Anda di halaman 1dari 8

J. Sains Tek., Agustus 2006, Vol. 12, No. , Hal.

: 113- 120
ISSN 0853-733X

ANALISIS PENGARUH PERUBAHAN SIFAT FISIKA BATUAN TERHADAP


TINGKAT MATURASI HIDROKARBON PADA BATUAN RESERVOIR
Ordas Dewanto
Jurusan Fisika FMIPA Unila
Jl. Sumantri BrojonegoroNo. 1 Bandar Lampung 35145
Email: ordas@maiser.unila.ac.id
Diterima 10 September 2005, perbaikan 14 Agustus 2006, disetujui untuk diterbitkan 6 September 2006

ABSTRACT
The change of physical rock characters due to natural geologic activity might influence hydrocarbon maturation level of
reservoir rock. The change model needs to be analyzed to predict the initial formation of oil. Preliminary study that should
be done is to determine the physical character of reservoir rock. One possibility step is to calculate the heat sum of
certain depths of well. The result shows that the maturation level of hydrocarbon on reservoir rock is influenced by the
physical rock parameters, namely overburden pressure litology, porosity, conductivity of heat rock, temperature gradient,
temperature and heat flow.
Keywords: reservoir rock, heat flow, maturation hidrocarbon

1. PENDAHULUAN
Penelitian tentang maturasi hidrokarbon di cekungancekungan sedimen di Indonesia umumnya telah berhasil
baik, dengan tujuan untuk memperkirakan tingkat
kematangan material organik dalam batuan induk dari
cekungan tersebut. Penelitian tersebut ternyata sangat
membantu untuk menunjang kegiatan eksplorasi
hidrokarbon (minyak bumi dan gas). Dasar penentuan
maturasi hidrokarbon, umumnya masih melihat pada
perubahan sifat kimianya, dimana analisis perubahan
sifat kimia sampai saat ini masih merupakan salah satu
indikator yang cukup akurat.
Seiring dengan perkembangan jaman dan semakin
sulitnya menemukan cadangan-cadangan baru
hidrokarbon, maka ilmu pengetahuanpun semakin
berkembang
dalam
mengatasi
permasalahanpermasalahan tersebut. Beberapa penelitian terdahulu
yang menggunakan konsep dasar aliran panas bumi
(terrestrial heat flow), didukung data-data geologi
dihubungkan dengan teknologi geokimia, telah
memperoleh suatu hasil yang cukup akurat dan lebih
jelas memahami persoalan-persoalan dalam kegiatan
eksplorasi. Hal ini menyiratkan pentingnya untuk
memahami hubungan antara sifat termal dan fisika
batuan terhadap tingkat maturasi hidrokarbon.
Penelitian tentang Eometamorphism, and Oil and Gas in
Time and Space 1), memberikan kesimpulan bahwa
perubahan temperatur dapat menyebabkan mulainya
metamorfisme dan sangat berpengaruh pada zat
organik yang terkandung dalam sedimen. Perubahan

2006 FMIPA Universitas Lampung

termal zat organik kemungkinan dimulai dari temperatur


di sekitar 93C.
Menurut Klemme2) dalam penelitiannya tentang Heat
Influences Size of Oil Giants-Geothermal Gradients,
disebutkan bahwa kecepatan pembentukan minyak
bumi dari pembebasan asam lemak atau lipid dari
kerogen merupakan suatu proses yang berhubungan
dengan temperatur yang bersifat eksponensial. Dalam
hal ini maka kedalaman dan gradien temperatur
merupakan faktor yang penting.
Penelitian Thermal Studies of Indonesian Oil Basin3),
memberikan gambaran tentang pengaruh sifat fisika
termal terhadap Cekungan minyak. Penelitian tersebut
merupakan kelanjutan dari riset4) tentang metode
penentuan aliran panas bumi. Kemudian pada tahun
yang sama Siswoyo dan Subono5] dalam penelitiannya
tentang Heat Flow, Hydrocarbon Maturity and Migration
in Northwest Java, memberikan kesimpulan bahwa
maturasi hidrokarbon dipengaruhi oleh perubahan sifatsifat kimia. Dalam penelitian tersebut diungkapkan
bahwa tingkat maturasi hidrokarbon (immature, mature,
over mature dan gas) dapat diprediksi dari perubahan
nilai sifat-sifat kimianya.
Selanjutnya Dewanto6) mencoba melakukan penelitian
tentang Perkiraan Tingkat Maturasi Hidrokarbon
Menggunakan Metode Termal, dan diperoleh suatu
kesimpulan bahwa perubahan sifat fisika termal
berperan merubah keadaan sifat kimia yang
berhubungan dengan proses pematangan hidrokarbon.
Beberapa bulan kemudian6) melakukan beberapa

113

Ordas DewantoAnalisis Pengaruh Perubahan Sifat Fisika

analisis tentang hubungan diantara sifat-sifat fisika


batuan yang merupakan salah parameter penentu
maturasi hidrokarbon. Analisis yang dilakukan oleh
Dewanto6) adalah: (1) Analisis Hubungan Antara
Porositas dengan Konduktivitas Panas Batuan Hasil
Pengukuran dan Perhitungan, (2) Analisis Hubungan
Antara Porositas dengan kedalaman, dan (3 Analisis
Hubungan Antara Konduktivitas Panas Batuan Hasil
Pengukuran dan Perhitungan terhadap kedalaman.
Penelitian tentang Analisis Hubungan Antara Porositas
terhadap Konduktivitas Panas Batuan Hasil Pengukuran
dan Perhitungan7), memberikan beberapa kesimpulan,
pertama: harga porositas batuan mempunyai harga
yang variasi, disebabkan karena adanya perbedaan
temperatur dan panas pada batuan tersebut, kedua:
harga konduktivitas panas batuan dipengaruhi oleh
tekanan, sehingga semakin bertambah kedalaman
konduktivitas panas batuan semakin besar.
Beberapa sifat fisika batuan secara tidak langsung telah
dipelajari, meskipun sifat penelitian tersebut masih
berada dalam ruang lingkup yang terbatas (belum luas)
dan masih banyak faktor-faktor yang harus diperhatikan
(sifat fisika batuan lain). Berangkat dari beberapa
penelitian tersebut di atas yang merupakan suatu studi
pendahuluan yang telah dilaksanakan, dan dengan
didukung beberapa teori dasar tersebut, menjadikan
dasar penelitian ini dalam pengembangan metode
laboratorium dan analisa. Hasil yang diperoleh yaitu
bahwa perubahan sifat-sifat kimia, termal, dan sifat
fisika batuan, sangat mempengaruhi proses maturasi
hidrokarbon.
Didasarkan atas kebutuhan tersebut, penelitian ini
menyajikan suatu usaha untuk meningkatkan
pengukuran akustik atas conto inti batuan di
laboratorium dalam mendukung perkiraan awal
terjadinya minyak bumi serta terbentuknya minyak bumi.
Data analisis core yang dihasilkan dari pengukuran dan
analisa pada batuan reservoir di laboratorium
merupakan informasi yang sangat dibutuhkan untuk
mengetahui sifat-sifat fisika batuan yang sangat spesifik,
yang pada akhirnya akan dipakai untuk memprediksi
kinerja batuan reservoir tersebut.

Jumlah panas pada setiap kedalaman dari sumur yang


diamati. dihitung berdasarkan pengukuran konduktivitas
panas batuan, porositas, temperatur, gradien
temperatur, umur, tekanan, litologi dan aliran panas
bumi. Dari hasil data pengukuran analisa core tersebut,
kemudian dilakukan analisis untuk mengetahui
pengaruh perubahan sifat-sifat fisika batuan terhadap
tingkat maturasi hidrokarbon pada batuan reservoir,
sehingga dapat dipakai sebagai landasan teori tentang
terapan suatu ilmu pengetahuan dalam skala industri,
terutama dalam memprediksi maturasi hidrokarbon dan
mengetahui awal terjadinya minyak bumi serta
terbentuknya minyak bumi dalam suatu cekungan
minyak

2. METODE PENELITIAN
2.1. Data yang Diperlukan
Data-data yang diperlukan dalam riset ini adalah BHT
(Bore Hole Temperature), porositas (), stratigrafi
(litologi), umur batuan, konduktivitas panas batuan,
gradien temperatur, heat flow (Q), temperatur, Ro
(Vitrinite Reflection) dan data log sumur (sebagai
pendukung). Penelitian ini merupakan penelitian
laboratorium, yaitu pengukuran, pengolahan dan analisa
batuan dilakukan di laboratorium Geothermal dan
Petrofisika.
2.2. Pengukuran
Batuan yang dianalisa berupa conventional plug pore,
yaitu sampel batuan dari formasi hasil pengeboran
secara vertikal. Dalam penelitian ini digunakan litologi
batuan sandstone (batupasir) dan shale (batu lempung).
Selanjutnya dilakukan pengukuran konduktivitas panas
batuan dengan alat three needle device atau three
needle control box. Alat pengukur konduktivitas panas
batuan three needle device adalah modifikasi dari
peralatan hot needle device yang dipakai pada
pengukuran sedimen dasar samudera. Alat pengukur
konduktivitas panas three needle device terdiri dari
beberapa blok rangkain antara lain, Sensor, Control
BOX, dan Recorder.

Gambar 1. Blok Rangkaian Sensor pada alat Three Needle Device

114

2006 FMIPA Universitas Lampung

J. Sains Tek., Agustus 2006, Vol. 12

Pada Gambar 1, ditunjukkan diagram rangkaian sensor.


Sensor ini terdiri dari jarum hypodermik, heater
(rangkaian pemanas) dan thermistor.
Jarum
ditanamkan pada permukaan atas balok yang bersifat
tidak menghantar panas. Balok ini berukuran kurang
panjang, lebar dan tebal, atau berupa tabung. Jika arus
heater dijalankan, temperatur akan naik sebanding
dengan waktu dan berbanding terbalik dengan
konduktivitas panas batuan. Kenaikan temperatur ini
akan diterima oleh recorder dan pena segera bergerak
dengan memberikan gambar berupa kurva.
2.3. Pengolahan Data
Pertama menentukan litologi pada tiap-tiap formasi dari
masing-masing sumur (2 sumur) dan mengetahui umur
serta waktu sedimentasi dari litologi tersebut,
berdasarkan teori dari Amdel8). Kemudian menentukan
harga porositasnya, mengacu pada Harsono9], sebagai
dasar acuan untuk melakukan pekerjaan pada tahap
berikutnya.
Selanjutnya menentukan beberapa model rumusan
termal. Jumlah Kalor (JK) ditentukan berdasarkan
prinsip dasar TTI, diintegrasikan dengan pengertian
dasar heat flow yang menunjukkan banyaknya kalori
per satuan luas per satuan waktu. Sedangkan gradien
temperatur tidak diambil sama, tetapi merupakan fungsi
heat flow dan daya hantar panas formasi yang diamati
secara keseluruhan.
JK menunjukkan tingkat
kematangan zat organik, yang diperoleh dari jumlah
komulatif banyaknya kalori persatuan volume. Tahap ini
menghitung jumlah panas pada masing-masing lapisan
batuan. Jumlah panas dihitung berdasarkan kasus
sederhana Lopatin-Waples dan perhitungan perubahan
Time Temperature Index (TTI), yang dimodifikasi
dengan memasukan parameter heat flow. Sehingga
total maturasi pada suatu ruang batuan (sedimen,
karbonat, serpih), diubah menjadi suatu rumusan
termal, seperti terdapat pada Persamaan 1.
N max

HTTI =

Q
N min

( t )N 2 N
( Z )N

(1)

dengan Q adalah harga heat flow, t adalah waktu


sedimentasi yang diperlukan untuk mencapai
perbedaan temperature 10C. (Z)N adalah perubahan
kedalaman pada setiap kenaikan temperature 10C.
Z=10/GT, dengan GT = Q(t)/K merupakan Gradien
Temperatur. N adalah faktor temperatur. Nmin adalah
harga N pada interval temperature terendah. Nmax
adalah harga N pada interval temperature tertinggi.
Dengan syarat batas: N< 0 untuk T<100OC, dan N>0
untuk T>110OC. Interval 100C 110C, digunakan
sebagai interval basis, dimana N = 0.
Sebagai dasar pengolahan untuk mengerjakan tahap
tersebut, dilakukan beberapa perhitungan dan
pengukuran, mengacu pada Dresser Atlas10) dan

2006 FMIPA Universitas Lampung

Gretener11) untuk memperoleh parameter-parameter


pada Persamaan (1), yaitu: menghitung konduktivitas
panas batuan, menghitung gradien temperatur,
menghitung konduktivitas panas formasi, menghitung
konduktivitas panas sumur, menentukan heat flow,
membuat geohistories dan penentuan maturasi
hidrokarbon.
2.4. Analisis Data
Tahap terakhir, melakukan analisis hasil pengolahan
data. Hasil pengukuran dan perhitungan konduktivitas
panas batuan pada sumur A-1 dan B-1, kita
bandingkan. Selanjutnya kita melihat hasil perhitungan
heat flow dan maturasi hidrokarbon pada kedua sumur
tersebut. Masing-masing sumur kita bandingkan dan
dianalisa. Akhirnya dapat ditentukan perbedaan atau
persamaan hasil proses pengolahan data yang
berdasarkan perhitungan dan pengukuran konduktivitas
panas batuan. Selanjutnya tingkat maturasi hidrokarbon
pada kedua sumur tersebut dapat diperkirakan dengan
dua metode, yaitu dari hasil perhitungan dan
pengukuran konduktivitas panas batuan.
Setelah
dilakukan tahap-tahap proses pengolahan data dan
analisa seperti tersebut di atas, kita analisis pengaruh
perubahan sifat-sifat fisika batuan reservoir terhadap
tingkat maturasi hidrokarbon.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


3.1. Konduktivitas Panas Batuan
Hasil perhitungan konduktivitas panas batuan
berdasarkan , untuk sumur A1 mempunyai harga
KSHALE=(4.0-6.7)10-3 cgs, dan KSAND=(4.25-8.60)10-3
cgs. Sedangkan pada sumur B1, harga KSHALE=(3.975.55)10-3 cgs, dan untuk harga KSAND=(4.52-7.46)10-3
cgs. Hasil pengukuran konduktivitas panas batuan di
laboratorium pada sumur A1, KSHALE=(4.00-7.17)10-3
cgs, dan KSAND=(4.25-8.83)10-3 cgs. Sedangkan
pengukuran core pada sumur B1, yaitu KSHALE=(3.977.17)10-3 cgs, dan untuk KSAND=(4.52-7.58)10-3 cgs.
Harga konduktivitas panas batuan yang diperoleh
dengan cara mengukur core di laboratorium,
mempunyai harga yang hampir sama dengan cara
perhitungan konduktivitas panas batuan berdasarkan
porositas. Dari persamaan KB=KFKF1- 12), jelas sekali
bahwa porositas sangat mempengaruhi konduktivitas
panas batuan.
Gambar 1 - 4, menunjukkan grafik hubungan antara
porositas () dan konduktivitas panas batuan (KB).
Grafiknya menunjukkan hubungan yang exponensial,
tampak bahwa semakin kecil harga , KB semakin
besar. Hal ini sesuai dengan teori bahwa semakin
bertambah kedalaman, harga akan menurun secara
exponensial.

115

Ordas DewantoAnalisis Pengaruh Perubahan Sifat Fisika

Gambar 1. Konduktivitas Panas Batuan Sand vs


Porositas pada Well-A1

Gambar 3. Konduktivitas Panas Batuan Sand vs


Porositas pada Well-B1
Kasus tersebut didukung dengan teori oleh Nakayama13)
dan Nakayama & Lerche14), semakin bertambah
kedalamannya, konduktivitas panas batuan (untuk sand
dan shale) semakin besar. Hubungan antara KB dengan
kedalaman (Z), menunjukkan hubungan yang
eksponensial, semakin bertambah kedalaman (Z), KB
semakin membesar.
Harga yang menurun secara exponensial setiap
bertambah kedalamannya disebabkan karena adanya
pengaruh tekanan overburden yang mempengaruhi
setiap ruang batuan di dalam bumi15), sehingga ruang
batuan tersebut mempunyai bentuk dan sifat yang
berbeda-beda, diantaranya adalah harga pada batuan
tersebut, yang menjadi kecil setiap bertambah
kedalamannya16).

116

Gambar 2. Konduktivitas Panas Batuan Shale vs


Porositas pada Well-A1

Gambar 4. Konduktivitas Panas Batuan Shale vs


Porositas pada Well-B1
Perbedaan harga tersebut juga dipengaruhi oleh
temperatur. Diperoleh hasil bahwa pada sumur A1 dan
B1, perubahan harga dan KB, tidak terlalu over untuk
setiap bertambah kedalaman. Hal tersebut bukan
berarti tekanan tidak mempunyai pengaruh, tetapi di
daerah kedua sumur tersebut tidak terjadi over presure.
Jika kita bandingkan harga konduktivitas panas pada
sumur A1 dan B1, terjadi perbedaan yang tidak begitu
besar.
3.2. Aliran Panas Bumi (Heat Flow)
Selanjutnya, kita melihat aliran panas bumi (heat flow,
Q) pada sumur A1 dan B1. Heat flow dapat ditentukan
dengan dua cara3). Pertama dengan cara pengukuran
langsung, biasanya ada penelitian khusus tentang heat

2006 FMIPA Universitas Lampung

J. Sains Tek., Agustus 2006, Vol. 12

flow. Kedua, dengan cara perhitungan berdasarkan


konduktivitas panas sumur dan gradien temperatur.
Dalam riset ini, peneliti menentukan harga heat flow
dengan cara perhitungan. Dari hasil perhitungan,
diperoleh harga heat flow untuk sumur A1 lebih besar
dari pada sumur B1. Hal tersebut disebabkan karena
harga konduktivitas panas sumur A1 lebih besar dari
sumur B1, dan harga gradien temperatur kedua sumur
tersebut hampir sama, sehingga menyebabkan heat
flow pada sumur A1 lebih besar dari pada sumur B1.
Aliran panas bumi secara horizontal/lateral harganya
belum tentu sama, untuk kedalaman yang sama. Tetapi
jika dihitung secara vertikal, misal dalam satu sumur,
untuk kedalaman 0 s/d 20000 meter, harga aliran panas
bumi sama (belum berubah). Sesuai dengan teori [8],
bahwa aliaran panas bumi yang mengalir secara vertikal
dari pusat bumi, perubahan harga aliran panas bumi
terjadi pada setiap interval yang cukup panjang
(puluhan kilometer). Adanya heat flow (aliran panas
bumi) ini menimbulkan panas pada litologi atau ruang
batuan. Jumlah panas yang terdapat pada masingmasing litologi, jumlahnya berbeda-beda. Banyak faktor
yang mempengaruhi terjadinya perbedaan jumlah panas
pada ruang batuan, diantaranya adalah heat flow, waktu
sedimentasi, perubahan kedalaman dan temperatur.
3.3. Jumlah Kalor (JK)
Jumlah kalor ditunjukkan dengan satuan kal cm-3,
artinya bahwa di dalam ruang batuan tersebut
mempunyai jumlah panas sebesar n kal cm-3. Besarnya
harga JK ini menjadi dasar untuk memperkirakan tingkat
maturasi hidrokarbon pada masing-masing sumur, yang
dapat dibandingkan dengan indikator maturasi data
geokima, yaitu vitrinite reflectance (Ro). Dari beberapa
penelitian tentang hubungan Ro dan maturasi

hidrokarbon
diungkapkan
bahwa
Ro=0.4-0.6
menunjukkan awal terjadinya minyak bumi, Ro=0.7-0.8
menunjukkan terjadinya minyak yang cukup matang
(abundant oil generation)3), Ro=0.8-1.3, menunjukkan
bahwa hidrokarbon bersifat sangat matang dan untuk
gas umumnya ditunjukkan dengan harga Ro >1.3.
Semakin besar harga JK, harga Ro semakin membesar,
dimana sifat grafiknya menunjukkan eksponensial6).
Keadaan tersebut terjadi karena Ro dan JK,
berhubungan dengan faktor kedalaman dan temperatur.
Jika harga JK tersebut kita hubungkan dengan faktor
kedalaman, maka diperoleh hubungan antara JK dan
kedalaman, semakin bertambah kedalamannya harga
JK bertambah besar.
Sumur A-1
Jika harga JK tersebut kita hubungkan dengan faktor
kedalaman, maka diperoleh hubungan antara JK dan
kedalaman, seperti ditunjukkan dalam Gambar 5.
Tampak pada gambar tersebut, semakin bertambah
kedalamannya, harga JK bertambah besar.
Harga JK=1-2, terjadi pada kedalaman 485-635 meter,
dan harga Ro berkisar antara 0.35-0.4, maka dapat
disimpulkan bahwa pada kedalaman tersebut
menunjukkan awal terjadinya minyak bumi (immature
hydrocarbon) atau dapat dikatakan bahwa awal
maturasi hidrokarbon terjadi pada Formasi Telisa (284698m) dengan harga JK=1-2.
Harga JK=10-15, terjadi pada kedalaman 1095.8-1289.8
meter, dan harga Ro adalah 0.7. Pada kedalaman
tersebut menunjukkan terjadinya minyak bumi yang
cukup matang, tepatnya pada Formasi Pematang SS
(969-1457m) terbentuk minyak bumi yang cukup
matang.

Gambar 5. Tingkat Maturasi Hidrokarbon pada Well-A1

2006 FMIPA Universitas Lampung

117

Ordas DewantoAnalisis Pengaruh Perubahan Sifat Fisika

Harga JK=50-70, terjadi pada kedalaman 1595-1698.8


meter, dan harga Ro adalah 0.85. Pada kedalaman
tersebut menunjukkan bahwa hidrokarbon sangat
matang, tepatnya pada Formasi Pematang MS (14571719m). Harga JK=100-150, terjadi pada kedalaman
1780-1964 meter, dan harga Ro adalah 1.95-2. Pada
kedalaman tersebut menunjukkan terbentuknya gas,
atau dikatakan bahwa pada Formasi LP (1780-1880m)
dan Basement (1880-1964), diperkirakan terdapat gas.

yang over mature dan gas tidak terdapat dalam sumur


B1.
3.4. Temperatur Maturasi Hidrokarbon

Sumur B-1

Grafik tingkat maturasi hidrokarbon sumur A1 (Q=107


mW/m2) dan B1 (Q=100 mW/m2), ditunjukkan pada
Gambar 5 dan 6. Awal maturasi hidrokarbon pada
sumur A1 terjadi pada kedalaman 502-629 meter
dengan temperatur 60-70C, dan sumur B1 pada
kedalaman 580-680 meter dengan temperatur 60-70C.

Jika harga JK tersebut kita hubungkan dengan faktor


kedalaman, maka diperoleh hubungan antara JK dan
kedalaman, seperti ditunjukkan dalam Gambar 6.
Tampak pada gambar tersebut, semakin bertambah
kedalamannya, harga JK bertambah besar.

Pada sumur A1, di kedalaman sekitar 894 meter, dan


sumur B1 di kedalaman 939 meter, memiliki temperatur
antara 80-90C, dikatakan hidrokarbon mendekati
mature, artinya bahwa minyak bumi mendekati
kematangan.

Harga JK=1-2, terjadi pada kedalaman 580-695 meter,


dan harga Ro berkisar antara 0.34-0.4.
Pada
kedalaman tersebut menunjukkan awal terjadinya
minyak bumi (immature hydrocarbon), atau dapat
dikatakan bahwa awal maturasi hidrokarbon terjadi pada
Formasi Telisa (240-605m) dan Formasi Sihapas-Up
(605-685m).

Terbentuknya minyak bumi atau hidrokarbon yang


matang (mature), terjadi di kedalaman 1096-1276 meter
pada sumur A1, dan di kedalaman 1160-1270 meter
pada sumur B1. Masing-masing terbentuk pada
temperatur 90-100C.

Harga JK=10-15, terjadi pada kedalaman 1161-1271


meter, dan harga Ro adalah 0.7. Pada kedalaman
tersebut menunjukkan terjadinya minyak bumi yang
cukup matang, yaitu pada Formasi Pematang MS
(1160-1318m). Harga JK=50-70 dan JK=100-150, pada
sumur B1 tidak ada, karena kedalaman total sumur B1
adalah 1408.3 meter, sehingga keadaan hidrokarbon

Untuk JK=50-70 dan Ro=0.85-0.91, hanya terjadi pada


sumur A1, di kedalaman 1595-1699 meter, dengan
temperatur 110-120C, artinya bahwa pada kedalaman
tersebut mendekati terjadinya hidrokarbon cair
(hidrokarbon yang sangat matang/over mature).
Demikian juga harga JK=100-150 dan Ro = 1.95-2,
hanya terjadi pada sumur A1, di kedalaman 1780-1964
meter, dengan temperatur 120-130C, atinya bahwa
pada kedalaman tersebut diperkirakan terbentuk gas.

Gambar 6. Tingkat Maturasi Hidrokarbon pada Well-B1

118

2006 FMIPA Universitas Lampung

J. Sains Tek., Agustus 2006, Vol. 12

c.

3.5. Perbandingan Tingkat Maturasi Hidrokarbon


Sumur A-1 dan B-1
Karena sumur B1 lebih dangkal daripada sumur A1,
sedangkan harga heat flow sumur B1 lebih kecil
daripada sumur A1, maka harga JK sumur B1 lebih
rendah daripada sumur A1, untuk kedalaman yang
sama. Hal ini berarti bahwa jumlah panas yang
terbentuk di sumur B1 lebih kecil dibandingkan sumur
A1, untuk kedalaman yang sama. Keadaan tersebut
menyebabkan perbedaan tingkat maturasi kedua sumur
itu, yaitu sebagai berikut: Awal maturasi (immature)
sumur A1 terbentuk pada kedalaman yang lebih dangkal
dibandingkan sumur B1. Permulaan immature sumur
A1 terjadi pada temperatur yang sedikit rendah
dibandingkan sumur B1, sedangkan untuk keadaan
immature (+) dan mature pada sumur A1, terjadi pada
kedalaman yang lebih dangkal dibandingkan sumur B1,
tetapi untuk harga temperaturnya sama. Over mature
hanya terjadi pada sumur A1.
Harga JK=15, pada sumur A-1 terjadi di kedalaman
yang lebih dalam dibandingkan sumur B-1. Hal tersebut
dapat terjadi, karena keadaan sumur B-1 lebih dangkal,
dimana pada kedalaman 1362 meter, terdapat
basement. Harga temperaturnya terdapat kesamaan,
dan kemungkinan hanya berbeda pada permulaan
maturasi hidrokarbon. (pada keadaan immature)

4. KESIMPULAN DAN SARAN

7.

4.2. Saran
Dalam proses pengembangan dan penyempurnaan
penelitian tersebut, perlu dihubungkan beberapa
perubahan parameter sifat kimia, selanjutnya dipadukan
dengan teknologi termal, seismik dan petrofisika, serta
didukung oleh data geologi, sehingga dapat
diperkirakan tingkat maturasi hidrokarbon di daerah luar
sumur dan diantara kedua sumur atau diantara
beberapa sumur. Pada akhirnya tujuan dari eksplorasi
hidrokarbon akan lebih akurat dan kompleks.

DAFTAR PUSTAKA
1.

Landes, K.K. 1967. Eometamorphism, and oil and


gas in time and space. Am. Assoc. Petroleum
Geol. Bull., 44 (10): 1682-1691.

2.

Klemme, H.D. 1972. Heat Influences size of oil


giants-geothermal gradients, The Oil and Gas J.,
Juli 17, p. 136-144 (partt.I), dan July 24, p. 76-78
(part.II).

3.

Subono, S., dan Siswoyo. 1995. Thermal Studies


of Indonesian Oil Basin, CCOP Technical Bulletin,
25: 37 - 54.

4.

Tamrin, M.,Prayitno and Siswoyo. 1981. Heat flow


measurement in the Tertiary basin of Northwest
Java, Indonesia. Proc. 18th CCOP Annual
Session, Seoul, Republic of Korea.

5.

Siswoyo dan S. Subono. 1995. Heat Flow,


Hydrocarbon Maturity and Migration in Northwest
Java. CCOP Technical Bulletin, 25: 23-36.

6.

Dewanto, O., 2001, Analisa Hubungan Aliran


Panas Bumi Terhadap Awal MaturasiHidrokarbon
pada Cekungan Minyak di Jawa Barat-Utara. J.
Sains dan Teknologi, 7(3),:. 29-42.

7.

Dewanto, O. 2002. Analisa Hubungan Porositas


Terhadap Konduktivitas Panas Batuan Hasil
Pengukuran dan Perhitungan pada Sumur Minyak,
J. Sains dan Teknologi, 8 (2): 27-41.

8.

Amdel, 1998, Geological Time Scale Chart, The


Australian Mineral Development Laboratories.

4.1. Kesimpulan
1.

2.

3.

4.

5.

6.

Perkiraan
tingkat
maturasi
hidrokarbon
menggunakan harga JK dari hasil pengukuran KB,
mempunyai nilai yang sama dengan hasil
perhitungan KB.
Awal maturasi hidrokarbon (immature), dengan
indikator geokimia Ro=0.34-0.44, ditunjukkan oleh
harga JK=1-2 dan temperatur 60-70 OC.
Minyak bumi yang matang/mature (oil generation) ,
dengan
indikator
geokimia
Ro=0.7-0.73,
ditunjukkan oleh harga JK=10-15 dan temperatur
90-100 OC.
Hidrokarbon yang sangat matang atau over
mature, dengan indikator geokimia Ro=0.85-0.91,
ditunjukkan oleh harga JK=50-70 dan temperatur
110-120 OC.
Gas, dengan indikator geokimia Ro=1.95-2.00,
ditunjukkan oleh harga JK=100-150 dan temperatur
120-130 OC.
Perubahan parameter sifat-sifat fisika batuan
reservoir sangat mempengaruhi tingkat maturasi
hidrokarbon dalam sumur minyak.
a. Tekanan,
kedalaman
dan
litologi
mempengaruhi nilai porositas batuan.
b. Porositas mempengaruhi nilai konduktivitas
panas batuan.

2006 FMIPA Universitas Lampung

Konduktivitas panas batuan mempengaruhi


nilai gradien temperatur dan temperatur.
d. Gradien temperatur dan konduktivitas panas
batuan mempengaruhi heat flow.
Dari nomor 6, dapat disimpulkan bahwa tingkat
maturasi hidrokarbon pada batuan reservoir dalam
sumur minyak, sangat dipengaruhi oleh parameterparameter fisika batuan, yaitu: tekanan overburden,
litologi, porositas, konduktivitas panas batuan,
gradien temperatur, temperatur dan heat flow.

Ordas DewantoAnalisis Pengaruh Perubahan Sifat Fisika

9.

Harsono, A., 1993, Pengantar Evaluasi Log,


Schlumberger Data Services, Mulia Center L.17,
Kuningan, Jakarta, p.19-21.

10.

Dresser Atlas, 1982, Well Logging and


Interpretation Techniques, The Course For Home
Study, Dresser Industries Inc., p. 22-32, 39-94,
102-129, 165-178.

11.

12.

120

Gretener, P.E. 1981. Geothermics: Using


Temperature in Hydrocarbone Exploration, Short
Course San Francisco Annual Meeting May 1981,
The American Association of Petroleum
Geologists Tulsa, Oklahoma, USA, p.1-67.
Nakayama, K. 1987. Hydrocarbon-Expulsion
Model and Its Application to Niigata Area Japan,
The American Association of Petroleum
Geologists Bulletin, 71 (7): 810-812.

13.

Nakayama, K., and Lerche, I. 1987. Basin


Analysis by Model Simulation: Effect of Geologic
Parameters on 1D and 2D Fluid Flow Systems
with Applications to an Oil Field. Gulf Coast Assoc.
Geol. Soc Trans, 37:.175-184.

14.

Dewanto, O.
2004. Estimasi Heat Flow
Berdasarkan Konduktivitas Panas Sumur Hasil
Pengukuran dan Perhitungan pada Sumur Minyak
di Sumatera Tengah, J. Sains dan Teknologi, 10
(3): 188-194.

15.

Koesoemadinata, R.P., 1978, Geologi Minyak dan


Gas Bumi, ITB, Bandung, p. 194-204.

16.

Dewanto, O., 2003, Analisis Hubungan Kecepatan


Rambat Gelombang Akustik dengan Porositas
pada Batuan Reservoir, J. Sains dan Teknologi, 8
(3):.

2006 FMIPA Universitas Lampung

Anda mungkin juga menyukai