Anda di halaman 1dari 29

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Aborsi merupakan salah satu komplikasi yang masih sering
ditemukan akibat terjadinya perdarahan pada kehamilan muda. Setiap
tahun terdapat sekitar 22 juta kasus aborsi di dunia dan sekitar 98%
diantaranya terjadi di negara berkembang. Jumlah kasus aborsi yang
tidak aman meningkat dari sekitar 20 juta kasus pada tahun 2003 menjadi
22 juta kasus pada tahun 2008. Tepatnya 47.000 kasus kehamilan yang
berkaitan dengan kematian terjadi sebagaikomplikasi aborsi yang tidak
aman. Sebanyak 5 juta wanita diperkirakan akan mengalami disabilitas
sebagai komplikasi aborsi yang tidak aman. (WHO, 2012)
Menurut WHO 2002, angka kejadian abortus di Asia Tenggara
mencapai 4,2 juta pertahun termasuk Indonesia, sedangkan frekuensi
abortus spontan di Indonesia adalah 10% - 15% dari 6 juta kehamilan
setiap tahunnya, sedangkan abortus provokatus sekitar 750.000 - 1,5 juta
setiap tahunnya.
Penyebab kematian maternal tersering adalah perdarahan.
Perdarahan dapat terjadi pada setiap usia kehamilan, dan pada
kehamilan

muda

sering

dikaitkan

dengan

kejadian

abortus.

(Sarwono,2008)
Abortus merupakan berakhirnya kehamilan sebelum 20 minggu
usia gestasi atau dengan berat badan kurang dari 500 gram. Ada
beberapa jenis abortus yang diketahui, salah satunya adalah abortus
inkomplit. Abortus inkomplit merupakan abortus dimana hanya sebagian
hasil konsepsi dikeluarkan melalui jalan lahir dengan masih ada bagian
yang tersisa di dalam rahim. Pada abortus inkomplit, risiko terjadinya
perdarahan dan infeksi meningkat, yang bila tidak segera ditangani dapat
meningkatkan risiko kematian maternal (Cunninghamet.al., 2010).
Beberapa faktor predisposisi terjadinya abortus yaitu faktor fetal
(kelainan kromosom), faktor maternal (infeksi, penyakit kronik, kelainan
endokrin), faktor lingkungan (paparan radiasi) dan faktor paternal
(kelainan sperma) (Cunningham et.al., 2010). Jumlah paritas yang tinggi
1

dan riwayat abortus sebelumnya merupakan predisposisi terjadinya


abortus berulang.

Kemungkinan

terjadinya

abortus

berulang

pada

seorang wanita yang mengalami abortus tiga kali atau lebih adalah
83,6% (Prawirohardjo, 2007).
Penanganan awal yang cepat dan tepat dapat menurunkan risiko
kematian maternal akibat perdarahan dan infeksi pada kasus abortus
inkomplit. Oleh karena itu penulis tertarik dengan masalah ini karena
dengan penanganan yang tepat dan cepat, maka risiko kematian ibu
dapat diturunkan.
1.2

Tujuan
1. Mengetahui penegakkan diagnosa abortus inkomplit pada pasien ini.
2. Mengetahui faktor risiko abortus inkomplit pada pasien ini.
3. Mengetahui penatalaksanaan abortus inkomplit pada pasien ini.
4. Mengetahui bagaimana monitoring pada kondisi abortus inkomplit.

1.3

Manfaat

Penulisan makalah laporan kasus dapat meningkatkan pengetahuan dan


pemahaman dokter muda mengenai abortus inkomplit dalam hal anamnesa,
pemeriksaan fisik dan penunjang, penegakkan diagnosa, penatalaksanaan dan
monitoring.

BAB 2
LAPORAN KASUS
2

2.1

Identitas
Nama

: Ny. S

Usia

: 23 tahun

No. RM

: 11246726

Alamat

: Jl. Tapaksiring III/43-B Samaan Klojen Malang

Pendidikan

: SMA

Pekerjaan

: Ibu rumah tangga

MRS

: 03-08-2015

Menikah

: 1x selama 5 tahun

Penggunaan KB

:-

Menarche

: 14 tahun

Siklus

: teratur, 28 hari

Lama haid

: 7 hari

Jumlah haid

: Normal (2-3 pembalut/ hari)

Nama suami

: Tn. W

Usia

: 25 tahun

Alamat

: Jl. Tapaksiring III/43-B Samaan Klojen Malang

Pendidikan

: SMA

Pekerjaan

: Sales

2.2

Subjektif

2.2.1

Keluhan utama
Keluar darah dari jalan lahir.

2.2.2

Perjalanan Penyakit

Tanggal 02 Agustus 2015, pasien mengeluh keluar darah dari jalan

lahir sedikit-sedikit berupa flek-flek, namun pasien tetap dirumah.


Pada tanggal 03 Agustus 2015 pukul 14.45 pasien datang ke RSSA
karena perdarahan semakin banyak, terdapat gumpalan darah dan
disertai nyeri perut bagian bawah.

Riwayat menstruasi sebelumnya teratur tiap bulan, lama 5-7 hari,


ganti pembalut 2-3 x/hari, nyeri saat haid (-).
3

2.2.3

Riwayat coitus (+) 2 hari yang lalu

Riwayat trauma (jatuh) disangkal

Riwayat minum jamu-jamuan atau obat-obatan disangkal

Riwayat pijat oyok disangkal

HPHT
: 11-05-2015
Usia Kehamilan
: 12-14 minggu
Ini merupakan Ini merupakan kehamilan kedua pasien

Riwayat Kehamilan/Persalinan

NO.

At/P/I/Ab/E

BBL

Cara lhr

Penolong

L/P

Umur

H/M

1.

Matur

2500
gr

Spontan

Bidan

6,5
bulan

Hamil ini

2.2.4

Riwayat Kontrasepsi
Pasien tidak menggunakan alat kontrasepsi sebelum kehamilan ini.

2.2.5

Riwayat Pernikahan
Pasien menikah 1 kali dengan usia pernikahan 5 tahun.

2.2.6

Riwayat Penyakit Dahulu


Tidak ada riwayat penyakit seperti keputihan, hipertensi, dan DM.
Pasien belum pernah mengalami kejadian ini sebelumnya.

2.2.7

Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada riwayat penyakit keluarga pasien seperti hipertensi dan DM.

2.2.8

Riwayat Pengobatan
Pasien belum melakukan pengobatan untuk penyakitnya.

2.2.9 Riwayat Sosial

Pasien seorang ibu rumah tangga dan melakukan kegiatan sehari-hari di


rumah. Pasien tinggal di rumah bersama suami pasien. Sanitasi, ventilasi, dan
kebersihan rumah baik.
2.3

Obyektif

2.3.1

Pemeriksaan fisik
Keadaan umum
Kesadaran
GCS
Tanda-tanda vital
- TD
- Nadi
- RR
- Tax
- Trec

: Cukup
: Komposmentis
: 456
: 110/70
: 80 x/menit
: 20x/menit
: 36,10C
: 36,80C
: anemis -/- ikterik -/-

Kepala/leher

Thorax

: C/ S1S2 tunggal, regular, Iktus palpable ICS V

sinistra

Abdomen

P/ Simetris, suara paru vesikular, Rh Wh : Flat, soefl, bising usus menurun, TFU 2 jari diatas

simfisis
Ekstremitas
GE
Insp

: Hangat, edema (-), turgor < 2 detik


: v/v fluxus (+) min, fluor (-)
: v/v fluxus (+) min, fluor (-), Portio terbuka 1 jari,

tampak jaringan
VT

: v/v fluxus (+) min, fluor (-), Portio terbuka 1 jari,

teraba jaringan
CUAF ~ kesan membesar 10-12 minggu
AP D/S ~ nyeri (-), massa (-)
CD ~ tidak menonjol

2.3.2

Rencana diagnosis

Darah lengkap
Hasil lab tanggal 03-08-2015
Hb

: 11,7 gr/dl
5

Eritrosit

: 3,93 /l

Leukosit

: 8,03 /l

Hematokrit

: 33,30 %

Trombosit

: 178,000 /l

Urinalisis
Tes kehamilan (+)

2.4

Diagnosis Kerja
Abortus Inkomplit

2.5

2.6

Planning Terapi
1.
a.

Pro kuretase
Persiapan kuretase:
Drip Oxytocin 20 IU
IVFD RL 500 ml
Persiapan kuretase (30 sebelum kuretase): Inj. Gentamisin 80 mg iv +

b.

Kaltrofen supp II
Post kuretase:
Amoxicilin 3 x 500 mg
Asam mefenamat 3x500mg
Methergin 3x1tab
Rob 1x1 tab
Planning Monitoring
Keluhan subjektif, tanda- tanda vital, fluksus, kontraksi uterus

2.7

KIE
Menjelaskan kepada pasien tentang:
1. Penyakit yang diderita
2. Penyebab dari perdarahan dan komplikasinya
3. Tindakan medis yang akan dilakukan, jika dibutuhkan
4. Efek samping dari tindakan yang akan dilakukan

BAB 3
PERMASALAHAN
1.
2.

Bagaimana penegakkan diagnosis pada pasien ini?


Apa saja yang dapat menyebabkan abortus inkomplit pada pasien

ini?
3. Bagaimana manajemen dan penatalaksanaan abortus inkomplit pada
pasien ini?
4.
Bagaimana prognosis pada pasien ini?

BAB 4
TINJAUAN PUSTAKA
4.1

Definisi
Abortus adalah kematian bayi dalam kandungan dengan umur kehamilan

kurang dari 20 minggu. Umur kehamilan didasarkan dari tanggal hari pertama
haid terakhir. Definisi lain yang sering digunakan adalah pelahiran janin yang
beratnya kurang dari 500 gram (Kemenkes RI, 2013; Kenneth et al., 2003).
4.2

Epidemiologi
Frekuensi abortus diperkirakan sekitar 10-15 % dari semua kehamilan

(Sarwono, 2007). Namun, frekuensi angka kejadian sebenarnya dapat lebih


tinggi lagi karena banyak kejadian yang tidak dilaporkan. WHO memperkirakan di
seluruh dunia, dari 46 juta kelahiran per tahun terdapat 20 juta kejadian abortus.
Sekitar 13 % dari jumlah total kematian ibu di seluruh dunia diakibatkan oleh
komplikasi abortus, 800 wanita diantaranya meninggal karena komplikasi abortus
8

dan sekurangnya 95 % (19 dari setiap 20 abortus) di antaranya terjadi di negara


berkembang (WHO, 2012).
4.3

Klasifikasi Abortus
Abortus menurut Sarwono, 2008 dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1.Abortus Spontan
Adalah abortus yang terjadi tanpa tindakan mekanis atau medis
untuk mengosongkan uterus, maka abortus tersebut dinamai abortus
spontan. Kata lain yang luas digunakan adalah keguguran (miscarriage).
Abortus spontan secara klinis dapat dibedakan antara abortus imminens,
abortus insipiens, abortus inkompletus, abortus kompletus. Selanjutnya
dikenal pula missed abortion, abortus habitualis, abortus infeksiosus, dan
abortus septik.
2. Abortus Imminens (keguguran mengancam)
Peristiwa terjadinya perdarahan dari uterus pada kehamilan
sebelum 20 minggu, dimana hasil konsepsi masih dalam uterus, dan
tanpa adanya dilatasi serviks.
Diagnosis abortus imminens ditentukan karena pada wanita hamil
terjadi perdarahan melalui ostium uteri eksternum, disertai mules sedkit
atau tidak sama sekali, uterus membesar sebesar tuanya kehamilan,
serviks belum membuka, dan tes kehamilan positif. Pada beberapa
wanita hamil dapat terjadi perdarahan sedikit pada saat haid yang
semestinya datang jika tidak terjadi pembuahan. Hal ini disebabkan oleh
penembusan villi koreales ke dalam desidua, pada saat implantasi ovum.
Perdarahan implantasi biasanya sedikit, warnanya merah, cepat berhenti,
dan tidak disertai mules-mules.
3. Abortus Insipien (keguguran berlangsung)
Peristiwa perdarahan uterus pada kehamilan sebelum 20 minggu
dengan adanya dilatasi serviks uteri yang meningkat, tetapi hasil konsepsi
masih dalam uterus. Dalam hal ini rasa mules menjadi lebih sering dan
kuat, serta perdarahan bertambah.
4. Abortus Inkomplit (keguguran tidak lengkap)
9

Pengeluaran sebagian hasil konsepsi pada kehamilan sebelum 20


minggu dengan masih ada sisa tertinggal dalam uterus. Pada
pemeriksaan vaginal, kanalis sevikalis terbuka dan jaringan dapat diraba
dalam kavum uteri atau kadang-kadang sudah menonjol dari ostium uteri
eksternum.
5. Abortus Komplit (keguguran lengkap)
Perdarahan pada kehamilan muda di mana seluruh hasil konsepsi
telah dikeluarkan dari kavum uteri. Seluruh buah kehamilan telah
dilahirkan dengan lengkap. Pada penderita ditemukan perdarahan sedikit,
ostium uteri telah menutup, dan uterus sudah banyak mengecil. Diagnosis
dapat dipermudah apabila hasil konsepsi dapat diperiksa dan dapat
dinyatakan bahwa semuanya sudah keluar dengan lengkap.
6. Abortus Infeksiosa dan Abortus Septik
Adalah keguguran yang disertai infeksi pada genitalia, sedangkan
abortus septik adalah abortus infeksiosa berat dengan penyebaran kuman
atau toksinnya ke dalam peradaran darah atau peritoneum. Infeksi dalam
uterus atau sekitarnya dapat terjadi pada tiap abortus, tetapi biasanya
ditemukan pada abortus inkomplit dan lebih sering ditemukan pada
abortus buatan yang dikerjakan tanpa memperhatikan asepsis dan
antisepsis.
Diagnosis abortus infeksiosa ditentukan dengan adanya abortus
yang disertai gejala dan tanda infeksi genitalia seperti panas, takikardi,
perdarahan pervaginam berbau, uterus yang membesar, lembek serta
nyeri tekan dan leukositosis. Apabila terdapat sepsis, penderita tampak
sakit berat kadang-kadang menggigil, demam tinggi dan tekanan darah
menurun.
7. Missed abortion (retensi janin mati)
Kematian janin sebelum berusia 20 minggu, tetapi janin yang mati
tertahan di dalam kavum uteri tidak dikeluarkan selama 8 minggu atau
lebih.
Missed abortion biasanya didahului oleh tanda-tanda abortus
imminens yang kemudian menghilang secara spontan atau setelah
pengobatan. Gejala subyektif kehamilan menghilang, mammae agak
mengendor lagi, uterus tidak membesar malah mengecil, dan tes
10

kehamilan menjadi negatif. Dengan USG dapat ditentukan segera apakah


janin sudah mati dan besarnya sesuai dengan usia kehamilan.
8. Abortus habitualis
Keadaan dimana penderita mengalami keguguran berturut-turut
tiga kali atau lebih. Pada umumnya penderita tidak sukar menjadi hamil,
tetapi kehamilannya berakhir sebelum 28 minggu. Bishop melaporkan
frekuensi 0,41% abortus habitualis pada semua kehamilan. Menurut
Malpas dan Eastman kemungkinan terjadi abortus lagi pada seorang
wanita yang mengalami abortus habitualis adalah 73% dan 83,6%.
Sebaliknya Warton dan Fraser dan Llwellyn-Jones memberi prognosis
lebih baik yaitu 25,9 % dan 39 % (Sarwono, 2008)
9. Abortus Provokatus
Abortus terinduksi adalah terminasi kehamilan secara medis atau
bedah sebelum janin mampu hidup. Pada tahun 2000, total 857.475
abortus legal dilaporkan ke Centers for Disease Controland Prevention
(2003). Sekitar 20% dari para wanita ini berusia 19 tahun atau kurang,
dan sebagian besar berumur kurang dari 25 tahun, berkulit putih, dan
belum menikah. Hampir 60% abortus terinduksi dilakukan sebelum usia
gestasi 8 minggu, dan 88% sebelum minggu ke-12 kehamilan (Centers
for Disease Control and Prevention, 2000).
Menurut Manuaba (2007) abortus ini terbagi lagi menjadi:
a) Abortus therapeutic (Abortus medisinalis)
Abortus karena tindakan kita sendiri, dengan alasan bila
kehamilan dilanjutkan, dapat membahayakan jiwa ibu (berdasarkan
indikasi medis). Biasanya perlu mendapat persetujuan 2 sampai 3 tim
dokter ahli.
b) Abortus kriminalis
Abortus yang terjadi oleh karena tindakan-tindakan yang tidak
legal atau tidak berdasarkan indikasi medis.
c) Unsafe Abortion
Upaya untuk terminasi kehamilan muda dimana pelaksana
tindakan tersebut tidak mempunyai cukup keahlian dan prosedur
11

standar yang aman sehingga dapat membahayakan keselamatan jiwa


pasien.
4.4

Faktor Risiko
Faktor risiko adalah keadaan ibu baik berupa faktor biologis
maupun non biologis, yang biasanya sudah dimiliki ibu sejak sebelum
hamil dan dalam kehamilan mungkin memudahkan timbulnya gangguan
lain.
Beberapa faktor risiko diduga merupakan faktor risiko dari kejadian
abortus yaitu (Widjanarko, 2009; Cunningham et.al., 2005; Prawirohardjo,
2007; Mochtar,1998):
1) Usia
Risiko abortus semakin tinggi dengan semakin bertambahnya usia
ibu. Insiden abortus dengan trisomi meningkat dengan bertambahnya
usia ibu. Risiko ibu terkena aneuploidi adalah 1:80, pada usia diatas 35
tahun karena angka kejadian kelainan kromosom/trisomi akan meningkat
setelah usia 35 tahun (Prawirohardjo, 2009).
2) Usia Kehamilan
Usia kehamilan saat terjadinya abortus bisa memberi gambaran
tentang penyebabnya. Paling sedikit 50% kejadian abortus pada trimester
pertama merupakan kelainan sitogenetik. Separuh dari abortus karena
kelainan sitogenetik pada trimester pertama berupa trisomi autosom
(Prawirohardjo, 2009).
3) Paritas Ibu
Semakin banyak jumlah kelahiran yang dialami seorang ibu
semakin tinggi risikonya untuk mengalami komplikasi kehamilan,
persalinan dan

nifas (Mulyati,

2003).

Sejalan

dengan

pendapat

Cunningham (2005) bahwa risiko abortus spontan semakin meningkat


dengan bertambahnya paritas. Persalinan kedua dan ketiga merupakan
persalinan yang aman, sedangkan risiko terjadinya komplikasi meningkat
pada kehamilan, persalinan, dan nifas setelah yang ketiga dan
seterusnya. Demikian juga dengan paritas 0 dan lebih dari 4 merupakan
kehamilan risiko tinggi (Mulyati, 2003).
4) Riwayat abortus sebelumnya
12

Setelah 1 kali abortus spontan, memiliki risiko 15% untuk


mengalami keguguran lagi, sedangkan bila pernah 2 kali, risikonya
meningkat 25%. Beberapa studi meramalkan bahwa risiko abortus
setelah 3 abortus berurutan adalah 30-45 % (Prawirohardjo, 2008).
Kejadian abortus diduga mempunyai efek terhadap kehamilan berikutnya,
baik pada timbulnya penyulit kehamilan maupun pada hasil kehamilan itu
sendiri. Wanita dengan riwayat abortus mempunyai risiko yang lebih tinggi
untuk terjadinya persalinan prematur, abortus berulang, bayi dengan
Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) (Cunningham et.al., 2005). Ibu hamil
yang memiliki riwayat abortus sebelumnya mempunyai risiko abortus
1,116 kali lebih besar dibanding ibu yang tidak mempunyai riwayat
abortus, dan terdapat hubungan yang bermakna antara riwayat abortus
sebelumnya dengan kejadian abortus.
5) Pemeriksaan antenatal
Pemeriksaan antenatal yang baik adalah minimal 1 kali pada
trimester pertama, 1 kali pada trimester kedua dan 2 kali pada trimester
ketiga. Keuntungan yang diperoleh dengan melakukan pemeriksaan
antenatal dengan baik adalah kelainan yang mungkin ada atau akan
timbul pada kehamilan tersebut cepat diketahui dan segera dapat diatasi
sebelum berpengaruh tidak baik pada kehamilannya (Prawirohardjo,
2008). Ibu dengan pemeriksaan antenatal yang tidak baik akan
meningkatkan risiko kehamilan (risiko kesakitan dan kematian), karena
akan sulit untuk mendeteksi kelainan dan kebutuhan yang diperlukan ibu
dalam mempersiapkan kehamilan dan kelahiran secara optimal.
6) Pendidikan
Umumnya ibu yang mengalami abortus mempunyai pendidikan 19 tahun dan memungkinkan abortus pada pendidikan rendah lebih besar
dibanding

kelompok

yang

berpendidikan

lebih

tinggi.

Menurut

Prawirohardjo (2008), bahwa kejadian abortus pada wanita yang


berpendidikan lebih rendah lebih banyak. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Saifudin (2002) bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan
makin rendah kejadian abortus. Angka kejadian yang tertinggi yaitu pada
golongan berpendidikan 10-12 tahun (SMA). Secara teoritis diharapkan
13

wanita yang berpendidikan lebih tinggi cenderung lebih memperhatikan


kesehatan diri dan keluarganya.
7) Merokok
Merokok dilaporkan menyebabkan penigkatan risiko abortus. Bagi
wanita yang merokok lebih dari 14 batang per hari, risiko tersebut sekitar
dua kali lipat dibandingkan kontrol normal (Cunningham et.al., 2005).
8) Alkohol
Abortus spontan dan anomali janin dapat terjadi akibat sering
mengkonsumsi alkohol selama 8 minggu pertama kehamilan. Angka
abortus meningkat dua kali lipat pada wanita yang minum 2 kali setiap
minggu, dan tiga kali pada wanita yang mengkonsumsi alkohol setiap hari
(Cunningham et.al., 2005).
4.5

Etiologi
Abortus yang terjadi pada minggu-minggu pertama kehamilan umumnya

disebabkan oleh faktor ovofetal, pada minggu-minggu berikutnya (11-12 minggu),


abortus yang terjadi disebabkan oleh faktor maternal (Sayidun, 2001).
Faktor ovofetal:
Pemeriksaan

USG

janin

dan

histopatologis

selanjutnya

menunjukkan bahwa pada 70% kasus, ovum yang telah dibuahi gagal
untuk berkembang atau terjadi malformasi pada tubuh janin. Pada 40%
kasus, diketahui bahwa latar belakang kejadian abortus adalah kelainan
chromosomal. Pada 20% kasus, terbukti adanya kegagalan trofoblast
untuk melakukan implantasi dengan adekuat.
Faktor maternal :
Sebanyak 2% peristiwa abortus disebabkan oleh adanya penyakit
sistemik maternal (systemic lupus erythematosis) dan infeksi sistemik
maternal tertentu lainnya. 8% peristiwa abortus berkaitan dengan
abnormalitas uterus (kelainanuterus kongenital, mioma uteri submukosa,
inkompetensia servik). Terdapat dugaan bahwa masalah psikologis
memiliki peranan pula dengan kejadian abortus meskipun sulit untuk
dibuktikan atau dilakukan penilaian lanjutan.

14

Penyebab abortus inkompletus bervariasi, Penyebab terbanyak di


antaranya adalah sebagai berikut.
1. Faktor genetik
Sebagian besar abortus spontan, termasuk abortus inkomplitus
disebabkan oleh kelainan kariotip embrio. Paling sedikit 50% kejadian
abortus pada trimester pertama merupakan kelainan sitogenetik. Separuh
dari abortus karena kelainan sitogenetik pada trimester pertama berupa
trisomi autosom. Insiden trisomi meningkat dengan bertambahnya usia.
Risiko ibu terkena aneuploidi adalah 1:80, pada usia diatas 35 tahun
karena angka kejadian kelainan kromosom/trisomi akan meningkat
setelah usia 35 tahun.
Selain itu abortus berulang biasa disebabkan oleh penyatuan dari
2 kromosom yang abnormal, dimana bila kelainannya hanya pada salah
satu orang tua, faktor tersebut tidak diturunkan. Studi yang pernah
dilakukan menunjukkan bahwa bila didapatkan kelainan kariotip pada
kejadian abortus, maka kehamilan berikutnya juga berisiko abortus.
2. Kelainan kongenital uterus
Defek anatomik uterus diketahui sebagai penyebab komplikasi
obstetrik. Insiden kelainan bentuk uterus berkisar 1/200 sampai 1/600
perempuan dengan riwayat abortus, dimana ditemukan anomaly uterus
pada 27% pasien. Penyebab terbanyak abortus karena kelainan anatomik
uterus adalah septum uterus (40-80%), kemudian uterus bikornis atau
uterus didelfis

atau unikornis (10-30%). Mioma uteri

juga bisa

menyebabkan infertilitas maupun abortus berulang. Risiko kejadiannya


10-30% pada perempuan usia reproduksi.
Selain itu Sindroma Asherman bias menyebabkan gangguan
tempat implantasi serta pasokan darah pada permukaan endometrium.
Risiko abortus antara 25-80%, bergantung pada berat ringannya
gangguan.
3. Penyebab Infeksi
Teori peran mikroba infeksi terhadap kejadian abortus mulai
diduga sejak 1917, ketika DeForest dan kawan-kawan melakukan
15

pengamatan kejadian abortus berulang pada perempuan yang ternyata


terpapar

brucellosis.

Berbagai

teori

diajukan

untuk

mencoba

menerangkan peran infeksi terhadap risiko abortus, diantaraya sebagai


berikut:
a. Adanya metabolik toksik, endotoksin, eksotoksin, atau sitokin yang
berdampak langsung pada janin atau unit fetoplasenta.
b. Infeksi janin yang bisa berakibat kematian janin atau cacat berat
sehingga janin sulit bertahan hidup.
c. Infeksi plasenta yang berakibat insufisiensi plasenta dan bisa berlanjut
kematian janin.
d. Infeksi kronis endometrium dari penyebaran kuman genitalia bawah
yang bisa mengganggu proses implantasi.
4. Faktor Hematologik
Beberapa kasus abortus berulang ditandai dengan efek plesentasi
dan adanya mikrotrombi pada pembuluh darah plasenta. Bukti lain
menunjukkan bahwa sebelum terjadi abortus, sering didapatkan defek
hemostatik. Penelitian Tulpalla dan kawan-kawan menunjukkan bahwa
perempuan dengan riwayat abortus berulang, sering terdapat peningkatan
produksi tromboksan yang berlebihan pada usia kehamilan 4-6 minggu,
dan penurunan produksi prostasiklin saat usia kehamilan 8-11 minggu.
Hiperhomosisteinemi, bisa kongenital ataupun akuisita juga berhubungan
dengan thrombosis dan penyakit vaskular dini. Kondisi ini berhubungan
dengan 21% abortus berulang.
5. Faktor Lingkungan
Diperkirakan 1-10% malformasi janin akibat dari paparan obat,
bahan kimia, atau radiasi dan umumnya berakhir dengan abortus,
misalnya paparan terhadap buangan gas anestesi dan tembakau. Rokok
diketahui mengandung ratusan unsur toksik, antara lain nikotin yang telah
diketahui mempunyai efek vasoaktif sehingga menghambat sirkulasi
uteroplasenta. Karbon monoksida juga menurunkan pasokan oksigen ibu
dan janin serta memacu neurotoksin. Dengan adanya gangguan pada
16

sistem sirkulasi fetoplasenta dapat terjadi gangguan pertumbuhan janin


yang berakibat terjadinya abortus.
6. Faktor Hormonal
Ovulasi, implantasi, serta kehamilan dini bergantung pada
koordinasi yang baik sistem pengaturan hormon maternal. Oleh karena
itu,

perlu

perhatian

langsung

terhadap

sistem

hormon

secara

keseluruhan, fase luteal, dan gambaran hormon setelah konsepsi


terutama kadar progesterone.
Pada penelitian terhadap perempuan yang mengalami abortus
lebih dari atau sama dengan 3 kali, didapatkan 17% kejadian defek fase
luteal. Dan, 50% perempuan dengan histologi defek fase luteal punya
gambaran progesterone yang normal (Prawirohadjo, 2009)
4.6

Patogenesis
Proses abortus inkomplit dapat berlangsung secara spontan
maupun sebagai komplikasi dari abortus provokatus kriminalis ataupun
medisinalis. Proses terjadinya berawal dari pendarahan pada desidua
basalis yang menyebabkan nekrosis jaringan diatasnya. Selanjutnya
sebagian atau seluruh hasil konsepsi terlepas dari dinding uterus. Hasil
konsepsi yang terlepas menjadi benda asing terhadap uterus sehingga
akan dikeluarkan langsung atau bertahan beberapa waktu. Pada
kehamilan kurang dari 8 minggu hasil konsepsi biasanya dikeluarkan
seluruhnya karena villi korialies belum menembus desidua secara
mendalam. Pada kehamilan antara 8 minggu sampai 14 minggu villi
koriales menembus desidua lebih dalam sehingga umumnya plasenta
tidak dilepaskan sempurna yang dapat menyebabkan banyak perdarahan.
Pada kehamilan lebih dari 14 minggu umumnya yang mula-mula
dikeluarkan setelah ketuban pecah adalah janin, disusul kemudian oleh
plasenta yang telah lengkap terbentuk. Perdarahan tidak banyak jika
plasenta segera terlepas dengan lengkap (Prawirohardjo, 2007).

4.7

Diagnosis
17

Menurut Sastrawinata et al., pada tahun 2005, abortus memiliki


manifestasi klinik sebagai berikut di bawah:
a. Anamnesis
-

Terlambat haid atau amenore kurang dari 20 minggu

Pendarahan pervaginam, mungkin disertai keluarnya jaringan hasil


konsepsi

Rasa mulas atau keram perut didaerah atas simfisis, sering disertai
nyeri pingang akibat kontraksi uterus

b. Pemeriksaan fisik
Keadaan umum tampak baik atau syok akibat perdarahan,
tekanan darah normal atau menurun, denyut nadi normal atau cepat dan
kecil, suhu badan normal atau meningkat.
c. Pemeriksaan ginekologi
Menurut Prawirohardjo, 2007 adalah sebagai berikut:
-

Inspeksi Vulva: Pendarahan pervaginam ada atau tidaknya jaringan


hasil konsepsi, tercium atau tidak bau busuk dari vulva.

Inspekulo: Pendarahan dari kavum uteri, ostium uteri terbuka atau


sudah tertutup ada atau tidaknya jaringan keluar dari ostium, ada atau
tidaknya cairan atau jaringan berbau busuk dari ostium.

Colok Vagina: Porsio terbuka atau sudah tertutup, teraba atau tidak
jaringan dalam kavum uteri, besar uterus sesuai atau lebih kecil dari
usia kehamilan, tidak nyeri saat porsio digoyang, tidak nyeri pada
peraban adneksa, kavum douglasi tidak menonjol dan tidak nyeri.
d. Pemeriksaan bimanual
Uterus membesar, besar uterus tidak sesuai dengan besar
seharusnya, tidak mendatar dan mempunyai konsistensi hamil normal.
e. Pemeriksaan penunjang :

1. Pemeriksaan USG
Hal ini membantu untuk melihat adakah sisa dari hasil konsepsi di
dalam uterus.
2. Pemeriksaan darah
HCG beta untuk mendiagnosis adanya kehamilan. Darah lengkap
untuk melihat adanya kemungkinan terjadi infeksi dan anemia.
18

4.8

Diagnosis Banding
Adapun diagnosis banding abortus inkomplit adalah abortus

komplitus, dimana pada abortus komplitus, darah yang keluar dari jalan
lahir dalam jumlah yang banyak, disertai keluarnya seluruh konseptus dan
pada pemeriksaan USG, tidak didapatkan sisa konsepsi di dalam uterus.
Diagnosa banding lain adalah kehamilan mola dimana hasil konsepsi
yang keluar berupa gelembung-gelembung mola, kehamilan ektopik
terganggu dan

abortus imminens

(perdarahan lebih

sedikit

dan

pemeriksaan dalam vaginal tussay menunjukkan portio masih tertutup)


(Prawirohardjo, 2008).
4.9

Manifestasi Klinis dan Penatalaksanaan


4.9.1

Manifestasi Klinis Abortus Inkomplit


Pada pemeriksaan vaginal, kanalis servikalis terbuka dan jaringan

dapat diraba dalam kavum uteri atau kadang-kadang sudah menonjol dari
ostium uteri eksternum. Pada abortus yang terjadi sebelum usia gestasi
10 minggu, janin dan plasenta biasanya keluar bersama-sama, tetapi
setelah waktu ini keluar secara terpisah. Apabila plasenta (sebagian atau
seluruhnya) tertahan di uterus, cepat atau lambat akan terjadi perdarahan
yang merupakan tanda utama abortus inkomplit (Cunningham, 2010).
Perdarahan pada abortus inkomplit dapat banyak sekali, sehingga
menyebabkan syok dan perdarahan tidak akan berhenti sebelum sisa
hasil konsepsi dikeluarkan (Prawirohardjo, 2007).
4.9.2

Penatalaksanaan Abortus Inkomplit


Menentukan besar uterus, kenali dan atasi setiap komplikasi yang
muncul. Apabila abortus inkomplit disertai syok karena perdarahan,
segera harus diberikan infus cairan NaCl fisiologis atau cairan Ringer
yang disusul dengan transfusi. Setelah syok diatasi, dilakukan

kuretase (Sarwono, 2007).


Bila perdarahan tidak banyak dan kehamilan kurang dari 16 minggu,
lakukan

evakuasi

mengeluarkan

hasil

secara

digital

konsepsi.

Bila

atau

cunam

perdarahan

ovum
berhenti

ergometrin 0,2 mg IM atau Misoprostol 400 gram per oral.


19

untuk
beri

Bila perdarahan banyak dan usia kehamilan kurang dari 16 minggu


evakuasi sisa hasil konsepsi dengan:
(1) Aspirasi vakum manual (AVM). Merupakan metode evakuasi yang
dipilih. Jika aspirasi vakum tidak tersedia evakuasi dilakukan
dengan kuret tajam.
(2) Bila evakuasi belum dapat dilakukan segera, beri ergometrin 0,2
mg/IM (diulangi setiap menit jika perlu) atau misorostol 400
gram/oral (dapat diulangi setelah 4 jam atau jika perlu)

Kehamilan lebih dan 16 minggu:


(1) Infus oksitoksin 20 unit dalam 500 cc cairan IV (garam
fisiologik/Ringer Laktat) dengan kecepatan 40 tetes/menit sampai
terjadi ekspulsi hasil konsepsi.
(2) Jika perlu berikan misoprostol 200 mg/vaginam setiap 4 jam
sampai terjadi ekspulsi hasil konsepsi (maksimal 800 mg).
(3) Evakuasi sisa konsepsi yang tertinggal dalam uterus.

Bila tidak ada tanda-tanda infeksi beri antibiotika profilaksis

(sulbenisillin 2 gram/IM atau sefuroksim 1 gram oral).


Bila terjadi infeksi beri ampicillin 1 gram dan Metrodidazol 500 mg

setiap 8 jam.
Bila pasien tampak anemik, berikan sulfasferosus 600 mg/hari selama

2 minggu (anemia sedang) atau transfusi darah (anemia berat).


Pada beberapa kasus abortus inkomplit erat kaitannya dengan
abortus risiko tinggi, oleh sebab itu perlu diperhatikan hal sebagai
berikut :
1. Pastikan tidak ada komplikasi berat seperti sepsis, perforasi uterus
atau cedera intra abdomen (mual/muntah, nyeri punggung,
demam, perut kembung, nyeri perut bagian bawah, nyeri ulang
lepas).
2. Bersihkan ramuan tradisional yaitu jamu, bahan kaustik, kayu atau
benda-benda lain dari region genitalia.
3. Berikan boster tetanus toxoid 0,5 ml bila tampak luka kotor pada
dinding vagina atau kanalis servikalis dan pasien pernah
diimunisasi.
4. Bila riwayat pemberian imunisasi tidak jelas pemberian Tetanus
Toxoid 0,5 ml setelah 4 minggu (Saifuddin, 2002).
20

Prosedur Kerja (Saifuddin, 2002)


1. Pengeluaran sisa jaringan secara digital: Tindakan ini dilakukan
untuk menolong penderita di tempat-tempat yang tidak ada
fasilitas

kuretase,

sekurang-kurangnya

untuk

menghentikan

pendarahan. Hal ini sering dilakukan pada keguguran yang


sedang berlangsung (abortus insipiens) dan abortus inkomplit.
Pembersihan secara digital hanya dapat dilakukan bila telah ada
pembukaan serviks uteri yang dapat dilalui oleh satu jari longgar
dan kavum uteri cukup luas. Caranya adalah dengan dua tangan
(bimanual); jari telunjuk dengan jari tengah tangan kanan
dimasukkan ke dalam jalan lahir untuk mengeluarkan hasil
konsepsi, sedangkan tangan kiri menekan korpus uteri sebagai
fiksasi. Dengan kedua jari tangan kikislah hasil konsepsi sebanyak
mungkin atau sebersihnya.
2. Pengeluaran sisa jaringan dengan kuretase atau kerokan:
Prosedur kerja kuretase adalah suatu rangkaian proses pelepasan
jaringan yang melekat pada dinding kavum uteri dengan
melakukan invasi dan memanipulasi instrumen (sendok kuret).
Sendok kuret akan melepas jaringan tersebut dengan teknik
pengerokan secara sistematis. Pada kasus abortus inkomplit,
biasanya tidak perlu melakukan dilatasi serviks sebelum kuretase.
Pada banyak kasus, jaringan plasenta yang tertinggal sekedar
menempel di kanalis servikalis dan dapat dikeluarkan dari os
eksterna yang terpapar dengan forsep cincin atau ovum. Kuretase
isap efektif untuk mengosongkan uterus. Wanita dengan tahap
kehamilan lebih lanjut, atau yang mengalami perdarahan besar,
harus dirawat inap dan jaringan yang tertinggal harus segera
dikeluarkan. Demam bukan merupakan kontraindikasi kuretase
setelah terapi antibiotik yang sesuai dimulai (Cunningham, 2010).
Pasca kuretase, disuntikkan ergometrin secara intramuskular
untuk mempertahankan kontraksi otot uterus (Sarwono, 2007).

4.10

Penanganan Lanjutan
21

Setelah abortus, pasien perlu periksa untuk mencari sebab


abortus. Selain itu perlu diperhatikan involusi uterus dan kadar HCG 1-2
bulan kemudian. Pasien diharapkan tidak hamil dalam waktu 3 bulan
sehingga perlu memakai kontrasepsi kondom atau pil (Prawirohardjo,
2007).
4.11

Komplikasi

Komplikasi abortus Antara lain :


a. Perforasi
Dalam melakukan dilatasi dan kerokan harus diingat bahwa selalu
ada kemungkinan terjadinya perforasi dinding uterus yang dapat menjurus
ke rongga peritoneum, ke ligamentum latum dan ke kandung kencing.
Oleh sebab itu, letak uterus harus ditetapkan lebih dahulu dengan
seksama pada awal tindakan, dan pada dilatasi serviks tidak boleh
digunakan tekanan berlebihan, kerokan kuret dimasukkan dengan hatihati, akan tetapi penarikan kuret keluar dapat dilakukan dengan tekanan
yang lebih besar. Bahaya perforasi ialah perdarahan dan peritonitis
apabila terjadi perforasi atau diduga terjadi peristiwa itu, penderita harus
diawasi dengan seksama dengan mengamati keadaan umum, nadi,
tekanan darah, kenaikan suhu, turunnya hemoglobin, dan keadaan perut
bawah. Jika keadaan meragukan atau ada tanda-tanda bahaya,
sebaiknya dilakukan laparotomi percobaan dengan segera
b. Luka pada serviks uteri
Apabila jaringan serviks keras dan dilatasi dipaksaan maka dapat
timbul robekan pada serviks uteri yang perlu dijakit, apabila terjadi luka
pada ostium uteri internum, maka akibat yang segera timbul ialah
perdarahan yang memerlukan pemasangan tampon pada seriks dan
vagina. Akibat jangka panjang ialah kemungkinan timbulnya inkompeten
serviks.
c. Perlekatan pada kavum uteri
Melakukan kerokan secara sempurna memerlukan pengalaman.
Sisa-sisa hasil konsepsi harus dikeluarkan, tetapi jaringan myometrium
jangan sampai terkerok, karena hal itu dapat mengakibatkan terjadinya
perlekatan dinding kavum uteri di beberapa tempat. Sebaiknya kerokan

22

dihentikan pada suatu tempat apabila pada suatu tempat tersebut


dirasakan bahwa jaringan tidak begitu lembut lagi.
d. Perdarahan
Kerokan pada kehamilan yang sudah agak tua atau pada mola
hidatidosa terdapat bahaya perdarahan. Oleh sebab itu, jika perlu
hendaknya dilakukan transfuse arah dan sesudah itu, dimasukkan
tampon kasa ke dalam uterus dan vagina.
e. Infeksi
Apabila syarat sepsis dan antisepsis tidak diindahkan, maka
bahaya infeksi sangat besar. Infeksi kandungan yang terjadi dapat
menyebar ke seluruh peredaran darah, sehingga menyebabkan kematian.
Bahaya lain yang ditimbulkan antara lain infeksi pada saluran telur.
Akibatnya, sangat mungkin tidak bisa terjadi kehamilan lagi (Sulaiman S,
dkk. 2005)
f. Sepsis
Sepsis merupakan sindroma klinis yang dapat mengarahkan ke
proses infeksi

berat

yang ditandai

dengan

adanya

peningkatan

permeabilitas vaskuler dan akumulasi leukosit ke jaringan. Kondisi sepsis


merupakan SIRS (Systemic Inflamantory Response Syndrome) yang
disertai dengan adanya fokus infeksi. Sepsis dinyatakan berdasarkan
setidaknya lebih dari 2 kriteria berikut; adanya leukositosis (>10.000/mm3)
atau leukopenia (<4000/mm3), suhu >38o c atau < 36oc, Respiratory
rate>20 x/menit atau PaCO2<32 mmHg (Neviere R., 2015).
4.12

Prognosis
Prognosis keberhasilan kehamilan tergantung dari etiologi abortus

spontan sebelumnya:
1) Perbaikan endokrin yang abnormal pada wanita dengan abortus yang
rekuren mempunyai prognosis yang baik sekitar >90%.
2) Pada

wanita

dengan

etiologi

abortus

yang

tidak

diketahui,

kemungkinan keberhasilan kehamilan yang berikutnya sekitar 40-80%.


3) Sekitar 77% angka kelahiran hidup setelah pemeriksaan aktivitas
jantung janin pada kehamilan 5-6 minggu pada wanitta dengan riwayat
2 atau lebih abortus spontan yang tidak jelas.

23

BAB 5
PEMBAHASAN
1.

Bagaimana penegakan diagnosis pada pasien ini?


Penegakan diagnosis suatu penyakit dapat dilakukan dengan
anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
24

Pada anamnesa didapatkan pasien seorang wanita berusia 23


tahun (tergolong usia reproduktif), sudah menikah selama 5 tahun,
riwayat persalinan 1 kali (6,5 bulan yang lalu). Pertama kali menstruasi
(menarche) pada usia 14 tahun dengan siklus haid pasien teratur yaitu 28
hari dan lama haid 7 hari. HPHT 11 Mei 2015. Pasien datang RSUD
Dr.Saiful Anwar Malang pada tanggal 3 Agustus 2015 pukul 14.45 dengan
keluhan utama perdarahan dari jalan lahir. Perdarahan disertai rasa nyeri
perut bagian bawah terus-menerus serta keluarnya gumpalan darah dari
jalan lahir.
Menurut WHO, setiap wanita pada usia reproduktif yang
mengalami dua dari tiga gejala seperti; (i) perdarahan pada vagina, (ii)
nyeri pada abdomen bawah, (iii) riwayat amenorea, harus dipikirkan
kemungkinan terjadinya abortus. Dari hasil anamnesa pada pasien,
didapatkan dua dari gejala tersebut. Oleh karena itu, kemungkinan
terjadinya abortus harus dipikirkan.
Pemeriksaan fisik pasien didapatkan hasil yaitu, inspeksi vulva
dengan perdarahan pervaginam minimal. Dari hasil inspekulo, didapatkan
terbukanya ostium selebar 1 jari dan terihatnya jaringan sisa keluar dari
ostium. Dari hasil vaginal toucher didapatkan, terbukanya ostium selebar
1 jari, teraba adanya jaringan sisa, tidak nyeri saat porsio digoyang, tidak
nyeri pada peraban adneksa, kavum douglasi tidak menonjol dan tidak
nyeri.
Pada

pemeriksaaan

penunjang

dilakukan

pemeriksaan

laboratorium berupa darah lengkap dan urinalisis. Pada pemeriksaan


darah lengkap ditemukan terjadi peningkatan kadar leukosit. Pada
pemeriksaan urinalisis, didapatkan bahwa tes kehamilan (+). Untuk
memastikan kembali apakah konsepsus sudah bersih atau tidak, maka
dapat dilakukan pemeriksaan USG.
Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang diatas maka didapatkan diagnosis pasien tersebut sebagai
abortus inkomplit karena sebagian dari hasil konsepsi telah lahir, tetapi
sebagian tertinggal (biasanya jaringan plasenta). Perdarahan biasanya
terus berlangsung, banyak, dan membahayakan ibu. Sering serviks tetap
terbuka karena masih ada benda di dalam rahim yang dianggap sebagai
25

benda asing (corpus alienum). Oleh karena itu, uterus akan berusaha
mengeluarkannya

dengan

mengadakan

kontraksi

sehingga

ibu

merasakan nyeri.
2. Apa saja yang dapat menyebabkan abortus inkomplit pada pasien
ini?
Penyebab terjadinya abortus inkomplit pada pasien ini belum
dapat dipastikan. Dimungkinkan bisa terjadi karena faktor koitus. Menurut
Hanifa 2005, aborsi stelah koitus biasanya terjadi perdarahan kurang dari
24 jam setelah hubungan seksual. Perdarahan diperkirakan tercetus
dengan adanya prostaglandin pada sperma.

Mekanisme yang terjadi

seperti pada kejadian alergi. Prostaglandin adalah jenis antihistamin yang


dirilis oleh degranulated sel mast, sehingga substrat ini menjadi
hematogen. Prostaglandin akan melekat pada jaringan tubuh dalam hal
ini adalah miometrium uterus untuk membentuk kompleks ligand reseptor
yang bertindak sebagai pemicu untuk proses kaskade intrasel yang
menyebabkan kontraksi pada rahim, sehingga membantu proses
pengeluaran janin dalam rahim.
Penyebab lain abortus inkompit yang paling banyak yaitu faktor
genetik. Selain itu juga bisa disebabkan oleh kelainan kongenital uterus,
penyebab infeksi, faktor hematologik, faktor lingkungan, dan faktor
hormonal (Sarwono, 2007).

3. Bagaimana manajemen dan penatalaksanaan diagnosis pada pasien


ini?
Pada kasus ini, keadaan umum pasien stabil. Pasien diberikan
antibiotik dan analgesik sebelum dilakukan kuretase.
Mengingat komplikasi tindakan ini cukup banyak, maka perlu
dilakukan dengan prosedur yang benar dan hati-hati untuk mengurangi
resiko tersebut seminimal mungkin. Adapun penanganan kasus ini adalah
dengan:
1. Pro kuretase
2. Inj. Gentamycin 80 mg IV sebelum kuretase
3. Kaltrofen supp II sebelum kuretase
26

Untuk KIE terhadap tindakan ini, kepada pasien perlu dijelaskan


tentang kondisi pasien seperti berikut ini:
Pasien mengalami abortus inkomplit, dimana janin tidak bisa
diselamatkan karena sebagian sudah keluar. Pasien diberitahu bahwa
terdapat sisa janin di dalam uterus dan harus dikeluarkan denga prosedur
kuretase. Jika janin tidak dikeluarkan, pasien terancam jatuh ke keadaan
syok karena perdarahan yang tidak berhenti atau bahkan bisa terjadi
infeksi. Pasien dianjurkan untuk bed rest dan kontrol lagi setelah
kuretase.
Dari penjelasan di atas, pada kasus ini terapi yang tepat adalah
kuretase karena fasilitas dan sumber daya manusia memadai serta
menjamin sisa janin terekspulsi secara sempurna.
4. Bagaimana prognosis pasien ini?
Prognosis pada pasien ini adalah mengarah ke baik, dubia ad
bonam karena pasien ini mengalami abortus inkomplitus dan tidak
didapatkan tanda-tanda syok atau infeksi serta tanda-tanda gawat
lainnya.
Namun, pada pasien ini tetap harus diwaspadai kemungkinan
terjadinya infeksi atau tanda-tanda perburukan. Oleh karena itu, KIE yang
baik pada pasien dan keluarga sangat diperlukan untuk mengenali tanda
perburukan dan monitoring pasien.
BAB 6
KESIMPULAN
6.1 Kesimpulan
Kasus Ny. S, usia 23 tahun, datang dengan keluhan utama keluar darah
dari jalan lahir. Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang mengarahkan pada suatu diagnosis Abortus Inkomplit. Pasien
mengalami abortus untuk pertama kalinya dan faktor etiologi pada pasien ini
harus digali dengan lebih dalam. Pada pasien ini dilakukan prosedur kuretase
untuk mengeluarkan sisa janin dan plasenta yang masih ada di dalam uterus.
6.2

Saran
27

Diperlukan ketepatan dan ketelitian dalam melakukan anamnesa dan


pemeriksaan

fisik,

terutama

dalam

mendiagnosis

perdarahan

pervaginam saat kehamilan, mengingat banyaknya diagnosis banding


dari keluhan tersebut.

Diperlukan penanganan yang cepat dan tepat agar penyakit yang


dialami pasien tidak bertambah berat serta tidak mengarah kepada
komplikasi-komplikasi dari penyakit tersebut.

Diperlukan KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) yang baik pada


pasien dan keluarga untuk mengoptimalkan kesejahteraan pasien,
baik sebelum, selama, maupun setelah pengobatan.

Perlu kajian lebih dalam terkait penatalaksanaan yang paling tepat


pada kondisi yang berbeda di setiap langkah diagnosa, terapi, dan
monitoring untuk lebih meningkatkan pelayanan terhadap setiap
pasien.

DAFTAR PUSTAKA

Cunningham, MacDonal Gant. 1995, Obstetri Williams, Edisi 18. Buku


Kedokteran EGC. Jakartarwin Elisaberth C, 2002, Buku Satu Phatofisiologi
Penyakit. EGC. Jakarta.
Hanifa. 2005. IlmuKandungan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.
Manuaba I.B.G, 2007, Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan Keluarga
Berencana, Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

28

Neviere, M. Sepsis and the systemic inflammatory response syndrome:


Definitions, epidemiology, and prognosis. Uptodate [Online on the internet ].
2015 Jun 19; [ cited 2015 August 4]; [about 1 screen]. Available
from

:http://www.uptodate.com/contents/sepsis-and-the-systemic-

inflammatory-response-syndrome-definitions-epidemiology-and-prognosis
Sarwono P. Perdarahan pada Kehamilan Muda. Ilmu Kebidanan Edisi 4.
Jakarta : Yayasan Bina Pustaka; 2010. P. 473.
Sulaiman S, dkk. Kelainan Lama Kehamilan, Obstetri Patologi. Jakarta:
Penerbit EGC; 2005. P.1-9
Syaifuddin A.B, 2002, Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan
Maternal Dan Neonatal, Edisi I. Cetakan I. YBP-SP. Jakarta.
Trinder, P Brocklehurst, R Porter, M Read, S Vyas, L Smith, 2006.
Management of miscarriage: expectant, medical, or surgical? Results of
randomised controlled trial (miscarriage treatment (MIST) trial)
Wiknjosastro,

Hanifa.2007.Ilmu

Kebidanan,

Sarwono Prawiroharjo, Jakarta.

29

Yayasan

Bina

Pustaka

Anda mungkin juga menyukai