Islam Menghargai Pluralitas, Islam Mengecam Pluralisme
3 Desember 2010 jam 7:18
Oleh: Fresdi Pratama (Sekjen LDK DKM Universitas Padjadjaran) Pluralisme seringkali diidentikan dengan agama. Pluralisme agama merupakan suatu yang agung bagi komponen masyarakat barat dalam tatanan kehidupan sekulerisme. Dalam pengertian kamus wikipedia, Pluralisme agama adalah: Pluralisme agama adalah sebuah konsep yang mempunyai makna yang luas, berkaitan dengan penerimaan terhadap agama-agama yang berbeda, dan dipergunakan dalam cara yang berlain-lainan pula: 1.Sebagai pandangan dunia yang menyatakan bahwa agama seseorang bukanlah sumber satu-satunya yang eksklusif bagi kebenaran, dan dengan demikian di dalam agama-agama lain pun dapat ditemukan, setidak-tidaknya, suatu kebenaran dan nilai-nilai yang benar. 2.Sebagai penerimaan atas konsep bahwa dua atau lebih agama yang sama-sama memiliki klaim-klaim kebenaran yang eksklusif sama-sama sahih. Pendapat ini seringkali menekankan aspek-aspek bersama yang terdapat dalam agama-agama. 3.Kadang-kadang juga digunakan sebagai sinonim untuk ekumenisme, yakni upaya untuk mempromosikan suatu tingkat kesatuan, kerja sama, dan pemahaman yang lebih baik antar agama-agama atau berbagai denominasi dalam satu agama. 4.Dan sebagai sinonim untuk toleransi agama, yang merupakan prasyarat untuk ko-eksistensi harmonis antara berbagai pemeluk agama ataupun denominasi yang berbeda-beda. Hal inilah yang salah dimana, nilai kebenaran agama dapat diambil dari agama yang lain. Padahal pra-syarat yang ada dalam islam menjelaskan bahwa islam telah dinyatakan sebuah agama sekaligus pandangan hidup yang sempurna. Pluralisme itu sendirilah yang pada akhirnya membatasi nilai-nilai agama yang diagungkan. Semisal, pluralisme menganggap bahwa jilbab dan kerudung merupakan bentuk penolakan dari keberagaman itu sendiri. Padahal, jilbab dan kerudung adalah nilai penting dari kewajiban seorang muslimah. Pluralisme yang senantiasa di bicarakan oleh masyarakat barat, ternyata tidak juga menghargai minoritas muslim di negaranya. Inilah pada faktanya, Pluralisme hadir bukan untuk menghargai budaya tapi menghancurkan budaya. Islam justru menghargai nilai-nilai keberagaman dan pluralitas yang menghargai pluralitas dan keberagaman lainnya. Negeri Andalusia (Spanyol saat ini) dahulu dikenal sebagai negeri 3 religion yaitu Nasrani dan Yahudi hidup berdampingan dengan islam yang saat itu berkuasa dengan adil dan sentausa. Justru sebaliknya, 1 April 1487 Masehi dan dikenang sebagai "The April Fool Day" merupakan hari kelam bagi kaum muslimin di negeri andalusia tatkala islam mengalami kemunduran dan kekalahan oleh inggris. Saat itu ratusan ribu kaum muslimin di bantai atas nama agama nasrani di mana kaum muslimin saat itu tidak mau tunduk dan masuk dalam agama nasrani. Hal yang aneh, kekinian kekhawatiran islam tidak menghargai pluralitas bukan saja dirasakan oleh non-muslim tapi juga dari muslim itu sendiri. Kehidupan sekulerisme dan menganggap bahwa budaya barat adalah budaya terdepan telah menyeret kaum muslimin dalam tatanan kehidupan masyarakat yang tidak mempunyai nilai moral pasti dimana akal dan pikiran manusia menjadi landasan bukan berasal dari kesucian dan nilai-nilai agama.
Islam Menghargai Pluralitas, Maka Dukunglah Islam
Ada seorang mahasiswa yang dengan suara keras dan lantang menyatakan bahwa kalau anda mengusung islam maka anda mengecam nilai-nilai perbedaan. Pernyataan tendensius tersebut, merupakan bentuk kesalahpahaman menilai islam. Seakan-akan isu yang terlihat di media massa saat ini, memperlihatkan islam mengecam perbedaan. Padahal, justru sebaliknya di negeri yang melahirkan gagasan demokrasi pluralisme, seperti Amerika Serikat, Perancis, Inggris dan Belanda, Islam dipojokan dan dianggap suatu kebudayaan yang tak sesuai pluralisme. Padahal, pluralisme yang mengagungkan keberagaman ternyata tidak mampu menerima perbedaan dari islam, dan justru kelompok-kelompok pengusung pluralisme seperti mengarahkan dunia pada satu agama bersama yang tentu melanggar fitroh manusia yang beragama dan memiliki kecerdasan akal. Karena plurlasme agama ini sejalan dengan agenda globalisasi, ia pun masuk kedalam wacana keagamaan agamaagama, termasuk Islam. Ketika paham ini masuk kedalam pemikiran keagamaan Islam respon yang timbul hanyalah adopsi ataupun modifikasi dalam takaran yang minimal dan lebih cenderung menjustifikasi. Respon yang tidak kritis ini akhirnya justru meleburkan nilai-nilai dan doktrin-doktrin keagamaan Islam kedalam arus pemikiran modernisasi dan globalisasi. Para pendukung paham pluralisme ini sangat getolberupaya memaknai kembali konsep Ahlul Kitab dengan mengesampingkan penafsian para ulama yang otoritatif. Dalam memaknai konsep itu proses dekonstruksi dengan menggunakan ilmu-ilmu Barat modern dianggap sah-sah saja. Inilah sebenarnya yang telah dilakukan oleh Mohammad Arkoun. Ia menyarankan, misalnya, agar pemahaman Islam yang dianggap ortodoks ditinjau kembali dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial-historis Barat. Dan dalam kaitannya dengan pluralisme agama ia mencanangkan agar makna Ahl al-kitab itu didekonstruksi agar lebih kontekstual. Paham pluralisme agama ini ternyata bukan hanya sebuah wacana yang sifatnya teoritis, tapi telah merupakan gerakan social yang cenderung politis. Karena ia adalah gerakan social, maka wacana teologis dan filosofis ini akhirnya diterima masyarakat awam sebagai paham persamaan agama-agama. Tokoh-tokoh masyarakat, artis, aktifis LSM, tokoh-tokoh politik kini tidak segan-segan lagi mengatakan bahwa semua agama adalah sama, tidak ada agama yang lebih benar dari agama lain. Justru islam datang untuk memberangus pluralisme dan menjadikan pluralitas agama dihargai dan dihormati, ditempatkan pada mulanya, dan membangun peradaban dunia yang bertolak pada semangat perbedaan tanpa unsur paksaan dalam beragama dan beraqidah.[]