PENDAHULUAN
Obat pelumpuh otot adalah obat yang digunakan untuk melemaskan otot
rangka atau untuk melumpuhkan otot. Biasanya digunakan sebelum operasi untuk
mempermudah suatu operasi atau memasukan suatu alat ke dalam tubuh. Biasanya
digunakan selama intubasi dan pembedahan untuk memudahkan pelaksanaan
anestesi .
Walaupun obat pelumpuhan otot bukan merupakan obat anestetik, tetapi
obat ini sangat membantu dalam pelaksanaan anestesia umum, antara lain
memudahkan dan mengurangi cidera tindakan laringoskopi dan intubasi trakea
serta memberi relaksasi otot yang dibutuhkan dalam pembedahan dan ventilasi
kendali (Linda Rachmat, 1989).
Obat-obat yang mempengaruhi otot skeletal berfungsi sebagai 2 kelompok
obat yang sangat berbeda. Pertama, kelompok yang digunakan selama prosedur
pembedahan dan unit perawatan intesif untuk menghasilkan efek paralisis pada
pasien yang membutuhkan bantuan ventilator (Pelumpuh otot) dan kelompok lain
yang digunakan untuk mengurangi spastisitas pada sejumlah kelainan neurologis
(spasmolitik). Obat-obat pelumpuh otot bekerja pada tansmisi neuromuscular
end-plate dan menurunkan aktivitas sistem syaraf pusat. Golongan ini sering
digunakan sebagai obat tambahan selama anestesi umum untuk memfasilitasi
intubasi trakea dan mengoptimalkan proses pembedahan dengan menimbulkan
imobilasi dan pemberian ventilasi yang edekuat. Obat-obat spasmolitik biasa
disebut pelumpuh otot kerja pusat dan digunakan terutama untuk menangani nyeri
punggung kronis dam kondisi fibromialgia.
Neuromuscular junction (Nm) adalah region disekitar neuron motorik dan
sel otot. Membran sel neuron dan serabut otot dipisahkan oleh celah sempit (20
nm) yaitu celah sinaptik. Saat potesial aksi syaraf mendepolarisasi terminalnya,
menjadi
asetat
dan
kolin
oleh
enzim
substrat
spesifik
Obat-obat
tertentu
juga
dapat
menyebabkan
penutupan
ataupun
pembukaan blokade channel. Selama blokade channel yang tertutup, obat-obat ini
secara fisik menyumbat channel, mencegah kation lewat baik saat asetilkolin
sudah mengaktivasi reseptor ataupun belum. Pembukaan blokade channel
digunakan secara dependen karena obat-obat ini memasuki dan mengobstruksi
channel reseptor asetilkolin hanya setelah dibuka oleh ikatan asetilkolin.
Relevansi klinis dari blokade channel adalah bahwa peningkatan konsentrasi
asetilkolin dengan inhibitor kolinesterase tidak dapat mengatasi bolkade saraf
otot. Obat-obat yang dapat menimbulkan blokade channel termasuk neostigmin,
antibiotik tertentu, kokain dan kuinidin.
Reseptor asetilkolin nikotinik prejunksional telah diindentifikasi pada
ujung saraf dari Nm. Meskipun peran fisiologisnya masih belum jelas, aksi
prejunksional untuk beberapa obat pelumpuh otot mungkin mungkin signifikan.
Farmakodinamik Obat-Obat pelumpuh otot
2.1.
membuat obat-obat ini sulit larut dalam lemak dan menghambat enterinya ke
sistem saraf pusat.
Kurare ialah nama generik dari bermacam-macam racun panah yang digunakan
oleh orang indian di amerika selatan untuk berburu. Racun panah ini telah dibawa
kebenua Eropa dan disana diselidiki kimianya, asalnya dan tempat kerjanya.
Kurare berasal dari beberapa tumbuhan, yaitu strychnos dan chondrondendron,
terutama C.tomentosum. ternyata aktif terdiri dari beberapa alkaloid, diantaranya
d-tubukurarin (d-Tc) (Farmakologi dan Terapi FK UI, 2009).
Pada tahun 1857 Claude Bernard mengadakan percobaan-percobaan untuk
tempat kerja kurare. Dari eksperimen klasik pada kodok yang sampai sekarang
masih dilakukan oleh mahasiswa di berbagai laboratorium fisiologi dan
farmakologi, dapat disimpulkan bahwa tempat kerja kurare adalah pada
sambungan saraf otot, bukan disentral, bukan pada serabut saraf, dan bukan pula
pada otot rangka sendiri (Farmakologi dan Terapi FK UI, 2009).
d-tubokurarin adalah zat aktif yang diisolasi dari kurare. Sedangkan dimetil-dtubokurarin atau lebih dikenal metokurin disintesis kemudian; aktifitasnya 2-3
kali d-tubokurarin. Alkaloid kurare yang paling poten didapat dari strychnos
toxifera disebut toksiferin. Dari zat tersebut dikembangkan alkuronium yang saat
ini digunakan dalam klinik. Biji tanaman genus Erythrina mengandung eritroidin
yaang mempunyai aktifitas seperti kurare (Farmakologi dan Terapi FK UI, 2009).
2.3
Mekanisme Kerja.
Seperti yang telah disebut sebelumnya, obat pelumpuh otot depolarisasi
sangat mirip dengan asetilkolin dan dapat segera berikatan pada reseptor
5
asetilkolin dan membentuk potensial aksi otot. Namun, obat-obat ini tidak
dimetabolisme oleh asetilkolinesterase dan konsentrasinya dalam celah sinaptik
tidak turun dengan cepat sehingga memperpanjang depolarisasi end-plate otot.
Depolarisasi end-plate secara kontinue menimbulkan relaksasi otot karena
pembukaan lower gate disekitar persimpangan channel natrium sangat singkat.
Setelah eksitasi awal dan pembukaan, channel natrium akan menutup dan tidak
dapat membuka kembali sampai repolarisasi end-plate. End-plate tidak dapat
berepolarisasi sepanjang pelumpuhan otot depolarisasi terus mengikatkan diri
pada reseptor asetilkolin; disebut blok fase 1.
Setelah beberapa waktu, pemanjangan depolarisasi end-plate dapat
menyebabkan perubahan ionik dan konformasional di dalam reseptor asetilkolin,
inisiasi depolarisasi end-plate akan menurun dan membran mengalami
repolarisasi. Meskipun membran mengalami repolarisasi, membran tidak dapat
dengan mudah mengalami depolarisasi lagi karena telah mengalami desensitisasi.
Mekanisme
fase
desensitisasi
tidak
diketahui,
namun
beberapa
bukti
mengindikasikan bahwa blok channel mungkin lebih penting dari pada aksi
agonis pada reseptor dalam fase II aksi blok suksinilkolin. Blok fase II secara
klinis menyerupai blok obat pelumpuh otot nondepolarisasi.
Obat pelumpuh otot nondepolarisasi mengikat diri ke reseptor asetilkolin
tapi tidak mampu menginduksi perubahan konformasional yang dibutuhkan untuk
pembukaan channel. Karena asetilkolin dicegah untuk berikatan dengan
reseptornya, tidak tercetus potensial end-plate. Blokade saraf otot terjadi bila
hanya satu subunit yang diblok. Oleh sebab itu, obat pelumpuh otot depolarisasi
anestetik lokal, dan ketamin. Membran lipid reseptor asetilkolin adalah tempat
kerja agen yang penting.
Obat-obat
tertentu
juga
dapat
menyebabkan
penutupan
ataupun
pembukaan blokade channel. Selama blokade channel yang tertutup, obat-obat ini
secara fisik menyumbat channel, mencegah kation lewat baik saat asetilkolin
sudah mengaktivasi reseptor ataupun belum. Pembuka blokade channel digunakan
secara dependen karena obat-obat ini memasuki dan mengobstruksi channel
reseptor asetilkolin hanya setelah dibuka oleh ikatan asetilkolin. Relevansi klinis
dari blokade channel adalah bahwa peningkatan konsentrasi asetilkolin dengan
inhibitor kolinesterase tidak dapat mengatasi blokade saraf-otot. Obat-obat yang
dapat menimbulkan blokade channel termasuk neostigmin, antibiotik tertentu,
kokain, dan kuinidin.
Reseptor asetilkolin nikotinik prejunksional telah diindentifikasi pada
ujung saraf dari NM. Meskipun peran fisiologisnya masih belum jelas, aksi
prejunksional untuk beberapa obat pelumpuh otot mungkin signifikan.
2.5.
reseptor nikotinik otot (NM) di lempeng akhir saraf (and-plate) pada membran sel
otot rangka dan menyebabkan depolarisasi lokal (end-plate potensial, EPP) yang
bila melewati ambang rangsang (Et) menghasilkan potensial aksi otot (muscle
action potential, MAP). Selanjutnya, MAP akan menimbulkan kontraksi otot
(Farmakologi dan Terapi FKUI, 2009).
Farmakodinamik obat-obat pelumpuh otot ditentukan dengan mengukur
kecepatan onset dan durasi blokade saraf-otot. Secara klinis, metode yang umum
dipakai untuk menentukan tipe, kecepatan onset, magnitudo, dan durasi blokade
saraf-otot adalah dengan mengamati atau merekam respons otot skeletal yang
ditimbulkan oleh stimulus elektrik yang dikirim dari stimulator saraf perifer.
Paling sering dipakai untuk menentukan efek obat pelumpuh otot adalah kontraksi
m.adductor pollicis (respons kedutan tunggal sampai 1 Hz) setelah stimulasi
n.ulnaris.
Potensi setiap obat dapat ditentukan dengan mengonstruksi kurva dosisrespons yang mendeskripsikan hubungan antara depresi kedutan dan dosis
(Gambar 2). Dosis efektif 50 (ED50) adalah dosis median setara 50% depresi
kedutan yang telah dicapai. Nilai yang lebih relevan secara klinis dan lebih sering
dipakai adalah ED95 setara blok 95%. Sebagai contoh, ED 95 vecuronium adalah
0,05 mg/kgBB yang berarti setengah dari pasien akan mencapai minimal 95%
blok kedutan tunggal (dibandingkan dengan sebelum pemberian vecuronium)
dengan dosis tersebut, dan setengah dari pasien akan mencapai kurang dari 95%
blok. ED95 rocuronium adalah 0,3 mg/KgBB. Oleh karena itu, potensi rocuronium
adalah seperenam dari potensi vecuronium karena dibutuhkan enam kali lipat
dosis rocuronium untuk menghasilkan efek yang sama. Jika tidak disebutkan lain,
ED95 dianggap mewakili potensi obat-obat pelumpuh otot bersamaan dengan
pemberian anestetik N2O-barbiturat-opioid. Bila disertai dengan anestetik volatil,
ED95 menurun jauh dibandingkan dengan keadaan tanpa obat-obat anestetik ini.
reseptor asetilkolin lebih banyak pada otot serabut cepat sehingga dibutuhkan
jumlah reseptor yang lebih banyak untuk memblok otot tipe cepat dibanding otot
tipe lambat. Semakin cepat onset kerja pada otot pita suara dari pada m.adductor
pollicis semakin cepat pula ekuilibrium konsentrasi plasma dan konsentrasi pada
otot-otot jalan napas saat dibandingkan dengan m.adductor pollicis. Dengan obat
pelumpuh otot nondepolarisasi kerja sedang dan kerja singkat, periode paralisis
otot laring adalah cepat dan hilang sebelum mencapai efek maksimum pada
m.adductor pollicis. Hal penting yang harus diperhatikan adalah dosis obat yang
dibutuhkan untuk menghasilkan tingkat tertentu blokade diafragma adalah dua
kali lipat dosis yang dibutuhkan untuk menghasilkan blokade yang sama dari
m.adductor pollicis. Telah diketahui bahwa monitoring m.adductor pollicis adalah
indikator relaksasi otot laring yang jelek (m.cricothyroid) sedangkan stimulasi
saraf fasial dan monitoring respons m.orbicularis oculi lebih merefleksikan onset
blokade saraf-otot diafragma. Oleh karena itu, m.orbicularis oculi lebih disukai
dari pada m.adductor pollicis sebagai indikator blokade otot laring.
Pada d-tubokurarin (D-Tc) dan penghambat kompetitif lainya mempunyai
cara kerja yang sama yaitu menduduki reseptor nikotinik otot (Nm) sehingga
menghalangi interaksinya dengan ACHh. Akibat EEP menurun, dan EEP yang
menurun sampai kurang dari 70% tidak mencapai Et sehingga tidak menghasilkan
MAP dan kontraksi otot tidak terjadi. Tetapi stimulasi listrik langsung pada
ototnya dapat menimbulkan kontraksi.
(Farmakologi dan Terapi FKUI, 2009).
10
11
menit dan masa kerja 4 menit sedangkan obat pelumpuhan otot lain IV mula kerja
3 menit dan masa kerja 20-40 menit. Dengan sifat ini, derajat relaksasi otot rangka
dapat diubah dalam -1 menit setelah pengubahan kecepatan infus. Setelah
penghentian infus, efek relaksasi hilang selama 5 menit. Pada susunan saraf pusat.
Semua pelumpuh otot merupakan senyawa amonium kuaterner maka tidak
menimbulkan efek sentral karena tidak dapat menembus sawar darah otak.
(Goodman & Gilman, 2011).
Ganglion otonom seperti nikotin, suksinilkolin atau C10 mempunyai efek
bifasik terhadap ganglion otonom: perangsangan diikuti dengan penghambatan.
Perangsangan ganglion parasimpatis (menimbulkan bradikardi) dan ganglion
simpatis (menimbulkan peningkatan tekanan darah) lebih sering terjadi pada
pemberian suksinilkolin. Pada dosis yang tinggi sekali, dapat terjadi
penghambatan ganglion (Farmakologi dan Terapi FKUI, 2009).
Hanya d-Tc yang memperlihatkan efek penghambatan ganglion (takikardi
dan penuruan tekanan darah) yang cukup besar. Teapi dosis d-Tc yang diperlukan
untuk mengahambat ganglion, termasuk medula adrenal, jauh lebih besar dari
pada untuk menghambat hubungan saraf otot, sehingga pada dosis terapi,
penghambat ganglion tidak tidak merupakan masalah. Galamin pada dosis terapi
memblok N. Vagus di jantung pada reseptor muskarinik (menimbulkan takikardi).
Pankuronium, alkuronium, dan metokurin kurang memperlihatkan penghambatan
ganglion pada dosis klinis yang lazim. Atrakurium dan vekuronium lebih selektif
lagi (Farmakologi dan Terapi FKUI, 2009).
12
senyawa larut dalam air yang mudah terionisasi pada pH fisiologis, dan memiliki
kelarutan yang terbatas dalam lipid. Volume distribusi obat-obat ini terbatas dan
sama dengan volume cairan ekstraseluler (kira-kira 200 mL/kg).
Sebagai
tambahan, obat pelumpuh otot tidak dapat dengan mudah melewati sawar
membran lipid seperti sawar darah otak, epitel tubulus renal, epitel
gastrointestinal, atau plasenta. Oleh karena itu, obat pelumpuh otot tidak dapat
mempengaruhi sistem saraf pusat, reabsorpsinya di tubulus renal minimal,
absorpsi oral yang tidak efektif dan pemberian pada ibu hamil yang tidak
mempengaruhi fetus.
13
ginjal. Eliminasi renal dan hepatik dibantu oleh fraksi pemberian obat yang besar
karena sifatnya yang mudah mengalami ionisasi sehingga mempertahankan
konsentrasi plasma obat yang tinggi dan juga mencegah reabsorpsi renal obat
yang dieksresi.
pelumpuh otot nondepolarisasi kerja lama. Obat pelumpuh otot tidak terlalu kuat
terikat pada protein plasma (sampai 50%) dan tampaknya bila ada perubahan
ikatan protein tidak akan menimbulkan efek yang signifikan pada eksresi ginjal
obat pelumpuh otot.
Farmakokinetik obat pelumpuh otot nondepolarisasi dihitung setelah
pemberian cepat intravena. Rerata obat pelumpuh otot yang hilang dari plasma
dicirikan dengan penurunan inisial cepat (distribusi ke jaringan) diikuti penurunan
yang lebih lambat (klirens). Meskipun terdapat perubahan distribusi dalam aliran
darah, anestesi inhalasi memiliki sedikit efek atau tidak sama sekali pada
farmakokinetik obat pelumpuh otot. Peningkatan blok saraf-otot oleh anestesi
volatil mencerminkan aksi farmakodinamik, seperti dimanifestasikan oleh
penurunan konsentrasi plasma obat pelumpuh otot yang dibutuhkan untuk
menghasilkan tingkat blokade saraf tertentu dengan adanya anestesi volatil.
Bila volume distribusi menurun akibat peningkatan ikatan protein,
dehidrasi, atau perdarahan akut, dosis obat yang sama menghasilkan konsentrasi
plasma yang lebih tinggi dan potensi nyata akumulasi obat.
Waktu paruh
eliminasi obat pelumpuh otot tidak dapat dihubungkan dengan durasi kerja obatobat ini saat diberikan sebagai injeksi cepat intravena.
14
Pada manusia, 2/3 dari dosis d-tubokurarin diekskresi utuh dalam urin.
Walaupun efek paralisis mulai menghilang dalam waktu 20 menit setelah suntikan
I.V, beberapa gejala masih terlihat sampai 2-4 jam atau lebih. Distribusi, eliminasi
dan masa kerja metokurin sama dengan tubokurarin. Pankuronium sebagian
mengalami hidroksilasi di hati, tetapi juga mempunyai masa kerja yang sama.
Atrakurium dikonversi oleh esterase plasma dan secara spontan menjadi metabolit
yang kurang aktif; hal ini menyebabkan waktu paruhnya tidak meningkat pada
pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Vekuronium sebagian mengalami
metabolisme, masa kerjanya juga setngah masa kerja dari pankuronium, dan tidak
memperlihatkan kumulasi pada pemberian berulang (Farmakologi dan Terapi
FKUI, 2009).
2.7.
15
Dosis
Dosis suksinilkolin untuk fasilitasi intubasi trakea adalah 1 mg/kgBB IV.
Dosis tersebut setara untuk 3,5 4 kali ED 95. Secara konsep, pemberian dosis
1mg/kgBB pada pasien yang terpreoksigenasi akan dihubungkan dengan nafas
spontan sebelum hipoksemia arteri signifikan. Pernafasan spontan terjadi dalam 5
menit setelah paralisis akibat pemberian suksinilkolin. Durasi rata-rata sebelum
mencapai 90% tingkat kedutan setelah pemberian 1 mg/kgBB adalah lebih besar
dari 10 menit. Dengan demikian, diperkirakan orang dewasa yang sudah
dipreoksigenasi dapat mengalami 8 menit apnea sebelum saturasi oksigen arteri
menurun ke 90%.
Dosis dapat bervariasi antara 0,5 1,5 mg/kgBB, dosis kurang dari 1
mg/kgBB tidak mempersingkat waktu terjadi pergerakan diafragma atau
16
pernafasan spontan. Selain itu, pada keadaan di mana blokade saraf-otot penuh
sangat diperlukan, dosis 1,5 mg/kgBB masih tepat.
Durasi kerja suksinilkolin yang singkat (3 5 menit) disebabkan hidrolisis
oleh kolinesterase plasma (pseudokolinesterase). Kolinesterase plasma disintesis
di hati dan merupakan glikoprotein tetrametrik mengandung 4 subunit identik
dengan masing-masing satu tempat katalitik aktif. Metabolit suksinilkolin adalah
suksinilmonokolin dengan potensi 1/20 1/80 suksinilkolin. Plasma kolinesterase
mempengaruhi durasi kerja suksinilkolin karena memiliki kapasitas yang besar
untuk menghidrolisis suksinilkolin dalam waktu singkat sehingga hanya sedikit
fraksi dosis IV awal yang benar-benar mencapai NMJ.
Efek samping
Efek samping yang dapat timbul dengan pemberian suksinilkolin antara lain:
1) aritmia jantung, 2) hiperkalemia, 3) mialgia, 4) mioglobinuria, 5) peningkatan
tekanan intragastrik, 6) peningkatan tekanan intraokuler, 7) peningkatan tekanan
intrakranial, dan 8) kontraksi otot terus menerus. Efek samping ini dapat
membatasi bahkan merupakan kontraindikasi pemberian suksinilkolin.
1. Aritmia Jantung
Sinus bradikardi, junctional rhythm, dan bahkan sinus arrest dapat
terjadi setelah pemberian suksinilkolin. Efek kardiak ini mencerminkan
efek suksinilkolin pada reseptor kolinergik muskarinik di mana obat ini
memiliki efek fisiologis yang sama dengan asetilkolin. Disritmia kardiak
paling sering terjadi setelah pemberian dosis kedua yang kira-kira
17
diberikan 5 menit setelah dosis pertama. Hal ini diduga akibat kerja
metabolit suksinilkolin (suksinilmonokolin dan kolin). Pemberian atropin
dengan dosis 6 g/kg IV, tidak mencegah penurunan denyut jantung
sebagai respons terhadap dosis kedua suksinilkolin.
Sebaliknya,
efek
suksinilkolin
menyerupai
efek
fisiologis
18
19
sebagai
terjadi
penyebab
akibat
perubahan
aksi
ini.
Peningkatan
tekanan
sikloplegik
suksinilkolin
dengan
20
kerja sedang, dan kerja singkat. Perbedaan onset, durasi kerja, waktu pulih,
metabolisme, dan klirens dipengaruhi oleh keputusan klinis untuk memilih satu
obat dibanding obat yang lain. Berbagai variasi respons yang dicetus oleh obat
pelumpuh otot nondepolarisasi terjadi karena perbedaan farmakokinetik.
Ciri Blokade Saraf-Otot Nondepolarisasi
Respons otot skeletal saat terjadi blokade saraf-otot nondepolarisasi seperti
yang dicetuskan oleh stimulasi elektrik dari stimulator saraf perifer, antara lain: a)
penurunan respons kedutan terhadap stimulus tunggal, b) respons tidak bertahan
(lemah) selama stimulasi berkelanjutan, c) rasio TOF < 0,7, d) potensiasi posttetanik, e) potensiasi obat pelumpuh otot nondepolarisasi yang lain, f)
21
durasi
blokade.
Sebagai
contoh
dosis
0,15
mg/kgBB
pancuronium dapat memberi kondisi intubasi dalam 90 detik, tapi akan timbul
hipertensi dan takikardia yang lebih nyata- dan blok yang ireversibel selama lebih
dari 60 menit. Konsekuensi dari durasi kerja yang panjang adalah kesulitan yang
terjadi dalam membalikkan blokade secara keseluruhan, khususnya pada pasien
usia tua dan mereka yang menjalani pembedahan abdomen. Menurut aturan
umum, semakin poten obat pelumpuh otot nondepolarisasinya, semakin panjang
22
kecepatan onsetnya, namun potensi yang lebih besar membutuhkan dosis yang
lebih kecil, yang kemudian akan menurunkan pengantaran obat ke NMJ.
Kemunculan obat kerja singkat dan kerja sedang meningkatkan
penggunaan dosis awal. Secara teoritis pemberian 10 15% dari dosis intubasi
sebelum induksi akan membantu penempatan cukup banyak reseptor sehingga
paralisis akan cepat terjadi saat relaksans yang seimbang diberikan. Penggunaan
dosis awal dapat memberikan kondisi yang sesuai untuk intubasi dalam waktu 60
detik pemberian rocuronium atau 90 detik setelah pemberian obat nondepolarisasi
kerja sedang lain. Dosis awal biasanya tidak mencapai paralisis yang signifikan
secara klinis, yang membutuhkan sekitar 75 80% reseptor yang terblok (batas
aman saraf otot). Pada beberapa pasien, dosis awal menempati cukup banyak
reseptor untuk membuat distres, dispneu, diplopia, atau disfagia; pada keadaan
demikian, pasien harus ditenangkan dan induksi anestesi harus dilanjutkan tanpa
menunda. Dosis awal dapat menyebabkan deteriosasi signifikan dalam fungsi
respirasi (misal penurunan kapasitas vital paksa) dan dapat menuju desaturasi
oksigen pada pasien dengan cadangan paru terbatas. Efek negatif ini sering terjadi
pada pasien usia tua.
Perlu diingat bahwa kelompok otot memiliki variasi dalam sensitivitas
obat pelumpuh otot. Sebagai contoh, otot-otot laring yang sangat penting dalam
intubasi pulih dari blokade lebih cepat dari pada m. adductor pollicis yang
dimonitor oleh stimulator saraf perifer.
23
Mencegah Fasikulasi
Untuk mencegah fasikulasi dapat diberikan 10-15% dosis intubasi obat
pelumpuh otot nondepolarisasi 5 menit sebelum pemberian suksinilkolin.
Meskipun sebagian besar obat nondepolarisasi dapat digunakan untuk tujuan ini,
tubocurarine dan rocuronium adalah yang paling baik efikasinya. Karena terdapat
antagonisme antara sebagian besar obat nondepolarisasi dengan fase I blok, dosis
suksinilkolin yang berikutnya harus dinaikkan menjadi 1,5 mg/kgBB.
Rumatan Relaksasi Otot
Setelah intubasi, paralisis otot diperlukan untuk membantu proses
pembedahan, misalnya pada operasi abdomen, atau dalam manajemen anestesi
misal dalam mengendalikan ventilasi. Variabilitas antara pasien dalam respons
terhadap dosis obat pelumpuh otot tidak dapat ditekankan secara berlebihan.
Monitoring fungsi saraf-otot dengan stimulator saraf membantu mencegah dosis
yang berlebihan atau dosis yang kurang dan juga mencegah paralisis otot yang
serius dalam ruang pemulihan. Dosis rumatan dengan bolus intermiten atau infus
kontinu harus dipandu dengan stimulator saraf dan tanda-tanda klinis (usaha
pernapasan spontan atau pergerakan).
Potensiasi oleh Anestesi Inhalasi
Agen-agen volatil menurunkan kebutuhan dosis obat nondepolarisasi
sampai sekitar 15%. Tingkat augmentasi postsinaptik bergantung pada anestesi
inhalasi (desfluran > sevofluran > isofluran dan enfluran > halotan >
24
cisatracurium,
mivacurium,
doxacurium,
vecuronium,
dan
pipecuronium adalah obat-obat tanpa efek otonom dalam penggunaan dosis yang
direkomendasikan.
25
Pelepasan Histamin
Pelepasan histamin dari sel mast dapat berakibat bronkospasme, flushing kulit,
dan hipotensi akibat vasodilatasi perifer. Baik atracurium maupun mivacurium
adalah dua agen yang dapat mencetus pelepasan histamin, khususnya pada dosis
yang lebih tinggi. Penyuntikan lambat dan premedikasi antihistamin H1 dan H2
mengurangi efek samping ini.
Metabolisme di Hati
Hanya pancuronium dan vecuronium yang dimetabolisme secara
signifikan oleh hati. Metabolit yang aktif berkontribusi dalam efek klinis kedua
agen tersebut. Vecuronium dan rocuronium sangat bergantung pada eksresi
empedu. Secara klinis, gagal hati memperpanjang blokade pancuronium dan
rocuronium, dengan efek yang lebih sedikit pada vecuronium dan tanpa efek pada
pipecuronium. Atracurium, cisatracurium, dan mivacurium adalah agen yang
dimetabolisme
secara
ekstensif,
namun
bergantung
pada
mekanisme
26
memperpanjang
blokade
karena
penurunan
dan
hipokalsemia
mengaugmentasi
blok
27
4. Usia
Neonatus mempunyai
28
MACAM-MACAM
OBAT
PELUMPUH
DEPOLARISASI
2.9.1 Atracurium
Metabolisme dan Ekskresi:
Atracurium
dimetabolisme
secara
OTOT
ekstensif
NON
sehingga
29
histamin
yang
Bronkospasme
Atracurium harus dihindari pada pasien dengan asma karena
Mivacurium
32
Mivacurium,
seperti
suksinilkolin,
dimetabolisme
oleh
dengan
inhibitor
kolinesterase
akan
mempercepat
Doxacurium
34
Pancuronium
35
Aritmia
Peningkatan konduksi atrioventrikuler dan pelepasan katekolamin
Reaksi Alergi
Pasien yang hipersensitif pada bromida mungkin mengalami reaksi
Pipecuronium
37
Vecuronium
38
39
Kardiovaskuler
Hingga dosis 0,28 mg//kg, vecuronium tidak memiliki efek
Gagal Hati
Meskipun bergantung pada ekskresi bilier, durasi kerja vecuronium
Rocuronium
40
41
2.1.1
Pemilihan Obat
Pemilihan jenis pelumpuh otot yang digunakan dipengaruhi oleh onset
kerja, durasi kerja, dan kemungkinan efek samping yang diinduksi oleh obat
karena kerja obat pada tempat lain selain NMJ. Efek samping yang tidak
diharapkan adalah respons kardiovaskuler karena pelepasan histamin yang
dicetuskan oleh obat pelumpuh otot nondepolarisasi benzylisoquinolinium. Onset
yang cepat dan durasi yang singkat seperti yang ditimbulkan oleh suksinilkolin
dan pada cakupan yang lebih sedikit (mivacurium) bermanfaat saat intubasi trakea
merupakan alasan pemberian obat pelumpuh otot.
42
Beberapa
obat
pelumpuh
otot
nondepolarisasi
dapat
43
BAB III
KESIMPULAN
Obat-obat yang mempengaruhi otot skeletal berfungsi sebagai 2 kelompok
obat yang sangat berbeda. Pertama, kelompok yang digunakan selama prosedur
pembedahan dan unit perawatan intensif untuk menghasilkan efek paralisis pada
pasien yang membutuhkan bantuan ventilator (pelumpuh otot) dan kelompok lain
yang digunakan untuk mengurangi spastisitas pada sejumlah kelainan neurologis
(spasmolitik).
Berdasarkan perbedaan mekanisme kerja dan durasi kerjanya, obat-obat
pelumpuh otot dapat dibagi menjadi obat pelumpuh otot depolarisasi (meniru aksi
asetilkolin) dan obat pelumpuh otot nondepolarisasi (mengganggu kerja
44
asetilkolin). Obat pelumpuh otot nondepolarisasi dibagi menjadi 3 grup lagi yaitu
obat kerja lama, sedang, dan singkat.
Obat pelumpuh otot depolarisasi sangat mirip dengan asetilkolin dan dapat
segera berikatan pada reseptor asetilkolin dan membentuk potensial aksi otot.
Namun, obat-obat ini tidak dimetabolisme oleh asetilkolinesterase dan
konsentrasinya dalam celah sinaptik tidak turun dengan cepat sehingga
memperpanjang depolarisasi end-plate otot. Depolarisase end-plate secara kontinu
menimbulkan relaksasi otot karena pembukaan
45
yang cepat dan durasi yang singkat seperti yang ditimbulkan oleh suksinilkolin
dan pada cakupan yang lebih sedikit (mivacurium) bermanfaat saat intubasi trakea
merupakan alasan pemberian obat pelumpuh otot.
AGEN
Kelompok
Senyawa
Suksinilkolin
Dikolin ester
DTubocurarine
Atracurium
(TRACRIU
M)
Doxacurium
(NUROMAX
)
Mivacurium
Sifat
Farmakologis
Waktu
Onset
(Meni
t)
Durasi sangat 1-1.5
singkat;
depolarisasi
Durasi
Kerja
(Menit)
Cara
Eliminasi
5-8
Alkaloid
alami (cyclic
benzylisoqui
noline)
Benzylisoqui
noline
80-120
Hidrolisis
oleh plasma
kolinesteras
e
Eliminasi
ginjal;
klirens hati
30-60
Benzylisoqui
noline
90-120
Benzylisoqui
12-18
46
Degradasi
Hoffman;
Hidrolisis
oleh plasma
kolinesteras
e, eliminasi
ginjal
Eliminasi
ginjal
Hidrolisis
(MIVACRO
N)
noline
kompetitif
Pancuronium
(PAVULON)
Pipecuroniu
m
(ARDUAN)
Ammonio
steroid
Ammonio
steroid
120180
80-100
Rocuronium
(ZEMURON
)
Vecuronium
(NORCURO
N)
Ammonio
steroid
30-60
Ammonio
steroid
60-90
oleh plasma
kolinesteras
e
Eliminasi
ginjal
Eliminasi
ginjal;
metabolism
e hati dan
klirens
Metabolism
e hati
Metabolism
e hati dan
klirens;
Eliminasi
ginjal
DAFTAR PUSTAKA
Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, eds. Neuromuscular blocking agents.
In:Clinical Anesthesiology. 4thed. McGraw Hills Company. 2006
White PF, Katzung BG. Skeletal muscle relaxants. In: Basic and clinical
pharmacology. 10 thed. McGraw Hills Company. 2007
Farmakologi dan Terapi, 2009. Obat Otonom Pelumpuh Otot dan Pelemasan Otot.
Departemen Farmakologi Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia Edisi 5. Hal 105-109.
Francois D, Bevan DR. Pharmacology of muscle relaxants and their antagonists.
In: Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK, eds. Clinical anesthesia. 6 th ed.
Lippincott Williams & Wilkins. 2006
Goodman & gilmans, 2011. Manual Farmakologi dan Terapi. Obat-Obat Yang
Bekerja Pada Tempat Yang Bertautan Sinaps dan Neuroefektor. Bagian 9
Senyawa Yang Bekerja Pada Tautan Neuromuskular dan Ganglia Otonom.
Hal 123-124.
47
48