Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama
No. Register RS
Tanggal Lahir
Umur
Jenis Kelamin
Alamat
Tanggal MRS
Dokter Penanggung Jawab

: Tn. JF
: 31-09-xx
: 5 Oktober 1981
: 34 Tahun
: Laki-laki
: BTN Samanggi Maros
: 19 November 2015
: dr. Hj. Rahasiah Taufik, Sp.M (K)

B. ANAMNESIS
Anamnesa dilakukan secata autoanamnesis
Keluhan utama

: Rasa mengganjal pada mata sebelah kanan

Riwayat penyakit sekarang

Seorang pasien datang ke poliklinik mata RS. TNI AD Tk.II


Pelamonia dengan keluhan adanya rasa mengganjal seperti berpasir pada
mata sebelah kanan yang dialami sejak + 5 tahun yang lalu, disertai
muncul selaput yang awalnya kecil dan tipis namun semakin lama semakin
membesar dan terlihat jelas.
Pasien juga mengeluh bahwa penglihatan kabur, mata menjadi
merah, gatal, selalu terasa perih dan sering berair terutama pada saat
berkendara maupun beraktivitas diluar ruangan, hal inilah yang membuat
aktivitas pasien terganggu.
Pandangan seperti melihat terowongan disangkal,

penglihatan

ganda disangkal, keluhan sakit kepala, mual dan muntah serta riwayat
trauma juga disangkal oleh pasien.

Sebelumnya pasien sudah pernah berobat ke dokter dengan


keluhan yang sama tetapi tidak separah pada saat ini dan dokter
menyarankan untuk operasi namun pasien memilih untuk melakukan rawat
jalan dan menggunakan obat tetes mata karena takut untuk menjalani
operasi.
Riwayat penyakit dahulu

Disangkal

Riwayat penggunaan kacamata

Disangkal

Riwayat Pengobatan

Obat tetes mata (unknow)

Riwayat Pengobatan Tradisional

Rendaman air daun sirih

Riwayat penyakit keluarga

Ayah

menderita

penyakit

mata yang sama dan telah menjalani operasi.


Riwayat Kebiasaan

Merokok (+) Alkohol (-)

Obat-obatan (-) jarak antara tempat kerja dan rumah pasien sangat
jauh, pasien pulang pergi berkendara dengan menggunakan motor,
jarang menggunakan pelindung mata.
Riwayat alergi

Disangkal

C. PEMERIKSAAN FISIS
Status Generalis
Keadaan Umum

: Baik

Kesadaran

: Composmentis

Tanda Vital
TD

: 120/70 mmHg

Nadi

: 80 x/menit

Pernafasan

: 18 x/menit

Suhu

: dalam batas normal

D. PEMERIKSAAN OFTALMOLOGI

1. Inspeksi
PEMERIKSAAN

Palpebra
Apparatus

Lakrimalis
Silia

OD

OS

Edema (-) Hiperemis (-)

Edema (-) Hiperemis (-)

Lakrimasi (-)

Lakrimasi (-)

Trichiasis (-)
Hyperemis (+) pada

Trichiasis (-)

pterygium
Tampak jarungan

Konjungtiva

fibrovaskular yang
berbentuk segitiga dari

Hyperemis (-)

arah temporal dan


hampir menutupi
seluruh pupil

Mekanisme
Muskular

Tampak jarungan
fibrovaskular yang
berbentuk segitiga dari
arah temporal dan

Kornea

Permukaan cembung

hampir menutupi
seluruh pupil

Pterigium (-)

Permukaan cembung

Pterigium (+)
Sedang
Coklat
Bulat central
Sulit untuk dinilai

Sedang
Coklat
Bulat central
Jernih

PEMERIKSAAN

OD

OS

Finger Tension
Nyeri Tekan
Massa Tumor
Glandula

Tn
(-)
(-)

Tn
(-)
(-)

Pembesaran (-)

Pembesaran (-)

Bilik Mata Depan


Iris
Pupil
Lensa
2. Palpasi

Preaurikuler
3. Tonometri
TOD

: Tidak dilakukan evaluasi

TOS

: Tidak dilakukan evaluasi

4. Visus
VOD

: 6/25

VOS

: 6/6

5. Campus Visual

Tidak dilakukan evaluasi


6. Colour Sense
Tidak dilakukan evaluasi
7. Light Sense
Tidak dilakukan evaluasi
8. Penyinaran Oblik
PEMERIKSAAN

OD
Hiperemis pada daerah

Konjungtiva

pterygium
Tampak jarungan

OS
Hyperemis (-)

fibrovaskular yang
berbentuk segitiga dari

Kornea

arah temporal dan

Jernih

hampir menutupi
seluruh pupil

BMD
Iris

sedang
Coklat, Krypte (+)
Bulat, Refleks cahaya

Sedang
Coklat, Krypte (+)
Bulat, Refleks cahaya

Pupil

langsung & tidak

langsung & tidak

Lensa

langsung (+)
Sulit dinilai

langsung (+)
Jernih

9. Slit Lamp
Konjungtiva hyperemis (+) pada daerah yang ditemukan
adanya pertumbuhan jaringan fibrovaskular yang berbentuk

SLOD

segitiga dari arah temporal dan hampir menutupi seluruh


pupil, permukaan kornea terdapat pertumbuhan jaringan
fibrovaskular, BMD kesan normal, Iris coklat, krypte (+),
pupil bulat, central, RC (+), lensa sulit untuk dinilai

Konjungtiva hyperemis (-), kornea jernih, BMD kesan

SLOS

normal, iris coklat, krypte (+), pupil bulat, central, RC (+),


lensa jernih.

E. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Tidak dilakukan evaluasi
F. RESUME
Seorang pasien laki-laki berusia 34 tahun datang ke poliklinik mata
dengan keluhan adanya rasa mengganjal seperti berpasir pada mata
sebelah kanan yang dialami sejak + 5 tahun yang lalu, disertai muncul
selaput yang awalnya kecil dan tipis namun semakin lama semakin
membesar dan terlihat jelas.
Pasien juga mengeluh bahwa penglihatan kabur, mata menjadi
merah, gatal, selalu terasa perih dan sering berair terutama pada saat
berkendara maupun beraktivitas diluar ruangan.
Pandangan seperti melihat terowongan disangkal,

penglihatan

ganda disangkal, keluhan sakit kepala, mual, muntah serta riwayat trauma
dan alergi juga disangkal oleh pasien.
Sebelumnya pasien sudah pernah berobat ke dokter dengan
keluhan yang sama dan dokter telah menyarankan operasi namun pasien
memilih untuk melakukan rawat jalan dan menggunakan obat tetes mata.
Pasien pernah menggunakan rendaman air daun sirih sebagai pengobatan
tradisional untuk mengobati matanya.
Riwayat penyakit dahulu dan penyakit mata lainnya disangkal,
riwayat penggunaan kacamata juga disangkal oleh pasien. Pasien memiliki

penyakit mata yang sama dengan ayahnya, namun ayah pasien telah
menjalani operasi.
Pasien mengaku memiliki kebiasaan merokok dan sering
berkendara dengan menggunakan motor tanpa pelindung mata, padahal
jarak antara tempat kerja dan rumah pasien sangat jauh.
Pada pemeriksaan oftalmologi didapatkan VOD: 6/25 dan VOS:
6/6. Pada pemeriksaan slitlamp tampak konjungtiva hyperemis pada
daerah yang ditemukan adanya pertumbuhan jaringan fibrovaskular yang
berbentuk segitiga dari arah temporal dan hampir menutupi seluruh pupil.
Pada permukaan kornea tampak pertumbuhan jaringan fibrovaskula, BMD
kesan normal, Iris coklat, krypte (+), pupil bulat, central, RC (+), lensa
sulit untuk dinilai.

G. DIAGNOSIS
Pterigium derajat III oculus dextra
H. DIAGNOSIS BANDING
1. Pseudopterigium
2. Pingeukula
I. TERAPI
Rencana eksisi pterigium + graft
J.

PROGNOSIS
Quo ad vitam

: bonam

Quo ad functionam

: bonam

K. DISKUSI
1. Identifikasi Masalah
-

Rasa mengganjal pada mata sebelah kanan

Seperti berpasir ( adanya sensasi benda asing)

Mata merah, gatal dan terasa perih

Sering berair

Tumbuhnya suatu jaringan seperti selaput

Penglihatan kabur

2. Analisa Kasus
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisis yang telah
dilakukan, maka pasien ini didiagnosis dengan pterigium derajat III oculus
dextra.
Dari anamnesis didapatkan bahwa keluhan utama pasien datang ke
poliklinik mata akibat adanya rasa mengganjal seperti berpasir yang ia
rasakan pada mata sebelah kanannya, hal ini telah dialami + sejak 5 tahun
yang lalu, pasien juga mengeluh munculnya selaput pada mata sebelah
kanan yang semakin lama semakin meluas dan terlihat jelas, hal ini
tentunya sangat mengarah pada gejala klinis dari Pterigium. Ditambah lagi
keluhan penyerta lainnya seperti mata merah, gatal dan selalu terasa perih,
sering berair serta penglihatan yang kabur.

Jika ditinjau dari pemeriksaan fisis yang telah dilakukan, maka


memang benar terdapat adanya selaput yang tumbuh seperti pernyataan
pasien tersebut. Selaput ini merupakan penebalan pada daerah konjungtiva
berupa lipatan berbentuk segitiga yang tumbuh dari arah temporal
menjalar ke kornea dengan puncak segitiga yang berada di kornea dan
hampir menutupi seluruh pupil.
Dalam

menegakkan

diagnosis

pterigium,

penting

untuk

menentukan derajat atau klasifikasi dari pterigium yang diderita oleh


pasien. Berdasarkan luas perkembangannya maka pasien ini masuk dalam
pterigium derajat III, yaitu apabila pterigium sudah melebihi stadium II
tetapi tidak melebihi pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal.
Pasien pun mengeluhkan adanya penglihatan yang kabur semenjak selaput
yang ada di matanya tersebut tumbuh semakin meluas.
Tidak ada pengobatan medikamentosa yang spesifik untuk
pterigium. Tujuan pengobatan medikamentosa adalah untuk mengurangi
peradangan. Bila terjadi peradangan dapat diberikan steroid topikal.
Tindakan pembedahan pada pterigium adalah suatu tindakan bedah untuk
mengangkat jaringan pterigium dengan berbagai teknik operasi.
Teknik operasi yang direncanakan pada pasien ini adalah teknik
graft konjungtiva dengan alasan karena teknik ini dianggap paling bagus
dalam menurunkan rekurensi pterigium.
Diharapkan agar penderita sedapat mungkin menghindari faktor
pencetus timbulnya pterigium seperti sinar matahari, angin dan debu serta

rajin merwat dan menjaga kebersihan kedua mata. Oleh karena itu
dianjurkan untuk selalu memakai kacamata pelindung atau topi pelindung
bila keluar rumah.

TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI KONJUNGTIVA DAN KORNEA


1. Anatomi Konjungtiva
Konjungtiva merupakan membran mukosa yang transparan dan
tipis yang membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva
palpebralis) dan permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris).
Konjungtiva bersambungan dengan kulit pada tepi palpebra (suatu
sambungan mukokutan) dan dengan epitel kornea dilimbus.(1)
Sesuai dengan namanya, konjungtiva menghubungkan antara bola
mata dan kelopak mata. Dari kelopak mata bagian dalam, konjungtiva
terlipat ke bola mata baik dibagian atas maupun bawah. Refleksi atau

10

lipatan ini disebut dengan forniks superior dan inferior. Forniks superior
terletak 8-10 mm dari limbus sedangkan forniks inferior terletak 8 mm
dari limbus. Lipatan tersebut membentuk ruang potensial yang disebut
dengan sakkus konjungtiva, yang bermuara melalui fissura palpebra antara
kelopak mata superior dan inferior. Pada bagian medial konjungtiva, tidak
ditemukan forniks, tetapi dapat ditemukan karunkula dan plika semilunaris
yang penting dalam sistem lakrimal. Pada bagian lateral, forniks bersifat
lebih dalam hingga 14 mm dari limbus.(1)

Secara anatomi, konjungtiva terdiri atas 3 bagian :


a. Konjungtiva Palpebra
Mulai pada mucocutaneus junction yang terletak pada bagian
posterior kelopak mata yaitu daerah dimana epidermis bertransformasi
menjadi konjungtiva. Dari titik ini, konjungtiva melapisi erat
permukaan dalam kelopak mata. Konjungtiva palpebra dapat dibagi
lagi menjadi zona marginal, tarsal, dan orbital. Konjungtiva marginal
dimulai pada mucocutaneus junction hingga konjungtiva proper.
Punktum bermuara pada sisi medial dari zona marginal konjungtiva
palpebra sehingga terbentuk komunikasi antara konjungtiva dengan
sistem lakrimal. Kemudian zona tarsal konjungtiva merupakan bagian
dari konjungtiva palpebralis yang melekat erat pada tarsus. Zona ini
bersifat sangat vaskuler dan translusen. Zona terakhir adalah zona
orbital, yang mulai dari ujung perifer tarsus hingga forniks. Pergerakan

11

bola mata menyebabkan perlipatan horisontal konjungtiva orbital,


terutama jika mata terbuka. Secara fungsional, konjungtiva palpebra
merupakan daerah dimana reaksi patologis bisa ditemui.(1,2)
b. Konjungtiva Bulbi
Menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera dibawahnya.
Konjungtiva bulbi dimulai dari forniks ke limbus, dan bersifat sangat
translusen sehingga sklera dibawahnya

dapat divisualisasikan.

Konjungtiva bulbi melekat longgar dengan sklera melalui jaringan


alveolar, yang memungkinkan mata bergerak ke segala arah.
Konjungtiva bulbi juga melekat pada tendon muskuler rektus yang
tertutup oleh kapsula tenon. Sekitar 3 mm dari limbus, konjungtiva
bulbi menyatu dengan kapsula tenon dan sklera.(1,2)
c. Konjungtiva Forniks
Merupkan

tempat

peralihan

konjungtiva

tarsal

dengan

konjungtiva bulbi. Lain halnya dengan konjungtiva palpebra yang


melekat erat pada struktur sekitarnya konjungtiva forniks ini melekat
secara longgar dengan struktur di bawahnya yaitu fasia muskulus
levator palpebra superior serta muskulus rektus. Karena perlekatannya
bersifat longgar, maka konjungtiva forniks dapat bergerak bebas
bersama bola mata ketika otot-otot tersebut berkontraksi. (1,2)

12

Gambar 1. Penampang sagital konjungtiva


(diambil dari www.eastoneye.com)

Konjungtiva di vaskularisasi oleh arteri ciliaris anterior dan arteri


palpebralis. Kedua arteri ini beranastomosis dengan bebas dan bersama
banyak vena konjungtiva yang umumnya mengikuti pola arterinya
membentuk jaring-jaring vaskuler konjungtiva yang sangat banyak.
Pembuluh limfe konjungtiva tersusun didalam lapisan superfisial dan
profundus dan bergabung dengan pembuluh lemfe palpebra membentuk
pleksus limfatikus. Konjungtiva menerima persarafan dari percabangan
nervus trigeminus yaitu nervus oftalmikus. Saraf ini memiliki serabut
nyeri yang relatif sedikit.(1,2)
2. Anatomi Kornea

13

Kornea adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang


tembus cahaya, merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata bagian
depan. (2)

Gambar 2. Susunan Lapisan Kornea

Kornea terdiri dari lima lapis, yaitu :


a. Epitel

Tebalnya 550 m, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk


yang saling tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan
sel gepeng.(2)

Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini
terdorong ke depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke
depan menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel basal
di sampingnya dan sel poligonal di depanya melalui desmosom dan

14

makula okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit,


dan glukosa yang merupakan barrier.(2)
b. Membrane Bowman

Terletak dibawah membran basal epitel kornea yang merupakan


kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari
bagian depan stroma.(2)

c. Stroma
Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar
satu dengan lainnya, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur
sedang di bagian perifer serat kolagen ini bercabang; terbentuknya
kembali serat kolagen memakan waktu yang lama yang kadangkadang sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea
yang merupakan fibroblas terletak di antara seratkolagen stroma.
Diduga keratosit membentuk bahan dasar dan serat kolagen
dalam perkembangan embrio atau sesudah trauma.(2)
d. Membrane Descement

Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang


stroma kornea dihasilkan sel endotel dan merupakan membran
basalnya.(2)

Bersifat sangat elastik dan berkembang terus seumur hidup,


mempunyai tebal 40m.(2)

e. Endotel

15

Berasal dari mesotellium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar


20-40m. endotel melekat pada membrane descement melalui
hemidesmosom dan zonula okluden.(2)
Kornea dipersyarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal

dari saraf siliar longus, saraf nasosiliar, saraf ke V saraf siliar longus
berjalan suprakoroid, masuk ke dalam stroma kornea, menembus
membrane bowman melepaskan selubung schwannya. Seluruh lapis epitel
dipersarafi sampai pada kedua lapis terdepan tanpa ada akhir saraf. Bulbus
Krause untuk sensasi dingin ditemukan di daerah limbus. Daya regenerasi
saraf sesudah dipotong di daerah limbus terjadi dalam waktu 3 bulan.(2)
Trauma atau penyakit yang merusak endotel akan mengakibatkan
system pompa endotel terganggu sehingga dekompensasi endotel dan
terjadi edema kornea. Endotel tidak mempunyai daya regenarasi.(2)
Kornea merupakan bagian mata yang tembus cahaya dan menutup
bola mata di sebelah depan. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea
dimana 40 dioptri dari 50 dioptri pembiasan sinar masuk kornea dilakukan
oleh kornea.(2)
B. PTERIGIUM
1. Definisi
Pterigium merupakan pertumbuhan fibrovaskuler konjungtiva yang
bersifat degeneratif dan invasif. Menurut Hamurwono, pterigium
merupakan konjungtiva bulbi patologik yang menunjukkan penebalan
berupa lipatan berbentuk segitiga yang tumbuh menjalar ke kornea dengan

16

puncak segitiga di kornea. Pterigium berasal dari bahasa Yunani, yaitu


pteron yang artinya wing atau sayap. Pterigium mudah meradang dan bila
terjadi iritasi, akan berwarna merah dapat mengenai kedua mata.(3,4,6)
Gambar 3. Pterigium; jaringan fibrovaskular konjungtiva berbentuk segitiga

dengan puncak di kornea (diambil www.eastoneye.com)

2. Etiologi dan Faktor Resiko


Etiologi pterigium tidak diketahui dengan jelas. Diduga merupakan
suatu neoplasma, radang dan degenerasi yang disebabkan oleh iritasi
kronis akibat debu, pasir, cahaya matahari, lingkungan dengan angin yang
banyak dan udara yang panas selain itu faktor genetik dicurigai sebagai
faktor predisposisi.(3,4,6,7)
Faktor resiko yang mempengaruhi antara lain :
a. Usia
Prevalensi pterygium meningkat dengan pertambahan usia banyak
ditemui pada usia dewasa tetapi dapat juga ditemui pada usia anak-

17

anak. Tan berpendapat pterygium terbanyak pada usia dekade dua dan
tiga. (6,7)
b. Pekerjaan
Pertumbuhan pterygium berhubungan dengan paparan yang sering
dengan sinar UV. (6,7)
c. Tempat tinggal
Gambaran yang paling mencolok dari pterygium adalah distribusi
geografisnya. Distribusi ini meliputi seluruh dunia tapi banyak survei
yang dilakukan setengah abad terakhir menunjukkan bahwa negara di
khatulistiwa memiliki angka kejadian pterygium yang lebih tinggi.
Survei lain juga menyatakan orang yang menghabiskan 5 tahun
pertama kehidupannya pada garis lintang kurang dari 300 memiliki
risiko penderita pterygium 36 kali lebih besar dibandingkan daerah
yang lebih selatan. (6,7)
d. Jenis kelamin
Dilaporkan bahwa perbandingan antara laki-laki dan perempuan
penderita pterygium adalah 2:1.(6,7)
e. Herediter
Berdasarkan penelitian case control menunjukkan bahwa riwayat
keluarga dengan pterigium, kemungkinan diturunkan secara autosomal
dominan.(6,7)
f. Infeksi

18

Human Papiloma Virus (HPV) dinyatakan sebagai faktor penyebab


pterygium. (6,7)
g. Faktor risiko lainnya
Kelembaban yang rendah dan mikrotrauma karena partikel-partikel
tertentu seperti asap rokok , pasir merupakan salah satu faktor risiko
terjadinya pterygium. (6,7)
3. Patofisiologi
Ultraviolet adalah mutagen untuk p53 tumor supresor gene pada
limbal basal stem cell. Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta
diproduksi dalam jumlah berlebihan dan menimbulkan proses kolagenase
meningkat. Sel-sel bermigrasi dan angiogenesis. Akibatnya terjadi
perubahan

degenerasi

fibrovaskular. Jaringan

kolagen

dan

subkonjungtiva

terlihat
terjadi

jaringan

subepitelial

degenerasi

elastoik

proliferasi jaringan vaskular bawah epithelium dan kemudian menembus


kornea. Kerusakan pada kornea terdapat pada lapisan membran bowman
oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskular, sering disertai dengan inflamasi
ringan. Epitel dapat normal, tebal atau tipis dan kadang terjadi displasia.
(9,10)

Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada


keadaan defisiensi limbal stem cell, terjadi pembentukan jaringan
konjungtiva pada permukaan kornea. Gejala dari defisiensi limbal adalah
pertumbuhan konjungtiva ke kornea, vaskularisasi, inflamasi kronis,
kerusakan membran basement dan pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda

19

ini juga ditemukan pada pterygium dan karena itu banyak penelitian
menunjukkan bahwa pterygium merupakan manifestasi dari defisiensi atau
disfungsi limbal stem cell. Kemungkinan akibat sinar ultraviolet terjadi
kerusakan limbal stem cell di daerah interpalpebra.(9)
Pemisahan fibroblast dari jaringan pterygium menunjukkan
perubahan phenotype, pertumbuhan banyak lebih baik pada media
mengandung serum dengan konsentrasi rendah dibanding dengan
fibroblast konjungtiva normal. Lapisan fibroblast pada bagian pterygiun
menunjukkan proliferasi sel yang berlebihan. Pada fibroblast pterygium
menunjukkan matrix metalloproteinase, dimana matriks ekstraselluler
berfungsi untuk jaringan yang rusak, penyembuhan luka, mengubah
bentuk. Hal ini menjelaskan kenapa pterygium cenderung terus tumbuh,
invasi ke stroma kornea dan terjadi reaksi fibrovaskular dan inflamasi.(9)
4. Histopatologi
Pterigium merupakan akumulasi dari jaringan degenerasi subepitel
yang basofilik dengan karakteristik keabu-abuan di pewarnaan H & E .
Berbentuk ulat atau degenerasi elastotic dengan penampilan seperti cacing
bergelombang dari jaringan yang degenerasi. Pemusnahan lapisan
Bowman oleh jaringan fibrovascular sangat khas. Epitel diatasnya
biasanya normal, tetapi mungkin acanthotic, hiperkeratotik, atau bahkan
displastik dan sering menunjukkan area hiperplasia dari sel goblet.(9)

20

Gambar 4. Histopatologi pada pterigium


5. Gejala Klinis
Gejala klinis pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa
keluhan sama sekali. Beberapa keluhan yang sering dialami pasien seperti
mata sering berair dan tampak merah, merasa seperti ada benda asing,
dapat timbul astigmatisme akibat kornea tertarik. Pada pterigium lanjut
stadium 3 dan 4 dapat menutupi pupil dan aksis visual sehingga tajam
penglihatan menurun. (4,6)
Pterigium memiliki tiga bagian :
a. Bagian kepala atau cap, biasanya datar, terdiri atas zona abu-abu pada
kornea yang kebanyakan terdiri atas fibroblast. Area ini menginvasi
dan menghancurkan lapisan Bowman pada kornea. Garis zat besi (iron
line/Stockers line) dapat dilihat pada bagian anterior kepala. Area ini
b.

juga merupakan area kornea yang kering.(4,6,7)


Bagain whitish. Terletak langsung setelah cap, merupakan sebuah
lapisan vesikuler tipis yang menginvasi kornea seperti halnya kepala.
(4,6,7)

c.

Bagian badan atau ekor, merupakan bagian yang mobile (dapat


bergerak), lembut, merupakan area vesikuler pada konjungtiva bulbi

21

dan merupakan area paling ujung. Badan ini menjadi tanda khas yang
paling penting untuk dilakukannya koreksi pembedahan. (4,6,7)
6. Klasifikasi
Dalam penegakan diagnosis pterigium, sangat penting ditentukan
derajat atau klasifikasi pterigium tersebut. Klasifikasi pterigium dibagi
menjadi beberapa kelompok yaitu: (4,10)
a. Berdasarkan Perjalanan Penyakitnya

Pterigium progresif : tebal dan vascular dengan beberapa infiltrat


di kornea di depan kepala pterygium (disebut cap dari pterygium).

Pterigium regresif : tipis, atrofi, sedikit vascular. Tipe ini akhirnya


akan membentuk membran yang tidak hilang.

b. Berdasarkan Luas Perkembangannya

Derajat 1: jika pterygium hanya terbatas pada limbus kornea.

Derajat 2: jika sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari
2 mm melewati kornea.

Derajat 3: sudah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggiran


pupil mata dalam keadaan cahaya normal (pupil dalam keadaan
normal sekitar 3 4 mm)

Derajat 4: pertumbuhan pterygium melewati pupil sehingga


mengganggu penglihatan.

c. Berdasarkan Pemeriksaan Pembuluh Darah Episklera

22

T1 (atrofi): pembuluh darah episkleral jelas terlihat

T2 (intermediate): pembuluh darah episkleral sebagian terlihat

T3 (fleshy, opaque): pembuluh darah tidak jelas

7. Diagnosis
a. Anamnesis
Identitas pasien sangat perlu untuk ditanyakan. Selain sebagai
data administrasi dan data awal pasien, identitas tertentu juga sangat
perlu untuk mengetahui faktor resiko pterigium. Pterigium lebih sering
pada kelompok usia 20-30 tahun dan jenis kelamin laki-laki. Riwayat
pekerjaan

juga

sangat

perlu

ditanyakan

untuk

mengetahui

kecenderungan pasien terpapar sinar matahari.(4,6,7)


Pterigium umumnya asimptomatis atau akan memberikan
keluhan berupa mata sering berair dan tampak merah dan mungkin
menimbulkan astigmatisma yang memberikan keluhan gangguan
penglihatan. Pada kasus berat dapat menimbulkan diplopia. Biasanya
penderita mengeluhkan adanya sesuatu yang tumbuh di kornea dan
khawatir akan adanya keganasan atau alasan kosmetik. Keluhan
subjektif dapat berupa rasa panas, gatal, ada yang mengganjal, sensasi
benda asing, silau, dan berair.(4,6,7)
b. Pemeriksaan Fisis
Dari pemeriksaan didapatkan adanya penonjolan daging,
berwarna putih, tampak jaringan fibrovaskular yang berbentuk segitiga
yang terbentang dari konjungtiva interpalpebrae sampai kornea,
23

jaringan berbatas tegas sebagai suatu garis yang berwarna coklat


kemerahan, umumya tumbuh di daerah nasal (pada 90% kasus).
Dibagian depan dari apek pterigium terdapat infiltrate kecil-kecil yang
disebut islet of Fuch. Pterigium yang mengalami iritasi dapat
menjadi merah dan menebal yang kadang-kadang dikeluhkan oleh
penderita.(3,4,11)
8. Diagnosa Banding
a. Pseudopterigium
Pseudopterigium merupakan perlekatan konjungtiva dengan kornea
yang cacat. Sering pseudopterigium ini terjadi pada proses
penyembuhan tukak kornea, sehingga konjungtiva menutupi kornea.
(5,8)

Gambar 5. Pseeudopterigium

b. Pinguekula
Pinguekula merupakan penebalan pada konjungtiva bulbi berbentuk
segitiga dengan puncak di perifer dasar di limbus kornea, berwarna
kuning keabu-abuan dan terletak di celah kelopak mata. Timbul akibat

24

iritasi oleh angin, debu dan sinar matahari yang berlebihan. Biasanya
pada orang dewasa yang berumur kurang lebih 20 tahun.(5)
c.

Gambar 6. Pinguekula
Secara histopatologik ditemukan epitel tipis dan gepeng, sering
terdapat hanya dua lapis sel. Lapisan subepitel tipis. Serat-serat
kolagen stroma berdegenerasi hialin yang amorf kadang-kadang
terdapat penimbunan serat-serat yang terputus-putus. Dapat terlihat
penimbunan kalsium pada lapisan permukaan. Pembuluh darah tidak
masuk ke dalam Pinguekula akan tetapi bila meradang atau terjadi
iritasi, maka sekitar bercak degenerasi ini akan terlihat pembuluh
darah yang melebar. Tidak ada pengobatan yang khas, tetapi bila
terdapat

gangguan

kosmetik

dapat

dilakukan

pembedahan

pengangkatan.(9)
9. Penatalaksanaan
a. Konservatif
Penanganan pterigium pada tahap awal adalah berupa tindakann
konservatif seperti penyuluhan pada pasien untuk mengurangi iritasi
maupun paparan sinar ultraviolet dengan menggunakan kacamata anti
UV dan pemberian air mata buatan/topical lubricating drops.(3,4)
25

b. Tindakan Operatif
Adapun indikasi operasi menurut Ziegler and Guilermo Pico, yaitu:
Menurut Ziegler(10) :
Mengganggu visus
Mengganggu pergerakan bola mata
Berkembang progresif
Mendahului suatu operasi intraokuler
Kosmetik
Menurut Guilermo Pico(10) :
Progresif, resiko rekurensi > luas
Mengganggu visus
Mengganggu pergerakan bola mata
Masalah kosmetik
Di depan apeks pterigium terdapat Grey Zone
Pada pterigium dan kornea sekitarnya ada nodul pungtat
Terjadi kongesti (klinis) secara periodik.
Pada prinsipnya, tatalaksana pterigium adalah dengan tindakan
operasi. Ada berbagai macam teknik operasi yang digunakan dalam
penanganan pterigium di antaranya adalah(10):
Bare sclera : bertujuan untuk menyatukan kembali konjungtiva
dengan permukaan sklera. Kerugian dari teknik ini adalah
tingginya tingkat rekurensi pasca pembedahan yang dapat

mencapai 40-75%.
Simple closure : menyatukan langsung sisi konjungtiva yang
terbuka, diman teknik ini dilakukan bila luka pada konjuntiva

relatif kecil.
Sliding flap : dibuat insisi berbentuk huruf L disekitar luka bekas

eksisi untuk memungkinkan dilakukannya penempatan flap.


Rotational flap : dibuat insisi berbentuk huruf U di sekitar luka
bekas eksisi untuk

membentuk seperti lidah pada konjungtiva

yang kemudian diletakkan pada bekas eksisi.

26

Conjungtival graft : menggunakan free graft yang biasanya diambil


dari konjungtiva bulbi bagian superior, dieksisi sesuai dengan
ukuran luka kemudian dipindahkan dan dijahit atau difiksasi
dengan bahan perekat jaringan (misalnya Tisseel VH, Baxter
Healthcare, Dearfield, Illionis).

Gambar 7.

Teknik Operasi
Pterigium

10. Komplikasi
a. Komplikasi dari pterigium meliputi sebagai berikut:

Gangguan penglihatan
Mata kemerahan
Iritasi
Gangguan pergerakan bola mata.
Timbul jaringan parut kronis dari konjungtiva dan kornea

Pada pasien yang belum di eksisi terjadi distorsi dan


penglihatan sentral berkurang

27

Timbul jaringan parut pada otot rektus medial yang dapat


menyebabkan diplopia

Dry Eye sindrom


Keganasan epitel pada jaringan epitel di atas pterigium

b. Komplikasi post-operatif bisa sebagai berikut:


-

Rekurensi

Infeksi

Perforasi korneosklera

Jahitan graft terbuka hingga terjadi pembengkakkan dan


perdarahan

Conjungtiva scar

Adanya jaringan parut di kornea


Yang paling sering dari komplikasi bedah pterigium adalah

kekambuhan. Eksisi bedah memiliki angka kekambuhan yang tinggi,


sekitar 50-80%. Angka ini bisa dikurangi sekitar 5-15% dengan
penggunaan autograft dari konjungtiva atau transplant membran
amnion pada saat eksisi .(6,9)
11. Prognosis
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik.
Kebanyakan pasien dapat beraktivitas lagi setelah 48 jam post operasi.
Pasien dengan pterigium rekuren dapat dilakukan eksisi ulang dan graft
dengan konjungtiva autograft atau transplantasi membran amnion. (6)

28

DAFTAR PUSTAKA
1. Voughan, Daniel G., Asbury T., Riordan E.P. Anatomi Mata: Oftalmologi
Umum. Edisi 17. Jakarta: EGC, 2010. Hal 5-6.
2. Ilyas S., Yulianti S.R. Anatomi dan Fisiologi Mata: Ilmu Penyakit Mata. Edisi IV.
Jakarta: Badan Penerbit FKUI, 2012. Hal. 2-6
3. Ilyas S., Yulianti S.R. Pterigium: Ilmu Penyakit Mata. Edisi IV. Jakarta: Badan
Penerbit FKUI, 2012. Hal. 116-7.
4. Hamurwono G.D., Nainggolan S.H. Buku Pedoman Kesehatan Mata dan
Pencegahan Kebutaan Untuk Puskesmas. Jakarta: Direktorat Bina Upaya
Kesehatan Puskesmas Ditjen Pembinaan Kesehatan Masyarakat Depkes RI,
1984. 14-17.
5. Ilyas S., Yulianti S.R. Pseudopterigium, Pinguekula: Ilmu Penyakit Mata. Edisi
IV. Jakarta: Badan Penerbit FKUI, 2012. Hal. 117
6. Fisher J.P. Pterygium [online]. Hampton R., editors. Update: April 17th, 2015.
Available from URL: http://www.emedicine.medscape.com/article/1192527overview#showall Accessed: November 24th, 2015
7. Gazzard G., Saw S.M., Farook M., Koh D., Wijaya D., et all. Pterygium in
Indonesia:

prevalence,

Ophthalmology.

2008;

severity
86(12):

and

risk

factors.

13411346.

British

Avaiable

Journal
from

of

URL:

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1771435/ Accessed: November


22th, 2015.
8. Edward S. Digital Reference of Ophthalmology. Cornea & External Disease:
Pseudopterygium [online]. Harkness Eye Institute Columbia University. August,

29

2003.

Available

from

URL:

http://dro.hs.columbia.edu/pspterygium.htm

Accessed: November 22th, 2015.


9. Khurana A. K. Community Ophtalmology in Comprehensive Ophtalmology. 4th
Edition. Chapter 20. New Delhi. New Age International Limited Publisher, 2007.
p: 443-457.
10.Voughan, Daniel G., Asbury T., Riordan E.P. Pterygium: Oftalmologi Umum.
Edisi 17. Jakarta: EGC, 2010. Hal 119-20.
11.Gondhowiardjo T., Simanjuntak W.S., Gilbert. Pterigium: Panduan Management
Klinis Perdami. Jakarta. 2006. Hal 56-8.

30

Anda mungkin juga menyukai