Anda di halaman 1dari 13

MEKANISME EFEKTOR PADA IMUNITAS SELULAR

Fajar Admayana
Chairul Effendi
PENDAHULUAN
Keutuhan tubuh dipertahankan oleh sistem pertahanan yang terdiri atas
sistem imun nonspesifik (natural/innate) dan sistem imun spesifik (adaptive/
acquired). Sistem imun non-spesifik merupakan pertahanan tubuh terdepan dalam
menghadapi serangan berbagai mikroorganisme. Disebut non-spesifik, karena tidak
ditujukan terhadap mikroorganisme tertentu. Sistem imun spesifik (humoral/ selular)
berkembang kemudian yang timbul terhadap antigen tertentu (Karnen, 2004).
Sistem imun non-spesifik/ alami terdiri dari pertahanan selular dan biokimia
yang telah ada sebelum infeksi terjadi dan berespon dengan cepat terhadap infeksi.
Komponen utama dari imunitas non-spesifik/ alami adalah : Barier fisik dan kimia
seperti epitel dan substansi antimikroba yang diproduksi pada permukaan epitel, selsel fagosit (neutrofil, makrofag), sel yang melepas mediator inflamasi (basophil, mast
cell, eosinophil), Natural Killer Cell (sel NK), komponen molekular meliputi
komplemen, acute-phase protein, dan sitokin seperti interferon (Delves, 2000; Abbas,
2003).
Sistem imun spesifik humoral diperantarai oleh limfosit B atau sel B. Bila sel B
dirangsang oleh benda asing, sel tersebut akan berproliferasi, berdiferensiasi dan
berkembang menjadi sel plasma yang membentuk antibodi. Fungsi utama antibodi
ini ialah pertahanan terhadap infeksi ekstraselular, virus dan bakteri serta
menetralisasi toksinnya. Sedangkan yang berperan pada sistem imun spesifik selular
adalah Limfosit T atau sel T. Fungsi utama sistem imun spesifik selular ialah untuk
pertahanan terhadap bakteri yang hidup intraselular, virus, jamur, parasit dan
keganasan (Abbas, 2003; Haynes, 2005).
Pembersihan antigen memerlukan keikutsertaan sel-sel yang disebut sel
efektor. Sel-sel efektor adalah sel yang memproduksi dan melepas sitokin (sel T
helper (TH): sel TH1, sel TH2), sel yang membunuh virus, mikroba (sel NK,
makrofag), sel yang membunuh sel pejamu terinfeksi (CTL / Cytotoxic T
Lymphocytes) atau melepas antibodi (sel B yang berdiferensiasi) (Abbas, 2003;
Karnen, 2004).
Tinjauan Pustaka Bagian-SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unair RSU Dr. Soetomo
Surabaya, 15 Maret 2006

Dalam makalah ini akan dibahas mekanisme efektor pada imunitas seluler
yang diperantarai oleh sel TH1 dan CTL. Sedangkan sel TH2 dan sel B berperan
pada imunitas humoral sehingga tidak dibahas lebih lanjut.
SISTEM IMUN SPESIFIK SELULAR
Limfosit T atau sel T berperan pada sistem imun spesifik selular. Sel tersebut
berasal dari sel asal multipoten di sumsum tulang. Pada orang dewasa, sel T
dibentuk di dalam sumsum tulang tetapi proliferasi dan diferensiasinya terjadi di
dalam kelenjar timus. Sel yang berperan pada imunitas selular adalah sel T CD4 +
(Cluster of Differentiation) yang diaktifkan kemudian berdiferensiasi menjadi sel TH1
yang selanjutnya mengaktifkan makrofag untuk menghancurkan mikroba dan sel T
CD8+ yang membunuh sel terinfeksi (Karnen, 2004; Patek, 2004).
PEMATANGAN LIMFOSIT
Prekursor T berasal dari sumsum tulang bermigrasi melalui darah ke korteks
kelenjar timus. Dalam korteks, sel progenitor mengekspresikan TCR- (T-cell
receptor-) dan koreseptor CD4 dan CD8. Proses seleksi akan menyingkirkan
timosit (Limfosit di dalam timus) yang self-reaktif dan meningkatkan masa hidup
timosit yang TCR-nya mengikat molekul MHC (Major Histocompatibility Complex)
sendiri dengan afinitas rendah. Diferensiasi fungsi dan fenotipe menjadi CD4 + CD8atau CD4-CD8+ terjadi dalam medula. Sel T yang matang dilepas ke sirkulasi. Sel T
yang mengekspresikan TCR- juga berasal dari prekursor di sumsum tulang dan
menjadi matang dalam timus melalui jalur yang lain. TCR- merupakan bentuk TCR
terumum yang di ekspresikan baik oleh CD4 + maupun CD8+ dan mengenal antigen
peptida yang diikat molekul MHC (Male, 1996; Abbas, 2003; Karnen, 2004).
MEKANISME EFEKTOR
I.

Rute Antigen
Antigen seperti mikroba, pada umumnya masuk tubuh melalui kulit, epitel
saluran cerna dan nafas. Antigen mikroba dapat diproduksi di setiap jaringan
terinfeksi (Abbas, 2003). Antigen di perifer diambil oleh makrofag dan sel dendritik
kemudian diangkut menuju organ lymphoid perifer melalui limfatik (Afferent
lymph). Di dalam organ lymphoid antigen berikatan dengan BCR (B-cell receptor)
dari sel B dan atau dipresentasikan oleh sel dendritik yang berikatan dengan TCR
dari sel T, mengakibatkan pengaktifan sel B atau sel T (proliferasi dan
diferensiasi). Efektor limfosit mungkin tinggal dalam organ limfoid (TH2 dan

beberapa sel plasma) atau pergi melalui efferenth lymph menuju lokasi
peradangan (sel plasma dan sel TH1) (Patek, 2004).
II.

Antigen Presenting Cell


Sel dendritik, fagosit mononuklear dan sel B dapat berperan sebagai APC
(Antigen Presenting Cell ). Sel dendritik merupakan sel yang lebih dikhususkan
untuk menangkap dan mempresentasikan antigen. Sel dendritik merupakan APC
efektif untuk mengawali respon sel T dalam respon imun selular dan sel B dalam
respon imun humoral. Sel dendritik atau semua sel yang berinti dapat
mempresentasikan antigen protein yang berada dalam sitoplasma menjadi
kompleks peptida MHC kelas I sehingga dikenal sel T. Sel dendritik dapat pula
memakan antigen asing, memprosesnya dan mempresentasikan ke sel T dengan
molekul MHC kelas II. Proses konversi protein alamiah menjadi kompleks peptida
MHC disebut proses antigen (Male, 1996; Abbas, 2003).

a. Pemrosesan antigen untuk presentasi oleh MHC kelas I


Antigen sitosolik endogen seperti protein virus dipotong oleh proteasom dan
peptida yang terbentuk ditransportasikan ke ER (endoplasmic reticulum) oleh protein
TAP (transporters associated with antigen processing). Peptida kemudian berikatan
dengan 2-mikroglobulin untuk berkombinasi dengan rantai berat MHC kelas I yang
baru disintesis membentuk heterotrimer yang stabil. Kompleks peptida-MHC ini
kemudian ditransportasaikan ke permukaan untuk dipresentasikan kepada sel-T
sitotoksik / sel T CD8+ (Lipscomb, 2002; Roitt, 2003; Haynes, 2005).
b. Pemrosesan antigen untuk presentasi oleh MHC kelas II
Molekul MHC kelas II disintesis dalam ER dan membentuk kompleks dengan
suatu protein yang disebut rantai invarian yang menempati celah dari molekul kelas
II. Antigen diambil kedalam vesikel intrasellular, pengasaman vesikel mengaktifkan
protease untuk mendegradasi antigen menjadi fragmen peptida, kemudian melebur
dengan vesikel yang berisi komplek molekul MHC kelas II dengan rantai invarian.
Suasana asam dalam endosom memecah rantai invarian menjadi fragmen peptida
pendek yang disebut CLIP (class II-associated invariant chain peptide). Adanya HLADM (human leukocyte antigen DM) mengikat MHC kelas II, melepaskan CLIP
sehingga peptida antigen dapat berikatan dengan MHC kelas II. Kompleks kelas IIpeptida kemudian muncul di permukaan sel untuk dipresentasikan pada sel-T
helper / sel T CD4+ (Lipscomb, 2002; Roitt, 2003; Haynes, 2005).
III. Aktivasi Limfosit
Reseptor sel T hanya mengenal dan akan mengikat fragmen yang berhubungan
dengan MHC dan karenanya disebut MHC restricted. Reseptor TH

CD4+ hanya
3

mengenal dan mengikat peptida yang terutama berasal dari protein ekstraselular
yang ada dalam vesikel APC yang dipresentasikan molekul MHC-II, sedang reseptor
CD8+ /Cytotoxic T Lymphocyte (CTL) mengenal peptida yang berasal dari sitosol
yang dipresentasikan MHC-I (Roitt, 2003; Karnen, 2004).
Aktivasi sel T memerlukan 2 sinyal,

bila hanya satu sinyal maka akan

menyebabkan anergi sel T (nonresponsive atau tolerant), berupa tidak terjadinya


respon terhadap stimulasi antigen lebih lanjut. Kompleks reseptor sel T, antigen dan
MHC memberikan sinyal ke 1 melalui reseptor kompleks CD3 dan diperbesar oleh
penggabungan CD4 dengan MHC. Sel T kemudian dihadapkan pada sinyal ke 2
(kostimulator) dari sel penyaji antigen. Sel dendritik menyampaikan sinyal ke 2 hanya
setelah mereka diaktifkan. Sel Dendritik diaktifkan oleh produk bakteri (LPS,
peptidoglycan) atau sitokin (TNF). Kostimulator yang paling kuat adalah B7 (B7-1/
CD80 dan B7-2/ CD86) pada sel penyaji antigen yang terikat pada CD28. CTLA-4
mengatur pengaktifan sel T dengan mengurangi sinyal ke 2. Sel T yang diaktifkan
menempatkan CTLA-4 pada permukaannya sehingga membatasi pengaruh sinyal ke
2. Molekul adhesi seperti ICAM-1, VCAM-1, dan LFA-3 tidak bersifat kostimulator,
tetapi menguatkan efek dari sinyal lain. APC yang diaktifkan juga memproduksi
sitokin seperti IL-12, yang merangsang diferensiasi dari sel T naif menjadi sel efektor
(Gambar 1) (Abbas, 2003; Roitt, 2003; Braunstein, 2004; Patek, 2004; Haynes,
2005).

Gambar 1. Fungsi dari kostimulator dalam pengaktifan sel T

Ketika sel T diaktifkan , sel T mengekspresikan molekul yang disebut CD40


ligand (CD40L) , mengikat CD40 yang diekspresikan oleh APC dan mengirim sinyal
yang memperkuat ekspresi dari kostimulator B7 pada APC. Dukungan ekspresi dari
CD40L membutuhkan kostimulasi B7:CD28 seperti halnya antigen. Jadi B7 dan
CD40 saling merangsang satu sama lain (Gambar 2) (Abbas, 2003).

Gambar 2. Peran CD40 dalam pengaktifan sel T


IV. Mekanisme Efektor Selular Spesifik CD4
1. Diferensiasi Sel T CD4+ naif menjadi sel subset TH1 dan TH2
Sel T CD4+ berdiferensiasi menjadi subset TH1 dan TH2 yang diferensiasinya
ditentukan oleh rangsangan awal selama respon imun. Subset TH1 dan TH2
memproduksi sitokin yang berbeda dan oleh karena itu melaksanakan fungsi
efektor yang berbeda (Abbas, 2003; Karnen, 2004).
a. Diferensiasi TH1
Diferensiasi TH1 merupakan respon terhadap infeksi mikroba atau atas
pengaruh aktivasi sel NK, rangsangan antigen bakteri intraselular seperti listeria
dan mikobakteri, beberapa parasit seperti leismania, dan semua mikroba yang
menginfeksi makrofag. Diferensiasi TH1 juga terjadi atas pengaruh rangsangan
virus dan antigen protein yang diberikan dengan ajuvan (Abbas, 2003; Karnen,
2004).
Infeksi dan imunisasi memacu imunitas nospesifik yang merangsang
makrofag untuk memproduksi IL-12. Beberapa mikroba diikat reseptor

pada

makrofag dan sel dendritik yang diaktifkan untuk segera memproduksi IL-12.
(Gambar 3). Mikroba lain memacu sekresi IL-12 secara tidak langsung dengan
merangsang sel NK untuk memproduksi IFN- yang akan mempengaruhi
makrofag mensekresi IL-12. Sel T meningkatkan produksi IL-12 melalui CD40L
pada sel T dengan CD40 pada APC dan merangsang transkripsi gen IL-12 . IL-12
5

mengikat reseptor sel T CD4 + dan mengaktifkan faktor transkripsi STAT 4, dan
STAT 4 memicu diferensiasi sel T menjadi sel TH1. Suatu faktor transkripsi yang
disebut T-bet juga berperan penting, diproduksi sebagai respon terhadap IFN-,
yang kemudian memperkuat respon TH1 (Gambar 4) (Abbas, 2003; Karnen,
2004).

Gambar 3. Peran IL-12 dan IFN dalam imunitas seluler.

Gambar 4. Perkembangan sel TH1 dan TH2 sebagai subset CD4 +


6

b. Diferensiasi TH2
Diferensiasi TH2 terjadi oleh karena respon terhadap cacing dan alergen,
yang menyebabkan rangsangan kronik sel T. Diferensiasi sel T menjadi subset
TH2 tergantung pada IL-4 yang berfungsi dengan mengaktifan STAT 6 , suatu
faktor transkripsi yang merangsang perkembangan TH2. Faktor transkripsi lain
disebut GATA-3 juga berperan penting, diproduksi sebagai respon terhadap
pengenalan antigen dan produksinya ditingkatkan oleh IL-4 yang kemudian
memperkuat respon TH2. Sel T CD4 + sendiri mensekresi sejumlah kecil IL-4 dari
pengaktifan awalnya. Jika antigen terdapat terus menerus dan terdapat pada
konsentrasi tinggi maka konsentrasi lokal dari IL-4 secara bertahap meningkat.
Jika antigen juga tidak memicu inflamasi dengan adanya produksi IL-12 hasilnya
adalah peningkatan diferensiasi sel T menjadi subset TH2. Demikian sel TH2
berkembang dalam respon terhadap parasit cacing dan alergen lingkungan sebab
mikroba dan antigen ini menyebabkan rangsangan sel T yang menetap dan
berulang dengan sedikit inflamasi atau pengaktifan makrofag. Didalam beberapa
situasi IL-4 diproduksi oleh sel mast (Abbas, 2003; Karnen, 2004).
2. Fungsi Efektor dari subset TH1 dan TH2
a. Fungsi Sel TH1
Sel T CD4+ yang berdiferensiasi menjadi sel TH1 mensekresi IFN ,
Limfotoksin (LT), dan TNF serta IL-2. IFN pada makrofag meningkatkan
fagositosis dan pembunuhan mikroba dalam fagolisosom, pada limfosit B
merangsang produksi antibodi Ig G yang mengopsonisasi mikroba untuk
fagositosis. LT dan TNF mengaktifkan neutrofil dan merangsang inflamasi. IL2 adalah growth faktor autokrin yang dibuat oleh sel subset ini (Gambar 5)
(Abbas, 2003; Braunstein, 2004).

Gambar 5. Fungsi efektor sel TH1


b. Fungsi Sel TH2
Sel TH2 bertanggung jawab terhadap pertahanan melawan infeksi
cacing dan untuk reaksi alergi . Sel TH2 memacu reaksi inflamasi yang
didominasi oleh eosinofil dan sel mast yang berperan dalam sistem imun
spesifik humoral (Abbas, 2003; Karnen, 2004).
3. Interaksi TH1 dan TH2
IFN di sekresi oleh sel TH1 , menyebabkan diferensiasi TH1 lebih lanjut dan
menghambat proliferasi TH2. sebaliknya IL-4 diproduksi sel TH2 menyebabkan
diferensiasi TH2 , dan IL-10 juga diproduksi oleh sel TH2, menghambat aktifasi sel
TH1. Sitokin yang diproduksi sel TH2 (khususnya IL-4, IL-13, IL-10) menghalangi
aksi IFN

dan menghambat aktifasi makrofag (Abbas, 2003; Bowers, 2003;

Braunstein, 2004).
4. Efektor CD4+
Sel T CD4+ TH1 dan CD8+ mengaktifkan makrofag melalui kontak sinyal
yang dikirim oleh hubungan CD40L CD40 dan oleh sitokin IFN. (Gambar 6).
Makrofag yang diaktifkan membunuh mikroba yang difagosit terutama melalui
produksi enzim mikrobicidal Reactive oxygen intermediate (ROI) , oksida nitrit, dan
8

enzim lisosom. Enzim-enzim ini juga dilepaskan ke dalam jaringan yang


bersebelahan dimana mereka membunuh mikroba ekstra seluler dan dapat
menyebabkan kerusakan jaringan normal. Makrofag yang diaktifkan merangsang
inflamasi akut melalui sekresi sitokin, terutama TNF, IL-1 dan kemokin, dan mediator
lipid seperti platelet actifating factor (PAF), prostaglandin dan leukotrin, menghasilkan
inflamasi lokal yang kaya akan neutrofil yang memfagosit dan menghancurkan
organisme infeksi (Abbas, 2003; Braunstein, 2004).
Makrofag dan neutrofil yang diaktifkan menyingkirkan jaringan mati untuk
memudahkan perbaikan setelah infeksi terkontrol. Makrofag yang diaktifkan juga
menginduksi perbaikan jaringan melalui sekresi growth factor yang merangsang
proliferasi fibroblast (platelet derived growth factor) , sintesa kolagen (transforming
growth factor ) dan pembentukan pembuluh darah baru atau angiogenesis
(fibroblast growth factor) (Abbas, 2003; Braunstein, 2004).

Gambar 6. Aktivasi dan fungsi makrofag dalam imunitas selular


5. TH1 pada Delayed Type Hypersensitivity (DTH)
Bila makrofag yang diaktifkan gagal menyingkirkan mikroba, sitokin dan
growth factor akan terus menerus diproduksi. Makrofag yang diaktifkan dapat
menimbulkan kerusakan jaringan. Kerusakan tersebut disebabkan oleh produk
makrofag seperti enzim hidrolitik, oksigen reaktif intermediat, oksida nitrit dan sitokin
proinflamasi. Makrofag yang diaktifkan meningkatkan sitoplasma dan organel serta
menyerupai sel epitel yang disebut sel epiteloid, kemudian bersatu membentuk sel

raksasa dengan nukleus banyak, membentuk granuloma yang merupakan petanda


respons terhadap mikroba yang persisten seperti M. Tuberkulosis dan beberapa
jamur. Jaringan rusak yang diganti dengan jaringan fibrosis merupakan petanda
reaksi lambat delayed type hypersensitivity kronis dan mengganggu fungsi organ
(Abbas,2003; Karnen,2004).
V. Interaksi Sel T CD4+ dan CD8+
Diferensiasi sel T CD8+ naif menjadi CTL fungsional membutuhkan kostimulasi
dan partisipasi dari sel T helper CD4+ (Gambar 7). Sel T helper CD4+ merangsang
diferensiasi sel limfosit T CD8 + melalui beberapa mekanisme.

Sel T helper

mensekresi sitokin seperti IL-2 yang merangsang ekspansi klonal dan diferensiasi sel
T CD8+. Sel T helper yang dirangsang antigen mengekspresikan CD40L, yang
mengikat pada CD40 pada APC dan mengaktifkan APC ini untuk membuat lebih
efisien dalam perangsangan diferensiasi sel T CD8 + (Abbas, 2003; Karnen, 2004).

Gambar 7. Peran kostimulasi dan sel T helper dalam diferensiasi dari


limfosit CD8+

VI. Mekanisme CTL/ Tc membunuh Sel Terinfeksi


10

Mikroba intraselular yang menemukan tempat berlindung diluar fagosom, dan


mikroba pada sel nonfagositik tidak dapat dibunuh oleh fagosit yang diaktifkan sel T.
Jalan satu-satunya untuk memusnahkan infeksi ini adalah membunuh sel yang
terinfeksi dan ini merupakan fungsi dari CTL (Abbas, 2003; Karnen, 2004).
Sewaktu reseptor antigen dari CTL mengenal kompleks MHC peptida pada sel
target, pusat pengaturan mikrotubule dari CTL berpindah pada daerah sitoplasma
yang dekat dengan kontak sel target. Granule sitoplasma dari CTL menjadi
terkonsentrasi pada daerah yang sama dan membran granule bergabung /melebur
dengan membran plasma. Penyatuan membran menghasilkan eksositosis dari isi
granule CTL ke permukaan sel target (Abbas, 2003; Karnen, 2004).
Dua protein granul yang penting untuk fungsi CTL adalah perforin dan
granzim. Perforin adalah suatu protein yang membentuk pori / lubang-lubang kecil di
membran sel sasaran. Granzim adalah proteases serine yang masuk ke dalam sel
target melalui pori ini, dengan demikian mengaktifkan enzim selular yang disebut
kaspases, yang gilirannya membelah beberapa substart (termasuk nukleoprotein)
dan memicu apoptosis sel target. Mekanisme lain pada pengaktifan CTL, CTL
mengekspresikan suatu protein membran yang disebut Fas ligand (Fas L) yang
mengikat pada protein Fas target, yang diekspresikan pada banyak tipe sel, interaksi
ini menghasilkan aktifasi kaspases dan apoptosis dari target (Gambar 8) (Delves,
2000; Abbas, 2003; Patek, 2004).

Gambar 8. Mekanisme CD8+ membunuh sel terinfeksi


SUMMARY

11

Cell-mediated immunity is the adaptive immune respone against intracellular


microbes. It is mediated by T lymphocytes and their products, such as cytokines.
There are two main forms of cell-mediated immune reaction. In one, which is
exemplified by DTH reactions, CD4+ TH1 cells, as well as CD8 + T cells, recognize
antigens of microbes that have been ingested by phagocytes and activate the
phagocytes to kill the microbes. In the second type of cell-mediated immunity, CD8 +
CTLs kill any nucleated cell that contains foreign antigens (microbial or tumor
antigens) in the cytosol.
DAFTAR PUSTAKA
1. Abbas A, Lichtman A (2003). Activation of T Lymphocytes. In : Cellular and
Molecular Immunology. 5th Edition. Saunders. Philadelphia, 163
2. Abbas A, Lichtman A (2003). Effector Mechanisms of Cell Mediated Immunity. In :
Cellular and Molecular Immunology. 5th Edition. Saunders. Philadelphia, 298
3. Abbas A, Lichtman A (2003). Lymphocyte Maturation and Expression of Antigen
Receptor Genes. In : Cellular and Molecular Immunology. 5 th Edition. Saunders.
Philadelphia, 129
4. Bowers W (2003). Immunoregulation. Available at http://pathmicro.med.sc. edu /
2003-immpdf/Lecture%2014.pdf. Accessed October 23, 2005
5. Braunstein N (2004). T Cell Effector Mechanisms I. Available at http://
healthsciences.

columbia.edu/dept/ps/2007/immuno/im08.pdf.

Accessed

September 29, 2005


6. Delves P, Roitt I (2000). The immune system. First of Two Parts. N Engl J Med
343, 37
7. Delves P, Roitt I (2000). The Immune System. Second of Two Parts. N Engl J Med
343, 108
8. Haynes B, Fauci A (2005). Disorders of The Immune System, Connective Tissue,
and Joints. In : Harrisons Principles of Internal Medicine. Editors: Kasper D, et
al, 16th Edition. Mc Graw-Hill. USA, 1907
9. Karnen GB (2004). Mekanisme Efektor. Dalam Imunologi Dasar. Edisi ke-enam.
Balai Penerbit FKUI. Jakarta, 191
10. Karnen GB (2004). Sistem Imun Spesifik. Dalam Imunologi Dasar. Edisi ke-enam.
Balai Penerbit FKUI. Jakarta, 51
11. Karnen GB (2004). Sistem Imun. Dalam Imunologi Dasar. Edisi ke-enam. Balai
Penerbit FKUI. Jakarta, 1

12

12.Lipscomb M, Masten B (2002). Dendritic Cells: Immune Regulators in Health and


Disease. Physiol Rev 82, 97
13.Male, Brostoff, Gray, Roitt (1996). Immunology Interactive. CDROM
14.Patek P (2004). Basic Concepts In Immunology. Available at

www2. hawaii.

edu/~patek/immunology. Accessed October 23, 2005


15.Patek P (2004). T Cell-mediated Immunity (CMI). Available at

www2. hawaii.

edu/~patek/immunology. Accessed October 23, 2005


16.Roitt I (2003). Aktivasi Limfosit. Dalam Imunologi, Essential Immunology. Edisi kedelapan, cetakan pertama. Widya Medika, Jakarta, 152
17.Roitt I (2003). Interaksi Primer dengan Antigen. Dalam Imunologi, Essential
Immunology. Edisi ke-delapan, cetakan pertama. Widya Medika, Jakarta, 76
18.Roitt I (2003). Reseptor Membran Untuk Antigen. Dalam Imunologi, Essential
Immunology. Edisi ke-delapan, cetakan pertama. Widya Medika, Jakarta, 60
19.Wherry E.J, Ahmed R (2004). Memory CD8 T-Cell Differentiation during Viral
Infection . Journal of Virology, June 2004, 5535

----------oo0oo----------

13

Anda mungkin juga menyukai