Anda di halaman 1dari 41

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1

SISI ANESTESI
Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an-"tidak, tanpa" dan

aesthtos, "persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu


tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai
prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Istilah anestesi
digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun 1846.
Anestesi menurut arti kata adalah hilangnya kesadaran rasa sakit, namun
obat anestasi umum tidak hanya menghilangkan rasa sakit akan tetapi juga
menghilangkan kesadaran. Pada operasi-operasi daerah tertentu seperti perut,
maka selain hilangnya rasa sakit dan kesadaran, dibutuhkan juga relaksasi otot
yang optimal agar operasi dapat berjalan dengan lancar.
Tujuannya untuk menghalau rasa sakit di bagian tubuh tertentu, daripada
harus melakukan pembiusan total. Tujuan anastesi adalah untuk menyediakan,
atau menghilangkan rasa sakit. Memblokir impuls saraf dari bagian bawah
segmen tulang belakang yang mengakibatkan penurunan sensasi di bagian bawah
tubuh.
Tindakan anestesi bertujuan untuk keselamatan pasien dalam menjalani
tindakan operasi. Keselamatan pasien akan lebih terjamin bila dapat dicegah atau
dihindari hal-hal yang dapat membahayakan pasien baik selama operasi maupu
sesudahnya.

Anestesi dibagi menjadi dua kelompok yaitu anestesi lokal dan anestesi
umum. Pada anestesi lokal hilangnya rasa sakit tanpa disertai hilang kesadaran,
sedangkan pada anestesi umum hilangnya rasa sakit disertai hilang kesadaran.

2.1.1 Penilaian dan Persiapan Pre Anestesi


Persiapan prabedah yang kurang memadai merupakan faktor penyumbang
sebab terjadinya kecelakaan anestesi. Tujuan utama kunjungan pra anestesi ialah
untuk mempersiapkan mental dan fisik pasien secara optimal, merencanakan dan
memilih teknik dan obat anestetik yang sesuai, serta menentukan klasifikasi yang
sesuai (Latief, 2009).
I. Persiapan pre anestesi
1. Anamnesis
a.

Identifikasi pasien yang meliputi: nama, umur, alamat, pekerjaan,


dll.

b.

Keluhan saat ini dan operasi yang akan dihadapi

c.

Riwayat penyakit yang sedang/pernah diderita yang dapat mejadi


penyulit anestesi (alergi, DM, penyakit paru kronis, penyakit jantung,
hipertensi, penyakit ginjal, penyakit hati, dll.

d.

Riwayat obat-obatan yang meliputi alergi obat, intoleransi obat dan


obat yang digunakan sekarang dan dapat menimbulkan interaksi dengan
obat anastesi.

e.

Riwayat anastesi / operasi sebelumnya

f.

Riwayat kebiasaan sehari-hari yang dapat mempengaruhi tndakan


anestesi seperti merokok, alkohol, dll.

g.

Riwayat keluarga yang menderita kelainan

h.

Makaan yang terakhir dimakan.

2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan keadaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relaif besar
sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan laringoskopi
intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan laringoskopi intubasi.
Pemeriksaan rutin lain secara sistematik tentang keadaan umum tentu tidak
boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi semua sitem
organ. Sistem organ yang harus diperiksa meliputi:

Breath (B1): jalan napas, pola napas, suara napas, suara napas tambahan.

Blood (B2) : T, N, perfusi, suara jantung, suara tambahan, kelainan


anatomis dan fungsi jantung.

Brain (B3) : GCS, riwayat stroke, kelainan saraf pusat/perifer lainny.

Bladder (B4) : GGA, GGK, produksi urine.

Bowel (B5) : makan minum terakhir, bising usus, gangguan peristaltik,


gangguan lambung, gangguan metabolik, massa, kehamilan.

Bone : Patah tulang, kelainan postur tubuh, kelainan neuromuskuler.

3. Pemeriksaan Laboratorium
a.

Rutin : darah lengkap (Hb, leukosit, hitung jenis, golongan


darah, masa perdarahan, masa pembekuan); urin (protein, reduksi,
sedimen), foto dada, EKG terutama pasien berumur lebih dari 40
tahun), Fungsi ginjal, fungsi liver, dll.

b.

Khusus, dilakukan bila terdapat riwayat atau indikasi:


o Elektrokardiografi pada anak
3

o Spirometri atau bronkospirometri pada pasien tumor paru


o Fungsi hati pada pasien ikterus
o Fungi ginjal pada pasien hipertensi
4. Kebugaran untuk anestesi
Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa bats waktu untuk menyiapkan
agar pasien dalam keadaan bugar, sebaliknya pada operasi sito penundaan yang
tidak perlu harus dihindari (Latief, 2009).
Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang
ialah yang berasal dari The American Society of Anesthesiologists (ASA)
membuat klasifikasi pasien menjadi:

Kelas I : pasien normal dan sehat organik, fisiologis, psikiatrik,


dan biokimia.
Kelas II : pasien dengan penyakit sistemik ringan dan

tidak ada keterbatasan fungsional.


Kelas III : pasien dengan penyakit sistemik sedang

sampai berat yang menyebabkan keterbatasan fungsi.


Kelas IV : pasien dengan penyakit sistemik berat yang

mengancam hidup dan menyebabkan ketidakmampuan fungsi.


Kelas V : pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau

tanpa pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.


Pada bedah cito atau emergncy biasanya dicantumkan

huruf E
5.

Masukan oral

Puasa sebelum operasi bertujuan untuk meminimalkan regurgitasi


isi lambung dan kotoran dalam jalan nafas selama operasi akibat pengaruh
anestesi. Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam
dan pada bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam
sebelum induksi anestesi. Minuman bening, air putih, the manis sampai 3
jam dan untuk keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas
boleh 1 jam sebelum induksi anestesi.
II. Perencanaan Anestesi
Rencana anestesi meliputi hal-hal :
1. Premedikasi
2. Jenis anestesi : umum / anestesi lokal
3. Perawatan selama anestesi : pemberian oksigen dan sedasi
4. Pengaturan intra / durante operasi meliputi monitoring, keracunan,
pengaturan cairan, dan penggunaan teknik khusus
5. Pengaturan pasca operasi meliputi pengendalian nyeri dan perawatan
intensif.

III. Premedikasi
Premedikasi adalah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi
dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anetesi
diantaranya:
a) Meredakan kecemasan dan ketakutan
b) Memperlancar induksi anestesi
c) Megurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus

d) Meminimalkan jumlah obat anestesi


e) Mengurangi mual muntah pasca bedah
f) Menciptakan amnesia
g) Mengurangi isi cairan lambung
h) Mengurangi reflek yang membahayakan
Obat obat yang digunakan untuk premedikasi antara lain:

Golongan sedativa

Valium : 0,01 mg/kgBB.

Luminasi kemasan 1 ampul = 100 mg, dosis : 0,01 mg/kgBB.

Golongan narkotik

Petidin kemasan 1 ampul = 100mg, dosis 1mg/kg BB.

Morphin kemasan 1 ampul, dosis : 0,1 g.kg BB.

Golongan Belladona

Sulfas atropin kemasan 1 ampul = 0,25 mg, dosis 0,01 0,04


mg/kg BB.

Golongan antasida

Gelusil dan mylanta diberian 10-20 cc atau 1-3 sendok setelah


suction aktif.

2.1.2

Anestesi Umum
General anestesi atau anestesi umum adalah hilangnya rasa sakit secara

sentral disertai hilangnya kesadaran (revesibel) (Sumartanto, 2005). Kadar


ketidaksadaran yang reversibel yang disebabkan oleh zat anestesi, disertai

hilangnya sensasi sakit pada seluruh tubuh. Induksi anestesi adalah tindakan
untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar.

Fisiologi terjadinya anestesi


Obat anestetika masuk ke pembuluh darah/sirkulasi kemudian menyebar
ke jaringan, yang pertama terpengaruh adalah jaringan yang kaya akan pembuluh
darah yaitu otak sehingga kesadaran menurun/hilang, disertai hilangnya rasa nyeri
dan lain-lain.

Cara pemberian obat


Induksi anestesi dapat dikerjakan dengan cara inhalasi, intravena (IV),
intramuskular (IM), atau rektal. Anestesi inhalasi : nitrous oxide / N2O, halothane,
enflurane, isoflurane, sevoflurane. Anestesi IV/ IM : thiopental, propofol,
ketamin, midazolam, diazepam. Anestesi perektal : thiopental (Latief, 2009).
Kontra indikasi
1.

Kontra indikasi mutlak payah jantung.

2.

Kontra indikasi relatif, tergantung kepada efek farmakologis dari obat yang
dipakai yaitu:
a. Kelainan jantung : hindarkan pemakaian obat yang mendepresi miokard,
misalnya eter, tiopental dan halotan.
b. Kelainan hepar : hindarkan obat yang dimetabolisme di hepar.
c. Kelainan ginjal : hindarkan obat yang diekresi di ginjal, misal
petidin/gallarmin, morfin

d. Kelainan paru : hindarkan obat-obat yang menyebabkan hipersekresi


saluran pernafasan yang mengakibatkan pengentalan sekresi dalam paru
misal eter.
e. Kelainan endokrin : pada diabetes melitus hindarkan pemakaian obat
yang merangsang simpatis karena menyebabkan peninggian gula darah
misal eter.
I.

Induksi Intravena
Induksi intravena paling banyak dikerjakan dan digemari, apalagi sudah
terpasang jalur vena, karena cepat dan menyenangkan. Induksi intravena
hendaknya dikerjakan dengan hati-hati, perlahan-lahan, lembut dan
terkendali. Obat induksi bolus disuntikkan dalam kecepatan antara 30-60
detik. Selama induksi anestesi, pernafasan pasien, nadi dan tekanan darah
harus diawasi dan selalu diberikan oksigen. Induksi cara ini dikerjakan pada
pasien yang kooperatif.
Tiopental diberikan secara intravena dengan kepekatan 2,5% dan dosis 3-7
mg/kgBB. Keluar vena menyebabkan nyeri. Pada anak dan manula digunakan
dosis rendah dan dewasa muda sehat dosis tinggi.
Propofol intravena dengan kepekatan 1% menggunakan dosis 2-3
mg/kgBB. Suntikan propofol intravena sering menyebabkan nyeri sehingga
satu menit sebelumnya sering diberikan lidokain 1 mg/kg secara intravena.
Ketamin intra vena dengan dosis 1-2 mg/kgBB. Pasca anestesi dengan
ketamin sering menimbulkan halusinasi, karena itu sebelumnya dianjurkan
menggunakan sedativa seperti midasolam. Ketamin tidak dianjurkan pada
pasien dengan tekanan darah tinggi. Ketamin menyebabkan pasien tidak
sadar, tetapi dengan mata terbuka.

II. Induksi Inhalasi

Induksi inhalasi hanya dikerjakan dengan halotan atau sevofluran. Cara


induksi ini dikerjakan pada bayi atau anak yang belum terpasang jalur vena
atau pada dewasa yang takut disuntik.
Induksi halotan memerlukan gas pendorong O2 atau campuran
N2O:O2=3:1 aliran > 4 liter/menit, dimulai dengan halotan 0,5 vol% sampai
konsentrasi yang dibutuhkan. Kalau pasien batuk konsentrasi halotan
diturunkan untuk kemudian kalau sudah tenang dinaikkan lagi sampai
konsentrasi yang diperlukan.
Induksi dengan sevofluran lebih disenangi karena pasien jarang
batukwalupun langsung diberikan dengan konsentrasi tinggi sampai 8 vol%.
Seperti dengan halotan konsentrasi dipertahankan sesuai kebutuhan.
Induksi dengan enfluran, isofluran atau desfluran jarang dilakukan, karena
pasien sering batuk dan waktu induksi lama.
III. Induksi Intramuskular
Sampai sekarang hanya ketamin yang

dapat

diberikan

secara

intramuskular dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit pasien tidur.
IV. Induksi Perrektal
Cara ini hanya untuk anak atau bayi menggunakan tiopental atau
midazolam.

2.1.3

Manajemen Airway Selama Anestesi Umum


Intubasi Endotracheal
Klasifikasi tampaknya faring pada saat mulut terbuka maksimal dan
lidah dijulurkan maksimal menurut Mallampati dibagi menjadi 4
grade :
1. Grade 1 : tampak pilar faring, pallatum molle, dan uvula

2. Grade 2 : tampak hanya pallatum mole dan uvula


3. Grade 3 : tampak hanya pallatum molle
4. Grade 4 : pallatum molle tidak tampak

Gambar 2.1 Klasifikasi Mallampati


Indikasi Intubasi Endotracheal :
1. Menjaga potensi jalan napas.
2. Mempermudah ventilasi positif.dan oksigenasi.
3. Pencegahan terhadap aspirasi dan reguirgitasi .
Teknik Intubasi :
1. Penderita telentang, oksiput diganjal bantal (Sniffing Position).
2. Masukkan bilah laringoskopi ke dalam mulut (sudut mulut
kanan) singkirkanlah lidah pasien ke kiri.sehingga nampak
rima glottis.
3. Pada rima glottis tampak pita suara berbentuk V.

10

4. Pipa trachea (tube) dimasukkan dalm pita suara.


5. Setelah pipa masuk trachea, kembangkan paru-paru dan periksa
apakah suara paru kanan dan kiri sama.
Ekstubasi
1. Ekstubasi ditunda sampai pasien benar-benar sadar :
-Intubasi kembali akan menimbulkan kesulitan.
-Pasca ekstubasi ada resiko aspirasi.
2. Ekstubasi dokerjakan umumnya pada anestesi sudah ringan
dengan catatan
tidak akan terjadi spasme laring.
3. Sebelum ekstubasi, bersihkan rongga mulut, laring, faring dan
sekret cairan
lainnya.

2.1.4 Tanda-Tanda Anestesia


Tabel stadium anestesia menurut Guedel

Stadia (St)

Respirasi
Ritme

Pupil
Volume

Ukuran

DepresiReflek

Letak

11

I : analgesia
sampai
hilang
kesadaran

Tidak
teratur

II : sampai
pernapasan
teratur,
otomatis

Tidak
teratur

Kecil

Diverge
n

Besar

Lebar

Diverge
n

Teratur

Besar

Kecil

Diverge
n

Kulit
konjungtiva

P2: sampai
awal parese
otot

Teratur

Sedang

lebar

Menetap
di
tengah

Kornea

P3: sampai
lumpuh otot
pernapasan

Teratur
pause
setelah
ekspirasi

Sedang

lebar

Menetap
di
tengah

Faring

P4: sampai
lumpuh
diafragma

Tidak
teratur,
jerky,
inspirasi
cepat dan
memanja
ng

Kecil

Meleba
r
maksim
al

Menetap
di
tengah

Sfingter ani

Kecil

Tidak ada

Bulu mata
Kelopak
mata

III :
P1: sampai
hilang
gerakan
bola mata

peritoneum

Karina

IV:
henti
napas
sampai henti
jantung

2.1.5 Monitoring Selama Anestesia


a. Tingkat kedalaman anestesi
Rangsang terhadap kulit/mukosa oleh alat atau operasi atau obat
anestesia yang berbau tajam

12

Rangsangan SSP: airmata dan keringat tidak keluar, tidak terjadi

vasonontriksi, kulit menjadi hangat


Rangsang terhadap pernapasan: tidak terjadi takipnu, nafas teratur
Rangsang kardiovaskuler: tidak terjadi takikarsi, hipertensi.
b. Suhu
Tergantung pada: jenis sirkuit anestesia (sirkuit tertutup
produksi panas meningkat, tebal dan lebarnya kain penutup
operasi, intensitas lampu operasi, suhu kamar operasi, luas
permukaan tubuh yang terbuka selama operasi, anestesia dan
pembedahan yang memakan waktu lama)
c. Kardiovaskular
Fungsi jantung dapat diperkirakan dari hasil observasi nadi,
bunyi jantyung, pemeriksaan EKG, MAP, CVP, produksi urin,
dan tekanan darah langsung intra-arteri.
d. Nadi
Anestesi yang terlalu dalam dapat bermanifestasi pada nadi yang

lambat dan denyut jantung yang lemah.


Monitor nadi bermanfaat sekali untuk kasus-kasus: anak-anak
dan bayi dimana pulsasi nadi sedikit lemah, selama pernapasan
kontrol dimana monitoring napas tidak dikerjakan, observasi
adanya ritme ektopik selama anestesia, sebagai indeks

penurunan tekanan darah selama anestesi halotan.


e. EKG
Memonitor perubahan frekuensi dan ritme jantung serta sistem

konduksi jantung
Indikasi: mendiagnosa adanya henti jantung, aritmia, iskemia

miokard, perubahan elektrolit, dan observasi pacemaker.


f. Tekanan darah arteri (MAP)
g. Tekanan darah vena sentral (CVP)

13

Pemeriksaan ini menunjukkan hubungan antar kemampuan


jantung dan volume darah yang diterima, terutama untuk

evaluasi apakah pemberian cairan infus cukup atau tidak.


h. Produksi urin
Dalam anestesia produksi urin dipengaruhi oleh zat anestetika,
tekanan darah, volume darah, hidrasi pasien dan faal ginjal.
Jumlah urin normal 1 ml/kgBB/jam. Jaga sterilitas kateter.
i. Perdarahan selama pembedahan
Evaluasi jumlah perdarahan, warna.
j. Respirasi
Pernapasan dinilai dari jenis napasnya apakah torakal atau
abdominal, apakah ada napas paradoksal, retraksi interkostal
atau supraklavikula, spasme laring, ronki.

2.1.6 Terapi Cairan


1. Cairan pemeliharaan :
Tujuannya untuk mengganti kehilangan air tubuh lewat urin, feses,
paru dan keringat. Jumlah kehilangan air tubuh ini berbeda sesuai
dengan umur, yaitu :
-

Dewasa

1,5 2 ml/Kg/jam

Anak anak

2 4 ml/Kg/jam

Bayi

4 6 ml/Kg/jam

Neonates

3 ml/Kg/jam

Mengingat cairan yang hilang dengan cara ini sedikit sekali


mengandung elektrolit, maka sebagai cairan pengganti adalah yang
hipotonik, dengan perhatian khusus untuk natrium

14

Cairan kristaloid untuk pemeliharaan misalnya dekstrosa 5% dalam


NaCl 0,455 (D5NaCl 0,45)
Untuk mengganti cairan ini dapat juga digunakan cairan non
elektrolit misalnya Dekstrosa 5% dalam air (D5W)
2. Cairan pengganti :
Tujuannya adalah untuk mengganti kehilangan air tubuh yang
disebabkan oleh sekuentrasi atau proses patologi yang lain.
Sebagai cairan pengganti untuk tujuan ini digunakan cairan
isotonis, dengan perhatian khusus untuk konsentrasi natrium, misalnya
dekstrose 5% dalam ringer laktat (D5Rl), NaCl 0,9%. D5 NaCl
4. Cairan untuk tujuan khusus :
Yang dimaksud adalah cairan kristaloid yang digunakan khusus,
misalnya natrium bikarbonat 7,5 5, NaCl 3%, dl. Cairan non elektrolit :
Contoh dektrose 5%, 10%, digunakan untuk memenuhi kebutuhan air
dan kalori, dapat juga digunakan sebagai cairan pemeliharaan. Cairan
koloid : Disebut juga sebagai plasma ekspander, karena memiliki
kemampuan besar dalam mempertahankan volume intra-vaskuler.
Contohnya Dekstran, haemacel, albumin, plasma, darah. Cairan koloid
ini digunakan untuk mengganti kehilangan cairan intravaskuler.

2.1.7 Pulih sadar dan pemulangannya


Masa pulih sadar pada anastesi tidak hanya dinilai asal pasien telah
sadar, tetapi ada hal-hal yang penting dan perlu diperhatikan, mengingat

15

bahwa pasien ini akan lepas dari pengawasan dokter/perawat rumah sakit.
Sementara itu efek dari obat anastesi tidak semuanya telah hilang.
Untuk menilai masa pulih sadar, Steward membagi dalam 3 tahap :
1. Immediate recovery : kembalinya kesadaran, kembalinya reflek-reflek
protektif jalan nafas dan aktivitas motorik singkat. Tahap ini singkat dan
dengan tepat diikuti dengan menggunakan skoring system
2. Intermediate recovery : kembalinya fungsi koordinasi, hilangnya perasaan
pusing subyektif. Tahap ini kira-kira 1 jam setelah anstesi yang tidak
terlalu lama. Dalam tahap ini mungkin pasien sudah dapat dipulangkan
asal pendamping yang dapat dipertanggung jawabkan
3. Longterm recovery : tahap ini dapat berlangsung berjam-jam bahkan
berhari-hari tergantung dari lamanya anastesi. Untuk pengukurannya perlu
tes psikomotor, sehingga tidak praktis untuk dilakukan di klinis.

Gambar 2.2 Ringkasan Anestesi Umum


2.2

ANESTESI SPINAL
Anestesi

spinal

(subaraknoid)

adalah

anestesi

regional

dengan

tindakanpenyuntikan obat anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid. Anestesi

16

spinal/subaraknoid juga disebut sebagai analgesi/blok spinal intradural atau blok


intratekal.
Hal hal yang mempengaruhi anestesi spinal ialah jenis obat, dosis obat
yangdigunakan, efek vasokonstriksi, berat jenis obat, posisi tubuh, tekanan
intraabdomen,lengkung tulang belakang, operasi tulang belakang, usia pasien,
obesitas, kehamilan, danpenyebaran obat.
Pada penyuntikan intratekal, yang dipengaruhi dahulu ialah saraf simpatis
danparasimpatis, diikuti dengan saraf untuk rasa dingin, panas, raba, dan tekan
dalam. Yangmengalami blokade terakhir yaitu serabut motoris, rasa getar
(vibratory sense) danproprioseptif. Blokade simpatis ditandai dengan adanya
kenaikan suhu kulit tungkaibawah. Setelah anestesi selesai, pemulihan terjadi
dengan urutan sebaliknya, yaitu fungsimotoris yang pertama kali akan pulih.
Di dalam cairan serebrospinal, hidrolisis anestetik lokal berlangsung
lambat.Sebagian besar anestetik lokal meninggalkan ruang subaraknoid melalui
aliran darahvena sedangkan sebagian kecil melalui aliran getah bening. Lamanya
anestesi tergantungdari kecepatan obat meninggalkan cairan serebrospinal.
Tabel Dosis dan Durasi Obat Anestetik Spinal

INDIKASI dan KONTRAINDIKASI


Anestesi spinal dapat diberikan pada tindakan yang melibatkan tungkai
bawah,panggul, dan perineum. Anestesi ini juga digunakan pada keadaan khusus
17

seperti bedahendoskopi, urologi, bedah rectum, perbaikan fraktur tulang panggul,


bedah obstetric, danbedah anak. Anestesi spinal pada bayi dan anak kecil
dilakukan setelah bayi ditidurkandengan anestesi umum.
Indikasi:
1.

Bedah ekstremitas bawah

2.

Bedah panggul

3.

Tindakan sekitar rektum perineum

4.

Bedah obstetric-ginekologi

5.

Bedah urologi.

6.

Bedah abdomen bawah

7.

Pada bedah abdomen atas dan bawah pediatric biasanya dikombinasikan

dengan anesthesia umum ringan


Kontra indikasi absolute:
1.

Pasien menolak

2.

Infeksi pada tempat suntikan

3.

Hipovolemia berat, syok

4.

Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan

18

5.

Tekanan intracranial meningkat

6.

Fasilitas resusitasi minim

7.

Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi.

Kontra indikasi relative:


1.

Infeksi sistemik

2.

Infeksi sekitar tempat suntikan

3.

Kelainan neurologis

4.

Kelainan psikis

5.

Bedah lama

6.

Penyakit jantung

7.

Hipovolemia ringan

8.

Nyeri punggung kronik

PERSIAPAN PASIEN
Pada dasarnya persiapan untuk analgesia spinal seperti persiapan pada
anastesia umum. Daerah sekitar tempat tusukan diteliti apakah akan menimbulkan
kesulitan,misalnya ada kelainan anatomis tulang punggung atau pasien gemuk
sekali sehingga tak teraba tonjolan prosesus spinosus. Selain itu perlu
diperhatikan hal-hal di bawah ini:

19

1.

Informed consent Kita tidak boleh memaksa pasien untuk menyetujui


anesthesia spinal

2.

Pemeriksaan fisik Tidak dijumpai kelainan spesifik seperti kelainan


tulang punggung

3.

Pemeriksaan laboratorium anjuran Hb, ht,pt,ptt

PERALATAN ANESTESI SPINAL


1.

Peralatan monitor: tekanan darah,pulse oximetri,ekg

2.

Peralatan resusitasi

3.

Jarum spinal
Jarum spinal dan obat anestetik spinal disiapkan. Jarum spinal
memilikipermukaan yang rata dengan stilet di dalam lumennya dan ukuran
16G sampai dengan30G. obat anestetik lokal yang digunakan adalah
prokain, tetrakain, lidokain, ataubupivakain. Berat jenis obat anestetik lokal
mempengaruhi aliran obat dan perluasan. Jarum spinal dengan ujung
tajam(ujung bamboo runcing, quinckebacock) atau jarum spinal dengan
ujung pinsil(pencil point whitecare).

20

TEKNIK ANESTESI SPINAL


Berikut langkah-langkah dalam melakukan anestesi spinal, antara lain:
1. Posisi pasien duduk atau dekubitus lateral. Posisi duduk merupakan posis
itermudah untuk tindakan punksi lumbal. Pasien duduk di tepi meja
operasidengan kaki pada kursi, bersandar ke depan dengan tangan
menyilang di depan.Pada posisi dekubitus lateral pasien tidur berbaring
dengan salah satu sisi tubuhberada di meja operasi.

2. Posisi permukaan jarum spinal ditentukan kembali, yaitu di daerah antara


vertebrata lumbalis (interlumbal).
3. Lakukan tindakan asepsis dan antisepsis kulit daerah punggung pasien.
4. Lakukan penyuntikan jarum spinal di tempat penusukan pada bidang
medial dengan sudut 10o-30o terhadap bidang horizontal ke arah cranial.
Jarum lumbal akan menembus ligamentum supraspinosum, ligamentum
interspinosum, ligamentum flavum, lapisan duramater, dan lapisan
subaraknoid. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua garis
Krista iliaka,missal L2-L3, L3-L4, L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau
diatasnya berisiko trauma terhadap medulla spinalis.

21

5. Cabut stilet lalu cairan serebrospinal akan menetes keluar.


6. Suntikkan obat anestetik local yang telah disiapkan ke dalam ruang
subaraknoid.Kadang-kadang untuk memperlama kerja obat ditambahkan
vasokonstriktorseperti adrenalin.

Tinggi blok analgesia spinal


Factor yang mempengaruhi:
-

Volume obat analgetik local: makin besar makin tinggi daerah analgesia

Konsentrasi obat: makin pekat makin tinggi batas daerah analgesia

Barbotase: penyuntikan dan aspirasi berulang-ulang meninggikan batas


daerah analgetik.

Kecepatan: penyuntikan yang cepat menghasilkan batas analgesia yang


tinggi. Kecepatan penyuntikan yang dianjurkan: 3 detik untuk 1 ml larutan.
22

Maneuver valsava: mengejan meninggikan tekanan liquor serebrospinal


dengan akibat batas analgesia bertambah tinggi.

Tempat pungsi: pengaruhnya besar pada L4-5 obat hiperbarik cenderung


berkumpul ke kaudal(saddle blok) pungsi L2-3 atau L3-4 obat cenderung
menyebar ke cranial.

Berat jenis larutan: hiper,iso atau hipo barik

Tekanan abdominal yang meningkat: dengan dosis yang sama didapat batas
analgesia yang lebih tinggi.

Tinggi pasien: makin tinggi makin panjang kolumna vertebralis makin


besar dosis yang diperlukan.(BB tidak berpengaruh terhadap dosis obat)

Waktu: setelah 15 menit dari saat penyuntikan,umumnya larutan analgetik


sudah menetap sehingga batas analgesia tidak dapat lagi diubah dengan
posisi pasien.

KOMPLIKASI
Komplikasi

analgesia

spinal

dibagi

menjadi

komplikasi dini dan

komplikasi delayed. Komplikasi berupa gangguan pada sirkulasi,respirasi dan


gastrointestinal.
Komplikasi sirkulasi:
Hipotensi terjadi karena vasodilatasi, akibat blok simpatis, makin tinggi blok
makin berat hipotensi. Pencegahan hipotensi dilakukan dengan memberikan

23

infuse cairan kristaloid(NaCl,Ringer laktat) secara cepat sebanyak 10-15ml/kgbb


dlm 10 menit segera setelah penyuntikan anesthesia spinal. Bila dengan cairan
infuscepat tersebut masih terjadi hipotensi harus diobati dengan vasopressor
seperti efedrin intravena sebanyak 19mg diulang setiap 3-4menit sampai mencapai
tekanan darah yang dikehendaki.
Bradikardia dapat terjadi karena aliran darah balik berkurang atau karena blok
simpatis,dapat diatasi dengan sulfas atropine 1/8-1/4 mg IV.
Komplikasi respirasi:
1.

Analisa gas darah cukup memuaskan pada blok spinal tinggi,bila fungsi
paru-paru normal.

2.

Penderita PPOM atau COPD merupakan kontra indikasi untuk blok spinal
tinggi.

3.

Apnoe dapat disebabkan karena blok spinal yang terlalu tinggi atau karena
hipotensi berat dan iskemia medulla.

4.

Kesulitan bicara,batuk kering yang persisten,sesak nafas,merupakan tandatanda tidak adekuatnya pernafasan yang perlu segera ditangani dengan
pernafasan buatan.

Komplikasi gastrointestinal:
Nausea

dan

berlebihan,pemakaian

muntah
obat

karena

hipotensi,hipoksia,tonus

narkotik,reflek

karena

traksi

parasimpatis
pada

traktus

24

gastrointestinal

serta

komplikasi

delayed,pusing

kepala

pasca

pungsi

lumbalmerupakan nyeri kepala dengan cirri khasterasa lebih berat pada perubahan
posisi dari tidur ke posisi tegak. Mulai terasa pada 24-48jam pasca pungsi
lumbal,dengan kekerapan yang bervariasi. Pada orang tua lebih jarang dan pada
kehamilan meningkat.
Pencegahan:
1.

Pakailah jarum lumbal yang lebih halus

2.

Posisi jarum lumbal dengan bevel sejajar serat duramater

3.

Hidrasi adekuat,minum/infuse 3L selama 3 hari

Pengobatan:
1.

Posisi berbaring terlentang minimal 24 jam

2.

Hidrasi adekuat

3.

Hindari mengejan

4.

Bila cara diatas tidak berhasil berikan epidural blood patch yakni
penyuntikan darah pasien sendiri 5-10ml ke dalam ruang epidural.

Retentio urine Fungsi kandung kencing merupakanbagian yang fungsinya


kembali paling akhir pada analgesia spinal,umumnya berlangsung selama 24 jam.
Kerusakan saraf pemanen merupakan komplikasi yang sangat jarang terjadi.
Anastetik local untuk analgesia spinal

25

Berat jenis cairan cerebrospinalis pada 37 derajat celcius adalah 1.003-1.008.


anastetik local dengan berat jenis sama dengan css disebut isobaric. Anastetik
local dengan berat jenis lebih besar dari css disebut hiperbarik. Anastetik local
dengan berat jenis lebih kecil dari css disebut hipobarik.
Anastetik local yang sering digunakan adalah jenis hiperbarik diperoleh dengan
mencampur anastetik local dengan dextrose. Untuk jenis hipobarik biasanya
digunakan tetrakain diperoleh dengan mencampur dengan air injeksi.
Anestetik local yang paling sering digunakan:
1.

Lidokaine(xylobain,lignokain) 2%: berat jenis 1.006, sifat isobaric, dosis 20100mg (2-5ml)

2.

Lidokaine(xylobain,lignokaine) 5% dalam dextrose 7.5%: berat jenis 1.003,


sifat hyperbaric, dose 20-50mg(1-2ml)

3.

Bupivakaine(markaine) 0.5% dlm air: berat jenis 1.005, sifat isobaric, dosis
5-20mg

4.

Bupivakaine(markaine) 0.5% dlm dextrose 8.25%: berat jenis 1.027, sifat


hiperbarik, dosis 5-15mg(1-3ml)

Penyebaran anastetik local tergantung:


1.

Factor utama:
a.

berat jenis anestetik local(barisitas)

26

2.

b.

posisi pasien

c.

Dosis dan volume anestetik local

Factor tambahan
a.

Ketinggian suntikan

b.

Kecepatan suntikan/barbotase

c.

Ukuran jarum

d.

Keadaan fisik pasien

e.

Tekanan intra abdominal

Lama kerja anestetik local tergantung:


1.

Jenis anestetia local

2.

Besarnya dosis

3.

Ada tidaknya vasokonstriktor

4.

Besarnya penyebaran anestetik local

Komplikasi tindakan
1.

Hipotensi berat Akibat blok simpatis terjadi venous pooling. Pada dewasa
dicegah dengan memberikan infus cairan elektrolit 1000ml atau koloid
500ml sebelum tindakan.

27

2.

Bradikardia Dapat terjadi tanpa disertai hipotensi atau hipoksia,terjadi


akibat blok sampai T-2

3.

Hipoventilasi Akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat


kendali nafas

4.

Trauma pembuluh saraf

5.

Trauma saraf

6.

Mual-muntah

7.

Gangguan pendengaran

8.

Blok spinal tinggi atau spinal total

Komplikasi pasca tindakan


1.

Nyeri tempat suntikan

2.

Nyeri punggung

3.

Nyeri kepala karena kebocoran likuor

4.

Retensio urine

5.

meningitis

2.3 SISI BEDAH


2.3.1 HERNIA

28

Hernia merupakan protrusi atau penonjolan isi suatu rongga melalui defek
atau bagian lemah dari dinding rongga bersangkutan. Pada hernia abdomen, isi
perut menonjol melalui defek atau bagian lemah dari lapisan muskulo-aponeurotik
dinding perut.
Hernia terdiri atas cincin, kantong, dan isi hernia. Berdasarkan terjadinya,
hernia dibagi atas hernia bawaan atau kongenital dan hernia dapatan atau akuisita.
Hernia diberi nama menurut letaknya, misalnya diafragma, inguinal, umbilikal,
femoral.
Hernia dibagi menurut :
1. Terjadinya
a. Kongenital
b. akuisita
2. Letaknya
a. Hernia diaphragma
b. Hernia umbilical
c. Hernia inguinal
d. Hernia femoral
3. Sifatnya
a. Reponible

Isi hernia keluar masuk

Gangguan pasase (-)

b. Irreponible

Terjadi perlekatan isi kantong dengan peritoneum kantong


(HERNIA AKRETA)

29

Tidak ada sumbatan/ gangguan pasase (-)

Nyeri (-)

Isi kantong tidak dapat masuk lagi

Menurut sifatnya, hernia dapat disebut hernia reponibel bila isi hernia
dapat keluar masuk. Usus keluar jika berdiri atau mengedan dan masuk lagi jika
berbaring atau didorong masuk ke perut, tidak ada keluhan nyeri atau gejala
obstruksi usus.Bila isi kantong tidak dapat direposisi kembali ke dalam rongga
perut, hernia disebut hernia ireponibel. Ini biasanya disebabkan oleh perlekatan isi
kantong pada peritoneum kantong hernia. Tidak ada keluhan rasa nyeri ataupun
tanda sumbatan usus.
Hernia disebut hernia inkarserata atau hernia strangulata bila isinya terjepit
oleh cincin hernia sehingga isi kantong terperangkap dan tidak dapat kembali ke
dalam rongga perut. Akibatnya, terjadi gangguan pasase atau vaskularisasi. Secara
klinis, hernia inkarserata lebih dimaksudkan untuk hernia ireponibel dengan
gangguan pasase, sedangkan gangguan vaskularisasi disebut sebagai hernia
strangulata. Pada keadaan sebenarnya, gangguan vaskularisasi telah terjadi pada
30

saat jepitan dimulai, dengan berbagai tingkat gangguan mulai dari bendungan
sampai nekrosis.

Gambar. Bagian bagian hernia


Bagian bagian hernia :
1. Kantong hernia: pada hernia abdominalis berupa peritoneum parietalis;
2. Isi hernia: berupa organ atau jaringan yang keluar melalui kantong hernia. Pada
hernia abdominalis berupa usus;
3. Locus Minoris Resistence (LMR); 4. Cincin hernia: Merupakan bagian locus
minoris resistence yang dilalui kantong hernia; 5. Leher hernia: Bagian
tersempit kantong hernia yang sesuai dengan kantong hernia.

2.3.2 HERNIA INGUINALIS LATERALIS (HIL)


Hernia yang paling sering terjadi (sekitar 75% dari hernia abdominalis)
adalah hernia inguinalis. Hernia inguinalis dibagi menjadi: hernia inguinalis
indirek (lateralis), di mana isi hernia masuk ke dalam kanalis inguinalis
melalui locus minoris resistence (annulus inguinalis internus); dan hernia
inguinalis direk (medialis), di mana isi hernia masuk melalui titik yang lemah
pada dinding belakang kanalis inguinalis. Hernia inguinalis lebih banyak terjadi

31

pada pria daripada wanita, sementara hernia femoralis lebih sering terjadi pada
wanita.
Hernia inguinalis dapat terjadi karena anomali kongenital atau karena
sebab yang didapat. Faktor yang dipandang berperan kausal adalah prosesus
vaginalis yang terbuka, peninggian tekanan di dalam rongga perut, dan kelemahan
otot dinding perut karena usia. Tekanan intra abdomen yang meninggi secara
kronik seperti batuk kronik, hipertrofi prostat, konstipasi dan asites sering disertai
hernia inguinalis.

Gambar. Hernia Inguinalis


Etiologi :

- kongenital
- didapat

Insidens : setiap umur


Faktor yang berperan :
a.

proc vaginalis yang terbuka (terutama bila anulus inguinalis yang lebar)

32

b.

peningkatan

tekanan intra

abdominal

(batuk kronik, konstipasi,

hyperprostat)
c.

kelemahan dinding otot


umur
penyakit lain (jantung, lever)
kerusakan n.ileofemoralis (post apendictomy)

pada neonatus :

90% proc.vaginalis terbuka

Setelah 1 tahun 30% masih terbuka

10% kasus dari proc vaginalis yang terbuka akan terjadi herni

Hernia reponible hernia masuk ke kantong hernia tapi bisa masuk lagi ke
rongga abdomen

DIagnosa

Bila reponibel :
o Benjolan (+) pada lipat paha (bekerja, batuk, mengedan)
o Benjolan hilang saat berbaring

Nyeri

jarang

terjadi,

kadang-kadang

pada

epigastrium,

pada

paraumbilicalis

Nyeri, mual, muntah bila inkarserata atau strangulata

Pada anak/ bayi (proc vaginalis terbuka) benjolan diketahui ortu

Gejala klinik tergantung isi hernia

33

Isi hernia lama-lama masuk canalis inguinalis scrotum Hernia


scrotalis

PEMERIKSAAN FISIK

Bila mengedan : benjolan (+) membesar

Bila kantong kosong sarung tangan sutera

Dorong isi hernia sampai masuk mengedan


- Finger Tip Test(+)

Ujung jari

- samping jari = medialis


penatalaksanaan

Konservatif (terbatas pada anak)


o Reposisi (tidak pada kasus strangulata)
o Bila susah reposisi, tidurkan dengan sedatif
o Kompres air es pada lipat paha
o Posisi Trendelenburg
o Setelah 6 jam lihat, masuk lagi atau tidak. Klo tidak masuk
therapy gagal

Bila setelah 6 jam tidak berhasil maka dilakukan operasi

Bila berhasil, operasi dilakukan setelah udem hilang (23 hr kemudian)

Bila operasi elective morbiditas lebih bagus


Bila operasi langsung jelek

Sabuk hernia pada anak-anak SANGAT TIDAK DIANJURKAN

Therapy operatif (Rasional)

34

Cara Bassini (1887) Herniotomi + Hernioplastik

Pada anak-anak hanya dilakukan herniotomi saja

Herniotomi = tindakan memasukkan hernia, lalu memisahkan kantong


hernia dengan sekitarnya, digunting lalu diikat

Hernioplastik = menyempitkan tempat keluar hernia

Bila saat operasi ditemukan insufisiensi dinding

memerlukan

hernioplastik dengan MESH PROLENE (sintetis)


KOMPLIKASI

Tergantung dari isi hernia (kondisi)

Bila inkarserata sumbatan ileus obstruktif

Jepitan usus
o Gangguan perfusi jaringan
o Bendungan vena oedema transudasi ke kantong hernia
pembuluh darah terjepit nekrosis abses lokal dan akhirnya
bisa terjadi fistel ataupun peritonitis

Gambaran klinik obstruksi usus gangguan keseimbangan cairan dan


elektrolit/ asam basa

Strangulasi toksik, nyeri hebat menetap, panas tinggi

35

BAB III
DISKUSI

Kasus Ny Kasmini, 72 tahun, mengeluh tidak dapat BAB dan kentut sejak
5 hari yang lalu. . Pasien juga mengeluh terdapat benjolan pada inguinal kanan.
Pasien sebelumnya belim pernah mengalami keadaan seperti ini. Dari hasil
pemeriksaan fisik dan penunjang disimpulkan pasien ini menderita Hernia
inguinal lateralis (HIL) dengan ileus paralitik.
Hernia merupakan protrusi atau penonjolan isi suatu rongga melalui defek
atau bagian lemah dari dinding rongga bersangkutan. Pada hernia abdomen, isi
perut menonjol melalui defek atau bagian lemah dari lapisan muskulo-aponeurotik
dinding perut.
Hernia yang paling sering terjadi (sekitar 75% dari hernia abdominalis)
adalah hernia inguinalis. Hernia inguinalis dibagi menjadi: hernia inguinalis
indirek (lateralis), di mana isi hernia masuk ke dalam kanalis inguinalis
melalui locus minoris resistence (annulus inguinalis internus); dan hernia
inguinalis direk (medialis), di mana isi hernia masuk melalui titik yang lemah
pada dinding belakang kanalis inguinalis. Hernia inguinalis lebih banyak terjadi
pada pria daripada wanita, sementara hernia femoralis lebih sering terjadi pada
wanita.
Pada usia dewasa tindakan pada hernia adalah salah satunya dilakukan
herniotomy. Pada Herniotomy dilakukan pembebasan kantong hernia sampai

36

kelehernya. Kantong dibuka dan isi hernia dibebaskan kalau ada perlekatan,
kemudian direposisi, kantong hernia dijahit-ikat setinggi mungkin lalu dipotong.
Sehari sebelum operasi, pasien dilakukan persiapan prabedah yaitu
kunjungan pra anestesi yang bertujuan untuk mempersiapkan mental dan fisik
pasien secara optimal, merencanakan dan memilih teknik dan obat anestetik yang
sesuai, serta menentukan klasifikasi yang sesuai. Pasien di anamnesa, dilakukan
pemeriksaan fisik, dan dilihat hasil laboratorium untuk memastikan pasien dapat
dilakukan operasi pada keesokan harinya.
Dari hasil kunjungan pra anestesi didapatkan bahwa pasien ini bukan
pasien darurat/emergency sehingga pasien dapat dipuasakan > 6 jam. Tujuan dari
puasa adalah mengosongkan lambung agar tidak ada sisa makanan yang bisa
dimuntahkan, mengurangi produksi asam lambung, mengurangi risiko aspirasi ke
paru. Berdasarkan klasifikasi The American Society of Anesthesiologists (ASA),
pasien ini termasuk ASA II yaitu pasien dengan penyakit sistemik ringan dan tidak
ada keterbatasan fungsional. Dari pemeriksaan kondisi rongga mulut pasien ini
termasuk malampatti class I.
Sebelum induksi anestesi, pasien dilakukan premedikasi yaitu pemberian
obat 1-2 jam dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari
anetesi. Premedikasi yang diberikan pada pasien ini adalah morfin 0,1-0,2
mg/kgBB dan midazolam 0,05 mg/kgBB. Pada pasien ini M3 miloz 2,5 mg.
Anestesi yang digunakan pada pasien ini adalah spinal anestesi. Cairan pre
op adalah Infus Ringer laktat sebanyak 500 ml.,durante op RL 1000cc dan HES
500cc.pendarahan sebanyak 250cc, oksigen diberikan dengan masker 6 L/mnt.
Proses spinal anestesi dilakukan dengan kepala memakai bantal dengan
dagu menempel ke dada, kedua tangan memegang kaki yang ditekuk sedemikian

37

rupa sehingga lutut dekat ke perut penderita. L3 - 4 interspace ditandai, skin


preparation dan desinfektan dengan povidone iodine seluas mungkin. Sebelum
penusukan , cairan povidone iodine yang ada dibersihkan dahulu menggunakan
alkohol. Beri anestetik lokal pada tempat tusukan dengan lidokain 1-2 % 2-3 ml
Jarum 25G dapat disuntikkan setelah sebelumnya ditusukkan introducer dengan
bevel menghadap ke atas, setelah liquor sudah ke luar lancar dan jernih,
disuntikan Lidodex 75 mg dan Adrenalin 0,2 mg, bekas suntikan ditutup dengan
plester. Penderita diletakan terlentang dan pastikan efek anestesinya sudah
berjalan. Untuk skin preparation, apabila penderita sudah operasi boleh mulai.
Tensi dan nadi penderita diukur tiap 5 menit selama dimulainya anestesi
pada pukul 13.00 sampai berakhirnya operasi 14.30. Selama operasi tensi pasien
sempat drop,psien diberi ephedrine sebanyak 10 mg IV. Setelah pasien dioperasi
pasien tidak masuk pada ruang recovery dikarenakan pasien mengalami dehidrasi
sehingga masuk pada ruang ICU.
Pada saat diruang ICU, evaluasi B1- B6 lebih ketat. Posisi pasien dijaga
agar tidak muntah dan menyebabkan aspirasi (masuk paru), disiapkan suction
yang berfungsi baik, dijaga agar waktu gelisah tidak jatuh, nafas dibantu oksigen,
tekanan darah selalu dipantau. Nyeri pasca bedah intensitasnya tinggi pada 6 jam
pertama dan bertahan sampai 24 jam sebelum akhirnya menurun. Setelah 24 jam
nyeri banyak berkurang. Dicek juga urine (jumlah, warna, kepekatan). Yang lebih
penting yaitu evaluasi pada balance cairan pada pasien. Pasien ini mendapat
pengawasan selama 3 hari di ruang ICU Setelah dehidrasi sudah tertangani dan
memenuhi kriteria pengeluaran dari ICU, pasien dipindahkan ke ruang rawat
inap.

38

BAB IV
KESIMPULAN

Kasus Ny Kasmini, 72 tahun, dari hasil pemeriksaan fisik dan


penunjang disimpulkan pasien ini menderita Hernia inguinal lateralis (HIL)
dengan ileus paralitik. Sehingga pada pasien ini dilakukan herniotomy. Pada
Herniotomy dilakukan pembebasan kantong hernia sampai kelehernya. Kantong
dibuka dan isi hernia dibebaskan kalau ada perlekatan, kemudian direposisi,
kantong hernia dijahit-ikat setinggi mungkin lalu dipotong.
Sehari sebelum operasi, pasien dilakukan persiapan prabedah. Pasien di
anamnesa, dilakukan pemeriksaan fisik, dan dilihat hasil laboratorium untuk
memastikan pasien dapat dilakukan operasi pada keesokan harinya.
Dari hasil kunjungan pra anestesi didapatkan bahwa pasien ini bukan
pasien darurat/emergency sehingga pasien dapat dipuasakan > 6 jam. Tujuan dari
puasa adalah mengosongkan lambung agar tidak ada sisa makanan yang bisa
dimuntahkan, mengurangi produksi asam lambung, mengurangi risiko aspirasi ke
paru. Berdasarkan klasifikasi The American Society of Anesthesiologists (ASA),
pasien ini termasuk ASA II yaitu pasien dengan penyakit sistemik ringan dan tidak
ada keterbatasan fungsional. Dari pemeriksaan kondisi rongga mulut pasien ini
termasuk malampatti class I.
Sebelum induksi anestesi, pasien dilakukan premedikasi yaitu pemberian
obat 1-2 jam dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari
anetesi. Premedikasi yang diberikan pada pasien ini M3 miloz 2,5 mg.
Anestesi yang digunakan pada pasien ini adalah spinal anestesi (SAB).
Cairan pre op adalah Infus Ringer laktat sebanyak 500 ml.,durante op RL 1000cc

39

dan HES 500cc.pendarahan sebanyak 250cc, oksigen diberikan dengan masker


6 L/mnt. Operasi berlangsung mulai jam 13.00 sampai jam 14.30. Setelah itu
pasien dikirim ke ruang ICU.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. Hernia. http://hernia.tripod.com . Diakses tanggal 23 Mei 2011.
Anonim. Inguinal hernia. http://en.wikipedia.org . Diakses tanggal 15 Mei 2011
Anonim. Inguinal hernia. http://www.mayoclinic.com . Diakses tanggal 15 Mei
2011.
Anonim. Hernia. www.burrill.demon.co.uk . Diakses tanggal 15 Mei 2011
http://www.scribd.com/doc/33009574/makalah-hernia-KDPK
Latief SA, dkk, 2009, Petunjuk Praktis Anestesiologi, Edisi kedua, FKUI, Jakarta.
Mangku G, 2010, Ilmu Anestesi dan Reanimasi, PT. Indeks, Jakarta.

40

Mulyana S. Hernia inguinalis. http://medlinux.blogspot.com . Diakses tanggal 15


Mei 2011.
Prasetijo BT, 2008, Tekhnik Anestesi (Online), (www.fk.uwks.ac.id/elib/Arsip,
diakses tanggal 14 Mei 2011).

Prasetijo BT, 2008, Perioperatif (Online), (www.fk.uwks.ac.id/elib/Arsip, diakses


tanggal 14 Mei 2010).

Sabiston. Buku ajar bedah(Essentials of surgry. Bagian 2, cetakan I : Jakarta,


penerbit buku kedokteran EGC. 1994.
Sjamsuhidayat R, Wim de Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah, edisi 2. Jakarta : EGC,
2004. pp. 519-37
Soemartanto,
2005,
Anestesi
Umum
(www.elhooda.atwiki.com/file/open/5/ANEST.+UMUM.ppt,
tanggal 15 Oktober 2011).

(Online)
diakses

Swartz MH. Buku Ajar Diagnostik Fisik. Alih Bahasa : Lukmanto P, Maulany R.F,
Tambajong J. Jakarta : EGC, 1995. pp. 276-8
.
Schwartz. et al.intisari prinsip-prinsip ilmu bedah.Ed. 6. jakarta: penerbit buku
kedokteran EGC, 2000.

41

Anda mungkin juga menyukai