia di atas 20 tahun dan
dengan asumsi prevalensi DM pada urban 14,7% dan rural 7,2% maka diperkirakan
terdapat 12 juta diabetisi di daerah urban dan 8,1 juta di daerah rural. (Perkumpulan
Endokrin Indonesia,2006)
2.2
glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan
tes toleransi glukosa oral (TTGO) standar.
Tabel 3. Kadar glukosa darah sewaktu sebagai patokan penyaring dan diagnosa DM
(mg/dL)
Bukan DM
Belum pasti DM
DM
Kadar glukosa
Vena
<100
100-199
>=200
darah sewaktu
Kapiler
<90
90-199
>=200
Kadar glukosa
Vena
<100
100-125
>=126
darah puasa
Kapiler
<90
90-99
>=100
2.3
perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM. Keluhan klasik DM berupa:
poliuria, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi
ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.
Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara. Pertama, jika keluhan klasik
ditemukan maka pemeriksaan glukosa darah sewaktu >= 200 mg/dL sudah cukup
untuk menegakkan diagnosis DM. Kedua, dengan TTGO. Ketiga dengan pemeriksaan
glukosa darah puasa yang lebih mudah dilakukan, mudah diterima oleh pasien serta
murah sehingga pemeriksaan ini dianjurkan untuk diagnosa DM.
Tabel 4. Kriteria diagnosa DM
1
2.
3.
Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, maka dapat
digolongkan ke dalam kelompok Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) atau Glukosa
Darah Puasa Terganggu (GDPT).
TGT
GDPT
2.4
Komplikasi Kronik DM
Komplikasi kronik dari diabetes melibatkan berbagai organ dan berperan
terhadap mortalitas dan morbiditas penyakit ini. Komplikasi kronik dapat dibagi
menjadi komplikasi vaskular dan non vaskular. Komplikasi vaskular kemudian dibagi
lagi menjadi komplikasi mikrovaskular (retinopati, neuropati, nefropati) dan
komplikasi makrovaskuler (penyakit arteri koroner, penyakit arteri perifer, penyakit
serebrovaskular). Komplikasi non vaskular termasuk gastroparesis, infeksi dan
perubahan pada kulit. Resiko terhadap komplikasi kronik meningkat menurut durasi
dari hiperglikemia; yang biasanya muncul pada dekade kedua. Karena pada diabetes
tipe 2 berlangsung periode hiperglikemia yang asimtomatik dalam waktu yang lama,
banyak penderita yang telah memiliki komplikasi ketika di diagnosa diabetes.
(Harrisons. 2005)
2.5
Komplikasi Renal DM
Nefropati diabetik adalah penyebab utama dari ESRD (End Stage Renal
Disease) di Amerika Serikat dan merupakan penyebab utama dari mortalitas dan
morbiditas yg terkait dengan DM. Nefropati diabetik mempunyai runtutan kejadian
yang karakteristik yang mulanya dikenali pada individu dengan DM tipe I
tapi
sepertinya sama dengan DM tipe II. Hiperperfusi renal dan renal hipertropi terjadi
pada tahun pertama setelah onset DM dan menyebabkan terjadinya peningkatan dari
Glomerular Filtration Rate (GFR). Selama lima tahun pertama dari DM, terjadi
penebalan dari Glomerular Basement Membrane (GBM), hipertropi glomerular dan
peningkatan volume mesangial dan GFR kembali normal. Setelah 5 sampai 10 tahun
terkena DM tipe I, 40 % penderita mulai mengeksresi sejumlah kecil albumin dalam
urine. Mikroalbuminuria adalah dijumpainya 30-300 mg/hari pada urine 24 jam.
2.6
menilai kapasitas filtrasi dari ginjal. GFR yang rendah atau menurun adalah indeks
dari Chronic Kidney Disease, CKD. Perhitungan yang paling sering dipakai untuk
mengestimasi GFR pada orang dewasa adalah persamaan Cockcroft-Goult yang
dikembangkan untuk mengestimasi creatinine clearance tapi telah banyak diuji akan
kemampuannya dalam mengukur GFR. Walaupun persamaan yang berdasarkan serum
creatinine (Cockcroft-Goult) adalah metode yang baik dari segi keefektifan dan harga,
ketepatannya terbatas. (Kidney Disease Outcome Quality Initiative, KDOQI.2000)
Metode baru diperlukan terutama untuk mendeteksi penyakit ginjal yang
ringan dan sedang, tapi akurasi, ketepatan dan kepraktisannya harus diuji dalam subjek
yang besar, dengan yang subjek yang berpenyakit ginjal dan yang tidak. Studi yg
terbesar yang mengevaluasi persamaan Cockcroft-Goult adalah studi MDRD. Serum
creatinine assay pada studi ini dikalibrasi kira-kira sama dengan creatinine yang
sebenarnya. Hasilnya, persamaan Cockcroft-Goult over-estimated terhadap GFR
sebesar 23%. (Kidney Disease Outcome Quality Initiative, KDOQI.2000)
Metode yang paling akurat untuk menentukan fungsi ginjal adalah pengukuran
formal GFR dengan Iothalamate atau marker yang mirip. Ini merupakan test yang
mahal dan membutuhkan banyak waktu dan tidak sesuai dengan praktek klinis,
tersedia hanya dibeberapa sentra dan tidak efektif untuk skrining CKD. (Kidney
Disease Outcome Quality Initiative, KDOQI.2000)
Formula yang dikembangkan dari Studi Modifikasi Diet pada Penyakit Ginjal
(Modification of Diet in Renal Disease, MDRD) saat ini adalah metode yang divalidasi
yang terbaik untuk orang dewasa untuk kegunaan praktis.. Kalkulator online untuk
estimasi GFR dengan metode MDRD disediakan oleh National Kidney Fondation di
situs www.kidney.org. (Brosius FC, dkk.2005)
Berikut adalah klasifikasi CKD menurut National Kidney Foundation Kidney
Disease Outcome Quality Initiative (NKF KDOQI) 2000.
Tabel 5. Derajat Keparahan CKD menurut NKF-KDOQI
GFR
(ml/mnt/1.73 m)
90
Stage
Deskripsi
II
60-89
III
30-59
IV
15-29
< 15
3.
Sebagai tambahan pada kerusakan organ terminal yang diinduksi hiperglikemia, fungsi
neurotransmitter yang berubah yang diamati pada percobaan binatang diabetes juga
berperan terhadap disfungsi kognitif. Pada tikus diabetes, dijumpai gangguan pada
long term potentiation yang diartikan sebagai peningkatan secara terus-menerus
jangka panjang dari kekuatan synaps pada neuron yang kaya akan neurotransmitter Nmethyl d aspartate (NMDA), yang dapat berkontribusi pada kelemahan proses belajar.
Perubahan neurokemikal yang telah diamati, penurunan asetilkolin, penurunan
turnover serotonin, penurunan aktivitas dopamine, dan peningkatan norepinephrine
pada otak binatang diabetes. Menariknya adalah semua kelainan ini membaik dengan
pemberian insulin. Suatu usulan hipotesa bahwa perubahan kadar glukosa yang tinggi
dan rendah pada penderitia diabetes yang tidak terkontrol bisa memperburuk fungsi
neurotransmitter.
3.2.
Pasien dengan diabetes beresiko 2 sampai 6 kali lipat untuk terjadinya stroke
thrombotic, dan penyakit pembuluh darah telah lama dihipotesa berperan pada
kelainan kognitif pada pasien tersebut. Studi dengan otopsi pada pasien diabetes tipe 1
memperlihatkan perubahan yang berhubungan dengan penyakit pembuluh darah,
termasuk degenerasi otak difus, pseudocalcinosis, demyelinisasi dari saraf kranial dan
medula spinalis dan fibrosis saraf. Penebalan basement membrane kapiler, suatu tanda
khas dari diabetik mikroangiopati telah ditemukan pada pasien dengan diabetes. Pesien
diabetes juga didapati penurunan cerebral blood flow yang diukur dengan xenon, dan
derajat penurunan sesuai dengan lama penyakit. Namun kadar glukosa darah tidak
dikontrol selama penelitian. Menariknya tingkat cerebral blood flow pada pasien
dengan diabetes serupa dengan pasien Alzheimers. Observasi pada penderita diabetes
didukung oleh studi-studi pemberian streptozotocin pada tikus dengan hiperglikemia
kronik. Diduga bahwa penurunan pada cerebral blood flow, dilawan dengan stimulasi
dari reseptor thromboksan A2 terjadi pada pasien diabetes, dapat berkontribusi dalam
ketidakmanpuan dari pembuluh darah otak untuk berdilatasi secara adekuat, yang akan
mengarah pada kecenderungan untuk terjadinya iskemia. Koinsidensi dari iskemia dan
hiperglikemia bisa secara khusus merusak otak. Bahkan peningkatan kadar glukosa
darah yang tidak tinggi pada manusia selama cerebrovascular event berhubungan
dengan perbaikan klinis yang lebih jelek. Salah satu mekanisme potensial dimana
hiperglikemia dapat mempotensiasi kerusakan akibat iskemia adalah akumulasi laktat.
Hiperglikemia menyediakan lebih banyak substrat untuk pembentukan laktat,
menyebabkan asidosis selular, dan memperburuk injury. Mekanisme lain adalah
akumulasi glutamate pada kondisi hiperglikemia dan iskemik. Glutamate, suatu asam
amino neurotransmitter eksitatori, telah menunjukkan kerusakan neural pada otak.
3.3.
Peran Hipoglikemia
Episode yang berulang dari hipoglikemi berperan pada kelainan kognitif kontroversial
dan sepertinya tergantung dengan umur pasien. Kebanyakan endokrinologis memiliki
pengalaman dengan pasien yang mengalami hipoglikemia berat dengan sedikit atau
tidak ada kelainan permanen. Hal ini sepertinya ketidakakuratan glukometer pada level
glukosa yang rendah, waktu yang tidak adekuat dalam penanganan hipoglikemia berat,
atau variasi dalam penyimpanan glikogen. Telah terlihat pada percobaan binatang,
bahwa setelah 30-60 menit dengan kadar glukosa antara 0,12 dan 1,36 mmol/liter,
nekrosis neuronal terjadi disertai dengan peningkatan aspartate, alkalemia, dan
kegagalan energi yang membawa pada gambaran yang datar pada EEG. Korteks,
basal ganglia, dan hipokampus sepertinya daerah yang paling rentan terhadap
hipoglikemia, dimana adanya nekrosis laminar dan gliosis yang dijumpai pada daerah
ini ketika dilakukan otopsi pada pasien yang meninggal karena hipoglikemia. Studi
lain, otopsi yang dilakukan pada kematian yang terjadi karena hipoglikemia
menunjukkan nekrosis multifocal atau yang difus dari korteks serebral dan
kromatolisis dari ganglion sel. Percobaan pada binatang, kerusakan yang diinduksi
hipoglikemia sepertinya slektif terhadap neuron tertentu dengan pengecualian astrosit
dan oligodendrosit. Beberapa telah membuat hipotesa bahwa kerusakan neuron akibat
hipoglikemia adalah akibat overaktivasi dari reseptor neurotransmitter eksitatori
NMDA. Menariknya, adanya reseptor antagonis NMDA yang sepertinya mencegah
nekrosis neuron membuka peluang terapi potensial untuk kerusakan otak yang
diinduksi oleh hipoglikemia. Terapi itu mungkin bermanfaat pada anak dengan
diabetes tipe 1 yang sepertinya rentan terhadap komplikasi serebral dari hipoglikemia.
Mungkin ada juga hubungan antara hipoglikemia selama tidur pada tengah malam,
dimana terjadi konsolidasi memori dan kelainan kognitif. Perbandingan hasil test
antara yang euglikimia selama tidur dengan pasien diabetes tipe 1 yang mengalami
hipoglikemia relatif selama tidur (2,2 mmol) selama tidur menununjukan adanya
gangguan memori deklaratif. Namun tidak dijumpai defisit neurokognitif pada
beberapa studi dimana hipoglikemia nokturnal yang diinduki selama tidur.
3.4.
Meskinpun peran dari insulin pada metabolisme serebral dan fungisnya masih
diselidiki, penelitian selama duapuluh tahun dalam bidang ini telah memberi banyak
pencerahan. Sebelumnya diduga otak adalah organ yang tidak memerlukan insulin,
namun banyak penelitian yang mempertanyakan hal itu. Reseptor insulin dan ekspresi
mRNA
telah
dijumpai
terdistribusi
luas
di
otak
dengan
menggunakan
insulin dan Alzheimers disease mungkin memiliki patofisiologi yang sama, karena
pasien dengan Alzheimers disease juga menunjukkan peningkatan marker inflamasi.
Mekanisme kedua yang potensial bagaimana resistensi insulin dan diabetes tipe 2 bisa
berperan
dalam
gangguan
kognitif
adalah
melalui
hambatan
pada
aksis
protein (APP), yang diproduksi neuron, dengan bantuan ezim dan sekretase. amyloid sebenarnya dihancurkan oleh insulin degreading enzyme. -peptide amyloid
dapat dengan sendirinya berikatan dengan RAGEs dan menyebabkan disfungsi
neuronal dan mikroglia dan stress oksidatif. Menariknya -peptide amyloid, AGEs,
RAGEs telah ditemukan dalam astrosit menggunakan immunohistochemistry dalam
irisan otak manusia. Tambahan, ada bukti yang menguatkan bahwa resistensi insulin
dapat mempengaruhi metabolism APP dan -amyloid yang potensial meningkatkan
beban senile plaque serebral.
Pengamatan terhadap sel pulau Langerhans pada penderita diabetes tipe 2 adalah khas
dengan kehilangan sel dan penumpukan dari amyloid di sel pulau Langerhans
dimana ini mengingatkan akan penumpukan -amyloid yang terlihat pada Alzheimers
disease. Yang membentuk amyloid pada sel pulau Langerhans dan sel saraf adalah
sama dan sama-sama toksik terhadap sel pulau Langerhans dan sel saraf. Penelitian
pada 29 subjek dimana otopsi pada otak dan pancreas tersedia, amyloid ditemukan
pada semua subjek dengan berbagai tingkatan. Pada penelitian lain, amyloid sel pulau
Langerhans ditemukan lebih banyak pada otopsi pasien Alzheimers dibanding dengan
yang bukan. Berdasarkan kesamaan -amyloid pada sel pulau dan sel saraf ada yang
menduga bahwa patogenesis yang sama mungkin terjadi pada pasien diabetes tipe 2
dan Alzheimers disease, yang mungkin juga melibatkan kelainan pada protein
chaperone yang membantu lalulintas protein intraselular.
4.
banyak dilaporkan pada berbagai peneltian pada pasien dengan ESDR, tapi tidak
5.
Kerangka Konsepsional
DM
Harrison:2005;Knoblerdkk.2004
DaschS.C:1989;Giuntidkk.2006
- episode hiperglikemia
- episode hipoglikemei
- hiperinsulimenia
- produk glikosilasi
- vascular change
- oxidative stress
Roberts RO,dkk;2008
CKD
(GFR )
Uremia; Anemia
Inflamasi
Kurella dkk; 2005
Heilpern dkk; 2007
Gangguan Fungsi
Kognitif
6.
Kerangka Teori
KOMPLIKASI RENAL
DIABETES MELITUS
Hiperglekimia:
Aktivasi jalur polyol
Pembentukan ages
Aktivasi
diacylglicerol
Shinting glukosa
jalur hexosamin
Perubahan fungsi
Peny. Vaskular:
Resiko trombotik
Preudocalcinosis,
demyelinisasi &
figrosis
Penebalan basemen
membrane kapiler
Penurunan CBF
Hipoglikomia:
Nekrosis neural
Overaktivasi
reseptur NMDA