TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Rematik/pegal linu
2.1.1. Definisi
Menurut Isbagio (2004), cakupan pengertian gejala rematik ataupun pegal linu
cukup luas. Nyeri, pembengkakan, kemerahan, gangguan fungsi sendi dan jaringan
sekitarnya termasuk gejala rematik. Semua gangguan pada daerah tulang, sendi, dan
otot disebut rematik yang sebagian besar masyarakat juga menyebutnya pegal linu.
Rematik atau pegal linu juga merupakan penyakit degeneratif yang
menyebabkan kerusakan tulang rawan (kartilago) sendi dan tulang didekatnya,
disertai proliferasi dari tulang dan jaringan lunak di dalam dan sekitar daerah yang
terkena (Priyanto, 2009).
2.1.2. Etiologi
Faktor penyebab dari penyakit ini belumdiketahui dengan pasti. Namun,
faktor genetik seperti produk kompleks histokompatibilitas utama kelas II (HLA-DR)
dan beberapa faktor lingkungan diduga berperan dalam timbulnya penyakit ini
(Sudoyo, dkk, 2007).
Faktor genetik seperti kompleks histokompatibilitas utama kelas II (HLA-DR), dari
beberapa data penelitian menunjukkan bahwa pasien yang mengemban HLA-DR4
memiliki resiko relatif 4:1 untuk menderita penyakit ini. Rematik/pegal linu pada
pasien kembar lebih sering dijumpai pada kembar monozygotic dibandingkan kembar
dizygotic (Sudoyo, dkk, 2007).
Dari berbagai observasi menunjukkan dugaan bahwa hormon seks merupakan salah
satu faktor predisposisi penyakit ini. Hubungan hormon seks dengan rematik/pegal
linu sebagai penyebabnya dapat dilihat dari prevalensi penderitanya yaitu 3 kali lebih
banyak diderita kaum wanita dibandingkan dari kaum pria (Sudoyo, dkk, 2007).
Faktor infeksi sebagai penyebab rematik/pegal linu timbul karena umumnya onset
penyakit ini terjadi secara mendadak dan timbul dengan disertai oleh gambaran
inflamasi yang mencolok. Dengan demikian timbul dugaan kuat bahwa penyakit ini
sangat mungkin disebabkan oleh tercetusnya suatu proses autoimun oleh suatu
antigen tunggal atau beberapa antigen tertentu saja. Agen infeksius yang diduga
sebagai penyebabnya adalah bakteri, mycoplasma, atau virus (Sudoyo, dkk, 2007).
2.1.3.
Faktor resiko
2.1.4. Patogenesis
Dimulai dengan terdapatnya suatu antigen yang berada pada membran
sinovial. Pada membran sinovial tersebut, antigen tersebut akan diproses oleh antigen
presenting cells (APC) yang terdiri dari beberapa jenis sel seperti synoviocyte A, sel
dendrit atau makrofag dan semuanya mengekspresikan determinan HLA-DR pada
membran selnya. Antigen yang telah diproses oleh APC selanjutnya dilekatkan pada
CD4+, suatu subset sel T sehingga terjadi aktivasi sel tersebut. Untuk memungkinkan
terjadinya aktivasi CD4+, sel tersebut harus mengenali antigen dan determinan HLADR yang terdapat pada permukaan membran APC. Proses aktivasi CD4+ ini juga
dibantu pleh interleukin-1 (IL-1) yang disekresi oleh monosit atau makrofag. Pada
tahap selanjutnya, antigen, determinan HLA-DR yang terdapat pada permukaan
membran APC dan CD4+ akan membentuk suatu kompleks antigen trimolekular.
Kompleks antigen trimolekular tersebut akan mengekspresi reseptor interleukin-2
(IL-2) pada permukaan CD4+. IL-2 yang disekresi oleh CD4+ akan mengikatkan diri
pada reseptornya dan menyebabkan terjadinya mitosis dan proliferasi sel tersebut.
Proliferasi CD4+ ini akan berlangsung terus selama antigen tetap berada dalam
lingkungan tersebut.
Selain IL-2, CD4+ yang telah teraktivasi juga mensekresi berbagai limfokin
lain seperti A-interferon, tumor necrosis factor (TNF- ), IL-3, IL-4 (B-cell
differentiating factor), granulocyte/macrophage colony stimulating factor (GM-CSF)
serta beberapa mediator lain yang bekerja merangsang makrofag untuk meningkatkan
aktifitas fagositosisnya dan merangsang terjadinya proliferasi serta aktivasi sel B
untuk memproduksi antibodi. Produksi antibodi oleh sel B ini juga dibantu oleh IL-1,
IL-2, IL-4, yang disekresi oleh sel CD4+ yang telah teraktivasi. Setelah berikatan
dengan antigen yang sesuai, antibodi yang dihasilkan akan membentuk kompleks
imun yang akan berdifusi secara bebas kedalam ruang sendi. Pengendapan kompleks
imun pada membran sinovial akan menyebabkan aktivasi sistem komplemen dan
membebaskan komplemen C5a. Komplemen C5a merupakan faktor kemotaktik yang
selain meningkatkan permeabilitas vaskular juga menarik lebih banyak sel PMN yang
memfagositir kompleks imun tersebut sehingga mengakibatkan degranulasi mast cells
dan pembebasan radikal oksigen, leukotriene, enzim lisosomal, prostaglandin,
collagenase, dan stromelysin yang bertanggungjawab atas semua terjadinya inflamasi
dan kerusakan jaringan seperti erosi rawan sendi dan tulang (Sudoyo, dkk, 2007).
2.1.5. Patofisiologi
Akibat peningkatan aktivitas enzim-enzim yang merusak makromolekul
matriks tulang rawan sendi (proteoglikan dan kolagen) maka terjadi kerusakan
setempat secara progresif dan memicu terbentuknya tulang baru pada dasar lesi
sehingga terbentuk benjolan yang disebut osteolit. Proteoglikan adalah suatu zat yang
membentuk daya lentur tulang rawan, sedangkan kolagen adalah serabut protein
jaringan ikat. Osteolit yang terbentuk akan mempengaruhi fungsi sendi atau tulang
dan menyebabkan nyeri jika sendi atau tulang tersebut digerakkan (Priyatno, 2009).
2.1.7. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan radiologis, dan hasil laboratorium, antara lain;
Nyeri pada sendi yang tempatnya tidak jelas, nyerinya bertambah saat
digerakkan dan berkurang saat diistirahatkan.
Terjadi kekakuan sendi pada pagi hari (morning stiffness) atau setelah tidak
ada aktivitas.
Sendi mengalami pembengkakan karena hipertropi tulang, kulit, di persendian
yang bengkak dan kemerahan, nyeri, dan dapat terjadi deformitas.
Pada pemeriksaan laboratorium umumnya tidak terjadi kelainan, hanya laju
endap darah (LED) yang nilainya sedikit meningkat dan terjadi leukositosis
(sel darah putih < 2000/ml)
Pada pemeriksaan radiologis dengan foto rontgen, pada sendi memperlihatkan
adanya penyempitan tidak beraturan pada ruang sendi, sklerosis tulang
subkondral dengan atau tanpa pembentukan osteolit.
(Priyatno, 2009).
Diagnosis juga dapat ditegakkan dengan menggunakan Kriteria American
Rheumtism Association (ARA) yaitu pasien dikatakan menderita penyakit ini, jika
memenuhi minimal 1 sampai 4 yang diderita sekurang-kurangnya 6 minggu.
Kriteria
Defenisi
sekurangnya
selama
jam
Artritis
pada
persendian
atau
pertumbuhan
lebih
tulang)
efusi
pada
(bukan
sekurang-
Artritis simetris
Nodul reumatoid
yang
diperiksa
dengan
cara
5%
Perubahan
radiologis
2.1.8. Penatalaksanaan
2.1.8.1. Konsep pengobatan
Menurut Priyatno (2009) konsep pengobatan ditujukan untuk :
Menghilangkan gejala inflamasi aktif baik lokal maupun sistemik
Mencegah terjadinya destruksi jaringan
Mencegah terjadinya deformitas dan memelihara fungsi persendian agar tetap
dalam keadaan baik
Mengembalikan keadaan fungsi organ dan persendian yang terlibat agar
sedapat mungkin menjadi normal kembali.
B. Antiinflamasi
Ada dua jenis antiinflamasi yang dapat dugunakan, yaitu;
1. Obat antiinflamasi non-steroid (OAINS)
OAINS mempunyai efek analgetika pada dosis rendah dan antiinflamasi pada
dosis yang lebih tinggi. Efek analgetik timbul 1-2 jam setelah pemakaian dan efek
antiinflamasinya timbul pada waktu yang lebih lama. Efek antiinflamasinya timbul
karena OAINS dapat menghambat enzim cyclooxygenase (COX) yang berfungsi
Efek samping lain yang mungkin dijumpai pada pengobatan OAINS antara
lain adalah reaksi hipersensitivitas, gangguan fungsi hati dan ginjal, serta penekanan
system hematopoetik (Sudoyo, dkk, 2007).
Menurut Katzung (1998), efek samping yang dapat terjadi pada penggunaan
OAINS antara lain;
1. Efek terhadap saluran cerna
Pada dosis yang biasa, efek samping utama adalah gangguan pada lambung
(intoleransi). Efek ini dapat diperkecil dengan penyangga yang cocok (bersama
makanan yang diikuti oleh segelas air atau antasid). Gastritis yang timbul pada
aspirin mungkin disebabkan oleh iritasi mukosa lambung oleh tablet yang tidak larut
atau karena penghambatan prostaglandin pelindung.
Perdarahan saluran cerna bagian atas yang berhubungan dengan penggunaan
OAINS biasanya berkaitan dengan erosi lambung. Peningkatan kehilangan darah
yang sedikit melalui tinja secara rutinPeningkatan kehilangan darah yang sedikit
melalui tinja secara rutin berhubungan dengan konsumsi OAINS; kira-kira 1 mL
darah normal yang hilang dari tinja per hari meningkat sampai kira-kira 4 mL per hari
pada penderita yang minum OAINS dosis biasa dan pada dosis lebih tinggi. Di lain
pihak, dengan terapi yang tepat, ulkusnya sembuh, meskipun OAINS diberikan
bersamaan.
Muntah juga dapat terjadi sebagai akibat rangsangan susunan saraf pusat setelah
absorbsi dosis besar OAINS.
2. Efek susunan saraf pusat
Dengan dosis yang lebih tinggi, penderita bisa mengalami salisilisme-tinitus,
penurunan pendengaran, dan vertigo-yang reversibel dengan pengurangan dosis.
Dosis salisilat yang lebih besar lain dapat menyebabkan hiperpnea melalui efek
langsung terhadap medula oblongata. Pada kadar salisilat toksik yang rendah, bisa
timbul respirasi alkalosis sebagai akibat peningkatan ventilasi. Kemudian asidosis
akibat pengumpulan turunan asam salisilat dan depresi pusat pernapasan.
3. efek samping lainnya
Dalam dosis harian 2 g atau lebih kecil, biasanya meningkatkan kadar asam urat
serum.
Dapat menimbulkan hepatitis ringan yang biasanya asimtomatik, terutama pada
penderita dengan kelainan yang mendasarinya seperti lupus eritematosus sistemik
serta artritis rematoid juvenilis dan dewasa.
Dapat menyebabkan penurunan laju filtrasi glomerulus yang reversibel pada
penderita dengan dasar penyakit ginjal, tetapi dapat pula (meskipun jarang) tejadi
pada ginjal normal.
Pada dosis biasa mempunyai efek yang dapat diabaikan terhadap toleransi
glukosa. Sejumlah dosis toksik akan mempengaruhi sistem kardiovaskular secara
langsung serta dapat menekan fungsi jantung dan melebarkan pembuluh darah
perifer. Dosis besar akan mempengaruhi otot polos secara langsung.
Reaksi hipersensitifitas bisa timbul setelah konsumsi pada penderita asma dan polip
hidung serta bisa disertai dengan bronkokonstruksi dan syok.
Dikontrainsikasikan pada penderita hemofilia. Juga tidak dianjurkan bagi wanita
hamil dan anak-anak.
Selama 20 tahun terakhir ini, berbagai jenis OAINS baru dari berbagai
golongan dan cara penggunaan telah dapat diperoleh dipasaran. Dalam memilih suatu
OAINS untuk digunakan pada seorang pasien, seorang dokter umunya harus
mempertimbangkan beberapa hal seperti :
Khasiat antiinflamasi
Efek samping obat
Kenyamanan/kepatuhan pasien
Biaya
Karena faktor seperti khasiat inflamasi, efek analgesik, beratnya efek samping atau
biaya dari berbagai jenis OAINS saat ini umumnya tidak jauh berbeda, sejak
beberapa tahun terakhir ini pilihan OAINS lebih banyak bergantung pada faktor
kenyamanan pasien dalam menggunakan OAINS (sudoyo, dkk, 2007).