Anda di halaman 1dari 10

IMUNOTERAPI PADA PENYAKIT REMATIK OTOIMUN

Kadek Sumantra
PENDAHULUAN
Penyakit rematik otoimun merupakan penyakit yang mengenai sendi atau otot berkaitan
dengan adanya otoantibodi, seperti rheumatoid arthritis, systemic lupus erythematosus, sjogren
syndrome, systemic sclerosis, polymyalgia rheumatica, Juvenile Rheumatoid arthritis,
Psoriasis arthritis, Ankylosing spondilits, yang ditandai oleh inflamasi dan kehilangan fungsi
dari satu atau lebih struktur penyambung dan penunjang tubuh. Mekanisme yang menyebabkan
kerusakan self-tolerance imunologis dan destruksi otoimun dari sel dan jaringan bersifat
komplek, prinsip dasar mekanisme patologis penyakit ini, bagaimana menormalkan imun dan
respon proinflamasi, juga belum diketahui namun melibatkan faktor kerentanan genetik dan
lingkungan.(Kaufmann,1999;Moser, 2005).
Lebih dari 80 gangguan otoimun telah diidentifikasi, dan secara keseluruhan
diperkirakan menyerang sedikitnya 14 juta hingga 22 juta orang di Amerika Serikat, sekitar 5%
hingga 8% dari populasi. Penyakit rematik otoimun umumnya dijumpai pada usia muda antara
20 sampai dengan 40 tahun dan cendrung mengenai wanita dari pada pria.(Schumacher, 1995;
Grossman, 2001; Venables, 2004; Lipsky, 2005)
Beberapa penyakit rematik otoimun sering diobati dengan obat-obat non steroid anti
inflammatory seperti aspirin, ibuprofen untuk mengurangi gejala. Pada kasus berat, obat yang
menekan sistem imun dan memperlambat laju penyakit seperti cyclosphosphamide atau
Azathioprine juga dipergunakan. (Kurasawa,2000)
Pendekatan non-antigen-specifik, seperti hambatan pada tumor-necrosis-factor (TNF)
telah mencapai kesuksesan tetapi tidak halnya pada pendekatan antigen-specifik. Terapi di masa
datang memungkinkan untuk mengkombinasikan antara non-antigen-spesifik yang mempunyai
target cytokine (cel-cel signaling molecules) atau menghambat molekul yang menstimulasi
respon imun dengan terapi antigen-spesifik yang menyebabkan toleransi pada self antigen.
(Feldmann, 2005)
Imunoterapi adalah terapi medikamentosa dengan dasar modulasi sistem imun. Terapi
ini mencakup imunoterapi pada alergi, stimulasi sistem imun untuk detruksi pada penderita
keganasan, imunoterapi antimikroba (vaksinasi), dan supresi sistem imun untuk menurunkan
respon imun abnormal pada penyakit otoimun atau mengurangi respon imun dengan tujuan
menghindari rejeksi pada transplantasi organ. Pada makalah ini, akan dipaparkan imunoterapi
pada penyakit rematik akibat otoimun. ( Wikipedia, 2006)
Tinjauan Pustaka Bagian -SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNAIR RSU Dr.Soetomo
Surabaya, 8 Desember 2006
1

MEKANISME OTOIMUN
Terdapat 4 mekanisme dasar pada penyakit otoimun :
a. Penyakit yang diperantarai antibodi.
Antibodi spesifik muncul sebagai target melawan suatu antigen (protein) khusus yang
menimbulkan kerusakan dan tanda dari penyakit. Contoh : Auto-immune mediated hemolytic
anemia (target pada permukaan sel darah merah), Myasthenia gravis (target adalah receptor
acetyl choline pada neuromuscular junction), Hypoadrenocorticism / Addisons (target adalah
sel dari kelenjar adrenal) (Aronson ,1999)
b. Penyakit immune complex-mediated
Antibodi diproduksi melawan protein dalam tubuh. Antibodi dan protein tersebut
berikatan membentuk kompleks imun yang beredar dalam tubuh. Pada SLE antibodi dibentuk
melawan beberapa komponen di dalam nucleus (anti-nuclear antigen atau ANA) untuk
penyakit SLE. Antibodi dibuat untuk melawan DNA double stranded dari tubuh dan
membentuk kompleks DNA. Kompleks tersebut terperangkap di glomeruli dan pembuluh
darah, deposisi kompleks imun ini menyebabkan protein keluar terjadi glomerulonefritis.
Mekanisme deposisi kompleks imun di jaringan oleh karena kompleks imun berukuran kecil
dan terjadi permeabilitas vaskuler yang meningkat. Selain itu juga menyebabkan kebocoran
pada pembuluh darah terjadi perdarahan dan terakumulasi di cairan sinovial dan menyebabkan
tanda-tanda arthritis dan nyeri sendi. (Aronson,1999)
Artritis reumatoid diakibatkan oleh kompleks imun (antibodi kelas IgM yang disebut
rheumatoid factor) yang melawan bagian dari sistem imun dari individu sendiri (bagian dari
molekul IgG nya). Keduanya membentuk komplek yang terdeposit pada sinovia dari ruang
sendi dan mengakibatkan respon inflamasi, joint swelling dan rasa sakit. Kolagen dan kartilago
sendi,menjadi rusak dan digantikan oleh fibrin yang menyatukan sendi, dikenal sebagai
ankilosis.(Aronson,1999)
c. Penyakit antibodi dan T-cell-mediated
Sel T memperantarai reaksi imun
(contoh: Penyakit thyroiditis, autoimun hipotiroidisme)
d. Penyakit yang disebabkan defisiensi komplemen
Bila antigen dan antibodi bereaksi, ikatan ini dapat mengaktifkan serangkaian enzim serum
(sistem komplemen ) yang hasil akhirnya adalah lisis molekul antigen atau menjadikannya
lebih mudah untuk dihancurkan oleh sel fagosit seperti makrofag. Mekanismenya oleh karena
defisiensi aktivasi enzim pada sistem komplemen, eliminasi kompleks imun akan terhambat
dan jumlah kompeks imun akan berlebihan dan lebih lama ada dalam sirkulasi sehingga
mengendap di jaringan dan menyebabkan terjadinya SLE. (Aronson,1999)

IMUNOTERAPI
Penemuan imunoterapi telah memberikan kemajuan yang luar biasa dalam terapi
penyakit rematik otoimun. Istilah terapi biologis dan agen biologis muncul sebagai istilah untuk
menjelaskan agen terapeutik dengan properti biologis, termasuk antibodi monoklonal dan
reseptor sitokin solubel. Pada pengobatan penyakit rematik otoimun, dua agen biologis pertama
yang disetujui untuk digunakan adalah tumor necrosis factor (TNF)-inhibiting agents,
Etanercept dan Infliximab yaitu dengan cara menghambat gerakan elemen dari inflamasi,
keduanya dikembangkan untuk pengobatan rheumatoid arthritis. Agen baru yang mengikuti
adalah anakinra, yaitu suatu bentuk rekombinan dari interleukin (IL)-1 receptor antagonist
yang secara alami ada, dan adalimumab, suatu antibodi monoklonal terhadap tumor necrosis
factor TNF- dan IL-1 antagonis telah disetujui untuk digunakan dan dipasarkan untuk
rheumatoid arthritis, namun studi terbaru telah menunjukkan efikasinya pada penyakit lain.
Selain itu, dikembangkan generasi baru agen biologis yang menghambat perilaku sitokin,
aktivasi seluler, dan transkripsi gen inflamasi dengan berbagai cara. Beberapa terapi baru pada
perkembangannya bukanlah antibodi, reseptor solubel, atau antagonis natural, tetapi lebih pada
molekul kecil yang secara spesifik menghambat interaksi intrinsik intraseluler, sel-sel, dan selmatriks terhadap proses-proses inflamasi dan imun. Oleh karenanya, istilah terapi biologis
mungkin lebih baik digantikan dengan istilah yang lebih akurat, seperti biological response
modifiers (BRM ), yang membedakan agen immunomodulator dan antiinflamatori ini dari obatobat immunosuppresive yang kurang spesifik, seperti agen sitotoksik dan kortikosteroid.
(Shanahan, 2005).
Saat ini anti sitokin masih menjadi agen biologik yang paling banyak diteliti dan
dikembangkan, serta telah diaplikasikan secara klinis. Agen lainnya masih dalam penelitian,
seperti agen biologik yang bekerja pada sel-sel imun (limfositT dan B), interaksi sel-sel atau sel
matriks ekstraseluler, menghambat nitric oxide. dan oksigen reaktif atau komplemen. Agen
biologik yang juga sedang dikembangkan mempunyai target terhadap matrix metalloproteinase
( MMP). Atau molekul signal intraseluler (Shanahan, 2005).
Efek samping dari terapi biologik ini tergantung pada jenis terapinya. Kadang-kadang
terapi menyebabkan flu-like sindroma seperti demam, sakit otot, kelemahan, gangguan
pencernaan, mual, muntah, diare, dan ruam kulit. Terapi interleukin dapat menyebabkan
swelling, sehingga pasien perlu dirawat di rumah sakit selama pengobatan. Efek samping
biasanya jangka pendek dan perlahan akan menghilang setelah pengobatan dihentikan.
(Moleran, 2005)
Target dari imunoterapi
Target imunoterapi tidak hanya sitokin, tetapi juga berbagai komponen lainnya yang
berperan dalam patogenesis penyakit rematik. Target yang paling efektif untuk imunoterapi
pada fase kronis penyakit juga belum jelas. Komponen dari pathological cascade yang
3

mendapat perhatian adalah : faktor-faktor pada limfosit yang berada pada jaringan target, enzim
untuk penetrasi dari pembuluh darah dan matriks ekstrasel oleh immune cells; cytokine
(sebagai mediate pathology) didalam jaringan, berbagai macam tipe sel-sel yang berfungsi
sebagai perantara kerusakan pada penyakit seperti antigen-spesific adaptive reseptor, termasuk
T-cell receptor (TCR) dan immunoglobulin serta mediator toksik lain seperti komponen
komplemen dan nitric oxide. (Feldmann,2005). Penelitian jangka panjang dengan
mempergunakan biological agent targeting TNF- pada terapi RA didapatkan hasil yaitu
gejala dan tanda-tanda dari penyakit membaik dan kualitas hidup meningkat. Selanjutnya
muncul bahan anti TNF- yang melindungi sendi dari kerusakan struktur.Antibodi monoklonal
anti TNF-, blokade interlukin 1 (IL-1) juga sedang dievaluasi . (Taylor PC,2001)
MEKANISME IMUNOTERAPI
Mekanisme kerja imunoterapi diantaranya 1. Menghambat Sitokin atau neutralization of
cyonis cara kerja dari agen ini adalah secara langsung menetralisir sitokin yang ada dalam
tubuh dapat berupa rekombinan reseptor sitokin yang terlarut ataupun antibodi monoklonal
langsung terhadap sitokin . 2. Anti limfosit T, sel CD4+ T helper tampaknya berperan penting
pada patogenesis penyakit. Sebagaimana ikatan antara CD28 dan CD80/86 yang dapat
dihambat oleh CTLA4-Ig (Abatacept) 3.Anti Limfosit B, dimana dapat menghancurkan sel B
tapi tidak pada sel plasma. 4. Anti kemokin yang berperan pada interaksi sel dengan sel, atau
sel dengan matriks ekstraseluler. 5. Mengaktifkan apoptosis. 6. Menghambat kerusakan
jaringan akibat inflamasi. 7. Menghambat komplemen. 8. Menghambat reseptor Fc. 9.
Menghambat osteoklas (Shanahan, 2005). Dalam makalah ini kami memfokuskan pada anti
sitokin, anti limfosit T dan anti limfosit B.
Pada RA, T-cell dan makrofag menghasilkan cytokine terutama TNF, IL-1, IL-6, IL-17
yang memperantarai kerusakan pada sinovium. Kerusakan dapat dihambat oleh anti TNF
antibodi, IL-1 receptor antagonist (IL-1Ra) dan anti-IL-6 receptor (IL-6R) antibodi. Anti TNF
antibodi mengurangi migrasi limfosit dari darah ke sinovium dan juga mencegah destruksi
tulang dengan cara menghambat IL-1, IL-6 dan TNF. Anti CD 20 membunuh B-cell tetapi tidak
membunuh sel plasma. (Feldmann,2005)
Pendekatan non-antigen-specific
a. T-cell dan antigen-presenting cells
Walaupun untuk mencegah penyakit (seperti arthritis dan eksperimental autoimun
encephalomyelitis (EAE)) belum didapatkan hasil yang memuaskan, terapi antibodi anti CD4
dengan antibodi monoklonal dapat digunakan untuk mengobati Artritis reumatoid, psoriasis
atau multiple sklerosis. Lingkup yang terbatas untuk penelitian pada manusia mungkin
disebabkan karena antibodi yang tidak cocok atau dosis regimen yang dipakai kurang tepat.
4

Kegagalan dalam mencegah penyakit mungkin disebabkan karena anti CD 4 antibodi yang
menghambat regulatory T-cell yang mengekspresikan CD4.
b. Sel T regulator dan sel B
Terdapatnya kerusakan pada regulatory T-cell subset (contoh CD4+CD25+) penting
dalam kemungkinan terjadinya penyakit otoimun. Mengingat otoantibodi pada penyakit
otoimun ada dimana-mana, dengan kata lain antibody-producing cells (plasma sel dan B sel )
merupakan target terapi. Pemberian anti CD20 antibodi lytic (Rituximab) dengan akibat lisis dari
B cell, efektif untuk pengobatan Artritis reumatoid dan SLE (Feldmann ,2005)
c. Sitokin
Penggunaan sitokin belum begitu sukses, penelitian dengan menggunakan jaringan
sendi pada pasien dengan Artritis reumatoid menunjukan bahwa pentingnya TNF pada
patogenesis penyakit. Dengan adanya TNF-inhibiting biological (yang sesungguhnya
digunakan untuk terapi sindroma sepsis) penggunaan anti TNF monoclonal antibody
Infliximab. Anti-TNF monoclonal antibody (Infliximab dan Adalumimab) dan TNF-receptor
(TNFR) fusion protein (etanercept,). TNF blockade; memperlihatkan bahwa biological therapy
dapat digunakan jangka panjang dan dengan ekstensif; jutaan pasien telah di terapi dengan anti
TNF biological. Berdasarkan hal tersebut yaitu penggunaan anti TNF-biological maka : Penting
menemukan dengan tepat target terapeutik, TNF adalah suatu alarm tubuh yang mengeluarkan
respon pertahanan pertama. Oleh karena itu TNF blokade, penting dalam terapi berbagai
penyakit.(Feldmann,2005)
IL-6 adalah target yang juga penting , dengan kesuksesan penelitian klinik pada
rheumatoid arthritis memperlihatkan perbandingan efikasi pada TNF blockade. Keuntungan
klinik IL-6 blockade lebih lambat daripada TNF blockade, yang diperkirakan dari TNF
dependent cytokine cascade dimana TNF mendorong produksi multiple pro inflammatory
cytokine. Sukses juga didapatkan dari blokade IL-1 yang mempergunakan IL-1 receptor
antagonist, Anakinra yang diterima sebagai terapi Artritis reumatoid. Hasil yang menjanjikan
juga didapatkan dari penggunaan antibodi anti IL-15 untuk Artritis reumatoid. (Feldmann,
2005; Simon ,2001)
Pendekatan Antigen specific
Sel T mengekspresikan sejumlah membran protein selain kompleks TCR. Protein membran ini
berperan penting dalam terjadinya respon pada pengenalan antigen. Salah satu protein ini, yang
disebut sebagai accessory molecules adalah ikatan CD 28 dengan B 7-1/B 7-2 ( Abbas, 2005)
Dalam penelitian telah dikembangkan penggantian molekul CD 28 dengan GPG, sehingga
kostimulator antigen specific T cells tidak optimal ( Feldmann, 2005)

MODALITAS IMUNOTERAPI
a. Antibodi monoklonal
Kesuksesan dari antibodi monoklonal sangat lambat, tetapi pada tahun 2004 telah
didapatkan beberapa macam obat (suatu anti TNF antibodi) yaitu Infliximab, Adalimumad,
Rituximab (anti CD20 antibodi). (Feldmann,2005;Shanahan,2003)
Infliximab:
Antibodi monoklonal terhadap TNF - sehingga ikatan antara keduanya dapat
mencegah ikatan antara TNF - dengan reseptor RNF di membran sel (Panayi,2001)
Adalimumad:
Merupakan antibodi monoklonal Ig1 anti TNF - humanisasi yang dikembangkan untuk
mengobati Artritis reumatoid
Rituximab:
Cara kerjanya secara selektif mendeflesi sel B bearing marker permukaan CD 20.
Indikasi untuk Artritis reumatoid kronis dan Crohns disease, Efek terapi yaitu mengurangi
rasa sakit dan gejala penyakit serta kerusakan sendi (Braunwald,2004)
b. Receptor fusion protein
Adalah protein yang bagian ikatan dari reseptornya berfusi kedalam suatu regio Fc
antibodi yang memperbaiki waktu paruh protein dan farmakologis protein lainnya.
Etanercept
Suatu dimerik fusion yang terdiri dari ekstraseluler ligand-binding portion dari human
75 kilodalton (P75) Tumor Necrosis Factor yang berikatan dengan Fc dari human IgG1 (TNFTIgG) Fc fusi protein. Keuntungan klinik dari Etarnecept diketahui dari anti-TNF antibodi yaitu
untuk Artritis reumatoid, Psoriasis, Ankylosing spondilitis. Walaupun anti-TNF antibodi lebih
efektif dalam pengobatan untuk Inflammatory Bowel Disease (IBD). Receptor fusion protein
lebih mahal daripada antibodi dan penggunaan natural receptor memberi sedikit perbedaan
daripada dengan antibodi. Obat ini tersedia dalam single-use prefilled 1 mL syringe, sebagai
larutan steril, bebas bahan pengawet untuk injeksi secara subkutan. Larutan ini jernih dan tidak
berwarna dan diformulasi pada PH 6,3 0,2. Setiap single-use prefilled syringe terdiri dari 0,98
mL dari solutio 50 mg/mL (Feldmann,2005)
c. Sitokin
Sitokin mempunyai beberapa drug likeproperti, seperti waktu paruh yang pendek.
Problem utama dengan sitokin adalah sitokin mempunyai efek yang bermacam-macam pada
berbagai tipe sel. Jadi injeksi sistemik dari sitokin

dapat menyebabkan efek yang tidak

diinginkan. Oleh karena efikasi pada binatang percobaan endogen anti inflammatory cytokine
IL-10, IL-4, IL11, dan TGF- tidak dipakai pada manusia mengingat tingkat toksisitas yang
tinggi. Walaupun demikian pengiriman regulasi lokal dari sitokin dengan menggunakan terapi
6

gen, efektif untuk pengobatan. Baru-baru ini ada suatu kemungkinan untuk membuat sitokin
yang mempertinggi waktu paruh dan mengaktivasi hanya pada lokasi yang diingikan.
Interferon tipe 1, IFN- dan IFN- adalah obat-obat yang efektif dan telah diterima untuk
digunakan pada infeksi virus, kanker, dan sklerosis multiple . Pada sklerosis multiple, relaps
rate berkurang 30% dengan pemberian IFN-.(Feldmann,2005)
d. Antagonis reseptor
Cara kerja dari agen ini adalah berkompetisi dengan sitokin untuk berikatan dengan reseptor,
ikatan antara agen dengan reseptor akan mencegah terjadinya signal kedalam sel. Contoh
Anankira yaitu suatu antagonis reseptor IL- 1 atau recombinant IL-1 Ra. Telah dipakai pada
terapi pasien Artritis reumatoid. (Panayi, 2001)
RESPON TERHADAP IMUNOTERAPI.
Artritis reumatoid
Antagonis TNF sebagai monoterapi pada Artritis reumatoid dibandingkan plasebo
menunjukkan respons klinis ( Kriteria respons American College of Rheumatology ACR) lebih
baik dalam waktu yang singkat ( beberapa hari sampai minggu ). Antagonis TNF dikombinasi
dengan methotreksat juga menunjukkan respons klinis yang lebih baik dibandingkan dengan
MTX saja. (Haque, 2005).
Antagonis IL-1 pada Artritis reumatoid menunjukkan respons yang lebih lemah
dibandingkan dengan antagonis TNF dalam hal menekan gejala klinis maupun progresifitas
kerusakan sendi. (Haque, 2005).
Etanercept pada Artritis reumatoid juvenil aktif yang tidak memberi respons terhadap
MTX dan obat antiinflamasi menunjukkan perbaikan klinis dibandingkan dengan plasebo
(Criscione, 2002).
Terapi Rituksimab pada pasien Artritis reumatoid aktif yang telah mendapat MTX tapi
memberi respons tidak adekuat menunjukkan perbaikan klinis yang bermakna dan berlangsung
lama. Kombinasi imunoterapi dengan MTX memberi hasil yang lebih baik dibanding dengan
MTX dengan siklofosfamid (Panayi, 2005)
Arthritis Rematoid Juvenile
Antibodi monoklonal spesifik TNF (Etanercept) digunakan untuk mengurangi tanda dan
gejala arthritis rematoid juvenile pada pasien yang tidak mendapat respon yang adekuat setelah
terapi dengan DMARD. Pada penelitian efektif dalam waktu 2-4 minggu.
Lupus Eritematosus Sistemik (LES)
Anti CD 20 (Rituksimab) digunakan untuk terapi SLE, tapi belum ada laporan resmi
tentang hasil dan efeknya pada pasien dngan jumlah yang cukup banyak. Pada beberapa kasus
SLE aktifdan refrakter, terapi rituksimab 500 mg dua kali dalam 2 minggu dikombinasi dengan
7

silofosfamid dan steroid dosis tinggi menunjukkan perbaikan pada kadar C3, laju endap darah,
hemoglobin dan skor British Isles Assessment Group (BILAG). Kondisis tersebut bertahan
beberapa bulan (Leandro, 2002). Monoterapi rituksimab dicoba pada 16 orang pasien SLE
aktif non organ threatening, tapi tidak memberi efek pada dosis rendah dan dosis sedang .
Hanya 10 orang pasien mencapai pengurangan jumlah sel B yang diharapkan menunjukkan
perbaikan nilai skor Systemic Lupus Activity Measure (SLAM), hanya 1 pasien menunjukkan
penurunan kadar anti- dsDNA( Anolik, 2002)
Psoriasis arthritis
Antibodi monoklonal spesifik TNF (Etanercept) diindikasikan untuk mengurangi tanda
dan gejala penyakit, sendi yang rusak dapat dicegah supaya tidak bertambah buruk. Pengobatan
efektif pada 50% pasien dalam waktu 4 minggu sampai dengan 6 bulan terapi.
Ankylosing spondilitis:
Eek terapi 2 minggu pada 40% pasien, maksimum 8 minggu. Obat yang dipakai adalah
soluble TNFR fusion protein
Psoriasis :
Didapatkan perbaikan selama 2-3 bulan sampai 8 bulan terapi. Obat yang dipakai
adalah CTLA4 immunglobulin recombinant protein (Abatacept) dan soluble TNFR fusion
protein (Feldmann, 2005;Horneff,1993)
KEGAGALAN IMUNOTERAPI
Untuk menilai gagal atau berhasilnya imunoterapi maka harus dilakukan evaluasi secara
berkala dan berkesinambungan. Evaluasi dilakukan dengan parameter seperti :
-

Periodisitas, frekuensi kambuhnya gejala-gejala penyakit : apakah gejala-gejala


penyakit dirasakan bertambah, tetap atau berkurang.

Jumlah pemakaian obat-obat simptomatis : bertambah ataukah berkurang setelah


dilakukan imunoterapi.

Efek samping yang dapat timbul adalah: flu-like sindroma seperti demam, sakit otot,
kelemahan, gangguan pencernaan, mual, muntah, diare, dan ruam kulit beberapa mudah
mengalami perdarahan. Terapi interleukin dapat menyebabkan swelling, sehingga pasien
perlu dirawat di rumah sakit selama pengobatan. Efek samping biasanya jangka pendek
dan perlahan akan menghilang setelah pengobatan dihentikan.

Dapat menyebabkan reaksi pada tempat injeksi diantaranya : eritema dan atau gatal,
nyeri, atau membengkak dan umumnya tidak memerlukan penghentian obat.

Efek samping yang paling mendapat perhatian adalah peningkatan resiko infeksi dan
keganasan . Infeksi oportunistik seperti tuberkulosis, histoplasmosis, aspergilosis,
koksidioidomikosis, listerosis, pneumonia Pneumocystis carinii, infeksi kriptokokus,
kandidiasis, infeksi cyomegalovirus dan atipikal mikobakteriua telah dilaporkan .
8

Pengaruh anti sitokin terhadap timbulnya keganasan masih belum diketahui dengan
jelas. (Haque, 2005)
SUMMARY
Molecular basis in immune response has shown preferable response in autoimmunity.
As therapeutical target is inhibition in various stages of immune response and inflammatory
response. TNF blockade for therapy in chronic inflammatory disease, RA, Crohns disease,
Psoriatic arthritis, Ankylosing Spondilitis. Currently non antigen specific response has brought
clinical benefits, while antigen specific is still under clinical trial. Possibility of opportunistic
infections is still becoming a problem. The most effective approach for immunotherapy in
chronic phase is still unclear.
DAFTAR PUSTAKA
1.

Arbucle MR, McClain MT, Ruberton MV, et al.(2003).Development of autoantibodies


before the clinical onset of systemic lupus erythematosus. M Engl J Med;349:1526-33

2.

Arnett FC, Reveille JD, Wilson RW, et al (1984). Systemic Lupus Erythematosus:
current state of the genetic hypothesis.Semin Arthritis Rheum;14:24-35

3.

Aronson L (1999). Autoimmune Disease. http.//www.arthritis.org/

4.

Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hause SL, Longo DL, Jameson JL (2004).
Harrisons manual of Medicine.16th ed. McGraw Hill Comp Inc http.//www.Skyscpe.Com.

5.

Coblyn J.(2005).The Immune System and its ling to Rheumatic Disease. American
autoimmune Realted Disease Association.http://www.aarda.org/

6.

Feldmann M.Steinman L.(2005).Design of effective immunotherapy for human


autoimmunity. Nature 435:612-19

7.

Horneff G,Emmrich F, Burmestes GR (1993). Adveances in immunotherapy of


rheumatoid arthritis:Clinical and immunological finding following treatment with anti-CD4
antibodies .Rheumatology;32:39-47

8.

H. Mahdi Dina (1993) .Penatalaksanaan Penyakit Alergi. Airlangga University Press.


Surabaya. Hlm 42-6

9.

Kaufman DL,Varga J(1999).Rheumatic Disease and Environment. Oxford Univ


Press,New York.344(15):253

10.

Kurasawa K (2000).Y Chromosome microchimeris in rheumatic autoimmune


disease.Ann Rheum Dis;59:654

11.

Moreland LW, Heck LW Jr, Koopman WJ (1997). Immunotherapy. Arthritis


Rheum.40(3):397

12.

Moser KL,Gaffney P, Peterson E, Behren T(2004). Keys to Unlocking the Mysteries of


Rheumatic Autoimmune Disease. Minnesota Medical association.87(5)

13.

Miles S, Isenberg D (1993). A review of serological abnormalities in relatives of SLE


patient.Lupus; 2:145-50

14.

National

Institute

of

Arthritis

and

Musculoskeleral

and

Skin

Disease

(NIAMS).Questions and answer about arthritis and Rheumatic Disease. Publication Date
February 2002. http://www/niams.nih.gov/
15.

P.G.Konthen (1999).Tatalaksana penyakit alergi secara rasional masakini.Pendidikan


Kedokteran Berkelanjutan XIV.Lab SMF Penyakit Dalam FK.Unair Surabaya.hlm 233-51

16.

Shanahan JC, Morelan LE, Carter RH.(2003). Up coming biologic agents for the
treatment of theumatic disease.Curr Opinion Rheumatol ; 15:226-36

17.

Simon A (2001). Biological therapy in rheumatoid arthritis. Rev Invest Clin;53(5):4529.

18.

Taylor PC,Williams RO, Maini RN (2001).Immunotherapy for rheumatoid arthritis.


Curr Opin Immunol;13(5):611-6

-------o0o-------

10

Anda mungkin juga menyukai