Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN TUTORIAL

TATALAKSANA PRE DAN POST OPERASI SERTA


TERAPI CAIRAN DAN DIET PADA SKENARIO

Disusun Oleh :
Agung Kurniawan
Cindi Novita Sari
Riesti Roito

Pembimbing : dr. Yulchair Ramli, Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT ANAK


RS ISLAM PONDOK KOPI JAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2016

TATALAKSANA
Non- Medikamentosa
A. Rawat inap :
- Tirah baring
Pasien sebaiknya tidur yang cukup 8-10 jam setiap harinya, agar daya tahan tubuh
kembali pulih.
-

Nutrisi dan Diit


Diet harus mengandung kalori dan protein yang cukup. Sebaiknya rendah serat untuk
mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk penderita tifoid biasanya
diklasifikasikan atas : diet cair, bubur lunak, tim dan nasi biasa. Pemberian makanan
tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang paling membantu
dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus.
Status gizi (NCHS2000) :
TB/U = 112/117 x 100% = 95% (normal)
BB/U = 16/21 x 100% = 76% (gizi kurang)
BB/TB = 16/21 x 100% = 76 % (gizi baik)
Kesan : status gizi menurut antropometri BB/TB (gizi baik) dan BB/U (gizi kurang)

Target pemberian kalori pada anak


Gizi baik/kurang:
Kebutuhan kalori ditentukan berdasarkan berat badan ideal dikalikan RDA
menurut usia tinggi (height age). Usia-tinggi ialah usia bila tinggi badan anak
tersebut merupakan P50 pada grafik. Kebutuhan nutrien tertentu secara khusus
dihitung pada kondisi klinis tertentu.
a. Tatalaksana Gizi Buruk menurut WHO, atau
b. Berdasarkan perhitungan target BB-ideal:

BBI x RDA menurut usia tinggi


18 kg x 80 kkal = 1440 kkal/hari
KH = 60% x 1440 kkal = 864 kkal/4 = 216 gr

Protein = 25% x 1440 kkal = 360 kkal/4 = 90gr


Lemak = 15% x 1440 kkal = 216 kkal/9 = 24gr
Contoh Menu Harian Pada Pasien Pre Operasi (1440 Kkal)

Waktu

Contoh menu sajian

Pagi hari

1 cup sup makaroni, 1 gelas susu

Pukul 10.00

1 sari buah apel

Siang hari

Bubur nasi 7 sdm, 1 cup tumisan tahu


tempe, 1 ptg sedang dada ayam tanpa
kulit

Pukul 16.00

1 potong besar pepaya

Malam hari

Bubur nasi 7 sdm, 1 ekor sdg ikan, 1


mangkuk sayur sup

Terapi Cairan
Rumus Darrow :
16 kg = (10 x 100) + (6 x 50) = 1000 + 300 = 1300 ml/hari
Makrodrip : 1300 x 20 = 18 tpm
24 x 60
IVF RL 18 tts/menit
Medikamentosa
Antipiretik :
-

Dosis : 10-15 mg/KgBB/kali (Oral)


Paracetamol : 10 mg x 16 kg = 160 mg/kali (120mg/5ml). 3 kali 1 sendok atau 7 ml

Antibiotik :
-

Dosis : 50mg/KgBB/hari 10-14 hari intravena


Chloramfenikol : 50 mg x 16 kg = 800mg/hari. (sediaan vial 1g yang dilarutkan dalam
10 ml aquades sehingga 1 ml mengandung 100mg chloramfenikol. kasus: injeksi
800mg/8 ml per hari dbagi 4 kali).

H2 agonist :
-

Dosis : 2 -4 mg/kgBB/hari (Oral)


ranitidine sirup 2 mg x 16 = 32 mg/hari (15mg/ml) . 2 kali sendok atau 2.5 ml

B. Rencana Operasi Apendektomi


Tatalaksana Pre Operasi Apendektomi
Secara umum, persiapan pembedahan antara lain :
1. Pengosongan lambung : dengan cara puasa (Lama puasa pada anak-anak 4-6 jam)
2. Pengosongan kandung kemih.
3. Informed consent (Surat izin operasi dan anestesi).
4. Pemeriksaan fisik ulang
5. Pelepasan gigi palsu, dan asesori lainnya.
6. Premedikasi secara intramuskular - 1 jam menjelang operasi atau secara
intravena jika diberikan beberapa menit sebelum operasi.

Tatalaksana Saat Post-Operasi Apendektomi


Non medikamentosa
a. Edukasi
Edukasi terhadap pasien dan keluarga mengenai :
- Penyakit yang timbul akibat appendiksitis
-

dan

setelah

operasi

apendektomi
Menjelaskan komplikasi dari appendisitis dan setelah operasi apendektomi
Menjelaskan bawah pasien sudah dperbolehkan untuk makan dan minum

setelah flatus, dan bising usus normal


b.Cukup Istirahat dan tidur

Penderita sebaiknya tidur yang cukup 6-8 jam setiap harinya dan tidak
memaksakan diri dalam melakukan aktivitas sehari- hari agar luka bekas operasi cepat
kering dan tidak menimbulkan luka baru.
c. Pemberian nutrisi:
Diet untuk penderita tifoid dan post operasi biasanya diklasifikasikan atas :
diet cair, bubur lunak, tim dan nasi biasa. Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi
protein (TKTP) rendah serat adalah yang paling membantu dalam memenuhi nutrisi
penderita namun tidak memperburuk kondisi usus.
Post operasi pasien diet makanan cair dan atau bubur lunak, 3 hari kemudian
jika kondisi usus sudah membaik pasien dapat diberikan makanan nasi biasa, pantau
dan evaluasi oromotor.
Contoh Menu Harian Pada Pasien Post Operasi (1440 Kkal)

Waktu

Contoh menu sajian

Pagi hari

Havermut 6 sdm + 1 gelas susu

Pukul 10.00

1 sari buah pepaya

Siang hari

Bubur tim 7 sdm, 1 mangkuk sayur


sup, 1 butir putih telur

Pukul 16.00

1 gelas jus melon

Malam hari

Bubur nasi 7 sdm, 1 ekor sdg ikan, 1


mangkuk sayur sup, 1 butir putih
telur

Tatalaksana Imunisasi Tidak Lengakap Pada Pasien


Usia

Vaksin

Keterangan

6 tahun 9
bulan

Influenza

Ulangan 1 kali tiap tahun

6 tahun 10
bulan
6 tahun 11
bulan
10 tahun

MMR

booster

Varisela

1 kali

DTP

Bosster

10 tahun 2
bulan

HVP

3 kali

Penyulit (Komplikasi)
Perforasi usus halus dilaporkan dapat terjadi pada 0,5-3 %, sedangkan perdarahan
usus pada 1-10% kasus demam tifoid anak. Penyulit ini biasanya terjadi pada minggu ke-3
sakit, walau pernah dilaporkan terjadi pada minggu pertama. Komplikasi didahului dengan
penurunan suhu, tekanan darah dan peningkatan frekuensi nadi. Pada perforasi usus halus
ditandai oleh nyeri abdomen lokal pada kuadran kanan bawah akan tetapi dilaporkan juga
nyeri yang menyelubung. Kemudian akan diikuti muntah, nyeri pada perabaan
abdomen,defance muskulare, hilangkanya keredupan hepar dan tanda peritonitis yang lain.
Beberapa kasus perforasi usus halus mempunyai manifestasi klinis yang tidak jelas.
Dilaporkan

pula

kasus

dengan

komplikasi

neuropsikiatri.

Sebagian

besar

bermanifestasi gangguan kesadaran, disorientasi, delirium, obtundasi, stupor bahkan


koma.Beberapa penulis mengaitkan manifestasi klinis neuropsikiatri dengan prognosis buruk.
Penyakit neurologi yang lain adalah thrombosis serebral, afasia, ataksia serebral akut, tuli,

myelitis transversal, neuritis perifer maupun kranial, meningitis, ensefalomielitis, sindrom


Gullain-Barre. Dari berbagai penyulit neurologic yang terjadi, jarang dilaporkan gejala sisa
yang permanen (sekuele).
Miokarditis dapat timbul dengan manifestasi klinis berupa aritmia, perubahan ST-T
pada EKG, syok kardiogenik, infiltrasi lemak maupun nekrosis pada jantung. Hepatitis tifosa
asimptomatik dapat dijumpai pada kasus demam tifoid dengan ditandai peningkatan kadar
transaminase yang tidak mencolok. Ikterus dengan atau tanpa disertai kenaikan kadar
transaminase, maupun kolesistitis akut juga dijumpai, sedang kolesistitis kronik yang terjadi
pada penderita setelah mengalami demam tifoid dapat dikaitkan dengan adanya batu empedu
dan fenomena pembawa kuman (karier).
Sebagian kasus demam tifoid mengeluarkan bakteri Salmonella typhi melalui urin
pada saat sakit maupun setelah sembuh.Sistitis bahkan pielonefritis dapat juga merupakan
penyulit demam tifoid.Pneumonia sebagai penyulit sering dijumpai pada demam tifoid.
Penyulit lain yang sering dijumpai adalah trombositopenia, koagulasi intravascular
diseminata, hemolytic uremic sekunder (HUS), fokal infeksi di beberapa lokasi sebagai
akibat bakterimia misalnya infeksi pada tulang, otak, hati, limpa, otot, kelenjar ludah dan
persendian.
Relaps yang didapat pada 5-10% kasus demam tifoid saat era pre antibiotik, sekarang
lebih jarang ditemukan. Apabila terjadi relaps, demam timbul kembali seminggu setelah
penghentian antibiotik. Pada umumnya relaps lebih ringan dibandingkan gejala demam tifoid
sebelumnya.
Pencegahan
Secara umum, untuk memperkecil kemungkinan tercemar S.typlii, maka setiap individu
harus memperhatikan kualitas makanan dan minuman yang mereka konsumsi. Salmonella
typhi di dalam air akan mati apabila dipanasi seting 57C untuk beberapa menit atau dengan
prosesiodinasi/klorinasi. Untuk rnakanan, pemanasan sampai suhu 57C beberapa menit dan
secara merata juga dapat mematikan kuman Salmonella typhi. Penurunan endemisitas suatu
negara/daerah tergantung pada baik buruknya pengadaan sarana air dan pengaturan
pembuangan sampah serta tingkat kesadaran individu terhadap higiene pribadi. Imunisasi
aktif dapat membantu menekan angka kejadian demam tifoid.
Vaksin Demam Tifoid

Saat sekarang dikenal (tiga macam vaksin untuk penyakit demam tifoid, yaitu yang
berisi kuman yang dimatikan, kuman hidup dan komponen Vi dari Salmonella typhi. Vaksin
yang berisi kuman Salmonella typhi, S. paratyphi A, S. paratyphi B yang dimatikan (TAB
vaccine) telah puluhan tahun digunakan dengan cara pemberian suntikan subkutan namun
vaksin ini hanya memberikan daya kekebalan yang terbatas, disamping efek samping lokal
pada tempat suntikan yang cukup sering. Vaksin yang berisi kuman Salmonella typhi hidup
yang dilemahkan (Ty-21a) diberikan per oral tiga kali dengan interval pemberian selang
sehari, memberi daya perlindungan 6 tahun. Vaksin Ty-21a diberikan pada anak berumur di
atas 2 tahun. Pada penelitian di lapangan didapat hasil efikasi proteksi yang berbanding
terbalik dengan derajat transmisi penyakit. Vaksin yang berisi komponen Vi dari Salmonella
typhi diberikan secara suntikan intramuskular memberikan perlindungan 60 70 % selama 3
tahun.

Macam Macam Apendiktomi


Pembedahan untuk mengangkat apendiks dapat dilakukan dengan apendiktomi
terbuka dan apendiktomi laparoskopi.
A. Apendiktomi Terbuka
Bila apendiktomi terbuka, insisi McBurney paling banyak dipilih oleh ahli
bedah. Namun atas dasar anatomi dinding perut bagian anterior, berikut beberapa
sayatan berbeda yang dapat digunakan saat melakukan operasi open apendiktomi:
1. Insisi Grid Iron (McBurney Incision)
Insisi Gridiron pada titik McBurney. Garis insisi parallel dengan otot oblikus
eksternal, melewati titik McBurney yaitu 1/3 lateral garis yang menghubungkan
spina liaka anterior superior kanan dan umbilikus.

2. Lanz transverse incision


Insisi dilakukan pada 2 cm di bawah pusat, insisi transversal pada garis
miklavikula-midinguinal. Mempunyai keuntungan kosmetik yang lebih baik dari
pada insisi grid iron.

3.

Rutherford

Morissons

incision (insisi

suprainguinal)
Merupakan insisi perluasan dari insisi
McBurney. Dilakukan jika apendiks
terletak di parasekal atau retrosekal
dan terfiksir.

4. Low Midline Incision


Dilakukan jika apendisitis sudah terjadi perforasi dan terjadi peritonitis umum.

5. Insisi paramedian kanan bawah


Insisi vertikal paralel dengan midline, 2,5 cm di bawah umbilikus sampai di atas
pubis

1. Prosedur Apendiktomi Terbuka


1) Insisi mid transversal umbilikal kanan dengan pisau bedah no. 10
diperdalam dengan memotong lemak dan mencapai aponeurosis MOE
(Muskulus Oblikus Eksternus) MOE dibuka sedikit dengan skalpel searah
dengan seratnya, kemudian diperlebar ke lateral dan ke medial dengan
pertolongan pinset anatomi.

2) Wound Haak tumpul dipasang di bawah MOE tampak MOI (Muskulus


Oblikus Internus) buka secara tumpul dengan gunting atau klem arteri
searah dengan seratnya sampai tampak lemak peritoneum, dengan haak
LangenBack otot dipisahkan Haak dipasang di bawah muskulus tranversus
abdominis.

3) Peritoneum yang berwaran putih dipegang dengan menggunakan 2 pinset


Chirurgis dan dibuka dengan gunting perhatikan apa yang keluar: pus,
udara atau cairan lain (darah, feses dll), periksa kultur dan tes kepekaan kuman
dari cairan yang keluar tsb.

4) Kemudian Wound Haak diletakkan di bawah peritoneum sekum (yang


berwarna lebih putih, memiliki tanea koli dan haustra) dicari dan diluksir.
5) Apendiks yang basisnya terletak pada pertemuan tiga taenia mempunyai
bermacam-macam posisi: antesekal, retrosekal, anteileal, retroileal, dan
pelvinal setelah ditemukan, sekum dipegang dengan darm pinset dan ditarik
keluar, dengan kassa basah sekum dikeluarkan kearah mediokaudal sekum
yang telah keluar dipegang oleh asisten dengan ibu jari berada di atas.
6) Mesenterium dengan ujung apendiks di pegang dengan klem Kocher
mesoapendiks dipotong dan diligasi sampai pada basis apendiks dengan silk
3/0.

7) Pangkal apendiks di crush dengan klem kocher bekas crush diikat dengan
silk 3/0.
8) Dibuat jahitan pursestring pada serosa sekitar pangkal appendiks dengan silk
3/0.
9) Bagian distal dari ikatan pada pangkal apendiks diklem dengan Kocher dan
diantara klem kocher dan ikatan tersebut apendiks dipotong dengan pisau yang
telah diolesi iodium.

10) Sisa apendiks di masukkan kembali ke dalam dinding sekum dengan


pertolongan pinset anatomis didorong ke dalam dan jahitan pursestring
dieratkan.
11) Sekum dimasukkan ke dalam rongga perut.
12) Dinding abdomen dijahit lapis demi lapis sbb:
- Peritoneum jelujur dengan PGA 3/0.

- MOI dan M. Transversus Abdominis jelujur dengan PGA 3/0.


- MOE beserta aponeurosisnya jelujur dengan PGA 3/0.
- Lemak jelujur dengan chromic 2/0
- Kulit subtikuler dengan nylon 3/0
B. Laparoskopik Apendiktomi
Laparoskopik apendektomi adalah operasi pengangkatan usus buntu
(apendektomi) yang dilakukan dengan tehnik bedah laparoskopi. Laparoskopi adalah
bagian dari tehnik endoskopi, berasal dari kata lapar yang berarti abdomen dan oskopi
yang artinya melihat melalui skope. Laparoskopi memang khusus untuk melihat
rongga perut atau rongga di luar usus melalui pencitraan pada monitor video
menggunakan teleskop dan sistem endokamera.
Bedah laparoskopi berbeda dengan bedah konvensional karena laparoskopi
hanya membutuhkan akses minimal ke tubuh pasien. Pada bedah konvensional,
sayatan di perut bisa sepanjang belasan sentimeter. Sementara, pada bedah
laparoskopi, akses yang dibutuhkan hanya 2 milimeter sampai 10 milimeter. Dengan
bedah laparoskopi apendektomi, hanya dibutuhkan tiga lubang kecil untuk
memasukkan alat.
Gambar disamping dibawah adalah Instrument Laparaskopi, yaitu alat yang
akan dimasukan melalui dinding perut dengan sayatan 0,5-1,5 cm. Ujung dari
Instrument Laparaskopi tersebut dilengkapi dengan optik untuk menyalurkan gambar
yang ada dalam perut ke monitor/televisi dan ujungnya juga berfungsi untuk
memotong usus buntu dan menghentikan perdarahan (Kauterisasi).

1. Teknik Laparaskopi Apendektomi

1) Penderita posisi supine dan dalam narkose


2) Desinfeksi pada dada bagian bawah dan seluruh abdomen.
3) Insisi dibawah umbilikalis sepanjang 10-12 mm.

Dengan veress

needledimasukkan CO2 sampai tekanan 10-12 cmHg. Trokar I (10-12 mm)


dimasukkan secara buta untuk port Kamera.
4) Trokar kedua 5 mm dimasukkan di kwadran kiri bawah disebelah lateral m.
rectus abdominis untuk port tindakan tangan kanan
5) Trokar ketiga 5 mm dimasukkan pada linea mediana didaerah suprapubis
dengan menghindari kandung kemih untuk port tindakan tangan kiri.

6) Posisi penderita diubah menjadi Trendelenberg dan sedikit miring kekiri


7) Dengan forcep messoapendiks dipegang
8) Dengan alat diseksi, messoapendik dibebaskan dari apendiks dengan kauter dan
klip
9) Dilakukan pemasangan 2 buah lasso (endoloop) pada basis apendiks, kemudian
apendiks dipotong di antara kedua lasso dengan alat diseksi.

10) Apendiks dipegang dengan grasper pada bagian pangkal dan dikeluarkan
melalui port umbilicus
11) Daerah apendik dicuci dan diperiksa keadaan caecum dan ileum
12) Port 5 mm dicabut dengan dilihat langsung melalui videoscope untuk
meyakinkan tidak terjadi perdarahan dari pembuluh darah dinding abdomen

DAFTAR PUSTAKA

Barness L.A., Curran J.S., 1996. Nutrition. Dalam : Berhman R.E., Kligman R.M.,
Jenson H.B., eds. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke lima belas. Philadelphia :

W.B. Saunders Co, 141-161.


RSCM dan PERSAGI. PENUNTUN DIIT ANAK, Ed. 3. Jakarta : PT Gramedia

Pustaka Utama ; 2003. h. 23-38.


Tamsuri, Anas. Klien Gangguan Keseimbangan Cair\an dan Elektrolit. Ed.1. Jakarta:

EGC. 2009. H. 2-15.


World Health Organization, Dept of Nutrition for Health and Development. Nutrition
for health and development: a global agenda for combating malnutrition. World
HealthOrganization.Availableathttp://whqlidoc.who.int/hq/2000/WHO_NHD_00.6.pd

f.
Sjarif. R. Damayanti. Asuhan Nutrisi Pediatrik, Ed.1. Jakarta : 2011. Rekomendasi
IDAI.

Sauerland S, Lefering R, Neugebauer EA. Laparoscopic versus open surgery for


suspected appendicitis.Cochrane Database Syst Rev. 2004 Oct 18. CD001546.

Williams B A, Schizas A M P, Management of Complex Appendicitis. Elsevier. 2010.


Surgery 28:11. p544048.

Soybel D. Appendix. In: Norton JA, Barie PS, Bollinger RR, et al. Surgery Basic
Science and Clinical Evidence. 2ndEd. New York: Springer. 2008.

Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, et al. Shwartzs Principles of Surgery.
9th Ed. USA: McGrawHill Companies. 2010.

Anda mungkin juga menyukai