Anda di halaman 1dari 13

1

Pengendalian Organisme Pengganggu Pascapanen Produk


Hortikultura dalam Mendukung GAP
Ir. I Made Supartha Utama, MS., Ph.D.
Pusat Pengkajian Buah-Buahan Tropika (PPBT)
Universitas Udayana
PENDAHULUAN
Produk pascapanen hortikultura segar buah-buahan dan sayur-sayuran adalah produk
yang masih hidup dicirikan dengan adanya aktivitas metabolisme yaitu respirasi.
Respirasi adalah proses oksidasi dengan memanfaatkan gula sederhana dimana
dengan keterlibatan enzim dirubah menjadi CO2, H2O dan energi kimia berupa
adenosin triphosphate (ATP) disamping energi dalam bentuk panas.

Karena suplai

karbohidrat terputus karena aktivitas fotosintesis terhambat setelah panen untuk produk
sayuran dan suplai terputus dari tanaman induknya untuk buah-buahan, maka semua
suplai untuk aktivitas respirasi hanya berasal dari tubuh bagian tanaman yang dipanen
itu sendiri. Akibatnya, selama periode pascapanennya terjadi kemunduran-kemunduran
mutu

kesegarannya.

Kemunduran

ini

akan

dibarengi

dengan

tumbuh

dan

perkembangan agen-agen perusak lainnya seperti mikroorganisme pembusuk dan


serangga perusak.
Produk pascapanen hortikultura segar juga sangat mudah mengalami kerusakankerusakan fisik akibat berbagai penanganan yang dilakukan. Kerusakan fisik ini terjadi
karena secara fisik-morfologis, produk hortikultura segar mengandung air tinggi (8598%) sehingga benturan, gesekan dan tekanan sekecil apapun dapat menyebabkan
kerusakan yang dapat langsung dilihat secara kasat mata dan dapat tidak terlihat pada
saat aktifitas fisik tersebut terjadi.

Biasanya, untuk kerusakan kedua tersebut baru

terlihat setelah beberapa hari. Kerusakan fisik ini menjadi entry point yang baik sekali
bagi khususnya mikroorganisme pembusuk dan sering menyebabkan nilai susut yang
tinggi bila cara pencegahan dan penanggulangannya tidak direncanakan dan dilakukan
dengan baik.
Makalah disajikan pada Pemberdayaan Petugas Dalam Pengelolaan OPT Hortikultura Dalam Rangka
Mendukung Good Agriculture Practices (GAP). Dilaksanakan oleh Dept. Pertanian, Dirjen Hortikultura,
Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura di Bali Tanggal 3 8 Juli 2006.

2
Saat panen, produk segar telah dilabui oleh beragam macam mikroorganisme di bagian
permukaan produk dan dapat pula berada di dalamnya.

Mikroorganisme patogenik

yang berada di dalam produk dapat belum berkembang selama pertumbuhan bagian
yang dipanen masih berada pada tanaman induknya dan melakukan pertumbuhan dan
perkembangan setelah panen (infeksi laten).

Mikroorganisme yang melabuhi

permukaan produk beragam mulai dari yang saprofit dan patogenik.

Bila terjadi

kerusakan mekanis ataupun kemunduran fisiologis pada produk, maka mikroorganisme


patogenik akan tumbuh dan berkembang menyebabkan pembusukan.
Demikian pula dengan serangga pengganggu seperti lalat buah, peletakan telur lalat
biasanya terjadi saat buah masih berkembang di lapangan. Telur ini baru tumbuh dan
berkembang menjadi larva atau ulat setelah buah mengalami pemasakan selama
periode pascapanennya.
Beragam cara pengendalian telah dikembangkan dan digunakan untuk tujuan komersial
baik dengan menggunakan bahan kimia, perlakuan fisik, musuh alami dan induce
resistance.

Keragaman

ini

juga

dibarengi

dengan

adanya

regulasi-regulasi

penggunaannya terkait dengan aspek kesehatan masyarakat dan lingkungan.


PEMAHAMAN SISTEM PASCAPANEN
Produk hortikultusa yang telah dipanen dari induk tanamannya masih melakukan
aktivitas metabolisme namun aktivitas metabolismenya tidaklah sama dengan pada
waktu produk tersebut masih melekat pada induknya. Berbagai macam stress atau
gangguan dialaminya mulai dari saat panen, penanganan pascapanen, distribusi dan
pemasaran, ritel dan saat ditangan konsumen seblum siap dikonsumsi atau diolah.
Stress terjadi karena kondisi hidupnya tidak pada kondisi normal saat di lapangan.
Kondisi stress diakibatkan oleh perlakuan-perlakuan pascapanennya seperti kondisi
suhu, atmosfer, sinar serta perlakuan-perlakuan fisik diluar batas kehidupan normalnya.
Stress adalah gangguan, hambatan atau percepatan proses metabolisme normal
sehingga dipandang tidak menyenangkan atau suatu keadaan negatif.
Produk tanaman yang telah dipanen, tidak hanya menjadi subjek stress mekanis saat
dilepaskan dari tanaman induknya tetapi juga subjek dari satu seri stress selama
periode

pascapanennya.

Sebagai

konsekwensinya,

periode

pascapanen

dapat

dipandang sebagai peiode manajemen stress. Pada konteks ini, stress di definisikan

3
relatif terhadap penggunaan akhir produk. Beragam teknologi pascapanen yang telah
dikembangkan pada intinya ditujukan untuk mengelola stress yang terjadi sehingga
dapat bermanfaat bagi manusia. Pengelolaan stress ditujukan untuk memperpanjang
masa kesegaran atau masa simpan produk. Untuk dapat melakukan pengelolaan yang
baik maka penting pemahaman yang baik tentang karakteristik fisiologis, morfologis dan
patologis produk serta adanya pertimbangan ekonomis-komersial yang menguntungkan
terhadap cara pengelolaan yang akan dilibatkan.
Stress primer dapat diakibatkan oleh kondisi fisiologis diluar dari keadaan normalnya
serta adanya kerusakan mekanis yang biasanya diikuti oleh stress sekunder berupa
tumbuh dan berkembangnya agen-agen perusak seperti mikroorganisme pembusuk dan
larva dari serangga perusak.
Salah satu pengelolaan stress pascapanen adalah untuk menghindari dan/atau
menanggulangi terjadinya pertumbuhan dan perkembangan mikroorganisme dan
serangga perusak produk segar tersebut.

Berbagai cara telah dikembangkan untuk

membunuh agen perusak tersebut terlebih lagi untuk keperluan ekspor, beberapa
negara telah mensyaratkan untuk mememberikan perlakuan sebelum produk tersebut
dikapalkan ke negara tujuan ekspor.
MIKROORGANISME PENGGANGGU PASCAPANEN
Kealamiahan Mikroorganisme Pengganggu
Produk segar pascapanen dilabuhi oleh berbagai jenis mikroorganisme yang dapat
digolongkan menjadi tiga, yaitu 1) mikroorganisme penyebab penyakit pada jaringan
produk tanaman (plant pathogenic microorganisms), 2) mikroorganisme penyebab
penyakit pada manusia atau binatang (human or animal-pathogenic microorganisms),
dan 3) mikroorganisme non-patogenik. Tabel 1 menunjukkan populasi mikroorganisme
pada beberapa produk pascapanen sayuran.
Secara umum mikroorganisme patogenik pada sayuran dan buah-buahan pada awal
infeksinya berbeda jenisnya.

Perbedaan jenis mikroorganisme yang tumbuh ini

disebabkan oleh kondisi keasaman produk berbeda.

Pada produk sayur-sayuran

dimana keasaman umumnya rendah (pH>4.5) maka mikroorganisme yang tumbuh


umumnya bakteri.

Sedangkan pada produk buah-buahan dengan keasaman tinggi

4
(pH<4.5) maka mikroorganisme yang tumbuh kebanyakan jamur (El-Ghaouth and
Wilson, 1995).
Cara infeksi dari mikroorganisme penyebab pembusukan dapat berbeda yang dat dibagi
manjadi tiga, yaitu; 1) infeksi laten, 2) infeksi melalui luka setelah panen, 3) infeksi
langsung pada produk utuh. Infeksi laten adalah cara infeksi yang dilakukan saat
Tabel 1. Mikroorganisme yang Terdapat Pada Produk Pascapanen Sayuran
Sayuran

Populasi Mikroorganisme

Paprika
Kol
Wortel
Collard
Mentimun
Selada
tomat

132.000
500 100.000
440 630.000
3.2 x 106 6.3 x 106
16.000
10.000 1 x 106
1 150
10.000 501.000

Acuan Pustaka
Golden et. al (1987)
Geeson (1979)
Splitttoesser (1970)
Senter et al (1987)
Splitttoesser (1970)
Riser et al (1984)
Splitttoesser (1970)
Senter et al (1985)

Sumber: Hurst (1998)

produk masih di kebun tumbuh bersama tanaman induknya.

Pada kondisi dimana

produk masih di kebun umumnya masa mikroorganisme pembusuk tidak dapat tumbuh
dan berkembang tetapi dalam keadaan dorman.

Mikroorganisme baru tumbuh dan

berkembang setelah rpoduk tersebut dipanen dan mengalami periode pemasakan atau
pelayuan.

Contoh

dari

mikroorganisme

ini

adalah

Colletotrichum sp.

yang

menyebabkan penyakit anthracnose pada buah mangga, papaya, pisang, alpukat dan
sebagainya. Botrytis sp. penyebab penyakit busuk lunan umumnya terjadi pada buahTabel 2. Infeksi laten dari beberapa pathogen pada buah-buahan
Produk Buah

Patogen

Cara infeksi laten

Apel

G. perenans
Diaporthe perniciosa
Nectria galligena
M. fructicula

Appresoria
Kolonisasi
Kolonisasi
Pre-germinasi
Penetrasi stomata
Appresoria
Penetrasi stomata
Kolonisasi
Appresoria
Kolonisasi
Appresoria
Kolonisasi
Kolonisasi

Apricot
Alpukat
Pisang
Cabe

C. gloeosporioides
Botryosphaeria ribis
C. musae

Jeruk
Mangga

C. capsici
Glomerella cingulata
C. gloeosporioides
C. gloeosporioides

Papaya
Raspberry
Strawberry
Tomat

C. gloeosporioides
B. Cinerea
B. Cinerea
C. pomopsis

Sumber: Swinburne (1983)

Kolonisasi
Kolonisasi
Kolonisasi
Appresoria
Kolonisasi

5
buahan seperti anggur, apel dan sebagainya dapat memulai infeksinya saat produk
masih di kebun.

Contoh pathogen yang melakukan infeksi laten dapat dilihat pada

Tabel 2.
Mikroorganisme pembusuk dengan mudah menguinfeksi produk melalui luka yang
diakibatkan penanganan selama periode pascapanennya. Contoh dari mikroorganisme
yang menginfeksi produk lewat luka adalah Rhizopus sp. yang dikenal dengan nama
penyakitnya busuk rhizopus, Panicillium digitatum dan Penicillium italicum yang dikenal
sebagai grey dan blue molds pada buah jeruk.
Infeksi langsung pada produk pascapanen utuh dapat dilakukan dengan adanya enzim
pektolitik yang dihasilkan oleh mikroorganisme itu sendiri yang dapat melunakkan
jaringan produk terutama dinding sel yang tersusun oleh polisakarida pektat. Enzim
pektinase yang berperan untuk melunakkan jaringan tersebut meliputi pectin metal
esterase

(PME),

pectin

lyase

(PE)

endopolygakturonase

(Endo-PG)

dan

exopoligalakturonase (Exo-PG).
Faktor yang Berpengaruh Terhadap Penyebaran Mikroorganisme Patogen
Faktor yang berpengaruh terhadap penyebaran mikroorganisme pathogen penyebab
pembusukan serta besarnya susut yang terjadi selama periode pascapanennya adalah
factor pra-panen dan pasca-panen. Faktor pra-panen ditentukan oleh cuaca, kondisi
fisiologis tanaman, sanitasi kebun dan adanya penyemprotan pestisida.

Sedangkan

factor pasca-panen ditentukan oleh cara penanganan, sanitasi dan pengemasan.


Seperti disebutkan sebelumnya bahwa produk pascapanen dilabuhi oleh berbagai
macam mikroorganisme dan tingkat populasinya sangat tergantung pada kondisi pra
panennya.

Kondisi hujan dan kelembaban tinggi sangat menguntungkan untuk

pertumbuhan mikroorganisme penyebab pembusukan. Tanpa dilakukan penyemprotan


pestisida yang memadai maka sumber inokulum penyakit akan tinggi populasinya.
Demikian pula dengan sanitasi kebun yang jelek tanpa adanya sirkulasi udara memadai
dengan kerapatan gulma tinggi akan menyengkan sekali sebagai lingkungan tempat
tumbuh dan berkembangnya mikroorganisme pembusuk.
Fisiologis tanaman saat tumbuh kurang baik terutama dukungan pertumbuhannya
seperti nutrisi dalam tanah dan kondisi lingkungan atmosfernya maka dapat
berpengaruh

terhadap

rentannya

mikroorganisme pathogen.

produk

yang

dipanen

terhadap

serangan

Disamping itu kematangan produk saat panen juga

6
berpengaruh terhadap masa simpan pascapanennya.

Bila dipanen dalam keadaan

masak maka kepekaan terhadap serangan mikroorganisme tinggi shingga hanya dapat
disimpan dalam waktu singkat.

Bila produk dipanen dalam keadaan matang tetapi

belum masak maka daya simpannya akan semakin lebih panjang jika pengendalian
lingkungan penundaan pemasakan dikendalikan dengan baik.
Cara penanganan pascapanen menentukan masa simpan.

Cara penanganan yang

kurang baik seperti penanganan yang cenderung menimbulkan pelukaan dan


kemunduran fisiologis yang cepat akan berakibat pada pertumbuhan mikroorganisme
pembusuk dengan cepat pula. Perlakuan-perlakuan pascapanen sering diberikan untuk
menghambat pertumbuhan atau membunuh mikroorganisme pembusuk.

Namun

demikian, adanya pembusukan oleh mikroorganisme adalah akibat sekunder dari


penanganan yang salah selama periode pascapanennya. Seperti pada produk yang
mengalami luka maka akan sangat memudahkan mikroorganisme tumbuh pada bagian
luka

tersebut.

Kemunduran

mutu

fisiologis

biasanya

diikuti

oleh

serangan

mikroorganisme pembusuk sibagai akibat sekunder karena degradasi jaringan yang


mempermudah infeksi dan enzim pektolitik untuk melunakan jaringan. Pada Tabel 3
memperlihatkan

beberapa

factor

pra-panen,

panen

dan

pasca-panen

yang

menyebabkan tumbuh dan berkembangnya mikroorganisme patogenik.


Tabel 3. Faktor pra-panen, panen dan pasca-panen yang berinteraksi dengan
pertumbuhan dan perkembangan mikroorganisme pambusuk.

7
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Pascapanen
Produk yang digunakan untuk pengendalian mikroorganisme pembusuk pascapanen
harus digunakan setelah mempertimbangkan beberapa factor kritis sebagai berikut:
o

Jenis pathogen yang terlibat dalam pembusukan

Lokasi pathogen di dalam produk

Waktu terbaik untuk pengendalian pembusukan tersebut.

Kematangan dari produk

Lingkungan selama penyimpanan, transportasi dan pemasarannya.

Produk yang dipilih untuk pengendalian pembusukan akibat mikroorganisme harus


mempertimbangkan factor di atas apakah dengan bahan kimia atau pengendalian
secara biologis.
Beberapa fungisida terdapat digunakan untuk pengendalian pembusukan oleh
mikroorganisme, dibandingkan dengan fungisida pra-panen yang jenisnya banyak, jenis
fungisidia pascapanen lebih sedikit.

Beberapa jenis fungisida yang digunakan

pascapanen, sekarang ini tidak lagi diijinkan karena kaitannya residu yang diidentifikasi
berpengaruh toksik kaitannya dengan kesehatan manusia dan factor lingkungan.
Beberapa produk sudah kehilangan daya racunnya karena tumbuhnya resistansi pada
mikroorganisme pembusuk.

Contoh bahan fungisida pascapanen yang sedang

digunakan adalah thiabendazole, dichloran, dan imazalil.

Akan tetapi, resistansi

terhadap thiabendazole dan imazalil meningkat maka penggunaan sebagai bahan kimia
efektif berkurang.
Beberapa bahan pengawet antimicrobial sebagai bahan tambahan pada makanan
secara umum tidak dipang sebagai perlakuan pascapanen namun dapat mengendalikan
pembusukan, dan dalam beberapa kasus hanya cara inilah pengendaliannya. Produk
ini meliputi sodium benzoate, parabens, sorbic acid, propionic acid, SO2, acetic acid,
nitrites and nitrates, dan antibiotics such as nisin (Chichester and Tanner, 1972).
Contohnya di California, gray mold yang menyerang anggur dikendalikan dengan
fumigasi menggunakan SO2 (Luvisi et al., 1992). Permintaan akan perlakuan fungisida
pascapanen sangat menguat khususnya dengan hilangnya iprodione di tahun 1996.
Pengendalian biologis penyakit pascapanen merupakan pendekatan baru dan
memberikan beberapa keuntungan dibandingkan dengan pengendalian biologis
konvensional:
o

Kondisi lingkungan dapat dipelihara dan ditetapkan

8
o

Agen pengendalian biologis dapat lebih efisien

Efektif biaya untuk produk pascapanen

Agen pengendali biologis yang pertama dikembangkan untuk digunakan pascapanen


adalah strain Bacillus subtilis (Pusey and Wilson, 1984). Strain bakteri ini
mengendalikan busuk coklat pada peach, tetapi saat formulasi komersial dibuat,
pengendalian memadai tidak dapat dicapai (Pusey, 1989). Belakangan ini strain
Pseudomonas syringae van Hall didapatkan mengendalikan

Blue dan Gray Mold

terhadap pome fruit (Janisiewicz and Marchi, 1992). Sekarang ini dijual secara komersial
untuk pengendalian penyakit pascapanen (Janisiewicz and Jeffers, 1997).

Walau

biocontrol tidak diragukan lagi keefektivannya, namun sering tidak memberikan hasil
yang konsisten. Hal ini mungkin disebabkan efikasinya juga dipengaruhi langsung oleh
jumlah inokulum pathogen yang ada (Roberts, 1994).
Iradiasi untuk pengendalian mikroorganisme pathogen dapat dilakukan. Namun, walau
sinar ultraviolet mempunyai pengaruh letal terhadap bakteri dan jamur yang ditempatkan
pada sinar langsung, tidak ada bukti mengurangi pembusukan pada buah dan sayuran
dalam kemasan (Hardenburg et al., 1986). Belakangan ini dosis rendah sinar UV (254
nm UV-C) mengurangi busuk coklat pascapanen pada peach (Stevens et al., 1998).
Pada kasus iniperlakuan sinar mempunyai dua pengaruh yaitu mengurangi inokulum
pathogen dan menginduksi resistansi dari produk yang diperlakukan. Namun demikian,
hal ini belum praktis sebagai perlakuan pascapanen dan masih memerlukan penelitian
lebih lanjut.
Pengelolaan suhu yang baik sangat kritis untuk pengendalian penyakit pascapanen dan
perlakuan lainnya dipandang sebagai suplemen terhadap pendinginan (Sommer, 1989).
Jamur pembusuk buah umumnya tumbuh optimal pada suhu 20 sampai 25 C dan
dapat dibagi menjadi suhu pertumbuhan minimum 5 sampai 10 C atau -6 sampai 0 C.
jamur dengan pertumbuhan minimum di bawah -2 C tidak dapat dihentikan secara
sempurna dengan pendinginan tanpa mengakibatkan pembekuan buah. Namun suhu
serendah memungkinkan diinginkan karena memperlambat pertumbuhan secara berarti
dan mengurangi pembusukan.
Perubahan konsentrasi gas O2 dan CO2 sering terjadi disekitar buah dan sayuran
(Spotts, 1984). Dengan mengendalikan gas tersebut yang sering disebut sebagai
controlled atmosphere dapat berpengaruh terhadap perlambatan proses kemunduran
fisiologis produk serta terhadap pertumbuhan dan perkembangan mikroorganisme

9
selama produk tersebut disimpan. Menurunkan konsentrasi O2 dan meningkatkan CO2
di atas 5%; dapat menekan pertumbuhan mikroorganisme perusak.

SERANGGA PENGGANGGU PASCAPANEN


Secara umum serangga pengganggu yang terjadi pada produk pascapanen adalah
merup[akan investasi laten atau bagian stadia pertumbuhannya telah ada dalam buah
sebelum dipanen. Seperti contohnya lalat buah meletakkan telurnya di dalam buah saat
masih di kebun dan produk tersebut masih relative muda. Telur tidak dapat tumbuh dan
berkembang karena kondisi lingkungan belum memungkinkan seperti keasaman yang
tinggi. Namun setelah dipanen dimana produk masuk pada periode pemasakan maka
telur akan menetas dan berkembang menjadi larva atau ulat yang sangat tidak dapat
diterima oleh konsumen apabila dijual terlebih lagi di ekspor.

Walau terjadi

perkembangan pasar bebas secara global sekarang ini namun Phytosanitary Restriction
(PR) berlanjut membatasi perdagangan.
Pengendalian

serangga

pascapanen

adalah

sangat

kritis

untuk

perdagangan

internasional. Tujuan pengendalian ini adalah untuk melindungi darah-daerah industri


pertanian dari introduksi hama serangga perusak. Pengembangan p[erlakuan khusus
untuk komoditi dan serangga tertentu memerlukan banyak data penelitian. Waktu yang
dibuthkan untuk pengembangan perlakuan hama serangga sampai dapat diterima
secara komersial membutuhkan waktu cukup panjang (5-10 tahun).
Cara Pengendalian Serangga Hama
Beberapa cara pengendalian serangga hama telah dikembangkan yaitu; 1) pendekatan
system, 2) pest-free zone, 3) inspeksi dan sertifikasi, dan 4) perlakuan pascapanen.
Dalam pendekatan system, tidak ada cara pengendalian tunggal yang sempurna.
Sejumlah cara diintegrasikan untuk mengendalikan serangga hama yang dapat berada
pada produk dalam kemasan.

Sepertti halnya integrated Pest Management,

pengendalian dapat mulai dari kebun dan lingkungan sekitarnya, pengendalian


kematangan saat panen, inspeksi saat pengemasan, pengembangan prosedur
pencucian khusus, dan sebagainya. Dalam pendekatan system ini, perlakuan khusus
pascapanen tidak diperlukan, namun produk sering membutuhkan inspeksi dan
sertifikasi sebelum dikapalkan.

10
Sedangkan Pest-Free Zone adalah daerah pertumbuhan yang telah disertifikasi bebas
dari hama-hama tertentu. Dibutuhkan program pembatasan ketat terhadap perpindahan
produk dari daerah terinfestasi ke daerah PFZ. Produk yang diekspor dari PFZ tidak
perlu memenuhi perlakuan karantina khusus, tetapi inspeksi dan sertifikasi dibutuhkan.
Contohnya daerah Florida ditetapkan atau disertifikasi sebagai daerah bebas Caribbean
fruit fly.
Perlakuan pascapanen ditujukan untuk membunuh atau mensterilkan hama serangga
dengan kerusakan minimum pada produk.

Perlakuan apapun yang akan diberikan

harus mempertimbangkan respon dari komoditi tersebut terhadap perlakuan tersebut.


Respon dari komoditi terhadap perlakuan karantina bervariasi tergantung pada kultivar
dan kematangan.

Dengan demikian, pada saat akan diberikan perlakuan, selalu

diadakan inspeksi terhadap mutu produk terkait dengan kultivar dan kematangannya
sehingga kemungkinan kerusakan-kerusakan sudah dapat diantisipasi sebelumnya.
Perlakuan tertentu sering merupakan kebutuhan dan dipersyaratkan setiap saat produk
dikapalkan/ekspor dengan tujuan tertentu. Kebanyakan perlakuan dilakukan sebelum
dikapalkan, tapi beberapa produk diperlakukan selama transport atau saat tiba di daerah
tujuan.
Fumigasi
Cara pengendalian hama pascapanen yang umum, mudah dan murah adalah dengan
cara fumigasi.

Namun di masa akan datang, penggunaan kebanyaan fumigant

tampaknya akan menurun karena pengaruhnya terhadap lingkungan dan kesehatan


manusia. Cara pengendalian kedepan akan lebih mengarah dengan perlakuan fisik dari
pada kimia yang dapat memberikan perlindungan terhadap konsumen terhadap bahaya
residu kimia.

Contoh fumigant yang sering digunakan untuk pengendalian hama

pascapanen adalah methyl bromide, phosphine dan hydrogen cyanide.


Methyl bromide (CH3Br) adalah biosida paling umum digunakan dan ditoleransi oleh
berbagai komoditi, namun masa depan penggunaannya masih belum menentu. Bahan
kimia ini berupa gas toksik dan penggunaannya membutuhkan prosedur keselamatan
yang ketat. Fumigasi dengan gas ini dilakukan di karantina Jepang untuk beberapa
produk hortikultura seperti ditunjukkan pada Tabel 4. Phospine biasa digunakan untuk
pengendalian serangga pada buah kering dan kacang-kacangan.

Namun untuk

kebanyakan komoditi segar dirusak oleh gas ini, bereaksi lambat dan tidak mempunyai
kemampuan berpenetrasi seperti methyl bromide. Bahan kimia ini merupakan potensial

11
carinogenik dan penggunaan di masa depan masih dipertanyakan.

Sedangkan

hydrogen cyanide (HCN) dalam bentuk gas digunakan untuk pengendalian serangga
California Red Scale pada jeruk yang dikapalkan dari California ke Arizona.
Kebanyakan komoditi segar dirusak oleh gar ini dan sangat mematikan sehingga
penggunaannya sangat terbatas.
Tabel 4. Perlakuan Karantina Hasil Pertanian di Jepang
Jenis Komoditas

Dosis, lama dan suhu Fumigasi


MB 48.5 g/m3, 2 jam, 5oC
MB 40.5 g/m3, 2 jam, 10oC

Buah/Sayuran segar (Jeruk, apel,


pear)

MB 32.5 g/m3, 2 jam 15oC


MB 24.5 g/m3, 2 jam 20oC
MB 16.0 g/m3, 2 jam 25oC
MB 48.5 g/m3, 3 jam

Kol, bawang, labu, kiwi

MB 32.5 g/m3, 2 jam 20oC


Bawang putih, jahe
MB 48.5 g/m3, 2 jam 20oC

Perlakuan Suhu Tinggi atau Rendah


Perlakuan dengan suhu baik tinggi maupun rendah merupakan alternative yang banyak
diteliti karena kelebihan-kelebihan seperti non-chemical, tidak meninggalkan residu dan
aman bagi pekerja.

Namun demikian, beberapa kekurangan dari cara ini adalah

berpotensi merusak produk bila tidak dilakukan secara hati-hati, biaya energi tinggi,
waktu perlakuan relative lama dibandingkan dengan fumigasi serta suhu dan waktu
yang tepat harus dieksplorasi untuk mampu efektif dalam mengendalikan serangga
dimana tidak menyebabkan kerusakan pada produk.
PPQ treatment Manual (USDA APHIS website) mengijinkan perlakuan dingin untuk
mengendalikan Mediteranean Fruit Fly (lihat Tabel 5), Oriental Citrus Mite, Mexican Fruit
Fly, Queensland Fruit Fly, Natal Fruit Fly, Lychee Fruit Borer dan Peca Weevil.
Perlakuan ini efektif untukserangga tropika, namun komoditi tropika umumnya tidak
toleran dengan cara dingin ini karena menyebabkan chilling injury. Cara ini baik untuk

12
komoditi yang dapat disimpan pada suhu rendah seperti apel, pear, anggur, buah kiwi,
persimmon dan delima.
Tabel 5. Perlakuan suhu dingin untuk Mediteranian Fruit Flies
Suhu

Lama Pendinginan (hari)

0 C atau kurang

10

0.6 C atau kurang

11

1.1 C atau kurang

12

1.7 C atau kurang

14

2.2 C atau kurang

16

Sumber: USDA APHIS PPQ Treatment Manual (www..aphis.usda.gov/ppq/manuals/onlinemanual.htm)

Beberapa perlakuan panas umum digunakan seperti perlakuan air panas untuk mangga
dan lychee, perlakuan udara panas seperti high temperature force air (HTFA) untuk
mangga, papaya dan berbagai buah jeruk.

HTFA adalah modifikasi perlakuan dari

udara panas dengan kecepatan aliran udara tinggi untuk mempercepat pemanasan
dengan RH rendah untuk mengurangi kerusakan produk. HTFA untuk pengendalian
lalat buah buah papaya adalah pertama dengan suhu 41C kemudian dengan suhu
47.2C selama 6 jam.
Perlakuan Kombinasi
Perlakuan kombinasi paling umum dilakukan dengan methyl bromide dan perlakuan
dingin.

Perlakuan dingin dapat diberikan sebelum atau sesudan fumigasi.

Dengan

kombinasi ini memungkinkan penggunaan dosis methyl bromide yang rendah dan
perlakuan lebih singkat bila dikombinasikan dengan pendinginan.
Perlakuan pencucian dengan detergen dan aplikasi pelilinan dapat mengendalikan false
red mite (Brevipalvus chilensis) dari anggur. Sedangkan penggunaan surfaktan dan
klorin dapat mengendalikan semut hitam pada buah manggis dan rambutan (Utama dkk,
2006).
DAFTAR PUSTAKA
Utama, I M. S., L. P. Nocianitri, and Ananggadipa. 2006. Effort in Controlling Black Ants
on Mangosteen Fruits. Poster presented on the National Seminar on The
Importance of Postharvest Technology in Escalating Competitiveness of
Indonesias Horticultural Products. Denpasar 28 August 2006.

13
El-Ghaouth, A. And Wilson, C.L. 1995. Biologically-based technologies for the control
of postharvest diseases. Posth. News Inform 6: 5-11N.
Swinburne, T.R. 1983. Quiescence infections in postharvest diseases. In Postharvest
Pahology of Fruit and Vegetables. Denis C. (ed). Academic Pres., London: 1-67.
Hurst, W.C. 1998. Food Safety Hazards Associated with Fresh Produce. Training
presentation produced by Food Science and Technology, University of Georgia,
Athens, GA 30602.
USDA APHIS PPQ, www..aphis.usda.gov/ppq/manuals/online-manual.htm
(Hardenburg, R.E., A.E. Watada and C.Y. Wang. 1986. The commercial storage of fruits
and vegetables, and florist and nursery stocks. USDA Agric. Handbook No. 66.
(Chichester, D.F. and F.W. Tanner. 1972. Antimicrobial food additives. In: T.E. Furia (ed)
CRC Handbook of Food Additives, Vol. 1, CRC Press, Boca Raton FL, pp. 115184.
Luvisi, D.A., H.H. Shorey, J.L. Smilanick, J.F. Thompson, B.H. Gump and J. Knutson.
1992. Sulfur dioxide fumigation of table grapes. Univ. Calif., Div. Agric. Nat. Res.,
Bull. No. 1932.
Pusey, P.L. and C.L. Wilson. 1984. Postharvest biological control of stone fruit brown rot
by Bacillus subtilis. Plant Dis. 68:753-756.
Pusey, P.L. 1989. Use of Bacillus subtilis and related organisms as biofungicides.
Pesticide Sci. 27:133-140.
Janisiewicz, W.J. and Marchi, A. 1992. Control of storage rots on various pear cultivars
with a saprophytic strain of Pseudomonas syringae. Plant Dis. 76:555-560.
Janisiewicz, W.J. and S.N. Jeffers. 1997. Efficacy of commercial formulation of two
biofungicides for control of blue mold and gray mold of apples in cold storage.
Crop Prot. 16:629-633.
Sommer, N.F. 1989. Suppressing postharvest disease with handling practices and
controlled environments. In: J.H. LaRue and R.S. Johnson (ed) Peaches, Plums,
and Nectarines Growing and Handling for Fresh Market. Univ. Calif., DANR Pub.
No. 3331, pp. 179Roberts, R. 1994. Integrating biological control into postharvest disease management
strategies. HortScience 29:758-762.
Stevens, C., V.A. Khan, J.Y. Lu, C.L. Wilson, P.L. Pusey, M.K. Kabwe, E.C.K. Igwegbe,
E. Chalutz and S. Droby. 1998. The germicidal and hormetic effects of UV-C light
on reducing brown rot disease and yeast microflora of peaches. Crop Protection
17:75-84.
Spotts, R.A. 1984. Environmental modification for control of postharvest decay. In: H.E.
Moline (ed) Postharvest Pathology of Fruits and Vegetables: Postharvest Losses
in Perishable Crops, Univ. of Calif., Agric. Exp. Station, Bull. No. 1914 (Pub. NE87), pp. 67-72.

Anda mungkin juga menyukai