Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH

Disusun oleh:
1.
2.
3.
4.

Shoffi Khoirina Miftahurrohma


Firlita Nurul Kharisma
Inas Zubaidah Sahar
Ina Royani

(A420120005)
(A420120008)
(A420120029)
(A420120038)

FAKULTAS KEGURUAAN DAN ILMU PENDIDIKAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI
2013

KATA PENGANTAR

Dengan mengucap puji syukur kehadirat Allah SWT, berkat segala limpahan
rahmat, hidayah serta karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah ini hingga selesai.
Pada kesempatan ini sudah sepantasnya penulis menyampaikan ucapan terima
kasih yang tak terhingga kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam penyusunan
makalah ini, baik berupa materi maupun jasa.
Semoga Allah SWT memberikan balasan yang setimpal dengan alam kebaikan
kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan makalah ini. Penulis berharap
semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Penyusun

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sekolah adalah salah satu dari Tripusat pendidikan yang dituntut untuk mampu
menjadikan output yang unggul, mengutip pendapat Gorton tentang sekolah ia
mengemukakan, bahwa sekolah adalah suatu sistem organisasi, di mana terdapat sejumlah
orang yang bekerja sama dalam rangka mencapai tujuan sekolah yang dikenal sebagai
tujuan instruksional.
Desain organisasi sekolah adalah di dalamnya terdapat tim administrasi sekolah
yang terdiri dari sekelompok orang yang bekerja sama dalam rangka mencapai tujuan
oranisasi.
MBS terlahir dengan beberapa nama yang berbeda, yaitu tata kelola berbasis
sekolah

(school-based

governance),

manajemen

mandiri

sekolah

(school

self-

manegement), dan bahkan juga dikenal dengan school site management atau manajemen
yang bermarkas di sekolah.
Istilah-istilah tersebut memang mempunyai pengertian dengan penekanan yang
sedikit berbeda. Namun, nama-nama tersebut memiliki roh yang sama, yakni sekolah
diharapkan dapat menjadi lebih otonom dalam pelaksanaan manajemen sekolahnya,
khususnya dalam penggunakaan 3M-nya, yakni man, money, dan material.
Penyerahan otonomi dalam pengelolaan sekolah ini diberikan tidak lain dan tidak
bukan adalah dalam rangka peningkatan mutu pendidikan. Oleh karena itu, maka
Direktorat Pembinaan SMP menamakan MBS sebagai Manajemen Peningkatan Mutu
Berbasis Sekolah (MPMBS). Tujuan utama adalah untuk mengembangkan rosedur
kebijakan sekolah, memecahkan masalah-masalah umum, memanfaatkan semua potensi
individu yang tergabung dalam tim tersebut. Sehingga sekolah selain dapat mencetak

orang yang cerdas serta emosional tinggi, juga dapat mempersiapkan tenaga-tenaga
pembangunan. Oleh karena itu perlu diketahui pandangan filosofis tentang hakekat sekolah
dan masyarakat dalam kehidupan kita. sekolah adalah bagian yang integral dari
masyarakat, ia bukan merupakan lembaga yang terpisah dari masyarakat, hak hidup dan
kelangsungan hidup sekolah bergantung pada masyarakat, sekolah adlah lembaga sosial
yang berfungsi untuk melayani anggota2 masyarakat dalam bidang pendidikan, kemajuan
sekolah dan masyarkat saling berkolerasi, keduanya saling membutuhkan, Masyarakat
adalah pemilik sekolah, sekolah ada karena masyarakat memerlukannya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian MBS ?
2. Bagaimana sejarah munculnya MBS ?
3. Apa saja alasan diterapkannya MBS ?
4. Apa saja tujuan MBS?
5. Apa saja syarat penerapan MBS ?
6. Apa saja hambatan dalam penerapan MBS?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian MBS.
2. Untuk mengetahui sejarah munculnya MBS.
3. Untuk mengetahui alasan diterapkannya MBS.
4. Untuk mengetahui tujuan MBS.
5. Untuk mengetahui syarat penerapan MBS.
6. Untuk mengetahui hambatan dalam penerapan MBS.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)


Istilah manajemen berbasis sekolah merupakan terjemahan dari school-based
management. MBS merupakan paradigma baru pendidikan, yang memberikan otonomi
luas pada tingkat sekolah ( pelibatan masyarakat ) dalam kerangka kebijakan pendidikan
nasional. Menurut Edmond yang dikutip Suryosubroto merupakan alternatif baru dalam
pengelolaan pendidikan yang lebih menekankan kepada kemandirian dan kreatifitas
sekolah. Nurcholis mengatakan Manajemen berbasis sekolah (MBS) adalah bentuk
alternatif sekolah sebagai hasil dari desentralisasi pendidikan. Secara umum, manajemen
peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS) dapat diartikan sebagai model manajemen
yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dan mendorong pengambilan
keputusan partisipatif yang melibatkan secara langsung semua warga sekolah (guru, siswa,
kepala sekolah, karyawan, orang tua siswa, dan masyarakat) untuk meningkatkan mutu
sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional.
Dapat juga dikatakan bahwa manajemen berbasis sekolah (MBS) pada hakekatnya
adalah penyerasian sumberdaya yang dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan
melibatkan semua kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah secara langsung
dalam proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan peningkatan mutu
sekolah atau untuk mencapai tujuan pendidikan.
Pengertian MBS suatu konsep yang menempatkan kekuasaan pengambilan
keputusan yang berkaitan dengan pendidikan diletakkan pada tempat yang paling dekat
dengan proses belajar mengajar.
B. Sejarah Munculnya Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Secara factual, telah banyak usaha yang dilakukan untuk meningkatkan mutu
pendidikan di tingkat pendidikan dasar. Namun hasilnya kurang menggembirakan. Secara
garis besar factor-faktor penyebabnya adalah :

1.

Kebijakan penyelenggaraan pendidikan nasional yang berorientasi pada output

pendidikan terlalu memusatkan pada input, sehingga proses pendidikan kurang


diperhatikan.
2. Penyelenggaraan pendidikan dilakukan secara sentralistik. Hal ini menyebabkan
tingginya ketergantungan kepada putusan birokrasi. Oleh sebab itu sekolah menjadi tidak
mandiri, kurang inisiatif dan miskin kreatifitas, sehingga usaha untuk mengembangkan dan
meningkatkan mutu layanan pendidikan menjadi kurang termotifasi.
3. Peran serta masyarakat, terutama orang tua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan,
selama ini hanya terbatas pada dukungan dana, padahal mereka sangat penting dalam
proses-proses

pendidikan

seperti

pengambilan

keputusan,

monitoring,

evaluasi

akuntabilitas. Oleh sebab itu perlu di sentralisasi pendidikan sebagai factor pendorong
MBS ini.
Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan di Amerika Serikat, konsep Site Based
Management merupakan strategi penting untuk meningkatkan kualitas pembuatan
keputusan-keputusan pendidikan dalam anggaran pendidikan, sumberdaya pendidik,
kurikulum dan evaluasi pendidikan (penilaian). Demikian juga studi yang dilakukan di El
Salvador, Nepal dan Pakistan. Rata-rata informasi menunjukkan pemberian otonomi pada
sekolah telah meningkatkan motivasi dan kehadiran guru.
Sementara di Australia, School Based Management merupakan refleksi
pengelolaan desentralisasi pendidikan yang menempatkan sekolah sebagai lembaga yang
memiliki kewenangan untuk menetapkan kebijakan yang menyangkut visi, misi, dan
tujuan atau sasaran sekolah yang membawa implikasi terhadap pengembangan kurikulum
sekolah dan program-program operatif sekolah yang lain. MBS di Australia dibangun
dengan memperhatikan kebijakan dan panduan dari pemerintah negara bagian di satu
pihak, dan di pihak lain dari partisipasi masyarakat melalui school council dan parent and
community

association.

Perpaduan

keduanya

melahirkan

dokumen

penting

penyelenggaraan MBS yaity school policy yang memuat visi, misi, sasaran,
pengembangan kurikulum, dan prioritas program, school planning review serta school
annual planning quality assurance. Akuntabilitas dilakukan melalui external and internal
monitoring.
Dengan belajar keberhasilan di negara lain seiring dengan diberlakukannnya
Undang-undang Otonomi Daerah yaitu UU.No.22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah
dan Undang-undang N0.25 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, maka
semakin membuka peluang kebijakan pendidikan di Indonesia mengalami desentralisasi

pula yang salah satu bentuknya berupa Manajemen Berbasis Sekolah. Sejarah baru
pengelolaan pendidikan di Indonesia melalui MBS menjadikan pengelolaan pendidikan di
Indonesia berpola desentralisasi, otonomi, pengambilan keputusan secara partisipatif.
Pendekatan birokratik tidak ada lagi, yang ada adalah pendekatan profesional.
Dalam Pasal 11 UU No.25 Tahun 1999, kewenangan daerah kabupaten dan kota,
mencakup semua bidang pemerintahan termasuk di dalamnya pendidikan dan kebudayaan,
maka terdapat otonomi dalam upaya peningkatan mutu pendidikan, peningkatan efisiensi
pengelolaan pendidikan, peningkatan relevansi pendidikan yang mengarah kepada
pendidikan berbasis masyarakat, dan pemerataan pelayanan pendidikan yang berkeadilan.

C. Alasan Diterapkannya Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)


Ada beberapa alasan yang yang mendasari penerapan Manajemen Berbasis Sekolah
yaitu:
1. Dengan pemberian otonomi yang lebih besar kepada sekolah, maka sekolah akan lebih
inisiatif/kreatif dalam meningkatkan mutu sekolah.
2. Dengan pemberian fleksibilitas yang lebih besar kepada sekolah untuk mengelola
sumber dayanya, maka sekolah akan lebih luwes dan lincah dalam mengadakan dan
memanfaatkan sumber daya sekolah secara optimal untuk meningkatkan mutu sekolah.
3. Sekolah lebih mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman bagi dirinya
sehingga dia dapat mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya yang tersedia untuk
memajukan sekolahnya.
4. Sekolah lebih mengetahui kebutuhan lembaganya, khususnya input pendidikan yang
akan dikembangkan dan didayagunakan dalam proses pendidikan sesuai dengan tingkat
perkembangan dan kebutuhan peserta didik.
5. Pengembangan keputusan yang dilakukan oleh sekolah lebih cocok untuk memenuhi
kebutuhan sekolah karena pihak sekolah yang paling tahu apa yang paling terbaik bagi
sekolahnya
6. Penggunaan sumber daya pendidikan lebih efisien dan efektif bilamana
dikontrol oleh masyarakat setempat.
7. Keterlibatan semua warga sekolah dan masyarakat dalam pengambilan keputusan
sekolah menciptakan transparansi dan demokrasi yang sehat.
8. Sekolah dapat bertanggung jawab tentang mutu pendidikan masing-masing kepada
pemerintah, orangtua peserta didik, dan masyarakat pada umumnya, sehingga dia akan
berupaya semaksimal mungkin untuk melaksanakan dan mencapai sasaran mutu
pendidikan yang telah direncanakan.

9. Sekolah dapat melakukan persaingan yang sehat dengan sekolah-sekolah lain untuk
meningkatkan mutu pendidikan melalui upaya-upaya inovatif dengan dukungan orangtua
peserta didik, masyarakat, dan pemerintah daerah setempat.
10. Sekolah dapat secara cepat merespon aspirasi masyarakat dan lingkungan yang
berubah dengan cepat.

D. Tujuan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)


Tujuan penerapan manajemen berbasis sekolah secara umum adalah untuk
memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian kewenangan (otonomi)
kepada sekolah, pemberian fleksibilitas yang lebih besar kepada sekolah untuk mengelola
sumberdaya sekolah, dan mendorong partisipasi warga sekolah dan masyarakat untuk
meningkatkan mutu pendidikan.
Secara terperinci MBS bertujuan untuk :
1.

Meningkatkan mutu pendidikan melalui peningkatan kemandirian, fleksibilitas,

partisipasi, keterbukaan, kerjasama, akuntabilitas, sustainabilitas, dan inisiatif sekolah


dalam mengelola, memanfaatkan, dan memberdayakan sumberdaya yang tersedia.
2. Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan
pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama
3. Meningkatkan tanggungjawab sekolah kepada orangtua, masyarakat, dan pemerintah
tentang mutu sekolahnya dan
4. meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang akan
dicapai.

E. Syarat Penerapan manajemen berbasis sekolah (MBS)

Sejak awal, pemerintah (pusat dan daerah) haruslah suportif atas gagasan MBS. Mereka
harus mempercayai kepala sekolah dan dewan sekolah untuk menentukan cara mencapai
sasaran pendidikan di masing-masing sekolah. Penting artinya memiliki kesepakatan
tertulis yang memuat secara rinci peran dan tanggung jawab dewan pendidikan daerah,
dinas pendidikan daerah, kepala sekolah, dan dewan sekolah. Kesepakatan itu harus
dengan jelas menyatakan standar yang akan dipakai sebagai dasar penilaian akuntabilitas
sekolah. Setiap sekolah perlu menyusun laporan kinerja tahunan yang mencakup seberapa

baik kinerja sekolah dalam upayanya mencapai tujuan dan sasaran, bagaimana sekolah
menggunakan sumber dayanya, dan apa rencana selanjutnya.
Perlu diadakan pelatihan dalam bidang-bidang seperti dinamika kelompok, pemecahan
masalah dan pengambilan keputusan, penanganan konflik, teknik presentasi, manajemen
stress, serta komunikasi antarpribadi dalam kelompok. Pelatihan ini ditujukan bagi semua
pihak yang terlibat di sekolah dan anggota masyarakat, khususnya pada tahap awal
penerapan MBS. Untuk memenuhi tantangan pekerjaan, kepala sekolah kemungkinan
besar memerlukan tambahan pelatihan kepemimpinan.
Dengan kata lain, penerapan MBS mensyaratkan yang berikut.
1. MBS harus mendapat dukungan staf sekolah.
2. MBS lebih mungkin berhasil jika diterapkan secara bertahap.
Kemungkinan diperlukan lima tahun atau lebih untuk menerapkan MBS secara berhasil.
3. Staf sekolah dan kantor dinas harus memperoleh pelatihan penerapannya, pada saat
yang sama juga harus belajar menyesuaikan diri dengan peran dan saluran komunikasi
yang baru.
4. Harus disediakan dukungan anggaran untuk pelatihan dan penyediaan waktu bagi staf
untuk bertemu secara teratur.
5. Pemerintah pusat dan daerah harus mendelegasikan wewenang kepada kepala sekolah,
dan kepala sekolah selanjutnya berbagi kewenangan ini dengan para guru dan orang tua
murid.

F. Hambatan Dalam Penerapan manajemen berbasis sekolah (MBS)

Beberapa hambatan yang mungkin dihadapi pihak-pihak berkepentingan dalam penerapan


MBS adalah sebagai berikut :
1) Tidak Berminat Untuk Terlibat
Sebagian orang tidak menginginkan kerja tambahan selain pekerjaan yang sekarang
mereka lakukan. Mereka tidak berminat untuk ikut serta dalam kegiatan yang menurut
mereka hanya menambah beban. Anggota dewan sekolah harus lebih banyak
menggunakan waktunya dalam hal-hal yang menyangkut perencanaan dan anggaran.

Akibatnya kepala sekolah dan guru tidak memiliki banyak waktu lagi yang tersisa untuk
memikirkan aspek-aspek lain dari pekerjaan mereka. Tidak semua guru akan berminat
dalam proses penyusunan anggaran atau tidak ingin menyediakan waktunya untuk urusan
itu.
2). Tidak Efisien
Pengambilan keputusan yang dilakukan secara partisipatif adakalanya menimbulkan
frustrasi dan seringkali lebih lamban dibandingkan dengan cara-cara yang otokratis. Para
anggota dewan sekolah harus dapat bekerja sama dan memusatkan perhatian pada tugas,
bukan pada hal-hal lain di luar itu.
3). Pikiran Kelompok
Setelah beberapa saat bersama, para anggota dewan sekolah kemungkinan besar akan
semakin kohesif. Di satu sisi hal ini berdampak positif karena mereka akan saling
mendukung satu sama lain. Di sisi lain, kohesivitas itu menyebabkan anggota terlalu
kompromis hanya karena tidak merasa enak berlainan pendapat dengan anggota lainnya.
Pada saat inilah dewan sekolah mulai terjangkit pikiran kelompok. Ini berbahaya karena
keputusan yang diambil kemungkinan besar tidak lagi realistis.
4) Memerlukan Pelatihan
Pihak-pihak yang berkepentingan kemungkinan besar sama sekali tidak atau belum
berpengalaman menerapkan model yang rumit dan partisipatif ini. Mereka kemungkinan
besar tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan tentang hakikat MBS sebenarnya dan
bagaimana cara kerjanya, pengambilan keputusan, komunikasi, dan sebagainya.
5) Kebingungan Atas Peran dan Tanggung Jawab Baru
Pihak-pihak yang terlibat kemungkinan besar telah sangat terkondisi dengan iklim kerja
yang selama ini mereka geluti. Penerapan MBS mengubah peran dan tanggung jawab
pihak-pihak yang berkepentingan. Perubahan yang mendadak kemungkinan besar akan
menimbulkan kejutan dan kebingungan sehingga mereka ragu untuk memikul tanggung
jawab pengambilan keputusan.
6). Kesulitan Koordinasi
Setiap penerapan model yang rumit dan mencakup kegiatan yang beragam mengharuskan
adanya koordinasi yang efektif dan efisien. Tanpa itu, kegiatan yang beragam akan
berjalan sendiri ke tujuannya masing-masing yang kemungkinan besar sama sekali
menjauh dari tujuan sekolah.

Apabila pihak-pihak yang berkepentingan telah dilibatkan sejak awal, mereka dapat
memastikan bahwa setiap hambatan telah ditangani sebelum penerapan MBS. Dua unsur
penting adalah pelatihan yang cukup tentang MBS dan klarifikasi peran dan tanggung
jawab serta hasil yang diharapkan kepada semua pihak yang berkepentingan. Selain itu,
semua yang terlibat harus memahami apa saja tanggung jawab pengambilan keputusan
yang dapat dibagi, oleh siapa, dan pada level mana dalam organisasi.
Anggota masyarakat sekolah harus menyadari bahwa adakalanya harapan yang dibebankan
kepada sekolah terlalu tinggi. Pengalaman penerapannya di tempat lain menunjukkan
bahwa daerah yang paling berhasil menerapkan MBS telah memfokuskan harapan mereka
pada dua maslahat: meningkatkan keterlibatan dalam pengambilan keputusan dan
menghasilkan keputusan lebih baik.

BAB III
SIMPULAN

1. MBS adaah model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada
sekolah dan mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan secara
langsung semua warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah, karyawan, orang tua
siswa, dan masyarakat) untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan
pendidikan nasional.
2. Terdapat beberapa alasan diterapkannya MBS.
3. MBS memiliki tujuan.
4. Penerapan MBS mensyaratkan :
a. MBS harus mendapat dukungan staf sekolah.
b. MBS lebih mungkin berhasil jika diterapkan secara bertahap.
c. Kemungkinan diperlukan lima tahun atau lebih untuk menerapkan MBS secara
berhasil.
d. Staf sekolah dan kantor dinas harus memperoleh pelatihan penerapannya, pada
saat yang sama juga harus belajar menyesuaikan diri dengan peran dan saluran
komunikasi yang baru.
e. Harus disediakan dukungan anggaran untuk pelatihan dan penyediaan waktu
bagi staf untuk bertemu secara teratur.
f. Pemerintah pusat dan daerah harus mendelegasikan wewenang kepada kepala
sekolah, dan kepala sekolah selanjutnya berbagi kewenangan ini dengan para
guru dan orang tua murid.
5. Hambatan dalam penerapan MBS:
a. Tidak berminat untuk terlibat

b. Tidak efisien
c. Pikiran kelompok
d. Memerlukan pelatihan
e. Kebingungan atas peran dan tanggung jawab baru
f. Kesulitan koordinasi

DAFTAR PUSTAKA

Depdiknas, 2001. Konsep dan Pelaksanaan dalam Manajemen Peningkatan Mutu


Berbasis Sekolah. Jakarta: Dikmenum.
Depdiknas, 2001. Panduan Monitoring dan Evaluasi dalam Manajemen Peningkatan
Mutu Berbasis Sekolah. Jakarta: Dikmenum.
Hasibuan, Malayu. 2003. Manajemen Dasar, Pengertian dan Masalah. Jakarta: Bumi
Aksara.
Mansoer, Hamdan. 1989. Pengantar Manajemen. Jakarta: P2LPTK.
Mulyasa,

E.

2002. Manajemen

Berbasis

Sekolah

Konsep,

Strategi

dan

Implementasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.


Suprihatin dkk, 2004. Manajemen Sekolah. Semarang: UPT UNNES Press.
Nurkolis, 2003. Manajemen Berbasis sekolah Teori, Model dan Aplikasi. Jakarta:
Grasindo.
Umaedi,dkk.2011.Manajemen Berbasis Sekolah Jakarta: Universitas Terbuka

Anda mungkin juga menyukai