Anda di halaman 1dari 15

Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014

ISBN 979-587-529-9

Potensi, Kendala, dan Strategi Pemanfaatan Lahan Kering dan Kering


Masam untuk Pertanian (Padi, Jagung, Kedele), Peternakan, dan
Perkebunan dengan Menggunakan Teknologi Tepat Guna
dan Spesifik Lokasi
Kukuh Murtilaksono 1*) dan Syaiful Anwar1
1

Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian IPB


*)
kmurtilaksono@yahoo.com; syanwar@yahoo.com
ABSTRACT

There is still wide chance to fullfill sustainable national food requirement (security and
soverignty) derived from annual crops (paddy, maize, soybean), estate plantation, and
husbandry though it faces potency of sub-optimal land of dry acid and dry climate that has
lower fertility than optimal land. In terms of its utilization, some inherent constraints of its
characteristic needs to be solved. In order to achieve sustainable food security and
sovereignty on sub-optimal land, the strategy that could be implemented are two groups,
namely necessary conditionand sufficient condition. The effective and local spesific
technologies include mapping of land capability and suitability, comodity zonation,
analysis of farm bussines, optimalization of land utilization, agrotechnology apllication,
integrated farming sytem, providing of farm production input, improvement of
infrastructure, training assistance empowerment, development of technology, control of
agricultural land conversion, and institution arrangement.
Keywords : acid dryland, dry climate, necessary condition, sufficient condition,
technology
ABSTRAK
Upayaberkelanjutanuntukpemenuhan kebutuhan pangan nasional (ketahanan dan
kedaulatan pangan) yang bersumber dari tanaman setahun (padi, jagung, kedele),
perkebunan, dan peternakan masihterbukaluas, walaupundihadapkanpadapotensi lahan
yang
sub-optimal
kering
masam
dan
iklim
kering
bukan
lahan
optimal.Untukpemanfaatannya, berbagaikendalayang melekat pada karakteristik lahan
tersebut perlu dipecahkan.Strategi yang dapat ditempuh untuk pencapai tujuan ketahanan
dan kedaulatan pangan berkelanjutandilahan sub-optimal di atas dikelompokkan menjadi
dua, yaitu syarat perlu (necessary condition) dan syarat cukup (sufficient condition).
Teknologi tepat guna dan spesifik lokasi meliputi pemetaan kemampuan dan
kesesuaianlahan, pewilayahan komoditas, analisis usahatani, optimalisasi pemanfaatan
lahan, aplikasi agroteknologi, pertanian terpadu, penyediaan input produksi pertanian,
perbaikan infrastruktur, pelatihan pendampingan pemberdayaan, pengembangan teknologi,
pengendalian konversi lahan pertanian, dan penataan kelembagaan.
Kata kunci : kering masam, iklim kering, syarat perlu, syarat cukup, teknologi

PENDAHULUAN
Dalam rangkaian seminar tentang lahan sub-optimal, Haryono (2013) menyatakan
bahwa sebagai tumpuan utama penyediaan pangan bagi 245 juta penduduk Indonesia,
U4-1

Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014
ISBN 979-587-529-9

sektor pertanian merupakan penyumbang 15% PDB. Dalam rangka memenuhi ketahanan
dan kedaulatan pangan, pemerintah berupaya terus meningkatkan produksi beras nasional
5% per tahun dan pencapaian target surplus beras 10 juta ton pada tahun 2015, disamping
peningkatan produksi perkebunan dan peternakan.Selanjutnya dikemukakan bahwa
berdasarkan tren kebutuhan pangan nasional terutama padi, jagung, dan kedelai, maka
hingga tahun 2025 dibutuhkan 4,7 juta lahan bukaan baru. Untuk menjamin produksi beras
hingga tahun 2025, dibutuhkan perluasan areal sawahsekitar 1,4 juta ha, sedangkan untuk
kedelai sekitar 2 juta ha dan untuk tanaman jagung sekitar 1,3 juta ha. Apalagi hingga
tahun 2050, diperlukan tambahan lahan sekitar 14,9 juta ha yang terdiri dari 5 juta ha lahan
sawah, 8,7 juta ha lahan kering, dan 1,2 juta ha lahan rawa. Pada hal, di sisi lain, selain
hutan primer pada umumnya lahan yang tersedia adalah lahan sub-optimal termasuk lahan
yang sudah terdegradasi atau terlantar.
Berbagi ancaman dan kendala biofisik yang harus diantisipasi dan ditanggulangi
agar target ketahanan dan kedaulatan pangan tercapai. Hal tersebut meliputi alih fungsi
lahan sawah produktif (terutama di Jawa), perubahan iklim, serta degradasi sumberdaya
lahan, air dan lingkungan (erosi, longsor, pencemaran), disamping perluasan lahan
terdegradasi, terlantar, dan lahan kritis. Disamping itu, laju peningkatan produksi tanaman
pangan khususnya padi, jagung, dan kedelai mengalami leveling off, bahkan produksi
kedelai mengalami penurunan sehingga harus impor (Sopandie et al., 2009). Sementara
lahan-lahan pertanian di luar Jawa, terutama di koridor Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan
Papua sebagian besar merupakan lahan sub-optimal (LSO).Sasaran pengembangan dan
optimalisasi lahan sub-optimalmeliputi: produktivitas, efisiensi produksi, kelestarian
sumberdaya dan lingkungan serta kesejahteraan petani. Optimalisasi lahan sub-optimal
dapat ditempuh melalui dua pendekatan (Haryono, 2013), yaitu:
a. Optimalisasipemanfaatan lahan sub-optimal eksisting secara lebih produktif dan lestari,
melalui intensifikasi dengan dukungan inovasi untuk peningkatan produktivitas dan
perluasan areal tanam/indeks pertanaman (IP).
b. Perluasan areal pertanian baru (ekstensifikasi) melalui pemanfaatkan lahan sub optimal
yang potensial dengan prioritas pemanfaatan lahan sub-optimal terdegradasi atau
terlantar (abondance land).
Pengelolaan lahan-lahan sub-optimalmemerlukan teknologi yang memadai dan
sesuai karena kendala teknis/agronomis. Setiap aplikasi teknologi untuk perbaikan sifat
fisik, kimia, dan/atau biologi tanah merupakan tantangan utama karena input tersebut akan
secara langsung menambah biaya usahatani yang secara langsung akan mengurangi
keuntungan atau bahkan menyebabkan kerugian bagi petani.Upaya pengelolaan lahan suboptimal juga perlu secara paralel dilakukan seleksi jenis komoditas pangan, disamping
pemuliaan tanaman dan ternak yang adaptif terhadap keragaman kondisi agroekosistem
lahan sub-optimal (Lakitan dan Gofar, 2013). Dengan demikian, pengembangan dan
aplikasi teknologi optimalisasi (efektif dan efisien) lahan sub-optimal hendaknya benarbenar disesuaikan dengan karakteristik biofisik dan lingkungan lahan tersebut, yaitu
teknologi tepat guna dan spesifik lokasi untuk pencapaian target produksi pertanian,
perkebunan, dan peternakan nasional.
POTENSI DAN KENDALA PEMANFAATAN LAHAN KERING
DAN KERING MASAM
Potensi
Data sumberdaya lahan eksplorasi yang mencakup seluruh Indonesia
(Puslitbangtanak, 2000), data tanah tinjau (BBSDLP, 2012), dan data tipe iklim Indonesia
(Balitklimat, 2003) telah dianalisis oleh Mulyani dan Sarwani (2013). Berdasarkan

U4-2

Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014
ISBN 979-587-529-9

karakteristik dan penciri dari masing-masing lahan, maka lahan sub-optimal dapat dipilah
menjadi lahan kering dan lahan basah. Lahan keringsub-optimal dikelompokkan menjadi
lahan kering masam dan lahan kering beriklim kering (Tabel 1).Berdasarkan Tabel 1
sebagian besar lahan termasuk pada lahan kering masam sekitar 108,8 juta ha atau sekitar
60% dari total luas lahan Indonesia, yang identik dengan lahan kering beriklim basah.
Sebaran lahan kering masam ini terdapat hampir di seluruh wilayah Indonesia, terluas
terdapat di Sumatera, Kalimantan dan Papua. Sedangkan lahan kering iklim kering seluas
13,3 juta ha, penyebaran terluas terdapat di NTT, NTB, Jatim, Kaltim, Gorontalo dan
Sulsel.
Tabel 1. Penyebaran Luas Lahan Suboptimal di Indonesia (hektar)
Provinsi
Masam
Bali
46.688
Bangka Belitung
1.181.000
Banten
684.804
Bengkulu
1.832.982
Daerah Istimewa Yogyakarta
20.402
DKI Jakarta
43.919
Gorontalo
3.244
Jawa Barat
2.084.728
Jambi
3.447.915
Jawa Tengah
1.184.345
Jawa Timur
1.004.290
Kalimantan Barat
11.483.416
Kalimantan Selatan
2.189.535
Kalimantan Tengah
11.408.220
Kalimantan Timur
16.245.152
Lampung
2.787.857
Maluku
1.891.564
Maluku Utara
1.769.383
Aceh
3.754.647
Nusa Tenggara Barat
9.072
Nusa Tenggara Timur
164.460
Papua
17.343.250
Riau
4.491.246
Sulawesi Selatan
3.191.227
Sulawesi Tengah
3.499.409
Sulawesi Tenggara
1.814.255
Sulawesi Utara
811.987
Sumatera Barat
3.606.238
Sumatera Selatan
5.176.944
Sumatera Utara
5.603.651
Total
108.775.830
Sumber : Mulyani dan Syarwani (2013)

Iklim Kering
134.616
6.847
174.196
1.017.374
149.635
685.093
2.244.359
21.108
49.071
19.343
42.252
686.687
341.140
49.248
1.532.476
2.914.239
345.924
3.238
1.238.520
722.238
261.599
486.464
25.007
120.420
13.272.094

Jumlah
181.304
1.181.000
691.651
1.832.982
194.598
43.919
1.020.618
2.234.363
3.447.915
1.869.438
3.248.649
11.504.524
2.238.606
11.427.563
16.287.404
2.787.857
2.578.251
2.110.523
3.803.895
1.541.548
3.078.699
17.689.174
4.494.484
4.429.747
4.221.647
2.075.854
1.298.451
3.631.245
5.176.944
5.724.071
122.047.924

Sekitar 70,41 juta hektar (58%) dari 122,05 juta hektar lahan sub-optimal sesuai
untuk pengembangan pertanian (Tabel 2). Hasil analisis spasial menunjukkan bahwa 7,08
juta hektar sesuai untuk pertanian lahan kering tanaman semusim, dan 15,31 juta hektar
U4-3

Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014
ISBN 979-587-529-9

lahan sesuai untuk pertanian tanaman tahunan (Tabel 3).Luas lahan yang sesuai dan
tersedia untuk perluasan areal pertanian lahan keringdapat berada pada status kawasan
hutan konversi (HK) dan hutan produksi (HP) yang secara hukum negara jika dibutuhkan
dan disepakati dapat dijadikan sebagai cadangan lahan pertanian, saat ini berupa semak
belukar dan padang alang-alang/rumput di Kalimantan, Papua dan Maluku, serta Sumatera
(Tabel 4).
Tabel 2. Luas Lahan Kering Suboptimal yang Potensial untuk Pengembangan Pertanian
(hektar)
Luas Lahan
Suboptimal
Lahan kering masam
108.775.830
Lahan kering iklim kering
13.272.094
Total
122.047.924
Sumber : Mulyani dan Syarwani (2013)
Lahan Suboptimal

Potensi untuk
Pertanian
62.647.199
7.762.543
70.409.742

Tabel 3. Lahan Suboptimal yang Sesuai dan Tersedia untuk Pertanian Semusim dan
Tahunan
Pulau
Sumatera
Jawa
Bali dan Nusa Tenggara
Kalimantan
Sulawesi
Maluku+Papua
Indonesia

Luas (hektar)
Tanaman Tahunan
Tanaman Semusim
1.312.800
3.226.800
40.500
159.000
137.700
610.200
3.639.400
7.272.000
215.500
601.200
1.739.000
3.441.000
7.083.800
15.310.100

Sumber : Mulyani dan Syarwani (2013)

Tabel 4. Luas Lahan Suboptimal yang Tersedia untuk Pertanian di Kawasan Budidaya
Pertanian dan Kehutanan (hektar)
Pulau
Sumatera
Jawa
Bali dan Nusa Tenggara
Kalimantan
Sulawesi
Maluku+Papua
Indonesia

Kawasan Budidaya
Pertanian
Kehutanan
2.741.632
2.757.776
129.022
84.868
515.874
280.872
3.907.977
8.399.413
682.192
557.412
2.331.106
8.281.545
10.307.803
20.361.886

Jumlah
5.499.408
213.890
796.746
12.307.390
1.239.604
10.612.651
30.669.689

Sumber : Mulyani dan Syarwani (2013)

Produktivitas tanaman pangan pertanian, perkebunan, dan peternakan di lahan suboptimalkering masam dan iklim kering dapat ditingkatkan apabila dikelola secara
berkelanjutan memanfaatkan teknologi tepat guna hasil-hasil penelitian, melalui rekayasa

U4-4

Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014
ISBN 979-587-529-9

fisik, kimia, biologi serta pemanenan air sesuai karakteristik tanahnya (Lakitan dan Gofar,
2013).
Dengan teknologi yang memadai dan ketersediaan lahan sub-optimal semestinya
target ketahanan dan kedaulatan pangan Indonesia bisa dicapai jika dan hanya jika
pemerintah dan stakeholdernya bersama mempunyaitekat dan komitment dan konsisten
untuk mencapainya.
Kendala
Kendala lahan sub-optimal(kering masam dan iklim kering) antara lain ditentukan
oleh karakteristiknya masing-masing yang dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Lahan kering masam.Lahan kering masam adalah lahan kering yang mempunyai tanah
bereaksi masam dengan pH < 5, kejenuhan basa < 50% (dystrik), kadar aluminium
tinggi, tekstur klei, dan regim kelembaban tanah udik atau curah hujan > 2.000 mm per
tahun (Subagyo et al., 2000). Tanah tersebut tergolong pada tanah Podsolik Merah
Kuning atau Ultisols, Oxsisols, dan Inceptisols. Secara umum lahan kering masam ini
mempunyai tingkat kesuburan dan produktivitas lahan rendah sehingga diperlukan input
yang cukup tinggi untuk mencapai produktivitas optimal (Mulyani dan Syarwani,
2013).
Tingkat
kesuburandanprodukstivitaslahan
yang
rendahsecaralebihspesifikberupakandunganbahanorganikdankandunganhara
yang
rendah, selainadanyatoksisitasaluminium.
2. Lahan kering iklim kering.Lahan kering iklim kering adalah lahan kering yang
mempunyai regim kelembaban tanah ustik dan atau termasuk pada iklim kering dengan
jumlah curah hujan < 2.000 mm per tahun dan bulan kering > 7 bulan (< 100 mm per
bulan) (Balitklimat, 2003). Umumnya kejenuhan basa > 50% (eutrik), pH tanah netral
dan cenderung agak alkalis, dan secara umum mempunyai tingkat kesuburan lebih baik
daripada lahan kering masam. Tanah yang umum ditemukan adalah Grumusol,
Mediteran, Litosol atau Alfisols, Mollisols, Entisols, Vertisols. Curah hujan yang
rendah menyebabkan musim kemarau yang nyata dan keterbatasan sumberdaya air
sehingga jenis tanaman dan indeks pertanaman yang diusahakan lebih terbatas (Mulyani
dan Syarwani, 2013).
Secara umum kendala pada kedua jenis lahan sub-optimal tersebut lebih berat
terdapat pada lahan kering masam. Untuk meningkatkan produktivitas lahan kering masam
diperlukan masukan dan upaya perbaikan yang lebih banyak dibandingkan terhadap lahan
kering iklim kering. Upaya penyediaan kebutuhan air bagi tanaman sudah berimplikasi
pada peningkatan nyata bagi produktivitas pada lahan kering iklim kering, sementara hal
tersebut belum cukup untuk lahan kering masam.
Karakteristik lahan sub-optimalpada dasarnya merupakan lahan-lahan yang secara
alami mempunyai kendala sehingga butuh upaya ekstra agar dapat dijadikan lahan
budidaya yang produktif untuk tanaman pangan dan perkebunan serta peternakan. Kendala
tersebut dapat berupa: (a) kesulitan dalam menyediakan air yang cukup untuk mendukung
usaha tani yang produktif dan menguntungkan, (b) sifat kemasaman tanah yang tinggi (pH
rendah) sehingga butuh upaya untuk menetralisir kemasaman tanah tersebut,
(c)kandunganbahanorganik yang rendahdansolum yang dangkal,kandunganbahanorganik
yang rendahdansolum yang dangkal, (d) sangat miskin unsur hara sehingga membutuhkan
dosis pemupukan yang lebih tinggi; dan/atau,(e) tanah berbatu sehingga sulit diolah secara
mekanis. Kondisi sub-optimal ini dapat terbentuk secara alami, atau karena kegiatan
manusia di dan/atau sekitar lokasi yang bersangkutan, atau akibat salah kelola pada periode
sebelumnya (Lakitan dan Gofar, 2013). Selanjutnya, kendala yang dihadapi dari aspek
budidaya antara lain: (a) persiapan lahan, pemakaian benih varitas unggul, penanaman
(waktu tanam, cara tanam), pemeliharaan, pemupukan, pengendalian hama, penyakit

U4-5

Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014
ISBN 979-587-529-9

tanaman dan gulma yang belum dilakukan dengan baik; (b) belum dilaksanakan integrasi
pertanian tanaman dengan peternakan sehingga produktivitas lahan sub-optimal masih
rendah.
Lahan sub-optimal kering masam dan iklim kering banyak juga dijumpai di daerah
tidak datar atau landai tetapi berkemiringan relatif curam sehingga mendorong degradasi
lahan oleh proses erosi tanah. Degradasi lahan di daerah tropika basah menghasilkan lahan
kritis di dalam dan luar kawasan hutan yang saat ini masih seluas sekitar 27 juta hektar.
Untuk pengembangan lahan sub-optimal di daerah berkemiringan agak curam hingga
curam, disamping memerlukan input produksi pertanian, juga diperlukan teknologi
konservasi tanah dan air yang memadai.
TANTANGAN PENGELOLAAN LAHAN SUB-OPTIMAL
Berdasarkan sebaran lahan sub-optimal di Indonesia, masih terdapat potensi dan
peluang untuk pengembangannya. Tantangan yang muncul kemudian ke depan adalah
dilema kompetisi pemanfaatan lahan baik antar sub sektor pertanian (tanaman pangan,
hortikultura dan perkebunan) maupun dengan sektor lain di luar pertanian (perindustrian,
pertambangan, infrastruktur, perumahan, perkantoran, dan lainnya). Perlu disampaikan
bahwa lahan terlantar di kawasan pertanian yang 10 juta ha sudah ada pemiliknya,
sehingga ada kesulitan dalam memanfaatkan lahan di kawasan ini.Perkembangan lahan
pertanian yang cukup pesat dalam periode 10 tahun terakhir bukan untuk tanaman pangan
atau tanaman setahun tapi lebih untuk perkebunan terutama kelapa sawityang umumnya
perusahaan besar swasta dalam bentuk HPH (merubah status kawasan hutan produksi
menjadi lahan pertanian) (Mulyani dan Syarwani, 2013), dan saat ini luas seluruh
perkebunan sawit sudah mencapai 9,1 juta hektar.
Selain keterbatasan sifat fisik lahan, tantangan lain adalah permasalahan non fisik
antara lain rendahnya minat dan kemampuan enterpreneurship petani, lemahnya sistem
kelembagaan untuk memfasilitasi dan melindungi usahatani masyarakat, dan aplikasi
teknologi yang rendah terutama karena terkendala oleh kapasitas finansial petani yang
tidak memadai (Lakitan dan Gofar, 2013). Selanjutnya dikemukan bahwa prasarana
transportasi yang belum tersedia atau dalam kondisi yang buruk juga menjadi tantangan
dalam pengelolaan lahan sub-optimal sehingga biaya angkut hasil produksi maupun sarana
produksi relatif mahal. Kurangnya infrastruktur penunjang dalam pembangunan pertanian
di lahan sub-optimal akan berdampak pada rendahnya produktivitas dan kualitas produk
serta sulitnya pemasaran. Faktor kendala lain adalah keterbatasan tenaga kerja, karena
umumnya kepadatan penduduk yang bermukim di lahan sub-optimal sangat rendah.
Akibatnya, dorongan alih fungsi lahan tanaman pangan ke penggunaan lain, diantaranya
untuk perkebunan terutama kelapa sawit semakin besar.
STRATEGI PEMANFAATAN LAHAN KERING DAN KERING MASAM
(TEKNOLOGI TEPAK GUNA DAN SPESIFIK LOKASI)
Dalam rangka pencapaian ketahanan dan kedaulatan pangan, serta pemenuhan
kebutuhan hasil perkebunan dan peternakan, produktivitas lahan sub-optimal kering
masam dan iklim kering dapat dicapai dengan strategi yang tepat serta mempertimbangkan
potensi dan kendala lahan sub-optimal tersebut. Strategi tersebut dapat dipilah menjadi
dua, yaitu strategi atau syarat perlu yang dipenuhi terlebih dahulu (necessary condition),
dan syarat kecukupan (sufficient condition). Syarat perlu adalah segala sesuatu yang harus
dipenuhi agar tujuan dapat tercapai, sedangkan syarat kecukupan melengkapi syarat perlu
agar tujuan dapat tercapai sepenuhnya.

U4-6

Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014
ISBN 979-587-529-9

Strategi yang termasuk dalam syarat perlu dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Pemetaan kemampuan dan kesesuai lahan.
Pemanfaatan lahan khususnya lahan sub-optimal kering masam dan iklim kering
sesuai dengan kemampuan dan kesuaian lahan dapat mengurangi resiko kerusakan lahan
karena tidak melebihi kapasitasnya walaupun produksi tidak sebesar lahan
optimal.Selainitupemetaankemampuandankesesuaianlahanakanmengindentifikasikendalas
pesifikbagipemanfaatanlahantersebut.Dengan demikian peta kemampuan dan kesesuaian
lahan berskala yang memadai seluruh lahan sub-optimal kering masam dan iklim kering di
Indonesia dapat digunakan sebagai prioritas arahan pemanfatannya. Selain itu, peta
tersebut dapat juga digunakan untuk perhitungan perkiraan kebutuhan asupan (input)
produksi tanaman pangan, perkebunan, dan peternakan untuk mencapai hasil yang
diharapkan beserta perhitungan kelayakan atau untung rugi. Mulyani dan Syarwani (2013)
menyatakan Lahan sub-optimal harus dimanfaatkan sesuai dengan kesesuaian lahannya.
Wilayah yang sesuai dan diarahkan untuk tanaman pangan hendaknya tetap dimanfaatkan
untuk tanaman pangan.
2. Pewilayahan komoditas lahan sub-optimal kering dan iklim kering.
Berdasarkan peta kemampuan dan kesesuaian lahan serta neraca air setiap wilayah
lahan sub-optimal kering masam dan iklim kering, pewilayahan komoditas tanaman
pangan, perkebunan, dan peternakan dapat disusun sesuai dengan masing-masing kelas
yang terbaik. Kementerian Pertanian telah pernah menyusun peta pewilayahan komoditas
sebelumnya sehingga pewilayahan komoditas untuk lahan sub-optimal kering masam dan
iklim kering hanya perlu pemisahan dan pengembangannya sesuai dengan pertanaman
komoditas yang telah berkembang dan diusahakan saat ini. Irianto (2009) menyatakan
bahwa diperlukan pengembangan berbagai inovasi teknologi berdasarkan penelitian
merupakan strategi peningkatan produktivitas pangan dan energi. Pewilayahan komoditas
berdasarkan kelas kesesuaian lahan untuk mengurangi resiko kegagalan panen
3. Analisis usaha tani atau keuntungan terhadap biaya.
Berdasarkan peta pewilayahan komoditas tanaman pangan, perkebunan, dan
peternakan yang sudah disesuaikan, maka dapat dilakukan dan disusun analisis usahatani
setiap komoditi yang dipetakan. Selayaknya, komoditi yang dibudidayakan pada lahan
yang kelas kesesuaiannya tertinggi atau terbaik untuk komoditi tersebut, selayaknya
margin atau keuntungan positif usaha taninya masih diperoleh. Biasanya masyarakat
tempatan dengan kearifan lokalnya telah melakukan hal ini dalam lingkup yang terbatas.
Hasil penelitian (Riantini, 2013)di lahan sub-optimal kering Lampung Selatan yang
menunjukkan bahwa usahatani jagung varietas hibrida menguntungkan untuk diusahakan.
Penelitian Murtilaksono et al. (2011) menunjukkan bahwa usaha kebun kelapa sawit di
lahan kering masam Rejosari, Lampung Selatan memberikan keuntungan ekonomi
walaupun diberi tambahan teknologi teras gulud yang membutuhkan biaya tidak sedikit.
4. Optimalisasi pemanfaatan lahan.
Dalam pemanfaatan lahan sub-optimal yang ada saat ini dan merupakan sentra
produksi pangan hendaknya tetap dioptimalkan sebagai kawasan penghasil pangan
(Mulyani dan Syarwani, 2013). Artinya, pemanfaatan lahan sub-optimal kering masam dan
iklim kering tetap harus memberikan keuntungan ekonomi dan lingkungan tidak
terdegradasi atau konsep pembangunan berkelanjutan tetap masih bisa dipenuhi.
Sementara Haryono (2013) menyatakan optimalisasi lahan sub-optimal dapat dilakukan
dengan intensifikasi melalui peningkatan produktifitas dan meningkatan luas tanam.
5. Aplikasi agroteknologi.
a. Bahan pembenah tanah dan pemupukan yang memadai
Perbaikan sifat fisika, kimia, dan biologi tanah melalui aplikasi bahan pembenah
tanah dan pemupukan berimbang sesuai dengan kebutuhan tanaman budidaya yang

U4-7

Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014
ISBN 979-587-529-9

diusahakan dapat menghasilkan produksi secara efisien karena input produksi tersebut
sedikit hilang tidak dimanfaatkan.Banyak teknologi dan hasil penelitian tentang bahan
pembenah tanah dan pemupukan yang dapat diaplikasikan untuk pengembangan dan
pemanfaatan lahan sub-optimal kering masam dan iklim kering untuk peningkatan
produksi tanaman pangan dan perkebunan.
Sudah difahami bahwa adanya bahan organik sebagai campuran bahan mineral menjadi
kunci disebutnya material mineral ini sebagai tanah sehingga dapat berfungsi sebagai
penunjang pertumbuhan tanaman. Lahan kering sub-optimal selalu memiliki kandungan
bahan organik yang rendah bahkan sering juga diperparah dengan solumnya yang dangkal.
Oleh karena itu upaya pengembalian dan bahkan penambahan bahan organik, baik berupa
serasah, kompos, pupuk organik atau pupuk bioorganik sebagai pembenah tanah menjadi
kunci untuk dapat meningkatkan produktivitasnya. Minimal upaya yang harus dilakukan
adalah setiap biomassa yang dihasilkan dari sepetak lahan spesifik yang berupa limbah
organik (diluar biomasa panen) harus selalu dikembalikan, bukan dibakar. Namun
demikian, pengembalian bahan organik in situ ini masih kurang apabila kita memang ingin
meningkatkan produktivitas lahan. Harus ada penambahan bahan organik dari luar (ek situ)
ke dalam petakan spesifik tersebut, sehingga secara lambat laun akan terjadi peningkatan
kandungan bahan organik tanah tersebut, menjadi lebih tinggi dari kondisi asli suboptimalnya. Secara ideal jangka panjang untuk dapat menyediakan kebutuhan bahan
organik untuk ditambahkan ke tanah, setiap petakan lahan usaha pertanian harus
menyediakan ruang untuk peyimpanan dan penyiapan bahan organik/ kompos/ pupuk
organik bagi kebutuhan pertanaman berikutnya. Penelitian Sudaryanto et al. (2012)
menunjukkan bahwa pembenaman bahan organik di tanah dalam sistim tanaman lorong di
perkebunan kelapa sawit mengurangi kehilangan nitrogen melalui nitrifikasi. Sementara
itu, Santoso et al. (2011) mendapatkan hasil aplikasi bahan organik yang berasal dari
rumput laut sebagai pembenah tanah tidak subur (sub-optimal) dapat meningkatan
pertumbuhan dan produksi padi gogo, jagung, dan kelapa sawit hingga 50% tanpa pupuk
inorganik.Karti (2005) memberikan Azospirillum pada tanah masam dapat meningkatkan
produksi dan serapan nitrogen rumput pakan ternak Setariasplendida dan Chlorisgayana.
Kemasaman tanah yang tinggi pada lahan kering umumnya disebabkan kandungan
Al-dd yang tinggi. Upaya cepat penanggulangan masalah ini adalah dengan pemberian
bahan pengapuran, khususnya kalsit atau dolomit. Dalam jangka panjang, permasalahan ini
dapat juga diatasi dengan penambahan bahan organik. Jadi penambahan bahan organik
selain menjaci kunci pengelolaan produktivitas tanah berkelanjutan, juga dapat mengatasi
masalah kemasaman tanah yang rendah sebagai akibat kandungan Al-dd yang tinggi.
Dengan adanya varietas unggul yang diciptakan dengan mengkondisikan tanah
berkecukupan hara sebagaimana selama ini dilakukan, maka keunggulan varietas tersebut
tentunya baru akan muncul apabila tanah berkecukupan hara. Tanah suboptimal lahan
kering dan masam, berbahan induk batuan endapan ataupun metamorfik tidak memiliki
kondisi ini. Oleh karena itu, upaya cepat mengatasi masalah ini tidak lain adalah
pemupukan dengan unsur hara yang sesuai dengan kebutuhan tanaman, apabila memang
kita menuntut produktivitas tanaman yang tinggi. Pemupukan harus seefisien mungkin,
mengingat ketidakefisienan pemupukan berpotensi pada terjadinya pencemaran hara pada
tubuh perairan, selain untuk menghematan sumberdaya. Dengan demikian pemupukan
harus dilakukan dengan cara dan bentuk agar tepat jumlah dan waktu.
b. Penataan pola tanam (tanaman pangan dan kebun)
Penerapan pola tanaman sesuai dengan sifat fisika tanah dan sebaran curah hujan
selama setahun (neraca air) dapat mengefisienkan input produksi pada lahan sub-optimal
kering masam dan iklim kering. Untuk tujuan keanekaragaman pangan dan kelestarian

U4-8

Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014
ISBN 979-587-529-9

lingkungan, maka intercropping merupakan alternatif yang dapat diaplikasikan secara


proporsional.
Sistem pengelolaan lahan dengan tindakan konservasi vegetatif melalui integrasi
tanaman padi gogo dan kedelai diantara tanaman kakao yang disertai strip tanaman Arachis
pintoi pada topografi miring lahan sub-optimal dapat memperbaiki kesuburan tanah
sehingga memperbaiki pertumbuhan tanaman kakao, menambah ketersediaan pangan dan
pendapatan petani (Nurmi dan Haridjaja, 2009).
Tanaman pangan dibawah tegakan tanaman perkebunan rakyat di lahah kering
masam di Lampung yang sebarannya cukup luas, perlu diberdayakan melalui pengenalan
berbagai varietas/galur unggul baru yang adaptif (Hafif, 2013). Pemanfaatan potensi lahan
terbuka pada saat peremajaan tanaman karet tua ataupenanaman baru dengan cara
menanam tanaman sela pangan diantara barisan tanamankaret sampai dengan karet
berumur tiga tahun tidak berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan tanaman utama karet
dan produksi tanamansela dapat menambah penyediaan pangan sekaligus meningkatkan
pendapatan petani (Nusyirwan et al., 2013).
c. Aplikasi konservasi tanah dan air
Pada daerah bertopografi berombak hingga berbukit dan berkemiringan lereng agak
curam hingga curam, teknologi konservasi tanah dan air mutlak perlu diaplikasikan agar
kesuburan tidak merosot tajam karena erosi tanah dan produksi tanaman dan pendapatan
petani dapat dipertahankan. Sistem pertanian konservatif di lahan miring (tidak datar)
merupakan sistem pertanian berkelanjutan. Teknik konservasi tanah dan air dapat berupa
sipil teknis, vegetatif, agronomi, maupun manajemen sesuai yang termuat dalam
Rancangan Undang-undang Konservasi Tanah dan Air yang tinggal menunggu sidang
pleno.
Penggunaan lahan perkebunan dan pepohonan buah-buahan relatif terlindung dari
erosi dibandingkan dengan areal tanaman pangan yang diolah secara intensif. Untuk itu
lahan pertanian, terutama lahan tegalan dan lahan pertanian di daerah berlereng
bergelombang sampai curam sangat memerlukan penerapan berbagai teknik konservasi
tanah dan air yang memadai (Sinukaban, 2013).
Penerapan sistim pola tanam konservasi pada ladang berpindah berpengaruh baik
terhadap perbaikan sifat tanah dan meningkatkan produktivitas serta menekan aliran
permukaan dan erosi tanah (Yustika et al., 2009).Konservasi tanah merupakan salah satu
teknologi inovasi di lahan sub-optimal terdegradasi untuk mendukung ketahanan pangan
(Erfandi, 2009).Untuk merehabilitasi dan meningkatkan produktifitas lahan alang-alang,
teknik konservasi vegetatif yaitu mengkombinasikan penanaman Mucuna sp. dan sistim
budidaya tanaman lorong (alley cropping) merupakan inovasi teknologi yang
berkelanjutan (Marwantoet al.,2009).
d. Pemanenan air
Di daerah iklim arid dan semi-arid jumlah curah hujan yang turun dalam setahun
rendah, dan laju evapoprasi yang tinggi selama musim pertanaman. Hujan yang turun
biasanya lebat dan tanah tidak dapat menyerap semua air hujan yang volumenya besar
dalam waktu singkat sehingga volume air limpasan-permukaan (runoff) besar yang pada
gilirannya menyebabkan defisit air bagi budidaya tanaman pangan, perkebunan, dan
ternak. Dengan demikian pemanenan air hujan terutama di musim hujan mutlak dilakukan
di lahan sub-optimal beriklim kering dengan berbagi teknik yang telah banyak
dikembangkan.
Konservasi air merupakan salah satu usaha untuk menekan penurunan produksi
pertanian di lahan kering karena perubahan iklim, yaitu dengan memaksimumkan air hujan
masuk ke dalam tanah dan meminimalkan aliran permukaan (Haryati, 2009).Pemanenan
air hujan dapat menekan aliran permukaan dan meningkatkan produksi beberapa tanaman

U4-9

Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014
ISBN 979-587-529-9

pangan di DAS Kaligarang Semarang (Rejekiningrum dan Haryati, 2002).BadanLitbang


Pertanian (2010) telah menghasilkan danmengembangkan beberapa teknologi
pengelolaansumberdaya air, antara lain teknologi panen air (waterharvesting), yaitu
embung dan dam parit, disamping berbagai teknik lain yang dapat diaplikasikan seperti
metoda kendi, guludan, micro catchment, lubang resapan.
Hasil penelitian pemanenan air hujan dengan membangun teras gulud di kebun
kelapa sawit Rejosari, PT Perkebunan Nusantara VII, Lampung oleh Murtilaksono et al.
(2009) dapat menghasilkan Tandan Buah Segar (TBS) lebih tinggi 21,5% dari pada tanpa
perlakuan teras gulud dan layak secara ekonomi (Murtilaksono et al., 2011).
6. Pertanian terpadu (tanaman pangan, kebun, dan ternak)
Sistem pertanian terpadu yang menggabungkan budidaya pertanian tanaman
pangan, perkebunan, dan peternakan bahkan perikanan secara bersama dalam waktu dan
lokasi yang sama dapat mengefisienkan penggunaan sumberdaya alam termasuk input
produksi, terlebih pada lahan sub-optimal kering masam dan iklim kering yang mempunyai
banyak keterbatasan.
Sistem pertanian terpadu dimaksudkan untuk membuat siklus hara dikembangkan
dalam jarak dekat. Dalam hal ini keluaran dari subsistem satu yang berupa limbah dapat
menjadi masukan bagi subsistem lainnya, dalam jarak yang tidak jauh. Sebagai contoh
dalam sistem pertanian-peternakan, sebagian kebutuhan pupuk kandang untuk pertanian
tanaman dapat dipenuhi dari limbah peternakan, sementara sebagian kebutuhan pakan
ternak dapat dipenuhi dari limbah pertanian tanaman. Dalam sistem agroforestry, tanaman
tahunan akan mengekstrak hara pada solum tanah yang lebih dalam, sehingga
pengembalian limbah organik dari tanaman tahunan akan dapat meningkatkan total hara
bagi kebutuhan tanaman setahun/ semusim yang lebih banyak mengekstrak hara pada
solum tanah yang lebih dangkal.
Di lahan sub-opimal diperlukan pengembangan model pertanian (farming) berbasis
lingkungan dan terintegrasi (Pertanian Ramah Lingkungan, PRL) dengan berbagai varian
dan derivasinya (Haryono, 2013).
Model usahatani terpadu tanaman jagungdan
tanamanpakan ternak dengan sapi Bali, dapat memberikan keuntunganganda bagi petani,
dan sangat cocok diterapkanpada hampir semua kondisi agroekologi lahan kering diNTB.
Penerapan model tersebut juga akan dapatmeningkatkan kapasitas petani untuk
memelihara ternaksapi dengan baik, yaitu dari 1 2 ekor menjadi 4 6 ekor perpetani
(Priyono et al., 2012). Hal yang sama telah berhasilkan dilakukan oleh bapak Sri
Tejowulan dosen Universitas Mataram dalam skema proyek SCBFWM yang didanai oleh
UNDP 5 tahun terakhir. Diharapkan setelah proyek berakhir, sistem pertanian terpadu
tersebut tetap berlanjut karena sudah menjadi bagian kehidupan masyarakat yang terlibat.
Strategi yang termasuk dalam syarat cukup dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Penyediaan input produksi pertanian.
Produksi tanaman pertaninan setahun dan tahunan yang dibudidayakan tidak akan
mencapai produksi yang diinginkan jika input produksinya tidak dipenuhi terlebih di lahan
sub-optimal kering masam dan iklim kering yang banyak kendalanya. Untuk itu,
pemenuhan input produksi pertanian mutlak harus diupayakan dan dilaksanakan.
Pemerintah hendaknya memfasilitasi penyediaan input produksi pertanian agar petani lebih
mudah mendapatkannya di lapang.
2. Perbaikan infrastruktur.
Pemenuhan atau pasokan asupan produksi ke lokasi atau lahan petani dan penjualan
produk pertanian langsung ke pasar tanpa melalui banyak rantai pemasaran memerlukan
kecukupan infrastruktur agar produksi bisa maksimal dan petani sejahtera. Sobir (2013)
2013) mengemukanan bahwa lahan sub optimal belum yang banyak dimanfaatkan karena
belum tersedianya infrastruktur yang diperlukan, baik terkait dengan system

U4-10

Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014
ISBN 979-587-529-9

produksilangsung seperti sistem pengelolaan air, sistem irigasi, maupun penanganan pasca
panen,maupun sarata pendukung seperti jalan akses utama, jalan usaha tani, maupun
systempenyediaan sarana produksi lapang. Sementara itu, Mulyani dan Syarwani (2013)
menyatakan bahwa dukungan infrastruktur, sarana dan fasilitasi sesuai kebutuhan
masyarakat dan sesuai dengan tipologi lahannya, sehingga petani mempunyai akses yang
mudah dalam memenuhi input produksi.
3. Pelatihan, pendampingan, dan pemberdayaan.
Peningkatan kapasitas petani dalam berusahatani yang masih relatif tertinggal di lahan
sub-optimal dibanding pada lahan sawah beririgasi teknis (Mulyani dan Syarwani, 2013).
Unutk itu diperlukan pelatihan budidaya pertanian, perkebunan, dan peternakan di lahan
sub-optimal kering masam dan iklim kering. Agar para petani dapat menerapkan teknologi
yang dilatihkan secara benar dan baik serta berkelanjutan maka masih diperlukan
pendampingan oleh penyuluh atau lembaga swadaya masyarakat. Selanjutnya, pemerintah
perlu memfasilitasi pemberdayaan para petani tersebut agar peningkatan pendapatan dan
kesejahteraannya tercapai.
4. Pengembangan teknologi.
Hasil penelitian aplikasi Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) di lahan sub-optimal
kering masam menunjukkan peningkatan produksi tanaman kedelai dapat dicapaidengan
baik (Jumakir dan Endrizal, 2013) juga pada komoditi-komoditi lainnya. Selanjutnya,
pengembangan lahan subpotimal harus diiringi dengan pemacuan inovasi teknologi yang
diasimilasikan dengan kearifan lokal sesuai dengan tipologi lahan disamping
pengembangannya (Irianto, 2009). Akselerasi pengembangan dan diseminasi inovasi
tenologi pertanian, terutama adalah terhadap verietas unggul, teknologi pemupukan, alat
mesin pertanian, pasca panen dan model faming ramah lingkungan (Haryono, 2013),
disamping pengembangan jenis dan varietas adaptif (Lakitan dan Gofur,
2013).Pengembanganvarietasunggulspesifiklokasibahkanspesifikpermasalahanlahan suboptimal
sepertiterhadaptoksisitasaluminium,
atauterhadapkondisihara
minimal
perludiupayakansebagaistrategijangkapanjang.Hal serupa perlu juga dilakukan dalam
mengantisipasi perubahan iklim global.
5. Pengendalian konversi lahan pertanian.
Budidaya tanaman pertanian terutama tanaman pangan atau tanaman setahun yang sudah
lama diusahakan dan memberikan keuntungan bagi petani akan sangat merugikan petani
dalam jangka panjang apabila dikonversikan ke pemanfaatan lainnya walaupun secara
ekonomi sesaat (jangka pendek) sangat memberikan nilai ekonomi yang tinggi. Lebih jauh
akan mengancan ketahanan dan kemandirian pangan nasional. Effendi dan Haridjaja
(2009).menyatakan bahwa perilaku petani terhadap konversi lahan sawah dipengaruhi oleh
pengembangan kawasan industri, desakan kebutuhan hidup, dan harga jual lahan (land
rent) yang tinggi.
6. Kelembagaan yang berdaya.
Kelembagaan merupakan bangunan dasar yang mewadahi semua kegiatan untuk
pencapaian tujuan yang telah disepakati oleh stakeholders. Dalam kelembagaan diatur tata
hubungan kerja pemangku kepentingan dan organisasinya, aturan formal dan informal
serta keterwakilan masing-masing pemangku kepentingan. Haryono (2013) menyatakan
bahwa pemberdayaan petani dan pengembangan sistem kelembagaan dalam berbagai subsistem agribisnis pedesaan, mulai dari saprodi, alat mesin pertanian hingga pemasaran
menentukan keberhasilan pencapaian target ketahanan pangan.
Sobir (2013) mengemukakan bahwa rantai perjalanan hasil pertanian terutama
tanaman pangan (padi, jagung, kedele) dari lahan pertanian sub-optimal diatur dan ditata
dengan kelembagaan yang kuat dan berdaya sedemikian rupa sehingga harga di pasar atau
konsumen dapat bersaing dengan produk pertanian dari lahan optimal/subur yang lebih

U4-11

Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014
ISBN 979-587-529-9

sedikit memerlukan input produksi. Untuk itu diperlukan dukungan diseminasi teknologi
yang efektif, sarana input produksi, dan modal yang memadai.
KESIMPULAN
Untuk pemenuhan kebutuhan pangan nasional (ketahanan dan kedaulatan) yang
bersumber dari tanaman setahun (padi, jagung, kedele), perkebunan, dan peternakan masih
terbuka luas potensi lahan sub-optimal kering masam dan iklim kering walaupun berbagai
kendala yang melekat pada karakteristik lahan tersebut perlu dipecahkan.
Strategi yang dapat ditempuh untuk pencapai tujuan ketahanan dan kedaulatan
pangan dikelompokkan menjadi dua yaitu syarat perlu (necessary condition) dan syarat
cukup (sufficient condition). Teknologi tepat guna dan spesifik lokasi meliputi pemetaan
kemampuan dan kesesuaian, pewilayahan komoditas, analisis usahatani, optimalisasi
pemanfaatan lahan, aplikasi agroteknologi, dan pertanian terpadu sebagai syarat perlu.
Teknologi tepat guna dan spesifik lokasi untuk syarat cukup meliputi penyediaan
input produksi pertanian, perbaikan infrastruktur, pelatihan pendampingan pemberdayaan,
pengembangan teknologi, pengendalian konversi lahan pertanian, dan penataan
kelembagaan.

U4-12

Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014
ISBN 979-587-529-9

U4-13

Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014
ISBN 979-587-529-9

DAFTAR PUSTAKA
Badan Litbang Pertanian. 2010. Teknologi Panen Hujan dan Teknologi Irigasi untuk
Pengelolaan Air dan Iklim. Informasi Ringkas Bank Pengetahuan Tanaman Pangan
Indonesia.
Benyamin L, Gofar N. 2013. Kebijakan Inovasi Teknologi untuk PengelolaanLahan Suboptimal Berkelanjutan.
Prosiding Seminar Nasional Lahan Sub-optimal
Intensifikasi Pengelolaan Lahan Sub-optimal dalamRangka Mendukung
Kemandirian Pangan Nasional, Palembang 20-21 September 2013. ISBN 979-587501-9.
Effendi D, Haridaja O. 2009. Pengendalian Konversi Lahan Sawah sebagai Upaya
Strategi Penanganan Krisis Suberdaya Lahan. Prosiding Semiloka Nasional. Strategi
Penanganan Krisis Sumberdaya Lahan untuk Mendukung Kedaulatan Pangan dan
Energi. Bogor, 22-23 Desember 2008. Pp. 110-120.
Erfandi D. 2009. Mitigasi Degradasi Lahan Melalui Konservasi Tanah Lahan Kering :
Desa Tutur, Pasuruan, Jawa Timur. Prosiding Semiloka Nasional. Strategi
Penanganan Krisis Sumberdaya Lahan untuk Mendukung Kedaulatan Pangan dan
Energi. Bogor, 22-23 Desember 2008. Pp. 102-109.
Hafif B. 2013. Keragaan Lahan Sub-optimal dan Perbaikan Produktivitas melalui
Kebijakan Daerah di Lampung. Seminar Nasional Inovasi Teknologi.
Haryati U. 2009. Teknologi Konservasi Air: Salah Satu Cara Adaptasi terhadap
Perubahan Iklim untuk Usahatani di Lahan Kering. Prosiding Semiloka Nasional.
Strategi Penanganan Krisis Sumberdaya Lahan untuk Mendukung Kedaulatan
Pangan dan Energi. Bogor, 22-23 Desember 2008. Pp. 236-254.
Haryono. 2013. Strategi Kebijakan Kementrian Pertanian dalam OptimalisasiLahan Suboptimal Mendukung Ketahanan Pangan Nasional. Prosiding Seminar Nasional
Lahan Sub-optimal Intensifikasi Pengelolaan Lahan Sub-optimal dalamRangka
Mendukung Kemandirian Pangan Nasional, Palembang 20-21 September 2013.
ISBN 979-587-501-9.
Irianto, SG. 2009. Strategi Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dalam Perspektif Kompetisi
Pangan dan Energi. Prosiding Semiloka Nasional. Strategi Penanganan Krisis
Sumberdaya Lahan untuk Mendukung Kedaulatan Pangan dan Energi. Bogor, 22-23
Desember 2008. Pp. 42-51.
KartiPDMH. 2005. Penggunaan Azospirillum pada Tanah Masam dengan Alumunium
Tinggi Terhadap Produksi dan Serapan Nitrogen Rumput Setariasplendida dan
Chlorisgayana. Media Peternakan 28(1): 37-45.
Marwanto S, Juarsah I, Yustika RD. 2009. Teknik Rehabilitasi dan Pemanfaatan Lahan
Alang-alang untuk Usahatani Tanaman Pangan Menuju Pertanian Berkelanjutan.
Prosiding Semiloka Nasional. Strategi Penanganan Krisis Sumberdaya Lahan untuk
Mendukung Kedaulatan Pangan dan Energi. Bogor, 22-23 Desember 2008. Pp. 264274.
Mulyani A, Syarwani M. 2013. Karakteristik dan Potensi Lahan Sub Optimal
untukPengembangan Pertanian di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Lahan
Sub-optimal Intensifikasi Pengelolaan Lahan Sub-optimal dalamRangka
Mendukung Kemandirian Pangan Nasional, Palembang 20-21 September 2013.
ISBN 979-587-501-9

U4-14

Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014
ISBN 979-587-529-9
Murtilaksono, K., W. Darmosarkoro, E. S. Sutarta,H. H. Siregar, Y. Hidayat. 2009. Upaya
Peningkatan Produksi Kelapa Sawit melalui Penerapan Teknik Konservasi Tanah dan Air.
Jurnal Tanah Tropika 14(2) : 135-142.
Murtilaksono K., Darmosarkoro W, Sutarta ES,Siregar HH,Hidayat Y, Yusuf MA. 2011.
Feasibility of Soil and Water Conservation Technique on Oil Palm Plantation. J. Agrivita
33(1) : 63-69. ISSN : 0126-0537.

Nurmi H, Haridjaja O. 2009. Perbaikan Pertumbuhan Kakao dan Peningkatan Pangan


melalui Tindakan Konservasi Vegetatif pada Lahan Marginal. Prosiding Semiloka
Nasional. Strategi Penanganan Krisis Sumberdaya Lahan untuk Mendukung
Kedaulatan Pangan dan Energi. Bogor, 22-23 Desember 2008. Pp. 336-346.
Nusyirwan, Kurnianingsih A, Mazid A. 2013. Tanaman Sela Diantara Karet Untuk
Menunjang Ketersediaan Pangan.Prosiding Seminar Nasional Lahan Sub-optimal
Intensifikasi Pengelolaan Lahan Sub-optimal dalamRangka Mendukung
Kemandirian Pangan Nasional, Palembang 20-21 September 2013. ISBN 979-587501-9.
Priyono J, Sudika IW, Arman C, Hanan M, danMuzani A. 2012. Pengembangan
Udahatani Terpadu Jagung Sapi Bali pada Lahan Sub-optimal di NTB dengan
Mengoptimalkan Pemanfaatan Sumberdaya Lokal.
Rejekiningrum P, Haryati U. 2002. Panen Hujan dan Aliran Permukaan untuk
Meningkatkan Produktivitas Lahan Kering di Nyatnyono, DAS Kaligarang
Semarang. J. Agromet 6 (-2):65-72.
Riantini M. 2013. Analisis Pendapatan Usahatani Jagung Varietas Hibridapada Lahan
Kering Kabupaten Lampung Selatan. Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal Intensifikasi Pengelolaan Lahan Sub-optimal dalamRangka Mendukung
Kemandirian Pangan Nasional, Palembang 20-21 September 2013. ISBN 979-587501-9.
Santoso D, Chaidamsari T, Syafaruddin, Effendi DS. 2011. Pengaruh Rumput Laut untuk
Pertumbuhan dan Produksi Padi Gogo, Jagung, dan Kelapa Sawit. Menara
Perkebunan 79(2):65-69.
Sinukaban N. 2013. Potensi dan Strategi Pemanfaatan Lahan Kering dan Kering
Masamuntuk Pembangunan Pertanian Berkelanjutan. Prosiding Seminar Nasional
Lahan Sub-optimal Intensifikasi Pengelolaan Lahan Sub-optimal dalamRangka
Mendukung Kemandirian Pangan Nasional, Palembang 20-21 September 2013.
ISBN 979-587-501-9.
Sobir. 2013. Optimalisasi Lahan Sub Optimal bagi Penguatan Ketahanan Pangan
Indonesia.
Prosiding Seminar Nasional Lahan Sub-optimal Intensifikasi
Pengelolaan Lahan Sub-optimal dalamRangka Mendukung Kemandirian Pangan
Nasional, Palembang 20-21 September 2013. ISBN 979-587-501-9..
Sopandie D, Trikoesoemaningtyas, Purwoko BS, Khumaida N. 2009. Pengembangan
Teknologi Budidaya dan Perbaikan Produktivitas Tanaman di Lahan Marginal.
Prosiding Semiloka Nasional. Strategi Penanganan Krisis Sumberdaya Lahan untuk
Mendukung Kedaulatan Pangan dan Energi. Bogor, 22-23 Desember 2008. Pp. 8188.
Sudaryanto, Purwanto, Martoyo K. 2012. Pengelolaan Tanaman Lorong dan Tanaman
Penutup Tanah sebagai Jaring Penyelamat Hara dan Pengendali Nitrifikasi pada
Lahan Kelapa Sawit. Prosiding Seminar dan Kongres Nasional HITI X, Surakarta 68 Desember 2011. Pp 1107-1110.
Yustika RD, Juarsah I, Marwanto S. 2009. Sistim Pola Tanam Usahatani Konservasi
Petani Peladang terhadap Peningkatan Produktivitas Lahan. Prosiding Semiloka
Nasional. Strategi Penanganan Krisis Sumberdaya Lahan untuk Mendukung
Kedaulatan Pangan dan Energi. Bogor, 22-23 Desember 2008. Pp. 374-38.
U4-15

Anda mungkin juga menyukai