Karena suplai
karbohidrat terputus karena aktivitas fotosintesis terhambat setelah panen untuk produk
sayuran dan suplai terputus dari tanaman induknya untuk buah-buahan, maka semua
suplai untuk aktivitas respirasi hanya berasal dari tubuh bagian tanaman yang dipanen
itu sendiri. Akibatnya, selama periode pascapanennya terjadi kemunduran-kemunduran
mutu
kesegarannya.
Kemunduran
ini
akan
dibarengi
dengan
tumbuh
dan
terlihat setelah beberapa hari. Kerusakan fisik ini menjadi entry point yang baik sekali
bagi khususnya mikroorganisme pembusuk dan sering menyebabkan nilai susut yang
tinggi bila cara pencegahan dan penanggulangannya tidak direncanakan dan dilakukan
dengan baik.
Makalah disajikan pada Pemberdayaan Petugas Dalam Pengelolaan OPT Hortikultura Dalam Rangka
Mendukung Good Agriculture Practices (GAP). Dilaksanakan oleh Dept. Pertanian, Dirjen Hortikultura,
Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura di Bali Tanggal 3 8 Juli 2006.
2
Saat panen, produk segar telah dilabui oleh beragam macam mikroorganisme di bagian
permukaan produk dan dapat pula berada di dalamnya.
Mikroorganisme patogenik
yang berada di dalam produk dapat belum berkembang selama pertumbuhan bagian
yang dipanen masih berada pada tanaman induknya dan melakukan pertumbuhan dan
perkembangan setelah panen (infeksi laten).
Bila terjadi
Keragaman
ini
juga
dibarengi
dengan
adanya
regulasi-regulasi
pascapanennya.
Sebagai
konsekwensinya,
periode
pascapanen
dapat
dipandang sebagai peiode manajemen stress. Pada konteks ini, stress di definisikan
3
relatif terhadap penggunaan akhir produk. Beragam teknologi pascapanen yang telah
dikembangkan pada intinya ditujukan untuk mengelola stress yang terjadi sehingga
dapat bermanfaat bagi manusia. Pengelolaan stress ditujukan untuk memperpanjang
masa kesegaran atau masa simpan produk. Untuk dapat melakukan pengelolaan yang
baik maka penting pemahaman yang baik tentang karakteristik fisiologis, morfologis dan
patologis produk serta adanya pertimbangan ekonomis-komersial yang menguntungkan
terhadap cara pengelolaan yang akan dilibatkan.
Stress primer dapat diakibatkan oleh kondisi fisiologis diluar dari keadaan normalnya
serta adanya kerusakan mekanis yang biasanya diikuti oleh stress sekunder berupa
tumbuh dan berkembangnya agen-agen perusak seperti mikroorganisme pembusuk dan
larva dari serangga perusak.
Salah satu pengelolaan stress pascapanen adalah untuk menghindari dan/atau
menanggulangi terjadinya pertumbuhan dan perkembangan mikroorganisme dan
serangga perusak produk segar tersebut.
membunuh agen perusak tersebut terlebih lagi untuk keperluan ekspor, beberapa
negara telah mensyaratkan untuk mememberikan perlakuan sebelum produk tersebut
dikapalkan ke negara tujuan ekspor.
MIKROORGANISME PENGGANGGU PASCAPANEN
Kealamiahan Mikroorganisme Pengganggu
Produk segar pascapanen dilabuhi oleh berbagai jenis mikroorganisme yang dapat
digolongkan menjadi tiga, yaitu 1) mikroorganisme penyebab penyakit pada jaringan
produk tanaman (plant pathogenic microorganisms), 2) mikroorganisme penyebab
penyakit pada manusia atau binatang (human or animal-pathogenic microorganisms),
dan 3) mikroorganisme non-patogenik. Tabel 1 menunjukkan populasi mikroorganisme
pada beberapa produk pascapanen sayuran.
Secara umum mikroorganisme patogenik pada sayuran dan buah-buahan pada awal
infeksinya berbeda jenisnya.
4
(pH<4.5) maka mikroorganisme yang tumbuh kebanyakan jamur (El-Ghaouth and
Wilson, 1995).
Cara infeksi dari mikroorganisme penyebab pembusukan dapat berbeda yang dat dibagi
manjadi tiga, yaitu; 1) infeksi laten, 2) infeksi melalui luka setelah panen, 3) infeksi
langsung pada produk utuh. Infeksi laten adalah cara infeksi yang dilakukan saat
Tabel 1. Mikroorganisme yang Terdapat Pada Produk Pascapanen Sayuran
Sayuran
Populasi Mikroorganisme
Paprika
Kol
Wortel
Collard
Mentimun
Selada
tomat
132.000
500 100.000
440 630.000
3.2 x 106 6.3 x 106
16.000
10.000 1 x 106
1 150
10.000 501.000
Acuan Pustaka
Golden et. al (1987)
Geeson (1979)
Splitttoesser (1970)
Senter et al (1987)
Splitttoesser (1970)
Riser et al (1984)
Splitttoesser (1970)
Senter et al (1985)
produk masih di kebun umumnya masa mikroorganisme pembusuk tidak dapat tumbuh
dan berkembang tetapi dalam keadaan dorman.
berkembang setelah rpoduk tersebut dipanen dan mengalami periode pemasakan atau
pelayuan.
Contoh
dari
mikroorganisme
ini
adalah
Colletotrichum sp.
yang
menyebabkan penyakit anthracnose pada buah mangga, papaya, pisang, alpukat dan
sebagainya. Botrytis sp. penyebab penyakit busuk lunan umumnya terjadi pada buahTabel 2. Infeksi laten dari beberapa pathogen pada buah-buahan
Produk Buah
Patogen
Apel
G. perenans
Diaporthe perniciosa
Nectria galligena
M. fructicula
Appresoria
Kolonisasi
Kolonisasi
Pre-germinasi
Penetrasi stomata
Appresoria
Penetrasi stomata
Kolonisasi
Appresoria
Kolonisasi
Appresoria
Kolonisasi
Kolonisasi
Apricot
Alpukat
Pisang
Cabe
C. gloeosporioides
Botryosphaeria ribis
C. musae
Jeruk
Mangga
C. capsici
Glomerella cingulata
C. gloeosporioides
C. gloeosporioides
Papaya
Raspberry
Strawberry
Tomat
C. gloeosporioides
B. Cinerea
B. Cinerea
C. pomopsis
Kolonisasi
Kolonisasi
Kolonisasi
Appresoria
Kolonisasi
5
buahan seperti anggur, apel dan sebagainya dapat memulai infeksinya saat produk
masih di kebun.
Tabel 2.
Mikroorganisme pembusuk dengan mudah menguinfeksi produk melalui luka yang
diakibatkan penanganan selama periode pascapanennya. Contoh dari mikroorganisme
yang menginfeksi produk lewat luka adalah Rhizopus sp. yang dikenal dengan nama
penyakitnya busuk rhizopus, Panicillium digitatum dan Penicillium italicum yang dikenal
sebagai grey dan blue molds pada buah jeruk.
Infeksi langsung pada produk pascapanen utuh dapat dilakukan dengan adanya enzim
pektolitik yang dihasilkan oleh mikroorganisme itu sendiri yang dapat melunakkan
jaringan produk terutama dinding sel yang tersusun oleh polisakarida pektat. Enzim
pektinase yang berperan untuk melunakkan jaringan tersebut meliputi pectin metal
esterase
(PME),
pectin
lyase
(PE)
endopolygakturonase
(Endo-PG)
dan
exopoligalakturonase (Exo-PG).
Faktor yang Berpengaruh Terhadap Penyebaran Mikroorganisme Patogen
Faktor yang berpengaruh terhadap penyebaran mikroorganisme pathogen penyebab
pembusukan serta besarnya susut yang terjadi selama periode pascapanennya adalah
factor pra-panen dan pasca-panen. Faktor pra-panen ditentukan oleh cuaca, kondisi
fisiologis tanaman, sanitasi kebun dan adanya penyemprotan pestisida.
Sedangkan
terhadap
rentannya
mikroorganisme pathogen.
produk
yang
dipanen
terhadap
serangan
6
berpengaruh terhadap masa simpan pascapanennya.
masak maka kepekaan terhadap serangan mikroorganisme tinggi shingga hanya dapat
disimpan dalam waktu singkat.
belum masak maka daya simpannya akan semakin lebih panjang jika pengendalian
lingkungan penundaan pemasakan dikendalikan dengan baik.
Cara penanganan pascapanen menentukan masa simpan.
Namun
tersebut.
Kemunduran
mutu
fisiologis
biasanya
diikuti
oleh
serangan
beberapa
factor
pra-panen,
panen
dan
pasca-panen
yang
7
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Pascapanen
Produk yang digunakan untuk pengendalian mikroorganisme pembusuk pascapanen
harus digunakan setelah mempertimbangkan beberapa factor kritis sebagai berikut:
o
pascapanen, sekarang ini tidak lagi diijinkan karena kaitannya residu yang diidentifikasi
berpengaruh toksik kaitannya dengan kesehatan manusia dan factor lingkungan.
Beberapa produk sudah kehilangan daya racunnya karena tumbuhnya resistansi pada
mikroorganisme pembusuk.
terhadap thiabendazole dan imazalil meningkat maka penggunaan sebagai bahan kimia
efektif berkurang.
Beberapa bahan pengawet antimicrobial sebagai bahan tambahan pada makanan
secara umum tidak dipang sebagai perlakuan pascapanen namun dapat mengendalikan
pembusukan, dan dalam beberapa kasus hanya cara inilah pengendaliannya. Produk
ini meliputi sodium benzoate, parabens, sorbic acid, propionic acid, SO2, acetic acid,
nitrites and nitrates, dan antibiotics such as nisin (Chichester and Tanner, 1972).
Contohnya di California, gray mold yang menyerang anggur dikendalikan dengan
fumigasi menggunakan SO2 (Luvisi et al., 1992). Permintaan akan perlakuan fungisida
pascapanen sangat menguat khususnya dengan hilangnya iprodione di tahun 1996.
Pengendalian biologis penyakit pascapanen merupakan pendekatan baru dan
memberikan beberapa keuntungan dibandingkan dengan pengendalian biologis
konvensional:
o
8
o
terhadap pome fruit (Janisiewicz and Marchi, 1992). Sekarang ini dijual secara komersial
untuk pengendalian penyakit pascapanen (Janisiewicz and Jeffers, 1997).
Walau
biocontrol tidak diragukan lagi keefektivannya, namun sering tidak memberikan hasil
yang konsisten. Hal ini mungkin disebabkan efikasinya juga dipengaruhi langsung oleh
jumlah inokulum pathogen yang ada (Roberts, 1994).
Iradiasi untuk pengendalian mikroorganisme pathogen dapat dilakukan. Namun, walau
sinar ultraviolet mempunyai pengaruh letal terhadap bakteri dan jamur yang ditempatkan
pada sinar langsung, tidak ada bukti mengurangi pembusukan pada buah dan sayuran
dalam kemasan (Hardenburg et al., 1986). Belakangan ini dosis rendah sinar UV (254
nm UV-C) mengurangi busuk coklat pascapanen pada peach (Stevens et al., 1998).
Pada kasus iniperlakuan sinar mempunyai dua pengaruh yaitu mengurangi inokulum
pathogen dan menginduksi resistansi dari produk yang diperlakukan. Namun demikian,
hal ini belum praktis sebagai perlakuan pascapanen dan masih memerlukan penelitian
lebih lanjut.
Pengelolaan suhu yang baik sangat kritis untuk pengendalian penyakit pascapanen dan
perlakuan lainnya dipandang sebagai suplemen terhadap pendinginan (Sommer, 1989).
Jamur pembusuk buah umumnya tumbuh optimal pada suhu 20 sampai 25 C dan
dapat dibagi menjadi suhu pertumbuhan minimum 5 sampai 10 C atau -6 sampai 0 C.
jamur dengan pertumbuhan minimum di bawah -2 C tidak dapat dihentikan secara
sempurna dengan pendinginan tanpa mengakibatkan pembekuan buah. Namun suhu
serendah memungkinkan diinginkan karena memperlambat pertumbuhan secara berarti
dan mengurangi pembusukan.
Perubahan konsentrasi gas O2 dan CO2 sering terjadi disekitar buah dan sayuran
(Spotts, 1984). Dengan mengendalikan gas tersebut yang sering disebut sebagai
controlled atmosphere dapat berpengaruh terhadap perlambatan proses kemunduran
fisiologis produk serta terhadap pertumbuhan dan perkembangan mikroorganisme
9
selama produk tersebut disimpan. Menurunkan konsentrasi O2 dan meningkatkan CO2
di atas 5%; dapat menekan pertumbuhan mikroorganisme perusak.
Walau terjadi
perkembangan pasar bebas secara global sekarang ini namun Phytosanitary Restriction
(PR) berlanjut membatasi perdagangan.
Pengendalian
serangga
pascapanen
adalah
sangat
kritis
untuk
perdagangan
10
Sedangkan Pest-Free Zone adalah daerah pertumbuhan yang telah disertifikasi bebas
dari hama-hama tertentu. Dibutuhkan program pembatasan ketat terhadap perpindahan
produk dari daerah terinfestasi ke daerah PFZ. Produk yang diekspor dari PFZ tidak
perlu memenuhi perlakuan karantina khusus, tetapi inspeksi dan sertifikasi dibutuhkan.
Contohnya daerah Florida ditetapkan atau disertifikasi sebagai daerah bebas Caribbean
fruit fly.
Perlakuan pascapanen ditujukan untuk membunuh atau mensterilkan hama serangga
dengan kerusakan minimum pada produk.
diadakan inspeksi terhadap mutu produk terkait dengan kultivar dan kematangannya
sehingga kemungkinan kerusakan-kerusakan sudah dapat diantisipasi sebelumnya.
Perlakuan tertentu sering merupakan kebutuhan dan dipersyaratkan setiap saat produk
dikapalkan/ekspor dengan tujuan tertentu. Kebanyakan perlakuan dilakukan sebelum
dikapalkan, tapi beberapa produk diperlakukan selama transport atau saat tiba di daerah
tujuan.
Fumigasi
Cara pengendalian hama pascapanen yang umum, mudah dan murah adalah dengan
cara fumigasi.
Namun untuk
kebanyakan komoditi segar dirusak oleh gas ini, bereaksi lambat dan tidak mempunyai
kemampuan berpenetrasi seperti methyl bromide. Bahan kimia ini merupakan potensial
11
carinogenik dan penggunaan di masa depan masih dipertanyakan.
Sedangkan
hydrogen cyanide (HCN) dalam bentuk gas digunakan untuk pengendalian serangga
California Red Scale pada jeruk yang dikapalkan dari California ke Arizona.
Kebanyakan komoditi segar dirusak oleh gar ini dan sangat mematikan sehingga
penggunaannya sangat terbatas.
Tabel 4. Perlakuan Karantina Hasil Pertanian di Jepang
Jenis Komoditas
berpotensi merusak produk bila tidak dilakukan secara hati-hati, biaya energi tinggi,
waktu perlakuan relative lama dibandingkan dengan fumigasi serta suhu dan waktu
yang tepat harus dieksplorasi untuk mampu efektif dalam mengendalikan serangga
dimana tidak menyebabkan kerusakan pada produk.
PPQ treatment Manual (USDA APHIS website) mengijinkan perlakuan dingin untuk
mengendalikan Mediteranean Fruit Fly (lihat Tabel 5), Oriental Citrus Mite, Mexican Fruit
Fly, Queensland Fruit Fly, Natal Fruit Fly, Lychee Fruit Borer dan Peca Weevil.
Perlakuan ini efektif untukserangga tropika, namun komoditi tropika umumnya tidak
toleran dengan cara dingin ini karena menyebabkan chilling injury. Cara ini baik untuk
12
komoditi yang dapat disimpan pada suhu rendah seperti apel, pear, anggur, buah kiwi,
persimmon dan delima.
Tabel 5. Perlakuan suhu dingin untuk Mediteranian Fruit Flies
Suhu
0 C atau kurang
10
11
12
14
16
Beberapa perlakuan panas umum digunakan seperti perlakuan air panas untuk mangga
dan lychee, perlakuan udara panas seperti high temperature force air (HTFA) untuk
mangga, papaya dan berbagai buah jeruk.
udara panas dengan kecepatan aliran udara tinggi untuk mempercepat pemanasan
dengan RH rendah untuk mengurangi kerusakan produk. HTFA untuk pengendalian
lalat buah buah papaya adalah pertama dengan suhu 41C kemudian dengan suhu
47.2C selama 6 jam.
Perlakuan Kombinasi
Perlakuan kombinasi paling umum dilakukan dengan methyl bromide dan perlakuan
dingin.
Dengan
kombinasi ini memungkinkan penggunaan dosis methyl bromide yang rendah dan
perlakuan lebih singkat bila dikombinasikan dengan pendinginan.
Perlakuan pencucian dengan detergen dan aplikasi pelilinan dapat mengendalikan false
red mite (Brevipalvus chilensis) dari anggur. Sedangkan penggunaan surfaktan dan
klorin dapat mengendalikan semut hitam pada buah manggis dan rambutan (Utama dkk,
2006).
DAFTAR PUSTAKA
Utama, I M. S., L. P. Nocianitri, and Ananggadipa. 2006. Effort in Controlling Black Ants
on Mangosteen Fruits. Poster presented on the National Seminar on The
Importance of Postharvest Technology in Escalating Competitiveness of
Indonesias Horticultural Products. Denpasar 28 August 2006.
13
El-Ghaouth, A. And Wilson, C.L. 1995. Biologically-based technologies for the control
of postharvest diseases. Posth. News Inform 6: 5-11N.
Swinburne, T.R. 1983. Quiescence infections in postharvest diseases. In Postharvest
Pahology of Fruit and Vegetables. Denis C. (ed). Academic Pres., London: 1-67.
Hurst, W.C. 1998. Food Safety Hazards Associated with Fresh Produce. Training
presentation produced by Food Science and Technology, University of Georgia,
Athens, GA 30602.
USDA APHIS PPQ, www..aphis.usda.gov/ppq/manuals/online-manual.htm
(Hardenburg, R.E., A.E. Watada and C.Y. Wang. 1986. The commercial storage of fruits
and vegetables, and florist and nursery stocks. USDA Agric. Handbook No. 66.
(Chichester, D.F. and F.W. Tanner. 1972. Antimicrobial food additives. In: T.E. Furia (ed)
CRC Handbook of Food Additives, Vol. 1, CRC Press, Boca Raton FL, pp. 115184.
Luvisi, D.A., H.H. Shorey, J.L. Smilanick, J.F. Thompson, B.H. Gump and J. Knutson.
1992. Sulfur dioxide fumigation of table grapes. Univ. Calif., Div. Agric. Nat. Res.,
Bull. No. 1932.
Pusey, P.L. and C.L. Wilson. 1984. Postharvest biological control of stone fruit brown rot
by Bacillus subtilis. Plant Dis. 68:753-756.
Pusey, P.L. 1989. Use of Bacillus subtilis and related organisms as biofungicides.
Pesticide Sci. 27:133-140.
Janisiewicz, W.J. and Marchi, A. 1992. Control of storage rots on various pear cultivars
with a saprophytic strain of Pseudomonas syringae. Plant Dis. 76:555-560.
Janisiewicz, W.J. and S.N. Jeffers. 1997. Efficacy of commercial formulation of two
biofungicides for control of blue mold and gray mold of apples in cold storage.
Crop Prot. 16:629-633.
Sommer, N.F. 1989. Suppressing postharvest disease with handling practices and
controlled environments. In: J.H. LaRue and R.S. Johnson (ed) Peaches, Plums,
and Nectarines Growing and Handling for Fresh Market. Univ. Calif., DANR Pub.
No. 3331, pp. 179Roberts, R. 1994. Integrating biological control into postharvest disease management
strategies. HortScience 29:758-762.
Stevens, C., V.A. Khan, J.Y. Lu, C.L. Wilson, P.L. Pusey, M.K. Kabwe, E.C.K. Igwegbe,
E. Chalutz and S. Droby. 1998. The germicidal and hormetic effects of UV-C light
on reducing brown rot disease and yeast microflora of peaches. Crop Protection
17:75-84.
Spotts, R.A. 1984. Environmental modification for control of postharvest decay. In: H.E.
Moline (ed) Postharvest Pathology of Fruits and Vegetables: Postharvest Losses
in Perishable Crops, Univ. of Calif., Agric. Exp. Station, Bull. No. 1914 (Pub. NE87), pp. 67-72.