Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya
kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversible). Komponen anesthesia yang ideal terdiri
dari hipnotik, analgesia dan relaksasi. Metode anesthesia umum dilihat dari cara pemberian
obat dibagi menjadi : (1) Parenteral, baik intravena maupun intramuscular ,(2) Perektal, (3)
Perinhalasi (melalui pernafasan). Anestesi yang ideal akan bekerja secara cepat dan baik serta
mengembalikan kesadaran dengan cepat segera sesudah pemberian dihentikan. Selain itu
batas keamanan pemakaian harus cukup lebar dengan efek samping yang sangat minimal.
Farmakoekonomi didefinisikan sebagai deskripsi dan analisis dari biaya terapi dalam
suatu sistem pelayanan kesehatan. Lebih spesifik lagi adalah sebuah penelitian tentang proses
identifikasi, mengukur dan membandingkan biaya, resiko dan keuntungan dari suatu
program, pelayanan dan terapi. Salah satu evaluasi farmakoekonomi adalah analisis
minimalisasi biaya yang merupakan metode kajian farmakoekonomi paling sederhana,
analisis minimalisasi-biaya hanya dapat digunakan untuk membandingkan dua atau lebih
intervensi kesehatan, termasuk obat, yang memberikan hasil yang sama, serupa, atau setara
atau dapat diasumsikan setara.
Perhitungan biaya obat dalam upaya mengendalikan biaya kesehatan merupakan hal
penting dalam pembangunan kesehatan. Untuk menganalisa biaya obat dalam dekade terakhir
ini ilmu farmakoekonomi telah semakin berkembang, termasuk di negara negara AsiaPasifik. Data farmakoekonomi semakin dibutuhkan di banyak negara, seperti Thailand, Korea
Selatan, Filipina dan Taiwan, terutama sebagai bukti pendukung dalam pengambilan
keputusan obat apa saja yang akan dimasukkan dalam daftar obat yang digunakan dalam
jaminan kesehatan masyarakat, daftar obat esensial atau untuk persetujuan obat baru.
Sedangkan di Indonesia, ilmu ini masih baru berkembang, sehingga penerapannya belum
banyak dilakukan dalam pengambilan keputusan penggunaan obat.
Seperti kita ketahui bersama pelayanan anestesi umum inhalasi merupakan standar
baku yang dikerjakan di Instlasi Bedah Sentral (IBS). Namun, seiring kemajuan farmakologi
dan teknologi maka terdapat berbagai perkembangan teknik anestesi serta alat monitor
kedalaman anestesi yang mampu membantu ahli anestesi dalam menentukan pemakaian obat
1

dan dosis yang sesuai bagi pasien. Pengembangan dari sistem komputerisasi dan tersedianya
obat anestesi yang bersifat short acting seperti propofol dan sufentanyl, menjadikan anestesi

umum intravena total (Total Intra Venous Anestesia (TIVA) populer dan makin rutin
dikerjakan. Target controlled infusion (TCI) adalah suatu metode yang semakin sering
digunakan untuk kepentingan anestesi intravena total.
Iswahyudi, Sinardja, dan Senapathi meneliti perbandingan biaya intraoperatif teknik
anestesi umum TIVA TCI propofol dengan anestesi inhalasi sevofluran, didapatkan perbedaan
bermakna pada biaya anestesi periode intraoperatif baik dari total biaya, biaya per-pasien
maupun biaya per-menit anestesi, di mana teknik TCI Propofol lebih ekonomis dibandingkan
teknik anestesi inhalasi sevofluran. Kejadian hipotensi, waktu pulih sadar, dan kejadian mual
muntah pasca operasi pada kelompok TCI Propofol juga didapatkan lebih rendah
dibandingkan dengan kelompok inhalasi sevofluran, di mana faktor-faktor di atas memiliki
peranan pula dalam menentukan biaya anestesi intraoperatif.

I.2 Tujuan Penulisan


Untuk Mengetahui perbandingan teknik anastesi inhalasi dengan teknik anastesi total
intravena dari segi effisiensi biaya dan pemulihan pasca operasi.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 FARMAKOEKONOMI
Farmakoekonomi merupakan salah satu cabang dalam bidang farmakologi yang
mempelajari mengenai pembiayaan pelayanan kesehatan, dimana pembiayaan dalam hal ini
mencakup bagaimana mendapatkan terapi yang efektif, bagaimana dapat menghemat
pembiayaan, dan bagaimana dapat meningkatkan kualitas hidup (Waley, Davey, 1995).
Farmakoekonomi

(pharmacoeconomics)

adalah

suatu

metoda

baru

untuk

mendapatkan pengobatan dengan biaya yang lebih efisien dan serendah mungkin tetapi
efektif dalam merawat penderita untuk mendapatkan hasil klinik yang baik (cost effective
with best clinical outcome) (Waley, Davey, 1995).
Kajian farmakoekonomi dikenal empat metode analisis, yang dapat dilihat pada tabel
2.1. Empat metode analisis ini bukan hanya mempertimbangkan efektivitas, keamanan, dan
kualitas obat yang dibandingkan, tetapi juga aspek ekonominya. Karena aspek ekonomi atau
unit moneter menjadi prinsip dasar kajian farmakoekonomi, hasil kajian yang dilakukan
diharapkan dapat memberikan masukan untuk menetapkan penggunaan yang paling efisien
dari sumber daya kesehatan yang terbatas jumlahnya.
Tabel 2.1 metode analisis dalam kajian farmakoekonomi
Metode analisis
Analisis
minimalisasi

Karakteristik analisis
biaya Efek dua intervensi sama (atau setara), valuasi/ biaya

(AMiB)
Analisis efektivitas biaya (AEB)

dalam rupiah.
Efek dari satu intervensi lebih tinggi, hasil pengobatan
diukur

Analisis utilitas-biaya (AUB)

unit

alamiah/indikator

kesehatan,

valuasi/biaya dalam rupiah.


Efek dari satu intervensi lebih tinggi, hasil pengobatan
dalam

Analisis manfaat-biaya (AMB)

dalam

quality-adjusted

life

years

(QALY),

valuasi/biaya dalam rupiah.


Efek dari satu intervensi lebih tinggi, hasil pengobatan

dinyatakan dalam rupiah, valuasi/biaya dalam rupiah.


Metode analisis minimalisasi-biaya (AMiB) adalah analisis farmakoekonomi yang
paling sederhana. AMiB digunakan untuk membandingkan dua intervensi kesehatan yang
telah dibuktikan memiliki efek yang sama, serupa, atau setara. Jika dua terapi atau dua (jenis,
3

merek) obat setara secara klinis, yang perlu dibandingkan hanya biaya untuk melakukan
intervensi. sesuai prinsip efisiensi ekonomi, jenis atau merek obat yang menjanjikan nilai
terbaik adalah yang membutuhkan biaya paling kecil per periode terapi yang harus
dikeluarkan untuk mencapai efek yang diharapkan. Untuk membandingkan dua atau lebih
intervensi kesehatan yang memberikan besaran efek berbeda, dapat digunakan analisis
efektivitas biaya (AEB) ( Walley, Haycox, 1991).

II.2 Target Controlled Infusion (TCI ) Propofol


Propofol pertama kali ditemukan tahun 1970 dan diperkenalkan di pasaran sejak
tahun 1977 sebagai obat induksi anestesi (Kay dan Rolly 1977), semakin populer dan
semakin luas penggunaannya di seluruh dunia mulai tahun 1986. Sebagai turunan dari phenol
dengan komponen hipnotik kuat yang dihasilkan dari pengembangan 2,6-diisopropofol.
Propofol tidak larut dalam air dan pada awalnya disediakan dengan Ctemophor EL
(polyethoxylated Castrol oil), namun karena banyaknya reaksi anafilaktoid yang ditimbulkan,
sediaannya diubah menjadi bentuk emulsi (Hasani A. dkk., 2012). Ahli anestesi lebih suka
menggunakan propofol karena sifat mula kerja obat yang cepat hampir sama dengan obat
golongan barbiturat tetapi masa pemulihan yang lebih cepat dan pasien bisa lebih cepat
dipindahkan dari ruang pemulihan ke ruang rawat. Secara subyektif pasien merasa lebih baik
dan lebih segar pasca anestesi dengan propofol dibandingkan obat anetesi induksi lainnya.
Kejadian mual muntah pasca operasi sangat jarang karena propofol memiliki efek anti
muntah. Efek yang menguntungkan lainnya adalah efekanti pruritik, antikonvulsan dan
mengurangi konstriksi bronkus.
Propofol dalam dosis 1,5 2,5 mg/kgBB diberikan intravena akan menyebabkan
kehilangan kesadaran dalam waktu 30 detik. Proses pemulihannya juga cepat dibandingkan
dengan obat anestesi yang lain. Pasien cepat kembali sadar setelah pembiusan dengan
propofol dan efek residual yang minimal merupakan keuntungan propofol. Karena
keunggulan sifat inilah Propofol dipergunakan sebagai obat induksi dan pemeliharaan
anestesi, sehingga penggunaannya begitu luas di seluruh dunia.
Propofol adalah modulator selektif reseptor gamma aminobutyric acid (GABA).
GABA merupakan neurotransmiter inhibitor utama di sistem saraf pusat. Saat reseptor GABA
diaktifkan akan terjadi peningkatan konduksi klorida transmembran sehingga terjadi
hiperpolarisasi membran sel post-sinap dan inhibisi fungsi neuron post-sinap. Interaksi antara
4

propofol dengan reseptor GABA menurunkan kecepatan disosiasi neurotransmiter inhibisi


(GABA) dari reseptornya sehingga memperpanjang efek GABA. Efek hipnotik dan
kemungkinan efek analgesia propofol dihubungkan dengan reseptor GABA ini, selain itu juga
propofol akan menginduksi potensiasi dari reseptor glisin pada tingkat spinal dan juga
diperkirakan memberikan kontribusi sebagai antinosiseptif yang bekerkja pada reseptor Nmethyl-D-aspartate (NMDA) (Hasani A. dkk., 2012).
Sediaan propofol di pasaran sebagai induksi anestesi hanya untuk penggunaan
intravena saja. Tingginya tingkat kelarutan propofol dalam lemak menyebabkan onset kerja
cepat. Waktu yang diperlukan dari saat pertama kali diberikan bolus sampai pasien terbangun
(waktu paruh) sangat singkat yaitu 2-8 menit. Waktu paruh eliminasi sekitar 30-60 menit
(Katzung, 2004). Banyak peneliti yang mempunyai pendapat yang sama bahwa waktu
pemulihan propofol lebih cepat dan kurangnya perasaan seperti mabuk dibandingkan obat
lain (methohexital, thiopental atau etomidate). Hal ini menyebabkan propofol menjadi pilihan
untuk anestesi rawat jalan (one day care). Sehubungan dengan volume distribusi yang lebih
rendah pada orang dewasa maka kebutuhan dosis induksi lebih rendah dan perempuan
memerlukan dosis yang lebih besar dibanding laki-laki juga waktu bangun pada perempuan
lebih cepat.
Farmakokinetik propofol digambarkan sebagai model 3 kompartemen, dimana pada
pemberian bolus propofol, kadar propofol dalam darah akan menurun dengan cepat akibat
adanya redistribusi dan eliminasi. Waktu paruh distribusi awal dari propofol adalah 2-8
menit. Pada model tiga kompartemen waktu paruh distribusi awal adalah 1-8 menit, yang
lambat 30-70 menit dan waktu paruh eliminasi 4-23,5 jam. Waktu paruh yang panjang
diakibatkan oleh karena adanya kompartemen dengan perfusi terbatas. Context sensitive half
time untuk infus propofol sampai 8 jam adalah 40 menit. Propofol mengalami distribusi yang
cepat dan luas juga dimetabolisme dengan cepat (Stoelting, dkk., 2006).
Perkembangan TCI semakin meningkat maka konsep context sensitivity half time
diperkenalkan kembali. Context sensitivity half time adalah waktu yang diperlukan sampai
konsentrasi obat menjadi setengah dari saat infus dihentikan. Tidak seperti konsep
farmakokinetik klasik yaitu bersihan obat tidak tergantung dari cara pemberian obat, konsep
context sensitivity half time memperkenalkan pengaruh lamanya infus diberikan. Semakin
banyak obat yang terakumulasi akan menyebabkan semakin lama obat dieleminasi. Semakin
lama durasi infus maka semakin lama pula context sensitivity half timenya. Context
5

sensitivity half time sangat berguna dalam pemilihan obat serta memperkirakan pemulihan
dari anestesi. Karena context sensitivity half time propofol tidak lebih dari 40 menit, terutama
saat dipergunakan sebagai sedasi dan anestesi dimana penurunan konsentrasi di plasma untuk
pemulihan umumnya kurang dari 50% maka propofol cocok digunakan untuk infus jangka
panjang tanpa mengganggu proses pemulihan (TCI manual, 2009).

Gambar.1 Hubungan waktu dan konsentrasi propofol dalam darah. Simulasi hubungan
antara waktu dan level propofol dalam darah setelah induksi dosis 2mg/kgBB. Level
propofol dalam darah yang diperlukan untuk anestesia pembedahan adalah 2-3g/mL,
dengan bangun dari anestesi biasanya pada level kurang dari 1.5g/ml.
Waktu yang diperlukan untuk bangun dari anestesi atau sedasi dari propofol hanya
50%, sehingga waktu pulih sadar dari propofol tetap cepat meskipun pada infus kontinyu
yang lama.
Keadaan equilibrium untuk propofol yang dapat menyebabkan supresi dari
elektroencephalogram (EEG) yang berkaitan dengan hilangnya kesadaran adalah sekitar 0,3
menit dengan efek puncak dicapai 90-100 detik. Farmakokinetik propofol menurun oleh
karena beberapa faktor antara lain jenis kelamin, berat badan, penyakit sebelumnya, umur
dan medikasi lain yang diberikan.
6

Tingkat bersihan (clearence) propofol yang tinggi di hepar (hampir 10 kali lipat
dibanding tiopental) menyebabkan cepatnya waktu pemulihan setelah pemberian infus
kontinyu. Walaupun metabolisme propofol utamanya diekskresikan melalui ginjal, tetapi
penurunan fungsi ginjal tidak mempengaruhi bersihan propofol (Morgan EG, Jr. dkk., 2006),
(Stoelting, dkk., 2006).
TCI adalah infus yang dikontrol dengan tujuan untuk mencapai konsentrasi tertentu
obat pada kompartemen tubuh. Dengan menggunakan teknik ini ahli anestesi dapat mengatur
dan mengganti konsentrasi yang diinginkan sesuai dengan observasi klinis pada pasien.
Dasar penerapan TCI adalah menetapkan konsentrasi tertentu obat yang harus dicapai
dan dipertahankan baik di plasma (Cp) maupun effect site (Ce). Konsentrasi target diset sejak
awal oleh ahli anestesi untuk mendapat luaran klinis yang diperlukan. Perubahan konsentrasi
target yang diset oleh ahli anestesi akan terlihat pada effect site kompartemen setelah waktu
tertentu karena terdapat jarak waktu perpindahan obat dari darah ke tempat yang dituju atau
obat berefek (Ce) (Naidoo D, 2011).
TCI telah banyak diaplikasikan untuk anestesi umum intravena total (TIVA). Secara
umum dapat dibagi menjadi dua yaitu open loop pattern dan closed loop pattern. Open loop
pattern digunakan oleh ahli anestesi untuk menyesuaikan konsentrasi target sesuai keperluan
klinis yang bervariasi dan mempertahankan kedalaman anestesi. The closed loop pattern
digunakan untuk menentukan kontrol anestesi dengan cara menyesuikan konsentrasi target
melalui feedback otomatis.
Newson dkk., 1995, membandingkan pemberian propofol dengan bolus intermitten,
syringe pump, dan teknik TCI mendapatkan kualitas sedasi, kondisi operasi, dan waktu pulih
sadar secara umum sama pada ketiga metode, namun pada pemberian intermiten memerlukan
lebih banyak intervensi pemberian obat, sehingga disimpulkan bahwa pemberian secara infus
kontinyu memberikan waktu bagi ahli anestesi untuk melakukan monitoring pasien.

Farmakoekonomi TCI propofol


Penelitian farmakoekonomi dibidang anestesi dan terapi intensif khususnya di
Indonesia belum banyak dilakukan. Iswahyudi, dkk meneliti analisis biaya anestesi umum
TIVA TCI Propofol dibandingkan dengan anestesi inhalasi sevofluran pada pasien yang
7

menjalani operasi mayor. Hasil penelitian tersebut didapatkan perbedaan yang bermakna
dalam hal biaya intraoperatif dari kedua kelompok. Biaya anestesi intraoperatif pada
kelompok anestesi intravena total dengan TCI dengan rata-rata Rp. 957.870, - dan simpang
baku Rp. 73.910,-. Sedangkan pada kelompok kontrol biaya anestesi intraoperatif dengan
rata-rata 1.318.130 dengan simpang baku Rp. 155.238,-. Berdasarkan statistik dengan uji t
didapatkan bahwa kedua kelompok memiliki perbedaan signifikan (p = 0.000).
Berdasarkan rerata biaya anestesi intraoperatif, juga didapatkan biaya anestesi perpasien yaitu sebesar Rp. 957.870,- untuk kelompok TCI Propofol dan Rp. 1.318.130,- untuk
kelompok sevofluran. Sedangkan jika berdasarkan menit anestesi, didapatkan rata-rata biaya
anestesi intraoperatif sebesar Rp. 5.999,- untuk per menit anestesi pada kelompok TCI
Propofol serta Rp. 8.170,- untuk per menit anestesi pada kelompok Sevofluran (Iswahyudi,
dkk. 2013).

II. 3 ANESTESI INHALASI


Obat anestesi inhalasi merupakan salah satu teknik anestesi umum yang dilakukan
dengan jalan memberikan kombinasi obat anestesi inhalasi yang berupa gas dan atau cairan
yang mudah menguap melalui alat atau mesin anestesi langsung ke udara inspirasi. Ambilan
dan distribusi gas atau uap anestetik inhalasi ditentukan oleh ambilan oleh paru, difusi gas
dari paru ke darah, distribusi oleh darah ke organ target.
Pembuangan gas anestesi sebagian besar melalui paru-paru. Sebagian lagi dimetabolisir oleh
hepar dan ginjal dengan sistem oksidasi sitokrom P450. Derajat metabolisme di dalam tubuh
kira-kira 10-20 % untuk halotan, 2,5 % untuk enfluran, 0,2% untuk isofluran dan 0% untuk
nitrous oxide. Sisa metabolisme yang larut dalam air dikeluarkan melalui ginjal. Jumlah agen
anestesi yang dikeluarkan dari tubuh melalui metabolisme lebih kecil dibanding jumlah yang
dikeluarkan melalui cara ekspirasi (Morgan EG, Jr. dkk., 2006), (Stoelting, dkk., 2006).
Mekanisme kerja obat anestesi inhalasi sangat rumit dan masih merupakan misteri
dalam farmakologi modern. Pemberian anestetik inhalasi melalui pernafasan menuju organ
sasaran yang jauh merupakan suatu hal yang unik daklam dunia anestesiologi (Latief S A,
dkk., 2002).

Anestesi inhalasi bekerja pada berbagai level sistem saraf pusat. Mengacaukan
transmisi sinaptik normal dengan mempengaruhi pelepasan neurotransmitter dari ujung saraf
presinaptik (depress eksitatori atau meningkatkan transmisi inhibitori), atau mengganggu reuptake neurotransmitter, atau dengan mengubah ikatan neurotransmitter pada reseptor post
sinaptik. Keduanya, baik itu efek pre- dan postsinaptik dapat terjadi.
Interaksi langsung dengan membran plasma neuronal lebih sering terjadi , tetapi
selain itu kerja tidak langsung melalui seccond messenger juga memungkinkan. Adanya
hubungan yang kuat antara kelarutan dalam lemak dan potensi anestesi menunjukkan agen
anestesi inhalasi memiliki kerja pada sisi hidrofobik juga. Postulat hipotesis reseptor protein
mengatakan bahwa SSP berperan terhadap kerjanya agen anestesi inhalasi. Bagaimanapun,
masih belum jelas apakah agen inhalasi mengganggu aliran ion melalui membran channel
dengan cara kerja tidak langsungnya pada membran lipid melalui perantara seccond
messenger. Atau secara langsung dan spesifik mengikat channel protein.
Teori lain menjabarkan mengenai aktivasi dari Gamma Aminobutyric Acid (GABA)
reseptor oleh gen anestesi inhalasi. Agen volatile mengaktifkan GABA channel dan menghiperpolarisasi-kan membran sel. Sebagai tambahan, agen ini juga menghambat Calcium
Channel yang pada akhirnya mencegah pelepasan neurotransmitter (Morgan EG, Jr. dkk.,
2006), (Stoelting, dkk., 2006).
Isofluran (foran, aeran) merupakan halogenasi eter yang pada dosis anestetik atau
subanestetik menurunkan laju metabolisme otak terhadap oksigen, tetapi meningkatkan aliran
darah otak dan tekanan intrakranial. Peningkatan aliran darah otak dan tekanan intrakranial
ini dapat dikurangi dengan teknik anestesi hiperventilasi, sehingga isofluran banyak
digunakan untuk bedah otak (Latief S A, dkk., 2002) (Katzung, dkk., 2004). Efek samping
terhadap depresi jantung dan curah jantung minimal, sehingga digemari untuk anestesi teknik
hipotensi dan banyak digunakan pada pasien dengan gangguan koroner. Isofluran dengan
konsentrasi > 1% terhadap uterus hamil menyebabkan relaksasi dan kurang responsif jika
diantisipasi dengan oksitosin, sehingga dapat menyebabkan perdarahan pasca persalinan.
Dosis pelumpuh otot dapat dikurangi sampai 1/3 dosis biasa jika menggunakan isofluran
(Morgan EG, Jr. dkk., 2006), (Stoelting, dkk., 2006).

Farmokoekonomi Anestesi Inhalasi


9

Analisis terhadap penggunaan sumber daya dan biaya yang efektif telah menjadi
prioritas dalam mengelola suatu layanan kesehatan. Ini menyediakan tantangan untuk
penyedia layanan anestesi yang menginginkan memberikan layanan berkualitas yang aman
tapi ekonomis. Dalam anestesi, penggunaan volatil/ gas anestesi menyumbang hingga 2025% dari biaya total anestesi secara keseluruhan. Biaya penggunaan gas anestesi bervariasi
pada setiap institusi dan lokasi. Tantangan terbesar untuk farmasi rumah sakit adalah
menganggarkan biaya obat. Merancang anggaran untuk obat intravena jauh lebih mudah
daripada gas anestesi karena ada hubungan langsung antara jumlah obat yang diterima dan
dimasukkan. Menghitung biaya obat gas anestesi dibuat berdasar metode penyampaian. Gas
anestesi dibeli dalam bentuk cair dan dimasukkan melalui vaporizer, membuatnya menjadi
sulit untuk mengukur secara langsung berapa gas anestesi yang telah digunakan per kasus
tanpa bantuan vapor analyzer. Konsentrasi penyampaian yang bervariasi dan teknik
penyampaian dapat meningkatkan atau menurukan konsumsi total gas anestesi dan secara
signifikan merubah biaya akuisisi (John Varkey, 2012).
Tujuh metode analisis biaya ditemukan dalam literatur untuk tenaga anestesi
profesional dalam menentukan biaya gas anestesi, yaitu : (1) Pengukuran Berat, (2)
Perbandingan Minimum Alveolar Concentration (MAC), (3) Model Empat Kompartemen, (4)
Persamaan Volume Persen, (5) Pengukuran Volume, (6) Formula Dion, dan (7) Formula
Loke. Sudah ditentukan bahwa formula Dion merupakan metode yang lebih diandalkan untuk
tenaga anestesi profesional untuk menentukan biaya gas anestesi. Menghitung jumlah gas
yang digunakan menggunakan formula Dion dapat mempermudah dalam melakukan
kalkulasi biaya. Untuk menentukan total biaya gas anestesi, adalah penting untuk
menentukan persen konsentrasi, jumlah fresh gas flow (FGF), densitas, dan berat molekul
dari gas tersebut.
Biaya gas volatil anestesi dapat ditentukan dengan menggunakan harga pasar, potensi,
jumlah uap yang dihasilkan, dan aliran FGF. (Odin I, Feiss P, 2005). Peter Dion (1992)
menyatakan formula untuk langsung mengukur biaya gas anestesi menggabungkan hukum
gas ideal hukum. Biaya agen anestesi dapat dihitung dari konsentrasi (%) gas yang telah
dikirimkan, FGF (L/ menit) , durasi pengiriman anestesi inhalasi (menit) , berat molekul
(molecul weight/ MW dalam gram) , biaya per mL (dalam dolar) , faktor 2412 untuk
memperhitungkan volume molar gas pada 21 C ( 24,12 L ) , dan kepadatan (D dalam g/mL).
Rumus dari Formula Dion adalah sebagai berikut :
10

BIAYA ( $ ) = [ ( Konsentrasi ) ( FGF ) ( Durasi ) ( MW ) ( Biaya / mL ) ]


[ ( 2412 ) ( D ) ]
Formula Dion menggunakan hukum gas ideal untuk mengkonversi mL gas anestesi
menjadi mL cairan gas anestesi, yang kemudian digunakan untuk menentukan biaya
menggunakan harga per mL. Untuk merubah volume menjadi mL cairan gas anestesi,
densitas dan berat molekul digunakan untuk megkonversi gas anestesi menjadi mol, dan mol
kemudian dirubah menjadi mL cairan gas anestesi menggunakan faktor konversi 2412.
Menurut ekuasi hukum gas universal, satu mol dari gas ideal pada tekanan satu atmosfir pada
suhu 21o C akan menjadi 24.12 liter cairan.
Formula Dion tidak mengambil jumlah distribusi dan uptake secara spesifik tapi lebih
kepada jumlah gas anestesi inhalasi. Jumlah vapor yang digunakan menetukan biaya,
membuat formula Dion metode yang dapat dipercaya untuk perhitungan biaya dan
menunjukkan sevofluran sebagai gas anestesi yang paling ekonomis dibandingkan desfluran.
Loke dan Shearer (1993) mempertanyakan penggunaan rumus Dion di agents volatil
baru Mereka menggunakan rumus asli Dion dan memasukkan hukum gas ideal langsung
menjadi rumus daripada menggunakan faktor konversi 2.412 untuk 24.12 Liter, yang
menggambarkan volume molar gas pada satu atmosfer di 21 OC. Loke lalu memformulasikan
untuk menggantikan konstanta 2412 dengan suhu atmosfer dalam pascal, hukum gas ideal
konstan 8.314, dan temperatur di Kelvin. Loke dan Shearer juga memasukan biaya gas
pembawa nitrous oxide dan oksigen dan dibandingkan halotan, enfluran, dan isofluran (Loke
J, Shearer WAJ, 1993). Saat publikasi tersebut, desfluran dan sevofluran belum tersedia di
Australia.

Formula Loke
Biaya per MAC jam ( $ ) = [ ( MAC ) ( FGF ) ( 60menit ) ( MW ) ( Biaya / mL ) ]
[ ( Tekanan / ( RT ) ) ( D ) ]

11

Menentukan biaya gas anestesi adalah tugas yang sulit untuk dibuat bahkan lebih
menantang dengan berbagai metode yang tersedia untuk menentukan biaya. Dari tujuh
metode dalam literatur, enam ditemukan menjadi tidak praktis atau tidak akurat. Mengukur
beratnya vaporizer adalah mustahil untuk dilakukan dalam situasi ruang operasi yang sibuk .
Metode komputerisasi data log dan metode empat kompartemen juga tidak mengungkapkan
perhitungan biaya sehingga sulit untuk menentukan akurasi. Sebuah perbandingan sederhana
MAC tidak menjadi faktor variabel penting seperti FGF dan perbedaan sifat gas anestesi.
Menggunakan perhitungan volume persen tidak akurat karena didasarkan pada konsentrasi
yang dipanggil dan bukan konsentrasi yang sebenarnya ditentukan dengan rumus gas
analyzer. Formula Loke, versi modifikasi dari formula Dion, tidak terlalu bermakna karena
pada kenyataannya perbandingan biaya akan terjadi di fasilitas yang sama dengan tekanan
atmosfer dan suhu sama. Formula Dion mudah direproduksi, akurat, dan merupakan metode
yang paling direferensikan untuk menghitung biaya dalam literatur. Weinberg dkk
menyatakan formula Dion sebagai alat farmakoekonomi sederhana yang dapat digunakan
oleh setiap dokter ahli anestesi (Weinberg L, Story D, Nam J, McNicols L, 2010).
Berbagai studi telah banyak membandingkan biaya agen anestesi inhalasi. isofluran
selalu menjadi tempat yang paling ekonomis dikarenakan berat molekul yang lebih besar
dibandingkan agen inhalasi lainnya, sifat penguapan yang lebih lama, dan biaya jual yang
lebih murah. Salah satu studi membandingkan harga isofluran dan sevofluran di Kanada,
studi ini meneliti 40 pasien yang menjalani operasi daycare arthroscopic menisectomy.
Demografi sampel, durasi operasi, potensi anestesi inhalasi, dan penggunaan obat lainnya
adalah sama pada kedua kelompok. Total biaya perioperatif perpasien $ 38.10 10.13 pada
kelompok sevofluran dan $ 23.87 6.59 pada kelompok isofluran. Biaya obat inhalasi
perpasien $ 19.40 8.8 pada kelompok sevofluran dan $ 4.5 1.9 pada kelompok isofluran
dengan nilai p <0.01 (Craig R, dkk., 1998).

12

Gambar 2. Agen inhalasi isofluran dan vaporizer

Hasil analisis minimalisasi - biaya obat anestesi umum dari kedua kelompok
didapatkan perbedaan bermakna. Biaya obat anestesi umum pada kelompok anestesi
intravena propofol TCI didapatkan dengan rata-rata Rp. 155.865,- dan simpang baku Rp.
52.009,66. Sedangkan pada kelompok kontrol didapatkan dengan rata-rata Rp. 297.644,dengan simpang baku Rp. 105.787,-. Berdasarkan statistik dengan uji t dua sampel tidak
berpasangan didapatkan bahwa kedua kelompok memiliki perbedaan signifikan (p < 0,001).
Perbandingan biaya obat anestesi umum per menit anestesi didapatkan rata-rata biaya
obat anestesi umum intravena propofol TCI sebesar Rp. 800,85,- dengan simpang baku Rp.
127,99 sedangkan pada kelompok kontrol Rp. 1.266,32 dengan simpang baku Rp. 227,26.
Dari data statisik terdapat perbedan bermakna antara kedua kelompok dengan nilai p < 0,001.
Perhitungan harga penggunaan propofol sebagaimana obat-obat anestesi intravena
lainnya, tidak bisa begitu saja dihitung per-ml penggunaan tetapi berdasarkan jumlah ampul
yang dibuka. Sedangkan untuk kelompok kontrol dalam perhitungan telah dimasukkan harga
13

1 ampul propofol sebagai agen induksi yang kemudian dilanjutkan agen isofluran sebagai
rumatan.

Perbandingan Waktu Pulih


Perbandingan waktu pulih kelompok anestesi intravena propofol menggunakan TCI
8,9 menit (3,29 menit) dibanding kelompok anestesi inhalasi isofluran 17,5 menit (8,34
menit). Dari uji statistik didapatkan perbedaan bermakna diantara kedua kelompok (P <
0,001). Hal ini sesuai dengan penelitian Stefan suttner, dkk,. waktu yang dibutuhkan dari
penghentian regimen anestesi hingga ektubasi (6 2 menit) dan lama perawatan di Post
Anesthesia Care Unit (PACU) (70 12 menit) lebih singkat pada grup TCI propofol
dibandingkan grup isofluran (15 3 dan 87 13 menit) dengan nilai p 0.05. Pada penelitian
Iswahyudi, dkk,. didapatkan waktu pulih sadar pada kelompok TCI 9,33 menit dari waktu
propofol dimatikan, dengan simpang baku sebesar 1,680 menit.
Keunggulan penggunaan propofol pada teknik TIVA adalah rasa nyaman pascaoperasi
dan waktu pulih sadar (waktu ekstubasi) yang lebih singkat. Cepatnya waktu pulih sadar ini
sesuai dengan contex sensitivity half life propofol dalam darah yang akan berkurang dengan
cepat konsentrasi efektifnya dalam plasma begitu obat dihentikkan pemberiannya. Dosis
efektif anestesi propofol dalam plasma sekitar 2-4 g/mL dan hilangnya kesadaran (BIS 4060) pada konsentrasi 6 g/mL. Begitu pemberian propofol dihentikan pemberianya maka
konsentrasi bangun sekitar 1,5 g/mL segera tercapai dalam waktu 8-10 menit (Jaap Vuyk
dkk.,1992). Singkatnya waktu bangun pada kelompok TCI dikarenakan dosis propofol lebih
kecil, induksi lebih lembut sehingga waktu tercapainya konsentrasi effect site dengan waktu
eliminasi obat terjadi konstan dan fluktuasi hemodinamik yang lebih stabil. Pada beberapa
penelitian menyebutkan jenis kelamin juga mempengaruhi farmakodinamik propofol
terutama wanita geriatri jika dibandingkan dengan laki-laki geriatri, dengan alasan analisa
farmakodinamika pada wanita geriatri distribusi obat untuk mengisi volume perifer (V3)
lebih lambat, metabolisme clearence obat lebih tinggi (Cl1) dan lean body mass pada wanita
lebih kecil dibandingkan laki-laki sehingga pada pemberian dosis propofol yang sama, maka
wanita akan mendapatkan dosis obat kurang 10% (Jaap Vuyk dkk.,2001).

14

BAB III
KESIMPULAN

Biaya obat anestesi umum propofol intravena target controlled infusion lebih
murah dibandingkan anestesi umum inhalasi isofluran. Keunggulan penggunaan
propofol pada teknik TIVA adalah rasa nyaman pascaoperasi dan waktu pulih sadar
(waktu ekstubasi) yang lebih singkat. Cepatnya waktu pulih sadar ini sesuai dengan
contex sensitivity half life propofol dalam darah yang akan berkurang dengan cepat
konsentrasi efektifnya dalam plasma begitu obat dihentikan pemberiannya.

15

DAFTAR PUSTAKA

Andrade, J., Englert, L., Harper, C., Edwards, N. D., (2001), Comparing the effects of
stimulation and propofol infusion rate on implicit and explicit memory formation. Br J
Anaesth.;86:189-95.
Bertram G.Katzung, (2004), Basic and Clinical Pharmacology, 9th ed., p.413-414.
Boldt, J., Jaun, N., Kumle, B., Heck, M., Mund, K., (1998), Economic considerations
of the use of anesthetics: a comparison of propofol, sevofluran, desfluran, and isoflurane.
Anesthesia and Analgesia.;86:504-509.
Chernin, E, L., (2004), Pharmacoeconomics of inhaled anesthetic agents:
considerations for the pharmacist. American Journal of Health-System Pharmacy.;61(suppl
4):S18-S22.
Crozier, T. A.,Kettler, D., (1999) "Cost effectiveness of general anaesthesiology ",
British Journal of Anaesthesiology,ed 1,volume 83, number 4, Department of
Anaesthesiology ,Emergency and Intensive Care Medicine University of Gottingen Medical
School, Germany,Gottingen.
Dion, P., (1992),
Anaesthesia.;39(6):633.

The

cost

of

anaesthetic

vapors.

Canada

Journal

of

Edward, Morgan,Jr., Maged, S., Mikhail et al., (2006), Clinical Anesthesiology, 4th ed
;8:200-202.
Eger, E.I., (2010), Inhaled anesthetics: uptake and distribution. In: Miller RD, ed.
Eriksson, LI, Fleisher LA, Wiener-Kronish JP, Young WL, associate eds. Millers Anesthesia.
Vol 1. 7th Ed. Philadelphia, PA:Churchill Livingstone:539-559.
Friedberg, B.L., Sigl, J.C., (2000), Clonidine premedication decreases propofol
consumption during Bispektral index (BIS) monitored propofol-ketamine technique for
office-based surgery. Dermatol Surg.;26:848-52.
Golembiewski, J., (2010), Economic considerations in the use of inhaled anesthetic
agents. American Journal of Health-System Pharmacy ;67:S9-S12.
Iswahyudi, Sinardja K., Senapathi T.G.A., Analisis Biaya Periode Intraoperatif
Anestesi Intravena Total Propofol Target Controlled Infusion (TCI) dengan Anestesi Inhalasi
Sevoflurane pada Pasien Operasi Bedah Mayor Onkologi di RSUP Sanglah Tahun 2013.
Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif. Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
Katzung, B. G., (2010), Basic and Clinical Pharmacology, 9th ed., p.413-414.

16

Latief, S. A., Suryadi, K. A., Dachlan, M. R., (2002), Anestetik Inhalasi dalam buku:
Petunjuk Praktis Anestesiologi edisi kedua, hal 48-64, penerbit Bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif FKUI , Jakarta.
Lockwood, G. G., White, D.C., (2001), Measuring the costs of inhaled anaesthetics.
British Journal of Anaesthesia.;87(4):559-563
Loke, J., Shearer, W. A. J., (1993), Cost of anaesthesia. Canada Journal of
Anaesthesia;40(5):472-474.
Mangku, G., (2002), Diktat Kumpulan Kuliah Buku I, penerbit Bagian Anestesiologi
dan Reanimasi FK UNUD, hal 74-84, Denpasar.
Mangku, G., (2000), Anestesi Inhalasi dalam buku Standar Pelayanan dan Tatalaksana
Anestesia-Analgesia dan Terapi Intensif, hal 28, penerbit Bagian Anestesiologi dan
Reanimasi FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar.
Newson, C., Victory, R., White, P. F., (1995), Comparison of Propofol Administration
Techniques for Sedation During Monitored Anesthesia Care. Anesthesia Analgesia;81:486-9.
Stoelting, R. K., Hiller, S. C., (2006), Nonbarbiturate Intravenous Anesthetic Drugs.
In: Pharmacology & Physiology in Anesthetic Practice. 4th Edition. Philadelphia: Lippincott
William & Wilkins; 155-63.
Sugiarto, Adhrie., (2012), Panduan praktis total intravenous anesthesia dan target
controlled infusion; 27-42.
Walley, T., Davey, P., (1995), Pharmacoeconomics: a challenge for clinical
pharmacologists. Br J Clin Pharmacol ;40:199-202.

17

Anda mungkin juga menyukai