Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Suku Using merupakan komunitas etnis yang berada di
daerah Banyuwangi dan merupakan bagian dari sub-etnis
jawa sabrang wetan sehingga memiliki kesamaan pada
bagian-bagian tertentu dari rumah jawa. Sebagai komunitas,
masyarakat

Using

juga

memiliki

identitas

yang

membedakannya dengan lain, di antaranya adalah dialektika,


adat budaya, dan rumah adatnya. Desa Kemiren adalah satusatunya desa yang mampu mempertahankan tradisi.
Desa Kemiren mempunyai luas wilayah 177,052 Ha
dengan ketinggian wilayah 144 m dpl dan mempunyai
permukaan
warganya

yang
adalah

bergelombang
bertani.

dan

Secara

sebagian

administratif

besar
masuk

kecamatan Glagah kabupaten Banyuwangi. Pembagian fungsi


secara melintang timur-barat ditunjukkan pada gambar 2
yang mana sisi tengah konturnya paling tinggi, masyarakat
menempatkan

sebagai

zona

sakral

dan

publik

dengan

terdapat masjid dan kantor, sedang sisi kanan kirinya berupa


permukiman dengan kontur cukup landai.
Permukiman merupakan bagian dari lingkungan hidup
di luar kawasan lindung baik berupa kawasan perkotaan,
maupun pedesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat
tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang
mendukung perikehidupan dan penghidupan (UURI no 4
tahun 1992). Menurut Siswono Y. (1991), arsitektur rumah
tradisional

adalah

bagian

dari

permukiman

merupakan

ungkapan bentuk rumah karya manusia berasal dari salah

satu unsur kebudayaaan yang tumbuh dan berkembang


bersamaan

dengan

pertumbuhan

dan

perkembangan

kebudayaan suatu masyarakat, suku atau bangsa yang unsurunsur dasarnya tetap bertahan dalam waktu yang lama dan
tetap sesuai dengan perkembangan dan pertumbuhan suatu
masyarakat, suku atau bangsa yang bersangkutan. Hal inilah
sebagai alasan bahwa sisi tradisional merupakan identitas
pendukung kebudayaan.
Arsitektur

pada

rumah

tradisional

juga

sangat

mengutamakan proses pembentukan yang mana sasarannya


lebih

menekankan

pada

proses

terbentuknya

yang

berdasarkan ritual agama dan kepercayaan. Wujud fisik


berupa

bentukan

membedakan

dalam

dengan

skala

sekunder.

arsitektur

Hal

barat

ini

yang

yang

sasaran

perencanaanya lebih ditekankan pada produk berupa wujud


fisik

denga

penalaran

fungsi,

konstruksi

dan

estetika

(Rapoport, 1969). Bentukan rumah bukan hasil dari faktor


fisik, tetapi merupakan faktor sosial budaya yang mana
memiliki makna utama dan jauh dari sekedar pelindung.
Konsep pembentukan rumah tradisional berkaitan dengan
aspek kosmologis yang mana rumah adalah miniatur dari
semesta.
Nilai-nilai tradisional tidak selamanya mampu bertahan
oleh

gesekan

jaman.

Menurut

Kartono

(1999),

proses

akulturasi budaya modern-tradisional mampu mewujudkan


tatanan budaya dan makna baru :
1. Bentuk tetap dengan makna tetap
Bentukan

arsitekturalnya

tetap

mengadopsi

bentukan lama meskipun dengan perubahan material dan


makna lama. Ini dimungkinkan pada masyarakat yang

masih

homogen,

kuat

strukutr

sosialnya

dan masih

berpegang pada nilai norma sehingga nilai-nilai lokal


masih dominan
2. Bentuk tetap dengan makna baru
Bentukan
bentukan

arsitekturalnya

lama

tetapi

diberi

tetap
makna

mengadopsi
baru

sehingga

mengalami transisi akibat pengadopsian nilai-niai budaya


asing. Mereka masih enggan meninggalkan budaya masa
lalu, kalaupun terpaksa maka membutuhkan waktu yang
cukup lama.
3. Bentukan baru dengan makna tetap
Penampilan

bentuk

arsitekturnya

menghadirkan

bentuk baru dalam arti unsur-unsur lama yang diperbarui


jadi tidak lepas sama sekali karena interpretasi baru
bentuk lama tetapi diberi makna lama untuk menghindari
kejutan budaya. Ini terjadi pada masyarakat transisi yang
mana proses akulturasi masih disadari
4. Bentuk baru dengan makna baru
Penampilan bentuknya menghadirkan bentuk baru
dan makna baru karena terjadi perubahan paradigma
arsitektur secara total dalam akulturasi, kebudayaan lama
ditinggalkan, kalaupun dipakai hanya sebagai tempelan
Salah satu faktor adanya perubahan awal adalah
masuknya

islam

yang

menggeser

kepercayaan

lama

(animisme dan hindu ciwa) namun tidak merubah konsep


awal sehingga bentukan tetap dengan makna baru, hal ini
dibuktikan dengan bentukan rumah yang tetap seperti masa
kerajaan dahulu sedangkan budaya berkembang dengan
sinkretisme islam-hindu. Di era modern ini perubahan kembali
terjadi karena masuknya teknologi sehingga kecenderungan

muncul bentukan baru dengan makna baru yang mana mulai


menghilangkan citra kawasan sebagai kawasan tradisional.
Berdasarkan penelitian sebelumnya (2002 & 2008) sudah ada
bentuk pelestarian dengan mengetahui karakteristik Using di
desa Kemiren baik dalam fisik maupun nonfisik. Permasalahan
yang diangkat dari eksisting yang masih ada akan dicari nilainilai lokal khususnya penggunaan ruang rumah dalam aspek
sosial, budaya dan agama apakah masih sesuai dengan
kondisi asal ataukah sudah mengalami perubahan konsep.
B. Perumusan Masalah
Permasalahan dalam makalah ini adalah bagaimanakah
nilai guna ruang rumah tinggal suku using banyuwangi dalam
kegiatan sosial, budaya dan agama?
C. Tujuan Pembahasan
Tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan makalah
ini adalah untuk mengetahui nilai guna ruang rumah tinggal
suku using banyuwangi dalam kegiatan sosial, budaya dan
agama.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Aspek Sejarah
Using merupakan keturunan raja Blambangan sekitar
abad 18-20, dengan diwarnai sejarah yang kelam.
1. Kerajaan Blambangan didirikan oleh Raja Wiraraja dari
Majapahit.

Setelah

Majapahit

runtuh,

kerajaan

Blambangan menjadi perebutan kerajaan di Bali, Pasuruan


dan

Mataram

Islam,

bahkan

VOC.

Desakan

itu

menyebabkan resistensi terhadap luar Blambangan atau


disebut

Osing/Using

yang

berarti

tidak

berpihak.

Resistensi ini membentuk konsep permukiman.


2. Tahun 1965, pasca pemberontakan PKI, penduduk banyak
yang menjadi korban. Sebagai catatan, lagu genjer-genjer
diciptakan oleh warga Banyuwangi
3. Tahun 1998, tersiar isu ilmu hitam sehingga banyak
warga yang ahli kesaktian menjadi sasaran pembunuhan.
Bukti fisik sejarah desa Kemiren adalah pohon durian
merah yang masih tersisa dari pembabatan hutan dan jalan
utama

desa

yang

merupakan

acuan

permukiman

masyarakat yang berkembang secara linier mengikuti jalan


tersebut.

B. Aspek Demografs
Menurut Aliyah dalam Nur (2009) menyatakan bahwa
permukiman terbentuk
besar

penduduk

di

dari

kesamaan profesi. Sebagian

Kemiren

adalah

berprofesi

bidang

kesenian seperti gandrung, barong, angklung, gedogan,


kuntulan, jaran kecak, mocoan lontar dan bordah. Namun
selain

bidang

kesenian

juga

dalam

bidang

pertanian.

Masyarakat

yang

memberikan

masih

kesuburan

percaya
padi

pada

yang

Dewi

ditanam

Sri

yang

diwujudkan

dengan selamatan menanam padi. Pada tahun 1998 jumlah


penduduknya berjumlah 2663 jiwa dengan didominasi oleh
laki-laki (53%) dan pertumbuhan penduduk 0,3% pertahun.
Angka

natalitas

yang

semakin

meningkat

akan

mempengaruhi pertumbuhan permukiman.

C. Aspek Arsitektural
Perkembangan

penduduk

yang

timbul

dari

sifat

tertutup dan saling curiga akibat sejarah yang kelam dan


budayanya tidak ingin dicampuri menyebabkan bentukan
rumah yang tertutup, meskipun sekarang sudah
tergerser

modernisasi.

menyebabkan

ruang

Kondisi

dalam

yang

gelap

mulai

tertutup

ditambah

tidak

ini
ada

jendela. Konsep ini sedikit berbeda dengan daerah lain


seperti di Sasak, Lombok yang menyatakan bahwa ketika
memasuki rumah akan seperti kembali dalam rahim ibu,
meskipun keduanya sama kondisi gelap. Selain itu masih
menganggap

dengan

nilai

kosmologis

bahwa

rumah

merupakan pusat semesta.


Proses pendirian rumah Using tidak menuntut upacara
dan ritual yang rumit seperti halnya didaerah Jawa lainnya.
Cukup dengan mengadzani dan bersembahyang dirumah
ketika

pertama

kali

didirikan,

kemudian

mengadakan

selamatan. Pendirian rumah Using ditentukan dengan melihat


arah hadap rumah dan hari kematian orang tua. Orientasi ke
Utara untuk hari Kamis, Timur untuk hari Selasa, Selatan
untuk hari Rabu, dan Barat untuk hari Senin atau Minggu.
Bilamana di salah memasuki rumah, bagian depan rumah
yaitu bale (bersifat publik, profan dan cahaya cukup terang).

Pada bagian lebih dalam yaitu jrumah atau inti rumah, bagian
ini hanya bisa diakses oleh penghuni dan kerabat karena
sifatnya privat atau orang lain dengan seizin pemilik. Ruang
ini gelap tanpa ada pencahayaan alami. Selanjutnya adalah
pawon atau dapur dengan sifat ruang servis/semiprivat,
cahaya bisa masuk pada pintu belakang sehingga cukup
terang. Dapur juga sering dipakai untuk persiapan acara
selamatan penduduk. Jika pemilik cukup kaya, ada ruang
transisi antara jrumah dan pawon yaitu pendopo yang
fungsinya

seperti

ruang

keluarga.

Ruang

dalam

juga

menganut prinsip dualitas dan sentralitas. Disebut dualitas


karena adanya keterpasangan yang saling berlawanan seperti
yang diungkapkan oleh Levi-Strauss dalam Waterson (1997)
yaitu zona laki-laki-perempuan, adanya zona sakral-profan,
gelap-terang dan kesimetrisan (kanan-kiri) bangunan. Tidak
adanya pintu di samping menyebabkan konsep linear (Closed
Ended Plan) semakin kuat. Transisi pada setiap ruang
diwujudkan dalam pembatas gebyok atau panel knock-down
yang berukir di setiap dinding tengah.
Selain inti rumah yang terdiri atas bale, jrumah dan
pawon, bagian luar rumah terdiri atas halaman depan, amper,
ampok dan halaman samping. Kebutuhan akan bagian luar
rumah ini bersifat sekunder-tersier. Amper atau ampiran
berfungsi menerima tamu untuk mampir meskipun sebatas
untuk tetangga, wujudnya adalah teras rumah. Ada sedikit hal
yang berlawanan bahwa selain sifat tertutup, juga memiliki
sifat

terbuka

exclusion

yang

process.

dalam
Rapoport

pembentukan
(1977)

ruang

menyatakan

disebut
bahwa

proses ini menyebabkan adanya batasdan menekankan


pada identitas sosial sehingga membagi kota menjadi 2
kelompok, yaitu kelompok masyarakat yang mempunyai

kesamaan sifat (homogeneity) dan kelompok masyarakat


yang mempunyai perbedaan sifat (diversity). Smith (1990:1)
juga berpendapat bahwa keinginan untuk berkelompok,
membuat terjadinya teritori yang dikontrol oleh kelompok
tersebut. Jadi exclusion process ini adalah suatu proses yang
berawal dari dalam individu yang memiliki kesamaan karakter
dengan individu yang lain dan membatasi individu yang
berbeda karakter untuk berinteraksi sehingga dalam kasus ini
ada proses privatisasi.
Ampok merupakan ruang tambahan yang terdapat di
samping kanan-kiri/serambi rumah berfungsi sebagai ruang
transisi dari luar dan dalam rumah. Ada hal yang menarik
sebagai ciri rumah tradisional yaitu lumbung atau tempat
untuk menanam padi. Meskipun dalam proses pembentukan
permukiman,

kebanyakan

penduduk

memiliki

kesamaan

dalam hal kesenian, juga ada sisi agraris sebagai petani.


Lumbung diletakkan pada bagian depan rumah atau terpisah
yang menyebabkan banyak tejadi pencurian padi, sehingga
pada saat ini letak lumbung padi dimasukkan ke dalam rumah
yang pada umumnya diletakkan di dalam pawon.
Perubahan pola ruang terjadi setelah kemerdekaan,
pada masa sebelumnya adalah kebalikan dengan arah
orientasi membelakangi jalan dan menghadap sawah dan
ladang. Pawon berada di bagian depan dengan tujuan
menyamarkan

bale

sebagai

ruang

pertemuan,

dengan

dinding depan dilengkapi dengan roji yang berguna untuk


mengintip situasi di luar rumah. Perubahan pola ruang di
dalam rumah tidak berpengaruh terhadap pola permukiman
secara fisik tetapi berpengaruh terhadap pola pergerakan
masyarakat di dalam permukiman masyarakat.
Rumah Using yang dibangun pada masa lalu memiliki

orientasi kosmologis, yaitu Utara- Selatan. Yang dipengaruhi


oleh

kepercayaan

terdahulu,dimana

rumah

tidak

boleh

menghadap gunung (orientasi terhadap kaidah agama) selain


itu juga harus menghadap jalan. Dalam tradisi agama Hindu
juga hampir sama yaitu gunung atau tempat lebih tinggi
dipakai sebagai arah orientasi pembentukan permukiman
berdasarkan arah Nawa Sanga. Hal ini cukup beralasan bahwa
dahulunya warga memeluk animisme dan Hindu yang dapat
diartikan bentukan baru tetapi makna tetap.
D. Peran

Ruang

Rumah

dalam

Kegiatan

Ritual

Keagamaan, Sosial dan Budaya


Arsitektur bukan hanya merupakan sebuah bangunan
tunggal tetapi melingkupi tempat hubungan sosial, alam dan
dengan Tuhan. Dalam hubungan antara manusia dengan
lingkungannya terdapat proses pencarian keseimbangan. Hal
inilah yang menyebabkan proses perubahan ruang dan
dipelajari dalam Psychology and Environment oleh LevyLeboyer (1982:143) dalam materi perkuliahan Wulandari
(2009).
Faktor

penyebab

terjadinya

perubahan

ruang,

diantaranya adalah:
1. Karakter individu dalam ruang
2. Karakter masyarakat penghuni ruang
3. Faktor teknologi yang terkait langsung dengan bentukan
arsitektural
Proses perubahan ruang merupakan suatu hirarki yang
mana dimulai dari individu yang kecil sampai pada suatu
kelompok yang besar dalam masyarakat. Proses perubahan
ruang

terjadi

pada

kegiatan

di

masyarakat

menggunakan bagian dari rumah mereka.

khususnya

Kegiatan ritual budaya berkaitan dengan daur hidup


yaitu

selamatan

kehamilan,kelahiran,

khitanan/ngoloni,

perkawinan, dan kematian. Pola pergerakan dan ruang yang


digunakan dalam kegiatan selamatan daur hidup adalah
sebagai berikut:
1. Selamatan kehamilan terdiri dari tiga tahapan, yaitu
Nyelameti Telu, Tingkeban, dan Nyelameti Procot. Ruang
yang digunakan adalah ruang mikro, yaitu di dalam
rumah. Selamatan kelahiran terdiri dari empat tahapan,
yaitu Sepasar, Selapan, Nyukit Lemah dan Mudun Lemah.
2. Khitanan pada masyarakat Using disebut sebagai ngoloni.
Setelah arak arakan, proses selanjutnya dilaksanakan di
dalam dan dipekarangan rumah sehingga bersifat meso.
3. Masyarakat Using di Desa Kemiren mengenal beberapa
bentuk perkawinan, yaitu perkawinan nyolong, perkawinan
ngleboni,

dan

perkawinan

angkat-angkatan.

Upacara

perkawinan pada masyarakat Using terjadi 2 kali, yaitu


upacara perkawinan dan upacara surup. Pada upacara
perkawinan dilaksanakan di rumah mempelai wanita dan
ruang publik bertempat di halaman rumah.
4. Upacara kematian tidak jauh berbeda dengan tradisi
dalam agama islam yang dianut oleh masyarakat. Setelah
orang yang meninggal dimakamkan, kerabat dan warga
desa

mengadakan

tahlilan

dan

selamatan

untuk

mendoakan roh-roh yang meninggal yang kegiatannya


dilaksanakan di dalam rumah.
Kegiatan

budaya

yang

terkait

dengan

selamatan

sebagian besar melibatkan masyarakat skala makro dengan


banyak menggunakan ruang luar sebagai tempat ritual (ruang
publik) namun pada tahapannya masih menggunakan bagian
ruang rumah, selamatan tersebut antara lain adalah :

10

1. Selamatan ider bumi, di adakan setiap satu tahun 1 kali


yang dilaksanakan pada hari ke-2 Syawal atau hari kedua
pada saat Idul Fitri. Selamatan Barong Iderbumi bertujuan
supaya masyarakat Desa Kemiren terhindar dari segala
malapetaka. Selamatan Barong Iderbumi diikuti oleh
seluruh masyarakat tanpa terkecuali. Proses kegiatan
selamatan

Iderbumi

terdiri

dari

tahap,

yaitu

mempersiapkan tumpeng pecel pitik di pawon, berkumpul


di rumah barong, arak-arakan, dan makan bersama. Ruang
rumah digunakan hanya tahap awal yaitu berada di pawon
untuk menyiapkan makan dengan melibatkan anggota
keluarga.
2. Selamatan tumpeng sewu, juga dikenal sebagai selamatan
Bersih Desa. Selamatan Tumpeng Sewu atau Bersih Desa
dilaksanakan pada hari senin atau hari jumat pada minggu
pertama bulan Haji. Masyarakat menggelar selamatan
Bersih Desa dengan cara makan bersama seribu nasi
tumpeng (tumpeng sewu) dengan menu pecel pitik. Ruang
yang dipakai adalah jalan dan halaman yang dianggap
sakral sedangkan bagian rumah tidak dipakai.
Kegiatan religi terkait dengan ruang di luar rumah yaitu
masjid. Mayoritas penduduk desa Kemiren adalah muslim dan
hanya terdapat satu buah masjid, sehingga ruang yang
digunakan hanya berpusat pada masjid. Kegiatan religi yang
dilakukan cukup banyak, namun terdapat beberapa kegiatan
yang selalu dilakukan dan dirayakan secara meriah yang di
antaranya adalah acara Suroan, Isra Miraj, Nuzulul Quran,
Muludan, Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul Adha.
Kegiatan religi tersebut merupakan acara yang melibatkan
seluruh umat Islam yang ada di Desa Kemiren.
Dari berbagai kegiatan di atas, peran rumah sangat

11

penting pada prosesi kelahiran yang melibatkan ruang mikro


dalam rumah dan ruang meso yaitu pekarangan. Untuk acara
yang lainnya banyak melibatkan halaman luar rumah, jalan
dan masjid. Seiring berjalannya waktu, banyak tradisi yang
hanya diikuti oleh orang tua karena kaum muda sudah kurang
ada minat, namun beberapa telah diajarkan pada kaum muda
agar rantai tradisi tidak terputus.

12

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan
bahwa rumah
nilai-nilai

dalam

yang

permukiman

penting,

tradisional

mengandung

memiliki

sisi kosmologis

semesta dan kegiatan-kegiatan ritual budaya dan agama


yang

berpengaruh

dalam kehidupan

sosial.

Hal

inilah

dapat disebutkan bahwa rumah itu hidup (living) seperti


disebutkan Waterson.

Desa Kemiren yang kental terhadap

budaya Using memiliki identitas tersendiri terhadap rumah.


Berkaitan
bale,

dengan

jrumah

terhadap

dan

pembagian
pawon

penggunaan

prosesi

hierarki

juga memberikan

ritual

kelahiran, sedangkan

menggunakan

ruangnya

daur

hidup

berupa

kontribusi
khususnya

ritual lainnya banyak

ruang luar. Konsepsi rumah

yang awalnya

tertutup akhirnya juga bergeser semakin terbuka, selain


adanya pengaruh islam masuk juga karena teknologi.
B. Saran
Adat istiadat yang masih berlaku di Desa Kemiren
Banyuwangi
generasi

patut

muda.

dilestarikan

dan

diwariskan

kepada

generasi

muda

Kekurangtertarikan

disebabkan kurangnya para orang tua dalam mengenalkan


dan memberikan pengetahuan tentang adat istiadat yang
berlaku di desa tersebut.
Dengan demikian, peran para tokoh masyarakat dan
tokoh pemuda dalam melestarikan budaya bangsa sangat
besar. Tanpa peran tokoh masyarakat dan tokoh pemuda,
pelesatarian budaya hanya sebatas wacana.

13

11

14

DAFTAR PUSTAKA
Arystianto, Deny P. (2008). Simbol Arsitektur Bangunan
Tradisional Using dan Bangunan Publik Kawasan Wisata
Bahari Pantai Watudodol Banyuwangi. Skripsi Jurusan
Arsitektur Universitas Brawijaya
Nur, Tri Kurnia H.M. (2009). Pelestarian Pola Permukiman
Masyarakat
Using
di
Desa Kemiren Kabupaten
Banyuwangi. Arsitektur E-Journal, Volume 2 Nomor 3
Suprijanto, Iwan, (2002), Rumah Tradional Using: Konsep
Ruang
Dan
Bentuk, Jurnal Dimensi Teknik Arsitektur
Vol. 30 No 1, Juli 2002, Surabaya

15

Anda mungkin juga menyukai