Anda di halaman 1dari 3

Membenahi Moral Bangsa, Meneladani Akhlak Rasulullah Saw

24-May-2007

Buletin No. 181


Oleh: KH. Dr. dr. Tarmizi Taher

“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.”


(QS al-Qalam [68]: 4)

Bangsa ini tidak hanya ditimpa krisis ekonomi yang berkepanjangan, tapi juga ditimpa krisis
akhlak. Merajalelanya kemaksiatan dan tingginya tingkat kriminalitas adalah bukti bahwa bangsa
ini mengidap dekadensi moral yang akut. Parahnya, gejala ini tidak hanya menimpa masyarakat
kalangan bawah, tapi juga menimpa para pemimpin bangsa dan tokoh agama. Tingginya tingkat
korupsi dan kolusi, yang tidak hanya dilakukan oleh para birokrat tapi juga para tokoh agama,
membuat masyarakat kehilangan panutan sehingga lahirlah krisis keteladanan. Karena itu,
bangsa ini yang berpenduduk Muslim mayoritas ini perlu bercermin kepada akhlak Rasulullah
Saw agar bangsa menjadi sehat dan masyarakat menjadi makmur dan sejahtera.

Indahnya Akhlak Rasulullah Saw


Rasulullah Saw dikenang hingga kini di seluruh jagad oleh miliaran manusia, bukan saja karena
ajaran keagamaan yang diembannya, melainkan terutama karena kemuliaan akhlak yang
dimilikinya. Ketika kaum musyrik itu melemparinya dengan kotoran unta, Rasulullah Saw
membalasnya dengan doa untuk kebaikan mereka.

Dalam Hadis Riwayat Aisyah RA disebutkan, akhlak Rasulullah Saw adalah Al-Qur’an. Jadi, apa
yang dipraktikkan Rasulullah SAW sehari-hari merupakan ajaran-ajaran Al-Qur’an itu sendiri dan
mencirikan makna sejati Islam yang cinta damai. Keluhuran akhlak dan budi pekerti Rasulullah
Saw tidak hanya diakui oleh orang yang sezaman dengannya, sampai saat ini pun banyak yang
memuji keluruhan akhlak beliau, termasuk orang-orang non-Muslim. Bahkan Allah Swt menyebut
beliau sebagai pemilik akhlak yang agung (QS al-Qalam [68]: 4) dan teladan yang baik (QS al-
Ahzab [33]: 21). Itulah yang menjadikan Nabi Saw sebagai manusia paripurna (al-insan al-kamil).

Aisyah, “’Rasulullah Saw bukan orang yang suka berkata keji, bukan orang yang buruk
perangainya, dan bukan orang yang suka berkeliaran di pasar. Bukan pula orang yang membalas
kejelekan (kejahatan) dengan kejelekan, akan tetapi orang yang suka memaafkan dan
melupakan kesalahan (orang lain),” (HR Ahmad).

Husain bin Ali, cucu Rasulullah Saw, menceritakan bagaimana keagungan kakeknya itu dalam
sebuah riwayat, Aku bertanya kepada ayah (Ali bin Abi Thalib) tentang bagaimana Rasulullah
Saw di tengah-tengah sahabatnya. Ayah berkata, Rasulullah Saw selalu menyenangkan, santai
dan terbuka, mudah berkomunikasi dengan siapa pun, lemah lembut dan sopan, tidak keras dan
tidak terlalu lunak, tidak pernah mencela, tidak pernah menuntut dan menggerutu, tidak mengulur
waktu dan tidak tergesa-gesa. Beliau meninggalkan tiga hal yaitu riya, boros, dan sesuatu yang
tidak berguna.

Rasulullah Saw juga tidak pernah mencaci seseorang dan menegur karena kesalahannya, tidak
mencari kesalahan orang, tidak berbicara kecuali yang bermanfaat dan berpahala. Kalau beliau
berbicara, maka yang lain diam menunduk seperti ada burung di atas kepalanya, tidak pernah
disela atau dipotong pembicaraannya, membiarkan orang menyelesaikan pembicaraannya,
tertawa bersama mereka yang tertawa, heran bersama orang yang heran, rajin dan sabar
menghadapi orang asing yang tidak sopan, segera memberi apa-apa yang diperlukan orang yang
tertimpa kesusahan, tidak menerima pujian kecuali dari yang pernah dipuji olehnya. (HR
Tirmidzi).

Nabi Muhammad Saw juga terkenal suka memuji sahabatnya. Kalau kita baca kitab-kitab hadis,
kita akan kebingungan menentukan siapa di antara para sahabat yang paling utama. Terhadap
Abu Bakar, Rasulullah Saw selalu memujinya. Abu Bakarlah yang diminta menjadi Imam shalat
ketika Rasulullah Saw sakit parah. Tentang Umar, Rasulullah Saw pernah berkata, “Setan saja
takut dengan Umar, bila Umar lewat jalan yang satu, maka setan lewat jalan yang lain.” Dalam
riwayat lain disebutkan, “Nabi Muhammad Saw mimpi meminum susu. Belum habis satu gelas,
Nabi Saw memberikannya pada Umar bin Khattab dan ia meminumnya sampai habis. Para
sahabat bertanya, Ya Rasulullah, apa maksud (ta’wil) mimpimu itu? Rasulullah Saw menjawab
“ilmu pengetahuan”.

Memperbaiki Akhlak
Keluhuran akhlak Nabi Muhammad Saw yang disebutkan di atas sudah cukup membuatnya
pantas diidolakan sepanjang masa. Apalagi bagi umat Islam. Dalam Al-Quran, ada perintah bagi
orang yang mengharapkan rahmat Allah Swt dan menunggu datangnya hari kiamat untuk
meneladani tingkah laku beliau (QS al-Ahzab [33]: 21). Lebih jauh lagi dalam sebuah hadits
dinyatakan bahwa mencintai Rasulullah Saw adalah wajib. Nabi Saw bersabda, “tidak sempurna
iman seseorang sebelum aku lebih dicintainya dari keluarganya, hartanya dan semua orang,”
(HR Bukhari-Muslim).

Umat Islam, jika ditanya apakah mereka mencintai dan mengidolakan Nabi Muhammad Saw
pasti akan menjawab “ya”. Tapi benarkah umat Islam mencintai dan mengidolakan beliau?
Bukankah sang pencinta akan berbuat sesuai keinginan yang dicintai! Tapi kenapa akhlak umat
Islam saat ini jauh dari nilai-nilai yang diajarkan Rasulullah Saw? Jika umat Islam mengidolakan
Rasulullah Saw, kenapa perbuatan mereka berseberangan dengan tingkah laku beliau?

Rasulullah memerintah kita untuk bersatu, tapi kita malah bercerai berai. Tidak hanya berbecerai-
berai, kita malah “gontok-gontokan” sesama kita sendiri. Satu kelompok menyatakan dirinya lebih
Islami daripada kelompok lain. Bahkan ada yang menyatakan mereka yang di luar kelompoknya
sebagai “kafir” dan musuh.

Rasulullah adalah seorang yang lemah lembut dan sopan, tapi kita menampilkan wajah yang
garang nan sangar. Rasulullah Saw adalah orang pemaaf, tapi kita malah menjadi umat yang
sering marah-marah. Bukankah ini bertentangan secara diametral dengan akhlak Rasulullah
Saw!

Para pemimpin umat dan para ulama pun didapati gejala serupa. Para pemimpin sibuk
mempertahankan kekuasaan dengan berbagai cara daripada memikirkan kepentingan umat.
Bersilat lidah dan bermain-main dengan kebohongan bukanlah hal yang baru bagi mereka.
Sementara para ulama yang kritis atas perilaku pemimpin umat bisa dihitung dengan jari. Banyak
dari mereka malah ikut menceburkan diri dalam euforia politik praktis. Menjadi “kutu loncat” dari
satu partai ke partai lain atau membentuk partai baru bila ambisinya tidak terakomodir adalah hal
yang biasa. Bukankah semua ini menunjukkan bahwa cinta umat Islam kepada Rasulullah Saw
baru sebatas bibir belaka.

Menurut Imam al-Ghazali, akhlak bisa diubah dan diperbaiki, karena jiwa manusia diciptakan
sempurna atau lebih tepatnya dalam proses menjadi sempurna. Oleh sebab itu, ia selalu terbuka
dan mampu menerima usaha pembaruan serta perbaikan.

Ibnu Maskawaih, dalam buku Tahdzub al-Akhlaq mengusulkan metode perbaikan akhlak melalui
lima cara. Pertama, mencari teman yang baik. Banyak orang terlibat tindak kejahatan karena
faktor pertemanan. Kedua, olah pikir. Kegiatan ini perlu untuk kesehatan jiwa, sama dengan
olahraga untuk kesehatan tubuh. Ketiga, menjaga kesucian kehormatan diri dengan tidak
mengikuti dorongan nafsu. Keempat, menjaga konsistensi antara rencana baik dan tindakan.
Kelima, meningkatkan kualitas diri dengan mempelajari kelemahan-kelemahan diri.

Marilah kita benahi akhlak kita semua. Marilah kita berakhlak sebagaimana akhlak Nabi
Muhammad Saw. Hanya dengan cara ini rajutan ukhuwah islamiyah yang terkoyak bisa kita
dirajut kembali. Mustahil terbina ukhuwah islamiyah yang solid jika kita masih menggunting dalam
lipatan, menikam teman seiring, menyebut kelompok lain kurang islami atau bahkan kafir,
emosinal dan sifat buruk lainnya. Marilah kita wujudkan cita kepada Rasulullah dalam amal dan
perbuatan, tidak hanya terucap di bibir saja.

Wallahu a’lamu bis shawab.


Penulis adalah Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia (DMI) dan Ketua Dewan Direktur CMM.

Anda mungkin juga menyukai