Anda di halaman 1dari 4

BAB 1

PENDAHULUAN

Rumah sakit merupakan instansi kesehatan yang berperan penting melawan penyebaran
HIV/AIDS, namun sering kali rumah sakit melakukan diskriminasi terhadap pasien HIV/AIDS. Saat
ini masih banyak rumah sakit dan dokter yang tidak menerima pasien-pasien yang terinfeksi
HIV/AIDS untuk berobat. Rumah sakit menganggap kasus HIV/AIDS sangat kompleks dan
problematic dikarenakan bukan hanya satu dokter dengan spesialis tertentu yang diperlukan untuk
merawat pasien HIV/AIDS tetapi memerlukan banyak spesialis. Kekhawatiran lain pihak rumah
sakit bila menerima pasien HIV/AIDS ialah banyak pasien yang ketakutan dan tidak mau
ditempatkan satu ruangan dengan pasien HIV. Sebaliknya bila menempatkan semua pasien
HIV/AIDS dalam ruangan tertentu juga berarti menimbulkan ketidakadilan dan diskriminasi.
Masalah lain yang seringkali muncul ialah pelayanan dibawah standar, lalai dalam memberikan
perawatan, melanggar kerahasiaan pasien, serta melakukan tes HIV tanpa persetujuan pasien.
Praktek ini mencerminkan fakta yang buruk bahwa orang-orang yang terinfeksi HIV sering
menerima perlakuan medic dibawah standar yang ditetapkan.
Tidak semua rumah sakit memiliki formulir pelaporan kasus HIV/AIDS, yang dikeluarkan oleh
Departemen Kesehatan, sehingga system pelaporan dan pencatatan menjadi belum baik. Berdasarkan
Surat Edaran Menkes no 129 Tahun 2013, tentangpelaksanaan pengendalian HIV AIDS dan infeksi
menular seksual (IMS), PUSKESMAS dan RUMAH Sakit agar memasukan layanan terkait
HIV_AIDS sebagai salah satu layanan pokok seabagai bagian dari pelayanan standar rumah sakit
dan sudah menjadi salah satu dari penilaian akreditasi rumahsakit
Berdasarkan Surat Edaran Menteri Kesehatan No 129 tahun 2015 tersebut, maka dalam
pelaksanaan akreditasi rumah sakit diperlukan penyelenggaraan pelayanan HIV-AIDS di RSUD
Palabuhanratu sebagai salah satu layanan pokok dari pelayanan standar rumah sakit.

BAB II
PELAYANAN HIV AIDS DI RUMAH SAKIT

A. LATAR BELAKANG
Hingga saat ini HIV masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat utama di
Indonesia. Sejak pertama kali ditemukan (1987) sampai dengan tahun 2011, kasus HIV
teridentifikasi tersebar di 368 (73,9%) dari 498 kabupaten/kota diseluruh (33) provinsi di
Indonesia. Provinsi pertama kali ditemukan adanya kasus HIV adalah Provinsi Bali (1987),
sedangkan yang terakhir melaporkan adanya kasus HIV (2011) adalah Provinsi Sulawesi Barat.
Berdasarkan data terbaru, kejadian penularan infeksi HIV di Indonesia terbanyak melalui
hubungan seksual dengan orang yang terinfeksi tanpa menggunakan kondom. Diikuti oleh
penggunaan alat suntik yang tercemar darah yang mengandung HIV (karena penggunaan alat
suntik secara bersama di antara para pengguna Napza suntikan), dan ditularkan dari ibu pengidap
HIV kepada anaknya, baik selama kehamilan, persalinan atau selama menyusui. Cara penularan
lain adalah melalui transfuse darah yang tercemar, alat tusuk dan peralatan lainnya (tato, dan lain
lain) dan adanya infeksi menular seksual seperti sifilis.
Sejak beberapa tahun belakangan ini telah banyak kemajuan dicapai dalam program
pengendalian HIV di Indonesia. Berbagai layanan terkait HIV telah dikembangkan dan
dimanfaatkan oleh masyarakat yang membutuhkannya yaitu parapopulasi kunci dengan jumlah
yang terus meningkat. Namun demikian efektifitas maupun kualitas intervensi dan layanan
tersebut masih belum merata dan belum semuanya saling terkait. Selain itu, masih banyak
tantangan yang harus dihadapi seperti jangkauan layanan, cakupan, maupun retensi klien pada
layanan, termasuk di wilayah dengan beban yang tinggi. KabupatenSuka bumi sendiri berada di
peringkat ke-18 se-Jawa Barat, denganjumlah ODHA sebanyak 92 orang hingga Oktober 2014.
KPA( Komisi Penanggulangan AIDS) meluncurkan Peraturan Daerah Kabupaten Sukabumi
Nomor 11 Tahun 2014 Tentang Penanggulangan HIV dan AIDS yang telah ditetapkan oleh DPRD
pada bulan Juli lalu. Perda ini dikeluarkan sebagai upaya untuk menahan laju peningkatan jumlah
ODHA (Orang Dengan HIV-AIDS) di Kabupaten Sukabumi yang dirasa semakin meningkat
setiap tahunnya.
Pelaksanaan pengendalian HIV AIDS dan infeksimenular (IMS) diatur dalam Srat
Edaran Menteri Kesehatan no 129 tahun 2013 dan diatur oleh permenkes No 21 Tahun 2013
tentang Penanggulangan HIV AIDS.

B. PELAYANAN HIV AIDS DI RUMAH SAKIT


Untuk melaksanakan pelayanan HIV AIDS sebagai salah satu pelayanan pokok di rumah
sakit di perlukan beberapa komponen
1. TIM pelayanan HIV AIDS
Tim terdiri dari dokter ,perawat, petugas rekam medic, dan petugas farmasi serta
petugas laboratorium yang telah melaksanakan pelatihan tentang HIV AIDS yang disahkan
lewat SK direktur RumahSakit
2. Klinik pelayanan HIV AIDS
Klinik pelayananan HIV AIDS adalah tempat diselenggarakanya pelaksanaan
penyelenggaraan pelayanan HIV AIDS melalui
a. VCT (voluntary conseling test)
b. PICT (Provider-Initiated Testing and Counselling)
c. Terapi anteroviral yang berdasarkan bukupedoman kemenkes 2013
C. Cara penyelenggaraanpelayanan HIV AIDS
a. Voluntary Conceling Test (VCT) adalah konseling dan tes HIV yang dilakukan dengan
sukarela tanpa paksaan.
b. Provider-Initiated Testing and Counselling (PITC) adalah konseling dan tes HIV yang
disarankan oleh penyelenggara pelayanan kesehatan kepada seseorang yang dating ke
fasilitas pelayanan kesehatan sebagai suatu komponen standard dari pelayanan medis.
c. Melakukan pemberian terapi anteroviral sesuai dengan buku panduan kemenkes tahun 2013.
d. Dilakukan dengan prinsip confidential
e. Koordinasi dengan smf dan bagian bagian yang terkait dalam pelaksanaan pelayanan HIV f.

AIDS
Koordinasi dengan puskesmas dan LSM yang terkait

BAB III
KESIMPULAN

1. Utuk menunjang pelaksanaan akreditasi dan mengikuti SE menkes No 129 Tahun 2013.
Maka diperlukan pelayanan HIV AIDS sebagai salah satu pelayanan pokok di RS
2. Perlu di sahkan tim untuk pelaksanaan pelayanan HIV AIDS di rumah sakit lewat SK
direktur Rumah Sakit
3. Pelaksanaan penyelenggaraan pelayanan HIV AIDS lewat 2 carayaitu VCT dan PICT.

PROPOSAL
PENGADAAN PELAYANAN HIV- AIDS
DI RSUD PALABUHANRATU
KABUPATEN SUKABUMI

Anda mungkin juga menyukai