Anda di halaman 1dari 34

Case Report Session

MORBUS HANSEN

OLEH :

NISAUL HAFIZA
15100707360803045

PRESEPTOR :
Dr. Yosse Rizal, Sp.KK

SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BAITURRAHMAH
RSUD DR.ACHMAD MOCHTAR
2015

BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Definisi
Nama lain dari Morbus Hansen adalah kusta dan lepra. Istilah kusta
berasal dari bahasa Sanskerta, yakni kushtha berarti kumpulan gejala-gejala kulit
secara umum. Penyakit kusta ini disebut juga Morbus Hansen karena sesuai
dengan nama yang menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard Henrik Armauwer
Hansen pada tahun 1874 sehingga penyakit ini disebut Morbus Hansen.
Penyakit Hansen adalah sebuah penyakit infeksi kronis yang disebabkan
oleh bakteri Mycobacterium leprae. Penyakit ini adalah tipe penyakit
granulomatosa pada saraf tepi dan mukosa dari saluran pernapasan atas; dan lesi
pada kulit adalah tanda yang bisa diamati dari luar. Bila tidak ditangani, kusta
dapat sangat progresif, menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf-saraf, anggota
gerak, dan mata. Tidak seperti mitos yang beredar di masyarakat, kusta tidak
menyebabkan pelepasan anggota tubuh yang begitu mudah, seperti pada penyakit
tzaraath yang digambarkan dan sering disamakan dengan kusta 2
Kusta merupakan penyakit menahun yang menyerang syaraf tepi, kulit dan
organ tubuh manusia yang dalam jangka panjang mengakibatkan sebagian
anggota tubuh penderita tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Meskipun
infeksius, tetapi derajat infektivitasnya rendah. Waktu inkubasinya panjang,
mungkin beberapa tahun, dan tampaknya kebanyakan pasien mendapatkan infeksi
sewaktu masa kanak-kanak.
Kelompok yang berisiko tinggi terkena kusta adalah yang tinggal di daerah
endemik dengan kondisi yang buruk seperti tempat tidur yang tidak memadai, air
yang tidak bersih, asupan gizi yang buruk, dan adanya penyertaan penyakit lain
seperti HIV yang dapat menekan sistem imun. Pria memiliki tingkat terkena kusta
dua kali lebih tinggi dari wanita.2,5
Kusta tipe Pausi Bacillary atau disebut juga kusta kering adalah bilamana
ada bercak keputihan seperti panu dan mati rasa atau kurang merasa, permukaan
bercak kering dan kasar serta tidak berkeringat, tidak tumbuh rambut/bulu, bercak
2

pada kulit antara 1-5 tempat. Ada kerusakan saraf tepi pada satu tempat, hasil
pemeriksaan bakteriologis negatif (-), tipe kusta ini tidak menular. Sedangkan
kusta tipe Multi Bacillary atau disebut juga kusta basah adalah bilamana bercak
putih kemerahan yang tersebar satu-satu atau merata diseluruh kulit badan, terjadi
penebalan dan pembengkakan pada bercak, bercak pada kulit lebih dari 5 tempat,
kerusakan banyak saraf tepi dan hasil pemeriksaan bakteriologi positif (+). Tipe
seperti ini sangat mudah menular.1
1.2 Epidemiologi
1.2.1 Epidemiologi Secara Global
Kusta menyebar luas ke seluruh dunia, dengan sebagian besar kasus
terdapat di daerah tropis dan subtropis, tetapi dengan adanya perpindaham
penduduk maka penyakit ini bisa menyerang di mana saja.
1.2.2 Epidemiologi Kusta di Indonesia
Penyakit ini diduga berasal dari Afrika atau Asia Tengah yang kemudian
menyebar keseluruh dunia lewat perpindahan penduduk ini disebabkan karena
perang, penjajahan, perdagangan antar benua dan pulau-pulau. Berdasarkan
pemeriksaan kerangka-kerangka manusia di Skandinavia diketahui bahwa
penderita kusta ini dirawat di Leprosaria secara isolasi ketat. Penyakit ini masuk
ke Indonesia diperkirakan pada abad ke IV-V yang diduga dibawa oleh orangorang India yang datang ke Indonesia untuk menyebarkan agamanya dan
berdagang.
Pada pertengahan tahun 2000 jumlah penderita kusta terdaftar

di

Indonesia sebanyak 20.742 orang. Jumlah penderita kusta terdaftar ini membuat
Indonesia menjadi salah satu Negara di dunia yang dapat mencapai eliminasi
kusta sesuai target yang ditetapkan oleh World Health Organisation yaitu tahun
2000.12
1.3 Etiologi
Penyebab penyakit kusta adalah Mycobacterium leprae yang berbentuk
pleomorf lurus, batang panjang, sisi paralel dengan kedua ujung bulat, ukuran 0,33

0,5 x 1-8 mikron. Basil ini berbentuk batang gram positif dan bersifat tahan asam,
tidak mudah diwarnai namun jika diwarnai akan tahan terhadap dekolorisasi oleh
asam atau alkohol sehingga oleh karena itu dinamakan sebagai basil tahan asam,
tidak bergerak dan tidak berspora, dan dapat tersebar atau dalam berbagai ukuran
bentuk kelompok, termasuk masa irreguler besar yang disebut globi.
Mycobakterium ini termasuk kuman aerob. Kuman Mycobacterium leprae
menular kepada manusia melalui kontak langsung dengan penderita dan melalui
pernapasan, kemudian kuman membelah dalam jangka 14-21 hari dengan masa
inkubasi rata-rata 2-5 tahun. Setelah lima tahun, tanda-tanda seseorang menderita
penyakit kusta mulai muncul antara lain, kulit mengalami bercak putih, merah,
rasa kesemutan bagian anggota tubuh hingga tidak berfungsi sebagaimana
mestinya.4,6
Mycobacterium

leprae

berasal

dari

kingdom

bacteria,

filum

actinobacteria, ordo actinomycetales, Upaordo Corynebacterineae, family


Mycobacteriaceae, genus mycobacterium, spesies mycobacterium leprae.

Gambar 1. Mycobacterium Lepra yang diambil dari lesi kulit


(https://id.wikipedia.org/wiki/Mycobacterium_leprae)
Menurut Marwali Harahap (2000), Mycobacterium leprae mempunyai 5
sifat, yakni :
1. Mycobacterium leprae merupakan parasit intraseluler obligat yang tidak
dapat dibiakkan pada media buatan.
4

2. Sifat tahan asam Mycobacterium leprae dapat diekstraksi oleh piridin.


3.Mycobacterium leprae merupakan satu-satunya mikrobakterium yang
mengoksidasi D-Dopa (D-Dihydroxyphenylalanin).
4.Mycobacterium leprae adalah satu-satunya spesies mikobakterium yang
menginvasi dan bertumbuh dalam saraf perifer.5. Ekstrak terlarut dan preparat
Mycobacterium leprae mengandung komponen antigenik yang stabil dengan
aktivitas imunologis yang khas yaitu uji kulit positif pada penderita
tuberkuloid dan negatif pada penderita lepromatous.7.9,10
1.4 Klasifikasi 4.5.12
1) Jenis klasifikasi yang umum
a. Klasifikasi Internasional (1953)
1. Indeterminate (I)
2. Tuberkuloid (T)
3. Borderline-Dimorphous (B)
4. Lepromatosa (L)
b. Klasifikasi untuk kepentingan riset /klasfikasi Ridley-Jopling (1962).
1. Tuberkoloid (TT)
2. Boderline tubercoloid (BT)
3. Mid-berderline (BB)
4. Borderline lepromatous (BL)
5. Lepromatosa (LL)
c. Klasifikasi untuk kepentingan program kusta /klasifikasi WHO (1981) dan
modifikasi WHO (1988)
1. Pausibasilar (PB)
Hanya kusta tipe I, TT dan sebagian besar BT dengan BTA negatif
menurut kriteria Ridley dan Jopling atau tipe I dan T menurut klasifikasi
Madrid.

2. Multibasilar (MB)
Termasuk kusta tipe LL, BL, BB dan sebagian BT menurut kriteria
Ridley dan Jopling atau B dan L menurut Madrid dan semua tipe kusta
dengan BTA positif.

Gambar 2. Lepra tipe TT dan BB


http://image.slidesharecdn.com/lepra-131114001954
Untuk pasien yang sedang dalam pengobatan harus diklasifikasikan
sebagai berikut : Bila pada mulanya didiagnosis tipe MB, tetapi diobati sebagai
MB apapun hasil pemeriksaan BTA-nya saat ini. Bila awalnya didiagnosis tipe
PB, harus dibuat klasifikasi baru berdasarkan gambaran klinis dan hasil BTA saat
ini.
Tabel 1. Perbedaan tipe PB dan MB menurut klasifikasi WHO (1995)
PB
MB
1. Lesi kulit (makula yang datar, 1-5 lesi
> 5 lesi
papul yang meninggi,infiltrat, Hipopigmentasi/eritema Distribusi lebih
plak eritem, nodus)
Distribusi tidak simetris
simetris
2.
Hilangnya sensasi yangHilangnya
sensasi kurang
jelas
jelas
Kerusakan saraf (menyebabkan Hanya satu cabang saraf Banyak cabang
6

hilangnya sensasi/kelemahan otot


yang dipersarafi oleh saraf yang
terkena)

saraf

Kekebalan selular (cell mediated immunity = CMI) seseorang yang akan


menentukan, apakah ia akan menderita kusta bila ia mendapat infeksi
Mycobacterium leprae dan tipe kusta yang akan dideritanya dalam spektrum
penyakit kusta.
Tabel 2. Gambaran klinis tipe PB
Karakteristik
Lesi
-bentuk

Tuberkuloid
(TT)

Borderline tuberculoid
(BT)

Indeterminat
e (I)

Makula saja;
makula dibatasi
infiltrat
Satu atau
beberapa

Makula dibatasi infiltrat; Hanya makula


infiltrat saja
Beberapa atau satu
dengan lesi satelit

Satu atau
beberapa

Asimetris

Bervariasi

-Permukaan

Terlokalisasi &
asimetris
Kering, skuama

Kering, skuama

-batas

Jelas

Jelas

-anestesia

Jelas

Jelas

BTA
-Lesi kulit

Negatif

Negatif atau 1 +

-Tes lepromin

Positif kuat (3+)

Positif lemah (2 +)

Dapat halus
agak berkilat
Dapat jelas
atau dapat
tidak jelas
Tidak ada
sampai tidak
jelas
Biasanya
negatif
Dapat positif
lemah atau
negatif

-Jumlah
-Distribusi

Tabel 3. Gambaran klinis tipe MB


7

Borderline
lepromatosa (BL)

Mid-borderline
(BB)

Makula
Infiltrate difus
Papul
Nodus
infiltrat papul,
nodus

Makula
Plakat
papul

Plakat
Dome-shaped
(kubah)
punched-out

-Jumlah

Banyak, distribusi
luas, praktis tidak
ada kulit sehat

Banyak, tapi kulit


sehat masih ada

Beberapa, kulit
sehat jelas ada

-Distribusi
-Permukaan

simetris
Halus dan berkilap

Hampir simetris
Halus dan berkilap

-batas

Tidak jelas

-anestesia

Tidak ada sampai


tidak jelas

Agak jelas
Sedikit berkurang
Tidak jelas

asimetris
agak kasar, agak
berkilat
agak jelas
berkurang
lebih jelas

Banyak

agak banyak

-sekret hidung

Banyak (ada
globus)
Banyak (globi)

Biasanya negatif

negatif

Tes lepromin

Negative

Negatif

biasanya negatif

Karakteristik
Lesi
-bentuk

BTA
-lesi kulit

Lepromatosa
(LL)

Gambaran klinis penyakit kusta pada seorang pasien mencerminkan


tingkat kekebalan selular pasien tersebut. Adapun klasifikasi yang banyak dipakai
dalam bidang penelitian adalah klasifikasi menurut Ridley dan Jopling yang
mengelompokkan penyakit kusta menjadi 5 kelompok berdasarkan gambaran
klinis, bakteriologis, histopatologis dan imunologis. Sekarang klasifikasi ini juga
secara luas dipakai di klinik dan untuk pemberantasan. Adapun klasifikasinya
adalah sebagai berikut :

1. Tipe tuberkoloid (TT)

Lesi ini mengenai baik kulit maupun saraf. Lesi kulit bisa satu atau
beberapa, dapat berupa makula atau plakat, batas jelas dan pada bagian tengah
dapat ditemukan lesi yang regresi atau central healing. Permukaan lesi dapat
bersisik dengan tepi yang meninggi bahkan dapat menyerupai gambaran psoriasis
atau tinea sirsnata. Dapat disertai penebalan saraf perifer yang biasanya teraba,
kelemahan otot, dan sedikit rasa gatal. Adanya infiltrasi tuberkuloid dan tidak
adanya kuman merupakan tanda terdapatnya respons imun pejamu yang adekuat
terhadap kuman kusta.
2. Tipe borderline tubercoloid (BT)
Lesi pada tipe ini menyerupai tipe TT, yakni berupa makula atau plak yang
sering disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau beberapa, tetapi
gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas tipe
tuberkuloid. Adanya gangguan saraf tidak seberat tipe tuberkuloid, dan biasanya
asimetris. Lesi satelit biasanya ada dan terletak dekat saraf perifer yang menebal.
3. Tipe mid borderline (BB)
Merupakan tipe yang paling tidak stabil dari semua tipe dalam spektrum
penyakit kusta. Disebut juga sebagai bentuk dimorfik dan bentuk ini jarang
dijumpai. Lesi dapat berbentuk makula infiltratif. Permukaan lesi dapat berkilap,
batas lesi kurang jelas dengan jumlah lesi yang melebihi tipe BT dan cenderung
simetris. Lesi sangat bervariasi, baik dalam ukuran, bentuk, ataupun distribusinya.
Bisa didapatkan lesi punched out yang merupakan ciri khas tipe ini.
4. Tipe borderline lepromatosa
Secara klasik lesi dimulai dengan makula. Awalnya hanya dalam jumlah
sedikit dan dengan cepat menyebar ke seluruh badan. Makula lebih jelas dan lebih
bervariasi bentuknya. Walaupun masih kecil, papul dan nodus lebih tegas dengan
distribusi lesi yang hampir simetris dan beberapa nodus tampaknya melekuk pada
bagian tengah. Lesi bagian tengah tampak normal dengan pinggir dalam infiltrat
lebih jelas dibandingkan dengan pinggir luarnya, dan beberapa plak tampak
seperti punched out. Tanda-tanda kerusakan saraf berupa hilangnya sensasi,
hipipigmentasi, berkurangnya keringat dan hilangnya rambut lebih cepat muncul

dibandingkan dengan tipe LL. Penebalan saraf dapat teraba pada tempat
predileksi.
5. Tipe lepromatosa (LL)
Jumlah lesi sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih eritematosa,
berkilap, berbatas tidak tegas dan pada stadium dini tidak ditemukan anestesi dan
anhidrosis. Distribusi lesi khas, yakni di wajah mengenai dahi, pelipis, dagu,
cuping telinga. Sedang dibadan mengenai bagian badan yang dingin, lengan,
punggung tangan, dan permukaan ekstensor tungkai bawah. Pada stadium lanjut
tampak penebalan kulit yang progresif, cuping telinga menebal, garis muka
menjadi kasar dan cekung membentuk fasies leonina yang dapat disertai
madarosis, iritis dan keratis. Lebih lanjut lagi dapat terjadi deformitas pada
hidung. Dapat dijumpai pembesaran kelenjar limfe, orkitis yang selanjutnya dapat
menjadi atrofi testis. Kerusakan saraf yang luas menyebabkan gejala stocking dan
glove anaesthesia. Bila penyakit ini menjadi progresif, muncul makula dan papul
baru, sedangkan lesi lama menjadi plakat dan nodus. Pada stadium lanjut serabutserabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin atau fibrosis yang menyebabkan
anestesi dan pengecilan otot tangan dan kaki.
Salah satu tipe penyakit kusta yang tidak termasuk dalam klasifikasi
Ridley dan jopling, tetapi diterima secara luas oleh para ahli kusta yaitu tipe
indeterminate (I). lesi biasanya berupa makula hipopigmentasi dengan sedikit
sisik dan kulit di sekitarnya normal. Lokasi biasanya di bagian ekstensor
ekstremitas, bokong atau muka, kadang-kadang dapat ditemukan makula hipestesi
atau sedikit penebalan saraf. Diagnosis tipe ini hanya dapat ditegakkan, bila
dengan pemeriksaan histopatologik.
Tanda-tanda penyakit kusta bermacam-macam, tergantung dari tingkat
atau tipe dari penyakit tersebut yaitu: Adanya bercak tipis seperti panu pada
badan/tubuh manusia, Pada bercak putih ini pertamanya hanya sedikit, tetapi
lama-lama semakin melebar dan banyak, Adanya pelebaran syaraf terutama pada
syaraf ulnaris, medianus, aulicularis magnus serta peroneu, Kelenjar keringat
kurang kerja sehingga kulit menjadi tipis dan mengkilat. Adanya bintil-bintil

10

kemerahan (leproma, nodul) yang tersebar pada kulit, Alis rambut rontok, Muka
berbenjol-benjol dan tegang yang disebut facies leomina (muka singa).

Gambar 3. Facies leonina


http://2.bp.blogspot.com/-1wobTyHP6_w
1.5 Penularan
Meskipun cara penularannya yang pasti belum diketahui dengan jelas
penularan di dalam rumah tangga dan kontak/hubungan dekat dalam waktu yang
lama tampaknya sangat berperan dalam penularan. Berjuta-juta basil dikeluarkan
melalui lendir hidung pada penderita kusta tipe lepromatosa yang tidak diobati,
dan basil terbukti dapat hidup selama 7 hari pada lendir hidung yang kering.
Ulkus kulit pada penderita kusta lepromatusa dapat menjadi sumber penyebar
basil. Organisme kemungkinan masuk melalui saluran pernafasan atas dan juga
melalui kulit yang terluka. Pada kasus anak-anak dibawah umur satu tahun,
penularannya diduga melalui plasenta.2
Dua pintu keluar dari Mycobacterium leprae dari tubuh manusia
diperkirakan adalah kulit dan mukosa hidung. Telah dibuktikan bahwa kasus
lepromatosa menunjukkan adanya sejumlah organisme di dermis kulit.
Bagaimanapun masih belum dapat dibuktikan bahwa organisme tersebut dapat
berpindah ke permukaan kulit. Walaupun terdapat laporan bahwa ditemukanya
bakteri tahan asam di epitel deskuamosa di kulit, Weddel et al melaporkan bahwa

11

mereka tidak menemukan bakteri tahan asam di epidermis. Dalam penelitian


terbaru, Job et al menemukan adanya sejumlah Mycobacterium leprae yang besar
di lapisan keratin superfisialkulit di penderita kusta lepromatosa. Hal ini
membentuk sebuah pendugaan bahwa organisme tersebut dapat keluar melalui
kelenjar keringat. Pentingnya mukosa hidung telah dikemukakan oleh Schffer
pada 1898. Jumlah dari bakteri dari lesi mukosa hidung di kusta lepromatosa,
menurut Shepard, antara 10.000 hingga 10.000.000 bakteri. Pedley melaporkan
bahwa sebagian besar pasien lepromatosa memperlihatkan adanya bakteri di
sekret hidung mereka. Davey dan Rees mengindikasi bahwa sekret hidung dari
pasien lepromatosa dapat memproduksi 10.000.000 organisme per hari.
Cara-cara penularan penyakit kusta sampai saat ini masih merupakan tanda
tanya. Yang diketahui hanya pintu keluar kuman kusta dari tubuh si penderita,
yakni selaput lendir hidung. Tetapi ada yang mengatakan bahwa penularan
penyakit kusta adalah : 1. Melalui sekret hidung, basil yang berasal dari sekret
hidung penderita yang sudah mengering, diluar masih dapat hidup 27 x 24 jam.
2. Kontak kulit dengan kulit. Syarat-syaratnya adalah harus dibawah umur 15
tahun, keduanya harus ada lesi baik mikoskopis maupun makroskopis, dan adanya
kontak yang lama dan berulang-ulang.
1.6 Masa Inkubasi
Masa inkubasi pasti dari kusta belum dapat dikemukakan. Beberapa
peneliti berusaha mengukur masa inkubasinya. Masa inkubasi minimum
dilaporkan adalah beberapa minggu, berdasarkan adanya kasus kusta pada bayi
muda. Masa inkubasi maksimum dilaporkan selama 30 tahun Hal ini dilaporan
berdasarkan pengamatan pada veteran perang yang pernah terekspos di daerah
endemik dan kemudian berpindah ke daerah non-endemik. Dengan rata-rata
adalah 4 tahun untuk kusta tuberkuloid dan dua kali lebih lama untuk kusta
lepromatosa.
Penyakit ini jarang sekali ditemukan pada anak-anak dibawah usia 3
tahun; meskipun, lebih dari 50 kasus telah ditemukan pada anak-anak dibawah

12

usia 1 tahun, yang paling muda adalah usia 2,5 bulan. Secara umum, telah
disetujui, bahwa masa inkubasi rata-rata dari kusta adalah 3-5 tahun.3
1.7 Reservoir
Sampai saat ini manusia merupakan satu-satunya yang diketahui berperan
sebagai reservoir. Di Lusiana dan Texas binatang Armadillo liar diketahui secara
alamiah dapat menderita penyakit yang mempunyai kusta seperti pada percobaan
yang dilakukan dengan binatang ini. Diduga secara alamiah dapat terjadi
penularan dari Armadilo kepada manusia. Penularan kusta secara alamiah
ditemukan terjadi pada monyet dan simpanse yang ditangkap di Nigeria dan
Sierra Lione.1.6
1.8 Patogenesis
Meskipun cara masuk Mycobacterium leprae ke dalam tubuh masih belum
diketahui dengan pasti, beberapa penelitian telah memperlihatkan bahwa tersering
ialah melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan melalui
mukosa nasal. Pengaruh Mycobacterium leprae terhadap kulit bergantung pada
faktor imunitas seseorang, kemampuan hidup Mycobacterium leprae pada suhu
tubuh yang rendah, waktu regenerasi yang lama, serta sifat kuman yang avirulen
dan nontoksis.7.9
Mycobacterium leprae merupakan parasit obligat intraseluler yang
terutama terdapat pada sel makrofag di sekitar pembuluh darah superfisial pada
dermis atau sel Schwan di jaringan saraf. Bila kuman Mycobacterium leprae
masuk ke dalam tubuh, maka tubuh akan bereaksi mengeluarkan makrofag
(berasal

dari

sel

monosit

darah,

sel

mononuklear,

histiosit)

untuk

memfagositnya.2.3.4
Pada kusta tipe LL terjadi kelumpuhan sistem imunitas selular, dengan
demikian makrofag tidak mampu menghancurkan kuman sehingga kuman dapat
bermultiplikasi dengan bebas, yang kemudian dapat merusak jaringan.11
Pada kusta tipe TT kemampuan fungsi sistem imunitas selular tinggi,
sehingga makrofag sanggup menghancurkan kuman. Sayangnya setelah semua
13

kuman di fagositosis, makrofag akan berubah menjadi sel epiteloid yang tidak
bergerak aktif dan kadang-kadang bersatu membentuk sel datia langhans. Bila
infeksi ini tidak segera di atasi akan terjadi reaksi berlebihan dan masa epiteloid
akan menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan disekitarnya.5,7
Sel Schwan merupakan sel target untuk pertumbuhan Mycobacterium
lepare, disamping itu sel Schwan berfungsi sebagai demielinisasi dan hanya
sedikit fungsinya sebagai fagositosis. Jadi, bila terjadi gangguan imunitas tubuh
dalm sel Schwan, kuman dapat bermigrasi dan beraktivasi. Akibatnya aktivitas
regenerasi saraf berkurang dan terjadi kerusakan saraf yang progresif.11
Mycobacterium

leprae merupakan

parasit obligat

intraseluler yang

terutama terdapat pada sel makrofag di sekitar pembuluh darah superfisial pada
dermis atau sel Schwan di jaringan saraf. Bila Mycobacterium leprae masuk ke
dalam tubuh, akan menimbulkan reaksi Hipersensitifitas tipe IV oleh sel T H1, sel
pembunuh dan makrofag. Antigen difagositosis oleh makrofag, diolah, dan
dipresentasikan pada sel TH. Sensitisasi ini berlangsung lebih dari 5 hari. Pada
kontak kedua, sejumlah sel T teraktivasi menjadi sel TH1. Sel ini akan merangsang
pembentukan monosit di sumsum tulang melalui IL-3 dan faktor yang
merangsang koloni makrofag-granulosit (GM-CSF) sehingga menarik monosit
dan makrofag melalui kemokin, seperti MCPs (monocyte chemoattractant
proteins) dan MIPs (monocyte inflammatory proteins), dan mengaktifkannya
melalui interfeuron (IFN-). MCPs dan MIPs bersama dengan TNF-
meyebabkan reaksi peradangan yang hebat.6,7
Makrofag dalam jaringan berasal dari monosit dalam darah yang
mempunyai nama khusus, antara lain sel Kupffer dari hati, sel aveolar dari paru,
sel glia dari otak, dan dari kulit disebut histiosit. Dengan adanya proses
imunologik, histiosit datang ke tempat kuman. Kalau datangnya berlebihan dan
tidak ada lagi yang harus difagosit, makrofag akan berubah bentuk menjadi sel
epiteloid yang tidak dapat bergerak dan kemudian akan berubah menjadi sel datia
Langhans. Adanya massa epiteloid yang berlebihan dikelilingi limfosit disebut
tuberkel akan menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan cacat. Pada
penderita dengan Sistem Imun Seluler (SIS) rendah atau lumpuh, histiosit tidak
14

dapat menghancurkan M. Lepra yang sudah ada didalamnya, bahkan dijadikan


tempat berkembang biak dan disebut sel Virchow atau sel lepra atau sel busa dan
sebagai alat pengangkut penyebarluasan.

Gambar 4. Patogenesa morbus hansen


1.9 Manifestasi Klinis
Menurut Jimmy Wales (2008), tanda-tanda tersangka kusta (Suspek)
adalah sebagai berikut : Tanda-tanda pada kulit, Bercak/kelainan kulit yang
merah/putih dibagian tubuh, Kulit mengkilat, Bercak yang tidak gatal, Adanya
bagian-bagian yang tidak berkeringat atau tidak berambut,

Lepuh tidak nyeri,

Tanda-tanda pada syaraf, Rasa kesemutan, tertusuk-tusuk dan nyeri pada anggota
badan, Gangguan gerak anggota badan/bagian muka, Adanya cacat (deformitas),
Luka (ulkus) yang tidak mau sembuh.
Gejala-gejala kerusakan saraf menurut A. Kosasih (2008), antara lain
adalah : N. fasialis : Lagoftalmus. N. ulnaris : Anastesia pada ujung jari bagian
anterior kelingking dan jari manis, Clawing kelingking dan jari manis, Atrofi
hipotenar dan otot interoseus dorsalis pertama. N. medianus : Anastesia pada
ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk dan jari tengah, Tidak mampu aduksi
ibu jari, Clawing ibu jari, telunjuk dan jari tengah, Ibu jari kontraktur. N. radialis :
Anastesia dorsum manus, Tangan gantung (wrist/hand drop), Tidak mampu
15

ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan. N. poplitea lateralis : Kaki gantung


(foot drop), N.tibialis posterior, Anastesia telapak kaki, Clow toes. 6
1.10 Diagnosa
Dalam menegakkan diagnosa morbus hansen, ditegakkan berdasarkan :
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang dari pemeriksaan
bakterioskopik, histopatologik, dan serologik.
1.10.1 Anamnesis
Subyektif : Keluhan penderita, Kelainan kulit, Mati rasa, Gangguan fungsi pada
saraf.
Obyektif : Riwayat kontak dengan penderita, Latar belakang keluarga misalnya
Keadaan sosial ekonomi.
Evaluasi data : Untuk menentukan langkah pemeriksaan selanjutnya, Sebagai
sumber acuan pengobatan MDT dan klasifikasi penyakit kusta.
1.10.2 Pemeriksaan fisik
Inspeksi : Ruangan membutuhkan cahaya yang adekuat (terang) diperlukan agar
petugas dapat membedakan warna dan bentuk tubuh.
Palpasi : Pemeriksaan saraf tepi dan fungsinya dilakukan pada: n. auricularis
magnus, n. ulnaris, n. radialis, n. medianus, n. peroneus, dan n. tibialis posterior.
Hasil pemeriksaan yang perlu dicatat adalah pembesaran, konsistensi, penebalan,
dan adanya nyeri tekan. Perhatikan raut muka pasien apakah ia kesakitan atau
tidak saat saraf diraba.2

16

Gambar 5. saraf tepi yang dekat dengan kulit


Saraf ulnaris - untuk memeriksa saraf ulnaris kiri, pegang lengan bawah
kiri penderita dengan tangan kiri Anda; raba di bawah siku penderita dengan
tangan kanan Anda. Anda akan menemukan saraf ulnaris di cekungan pada sisi
median (dalam). Lakukan sebaliknya untuk memeriksa saraf ulnaris lengan
kanan.2
Saraf medianus - untuk memeriksa saraf medianus, pegang pergelangan
penderita dengan telapak tangannya menghadap ke atas; raba hati-hati di tengahtengah pergelangan. Saraf medianus mungkin tidak teraba, tapi ada tidaknya nyeri
tekan tetap dapat terdeteksi.2
Saraf peroneus - untuk meraba saraf peroneus kanan, minta penderita
duduk di kursi dan kemudian Anda duduk atau berlutut di depannya. Gunakan
tangan kiri Anda untuk meraba saraf di sisi luar betis sedikit di bawah lutut dan

17

lekukan sekitar tulang di bawah lutut. Gunakan tangan kanan Anda untuk
memeriksa saraf Peroneus kiri.2
Fungsi sensorik : Dilakukan pemeriksaan fungsi saraf sensorik pada
telapak tangan, daerah yang sisarafi oleh n.ulnaris dan medianus juga pada daerah
telapak kaki untuk daerah yang disarafi oleh n.tibialis posterior.2,4,5
Fungsi motoric : N.fasialis dengan memeriksa kekuatan penutupan bola
mata. N.ulnaris dengan memeriksa kekuatan m.abductor pollicis minimi.
N.medianus, dengan memeriksa kekuatan m.abductor pollicis brevis. N.radialis,
dengan memeriksa kekuatan fleksi dorsal pergelangan tangan. N.peroneous,
dengan memeriksa kekuatan fleksi dorsal pergelangan kaki baik pada arah eversi
maupun inverse. N.tibialis posterior, dengan memeriksa kekuatan otot truceps
surae, tibialis posterior, flexor hallucis longus dan flexor digitorum longus.2,4,5
Fungsi Otonom : Fungsi Otonom diperiksa dengan memegang tangan atau
kaki penderita untuk menilai kebasahan telapak tangan maupun kaki (fungsi
kelenjar keringat). Pemeiksaan bersama dengan gerak Olah raga.2,4,5
Penyakit kusta disebut juga dengan the greatest immitator karena
memberikan gejala yang hampir mirip dengan penyakit lainnya. Diagnosis
penyakit kusta didasarkan pada penemuan tanda kardinal (cardinal sign),
yaitu:11
a. Bercak kulit yang mati rasa
Pemeriksaan harus di seluruh tubuh untuk menemukan ditempat
tubuh

yang

lain, maka

akan

didapatkan

bercak

hipopigmentasi

atau

eritematus, mendatar (makula) atau meninggi (plak). Mati rasa pada bercak
bersifat total atau sebagian saja terhadap rasa raba, rasa suhu, dan rasa nyeri.
b. Penebalan saraf tepi
Dapat disertai rasa nyeri dan dapat juga disertai dengan atau tanpa
gangguan fungsi saraf yang terkena, yaitu:
Gangguan fungsi sensoris: hipostesi atau anestesi, Gangguan fungsi motoris:
paresis atau paralisis, Gangguan fungsi otonom: kulit kering, retak, edema,
pertumbuhan rambut yang terganggu.
c. Ditemukan kuman tahan asam
18

Untuk menegakkan diagnosis penyakit kusta, paling sedikit harus


ditemukan satu tanda kardinal. Bila tidak atau belum dapat ditemukan,
maka

kita

hanya

dapat mengatakan tersangka kusta dan pasien perlu

diamati dan diperiksa ulang setelah 3-6 bulan sampai diagnosis kusta dapat
ditegakkan atau disingkirkan
1.10.3 Pemeriksaan Bakterioskopik
Pemeriksaaan bakterioskopik, sediaan dari kerokan jaringan kulit atau
usapan mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan BTA ZIEHL
NEELSON. Pertama tama harus ditentukan lesi di kulit yang diharapkan
paling padat oleh basil setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tepat
yang diambil. Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin
sebaiknya minimal 4 6 tempat yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 24 lesi lain yang paling aktif berarti yang paling eritematosa dan paling
infiltratif. Pemilihan cuping telinga tanpa mengiraukan ada atau tidaknya lesi di
tempat tersebut oleh karena pengalaman, pada cuping telinga didapati banyak
M.leprae.
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah
sediaan dinyatakan dengan indeks bakteri ( I.B) dengan nilai 0 sampai 6+
menurut Ridley. 0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP).
1 + Bila 1 10 BTA dalam 100 LP
2 + Bila 1 10 BTA dalam 10 LP
3 + Bila 1 10 BTA rata rata dalam 1 LP
4 + Bila 11 100 BTA rata rata dalam 1 LP
5 + Bila 101 1000BTA rata rata dalam 1 LP
6 + Bila> 1000 BTA rata rata dalam 1 LP
Indeks morfologi adalah persentase bentuk solid dibandingkan dengan
jumlah solid dan non solid. Indeks morfologi ini dilakukan untuk menentukan
persentasi BTA hidup atau mati.
Rumus :
Jumlah solid
Jumlah solid + non solid

19

x 100 % =

Syarat perhitungan IM adalah jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA,
I.B 1+ tidak perlu dibuat IM karena untuk mendapatkan 100 BTA harus mencari
dalam 1.000 sampai 10.000 lapangan, mulai I.B 3+ harus dihitung IM nya sebab
dengan IB 3+ maksimum harus dicari dalam 100 lapangan.
1.10.4 Pemeriksaan Histopatologis
Pemeriksaan histopatologi, gambaran histopatologi tipe tuberkoloid
adalah tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya
sedikit dan non solid. Tipe lepromatosa terdapat kelim sunyi subepidermal (
subepidermal clear zone ) yaitu suatu daerah langsung di bawah epidermis
yang jaringannya tidak patologik. Bisa dijumpai sel virchow dengan banyak basil.
Pada tipe borderline terdapat campuran unsur-unsur tersebut. Sel

virchow

adalah histiosit yang dijadikan M.leprae sebagai tempat berkembangbiak dan


sebagai alat pengangkut penyebarluasan.
1.10.5 Pemeriksaan Serologis
Kegagalan pembiakan dan isolasi kuman mengakibatkan diagnosis
serologis merupakan

alternatif

yang

serologik,

didasarkan terbentuk

terinfeksi

oleh

M.leprae.

paling

antibodi

Pemeriksaan

diharapkan.

pada

tubuh

serologik

Pemeriksaan

seseorang
adalah

yang
MLPA

(Mycobacterium Leprae Particle Aglutination), uji ELISA dan ML dipstick.


1.10.6 Pemeriksaan Lepromin
Tes lepromin adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis
lepra tapi tidak untuk diagnosis. Tes ini berguna untuk menunjukkan sistem
imun penderita terhadap M.leprae. 0,1 ml lepromin dipersiapkan dari
ekstrak basil organisme, disuntikkan intradermal. Kemudian dibaca setelah 48
jam/ 2hari ( reaksi Fernandez) atau 3 4 minggu ( reaksi Mitsuda). Reaksi
Fernandez positif bila terdapat indurasi dan eritemayang menunjukkan kalau
penderita bereaksi terhadap M. Leprae yaitu respon imun tipe lambat ini
seperti mantoux test ( PPD) pada tuberkolosis
Reaksi Mitsuda bernilai :
0
Papul berdiameter 3 mm atau kurang
+ 1 Papul berdiameter 4 6 mm
+ 2 Papul berdiameter 7 10 mm
+ 3 papul berdiameter lebih dari 10 mm atau papul dengan ulserasi

20

1.11 Penanggulangan Penyakit Kusta


1.11.1 Pengobatan
Pengobatan berdasarkan regimen MDT (Multi Drug Therapy) dalam buku
Pedoman Diagnosis dan Terapi BAG/SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin RSU
Dokter Soetomo Surabaya adalah sebagai berikut :4,7
Pausibasiler
-

Rifampicine 600 mg/bulan, diminum di depan petugas (dosis supervisi)

DSS 100 mg/hari


Pengobatan diberikan dalam 6dosis selama 6 bulan- 9 bulan. Setelah

selesai minum 6-9 bulan, dosis dinyatakan RFT (Release From Treatment).
Selama pengobatan, pemeriksaan secara klinis tiap bulan dan bakterioskopis
setelah 6 bulan pada akhir pengobatan. Pemeriksaan dilakukan minimal setiap 2
tahun secara klinis dan bakterioskopis. Kalau tidak ada keaktifan baru secara
klinis dan bakterioskopis tetap negative, maka dinyatakan Release from control.
2.

Multibasiler

Rifampicine 600 mg/bulan, dosis supervisi.

DDS 100 mg/hari

Klofazimin 300 mg setiap bulan, dalam pengawasan, diteruskan 50 mg sehari

atau 100 mg selama sehari atau 3x100 mg setiap minggu


Pengobatan dilakukan secara teratur sebanyak 24 dosis selama 24-36
bulan denagn syarat bakterioskopis harus negative. Apabila masih positif,
pengobatan harus dilanjutkan sampai bakterioskopis negative. Sleama pengobatan
dilakukan pemeriksaan klinis setip bulan dan secara bakterioskopis minimal setiap
3 bulan. Jadi kira-kia selama 2-3 tahun kemungkinan pengobatan kusta
multibasiler. Setelah 2436 bulan klinis (-) dan bakterioskopis (-) maka pasien
dinyatakan release from treatment. Setelah RFT dilakukan tindak lanjut (tanpa
pengobatan) secara klinis dan bakterioskopis selama 5 tahun. Kalau negative,
maka pasien dinyatakan release from control.
21

Gambar 6. Regimen MDT


https://pramareola14.files.wordpress.com
1.12 Reaksi kusta
Reaksi kusta adalah suatu episode akut di dalam perjalanan klinik penyakit
kusta yang ditandai dengan terjadinya reaksi radang akut (neuritis) yang kadangkadang disertai dengan gejala sistemik. Reaksi kusta dapat merugikan pasien
kusta, oleh karena dapat menyebabkan kerusakan syaraf tepi terutama gangguan
fungsi sensorik (anestesi) sehingga dapat menimbulkan kecacatan pada pasien
kusta. Reaksi kusta dapat terjadi sebelum mendapat pengobatan, pada saat
pengobatan, maupun sesudah pengobatan, namun reakis kusta paling sering terjadi
pada 6 bulan sampai satu tahun sesudah dimulainya pengobatan.
Reaksi kusta dapat dibagi atas dua kelompok yaitu:
1. Reaksi kusta tipe 1 (Reaksi Reversal= RR)
Reaksi imunologik yang sesuai adalah reaksi hipersensitivitas tipe IV dari
Coomb & Gel (Delayed Type Hypersensitivity Reaction). Reaksi kusta tipe 1
22

terutama terjadi pada kusta tipe borderline (BT, BB, BL) dan biasanya terjadi
dalam 6 bulan pertama ataupun sedang mendapat pengobatan. Pada reaksi ini
terjadi peningkatan respon kekebalan seluler secara cepat terhadap kuman kusta
dikulit dan syaraf pada pasien kusta. Hal ini berkaitan dengan terurainya M.leprae
yang mati akibat pengobatan yang diberikan.
Antigen yang berasal dari basil yang telah mati akan bereaksi dengan
limfosit T disertai perubahan imunitas selular yang cepat. Dasar reaksi kusta tipe 1
adalah adanya perubahan keseimbangan antara imunitas selular dan basil. Diduga
kerusakan jaringan terjadi akibat langsung reaksi hipersensitivitas seluler terhadap
antigen basil.24 Pada saat terjadi reaksi, beberapa penelitian juga menunjukkan
adanya peningkatan ekspresi sitokin pro-inflamasi seperti TNF-, IL-1b, IL-6,
IFN- dan IL-12 dan sitokin immunoregulatory seperti TGF- dan IL-10 selama
terjadi aktivasi dari makrofag. Aktivasi CD4+ limfosit (Th-1) menyebabkan
produksi IL-2 dan IFN- meningkat sehingga dapat terjadi lymphocytic
infiltration pada kulit dan syaraf. IFN dan TNF- bertanggung jawab terhadap
terjadinya edema, inflamasi yang menimbulkan rasa sakit dan kerusakan jaringan
yang cepat.

Tabel 4. Gambaran reaksi kusta tipe 1


Organ yang diserang

Reaksi ringan

Reaksi berat

Kulit

Lesi kulit yang telah ada

Lesi yang telah ada

menjadi lebih eritematosa

menjadi eritematosa
Timbul lesi baru yang
kadang-kadang disertai
panas dan malaise

Syaraf tepi

Membesar, tidak ada nyeri Membesar,

nyeri

tekan

tekan syaraf dan gangguan dan gangguan fungsi.


Berlangsung lebih dari 6
fungsi
Berlangsung kurang dari 6 minggu
minggu

23

Kulit dan syaraf

Lesi yang telah ada akan Lesi

kulit

menjadi lebih eritematosa, eritematosa

yang
disertai

nyeri pada syaraf


ulserasi atau edema pada
Berlangsung kurang dari 6
tangan/kaki
minggu
Syaraf membesar, nyeri
dan fungsinya terganggu
Berlangsung lebih dari 6
minggu

2. Reaksi tipe 2 (Reaksi Eritema Nodosum Leprosum=ENL)


Reaksi kusta tipe 2 terutama terjadi pada kusta tipe lepromatous (BL, LL).
Diperkirakan 50% pasien kusta tipe LL Dan 25% pasien kusta tipe BL mengalami
episode ENL.
Umumnya terjadi pada 1-2 tahun setelah pengobatan tetapi dapat juga
timbul pada pasien kusta yang belum mendapat pengobatan Multi Drug Therapy
(MDT). ENL diduga merupakan manifestasi pengendapan kompleks antigen
antibodi pada pembuluh darah. Termasuk reaksi hipersensitivitas tipe III menurut
Coomb & Gel.
Pada pengobatan, banyak basil kusta yang mati dan hancur, sehingga
banyak antigen yang dilepaskan dan bereaksi dengan antibodi IgG, IgM dan
komplemen C3 membentuk kompleks imun yang terus beredar dalam sirkulasi
darah dan akhirnya akan di endapkan dalam berbagai organ sehingga
mengaktifkan sistem komplemen Berbagai macam enzim dan bahan toksik yang
menimbulkan destruksi jaringan akan dilepaskan oleh netrofil akibat dari aktivasi
komplemen.
Pada ENL, dijumpai peningkatan ekspresi sitokin IL-4, IL-5, IL 13 dan IL10 (respon tipeTh-2) serta peningkatan, IFN- danTNF-. IL-4, IL-5, IFN-,TNF bertanggung jawab terhadap kenaikan suhu dan kerusakan jaringan selama
terjadi reaksi ENL.
Reaksi ENL cenderung berlangsung kronis dan rekuren. Kronisitas dan
rekurensi ENL menyebabkan pasien kusta akan tergantung kepada pemberian
steroid jangka panjang.
24

Gambar 7. Spektrum reaksi kusta RR dan ENL


Keterangan gambar:
Gambaran tipe reaksi yang terjadi dan hubungannya dengan tipe imunitas dalam
spektrum imunitas pasien kusta menurut Ridkey-Jopling
Reaksi tipe 1 diperantarai oleh mekanisme imunitas seluler
Reaksi tipe 2 diperantarai oleh mekanisme imunitas humoral
Tabel 5 Gambaran reaksi kusta tipe 2
Organ yang diserang
Kulit

Syaraf tepi

Reaksi ringan

Reaksi berat

Nodus sedikit, dapat

Nodus banyak, nyeri,

ulserasi
Demam ringan dan

berulserasi
Demam tinggi dan

malaise

malaise

Membesar
Sangat membesar
Tidak ada nyeri tekan Nyeri tekan
Gangguan fungsi
syaraf
Fungsi
tidak
ada
gangguan

Organ tubuh

Tidak

ada

gangguan Terjadi

organ-organ dari tubuh

25

peradangan

pada:
mata:

nyeri,

penurunan

visus,

merah sekitar limbus


Testis: lunak, nyeri
dan membesar

Gambar 8. Tipe kusta dan reaksi kusta

26

Gambar 9. Reaksi reversal

DAFTAR PUSTAKA

CDC. (2003). Hansens's Disease (Leprosy), retrieved December 2003 from


http://cdc.gov/ncidod/dbmd/diseaseinfo/hansen-a.htm.htm. Last update:
February 11, 2004

Daili, dkk. 1998. Kusta. UI PRES. Jakarta.

Djuanda, Edwin. 1990. Rahasia Kulit Anda. FKUI. Jakarta.

Djuanda.A., Menaldi. SL., Wisesa.TW., dan Ashadi. LN. (1997). Kusta :


diagnosis dan Penatalaksanaan. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.

Djuanda. A.,Djuanda. S., Hamzah. M., dan Aisah.A. (1993). Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin. Jakarta: Balai Penrbit FKUI

Graham, Robin. 2002. Lecture Notes Dermatologi. Erlangga. Jakarta.

Nadesul, Hendrawan. 1995. Bagaimana Kalau Terkena Penyakit Kulit.

Barrett. TL., Wells. MJ., Libow.L., Quirk.C., and Elston DM. (2002). Leprosy,
retrieved

January

14,

2005

from

http://emedicine.com/derm/byname/leprosy.htm. Last update: April 10,


2002
9

Ditjen PPM & PL. (2000). Buku Pedoman Program P2 Kusta Bagi Petugas
Puskesmas. Jakarta : Sub Direktorat Kusta & Frambusia.

10

Dinkes

Prop.Sumsel.

(2003).

Modul

Palembang : tidak diterbitkan.


27

pemberantasan

penyakit

kusta.

11

Leisinger, KM. (2005). Leprosy in the year 2005: Impressive success with the
treatment

of

biblical

disease

http://novartisfoundatin.com/en/about/organization/board/klausleisinger.htm
12

WHO. (2002). Elimination of Leprosy as a Public Health Problem. retrieved


January

14,

2005

from

http://who.int.com/lep/stat2002/global02.htmLlast update: January 10,


2005

28

ILUSTRASI KASUS

IDENTITAS PASIEN
Nama
: Tn. M
Umur
: 50 Tahun
Jenis kelamin
: Laki-laki
Pekerjaan
: Nelayan
Alamat
: Pariaman
Status perkawinan
: Kawin
Negeri asal
: Pariaman
Agama
: Islam
Suku
: Minang
ANAMNESIS
Seorang pasien laki-laki datang ke poli kulit dan kelamin RSUD
Dr.Achmad Mochtar bukittinggi pada tanggal 14 Agustus 2015 pukul 10.30 WIB
dengan :
Keluhan utama
Muncul bercak putih yang mati rasa pada lengan kiri sejak 3 bulan yang lalu.
Riwayat penyakit sekarang
-

Muncul bercak-putih yang mati rasa pada lengan kiri sejak 3 bulan yang lalu.
Pada awalnya bercak putih ini sebesar uang logam, tapi makin lama

ukurannya makin membesar.


Bercak putih tersebut kering, agak bersisik, namun tidak gatal
Pasien tidak demam, dan tiak menrasakan nyeri sendi
Pasien mengaku tidak mengalami gangguan penglihatan
Pasien juga mengatakan tidak ada riwayat kerontokan rambut, alis mata dan

bulu mata
Pada bercak putih tersebut sebelumnya tidak ada riwayat luka pada bercak
Pasien belum pernah berobat untuk penyakit ini sebelumnya

Riwayat penyakit dahulu


Pasien belum pernah menderita penyakit ini sebelumnya
Riwayat penyakit keluarga
tidak ada anggota keluarga yang memiliki keluhan yang sama dengan pasien
Riwayat social ekonomi

29

Pasien tinggal di Pariaman sejak lahir


Penghasilan pasien < 1.000.000 tiap bulan
Di rumah, pasien tinggal dengan 1 orang istri dan 3 orang anak

PEMERIKSAAN FISIK
Status generalisata
Keadaan umum
: Tampak sakit ringan
Kesadaran
: Composmentis cooperatif
Tekanan darah
: 110/80 mmHg
Nadi
: 80 x/menit
Nafas
: 20 x/menit
Suhu
: 360 C
Berat badan
: 50 kg
Tinggi badan
: 160 cm
Status gizi
: Baik
IMT : 19,53
Mata
: Konjunctiva tidak anemis, sclera tidak ikterik
Thorak
: diharapkan dalam batas normal
Abdomen
: diharapkan dalam batas normal
KGB regional
: tidak terdapat pembesaran KGB aksila
Status dermatologikus
-

Lokasi
: lengan kiri
Distribusi : terlokalisir
Bentuk
: bulat
Permukaan
: kering
Susunan : anular
Batas
: tegas
Ukuran
: plakat
Efloresensi
: makula hipopigmentasi dengan pinggir papul eritema

Gangguan sensibilitas
-

Rasa tusuk : anestesi pada lesi


Rasa raba : anestesi pada lesi
Rasa suhu : termoanestesi pada lesi

Pembesaran saraf perifer


-

N. Ulnaris sinistra
N. Radialis sinistra
N. Medianus sinistra

: tidak ada pembesaran


: ada pembesaran
: tidak ada pembesaran

Kelainan lain-lain
30

Kontraktur
Mutilasi
Atrofi otot
Xerosis kutis
Absorbsi
Ulkus trofik
Madarosis
Lagophtalmus
Claw hand
Drop hand
Wrist drop
Dropped foot
Facies leonina

: tidak ada
: tidak ada
: tidak ada
: ada
: tidak ada
: tidak ada
: tidak ada
: tidak ada
: tidak ada
: tidak ada
: tidak ada
: tidak ada
: tidak ada

Status venereologikus
Kelainan kuku
Kelainan rambut

: tidak ada kelainan


: tidak ada kelainan
: rambut, alis mata, dan bulu mata tidak ditemukan

kelainan
Kelainan kelenjar limfe

: tidak ditemukan pembesaran kelenjar getah bening

DIAGNOSA

: Morbus Hansen tipe tuberkuloid (TT)

PEMERIKSAAN ANJURAN :
- Pemeriksaan bakterioskopik : pemeriksaan BTA
31

Pememeriksaan histopatologi
Pemeriksaan serologic
Lepromin tes
Gunawan sign

PENATALAKSANAAN
Umum :
- Menjelaskan kepada pasien tentang penyakit kusta, penularan, cara minum
-

obat, komplikasi, pentingnya berobat secara teratur


Menjelaskan kepada pasien bahwa penyakit kusta bukan merupakan penyakit

keturunan
Menganjurkan pasien untuk berobat teratur sampai pasien dinyatakan sembuh
Kontrol keadaan klinis setiap bulan, dan control bakterioskopis bila telah

selesai 6 bulan pengobatan


Menjelaskan kepada pasien bahwa daerah yang mati rasa merupakan tempat
resiko terjadinya luka sehingga berhati-hati, dan daerah luka merupakan port

d entre bakteri, sehingga hindari luka


Memberitahukan kepada pasien efek samping dari obat yang diminum seperti
penggunaan rifampicin menyebabkan warna buang air kecil berwarna merah
sehingga pasien tidak perlu khawatir

Khusus
Paket MDT-PB warna biru
-

Rifampicine 600 mg/bulan, diminum di depan petugas (dosis supervisi)

DSS 100 mg/hari


Pengobatan diberikan dalam 6dosis selama 6 bulan- 9 bulan. Setelah

selesai minum 6-9 bulan, dosis dinyatakan RFT (Release From Treatment).
Selama pengobatan, pemeriksaan secara klinis tiap bulan dan bakterioskopis
setelah 6 bulan pada akhir pengobatan. Pemeriksaan dilakukan minimal setiap 2
tahun secara klinis dan bakterioskopis. Kalau tidak ada keaktifan baru secara
klinis dan bakterioskopis tetap negative, maka dinyatakan Release from control.
PROGNOSIS

32

Quo ad sanatinam

: bonam

Quo ad vitam

: bonam

Quo ad cosmetikum

: bonam

Quo ad functionam

: bonam

33

RSUD Dr. ACHMAD MOCHTAR


Ruangan / poliklinik : Kulit dan kelamin
Dokter : dr. N
SIP.No. 111/sip/2015

Bukittinggi, 14 Agustus 2015

R/ Rifampicin Caps 300 mg No. II


S1dd tab II
R/ Dapson tab 100 mg No. XXVIII
S1dd tab I

Pro :Tn.M
Umur : 50 tahun
Alamat : Pariaman

34

Anda mungkin juga menyukai