Anda di halaman 1dari 5

Peran Guru Dalam Pendidikan dan Kesejahteraan

Secara kuantitatif kita dapat mengatakan bahwa pendidikan di Indonesia telah


mengalami kemajuan. Indikator keberhasilan pendidikan ini dapat dilihat pada kemampuan
baca tulis masyarakat yang mencapai 67,24 %.1 Hal ini sebagai akibat dari program
pemerataan pendidikan, terutama melalui IMPRES SD yang dibangun pada rezim Orde Baru.
Namun demikian, keberhasilan dari segi kualitatif pendidikan di Indonesia belum berhasil
membangun karakter bangsa yang cerdas dan kreatif, apalagi yang unggul.
Banyaknya lulusan lembaga pendidikan formal, baik dari tingkat sekolah menengah maupun
dari perguruan tinggi, terkesan belum mampu mengembangkan kreativitas dalam kehidupan
mereka. Lulusan sekolah menengah sukar untuk bekerja di sektor formal, karena belum
memiliki keahlian khusus. Bagi sarjana, mereka yang dapat berperan secara aktif dalam
bekerja di sektor formal terbilang hanya sedikit. Keahlian dan profesionalisasi yang melekat
pada lembaga pendidikan tinggi terkesan hanya simbol belaka, lulusannya tidak profesional.
Lembaga industri (Swasta, BUMN, dan Pemerintahan ) sering menuntut persyaratan
tertentu terhadap lulusan pendidikan formal untuk bekerja di lembaga tersebut. Penguasaan
bahasa Inggris, keterampilan komputer, dan pengalaman kerja merupakan persyaratan utama
yang diminta. Sementara Ijazah yang diperoleh selama 20 atau 25 tahun dari lembaga
pendidikan formal terabaikan. Hal ini memberikan indikasi kepada kita bahwa kualitas
lulusan pendidikan kita belum layak pakai. Melihat kenyataan ini, maka dapat diduga bahwa
terjadi kesenjangan antara tujuan yang ingin dicapai dalam menghasilkan output pendidikan
formal dengan pengelolaan pendidikan.2
Dewasa ini sekolah telah tersebar di seluruh pelosok tanah air. Hal itu sangat
mengegembirakan karena diharapkan kaum terpelajar dapat dimana-mana. Dengan
banyaknya kaum terpelajar, berarti misi pendidikan sekolah tercapai. Seperti diketahui misi
pendidikan lembaga sekolah ada tiga yaitu (a) pendidikan kepribadian, (b) pendidikan
kewarganegaraan, dan (c) pendidikan intelektual.3 Dalam hal pendidikan kepribadian,
sekolah membantu dan bekerja sama dengan keluarga dan lembaga agama. Dalam hal
pendidikan kewarganegaraan, sekolah bekerjasama dengan lembaga-lembaga pemerintahan
dan masyarakat. Dalam hal pendidikan intelektual adalah kekhususan sekolah, misi
pendidikan intelektual tersebut dilakukan secara berangkai sejak pembelajaran memasuki
Taman Kanak-Kanak sampai Pendidikan Tinggi.
Memasuki pasca orde baru atau yang dikenal dengan sebutan era reformasi telah menuntut
perubahan di semua sektor kehidupan. Tidak terkecuali sektor pendidikan turut tereformasi.
Reformasi pendidikan adalah sebuah rekayasa besar, yang tidak mungkin dikerjakan setengah
1 Mulyani A.N. Pokok-Pokok Pikiran mengenai Implikasi Pelaksanaan UU No. 22 dan 25
Tahun 1999.
2 Prof. Dr.H. Hamzah B. Uno, M.Pd, Profesi Kependidikan Problema, Solusi, dan Reformasi
Pendidikan di Indonesia, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008), h.6.
3 Dimiyati Muhammad, Landasan Kependidikan Suatu Pengantar Pemikiran Keilmuan
tentang Kegiatan Pendidikan, (Jakarta : Dirjen DIKTI P2LPTK, 1988), h.2.

hari, juga tidak cukup dengan terpenggal-penggal, melimpahkan kesalahan pada berbagai
faktor yang menjadi objek kritikan diatas. Tidak benar misalnya, dengan menyalahkan para
guru, yang seperti diketahui, harus bekerja tanpa imbalan materi yang memadai. Sebaliknya,
juga tidak benar bahwa semua permasalahan bakal beres, jika saja tersedia dana yang cukup.4
Telah sekian lama pemerintah mengabaikan kedudukan guru. Jargon bahwa guru adalah
pahlawan tanpa tanda jasa justru telah mematikan profesi mulia ini. Sebab, jargon tersebut
telah dijadikan alasan pemerintah untuk mengabaikan kesejahteraan mereka. Bukankah
banyak guru yang mengajar pagi hari, sorenya ngobyek pekerjaan lain? Jika demikian
keadaanya, bagaimana guru akan konsentrasi mengajar dan mencurahkan ilmunya untuk
mengejar ketertinggalan bangsa ini? Oleh karena itu, sudah saatnya di era otonomi daerah ini
pemerintah memperhatikan kesejahteraan mereka.
Karena sejatinya, di para gurulah arsitektur proyek pembangunan bangsa di masa
depan. Dalam konteks ini, agaknya kita harus belajar menghargai guru seperti dilakukan
bangsa Jepang. Kaisar Jepang, Hirohito, usai dikalahkan sekutu dalam Perang Dunia II
mengatakan, Kita harus memulai membangun negeri ini dari nol, dan hanya melalui
saluran gurulah kita dapat membangun kembali negeri ini yang telah porak-poranda ini.
Mari kita benahi pendidikan melalui kerja keras kita, terutama guru-guru, saya yakin Jepang
akan bangkit kembali, bahkan akan lebih hebat dari kemampuan kita sebelum perang terjadi.
Jepang kemudian benar-benar memprioritaskan pembangunan bangsa lewat
pendidikan, sehingga ucapan Kaisar Hirohito tersebut, menemukan kenyataan di tahun 1960an, dimana mereka menjadi produsen otomotif terbesar dunia.5
Begitu juga dengan pemerintahan Singapura yang memberikan jaminan kesejahteraan yang
memadai dan mencukupi kebutuhan hidupnya, yakni dengan memberikan gaji besar, uang
pensiun, dan fasilitas-fasilitas lain dalam jumlah besar ketika mereka pensiun.
Dari sini terlihat, betapa pentingnya peran guru sehingga pekerjaan mereka dapat
menentukan suatu bangsa. Pandangan serupa juga dikemukakan Daud Joesoef, yang
mengatakan, Di dunia ini hanya ada dua kelompok profesi. Yang pertama dan utama adalah
profesi guru, dan yang kedua adalah profesi lain-lain. Guru, dosen dan apapun namanya
dapat menciptakan profesi lain melalui pendidikan.
Kita harus mulai membangun pendidikan sejak reformasi pendidikan dicanangkan
beberapa tahun silam, paling tidak, 20 tahun ke depan kita sudah bisa memetik hasilnya
berupa mutu SDM yang tinggi dan maju.
Melalui sistem penggajian ekonomi dan politik mercusuar, serta menelantarkan pendidikan,
dirasakan saat ini, dimana pendidikan hanya mampu menghasilkan SDA yang tidak
4 Prof. Dr.H. Hamzah B. Uno, M.Pd, Profesi Kependidikan Problema, Solusi, dan Reformasi
Pendidikan di Indonesia, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008), h.37.

5 H. Mahyudin, ST.,MM., Visi Kepemimpinan Masyarakat Madani, (Jakarta : NM Press,


2004), h.72.

terkendali, ekonomi yang terpuruk, lilitan hutang yang besar, disintegrasi bangsa, penegakan
hukum dan HAM yang belum memenuhi rasa keadilan.
Kini, tugas kita adalah memprioritaskan pendidikan dengan bidikan utama
peningkatan kesejahteraan dan kualitas guru. Karena guru adalah pembangun sumber daya
manusia (SDM) bangsa di masa depan. Tugasnya yang berat ini, berbeda dengan tugas
profesi-profesi lain. guru terikat oleh ruang dan waktu. Karena uniknya tugas tersebut,
mestinya perhatian terhadap guru berbeda dengan perhatian terhadap profesi lain.
Untuk itu, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan dalam usaha meningkatkan
kesejahteraan guru menuju pendidikan yang memberdayakan :6
Pertama, masalah rendahnya gaji guru harus dicari jalan keluarnya dengan cara menaikkan
gaji guru sesuai dengan kebutuhan masyarakat pada umumnya. Dalam hal ini, pemerintah
telah mengawalinya dengan menaikkan anggaran pendidikan nasional melalui APBN/APBD,
minimal 25% dari jumlah keseluruhan anggaran APBN/APBD yang tersedia.
Kedua, langkah ini harus dilanjutkan dengan merealisasikan kebijakan sistem
penggajian khusus (SPK) guru yang telah dikemukakan Presiden Megawati dalam peringatan
Hari Guru di Istana Merdeka tanggal 26 November 2001 lalu, yang pelaksanaannya akan
diatur dalam SKB 3 Menteri, yakni Menko Kesra, Mendagri dan Mendiknas.
Ketiga, permasalahan kualifikasi dan kompetensi guru dapat diperbaiki dengan cara
menata sistem pengangkatan guru yang disesuaikan kualifikasi yang dimiliki guru.
Keempat, seorang guru harus benar-benar berkarakter profesional, dalam arti sebagai
pendidik yang ahli dalam bidangnya, memiliki moral yang tinggi dan panutan etika, serta
memiliki identitas kebangsaan yang tangguh karena diharapkan masa depan peserta didik
diisi dengan moral dan pengetahuan yang berperan dalam meningkatkan harkat dan martabat
bangsa.
Sampai saat ini, jumlah masyarakat miskin Indonesia adalah yang tebesar di Asia
Tenggara. Padahal harus diakui, kekayaan alam kita amat melimpah. Paradigma
pembangunan pada masa Orde Baru yang terpusat di kota-kota besar khususnya di Jakarta
dan Jawa memunculkan ketimpangan dan kesenjangan dalam pemerataan kesejahteraan
ekonomi antara yang kaya dan yang miskin atau juga antara derah satu dengan daerah yang
lain. kelompok masyarakat ekonomi lemah adalah mereka yang memiliki sumber daya
produktivitas yang terbatas sehingga menghasilkan produktivitas yang rendah.
Akibatnya, kesejahteraan mereka juga relatif rendah. Sementara itu, segelintir pelaku
ekonomi kuat, maju dan berkembang menguasai berbagai produktivitas ekonomi.
Besarnya jumlah pengangguran, secara tidak langsung akan menimbulkan dampak
negatif yang berakibat pada munculnya persoalan-persoalan baru dalam kehidupan
masyarakat, baik itu permasalahan ekonomi, sosial, politik, maupun pertahanan-keamanan.
6 H. Mahyudin, ST.,MM., Visi Kepemimpinan Masyarakat Madani, (Jakarta : NM Press,
2004), h.74.

Akibatnya, pengangguran bagaikan pohon subur dengan buah permasalahan yang lebat dan
pahit, seperti kemiskinan dan kriminalitas. Artinya, problem ketenagakerjaan merupakan akar
permasalahan yang harus segera diselesaikan.
Sebab, tertanggulanginya permasalahan ini, akan memberikan dampak positif bagi
pengentasan kemiskinan, menurunnya intensitas kriminalitas, dan permasalahanpermasalahan lainnya.
Diantara upaya yang paling rasional dalam memecahkan masalah tersebut adalah
mengadakan program peningkatan kualitas dan produktivitas SDM melalui pelatihan, serta
pengembangan program padat karya.
Meski demikian, harus dipahami bahwa upaya penanggulangan masalah
ketenagakerjaan ini akan berjalan efektif dan efisien manakala dilaksanakan secara bersmasama antara pemerintah, masyarakat, dunia pendidikan, lembaga swadaya masyarakat (LSM)
dan seluruh elemen masyarakat lainnya. Sebagai solusi alternatif, maka perlu diselenggarakan
program life skill.
Program pendidikan kecakapan hidup ini ditekankan pada upaya penanaman
kepribadian dan diorientasikan pada peningkatan kecakapan dan kompetensi melalui
pelatihan yang bersifat aplikatif operasional dan diikuti dengan pendampingan secara
simultan hingga semua peserta program dapat menjalankan dan melanjutkan usahanya pasca
pelatihan. Dengan kata lain, dari pelatihan kecakapan hidup ini, diharapkan akan terlahir
masyarakat pekerja yang mandiri.
Dalam konteks Otonomi Daerah, Mendiknas Malik Fadjar pernah mengatakan bahwa
penyelenggaraan wajib belajar (wajar) sembilan tahun harus mengedepankan muatan
kurikulum keahlian yang disesuaikan dengan kebutuhan daerah masing-masing. Dengan
demikian, capaian pendidikan tidak hanya penguasaan bidang akademik tetapi juga bidang
keahlian.
Pemberian life skill di era otonomi ini diharapkan bisa memberikan pegangan serta
keyakinan kepada para peserta didik bahwa mereka mendapatkan sandaran dan warna baru
dalam hidupnya. Bentuk kecakapan hidup ini bisa berupa pengoptimalan materi di sekolah
kejuruan yang sudah ada, atau berupa pelatihan-pelatihan life skill yang diselenggarakan oleh
LSM-LSM yang concern terhadap masalah pendidikan.
Selanjutnya, life skill ini hendaknya mendorong tumbuhnya tenaga kerja mandiri pada
masyarakat setempat untuk menjadi wirausahawan kuat, tangguh dan saling menunjang dan
mampu mengubah citra dan orientasi masyarakat; dari masyarakat pencari kerja menjadi
wirausahawan yang mampu menciptakan lapangan kerja. 7
Mencermati berbagai permasalahan dan tantangan ke depan ini, maka perubahan mendasar
dalam pengelolaan pendidikan merupakan hal yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Kita
7 H. Mahyudin, ST.,MM., Visi Kepemimpinan Masyarakat Madani, (Jakarta : NM Press,
2004), h.148.

semua tentunya tidak ingin sistem pendidikan kita makin lama makin terpuruk. Kita tentu
sama-sama berkeinginan untuk menjadikan bangsa ini melalui sektor pendidikan memperoleh
kesejahteraan di antara berbagai negara lainnya di dunia. Kita tentunya berharap bahwa
bukan karena krisis ekonomi atau karena keuangan negara yang tidak mencukupi lantas
sektor pendidikan menjadi terabaikan nasibnya.8
Apa pun alasannya, guru merupakan titik sentral yang strategis dalam kegiatan pendidikan.
Di samping khusus diangkat untuk mnegajar dan mendidik, guru dibebani tugas sebagai
pelaku pembauran. Mengingat tugasnya tersebut, masalah kelayakan mengajar menjadi
persyaratan yang harus dipenuhi. Padahal, kondisi kemampuan guru-guru yang ada sekarang
cenderung masih memprihatinkan. Hasil survei yang berkaitan dengan kurangnya
kemampuan guru mentransformasikan ilmu dan keterampilan kepada siswa, dari 22.899 guru
di Jakarta yang dites untuk mengetahui seberapa jauh penguasaan guru bidang studi saat
mengajar tersebut memperlihatkan bahwa persentase guru yang memperoleh nilai tujuh
(artinya cukup dalam penguasaan materi bidang studinya) jumlahnya relatif sedikit (38,96%)
dibandingkan mereka yang mendapat nilai kurang dari enam. Melihat kenyataan kondisi guru
di Jakarta tersebut, dapat dipastikan bahwa kondisi pendidikan di daerah tentunya lebih
memprihatinkan lagi.
Apabila tingkat kelayakan mengajar sudah terpenuhi, tuntutan perbaikan
kesejahteraan bagi guru harus menjadi salah satu agenda pokok program pemerintah. Tidak
sebaliknya, seperti yang slama ini terjadi guru menuntut perbaikan tingkat kesejahteraan
sementara mereka tidak memiliki kelayakan yang cukup. Mungkin agak sulit untuk
melakukan mekanisme kontrol yang dapat menjamin bahwa kenaikan gaji atau tunjangan
guru akan diikuti secara signifikan dengan ditinggalkannya kerja sampingan oleh guru-guru.
Padahal, keprofesionalan seseorang akan ditentukan oleh tingkat kinerja sesuai dengan
profesi yang digelutinya.

8 Prof. Dr.H. Hamzah B. Uno, M.Pd, Profesi Kependidikan Problema, Solusi, dan Reformasi
Pendidikan di Indonesia, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008), h.134.

Anda mungkin juga menyukai