Anda di halaman 1dari 24

Konferensi Gabungan

G2P1A0 Hamil 31 Minggu dengan Partus Prematurus Imminens


+ Retardasi Mental dan Gangguan Psikosis
Janin Tunggal Hidup Presentasi Kepala

Penyaji
dr. Eko Herdiyanto
Pembimbing
Prof.dr.H. A. Kurdi Syamsuri , SpOG(K), Msed
dr. H. Azhari, SpOG(K)
dr. ..............................SpA(K)
dr. Abdullah Sahab, SpKJ
Pemandu
dr.H. Rizal Sanif, SpOG(K)
Pembahas
dr.
dr.
dr.

BAGIAN / DEPARTEMEN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
Dipresentasikan hari,

Agustus 2014 pkl 08.00 WIB

I. REKAM MEDIK
A. Anamnesis
1. Identifikasi
Nama

: Ny.N

Med.Rec / Reg

: 837181/14021184

Umur

: 27 tahun

Suku bangsa

: Sumatera

Pendidikan

: Tidak sekolah

Pekerjaan

: Ibu rumah tangga

Alamat

: Desa Bangun Sari Rt 18 Rw 09 Bangun Sari Kec Tanjung

Lago Kab Banyuasin


MRS

: 10 Agustus 2014 pukul 10.22 WIB

2. Riwayat Perkawinan
Kawin 1 kali, lamanya 4 tahun
3. Riwayat Reproduksi
Menarche 15 tahun, lama haid 7 hari, siklus 28 hari, HPHT Lupa,Taksiran
Persalinan : -.
4. Riwayat kehamilan/melahirkan : G2P1A0
1. Perempuan, 2010, aterm, spontan,dukun, sehat
2. Hamil ini
5. Riwayat penyakit dahulu :
Diabetes melitus (-), hipertensi (-), penyakit jantung (-), Depresi (-),R/Kejang
demam (+) umur 7 tahun. R/ sakit yang sama setelah melahirkan pada hamilhamil sebelumnya (-), R/ psikosis postpartum dalam keluarga (-).
6. Riwayat gizi/sosial ekonomi:
Rendah
7. Anamnesis Khusus (Alloanamnesis)
Keluhan utama : Hamil kurang bulan dan perut mules + sulit tidur
Riwayat perjalanan penyakit :
Sejak 1 hari yang lalu penderita mengeluh perut mules yang menjalar ke pinggang
hilang timbul (+), R/ Keluar darah lendir (-), R/ keluar air-air (-), R/ perut diuruturut (-), R/ Keputihan (+), R/ demam (-), R/ darah tinggi (-). Os mengaku hamil
kurang bulan dan gerakan janin masih dirasakan.

Sejak 2 bulan keluarga penderita mengaku bahwa penderita berbicara meracau,


mengamuk dan sulit tidur. penderita juga merasakan seperti benci terhadap bayi
yang dikandungnya dengan memukul-mukul perutnya. Keluarga penderita juga
mengaku bahwa penderita tidak bisa mengurus diri sendiri (+), R/ merasa menyesal
terhadap kehamilan ini (+), R/ mau menggugurkan kehamilannya (-), R/ ada
masalah dengan keluarga (-), Penderita lalu dikonsulkan ke Poli Jiwa RSMH,
dikatakan oleh SpKJ.
B. Pemeriksaan Fisik
1. Status Present
A. Pemeriksaan umum
Keadaan umum

: sedang

Kesadaran

: compos mentis

Tipe badan

: asthenikus

Berat badan

: 50 kg

Tinggi badan

: 148 cm

Tekanan darah

: 110/70 mmHg

Nadi

: 86x/menit

Pernafasan

: 20x/menit

Suhu

: 36,50C

B. Keadaan khusus
Kepala

: konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik

Leher

: tekanan vena jugularis tidak meningkat, massa (-).

Thoraks

: jantung : murmur tidak ada, gallop tidak ada. Paru-paru; vesikuler


normal (+), ronchi (-), wheezing (-)

Abdomen

: hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-), tanda cairan bebas (-)

Ekstremitas : edema pretibial -/-, varises

tidak ada,

reflek

fisiologis +/+,

reflek patologis -/2. Pemeriksaan Obstetri


Pada pemeriksaan obstetri setelah operasi melahirkan tanggal 10 agustus 2014 pada
pukul 10.22 wib didapatkan :

Pemeriksaan luar : tinggi fundus uteri pusat -prosessus xyphoideus (25cm),


letak janin memanjang, punggung di kanan, terbawah kepala,

his 1x/10

menit/15 detik, denyut jantung janin 148x/menit, taksiran berat badan janin
1860 gram.
-

Inspekulo:

Portio

livide,

OUE

tertutup,

Fluor

(+),

Fluksus

(-),

erosi/laserasi/polip (-).
-

Pemeriksaan dalam : Portio lunak, posterior, eff. 0%, pembukaan kuncup,


kepala, floting dan penunjuk belum dapat dinilai.

Pemeriksaan panggul : Promontorium tak teraba, konjugata diagonalis>13 cm,


konjugata vera>11,5 cm, linea innominata teraba 1/3-1/3, sakrum konkaf,
spina iskiadika tak menonjol, arkus pubis > 90 o, dinding samping lurus, kesan
: Panggul luas.

Indeks tokolitik :
Kontraksi
Penurunan
Pembukaan
Perdarahan

:2
:0
:0
:0

C. Pemeriksaan penunjang
Darah rutin(11-08-2014)
Hemoglobin

: 10,7 g%

Eritrosit

: 3.220.000/mm3

Hematokrit

: 26 %

Leukosit

: 20.500/mm3

Trombosit

: 450.000/L

Hitung jenis

: 0/1/0/81/12/7

CRP

: negatif

LEA

: negatif

D. Diagnosa kerja
G2P1A0 hamil 31 minggu dengan partus prematurus imminens + suspek retardasi mental
dan gangguan psikosis janin tunggal hidup presentasi kepala.

E. Prognosis: dubia
F. Terapi
- Observasi TVI, kontraksi uterus, DJJ dan tanda inpartu
- Konservatif
- IVFD RL gtt xx/m
- Inj ampicilin 4 x 1 g iv (skin test)
- Inj dexamethason 2 x 6 mg (2 hari)
- Nifedipin 4 x 10 mg
- cek laboratorium DR, UR, KD, CM
- R/ USG konfirmasi
- R/ konsul Departemen Kesehatan Jiwa
G. Follow Up
11 Agustus 2014 pukul 07.00 WIB
Keluhan : Status present :
Keadaan umum: Sedang, kesadaran:kompos mentis, tekanan
darah: 120/80 mmHg, nadi 86 x/m, pernafasan 20 x/m, suhu
36,7C
Status Obstetri:
PL:Tinggi fundus uteri pusat - prosessus xyphoideus (25cm),
letak janin memanjang, punggung di kanan, terbawah kepala, his
1x/10 menit/15 detik, denyut jantung janin 148 x/menit, taksiran
berat badan janin 1860 gram.
Diagnosis :G2P1A0 hamil 31 minggu dengan partus prematurus
imminens + suspek retardasi mental dan gangguan psikosis janin
tunggal hidup presentasi kepala.
Hasil Ultrasonografi (NS) :
Tampak janin tunggal hidup presentasi kepala
Biometri janin BPD : 80 mm
AC : 279 mm
HC : 291 mm
FL : 56 mm
EFW: 1958 g
Ketuban cukup
Plasenta dikorpus depan
Panjang servik 2,3 cm
K/ hamil 31 minggu janin tunggal hidup presentasi kepala +
panjang servik 2,3 cm.
12 Agustus 2014, Pukul 07.00 WIB
Keluhan : Status present :
Keadaan umum: Sedang, kesadaran:kompos mentis, tekanan
darah: 120/80 mmHg, nadi 86 x/m, pernafasan 20 x/m, suhu
36,7C
Status Obstetri:
PL:Tinggi fundus uteri pusat - prosessus xyphoideus (25cm),

Terapi
- Observasi TVI, kontraksi uterus,
DJJ dan tanda inpartu
- Konservatif
- IVFD RL gtt xx/m
- Inj ampicilin 4 x 1 g iv (skin test)
- Inj dexamethason 2 x 6 mg (2 hari)
- Nifedipin 4 x 10 mg
- cek laboratorium DR, UR, KD, CM
- R/ USG konfirmasi
- R/ konsul Departemen Kesehatan
Jiwa

Terapi
Observasi TVI, kontraksi uterus, DJJ
dan tanda inpartu
- Konservatif
- IVFD RL gtt xx/m
- Inj ampicilin 4 x 1 g iv (skin test)
- Inj dexamethason 2 x 6 mg (2 hari)
- Nifedipin 4 x 10 mg

letak janin memanjang, punggung di kanan, terbawah kepala, his


1x/10 menit/15 detik, denyut jantung janin 148 x/menit, taksiran
berat badan janin 1860 gram.
Diagnosis :G2P1A0 hamil 31 minggu dengan partus prematurus
imminens + suspek retardasi mental dan gangguan psikosis janin
tunggal hidup presentasi kepala.

- R/ konsul Departemen Kesehatan


Jiwa

Visited dr. H. Nuswil Bernolian SpOG(K)


Saran: ampicillin ganti dengan inj ceftriaxon 2 x 1 g iv
13 Agustus 2014, Pukul 06.30 WIB
Keluhan : Status present :
Keadaan umum: Sedang, kesadaran:kompos mentis, tekanan
darah: 120/80 mmHg, nadi 86 x/m, pernafasan 20 x/m, suhu
36,7C
Status Obstetri:
PL:Tinggi fundus uteri pusat - prosessus xyphoideus (25cm),letak janin memanjang, punggung di kanan, terbawah kepala, his
1x/10 menit/15 detik, denyut jantung janin 148 x/menit, taksiran
berat badan janin 1860 gram.
Diagnosis :G2P1A0 hamil 31 minggu dengan partus prematurus
imminens + suspek retardasi mental dan gangguan psikosis janin
tunggal hidup presentasi kepala.

Terapi
Observasi TVI, kontraksi uterus, DJJ
dan tanda inpartu
- Konservatif
- IVFD RL gtt xx/m
- Inj ceftriaxon 2 x 1 g iv (
- Nifedipin 4 x 10 mg
- R/ konsul Departemen
Kesehatan Jiwa (hari ini)

Labor (Tgl.13-8-2014) :
Hb: 9,2 g/dl, Leukosit: 12.400/mm3, Ht: 26%, Trombosit:
465.000/L, Diff. Count: 0/0/0/89/8/3, Bil.total: 0,23 mg/dl,
Bil.Direk: 0,12 mg/dl, Bil.indirek: 0,1 mg/d1, Albumin: 3,2 g/dl,
SGOT: 22 U/L, SGPT: 21 U/, ureum: 19 mg/dl, kreatinin: 0,85
mg/.
Pukul 13.00 WIB, Visite dr. Abdullah Sahab, SpKJ :
Kesan : Retardasi mental + gangguan psikosis
G2P1A0 hamil 31 minggu
Saran : - Haloperidol 1,5 g 1 x (sore)
- Merlopam 1 x 0,5 mg (sore)
14 Agustus 2014, Pukul 07.00 WIB

Terapi

Keluhan : Status present :


Keadaan umum: Sedang, kesadaran:kompos mentis, tekanan
darah: 120/80 mmHg, nadi 86 x/m, pernafasan 20 x/m, suhu
36,7C
Status Obstetri:
PL:Tinggi fundus uteri pusat - prosessus xyphoideus (25cm),
letak janin memanjang, punggung di kanan, terbawah kepala, his
1x/10 menit/15 detik, denyut jantung janin 148 x/menit, taksiran
berat badan janin 1860 gram.
Diagnosis :G2P1A0 hamil 31 minggu dengan partus prematurus
imminens + retardasi mental dan gangguan psikosis janin tunggal
hidup presentasi kepala.

- Observasi TVI, kontraksi uterus,


DJJ dan tanda inpartu
- Konservatif
- IVFD RL gtt xx/m
- Inj ceftriaxon 2 x 1 g iv
- Nifedipin 4 x 10 mg
- Haloperidol 1,5 g 1 x (sore)
- Merlopam 1 x 0,5 mg (sore)

15 agustus 2014, Pukul 06.30 WIB


Keluhan : Status present :
Keadaan umum: Sedang, kesadaran:kompos mentis, tekanan
darah: 120/80 mmHg, nadi 86 x/m, pernafasan 20 x/m, suhu
36,7C
Status Obstetri:
PL:Tinggi fundus uteri pusat - prosessus xyphoideus (25cm),
letak janin memanjang, punggung di kanan, terbawah kepala, his
1x/10 menit/15 detik, denyut jantung janin 148 x/menit, taksiran
berat badan janin 1860 gram.
Diagnosis :G2P1A0 hamil 31 minggu dengan partus prematurus
imminens + retardasi mental dan gangguan psikosis janin tunggal
hidup presentasi kepala.

Terapi
Observasi TVI, kontraksi uterus, DJJ
dan tanda inpartu
- Konservatif
- IVFD RL gtt xx/m
- Inj ceftriaxon 2 x 1 g iv
- Nifedipin 4 x 10 mg
- Haloperidol 1,5 g 1 x (sore)
- Merlopam 1 x 0,5 mg (sore)

II. PERMASALAHAN
1.

Apakah dampak ganguan psikosis bagi janin dan ibu pada pasien ini?

2.

Bagaimana penatalaksanaan dengan gangguan psikosis pada pasien ini?

3.

Bagaimana kontrasepsi pada pasien ini?

III. ANALISIS KASUS


1. Apakah dampak ganguan psikosis bagi janin dan ibu pada pasien ini?
a. Dampak Terhadap Janin
Gangguan psikosomatik selama kehamilan seperti stress dapat memberikan akibat
buruk pada janin yang berda dalam rahim karena posisi janin yang berada dalam rahim
dapat merespon apa yang dialami oleh ibu. Berdasarkan penelitian, ibu hamil yang
mengalami stress akan mengakibatkan pertumbuhan janin dalam kandungan

terhambat, meningkatkan risiko melahirkan bayi premature, ukuran bayi cenderung


labih kecil daripada yang tidak stress. Bahkan bahaya dari gangguan psikosomatik ini
dapat mengakibatkan janin keguguran. Bahkan ada yang beranggapan bahwa anak
yang hiperaktif berasal dari ibu yang selama kehamilannya mengalami stress.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Dr. Miguel A. Diego dkk dari Universitas
Miami yang dimuat dalam jurnal Psychosomatic Medicine, hormon kortisol yang
dihasilkan dari adrenalin saat stess merupakan faktor penyebab terjadinya kelahiran
premature, pertumbuhan janin terhambat, BBLR. Semaikn berat tekanan yang dialami
wanita saat hamil, semakin kecil bayi yang dikandungnya. Analistik statistik
menunjukkan bahwa tingginya kadar kortisol sebanding dengan tingginya stress dan
turunnya berat badan.
Berbeda dengan keyakinan yang selama ini beredar di masyarakat luas,
berdasarkan penelitian yang yang dilakukan oleh para ilmuwan dari Universitas John
Hopkins dan The National Institute of Child Health and Human Development, AS
dilaporkan tekanan psikologis ringan sampai sedang pada ibu hamil ternyata
berdampak positif terhadap janin sampai anak berusia 2 tahun yaitu dapat
meningkatkan pendewasaan janin.
b. Dampak Terhadap Ibu
Ibu hamil dapat timbul stress, rasa takut, cemas, panik, depresi selama kehamilan
bahkan sampai terjadi Post Traumatik Stress Disorder (PTSD) setelah melahirkan.
Depresi yang terjadi selama dan dalam jangka waktu satu tahun sesudah
melahirkan dikategorikan sebagai depresi perinatal. Para ilmuwan percaya bahwa
depresi adalah salah satu komplikasi yang sering terjadi selama dan sesudah
kehamilan. Seringkali depresi tidak diketahui dan tidak diobati karena beberapa gejala
dan perubahan yang dialami mempunyai kesamaan dengan gejala yang dialami oleh
kehamilan normal pada saat yang bersamaan sehingga diangap suatu kelaziman.
Gejala kelelahan, sulit tidur, reaksi emosional yang kuat, perubahan berat badan,
selama dan sesudah kehamilan adalah gejala yang sama ditemui saat kehamilan dan
sesudah kehamilan yang merupakan juga gejala depresi. Depresi setelah melahirkan
dapat terjadi karena ada perubahan hormonal yang terjadi di dalam tubuh wanita.
Selama kehamilan terjadi lonjakan jumlah hormon estrogen dan progesterone. Dalam
jangka waktu 24 jam setelah melahirkan, jumlah hormone estrogen dan progesterone
kembali normal seperti sebelum kehamilan. Perubahan drastis pada tingkat kandungan
hormone inilah dapat menyebabkan terjadinya depresi. Biasanya hormone tiroid juga
turun setelah melahirkan. Hormon tiroid yang turun atau rendah dapat menyebabkan

gejala depresi, termasuk mood depresi, kehilangan semangat hidup, gusar, lemas,
sukar konsentrasi, sulit tidur dan bertambahnya berat tubuh.
2. Bagaimana penatalaksanaan dengan gangguan psikosis pada pasien ini?
a. Masa Antenatal
Pada masa antenatal seleksi pasien dengan riwayat gangguan psikologi harus
dilakukan. Perhatikan pada pasien yang hamil dengan riwayat gangguan psikik saat
hamil dan persalinan / nifas sebelumnya, karena kecenderungan gangguan psikik yang
lebih berat sangat tinggi. Dibutuhkan suatu komunikasi baik antara dokter dengan
pasien untuk kemudian

mendapatkan gangguan psikik untuk kemudian dapat

memberikan saran dan psikoterapi yang memadahi. Beberapa langkah dalam


mengenali , mencegah dan mengobati kelainan psikik pada saat antenatal antara lain :
1. Buatlah suatu perencanaan bersama untuk mengenali kelainan psikik pada ibu
hamil dengan menyadari adanya kelainan psikik ini seluruh personil dapat
memberikan terapi awal
2. Berikan penjelasan tentang tahap tahap persalinan / nifas psikik pada keluarganya
3. Dengarkan dan berilah tanggapan apabila pasien menyatakan keluhanya. Lakukan
pemeriksaan secara cermat apabila diperlukan periksalah pelengkap dianostik
dengan laboratorium maupun USG , foto rontgen, MRI dan sebagainya. untuk
mendapatkan keyakinan dan kemantapan langkah langkah kehamilan dan
persalinan selanjutnya.
4. Ajaklah dan arahkan pasien dan keluarganya pada persiapan untuk menghadapi
kemungkinan kemungkinan penyulit pada saat kehamilan dan persalinan
sedemikian rupa sehingga pasien atau keluarganya mempunyai kepercayaan yang
tinggi terhadap kemampuan dokter / sarana pelayanan yang ada. Informasi yang
jelas dan terbuka disertai dengan komunikasi yang baik dengan suami dan
keluarga wanita hamil tersebut akan merupakan support yang sangat berarti.
b. Masa Intrapartum
Keadaan emosional pada ibu bersalin sangat dipengaruhi oleh timbulnya rasa sakit dan
rasa tidak enak selama persalinan berlangsung apalagi bila ibu hamil tersebut baru
pertama kali melahirkan dan pertama kali dirawat di Rumah Sakit untuk itu alangkah
baiknya bila ibu hamil tersebut sudah mengenal dengan baik keadaan ruang bersalin /
Rumah Sakit baik dari segi fasilitas pelayanannya maupun seluruh tenaga pelayanan

yang ada. Usahakan agar ibu bersalin tersebut berada dalam suasana yang hangat dan
familier walaupun berada di Rumah Sakit.
Peran perawat yang empati pada ibu bersalin sangat berarti. Keluhan dan kebutuhan
kebutuhan yang timbul agar mendapatkan tanggapan yang baik. Penjelasan tentang
kemajuan persalinan harus dikerjakan secara baik sedemikian rupa agar ibu bersalin
agar tidak jatuh pada keadaan panik.
Peran suami yang sudah memahami tentang proses persalinan bila berada
disamping ibu yang sedang bersalin sangat membantu kemantapan ibu bersalin dalam
menghadapi rasa sakit dan takut yang timbul.
c. Masa Nifas
Perawatan nifas memerlukan pengawasan serta komunikasi dua arah akan membantu
kenyamanan ibu nifas dalam memasuki era kehidupam baru sebagai ibu yang harus
merawat dan menghidupi bayinya. Perawatan secara rooming in merupakan pilihan
untuk perawatan nifas. Saran dan arahan dari petugas kepada ibu nifas hanya
dikerjakan apabila ibu tersebut mengalami kesulitan dan bertanya kepada petugas.
Pengawasan dan arahan petugas / perawat harus selalu dilakukan dengan baik
termasuk memberikan pelajaran tentang perawatan bayi dan cara laktasi yang benar
Bila dalam pelayanan nifas semua pasien mendapat perlakuan yang sama maka
akan terjadi suatu kompetisi dari ibu ibu tersebut untuk menjalani perawatan nifas
sebaik mungkin terutama dalam perawatan bayinya, problema problema yang timbul
selama masa nifas akan didiskusikan diantara mereka untuk kemudian menanyakan
pada petugas kesehatan apabila diperlukan. Secara tidak langsung ibu nifas akan
mendapatkan rasa percaya diri di dalam perawatan dirinya maupun bayinya sehingga
pada saat pulang dari Rumah Sakit sudah dapat mengatasi beberapa problema yang
mungkin timbul.
Jika mungkin, obat antipsikotik harus dihindari selama kehamilan, terutama dalam
trimester pertama, kecuali manfaatnya melebihi risiko. Tetapi, pada kenyataannya,
sangat sedikit data yang menyatakan suatu hubungan antara adanya malformasi
kongenital pada bayi dan pemakaian antipsikotik selama kehamilan, kecuali
kemungkinan untuk chlorpromazine. Beberapa data menyatakan bahwa pemakaian
antipsikotik selama kehamilan dapat menyebabkan penurunan reseptor dopamin pada
neonatus, peningkatan kolesterol, dan kemungkinan gangguan perilaku. Namun
demikian, pemakaian antipsikotik pada trimester kedua dan ketiga kemungkinan relatif

10

aman. Antipsikotik potensi tinggi adalah lebih disukai dibandingkan obat potensi
rendah, karena obat potensi rendah disertai dengan hipotensi. Walaupun data pada
binatang menyatakan bahwa risperidone dan remoxipride adalah relatif aman untuk
wanita hamil, tidak ada data klinis yang mendukung data ilmiah dasar tersebut.
Psikoedukasi dan psikoterapi
Ketika diagnosis telah ditegakkan, dokter perlu (1) mengedukasi pasien dan keluarga
mengenai penyakit yang diderita, (2) menyingkirkan penyebab organik, (3) memulai
farmakoterapi dan terapi suportif, dan (4) secara berulang menilai fungsi dan status
keselamatan pasien. Dokter akan berkontribusi melalui pemberian informasi kepada
pasien dan keluarga mengenai gejala, terapi, luaran yang diharapkan, dan strategi
pencegahan psikosis postpartum.
Proses psikoedukasi adalah penting. Proses ini akan meningkatkan kepatuhan terhadap
terapi; lebih lanjut, ia akan menguatkan proses pengambilan keputusan pasien
mengenai penatalaksanaan dan kepercayaan diri pasien untuk mengatasi penyakitnya.
Setelah stabilisasi pasien dan farmakoterapi akut untuk psikosis postpartum dimulai,
rencana

pemulangan

perlu

dikembangkan

secara

hati-hati

sebelum

pasien

meninggalkan rumah sakit. Rujukan ke terapi pasien rawat jalan intensif (atau program
harian), bersama dengan kunjungan follow up rawat jalan yang sering, disarankan
untuk beberapa minggu pertama setelah pemulangan. Upaya-upaya ini akan
memfasilitasi kepulangan pasien ke rumah dan memungkinkan dokter atau profesi
kesehatan untuk secara ketat mengawasi respon terapi, mengatasi masalah dengan
intoleransi obat, dan secara dini menemukan perburukan klinis. Rencana
penatalaksanaan paling baik ketika dirancang sesuai tiap individu dan melibatkan
intervensi yang memberikan respon baik di masa lalu.Pasien dan keluarga perlu
disarankan untuk segera menghubungi dokter ketika gejala muncul kembali. Di titik
ini, dokter perlu menyelidiki kepatuhan pasien terhadap terapi dan bukti efek samping
yang bermasalah serta mempertimbangkan penyesuaian dosis atau pergantian obat jika
diperlukan.
Psikoterapi suportif dimulai sebelum pemulangan dari rumah sakit dapat melibatkan
kemampuan parenting dan intervensi dini bayi untuk mengatasi masalah bonding ibubayi dan perkembangan bayi. Layanan rumah dapat mengoptimalisir luaran ibu dan
bayi. Pilihan psikoterapi lain, seperti terapi berfokus keluarga, terapi perilaku kognitif,
atau interpersonal psychotherapy (IPT), merupakan terapi tambahan yang efektif

11

untuk kelainan mood postpartum. IPTsecara spesifik, diadaptasi untuk wanita yang
berurusan dengan kejadian-kejadian seputar melahirkan dan distrukturisasi untuk
membantu wanita yang mengalami kehilangan, perubahan peran, atau ketegangan
hubungan. Bentuk lanjut dari psikoterapi ini direkomendasikan ketika pasien telah
memperoleh kembali kemampuan berpikir secara terorganisir.
Farmakoterapi
Farmakoterapi akut adalah penting untuk mengatasi gejala-gejala psikotik dan terkaitmood dari psikosis. Pilihan obat yang tersedia adalah obat antipsikotik atipikal dan
mood stabilizer atau obat antimanik, seperti lithium atau obat antiepilepsi (AED).
Walaupun monoterapi lebih disukai, wanita tertentu memerlukan lebih dari satu obat
untuk mencapai kontrol gejala yang diinginkan dan remisi penyakit. Wanita sering
didapati memiliki kadar obat dalam serum yang lebih tinggi dan mengalami efek tidak
diinginkan berkepanjangan dari obat-obat larut lemak yang memiliki volume distribusi
tinggi dan waktu paruh panjang. Untuk kepatuhan terapi yang lebih baik, efek samping
dapat diminimalisir dengan dosis awal yang lebih rendah yang dititrasi secara perlahan
hingga dosis respon.
Haloperidol dan phenothiazide disekresikan dalam air susu. Apakah loxapine,
molindone, dan pimozide disekresikan dalam air susu juga, adalah tidak diketahui,
walaupun kemungkinannya demikian. Wanita yang menggunakan antipsikotik tidak
boleh menyusui bayinya, karena data yang tersedia tidak membuktikan bahwa praktek
tersebut adalah aman.13
psikosis yang tidak ditangani memiliki resiko infanticide sekitar 4%, dan risiko bunuh
diri sekitar 5%, perawatan inap di bagian psikiatrik biasa diperlukan untuk melindungi
ibu dan bayi.
Tabel 1. Penatalaksanaan psikosis pertimbangkan 3 komponen.
Komponen
Perawatan inap vs perawatan rumah

Psikoedukasi
Obat

Rekomendasi
Pasien perlu dirawat inap dalam sebagian besar
kasus karena kemunculan gejala-gejala berat dan
perjalanan penyakit yang berfluktuasi; keputusan
perlu didasarkan pada evaluasi resiko/masalah
keselamatan ibu dan bayi. Setelah pemulangan,
kunjungan oleh perawat dapat bermanfaat untuk
membantu mengawasi kondisi ibu di rumah
Berikanlah edukasi kepada ibu, keluarga, dan
jaringan dukungan sosial; resiko terhadap ibu dan
bayi resiko di kehamilan mendatang perlu diatasi.
Ketika meresepkan mood stabilizer dan/atau

12

antipsikotik, pertimbangkan:
Apakah ibu memberikan ASI (diskusi dengan
pasien, keluarga, dan dokter anak).
Efek samping maternal, termasuk sedasi.
Dikutip dari: Friedman et al

1. Untuk psikosis idiopatik; obat antipsikotik ini efektif dalam pentalaksanaan jangka
panjang maupun jangka pendek dari gangguan tersebut, yakni antipsikotik
menurunkan gejala akut dan mencegah eksaserbasi lebih lanjut. Antara lain:
A. Risperidone.
Sekurangnya dua uji klinis yang terkendali baik, besar, dan multisenter telah
menunjukkan bahwa risperidone adalah lebih unggul dalam hal kemanjurannya
dibandingkan plasebo dan mungkin lebih unggul dibandingkan haloperidol
dalam

terapi

skizofrenia

dan

gangguan

psikotik.

Penelitian

tersebut

menggunakan dosis yang terentang dari 2 sampai 16 mg risperidone sehari


dibandingkan dengan plasebo dan 10 mg haloperidol sehari dalam satu
penelitian dan dalam perbandingan dengan plasebo dan 20 mg haloperidol sehari
dalam penelitian lain. Dosis risperidone 4, 6, 8 mg sehari adalah yang paling
efektif dan dilaporkan lebih efektif dibandingkan haloperidol dalam menurunkan
gejala skizofrenia. Dosis risperidone dalam rentang tersebut juga dilaporkan
disertai dengan efek samping ekstrapiramidalis yang lebih sedikit dibandingkan
terapi haloperidol. Penelitian tambahan tentang risperidone telah menunjukkan
bahwa obat tersebut adalah aman dan umumnya dapat ditoleransi dengan baik,
walaupun pada terapi jangka panjang selama periode sampai 12 bulan; periode
terapi yang lebih lama juga kemungkinan aman dan ditoleransi dengan baik.
B. Remoxipride.
Remoxipride juga telah ditunjukkan sebagai terapi yang efektif untuk
skizofrenia dan gangguan psikotik yang berhubungan. Remoxipride telah diteliti
dalam dosis yang terentang dari 100 sampai 600 mg sehari dibandingkan dengan
plasebo dan dosis haloperidol. Penelitian menemukan bahwa haloperidol dan
remoxipride adalah sama efektif dan bahwa remoxipride disertai dengan gejala
ekstrapiramidalis yang lebih sedikit dan kurang parah, lebih sedikit rasa
mengantuk dan kelelahan, dan lebih sedikit efek samping otonomik dan
endokrin dibandingkan haloperidol. Penelitian juga telah menemukan bahwa
remoxipride biasanya ditoleransi dengan baik untuk periode terapi sekurangnya
12 bulan. Kemungkinan hubungan remoxipride dan anemia aplastik mungkin

13

membatasi pemakaian obat jika disetujui oleh Food and Drug Administration
(FDA).
2. Psikosis idiopatik lain.
Antipsikotik sering digunakan dalam kombinasi dengan obat antimanik untuk
mengobati psikosis atau luapan manik dalam gangguan bipolar I. Walaupun lithium
(Eskalith), carbamazepine (Tegretol), dan valproate (Depakene) adalah obat yang
terpilih untuk kondisi tersebut, obat tersebut biasanya memiliki onset kerja yang
lebih lambat dibandingkan antipsikotik dalam terapi gejala akut. Jadi, praktek yang
umum adalah menggunakan terapi kombinasi pada awal terapi dan secara bertahap
menghentikan antipsikotik setelah obat antimanik mencapai onset aktivitasnya.
Terapi kombinasi dengan antipsikotik dan antidepresan adalah terapi terpilih
untuk

gangguan

depresif

berat

dengan

ciri

psikotik,

walaupun

terapi

elektrokonvulsif (ECT) kemungkinan juga merugikan dari pemberian jangka


panjang antipsikotik lama (sebagai contohnya, tardive dyskinesia), terapi
pemeliharaan tersebut diindikasikan terutama untuk skizofrenia dan bukan untuk
gangguan mood. Tetapi, diperkenalkannya antipsikotik baru seperti risperidone
menyebabkan terapi pasien dengan gangguan moodadalah terapi yang diinginkan
dalam klinis.
3. Psikosis sekunder.
Psikosis sekunder adalah sindrom psikotik yang berhubungan dengan suatu
penyebab organik yang dapat diidentifikasi, seperti tumor otak, gangguan demensia
(contoh: demensia tipe Alzheimer), atau penyalahgunaan zat. Obat antipsikotik
biasanya efektif dalam terapi gejala psikotik yang berhubungan dengan sindrom
tersebut. Antipsikotik potensi tinggi biasanya lebih aman dibandingkan antipsikotik
potensi rendah karena aktivitasnya kardiotoksik, epileptogenik, dan antikolinergik
yang lebih rendah pada obat potensi tinggi. Tetapi, obat antipsikotik tidak boleh
digunakan untuk mengobati gejala putus yang berhubungan etanol atau barbiturat
karena risiko terapi tersebut akan mempermudah perkembangan kejang putus zat.
Obat pilihan pada kasus tersebut biasanya adalah suatu benzodiazepin. Karena
aktivitasnya antagonis dari remoxipride pada reseptor sigma, obat tersebut
kemungkinan efektif dalam terapi psikosis berhubungan dengan pemakaian
phencycline (PCP), walaupun kemungkinan tersebut belum dibuktikan secara klinis.
Agitasi dan psikosis yang berhubungan dengan kondisi neurologis tertentu seperti
demensia tipe Alzheimer adalah responsif terhadap terapi antipsikotik; obat potensi
tinggi dan dosis rendah biasanya lebih disukai. Walaupun pada obat potensi tinggi,

14

sebanyak 25% pasien lanjut usia mungkin mengalami episode hipotensif.


Risperidone mungkin memiliki sifat efek samping yang lebih unggul pada pasien
tersebut, walapun hal tersebut belum dibuktikan dalam penelitian terkendali baik
sekarang ini. Dosis rendah obat potensi tinggi, seperti 0,5 sampai 5 mg haloperidol
sehari, biasanya cukup untuk terapi pasien tersebut, walaupun thioridazine 10
sampai 50 mg sehari juga digunakan karena sifat sedatifnya kuat.
4. Terapi lithium dan profilaksis
Lithium adalah pilihan terapi yang penting demi pencegahan dan penanganan
psikosis dan merupakan terapi standar bagi kelainan bipolar. Hasil dari penelitianpenelitian terbuka berukuran kecil menunjukkan bahwa wanita dengan psikosis
terdahulu memiliki luaran lebih baik ketika terapi lithium segera dimulai setelah
melahirkan. Lithium yang dimulai dalam trimester ketiga adalah lebih kontroversial.
Laporan-laporan retrospektif dan serial kasus kecil mengindikasikan kemungkinan
lebih rendah akan relaps postpartum cepat ketika terapi dimulai kembali saat
trimester ketiga. Patut disayangkan, satu ibu mengalami kelahiran mati setelah
setuju untuk menggunakan profilaksis lithium sebelum persalinan. Pada pasien
dengan kelainan bipolar, risiko rekurensi adalah lebih tinggi secara substansial untuk
wanita yang menghentikan lithium dibanding mereka yang melanjutkan terapi
profilaksis (52-58% vs 21%). Jika pasien menggunakan lithium, mereka perlu
disarankan untuk tidak menghentikan obat secara tiba-tiba. Untuk menghindari
risiko relaps yang tinggi setelah melahirkan, pasien bipolar perlu didorong untuk
memulai kembali terapi segera setelah melahirkan.
Dokter dan profesi kesehatan disarankan untuk menilai fungsi ginjal dan tiroid pada
pasien yang memerlukan terapi lithium untuk gejala-gejala PP. Kadar obat dan
fungsi ginjal perlu diperiksa ulang setelah 5 hari mula terapi. Kadar target lithium
adalah 0,4-1,0 mEq/L saat 12 jam setelah pemberian; kadar obat perlu diperiksa tiap
6-12 bulan setelah stabilisasi. Dokter perlu mengawasi pasien untuk efek samping,
seperti sedasi, tremor, disfungsi ginjal, pertambahan berat, dan nausea serta muntah.
Ambang antara kadar terapetik dan toksik dalam serum adalah sempit. Pasien perlu
diinstruksikan untuk menghindari thiazide,obat anti radang non steroid, dan
angiotensin-converting enzyme inhibitor yang mengubah keseimbangan cairan dan
mengganggu ekskresi lithium melalui ginjal. Wanita dengan dehidrasi atau kondisi
kekurangan natrium terutama berisiko tinggi untuk mengalami toksisitas lithium.

15

Dokter harus secara cermat mengamati untuk gejala-gejala toksisitas pada wanita
yang menggunakan lithium: sedasi berlebih, tremor berat, disfungsi ginjal akut, dan
muntah yang sulit ditangani. Toksisitas dikonfirmasi melalui kadar obat yang naik.
Toksisitas lithium perlu segera ditangani melalui penghentian obat, rehidrasi cairan,
dan pengawasan ketat keseimbangan elektrolit dan fungsi ginjal.
Walaupun lithium tidak umum diresepkan untuk wanita yang memberi ASI, para
peneliti telah mendapati bahwa penghindaran ini didasarkan pada data minimal dari
lebih dari dua dekade lalu. Konsentrasi lithium pada bayi yang diberi ASI dari ibu
yang menggunakan lithium naik secara cepat ke kisaran toksik pada bayi baru lahir
dan bayi muda dengan kesulitan minum, demam, atau kondisi yang mengurangi
cairan tubuh lain. Karena kadar lithium pada bayi yang mendapat ASI mencapai
sepertiga hingga setengah kadar terapetik dalam darah, AAP menyarankan
kewaspadaan dalam pemberian ASI selama menggunakan lithium. Jika pasien
meminta untuk tetap memberi ASI ketika menggunakan lithium, dokter layanan
primer disarankan untuk berkonsultasi dengan psikiater yang berpengalaman dalam
penanganan penyakit psikiatrik perinatal.
5. Obat-obat antiepilepsi (AED)
Asam valproat (VPA) adalah obat yang diindikasikan FDA untuk penyakit bipolar.
Dosis awal adalah 500-750 mg/hari, dan dosis dititrasi menurut respon gejala dan
kadar obat dalam serum. Pemeriksaan kadar obat disarankan dalam 1 minggu mula
pemberian VPA. Pengawasan periodik konsentrasi serum, fungsi hati, hitung
platelet, glukosa, dan profil lipid disarankan dengan perburukan efek samping,
penyesuaian dosis, dan sekurang-kurangnya sekali per tahun selama pasien
mendapat regimen stabil. Kadar terapetik berkisar dari 50 hingga 125 g/mL; pasien
dengan kadar lebih tinggi mengalami lebih banyak efek samping. Kadar valproate
dipengaruhi oleh AED yang menginduksi enzim, seperti carbamazepine. Pasien
perlu diawasi secara ketat untuk memastikan efikasi terapetik. Efek samping dapat
melibatkan nausea, pertambahan berat, tremor, ataxia, diare, nyeri abdomen,
alopecia, hepatitis, trombositopenia, dan, terkadang, pankreatitis. Iregularitas
menstruasi, anovulasi, polycystic ovarian syndrome, dan resistansi insulin dapat
terjadi terkait VPA.
Carbamazepine (CBZ) adalah obat yang diindikasikan FDA untuk penanganan
mania. Obat ini terikat protein dan menginduksi aktivitas enzim hepatik sitokrom

16

P450 3A4 untuk melipat-tigakan kecepatan klirensnya sendiri (dan metabolisme


obat-obat seperti kontrasepsi oral) dalam 2-4 minggu awal pemberian. Dosis
terapetik berkisar antara 400 dan 1600 mg per hari. Setelah CBZ dimulai, uji darah
diperlukan untuk memastikan kadar terapetik (4-12 g/mL) telah dicapai. Kadar
serum, uji fungsi hati, dan CBC diindikasikan dua atau tiga kali per tahun untuk
pasien yang mendapat terapi pemeliharaan. Efek samping dapat melibatkan
hepatitis, leukopenia, trombositopenia, ruam, sedasi, dan ataxia. Terapi dengan CBZ
dan clozapine bersama-sama dikontraindikasikan karena supresi sumsum tulang
telah dilaporkan dengan kombinasi ini.
AAP Committee on Drugs memandang CBZ dan VPA sebagai obat-obat yang cocok
dengan pemberian ASI. Toksisitas hepatik transien dan hepatitis kholestasis dapat
terjadi pada neonatus yang terpapar selama kehamilan dan saat menyusui. Bayi dari
wanita yang diterapi selama memberikan ASI hanya mendapat kadar CBZ 15% dan
20% dari kadar obat total dan bebas maternal, secara berurutan. Dalam satu
penelitian terpisah yang melibatkan 6 ibu yang menggunakan VPA selama menyusui
saja, ibu memiliki kadar dari 39 hingga 79 g/mL, dan kadar dalam serum bayi
didapati 0.7-1.5 g/m. Efek samping tidak dideskripsikan pada bayi. Indikator
toksistas pada bayi dapat melibatkan peningkatan sedasi, kemampuan minum yang
buruk, dan tanda-tanda gangguan hepatik dan hematologis.
AED lain yang diindikasikan FDA untuk penyakit bipolar adalah oxcarbazepine
untuk mania bipolar dan lamotrigine untuk terapi pemeliharaan depresi bipolar.
Titrasi lambat yang diperlukan untuk menghindari efek samping dermatologis
berpotensi toksik dari lamotrigine mengimplikasikan bahwa lamotrigine adalah
kurang mungkin digunakan sebagai obat lini pertama untuk penanganan psikosis.
Namun, pasien dengan diagnosis penyakit bipolar telah tertegak dan respon yang
baik terhadap obat-obat ini dapat memilih untuk terus melanjutkan obat-obat ini jika
gejala mereka muncul kembali atau sebagai terapi profilaksis dalam kehamilan atau
setelah melahirkan.
Oxcarbazepine diresepkan dalam dosis terbagi, dengan kisaran dosis 600-1200
g/hari. Dalam hati, ia menghambat enzim CYP2C19 serta menginduksi CYP3A4.
Senyawa asli secara cepat dan hampir lengkap dimetabolisir menjadi metabolit aktif
(10 OH-CBZ), yang menjalani glukoronidasi hepatik dan ekskresi ginjal. Efek tidak
diinginkan dapat melibatkan hiponatremia, reaksi hipersensitivitas, dan penurunan

17

efikasi kontrasepsi oral; efek samping lain yang umum adalah sakit kepala, pusing,
ketidakseimbangan gait, kelelahan, konsentrasi berkurang, dan perubahan ingatan.
Data saat pemberian ASI adalah kurang, namun satu laporan kasus mengindikasikan
bahwa kadar obat turun secara cepat pada bayi yang mendapat ASI. Pada 5 hari
setelah dilahirkan, konsentrasi obat bayi untuk obat asli dan metabolit adalah hanya
12% dan 7%, secara berurutan, dibanding kadar yang diukur segera setelah
kelahiran.
Lamotrigine diindikasikan untuk terapi pemeliharaan dalam depresi bipolar. Titrasi
lambat

lamotrigine

tidak

memungkinkan

penggunaan

obat

ini

untuk

penatalaksanaan psikosis akut. Lamotrigine menyebabkan ruam tidak serius pada 710% pasien dan sindrom Stevens-Johnson, suatu kondisi yang berpotensi
mengancam jiwa, pada 3 dari 1000 pasien. Ruam serius lebih mungkin terjadi
dengan peningkatan dosis cepat, pemberian bersama valproat, dan pada pasien
remaja. Saat onset ruam, pasien perlu segera menghentikan penggunaan obat dan
mencari pertolongan medis. Meskipun ruam terkait lamotrigine berpotensi
mengancam jiwa dalam kasus-kasus langka, risiko perlu ditimbang terhadap
manfaat pencegahan rekurensi penyakit masa nifas mayor. Lamotrigine mengalami
glukoronidasi hepatik dan ekskresi ginjal. Obat ini secara mudah ditransfer dalam
ASI, dan penurunan kadar obat dalam serum adalah lambat terjadi pada neonatus
dan bayi. Maka, obat ini tidak disarankan untuk ibu menyusui segera setelah
melahirkan, seperti obat lain yang dimetabolisir melalui glukoronidasi, seperti
oxazepam, lorazepam, aspirin, acetaminophen, VPA, dan olanzapine.
6. Obat-obat antipsikotik atipikal
Obat-obat antipsikotik atipikal, seperti OLZ, risperidone, quetiapine, dan
ziprasidone, diindikasikan untuk penanganan psikosis akut, mania bipolar, dan
schizophrenia. Kisaran dosis adalah 2,5-20 mg/hari OLZ, 2-6 mg/hari risperidone,
25-700 mg/hari quetiapine, 20-80 mg bid ziprasidone. Efek samping umum
melibatkan somnolen, mulut kering, akathisia, dan peningkatan transaminase hati.
Hiperprolaktinemia umum terjadi dengan risperidone (88%) dibanding antipsikotik
konvensional, seperti haloperidol (48%) atau OLZ (minimal jika ada). Efek-efek
metabolik

obat-obat

atipikal

adalah

beragam.Pasien

berisiko

mengalami

pertambahan berat signifikan (di atas 7% berat baseline), peningkatan trigliserida,


dan onset baru sindrom metabolik atau intoleransi insulin. Pengawasan ketat

18

glukosa dan profil lipid direkomendasikan. Pasien yang mendapat obat antipsikotik
atipikal harus didorong untuk mengikuti pola hidup sehat, modifikasi diet, latihan
teratur, dan konseling diet untuk meminimalisir efek samping metabolik. Walaupun
efek samping ekstrapiraminal (extrapyramidal side effects/EPS), seperti tremor,
rigiditas, akathisia, bradikinesia, tardive dyskinesia, dan distonia, jarang dilaporkan
dengan antipsikotik atipikal, risiko EPS meningkat pada wanita, individu usia lanjut,
dan pasien dengan kelainan afektif.
Para wanita yang terpapar terhadap obat antipsikotik atipikal selama kehamilan (60
wanita dengan OLZ, 49 dengan risperidone, 36 dengan quetiapine, dan 6 dengan
clozapine) secara signifikan lebih sering melahirkan bayi dengan berat lahir rendah
(low birth weight/LBW) dibanding wanita yang tidak terpapar (10% dan 2%, secara
berurutan). Goldstein et al yang mengikuti 20 kasus paparan OLZ dalam kehamilan
mengindikasikan 4 keluaran kelahiran yang tidak diinginkan: 1 kelahiran mati saat
37 minggu gestasi dari ibu dengan penyalahgunaan obat multipel, pecah ketuban
sebelum waktunya, diabetes gestasional (GDM), trombositopenia, dan hepatitis
yang menggunakan OLZ di trimester kedua dan ketiga; 1 persalinan caesar pada
gestasi 30 minggu dari ibu dengan GDM, preeklampsia, peningkatan transaminase
hati, hipotiroidisme, yang menggunakan OLZ pada semua trimester, bayi selamat
namun memerlukan 2 minggu perawatan di NICU; 1 bayi postterm yang dilahirkan
dengan gawat janin dari ibu yang menggunakan OLZ pada semua trimester; dan 1
bayi postterm yang mengaspirasi mekonium setelah persalinan caesar dan dilahirkan
dari ibu yang menggunakan OLZ di trimester pertama saja. Secara singkat, pasien
dengan psikosis terdahulu mengalami peningkatan risiko dalam masa nifas. Mereka
harus dirujuk dan ditangani oleh tim Obstetrik risiko-tinggi selama periode
antepartum dan postpartum. Baik ibu maupun bayi perlu ditangani sebagai pasien
risiko-tinggi setelah persalinan.
Hingga saat ini, hanya 28 kasus paparan antipsikotik atipikal pada bayi yang
mendapat ASI telah dilaporkan. Kirchheiner et al mendeskripsikan satu wanita
dengan schizophrenia yang menggunakan OLZ 10 mg/hari selama trimester kedua
dan ketiga dan melanjutkan terapi sementara memberi ASI. Kadar ibu-bayi diperiksa
pada 2 dan 6 minggu setelah kelahiran. Pada kedua waktu ini, kadar pada bayi
adalah tidak dapat dideteksi (< 2 ng/mL), dan kadar maternal terukur 39.5 dan 32.8
ng/mL, secara berurutan. Dimensi pertumbuhan bayi, sebagai contoh, lingkar

19

kepala, panjang, dan berat, tetap didapati normal hingga follow up 11 bulan. Risiko
bayi bergantung tidak hanya pada obat yang ditransmisikan melalui ASI (dari difusi
pasif obat bebas) namun juga pada absorpsi usus, distribusi, dan karakteristik
eliminasi neonatus. Maka, praktik pengukuran kadar obat pada bayi adalah amat
tepat untuk memperkirakan derajat paparan dan disposisi obat pada bayi yang diberi
ASI.
Mengenai paparan ASI terhadap risperidone, Hill et al mendeskripsikan satu pasien
bipolar yang menghentikan semua terapi saat hamil dan mengalami depresi psikotik
postpartum dalam 2 bulan setelah melahirkan. Dia kembali menggunakan
risperidone dan menghentikan pemberian ASI, dan sampel plasma/ASI diambil
untuk mengukur kadar obat dan metabolit (9-hydroxyrisperidone). Paparan obat
bayi dihitung sebagai produk dari rata-rata konsentrasi obat dalam ASI dan kuantitas
konsumsi susu harian. Mereka memperkirakan bayi menerima 0.84% dari dosis
risperidone maternal, 3.5% metabolit, dan 4.3% dosis maternal yang disesuaikan
berat. Nilai-nilai ini berada jauh di bawah kadar yang dikhawatirkan (10%) untuk
obat-obat psikotropika (hanya antidepresan).
Lee et al melakukan pengukuran serial kadar obat dalam ASI ibu yang mendapat
200 mg/hari quetiapine dalam kehamilan yang memberikan ASI kepada bayi atermnya. Rata-rata konsentrasi dalam ASI dalam periode 6 jam adalah 13 g/L, dan
konsentrasi maksimum adalah 62 g/L pada 1 jam setelah makan obat. Dengan
asumsi bahwa bayi mengkonsumsi 150 mL/kg ASI per hari, mereka memperkirakan
bahwa bayi menelan 0.09-0.43% dosis maternal yang disesuaikan berat. Dengan
data yang meyakinkan ini, pasien mulai memberi ASI; pemeriksaan pediatrik saat 4
bulan mengindikasikan perkembangan normal tanpa efek merugikan yang dapat
dilihat secara klinis. Kadar obat dalam serum bayi tidak tersedia untuk kasus ini.
7. Terapi electroconvulsive(ECT)
Sebelum kemunculan electroconvulsive therapy (ECT), mortalitas signifikan
dikaitkan dengan PP. Sembilan dari 14 pasien masa nifas dari 1927 hingga 1941
meninggal selama perawatan di bangsal psikiatrik. Saat ECT menjadi terapi utama,
tingkat mortalitas turun secara nyata (turun hingga 1 dari 23 pasien) antara 1942 dan
1961. Para wanita dengan PP merespon secara lebih baik terhadap ECT dengan
remisi mood dan gejala psikotik yang jauh lebih cepat dan lengkap dibanding wanita
dengan psikosis non masa nifas.

20

Tingkat keparahangejalaakan menentukan apakahECTdianggap sebagaipengobatan


yang tepat.Ketika digunakan, sering kali memiliki efekyang sangat cepat. Walaupun
mungkin terdengarmenakutkan, pengobatan itu sendiridilakukandi bawah anestesi
umum(relaksan otot),dantidak menimbulkan rasa sakit. Hal ini biasanya
diberikansebagai 6-8perawatantergantung pada responibu. Efek samping ECT
mungkindiikuti sakit kepala, mual dankehilangan memori, tetapiefek samping
iniumumnyabersifat sementara.
Dalam satu serial kasus, para wanita dengan PP dan depresi bipolar psikotik
mengalami > 50% perbaikan dalam mania, depresi, dan psikosis dengan ECT
bilateral. Pasien semacam ini juga dapat diuntungkan, dengan reduksi yang lebih
besar untuk ide bunuh diri dan penurunan risiko perawatan inap ulang di rumah
sakit (hazard ratio 0.678) dibanding sebelum terapi. Maka, dokter disarankan untuk
membantu pasien mempertimbangkan berbagai pilihan terapi yang tersedia untuk
mengatasi PP. ECT tampak sebagai pilihan yang baik yang menghasilkan resolusi
gejala cepat pada pasien yang telah dirawat inap di rumah sakit dengan psikosis akut
nyata. ECT adalah pilihan ideal untuk pasien yang telah gagal dalam beberapa kali
pemberian obat, pasien yang tidak dapat menunggu onset kerja yang lambat dari
obat, pasien yang sulit mentolerir efek samping obat, dan pasien yang memerlukan
penghentian gejala segera karena gangguan berat kemampuan mengurus diri,
kognisi, dan penilaian yang mengancam keselamatan serta kesejahteraan mereka.
8. Terapi hormon.
Tiga penelitian melaporkan efekterapi hormon untuk pencegahan psikosis
postpartum.Untuk menentukan efek obat oral dari estrogen,percobaan klinis
dilakukan pada 11 wanita Amerikayang memiliki sejarah baik psikosis postpartum
atau depresi postpartum(Sichel et al, 1995). Tak satu pun dari 10 perempuan yang
memenuhipengobatan estrogen akan kambuh. Efek pencegahanestrogen kurang
menjanjikan dalam uji klinis terbukadengan 29 wanita hamil dari Inggris yang
memenuhi RDCuntuk hypomania, mania, atau gangguan skizoafektif (Kumar
et al, 2003). Jadwal untuk Affective Disorders danSkizofrenia - Lifetime Version
digunakan untuk menilaiefek pengobatan profilaksis transdermal estrogen yang
diberikan 48 jam setelah lahir pada dosis 200, 400, atau800 g/hari. Estrogen tidak
efektif dalam mengurangi tingkatkambuh; Namun,12 dari 29 yang kambuh,
merekayang

menerima

dosis

800

g/hari

diperlukan

kurang

berikutnya

21

obat psikotropika dan pulih lebih cepat. Dalamstudi kasus dengan seorang wanita
dari Inggris, progesteron profilaksis diberikan selama kehamilan dan postpartum
tidak efektif dalam mencegah kekambuhanpsikosis postpartum (Murray, 1990).
Singkatnya, ada temuan campuran untukefek pencegahan estrogen dan tidak ada
buktiuntuk mendukung penggunaan profilaksis progesteron.
9. Pemberian ASI
Preferensi pemberian ASI ibu dan manfaat serta risiko terkait perlu dipertimbangkan
oleh pasien dan dokter. American Academy of Pediatrics (AAP) telah memberikan
rekomendasi yang membantu mengenai pemberian ASI dan penggunaan lithium
atau AED. Preferensi pemberian ASI ibu wajib disampaikan kepada dokter anak;
informasi ini memungkinkan dokter anak untuk secara tepat mengawasi kondisi
klinis bayi yang diberi ASI. Ibu juga perlu diinstruksikan untuk mengamati
perubahan perilaku yang indikatif akan toksisitas bayi, seperti hidrasi yang buruk,
sedasi, kemampuan makan yang berkurang, dan pertambahan berat, dan juga tandatanda gangguan hati serta hematologis. Ibu perlu diinstruksikan untuk segera
menghubungi dokter anak ketika mereka menemukan gejala-gejala tersebut. Kadar
obat dalam serum bayi tidak diperiksa secara rutin dalam praktik klinis, namun
paparan ASI dapat dibatasi oleh (1) penggunaan dosis efektif paling rendah, (2)
penggunaan jumlah obat yang sedikit untuk mencapai respon, dan (3) membagi
dosis harian untuk menghindari konsentrasi puncak serum yang tinggi.
Tabel 2. Efek merugikan relatif antipsikotik
Sedasi
Acetophenazine
Rendah
Chlorpromazine Tinggi
Chlorprothixene Tinggi
Fluphenazine
Sedang
Haloperidol
Rendah
Loxapine
Sedang
Mesoridazine
Sedang
Molindone
Sedang
Perphenazine
Rendah
Pimozide
Rendah
Remoxipride
Rendah
Risperidone
Rendah
Thioridazine
Tinggi
Thiothixene
Rendah
Trifluoperazine
Sedang
Triflupromazine Tinggi
Dikutip dari: Kaplan-Sadock14

Antikolonergi
k
Rendah
Tinggi
Tinggi
Rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
Sedang
Rendah
Rendah
Rendah
Rendah
Tinggi
Rendah
Rendah
Sedang

Hipotensi

Ekstrapiramidal

Rendah
Tinggi
Tinggi
Rendah
Rendah
Sedang
Sedang
Rendah
Rendah
Rendah
Rendah
Rendah-Sedang
Tinggi
Rendah
Rendah
Tinggi

Sedang
Rendah
Rendah
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Sedang
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Rendah
Rendah
Rendah
Tinggi
Tinggi
Sedang

22

Penanganan pada pasien ini gabungan manajemen terapi PPI dan antipsikotik. Disini
diberikan infus D5 : RL, injeksi ceftriaxon 2 x 1 g IV, injeksi dexamethason 2 x 6 mg IV
(2 hari), merlopam 1 x 0,5 mgdan haloperidol 1 x 0,75 mg.
3. Bagaimana kontrasepsi pada pasien ini?
Kontrasepsi pada pasien dengan retardasi mental masih kontroversial,

banyak

penelitian berpikir bahwa tubektomi hanya pada wanita yang aktif secara seksual, Selain
itu, beberapa peniliti khawatir bahwa perasaan aman yang disebabkan oleh metode yang
diterapkan secara medis (Sterilisasi, DMPA, dan IUD) dapat meredakan/menangani
masalah-masalah lain yang sangat penting terkait dengan seksualitas, seperti STD atau
pemerkosaan. Sebuah studi prospektif terbaru telah menunjukkan bahwa kontrasepsi
dan ginekologi kebutuhan populasi cacat intelektual tidak berbeda secara luas dari
orang-orang dari populasi umum. Karena ketaatan seseorang dengan retardasi mental
sangat kurang maka kontrasepsi dengan cara lain selain tubektomi sangat tidak
disarankan (kontrasepsi oral, IUD dll) tetapi masih kontroversi.
IV. SIMPULAN
1. Dampak gangguan psikosomatik selama kehamilan seperti stress dapat memberikan
akibat buruk pada janin seperti pertumbuhan janin dalam kandungan terhambat,
meningkatkan risiko melahirkan bayi premature, ukuran bayi cenderung labih kecil
daripada yang tidak stress serta keguguran, sedagkan dampak pada ibu hamil dapat
timbul stress, rasa takut, cemas, panik, depresi selama kehamilan bahkan sampai
terjadi Post Traumatik Stress Disorder (PTSD) setelah melahirkan.
2. Penanganan pada pasien ini gabungan manajemen terapi PPI dan penanganan
psikosis sesuai saran dari dokter Spesialis Penyakit Jiwa.
3. Kontrasepsi pada pasien dengan retardasi mental masih kontroversial,

banyak

penelitian berpikir bahwa tubektomi hanya pada wanita yang aktif secara seksual,
Selain itu, beberapa peniliti khawatir bahwa perasaan aman yang disebabkan oleh
metode yang diterapkan secara medis (Sterilisasi, DMPA, dan IUD).

RUJUKAN
1.

Cunningham, Leveno, Bloom et al. Penyakit neurologis dan psikiatrik, Dalam : Brahm U, Obstetri
Williams Indonesia. Ed. 23. Vol. 2. EGC. Jakarta. 2009.

23

2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
1.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.

Linda LM, Worley J, Melville L. Psychiatric problems during pregnancy and the puerperium. Clinical
Obstetric. Ed. 3. Blackwell; p: 1022
Joan RY, James D. Psychosocial and Psychiatric Issues. Complication in pregnancy. Ed. 5. January 15,
2000); p: 684
Richard K. General commentary on drug therapy and drug risks in pregnancy. Drug during lactation
and pregnancy. Ed 3 2008 p:555.
Mary FB. Children of parents with mental illness. Psychiatric Disorders in Pregnancy andthe
postpartum. edited by VICTORIA HENDRICK, 2006 p:210.
Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi T. Penyakit saraf dan jiwa, Dalam : Ilmu Kebidanan. Ed.3.
Bina Pustaka. Jakarta.1999.
Friedman SH, Resnick PJ, Rosenthal MB. Postpartum psychosis: strategies to protect infant and mother
from harm. Current Psychiatry. 2009; 8(2): 40-45.
Sit D, Anthony J, Rothschild, Wisner KL. A review of postpartum psychosis. J Womens Health. Vol.
15: 4, 2006.
Hellerstedt WL, Phelan SM, Cnattingius S et al. Are prenatal, obstetric, and infant complications
associated with postpartum psychosis among women with pre-conception psychiatric
hospitalizations?.www.bjog.org. 2012.
Doucet S, Dennis C-L, Letourneau, and Blackmore ER. Differentiation and clinical implications of
postpartum depression and postpartum psychosis. http://jognn.awhonn.org. Vol. 38: 269-279, 2009.
Nager A, Sundquist K, Leon VR, Johansson LM. Obstetric complications and postpartum psychosis: a
follow-up study of 1.1 million first-time mothers between 1975 and 2003 in Sweden. Acta Psychiatr
Scand. Vol. 117: 12-19, 2008.
Ebeid E, Nassif N, Sinha P. Prenatal depression leading to postpartum psychosis. J of Obst and Gyn.
30(5): 435-38, 2010.
10. Heron J, McGuinness M, Blackmore ER, Craddock N, Jones I. Early postpartum symptoms in
puerperal psychosis.
www.blackwellpublishing.com/bjog. 2008.
Topiwala A, Hothi G, Ebmeler KP. Identifying patients at risk of perinatal mood disorders.
Thepractitioner.co.uk. 256(1751): 15-18. 2012.
Hay PJ, Post-partum psychosis: which women are at highest risk?.www.plosmedicine.orc. Vol.6: 2.
2009.
Sit D, Rothschild AJ, Wisner KL. A review of postpartum psychosis. J Womens Health (Larchmt). Vol.
15(4): 352-68. 2006.
Doucet S, Jones I, Letourneau N et al. Interventions for the prevention and treatment of postpartum
psychosis: a systemic review. Arch Women Ment Health. Vol. 14: 89-98, 2011.
Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA. Sinopsis psikiatrik: Ilmu pengetahuan perilaku psikiatri klinis. Jilid
2.Binarupa Aksara. Jakarta. 2010.
Postpartum psychosis. Post and antenatal depression association inc. www. panda.org.au.
Engqvist I, Nilsson K. Involving the family in the care and treatment of women with postpartum
psychosis: Swedish psychiatrists experiences. Psychiatry J. http:/dx.doi.org/10.1155/2013/897084.
2013.

Anda mungkin juga menyukai