Anda di halaman 1dari 48

Endometriosis

Endometriosis merupakan penyakit jinak yang didefinisikan sebagai adanya


kelenjar dan stroma endometrium ektopik (diluar uterus) dan berhubungan dengan
nyeri pelvik dan infertilitas. Penyakit ini memperlihatkan spektrum luas
manifestasi klinis, rentan untuk mengalami progresi dan rekurensi, dan seringkali
menampilkan masalah penanganan klinis untuk pasien dan dokternya. Walaupun
patogenesis endometriosis masih belum begitu dimengerti, pandangan baru yang
didapat dari penelitian baru-baru ini menggunakan metode genetik, molekuler,
dan biokimiawi terbaru, membantu untuk menenetukan mekanisme yang
menyebabkan penyakit dan konsekuensi klinisnya dengan lebih baik dan
disebutkan pendekatan-pendekatan baru untuk diagnosis dan terapi dari kelainan
kompleks dan enigmatik ini.

Patogenesis Endometriosis
Lesi peritoneal yang saat ini kita kenal sebagai endometriosis pertama kali
disebutkan dalam literatur kedokteran pada tahun 1980an. Bagaimanapun,
penyakit ini mungkin akan selalu dikaitkan dengan John Sampson yang pada
tahun 1921 menjelaskan suatu serial kista ovarium hemoragis yang mengalami
perforasi yang dia sebut “kista coklat”, menemukan istilah “endometriosis” untuk
menjelaskan lesi-lesi peritoneal yang pertama kali dilihatnya sebagai benih–benih
yang diturunkan dari penyakit di ovarium. Artikel klasiknya yang mengajukan
bahwa endometriosis “dikarenakan oleh diseminasi menstruasi dari jaringan
endometrium kedalam ruang peritoneum” diterbitkan pada tahun 1927. Walaupun
tidak ada mekanisme tunggal yang dapat menjelaskan semua kasus endometriosis,
berbagai bukti mendukung teori Sampson mengenai menstruasi retrograde dan
implantasi jaringan endometrium yang viabel sebagai mekanisme primer yang
terlibat dalam patogenesis endometriosis.
• Ketika laparoskopi dilakukan pada saat menstruasi, darah dapat ditemukan
dalam cairan peritoneal pada 75-90% wanita dengan tuba falopii patent.

1
• Sel-sel endometrium viabel yang diambil dari cairan peritoneal pada saat
menstruasi dapat ditumbuhkan pada kultur sel dan dapat menempel dan
melakukan penetrasi pada permukaan mesotelial peritoneum.
• Endometriosis lebih prevalen pada wanita dengan anomali mülleri yang
menutup dibandingkan pada wanita dengan malformasi yang tidak menutupi
aliran keluar menstruasi.
• Insiden endometriosis meningkat pada wanita dengan menarche dini, siklus
menstruasi yang pendek, atau menorrhagia.
• Endometriosis lebih sering dijumpai pada bagian dependen dari pelvis, paling
sering pada ovarium, kemudian diikuti oleh cul-de-sac anterior dan posterior,
ligamentum sakrouterina, uterus posterior, dan posterior broad ligament.
• Endometriosis eksperimental dapat diinduksi pada primata (yang bukan
manusia) setelah menstruasi peritoneal yang diinduksi dengan operasi atau
setelah injeksi endometrium menstruasi di retroperitoneal, dan pada wanita
yang menerima injeksi peritoneal berisi jaringan menstruasinya.

Bagaimanapun meyakinkannya bukti untuk teori menstruasi dan implantasi


retrograde, terdapat satu hipotesis mayor lainnya dari patogenesis endometriosis.
Teori coelomic metaplasia meyakini bahwa endometriosis disebabkan dari
perubahan metaplastik spontan pada sel-sel mesotelial yang diturunkan dari
epitelium coelomic (yang terletak di peritoneum dan pleura). Teori induksi
merupakan variasi pada tema dan ramalan yang sama bahwa metaplasia coelomic
diinduksi oleh paparan hasil keluaran menstruasi atau rangsang lainnya. Pada
paper orisinalnya, Sampson sendiri setuju bahwa fokus endometriosis peritoneal
juga mungkin “dikarenakan oleh beberapa iritan spesifik yang ada didalam isi
kista dimana menstimulasi endotelium peritoneal untuk mengalami metaplasia
dengan perkembangan jaringan endometrium tipikal baik dalam hal struktur
maupun fungsi”. Sejumlah observasi menyatakan bahwa, setidaknya pada
beberapa kasus, endometriosis diakibatkan oleh metaplasia coelomic spontan atau
dengan induksi.

2
• Endometriosis pernah ditemukan pada gadis premenarkhe, pada wanita yang
sama sekali belum pernah menstruasi, dan juga pada gadis remaja yang
memiliki siklus menstruasi yang jarang.
• Karena sel-sel endometrium intak tidak memiliki akses ke thorax pada
keadaan tidak adanya defek anatomis, teori implantasi tidak dapat
menjelaskan kasus-kasus endometriosis pleura dan pulmonal (dimana hampir
semuanya terjadi pada sisi kanan). Metaplasia didalam pleura (yang
diturunkan dari epitel coelomic seperti peritoneum dan duktus müllerian),
yang diinduksi oleh hormon-hormon steroid atau rangsang kimiawi yang
dilepaskan oleh sel-sel endometrium yang mengalami degenerasi kedalam
cairan peritoneal (yang menghubungkan dengan ruang thorax melalui
hemidiafragma kanan), merupakan mekanisme yang masuk akal.
• Metaplasia pada epitelium coelomic yang mengalami misintegrasi (didekat
mesenchymal limb buds (tunas mesenkim tungkai) pada saat embriogenesis
awal) merupakan satu-satunya mekanisme yang dapat menjelaskan
endometriosis pada lokasi perifer yang tidak lazim seperti ekstremitas (jempol,
betis, lutut).
• Kasus endometriosis yang jarang, telah ditemukan pada pria yang diterapi
dengan estrogen dosis tinggi (kandung kemih, dinding abdomen).
• Sel epitelium dan stroma permukaan ovarium, yang dikultur dengan estradiol
pada latex gel kolagen tiga dimensi membentuk kelenjar dan stroma
endometrium.
• Endometrium eutopik (didalam uterus) dan ektopik (diluar uterus) sangat
berbeda, baik secara morfologi dan fungsional, sebuah fakta yang entah
bagaimana sulit untuk menyesuaikan dengan penekanan bahwa implan
endometriotik mewakili autotransplantasi jaringan endometrium normal.

Tetap saja mekanisme lain mungkin diminta untuk menjelaskan beberapa kasus
endometriosis ekstrapelvis. Walaupun metaplasia coelomic mungkin dapat
menjelaskan endometriosis di pelvis, kavitas thorax, traktus urinarius dan traktus
digestivus, kanalis inguinalis, dan umbilikus, bukti-bukti mengindikasikan bahwa

3
transport sel endometrium secara vaskuler atau limfatik dapat juga berperan.
Transplantasi langsung yang tidak disengaja dari jaringan endometrium pada saat
seksio sesarea, operasi pelvis lainnya, atau repair episiotomi tampaknya
merupakan penjelasan yang paling masuk akal untuk endometriosis yang
ditemukan pada jaringan parut bekas operasi dan di perineum.

Tidak melihat apakah endometriosis pelvis berasal dari implantasi jaringan


endometrium yang viabel yang mengalami regurgitasi kedalam ruang peritoneum
pada saat menstruasi, atau dari metaplasia coelomic yang diinduksi oleh hormon
atau stimuli kimiawi lainnya yang diturunkan dari sel-sel endometrium yang
degenerasi, masih terdapat beberapa pertanyaan kunci. Kenapa endometriosis
terjadi hanya terjadi pada beberapa wanita sementara menstruasi retrograde terjadi
hampir pada semua wanita? Apa yang menjelaskan gambaran penyakit yang
sangat bervariasi? Mengapa penyakit yang berat terjadi pada beberapa wanita
tetapi tidak pada yang lain? Mengapa terdapat korelasi yang buruk antara
perluasan penyakit dengan beratnya gejala? Penelitian-penelitian mengenai
genetik dan fungsi imun pada wanita dengan endometriosis dan lingkungan
mereka merupakan awal untuk menjelaskan beberapa jawaban.

Genetik dari Endometriosis


Pada baik primata manusia dan non manusia, endometriosis cenderung untuk
membentuk cluster dalam keluarga. Penyakit ini sering ditemui pada pasangan
kembar monozigot dan dizigot dan menunjukkan usia onset yang mirip pada
saudara perempuan non kembar yang terkena. Endometriosis 6-7 lebih prevalen
pada hubungan keluarga derajat pertama dari wanita yang terkena
dibandingkan dengan populasi umum. Semua temuan ini menjelaskan bahwa
endometriosis memiliki basis genetik dan bahwa predisposisi untuk penyakit ini
diturunkan sebagai penyakit genetik turunan yang kompleks dimana fenotip
mencerminkan interaksi antara varian alelik gen yang rentan dan faktor-faktor
lingkungan. Proyek kolaboratif multinasional (the Oxford Endometriosis Gene
Study) yang melibatkan analisis sistematik DNA dari saudara kandung yang

4
terkena dan orangtua mereka, telah diatur untuk mengidentifikasi gen-gen yang
dapat memberikan kerentanan untuk terjadinya endometriosis. Sebuah website
(http://www.well.ox.ac.uk/~krinaz/genepi_endo.htm) telah dibuat dengan tujuan
untuk menyediakan informasi dan membantu riset dengan mengumpulkan
hipotesis patogenik, bukti gen kandidat, dan data genomik yang relevan.

Gen-gen yang dapat mempredisposisi terjadinya perkembangan endometriosis


dapat melibatkan gen apapun yang mengarahkan proses molekuler yang
mengontrol survival sel endometrium yang terlepas, kemudian penempelannya
dan invasinya pada permukaan peritoneum, proliferasi, neovaskularisasi, atau
respon inflamasinya. Benar bahwa terdapat bukti yang mendukung bahwa
endometrium eutopic dari wanita dengan endometriosis menunjukkan ekspresi
abnormal dari beberapa produk gen yang relevan terhadap patogenesis penyakit.
Temuan-temuan ini menunjukkan bahwa endometrium pada wanita yang
memiliki endometriosis dapat abnormal dalam cara-cara yang
mempredisposisikan implantasi dan propagasi ektopik.

Sel-sel endometrium eutopik dari wanita dengan endometriosis resisten terhadap


apoptosis, yaitu proses kematian sel terpogram yang normal tetapi diregulasi oleh
gen yang komleks yang berperan dalam peluruhan dan pergantian endometrium
pada saat fase sekretorik akhir dan fase menstruasi. Endometrium ektopik bahkan
tampak lebih resisten terhadap apoptosis; keluarga protein Bcl-2/bax dan sistem
ekspresi ligand fas-fas, yang keduanya mengatur apoptosis, dikatakan bermakna.
Resistensi terhadap apoptosis dapat meningkatkan survival dari sel
endometrium yang memasuki ruang peritoneum dan juga membantu untuk
menjelaskan mengapa endometrium ektopik resisten terhadap surveilance dan
klirens imun yang dimediasi oleh makrofag.

Abnormalitas pada pola ekspresi molekul adhesi sel pada endometrium eutopic
pada wanita dengan endometriosis telah dijelaskan, dan bermakna dalam

5
implantasi peritoneal dari endometrium ektopik, tetapi belum ada bukti langsung
untuk mekanisme tersebut.

Matrix metalloproteinase merupakan enzim yang mendegradasi matriks


ekstraseluler dan membantu untuk memediasi peluruhan endometrium normal dan
pertumbuhan baru yang distimulasi estrogen. Ekspresi matrix metalloproteinase
meningkat pada awal siklus dan biasanya disupresi oleh progesteron selama fase
sekretorik. Ekspresi yang abnormal dari matrix metalloproteinase berhubungan
dengan penyakit yang invasif dan destruktif. Pada wanita dengan endometriosis,
ekspresi matrix metalloproteinase sekretorik endometrium tidak biasa resisten
terhadap supresi progresteron. Ekspresi matrix metalloproteinase persisten pada
sel-sel endometrium yang luruh dapat menyebabkan potensi invasif terjadinya
endometrium yang refluks yang memfasilitasi invasi permukaan peritoneum dan
proliferasi sel setelahnya.

Perkembangan dan pertumbuhan endometriosis merupakan estrogen


dependen, dan terdapat bukti substansial dimana baik produksi maupun
metabolisme estrogen terganggu pada endometriosis melalui cara-cara yang
memulai penyakit ini. Aromatase, enzim yang mengubah androgen menjadi
estrogen, diekspresikan secara abnormal pada endometrium eutopic dari wanita
dengan endometriosis moderat dan berat; wanita yang tidak memiliki penyakit ini
secara umum tidak terdeteksi memiliki aktivitas aromatase endometrium. Maka
dari itu, wanita dengan endometriosis dapat memiliki abnormalitas genetik yang
memelihara produksi estrogen endometrium lokal. Yang lebih penting,
endometrioma dan implan endometriotik peritoneal menunjukkan konsentrasi
aktivitas aromatase yang sangat tinggi. Dibandingkan dengan endometrium
eutopik normal, faktor-faktor transkripsi yang menstimulasi aromatase (terutama
steroidogenic factor-1, SF-1) diekspresikan berlebihan pada jaringan
endometriotik dan faktor-faktor yang menghambat enzim diekspresikan kurang,
menyebabkan aktivitas aromatase dan sistesis estrogen yang abnormal. Estrogen
dapat juga menstimulasi aktivitas cyclooxygenase tipe-2 (COX-2) lokal yang

6
menghasilkan prostaglandin (PG) E2, suatu stimulator aromatase yang poten pada
sel stroma yang diturunkan dari endometriosis, yang maka dari itu menghasilkan
feed-forward atau lengkung feedback positif untuk produksi estrogen lokal yang
berkelanjutan.

Estrogen dan estradiol diinterkonversi oleh kerja dari 17β-hydroxysteroid


dehydrogenase (17βHSD), yang ada dalam dua bentuk; tipe 1 mengubah estrone
menjadi estradiol (estrogen yang lebih poten) dan 17βHSD tipe 2 (dienkoding
oleh gen yang berbeda) yang mengkatalisir reaksi yang berlawanan. Pada
endometrium eutopik normal, progesteron menginduksi aktivitas 17βHSD tipe 2
pada epitelium kelenjar; enzim diekspresikan tinggi pada kelenjar sekresi
endometrium. Pada jaringan endometriotik, 17βHSD tipe 1 diekspresikan dalam
jumlah normal tetapi ekspresi 17βHSD tipe 2 absen/tidak ada. Progesteron tidak
menginduksi aktivitas 17βHSD tipe 2 pada implan endometriotik karena ekspresi
reseptor progesteron (PR) juga abnormal. Dua isoform PR yang berbeda telah
diidentifikasi, yang disebut sebagai PR-A dan PR-B (Bab 2). Kerja progesteron
pada gen-gen target dimediasi secara primer melalui PR-B; PR-A bekerja sebagai
represor untuk fungsi PR-B. Pada endometrium eutopik normal, baik PR-A dan
PR-B diekspresikan. Pada jaringan endometriotik, PR-A diekspresikan, tetapi PR-
B tidak.

Ringkasan
Jaringan endometriotik menampilkan sejumlah abnormalitas molekuler yang
berhubungan dengan produksi dan metabolisme estrogen. Aktivitas aromatase
abnormal yang distimulasi lebih jauh oleh produksi PGE 2 lokal yang diinduksi
estrogen, ekspresi 17βHSD tipe 1 yang normal dan absennya aktivitas 17βHSD
tipe 2 karena absennya ekspresi PR-B, bergabung untuk meningkatkan
konsentrasi estrogen lokal yang dapat membantu memastikan dan mengawali
penyakit.

7
Imunobiologi Endometriosis

Endometriosis berhubungan dengan perubahan pada imunitas humoral maupun


seluler, yang telah dijelaskan bahwa respon imun yang terganggu menyebabkan
pembersihan yang tidak efektif dari debris mestrual yang mengalami refluks,
dapat menjadi faktor penyebab dalam perkembangan penyakit. Walaupun cairan
peritoneal dari wanita dengan endometriosis mengandung peningkatan jumlah sel
imun, bukti menunjukkan bahwa aksi mereka bekerja lebih untuk mempromosi
penyakit daripada untuk mencegahnya. Apakah abnormalitas imunologi ini
merupakan penyebab atau merupakan konsekuensi dari endometriosis, hal ini
masih tidak jelas. Meskipun demikian, respon imun tampak memainkan peran
penting dalam patogenesis penyakit.

Makrofag merupakan elemen kunci respon imun bawaan, bagian dari sistem imun
yang tidak antigen-specific dan tidak melibatkan memori imunologi. Makrofag
mempertahankan host dengan cara pengenalan, fagositosis, dan destruksi
mikroorganisme yang melawan dan juga berperan sebagai pembersih sampah,
membantu untuk membersihkan sel yang mengalami apoptosis dan juga debris
seluler. Makrofag mensekresi berbagai sitokin, faktor pertumbuhan, enzim, dan
prostaglandin yang membantu untuk memediasi fungsi mereka sendiri sementara
juga menstimulasi pertumbuhan dan proliferasi tipe sel lain. Makrofag merupakan
inhabitant normal dari cairan peritoneal dan jumlah serta aktivitasnya sangat
meningkat pada wanita dengan endometriosis. Disamping berperan sebagai
pembersih sampah untuk mengeliminasi sel endometrium ektopik, makrofag
peritoneal yang teraktivasi beserta monosit yang beredar pada wanita dengan
endometriosis dapat mengawali penyakit dengan mensekresi growth factor dan
sitokin yang menstimulasi proliferasi endometrium ektopik dan menghambat
fungsi pembersihnya.

Sel natural killer merupakan komponen penting lainnya dalam sistem dan fungsi
imun bawaan melalui dua cara. Sel natural killer memiliki reseptor untuk

8
immunoglobulin G (IgG) dan membunuh sel yang menempel pada IgG melalui
proses yang dikenal sebagai antibody-dependent cellular cytotoxicity. Sel-sel
natural killer juga memiliki reseptor aktivasi killer dan reseptor inhibitor killer
yang ketika digunakan, dapat mengarahkan atau menghambat aktivitas
sitotoksisitas. Sementara penelitian-penelitian yang mempelajari jumlah sel
natural killer peritoneal pada wanita dengan endometriosis telah menghasilkan
hasil-hasil yang saling berlawanan, mereka yang meneliti fungsi sel natural killer
secara konsisten menemukan penurunan aktivitas sitotoksik yang lebih jelas
terlihat pada wanita dengan stadium penyakit yang lebih berat. Satu dari
mekanisme yang bertanggungjawab tampaknya melibatkan ekspresi berlebihan
dari reseptor inhibitor killer pada baik sel natural killer perifer dan peritoneal pada
wanita dengan endometriosis.

Limfosit memediasi respon imun yang didapat. Limfosit-B matang didalam


sumsum tulang dan mensekresi imunoglobulin yang merupakan antibodi antigen-
specific yang diarahkan untuk melawan mikroorganisme ekstraseluler. Limfosit-T
membantu sel-B membuat antibodi dan juga mengeliminasi patogen intraseluler
dengan mengaktivasi makrofag dan dengan membunuh sel yang terinfeksi virus
atau sel ganas. Sel-T terdiri dari dua tipe; sel-T sitotoksik/supressor (terlibat
dalam respon imun seluler) dan sel T-helper (terlibat dalam respon imun
humoral). Jumlah kedua tipe sel-T meningkat dalam cairan peritoneal wanita
dengan endometriosis dan dalam stroma endometrium ektopik.

Sitokin dan growth factor merupakan keluarga besar dari protein dan glikoprotein
terlarut yang disekresi oleh leukosit dan sel lainnya kedalam lingkungan
ektraseluler dimana mereka bekerja pada sel yang sama (autocrine) atau sel
didekatnya (paracrine), melayani sebagai messenger baik didalam maupun diluar
sistem imun dalam regulasi kemotaksis, mitosis, angiogenesis, dan diferensiasi.
Sementara suatu respon imun seluler yang terganggu dapat menyebabkan klirens
yang tidak efektif dari sel endometrium yang mengalami refluks pada ruang
peritoneal, sitokin dan growth factor justru mengawali implantasi dan

9
pertumbuhan endometrium ektopik dengan cara memfasilitasi penempelannya
pada permukaan peritoneum dan dengan menstimulasi proliferasi dan
angiogenesis.

Interleukin-1 merupakan sitokin yang terlibat dalam inflamasi dan respon imun
dan disekresi oleh monosit dan makrofag teraktivasi, limfosit-T dan-B, dan sel
natural killer. Interleukin-1 telah diidentifikasi dalam cairan peritoneal wanita
dengan endometriosis dan ekspresi reseptor interleukin-1 meningkat pada sel
stroma yang diturunkan dari endometriosis. Interleukin-1 dapat mengawali
perkembangan endometriosis dengan cara menstimulasi pelepasan faktor-faktor
angiogenik (vascular endothelial growth factor, interleukin-6, interleukin-8) dan
dengan membantu sel endometrium yang memasuki ruang peritoneal untuk
meloloskan diri dari imunosurveilans dengan menginduksi pelepasan bentuk
terlarut dari intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) dari sel-sel
endometriotik, yang berkompetisi untuk lokasi pengenalan imun pada sel natural
killer dan sel imun lainnya.

Interleukin-8 merupakan sitokin angiogenik potent yang dihasilkan oleh sel-sel


mesothelial, makrofag, sel endometrium dan sel lainnya. Konsentrasi interleukin-
8 pada cairan peritoneal meningkat pada wanita dengan endometriosis dan
berhubungan dengan beratnya penyakit. Interleukin-8 diekspresikan pada implan
endometriotik dan di up-regulasi oleh interleukin-1. Interleukin-8 menstimulasi
adhesi sel-sel stroma endometrium pada protein matrix ekstraseluler, aktivitas
matrix metalloproteinase, dan proliferasi sel stroma endometrium dalam suatu
pola dose-dependent, yang semuanya itu dapat membantu untuk mengawali
implantasi dan pertumbuhan endometrium ektopik.

Monocyte chemotactic protein-1 dan RANTES (Regulated on Activation, Normal


T-cell Expressed and Secreted) merupakan dua sitokin kemoatraktan yang
merekrut makrofag kedalam ruang peritoneum. Keduanya disekresi oleh berbagai
leukosit dan oleh sel mesotelial dan endometrium, dan produksi keduanya

10
meningkat pada endometrium ektopik. Pada wanita degan endometriosis,
konsentrasi sitokin-sitokin ini pada cairan peritoneum meningkat, dan
berhubungan dengan beratnya penyakit. Interleukin-1 meng-up-regulasi ekspresi
monocyte chemotactic protein-1 pada sel-sel epitel endometrium ektopik pada
wanita dengan endometriosis dan pada sel-sel endometrium ektopik yang dikultur,
sebuah aksi yang kemudian distimulasi oleh estrogen. Produksi RANTES oleh
implan endometriotik distimulasi oleh sitokin cairan peritoneum lainnya.

Tumor necrosis factor-α (TNF-α) merupakan sitokin inflamasi yang dihasilkan


oleh limfosit, makrofag, dan sel natural killer yang teraktivasi, selain yang lain.
TNF-α diekspresikan pada sel epitel endometrium eutopik dan di-up-regulasi oleh
interleukin-1. Konsentrasi pada cairan peritoneal meningkat pada wanita dengan
endometriosis dan berhubungan dengan stadium penyakit. Temuan-temuan bahwa
tumor necrosis factor-α meningkatkan adherence sel stroma yang dikultur
terhadap sel mesotelial menunjukkan bahwa sitokin ini dapat memfasilitasi
penempelan endometrium ektopik ke peritoneum pada wanita dengan
endometriosis.

Untuk melakukan implantasi dan tumbuh, endometrium ektopik harus


membangun suplai darah. Vascular endothelial growth factor (VEGF) merupakan
mediator penting dari angiogenesis lokal yang diproduksi oleh monosit dan
makrofag. Growth factor ini menstimulasi proliferasi sel-sel endothelial vaskuler
dan juga bertindak sebagai kemoatraktan untuk monosit. VEGF diproduksi
utamanya di kelenjar endometrium dan di-up-regulasi oleh berbagai faktor
termasuk estrogen dan interleukin-1. Konsentrasi VEGF pada cairan peritoneal
meningkat pada wanita dengan endometriosis dan paling tinggi pada stadium
lanjut penyakit ini. VEGF juga diekspresikan pada lesi-lesi endometriotik, lebih
banyak pada lesi merah aktif daripada pada implan “powder-burn” inaktif.

11
Ringkasan
Berbagai abnormalitas imunologik telah dijelaskan pada wanita dengan
endometriosis. Cairan peritoneum dari wanita yang terkena mengandung
peningkatan jumlah sel imun. Bagaimanapun, selain bekerja untuk secara efisien
menghilangkan sel endometrium yang mengalami refluks dari ruang peritoneum,
sel-sel imun ini tampak untuk mempromosikan penyakit dengan cara mensekresi
berbagai sitokin dan growth factor yang menstimulasi penempelan dan proliferasi
endometrium ektopik dan angiogenesis lokal. Walaupun belum jelas apakah
abnormalitas imunologik ini merupakan penyebab atau akibat dari penyakit,
mereka secara jelas memainkan peranan penting dalam patogenesis
endometriosis.

Mekanisme nyeri
Mekanisme-mekanisme yang bertanggung jawab untuk nyeri yang berkaitan
dengan endometriosis sulit untuk ditentukan dikarenakan berbagai alasan. Nyeri
itu sendiri sulit diukur, khususnya ketika nyeri tersebut kronik. Lingkungan
hormonal mempengaruhi persepsi nyeri. Efek plasebo pada nyeri, sangat
substansial dan bervariasi pada berbagai penelitian. Nyeri pelvis kronik memiliki
kecenderungan untuk melibatkan sistem organ disekitarnya sepanjang waktu.
Persepsi dan toleransi terhadap nyeri juga sangat bervariasi tiap-tiap pasien.

Nyeri yang berhubungan dengan endometriosis telah dihubungkan dengan 3


mekanisme primer:
• Kerja sitokin inflamasi pada ruang peritoneal
• Efek langsung dan tak langsung dari perdarahan fokal implan endometriotik
• Iritasi atau infiltasi langsung dari nervus pada dasar pelvis.

Diantara mekanisme-mekanisme tersebut, iritasi neural telah menerima mayoritas


perhatian saat ini. Nodularitas nyeri pada cul-de-sac dan sepanjang ligamentum
sakrouterina memiliki sekitar 85% sensitivitas dan 50% spesifitas sebagai kriteria
klinis untuk diagnosis endometriosis yang telah menginfiltrasi dalam (deeply

12
infiltrating endometriosis). Dismenorrhea berat dan dispareunia dalam merupakan
gejala yang sering; mereka yang memiliki penyakit didekat atau didalam dinding
rektum mungkin juga memiliki dyschesia. Intensitas nyeri yang berhubungan
dengan endometriosis yang menginfiltasi dalam, berhubungan dengan kedalaman
penetrasi dan dengan dekatnya atau invasi langsung pada nervus.

Sementara inflamasi atau invasi neural mungkin menjelaskan nyeri pada wanita
dengan endometriosis yang menginfiltasi dalam, hal ini tidak bisa menjadi
mekanisme yang menghasilkan nyeri pada wanita yang hanya memiliki penyakit
superfisial. Nyeri yang berhubungan dengan penyakit ringan lebih cenderung
berhubungan dengan inflamasi yang disebabkan perdarahan siklik fokal
didalam dan disekitar implan peritoneal atau dari kerja sitokin inflamasi yang
dilepaskan oleh sejumlah besar makrofag dan sel imun lainnya pada cairan
peritoneum wanita dengan endometriosis. Bagaimanapun, tidak ada hubungan
antara stadium, lokasi, atau karakteristik morfologi dari endometriosis pelvis
dengan nyeri. Penjelasan untuk mengapa banyak wanita dengan endometriosis
advanced hanya memiliki nyeri sedikit atau bahkan tidak sama sekali dan mereka
dengan penyakit ringan dapat memiliki nyeri yang mengganggu, masih
merupakan misteri. Penyebabnya mungkin berhubungan dengan fakta bahwa
penyakit berat umumnya kronik dan lebih tidak aktif secara metabolik. Terdapat
juga bukti untuk menjelaskan bahwa input neural persisten dari jaringan
endometriotik dapat menyebabkan sensitisasi sentral sistem nosiseptif (neuron
yang menerima stimulus nyeri), yang bermanifestasi sebagai hiperalgesia somatik
(meningkatnya sensitivitas terhadap nyeri) dan area nyeri rujukan pada beberapa
wanita dengan endometriosis.

Satu mekanisme tambahan yang mungkin terlibat pada nyeri yang berkaitan
dengan endometriosis berhubungan dengan bukti bahwa lingkungan hormonal
mempengaruhi persepsi nyeri. Berbagai penelitian telah meneliti ukuran persepsi
nyeri sepanjang siklus menstruasi. Sebuah meta-analisis yang melibatkan 16

13
penelitian menyimpulkan bahwa ambang dan toleransi nyeri sensoris somatik
mendekati level terendah pada saat sebelum dan selama menstruasi.

Mekanisme Infertilitas
Endometriosis sangat berhubungan dengan infertilitas; antara 20% dan 40%
wanita infertil memiliki penyakit ini. Pada wanita dengan endometriosis stadium
lanjut, anatomi pelvis yang sangat terdistorsi atau oklusi tuba menawarkan
penjelasan logis tetapi pada wanita dengan penyakit yang lebih ringan,
mekanisme apapun yang mungkin bertanggung jawab masih kurang jelas. Benar-
benar masih sangat kontroversial, mengenai apakah derajat penyakit yang
minimal dan ringan dapat dikatakan sebagai penyebab infertilitas.

Infertilitas yang berhubungan dengan endometriosis telah dikaitkan dengan 3


mekanisme utama:
• Terdistorsinya anatomi adnexa yang menghambat atau mencegah
penangkapan ovum setelah ovulasi.
• Gangguan terhadap perkembangan oosit atau embriogenesis awal.
• Penurunan penerimaan endometrium (endometrial receptivity).

Jelas bahwa keseluruhan prevalensi endometriosis tampak lebih besar pada wanita
infertil dibandingkan pada wanita fertil. Wanita infertil juga lebih cenderung
memiliki penyakit yang moderat sampai berat dibandingkan dengan wanita fertil;
prevalensi endometriosis minimal pada wanita infertil dengan partner pria normal
dan azoospermia adalah sebanding. Sejajar dengan hal tersebut, berat dari bukti
yang tersedia mengindikasikan bahwa kesuburan bulanan berkurang sampai
derajat yang mirip pada wanita dengan endometriosis minimal dan ringan yang
tidak diterapi dan mereka dengan infertilitas yang tidak terjelaskan, tetapi hal
tersebut menurun dengan meningkatnya keparahan penyakit. Bagaimanapun, hasil
dari penelitian-penelitian terapi menunjukkan bahwa bahkan endometriosis yang
minimal dan ringan dapat mempengaruh fertilitas. Selama terapi dengan stimulasi
gonadotropin eksogen dan inseminasi intrauterin (sperma pasangan), kesuburan

14
bulanan dari wanita dengan endometriosis minimal dan ringan adalah kurang dari
setengah yang ditemukan pada wanita tanpa penyakit ini. Kesuburan bulanan
yang dicapai dengan inseminasi donor sperma pada wanita dengan endometriosis
minimal dan ringan juga signifikan lebih rendah dibandingkan dengan wanita
yang memiliki pelvis normal. Secara keseluruhan, angka kesuksesan yang dicapai
dengan in vitro fertilization (IVF) pada wanita dengan endometriosis (semua
stadium) kira-kira adalah setengah dari yang ditemukan pada wanita dengan
penyakit tuba. Akhirnya, bukti mengindikasikan bahwa wanita dengan
endometriosis minimal dan ringan secara signifikan lebih cenderung untuk
mengandung setelah terapi bedah dibandingkan dengan wanita yang tidak
diterapi. Jika dikumpulkan semua, penelitian-penelitian tersebut mendukung
kesimpulan bahwa endometriosis benar-benar menurunkan fertilitas sampai
tingkat yang berhubungan kasar dengan beratnya penyakit endometriosis
tersebut.

Dengan menerima bahwa endometriosis benar-benar menyebabkan infertilitas,


mekanisme apakah yang bertanggung jawab? Outcome-outcome yang ditemukan
setelah in vitro fertilization (IVF) pada wanita dengan dan tanpa endometriosis,
yang bermaksud untuk memeriksa komponen proses reproduksi masing-masing
individu, menunjukkan bahwa penyakit ini dapat memiliki efek merugikan
terhadap fertilitas sampai beberapa tingkat meliputi kualitas oosit, embriogenesis,
dan kemampuan penerimaan endometrium.

Hasil dari sekian banyak penelitian observasional mengenai outcome IVF pada
wanita dengan endometriosis telah menunjukkan hasil yang bervariasi, tetapi
ketika dikombinasikan, hasil tersebut menawarkan beberapa pandangan berguna.
Secara keseluruhan, angka kesuksesan IVF secara substansial lebih rendah
pada wanita dengan endometriosis dibandingkan pada wanita dengan penyakit
tuba dan prognosisnya lebih buruk untuk endometriosis berat dibandingkan
endometriosis ringan. Respon ovarium terhadap stimulasi gonadotropin pada
wanita dengan endometriosis adalah kurang kuat jika dibandingkan pada wanita

15
dengan penyakit tuba; baik konsentrasi estrogen puncak maupun jumlah oosit
yang ditemukan adalah lebih rendah. Angka fertilisasi dan implantasi juga
menurun ketika dibandingkan dengan wanita dengan semua indikasi untuk IVF
atau dengan wanita dengan infertilitas karena faktor tuba saja. Observasi ini
menunjukkan bahwa efek merugikan dari endometriosis pada fertilitas tidak
hanya berhubungan dengan abnormalitas anatomi reproduksi. Dibandingkan
langsung, wanita dengan endometriosis berat memiliki konsentrasi estrogen
puncak, oosit yang dihasilkan, angka kehamilan, dan angka implantasi yang lebih
rendah dibandingkan dengan wanita dengan penyakit ringan. Kebalikannya, angka
fertilitas pada wanita dengan endometriosis advanced adalah lebih tinggi daripada
mereka dengan penyakit yang ringan, mungkin karena wanita dengan
endometriosis berat penyakitnya lebih kronik yang secara metabolik kurang aktif.

Angka implantasi dan kehamilan yang ditemukan pada wanita dengan


endometriosis setelah IVF dapat mencerminkan kualitas oosit dan embriogenesis
yang buruk atau penurunan penerimaan endometrium. Penelitian mengenai
outcome IVF pada resipien oosit donor bermaksud untuk memisahkan kedua hal
tersebut. Oosit donor dari wanita sehat menghasilkan hasil yang sama pada
resipien dengan dan tanpa endometriosis, tetapi oosit yang berasal dari wanita
dengan endometriosis menghasilkan hasil yang lebih jelek dibandingkan yang dari
donor sehat pada resipien tanpa endometriosis. Embrio yang diturunkan dari oosit
yang diambil dari wanita dengan endometriosis juga memiliki blastomer yang
lebih sedikit dan menampilkan insiden yang lebih tinggi akan perkembangan
morfologi yang terhambat dan abnormal dibandingkan dengan yang diambil dari
wanita tanpa endometriosis. Penelitian ini menunjukkan bahwa angka implantasi
dan kehamilan yang lebih rendah yang ditemukan pada wanita dengan
endometriosis lebih cenderung disebabkan kualitas oosit dan embriogenesis yang
abnormal daripada dari penerimaan endometrium yang berkurang.

Suatu rancangan penelitian besar telah ditujukan untuk mengidentifikasi


perbedaan dalam lingkungan folikuler pada wanita dengan dan tanpa

16
endometriosis yang mungkin dapat menjelaskan tanggapan awal mengenai
kulaitas oosit yang buruk pada wanita dengan endometriosis. Penelitian ini telah
membandingkan jumlah dan tipe sel imun yang ada di pelvis; produksi berbagai
hormon, growth factor, dan sitokin; dan ekspresi berbagai gen pada cairan
folikuler dan kultur sel granulosa yang didapat dari wanita dengan dan tanpa
endometriosis, tetapi tidak ada perbedaan konsisten yang ditemukan.

Walaupun outcome dari siklus IVF oosit donor pada wanita dengan dan tanpa
endometriosis tidak menunjukkan bahwa penyakit tersebut memiliki efek adverse
yang penting pada penerimaan endometrium (endometrial receptivity), data yang
lain mengindikasikan bahwa endometrium eutopik pada wanita dengan
endometriosis juga berbeda secara intrinsik dibandingkan dengan yang ada pada
wanita normal. Berbagai peneliti telah memeriksa dan membandingkan
endometrium dari wanita dengan dan tanpa endometriosis dan menemukan
ekspresi abnormal dari beberapa produk gen selama jendela implantasi pada
wanita dengan penyakit ini. Beberapa produk gen tersebut meliputi berbagai cell
adhesion molecule, matrix metalloproteinase, faktor-faktor transkripsi, growth
factor, enzim, dan reseptor hormon steroid.

αvβ3 integrin merupakan cell adhesion molecule yang normalnya diekspresikan


selama fase implantasi tetapi sering tidak diekspresikan pada wanita dengan
endometriosis. Ekspresi dari leukemia-inhibitory factor, yang bekerja pada
sitotrofoblast dan mengarahkan diferensiasi kearah fenotif invasif, juga menurun.
Endometrial bleeding factor, suatu marker dari endometrium yang unreceptive
(tidak reseptif), diekspresikan berlebihan pada endometrium wanita infertil
dengan endometriosis. Gen-gen homeobox yang memediasi perkembangan
embrionik yang normalnya di-up-regulasi selama fase implantasi justru di-down-
regulasi pada wanita degan endometriosis. Pola normal ekspresi reseptor
progesteron epitel endometrium terganggu pada wanita dengan endometriosis.
Penelitian-penelitian yang menggunakan teknologi microarray terbaru yang
memungkinkan penelitian ekspresi gen global pada sel dan jaringan, telah

17
mengidentifikasi sejumlah produk-produk gen tambahan yang mungkin secara
abnormal di-up atau di–down-regulasi di endometrium wanita dengan
endometriosis selama fase implantasi. Secara keseluruhan, hasil dari penelitian-
penelitian terbaru mendukung konsep bahwa fungsi endometrium pada wanita
dengan endometriosis adalah abnormal secara intrinsik.

Ringkasan
Nilai dari bukti yang tersedia mengindikasikan bahwa baik endometriosis ringan
maupun berat memiliki efek merugikan pada fertilitas. Pada wanita dengan
endometriosis advanced, anatomi reproduksi abnormal memiliki pengaruh yang
penting, tetapi dengan tidak melihat stadium penyakit, mekanisme-mekanisme
lainnya yang melibatkan abnormalitas intrinsik atau abnormalitas yang diinduksi
oleh penyakit dari perkembangan oosit, embriogenesis, dan fungsi endometrium
cenderung berkontribusi dan masih harus diidentifikasi.

Epidemiologi Endometriosis
Keseluruhan prevalensi nyata dari endometriosis tidak diketahui, utamanya karena
bedah merupakan satu-satunya metode yang akurat untuk diagnosis dan seringnya
tidak dilakukan pada wanita tanpa gejala atau pemeriksaan fisik yang secara kuat
menunjukkan kemungkinan; estimasi bervariasi berdasarkan cara diagnosis.
Prevalensi endometriosis asimptomatik adalah sekitar 4% pada wanita yang
dioperasi untuk sterilisasi elektif. Sebagian besar estimasi untuk prevalensi
endometriosis berkisar antara 5% dan 20% diantara wanita dengan nyeri pelvis
dan antara 20% dan 40% diantara wanita infertil; prevalensi umum cenderung
berkisar antara 3% dan 10% pada wanita usia reproduksi.

Rata-rata usia pada saat diagnosis endometriosis bervariasi antara 25 sampai 30


tahun. Endometriosis jarang pada anak gadis premenarkhe tetapi dapat
diidentifikasi pada 50% atau lebih adolesen dan wanita muda yang lebih muda
dari usia 20 tahun dengan komplain nyeri pelvis kronik atau dispareunia. Sebagian
besar kasus pada wanita muda yang lebih muda dari usia 17 tahun berhubungan

18
dengan anomali duktus Mülleri dan obstruksi servikal atau vaginal. Kurang dari
5% wanita yang memerlukan operasi untuk endometriosis adalah wanita yang
telah postmenopause dan sebagian besar wanita tersebut telah menerima terapi
estrogen. Prevalensi dari endometriosis asimptomatik dapat entah bagaimana
lebih rendah pada orang kulit hitam dan lebih tinggi pada orang Asia
dibandingkan dengan wanita kulit putih.

Menarkhe dini dan siklus menstruasi yang pendek berhubungan dengan


peningkatan risiko endometriosis. Korelasi antara risiko penyakit dengan volume
atau durasi menstruasi kurang konsisten. Pada wanita infertil, prevalensi
endometriosis berkorelasi dengan body mass index. Risiko untuk endometriosis
juga berhubungan terbalik dengan jumlah kehamilan aterm, tetapi efek protektif
dari kehamilan menurun seiring waktu dan risiko meningkat seiring jumlah tahun
sejak kelahiran anak terakhir. Bermacam-macam penelitian epidemiologi telah
menunjukkan bahwa konsumsi alkohol dan kafein yang berlebihan dapat
meningkatkan risiko dan bahwa olahraga teratur dan merokok dapat menurunkan
risiko untuk endometriosis. Data dari primata telah menunjukkan bahwa paparan
polychlorinated biphenyl (PCB) atau dioxin mungkin berhubungan dengan
endometriosis tetapi penelitian pada wanita telah memberikan hasil yang tidak
konsisten. Banyak dari hubungan-hubungan ini mencerminkan paparan estrogen
yang tinggi.

Diagnosis Endometriosis
Definisi tradisional dari endometriosis memerlukan demonstrasi histologi adanya
kelenjar dan stroma endometrium ektopik tetapi tidak harus demikian karena
adanya gambaran lesi endometrium yang sangat bervariasi dan konsep baru
mengenai progresi alamiahnya. Sayangnya, perkembangan substansial dalam
pengertian kami mengenai patogenesis endometriosis belum menyediakan
alternatif noninvasif yang akurat selain laparoskopi untuk diagnosis penyakit.

Diagnosis Klinis Endometriosis

19
Satu dari gejala yang paling sering dikeluhkan wanita dengan endometriosis
simptomatik adalah nyeri pelvis kronik. Gejala meliputi dismenorrhea, nyeri
intermenstrual, dan dispareuni. Dismenorrhea merupakan gejala yang sering
dilaporkan; ketika nyeri tersebut baru saat onset, progresif, atau berat, nyeri
tersebut sangat mengindikasikan tetapi tidak secara akurat memprediksikan
endometriosis. Dismenorrhea yang berhubungan dengan endometriosis sering
terjadi sebelum onset keluar darah menstruasi dan seringnya menetap selama
menstruasi, bahkan kadangkala berlanjut setelahnya. Nyeri biasanya difus,
terletak dalam pada pelvis, tumpul, dan nyeri dan dapat menyebar ke punggung
dan paha atau berhubungan dengan tekanan rektal, mual, dan diare episodik.
Setengah sampai dua pertiga wanita dengan endometriosis dan nyeri memiliki
nyeri intermenstrual. Dispareuni yang berhubungan dengan endometriosis
biasanya baru saat onset, lebih intens dengan penetrasi dalam segera sebelum
menstruasi, dan berhubungan dengan penyakit yang melibatkan cul-de-sac dan
septum rektovagina.

Sangat dikenal hubungan yang sering paradoks antara luas dan beratnya nyeri
dengan stadium dan lokasi endometriosis; wanita dengan penyakit advanced
dapat memiliki rasa tidak nyaman yang ringan atau bahkan tidak sama sekali
dan mereka dengan penyakit minimal atau ringan memiliki nyeri yang sangat
mengganggu. Beratnya nyeri pada wanita dengan endometriosis yang
menginfiltrasi dalam berkorelasi baik dengan kedalaman dan volume infiltrasi.
Dispareuni lebih sering terjadi pada wanita dengan penyakit yang melibatkan
septum rektovagina. Endometriosis ekstrapelvis dapat berhubungan dengan
berbagai kelompok gejala siklik yang mencerminkan organ-organ yang terlibat:
scar pada abdomen, traktus gastrointestinalis dan traktus urinarius, diafragma,
pleura, dan syaraf perifer.

Pemeriksaan fisik genitalia eksterna seringnya normal. Kadangkala, pemeriksaan


menggunakan spekulum dapat menemukan implan berwarna biru atau lesi
proliferatif merah yang berdarah dengan sentuhan, keduanya biasanya terletak di

20
posterior fornix. Sementara penyakit pada wanita dengan endometriosis infiltasi
dalam yang melibatkan septum rektovagina seringkali dapat dipalpasi, tetapi lesi
ini seringnya tidak terlihat, dan pada sebagian besar kasus tidak ada temuan yang
khas. Uterus seringkali retroversi dan dapat menampilkan mobilitas yang menurun
atau fiksasi. Wanita dengan endometrioma ovarium dapat memiliki masa adnexa
yang terfiksir. Rasa nyeri fokal dan nodularitas dari ligamentum sakrouterina
sangat mengindikasikan endometriosis dan seringnya merupakan satu-satunya
temuan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan fisik memiliki sensitivitas diagnostik
terbaik ketika dilakukan selama menstruasi tetapi tidak berarti pemeriksaan fisik
yang normal mengeksklusikan diagnosis. Secara keseluruhan, dibandingkan
dengan gold standard diagnosis dari endometriosis yang menggunakan
pendekatan bedah, pemeriksaan fisik memiliki sensitivitas, spesifitas, dan nilai
prediktif yang relatif lebih rendah.

CA-125
CA-125 merupakan antigen permukaan sel yang diekspresikan oleh derivat-
derivat epitel coelomic (yang meliputi endometrium) yang telah diketahui sebagai
marker yang berguna untuk monitoring wanita dengan kanker ovarium epitelial.
Konsentrasi CA-125 sering meningkat pada wanita dengan endometriosis
advanced, tetapi peningkatan konsentrasi juga dapat ditemukan pada kehamilan
awal, selama menstruasi normal, dan pada wanita dengan pelvic inflammatory
disease akut atau leiomyoma. Konsentrasi CA-125 serum bervariasi sepanjang
siklus menstruasi; pada umumnya, konsentrasi tertinggi adalah selama fase
menstruasi dan terendah pada fase midfolikuler dan periovulasi. Bagaimanapun,
penelitian-penelitian mengenai sensitivitas dan reprodusibilitas dari cycle-
dependent assay telah menghasilkan hasil yang saling berlawanan dan tidak ada
satu waktu terbaik untuk melakukan tes tersebut. CA-125 serum telah disarankan
sebagai tes skrining untuk diagnosis endometriosis, tetapi sebuah meta-analisis
yang mengukutsertakan 23 penelitian terpisah yang menggunakan pendekatan
bedah sebagai gold standard menyimpulkan bahwa marker tersebut tampil agak

21
buruk. Nilai cutoff yang memberikan 90% keseluruhan spesifitas memiliki
sensitivitas kurang dari 30%, dan jika disesuaikan untuk mencapai sensitivitas
50%, spesifitas jatuh sampai 70%. Sebagai tes skrining untuk endometriosis
stadium advanced, nilai yang berhubungan dengan spesifitas 90% memiliki
sensitivitas kurang dari 50%. Secara keseluruhan, sensitivitas pemeriksaan CA-
125 terlalu rendah untuk membuatnya sebagai tes skrining yang efektif untuk
diagnosis endometriosis.

Konsentrasi CA-125 serum dapat memiliki sedikit nilai pada saat evaluasi
preoperatif wanita yang diketahui atau dicurigai memiliki penyakit yang
advanced Sebuah penelitian menunjukkan bahwa persiapan usus preoperatif dapat
menjadi bijaksana pada wanita dengan konsentrasi CA-125 serum diatas 65
IU/mL (batas atas nilai normal adalah 35 IU/mL) karena mereka lebih cenderung
untuk mengalami adhesi omentum yang erat, ruptur endometrioma, atau obliterasi
cul-de-sac. Konsentrasi CA-125 serum dapat juga membantu dalam membedakan
endometrioma ovarium dari kista jinak lainnya, khususnya ketika dikombinasikan
dengan USG transvaginal. Ketika digunakan untuk mengevaluasi respon terapi,
peningkatan persisten dari CA-125 postoperatif memprediksikan prognosis yang
relatif buruk, tetapi konsentrasi umumnya bukanlah sebuah prediktor yang akurat
untuk efektivitas terapi medis.

Imaging
Ultrasonografi transvaginal dapat menjadi sangat membantu dalam
mengidentifikasi wanita dengan endometriosis advanced. Ultrasonografi
transvaginal khususnya berguna untuk deteksi endometrioma ovarium, tetapi
pemeriksaan ini tidak dapat menggambarkan adhesi pelvis atau fokus penyakit
pada peritoneum superfisial. Endometrioma dapat memiliki gambaran
ultrasonografi yang bervariasi tetapi biasanya tampil sebagai struktur kistik
dengan echo internal diffuse derajat rendah dikelilingi oleh kapsul echogenic yang
jelas. Beberapa dapat memiliki internal septation atau dinding noduler tebal.
Ketika terdapat gambaran khas, ultrasonografi transvagina memiliki sensitivitas

22
90% atau lebih dan hampir 100% spesifitas untuk deteksi endometrioma. Color
Doppler flow imaging secara umum menambah sedikit untuk diferensiasi
endometrioma dari kista hemoragik, teratoma kistik jinak, dan neoplasma kistik
lainnya yang dapat memiliki gambaran yang mirip. Jika tidak dilakukan lebih
awal untuk indikasi lainnya selama evaluasi infertilitas, ultrasonografi
transvaginal sebaiknya dilakukan sebelum dimulai terapi empiris apapun untuk
infertilitas yang tidak terjelaskan, khususnya jika laparoskopi diagnostik tidak
direncanakan; jika tidak, penyakit yang advanced yang dapat mengganggu
kesuksesan dapat tetap tidak terdeteksi. Ultrasonografi transrektal mungkin
membantu dalam evaluasi wanita yang dicurigai memiliki endometriosis yang
memiliki infiltrasi dalam pada septum rektovagina atau melibatkan ligamentum
sakrouterina.

Seperti ultrasonografi transvaginal, magnetic resonance imaging (MRI) dapat


membantu untuk deteksi dan diferensiasi endometrioma ovarium dari masa
ovarium kistik lainnya tetapi tidak dapat secara akurat menggambarkan lesi
peritoneal. Untuk deteksi implan peritoneal, MRI lebih baik daripada
ultrasonografi transvaginal tetapi masih mengidentifikasi hanya 30-40% dari lesi
yang ditemukan pada operasi. Untuk deteksi endometriosis yang dicatat oleh
histopatologi, MRI memiliki sekitar 70% sensitivitas dan 75% spesifitas.
Keuntungan prinsipal dari MRI dibandingkan dengan ultrasonografi adalah
kemampuannya untuk lebih akurat dalam membedakan dengan perdarahan akut
dan produk darah yang telah terdegenerasi. Sementara endometrioma biasanya
menunjukkan gambaran intensitas sinyal tinggi yang relatif homogen pada
gambar T1 dan sebuah sinyal hipointens pada gambar T2 (“shading”), perdarahan
akut biasanya memiliki intensitas sinyal yang rendah pada baik gambar T1
maupun T2. Bagaimanapun, observasi dalam interval yang pendek selama saat
dimana kista hemoragik biasanya akan mengalami regresi, akan mencapai tujuan
yang sama. Kontras gadolinium tidak memberikan tambahan nilai diagnostik.
MRI dapat juga digunakan untuk membantu diagnosis endometriosis
rektovaginal.

23
Diagnosis dengan Cara Percobaan Terapetik
Hasil dari sebuah randomized clinical trial pada wanita dengan nyeri pelvik
kronik dan secara klinis dicurigai memiliki endometriosis, telah menuntun
beberapa orang untuk menyimpulkan bahwa respon klinis terhadap terapi empiris
dengan agonis gonadotropin-releasing hormone dapat digunakan untuk
mendiagnosis penyakit ini. Wanita dengan nyeri pelvis kronik moderat sampai
berat yang tidak berhubungan dengan menstruasi dan tidak berkurang dengan
terapi NSAID dan antibiotik, diacak untuk menderima depot meuprolide acetate
(3,75 mg intrasmucular setiap bulan selama 3 bulan) atau plasebo sebelum
laparoskopi diagnostik. Mereka yang diterapi dengan leuprolide meNjadi
amenorrheik dan mengalami perbaikan yang besar dari gejala sebelum operasi
yang mengungkap endometriosis pada 78/95 pastisipan (82%).

Walaupun kriteria klinis ketat yang digunakan terbukti memiliki spesifitas yang
cukup (82%) untuk diagnosis endometriosis, dan terapi lebih efektif dibandingkan
dengan plasebo, respon terhadap terapi leuprolide tidak meningkatkan akurasi
diagnostik; wanita tanpa endometriosis yang dibuktikan lewat bedah memiliki
kecenderungan yang sama untuk menerima perbaikan gejala dari terapi seperti
mereka dengan endometriosis yang terbukti. Adalah mungkin bahwa terapi
menghilangkan atau mengaburkan penyakit pada wanita tanpa endometriosis yang
terbukti atau bahwa beberapa orang yang mengalami perbaikan gejala memiliki
endometriosis terisolasi-penetrasi dalam yang terlepas dari deteksi.
Bagaimanapun, setidaknya cenderung seimbang bahwa terapi menekan gejala
yang berhubungan dengan penyebab lainnya, bahwa amenorrhea dan gejala
defisiensi estrogen pada wanita yang diterapi menuntun mereka untuk secara
akurat mencurigai mereka sedang menerima obat aktif dan mempengaruhi respon
mereka yang dilaporkan, atau bahwa hipoestrogenisme yang diinduksi leuprolide
meningkatkan ambang nyeri. Hasil penelitian menunjukkan akurasi diagnostik

24
dari kriteria klinis yang ketat dan efektivitas terapi empiris leuprolide pada wanita
dengan nyeri pelvis kronik tetapi tidak mendukung kesimpulan bahwa respon
klinis terhadap terapi memiliki nilai diagnostik.

Diagnosis dengan Cara Bedah


Laparoskopi dengan pemeriksaan histologi lesi yang dieksisi merupakan gold
standard untuk diagnosis endometriosis. Perhatian lebih besar terhadap variasi
tampilan lesi endometriotik telah menggandakan frekuensi ketika dilakukan
pemeriksaan yang teliti dan sistematik, dimana endometriosis tersebut didiagnosis
dengan laparoskopi.

Implan peritoneal klasik berbentuk lesi “powder burn” berwarna biru-hitam


(mengandung deposit hemosiderin dari darah yang terjebak) dengan jumlah yang
bervariasi dari fibrosis sekelilingnya, tetapi mayoritas implan adalah “atipik”,
tampak putih dan opak, merah dan seperti nyala api, atau vesikuler. Lebih jarang
lagi, penyakit ini dapat ditemukan pada adhesi ovarium, bercak kuning-coklat,
atau pada defek peritoneal. Lesi merah sangat vaskuler dan proliferatif dan
mewakili penyakit stadium dini. Lesi berpigmen mewakili penyakit yang lebih
mantap atau advanced. Keduanya aktif secara metabolik dan lebih sering
berhubungan dengan gejala. Lesi putih lebih tidak vaskuler dan aktif, dan lebih
jarang simptomatik. Penelitian laparoskopi serial telah menemukan bahwa
terdapat progresi alamiah dalam gambaran lesi endometriotik seiring berjalannya
waktu dan bahwa berbagai variasi lesi dapat ditemukan kapanpun dan pada
siapapun. Kriteria histologi yang ketat akan mengkonfirmasi diagnosis bedah
endometriosis hanya sebesar sekitar setengah kasus. Bukti mikroskopik
endometriosis pada peritoneum yang tampak normal sering terjadi pada wanita
infertil asimptomatik dengan dan tanpa penyakit jelas lainnya (6-13%), tetapi hal
ini maknanya dalam klinis tidak jelas karena hal ini mungkin terjadi pada
sebagian besar wanita tetapi mengalami progresi hanya pada beberapa wanita
saja.

25
Endometriosis biasanya tampil sebagai kista gelap, halus, biasanya berhubungan
dengan adhesi dan mengandung cairan coklat dense seperti cokelat.
Endometrioma yang besar sering multilokuler. Inspeksi visual yang teliti dari
ovarium umumnya sangat akurat untuk deteksi endometrioma, tetapi, ketika
penyakit ini sangat dicurigai dan tidak jelas, eksplorasi yang teliti dengan punksi
dan aspirasi ovarium akan sangat membantu. Endometrioma ovarium biasanya
disertai dengan berbagai lesi peritoneal yang visibel. Sebaliknya, endometriosis
yang menginfiltasi dalam seringnya retroperitoneal, sering tidak jelas, dan sering
terisolasi; bahkan dapat mewakili wujud yang berbeda yang berasal dari sisa-sisa
duktus mülleri didalam septum rektovagina.

Sebuah Sistem Klasifikasi


Karena terapi maupun prognosis pada wanita dengan endometriosis ditentukan
sampai beberapa derajat oleh beratnya penyakit, adalah berguna untuk memiliki
sistem klasifikasi seragam yang memperhatikan baik distribusi maupun beratnya
penyakit. Suatu klasifikasi yang seragam juga penting untuk membandingkan
hasil trial terapi yang dilakukan pada center yang berbeda-beda. The American
Society for Reproductive Medicine menyusun sebuah sistem klasifikasi yang
berdasarkan temuan bedah saat laparoskopi atau laparotomi yang dibuat seteah
mereka menggunakannya untuk menentukan grading penyakit malignan. Sistem
tersebut telah direvisi untuk mengakomodasi morfologi endometriosis yang
bervariasi dan untuk meningkatkan konsistensi dalam skoring dan nilai prognostik
pada wanita dengan nyeri dan mereka dengan infertilitas. Versi baru dari sistem
klasifikasi edisi revisi merupakan alat klasifikasi yang paling diterima secara luas,
tetapi sistem ini masih memiliki keterbatasan serius. Yang utama dari
keterbatasan tersebut adalah korelasi yang relatif buruk dengan angka kehamilan.

Revisi lebih lanjut dari skema klasifikasi saat ini diantisipasi sesuai meningkatnya
pemahaman kami mengenai patogenesis infertilitas dan tampaknya akan
mengikutsertakan berat dan ambang yang diturunkan secara empiris untuk
menentukan stadium penyakit. Faktor-faktor lain seperti CA-125 mungkin

26
dimasukkan jika terbukti memiliki nilai prognostik. Juga cukup memungkinkan
bahwa sistem apapun yang didesain untuk memprediksi kehamilan mungkin
memiliki nilai yang kecil bagi wanita dengan endometriosis dan nyeri dan bahwa
mungkin diperlukan sistem klasifikasi yang terpisah.

Ringkasan
Evaluasi klinis yang teliti dapat mengidentifikasi wanita yang cenderung memiliki
endometriosis tetapi tidak dapat memastikan diagnosis. Walaupun konsentrasi
CA-125 serum dapat memberikan bukti nyata dari penyakit ini, sensitivitas dari
tes tersebut terlalu rendah unutk membuatnya sebagai alat skrining yang efektif.
Ultrasonografi transvaginal dan MRI keduanya sangat sensitif dan spesifik untuk
deteksi endometrioma ovarium tetapi tidak dapat melihat implan peritoneal secara
akurat. Respon klinis terhadap terapi medis empiris tidak memastikan diagnosis
endometrioma. Pada sebagian besar wanita, diagnosis endometriosis memerlukan
pemeriksaan laparoskopi yang teliti dan sistematis. Pemeriksaan histologis dari
lesi yang dieksisi dapat mengkonfirmasi kesimpulan bedah dan hal ini disarankan,
tetapi tidak diperlukan untuk memastikan diagnosis dengan kepastian beralasan.

Terapi Medis
Terapi medis tradisional untuk endometriosis telah didasarkan pada teori Sampson
mengenai menstruasi retrograde dan premis sederhana bahwa endometrium
ektopik dapat diharapkan untuk berespon terhadap terapi, hampir sama dengan
endometrium eutopik normal. Maka dari itu, tujuan terapi yaitu untuk mengurangi
atau menghilangkan siklus menstruasi, yang oleh karena itu menurunkan seeding
peritoneal dan kecenderungan bahwa implan baru akan tumbuh, dan untuk
menekan pertumbuhan dan aktivitas endometrium, mengantisipasi bahwa hal
yang sama akan terjadi pada implan endometriotik yang diturunkan dari
endometrium. Konsep operasional sederhana ini telah membentuk terapi medis
untuk endometrium selama beberapa dekade, tetapi perkembangan pemahaman
kami mengenai patogenesis endometrium pada tingkat molekuler, saat ini mulai

27
menunjukkan strategi terapi baru. Saat ini strategi terebut belum ada tetapi jelas
strategi tersebut ada di depan mata.

Danazol
Danazol, obat pertama yang disetujui untuk terapi endometriosis di Amerika
Serikat, merupakan derivat 17α-ethinyltestosterone asoxazol yang diberikan
secara oral yang bekerja utamanya dengan menghambat lonjakan LH urin pada
pertengahan siklus dan mengindukasi status anovulatoir kronik, tetapi obat ini
juga menghambat sejumlah enzim steroidogenik dan meningkatkan konsentrasi
testosteron bebas. Banyak efek-efek yang berbeda dari danazol bergabung untuk
menghasilkan lingkungan tinggi androgen dan rendah estrogen yang menghambat
pertumbuhan endometriosis. Amenorrhea yang sering menyertai terapi danazol
menurunkan seeding baru dari uterus kedalam kavum peritoneum.

Dosis danazol yang direkomendasikan untuk terapi endometriosis (600-800 mg


tiap hari) memiliki efek samping androgenik substansial dan hipoestrogenik yang
membatasi kegunaan klinis dari obat. Diantara hal ini, yang paling umum adalah
kenaikan berat badan, retensi cairan, kelemahan, menurunnya ukuran payudara,
acne, kulit berminyak, hirsutisme, vaginitis atrofikan, hot flushes, kram otot, dan
emosi labil. Beberapa memperkirakan bahwa hal ini terjadi sampai 80% wanita
yang mengkonsumsi danazol, tetapi kurang dari 10% yang memiliki efek samping
sampai diperlukan penghentian terapi. Danazol dihubungkan dengan timbulnya
pseudohermaphroditisme in utero dan sebaiknya tidak diberikan ketika terdapat
kemungkinan adanya kehamilan. Aksi androgenik dari danazol dapat juga
memperberat suara secara ireversibel. Perubahan merugikan dalam profil lipid
mencerminkan efek androgenik dari obat; konsentrasi kolesterol total dan LDL
(low-density lipoprotein) meningkat dan konsentrasi HDL (high-density
lipoprotein) menurun, tetapi efek-efek ini tidak memperlihatkan risiko signifikan
sepanjang terapi jangka pendek. Jarang terjadi, terapi danazol dapat

28
mengakibatkan kerusakan hepar atau trombosis arterial. Danazol dosis rendah
ditoleransi lebih baik, tetapi mungkin juga menjadi kurang efektif. Danazol juga
pernah diberikan secara vaginal tetapi pengalaman yang ada terbatas.

Obat-obatan Progestasional
Obat-obatan progestasional (progestin) telah lama digunakan untuk mengobati
endometriosis simptomatik. Tersedia berbagai macam obat yang berbeda-beda,
termasuk yang diturunkan dari progesterone-like medroxyprogesterone acetate
dan kelompok lainnya yang diturunkan dari 19-nortestosterone: prototipenya
adalah norethindrone. Pada terapi endometriosis, mekanisme kerja mereka adalah
desidualisasi yang diinduksi progestin yang menyebabkan pengecilan
endometrium sepanjang waktu. Pada dosis tinggi, progestin juga dapat
menghambat fungsi ovulasi dan menginduksi amenorrhea. Efek supresif progestin
pada ekspresi matrix metalloproteinase endometrium (enzim-enzim yang sekarang
diketahui ikut serta dalam patogenesis endometriosis) dapat menjadi kerja lainnya
yang berguna. Walaupun aktivitas matrix metalloproteinase pada endometrium
eutopik wanita dengan endometriosis jarang resisten terhadap supresi progesteron,
dosis yang lebih besar yang digunakan dalam terapi penyakit mungkin cukup
untuk mengatasi efek tersebut.

Untuk terapi endometriosis, progestin yang paling banyak diteliti adalah


medroxyprogesterone acetate; baik oral (20-100 mg tiap hari) maupun parenteral
(150 im setiap 3 bulan sekali) telah digunakan. Efek samping meliputi
peningkatan berat badan, retensi cairan, nyeri payudara, perdarahan episodik, dan
depresi. Perdarahan sering terjadi (35-50%) tetapi biasanya dapat ditoleransi
dengan baik dan biasanya dapat dihilangkan dengan terapi estrogen jangka pendek
(estrogen terkonjugasi 1,25 mg atau estradiol 2,0 mg per hari untuk 1 minggu;
Bab 15). Depresi jarang terjadi (sekitar 5%) dan dapat cukup berat sehingga
memerlukan penghentian terapi. Norethindrone acetate (5-20 mg per hari) dan
megestrol acetate (40 mg per hari) merupakan progestin lainnya yang telah

29
digunakan dalam terapi endometriosis; insiden efek samping yang meliputi
perdarahan dan depresi adalah mirip dengan yang menggunakan
medroxyprogesterone acetate. Penggunaan IUD yang mengandung levonorgestrel
baru-baru ini digunkan untuk terapi endometriosis rektovaginal.

Progestin dapat memiliki efek merugikan pada konsentrasi lipoprotein serum.


Progestin derivat 19-nortestosterone menurunkan HDL secara signifikan; efek
dari medroxyprogesterone acetate lebih kecil. Bagaimanapun, sepanjang interval
beberapa bulan yang relatif singkat, efek-efek ini tampaknya tidak memiliki
kepentingan klinis. Pada dosis yang lebih tinggi, efek supresif progestin pada
aksis hipotalamus-hipofisis-ovarium cukup untuk menginduksi status hipogonad
yang mengakibatkan deplesi mineral tulang spinal sebesar 2-4% selama interval
6-12 bulan; terapi dengan jangka waktu lebih panjang dapat mengakibatkan
kehilangan yang jauh lebih besar, tetapi penyembuhan biasanya cepat terjadi
setelah terapi dihentikan dan pengaruh pada risiko fraktur sangat jarang
(didiskusikan dengan referensi penuh pada Bab 24). Progestin dapat digunakan
secara efektif untuk mengobati dismenorrhea, dispareuni, dan nyeri intermenstrual
pada wanita dengan endometriosis. Bagaimanapun, seperti danazol, efek
merugikannya pada fertilitas membatasi kegunaannya pada wanita infertil yang
ingin kehamilan.

Kontrasepsi Oral
Kontrasepsi oral kombinasi, yang dikonsumsi dalam pola siklik atau kontinyu,
telah menjadi sandaran utama terapi medis untuk endometriosis simptomatik
hampir sejak kontrasepsi ini dikenalkan. Bahkan sekarang, kontrasepsi oral
merupakan terapi yang paling sering diresepkan untuk endometriosis. Terapi
kontinyu telah diberi nama “pseudopregnancy” karena kombinasi estrogen-
progestin menginduksi amenorrhea dan desidualisasi endometrium (seperti terapi
dengan progestin-saja) dan menyerupai lingkungan estrogen tinggi, progesteron
tinggi pada kehamilan yang dipercaya secara luas dapat mengobati atau menekan

30
endometriosis. Kontrasepsi oral dapat juga meningkatkan apoptosis jaringan
endometrium eutopik pada wanita dengan endometriosis.

Pilihan pil sedikit bermasalah, walaupun formulasi monofasik tampak lebih logis
dibandingkan dengan pil multifasik untuk terapi kontinyu. Regimen yang biasa
digunakan adalah terapi kontinyu dengan satu pil per hari untuk 6-12 bulan.
Estrogen (estrogen konjugated 1,25 mg atau estradiol 2,0 mg per hari untuk 1
minggu) dapat ditambahkan sesuai kebutuhan untuk mengontrol perdarahan
episodik, yang lebih sering terjadi dengan terapi kontinyu dibandingkan dengan
terapi siklik. Efek samping terapi adalah yang berhubungan dengan kontrasepsi
oral (Bab 22). Kami memperkirakan bahwa terapi kontinyu dengan kontrasepsi
kombinasi estrogen-progestin yang menggunakan produk transdermal atau
transvaginal akan sama efektif.

Agonis Gonadotropin-Releasing Hormone


Agonis gonadotropin-releasing hormone merupakan bentuk modifikasi dari
GnRH yang mengikat reseptor GnRH pada gonadotroph hipofisis untuk interval
lama, kebalikan dengan GnRH asli yang memiliki waktu paruh yang sangat
singkat. Sekresi follicle stimulating hormone (FSH) dan luteinizing hormone (LH)
hipofisis memerlukan stimulus GnRH pulsatil yang memungkinkan konsentrasi
reseptor untuk menambah lagi diantara pulsatil-pulsatil; infus intravenous GnRH
secara konstan menimbulkan respon inisial (“flare”), diikuti dengan down-
regulasi dari konsentrasi reseptor, yang mendesensitisasi hipofisis terhadap
adanya stimulasi kontinyu. Agonis GnRH long-acting (leuprolide, nafarelin,
goserelin) memiliki efek yang sama; hasil akhirnya adalah keadaan hipogonadal
hipogonadotropik yang telah disebut sebagai “pseudomenopause” atau
“ooforektomi medikamentosa”, tetapi kedua istilah tersebut tidak sesuai. Pada
keadaan menopause, ovarium tidak memproduksi estrogen karena mereka
kekurangan folikel dan pada kastrasi, ovarium keduanya tidak ada; pada kedua
kasus, konsentrasi gonadotropin serum meningkat dengan jelas. Sebaliknya,
wanita yang diterapi dengan agonis GnRH tidak memproduksi estrogen karena

31
ovarium mereka tidak menerima stimulasi gonadotropin yang efektif; konsentrasi
FSH maupun LH sangatlah rendah. Mekanisme kerja dari agonis GnRH dalam
terapi endometriosis meliputi keadaan hipogonad yang diinduksinya yang
menghalangi dukungan estrogen pada penyakit yang telah ada dan amenorrhea,
yang menghilangkan kemungkinan untuk terjadinya seeding peritoneal.

Agonis-agonis GnRH dapat diberikan secara intramuskular, secara subkutan, atau


intranasal, rute bervariasi dengan obat yang spesifik. Efek samping obat adalah
hipogonadisme dan meliputi hot flushes, kekeringan vagina progresif,
menurunnya libido (baik produksi estrogen maupun androgen tertekan), depresi,
iritabilitas, kelelahan, nyeri kepala, perubahan pada tekstur kulit, dan kehilangan
mineral tulang. Terapi agonis GNRH tidak memiliki efek merugikan pada
konsentrasi lipid dan lipoprotein serum seperti yang ada dengan terapi danazol
atau progestin dosis tinggi.

Penurunan dalam mineral tulang yang berhubungan dengan regimen terapi


agonis GnRH standard (6 bulan) adalah signifikan; kehilangan massa tulang
terjadi baik pada tulang spinal lumbal (tulang trabekular) maupun collum
femur (tulang kortikal) dan dapat mendekati atau bahkan melebihi 1% per
bulan. Setelah penghentian terapi, kehilangan massa tulang membaik secara
perlahan, tetapi tidak secara sempurna pada semua wanita. Kehilangan massa
tulang trabekular dapat menyebabkan kerusakan pada struktur tulang yang tidak
dapat kembali secara efektif.

Dalam usaha untuk mencegah deplesi mineral tulang yang menyertai terapi agonis
GnRH, sejumlah strategi terapi “add-back” telah dikembangkan. Regimen add-
back kombinasi estrogen-progestin dosis rendah (estrogen konjugated 0,625 mg
dan medroxyprogesterone acetate 2,5 mg per hari atau yang setara) didasarkan
pada pernyataan bahwa konsentrasi estrogen yang diperlukan untuk menyebabkan
endometriosis adalah lebih tinggi daripada yang diperlukan untuk mencegah
gejala vasomotor atau deplesi mineral tulang. Hasil-hasil yang dicapai dengan

32
regimen add-back kombinasi estrogen-progestin dosis rendah mendukung
hipotesis “ambang estrogen” ini. Bagaimanapun, add-back menggunakan dosis
rendah estrogen-saja tidak dianjurkan; percobaan klinis baru-baru ini (estradiol
oral, 1 mg tiap hari) dihentikan lebih dini karena temuan nyeri rekuren pada
subjek yang diteliti. Berbagai regimen add-back lainnya telah disebutkan,
termasuk progestin saja (norethindrone 2,5-5 mg tiap hari), tibolone (2,5 mg tiap
hari), bifosfonat (etidronate siklik 400 mg tiap hari untuk 2 minggu setiap 2 bulan,
alendronate 10 mg tiap hari), dan yang paling terbaru, modulator reseptor estrogen
selektif (raloxifen 60 mg tiap hari). Regimen terapi add-back kombinasi
estrogen-progestin melindungi tulang dan memiliki keuntungan tambahan
mencegah hot flushes dan perkembangan atrofi genitourinaria. Efektivitas
regimen add-back progestin-saja menunjukkan kurang konsisten. Endometriosis
itu sendiri tidak berhubungan dengan kehilangan massa tulang.

Gestrinone
Gestrinone merupakan steroid derivat 19-nortestosteron yang memiliki kerja
androgenik, antiprogestinik, dan antiestrogenik yang telah digunakan secara luas
di Eropa untuk terapi endometriosis, tetapi saat ini tidak tersedia di Amerika
Serikat. Obat ini memiliki kelebihan yaitu pemberiannya yang lebih jarang (2,5-
10 mg dalam jadwal dua atau tiga kali seminggu). Efek samping klinis mirip
dengan yang berhubungan dengan danazol tetapi lebih kecil.

Terapi Medik Eksperimental


Mifepristone adalah obat dengan aksi antiprogesterone dan antiglukokortikoid
yang dapat memiliki kegunaan pada terapi endometriosis, tetapi pengalaman
dengan obat sejauh ini sangat terbatas. Raloxifene merupakan SERM yang
bekerja sebagai antagonis estrogen pada endometrium (memperkecil
pertumbuhan) dan sebagai agonis pada tulang (menjaga mineral tulang), tetapi
gejala vasomotor membatasi kegunaannya. Seperti SERM, selective progesterone
receptor modulator (SPRMs) memiliki efek campuran agonistik dan antagonistik
yang mungkin berguna jika mereka dapat menghambat pertumbuhan

33
endometrium tanpa menghasilkan efek progestasional sistemik. Antagonis GnRH
memblok reseptor GnRH hipofisis dan menekan sekresi gonadotropin tetapi tanpa
flare inisial yang menyertai pemberian agonis GnRH long-acting. Percobaan
klinis fase III dari SPRM dan antagonis GnRH sedang berjalan. Inhibitor
aromatase yang dapat menghambat produksi estrogen pada lokas perifer dan pada
jaringan endometriotik seperti pada ovarium memegang janji sebelum ada
pendekatan lain untuk terapi endometriosis. Inhibitor tumor necrosis factor-α,
angiogenesis, dan matrix metalloproteinase juga sedang diteliti. Akhirnya,
pentoksifilin merupakan obat imunomodulasi multi-site dengan berbagai aksi
yang mungkin dapat digali untuk terapi endometriosis; obat ini menghambat
fagositosis makrofag dan produksi enzim proteolitik dan aksi inflamatorik dari
tumor necrosis factor-α dan interleukin-1.

Hasil-hasil Terapi Medikamentosa ― Volume penyakit


Penelitian-penelitian mengenai efek terapi medikamentosa pada volume
endometriosis dapat menjadi sulit diinterpretasi karena penyakit dapat mengalami
regresi secara spontan dan juga dapat kembali atau berkembang setelah
penghentian terapi.

Dengan memikirkan keterbatasan-keterbatasan ini, penelitian-penelitian yang


telah memeriksa efek terapi danazol pada implan endometriotik (biasanya dinilai
setelah 6 bulan terapi) secara konsisten telah menemukan penurunan volume
penyakit yang berkisar antara 40 sampai 90%. Satu percobaan random terkontrol
menemukan regresi penyakit pada 60% wanita yang diterapi danazol dan pada
18% wanita yang menerima plasebo. Terapi agonis GnRH tampak sama
efektifnya. Pada sebuah penelitian besar tanpa kontrol, leuprolide menurunkan
volume endometriosis pada hampir 90% wanita. Berbagai penelitian lain yang
membandingkan agonis GnRH dengan danazol telah menyimpulkan bahwa
keduanya memiliki efektivitas yang seimbang.

34
Data yang berhubungan dengan efek progestin lebih terbatas. Sebuah penelitian
tunggal random terkontrol memperlihatkan bahwa medroxyprogesterone acetate
dosis tinggi (100 mg tiap hari selama 6 bulan) menginduksi remisi komplit dari
semua endometriosis yang terlihat pada 50% wanita dibandingkan dengan 12%
dari mereka yang menerima plasebo, dan remisi inkomplit pada 13%
dibandingkan dengan 6% kontrol yang diberi plasebo. Studi lainnya yang
membandingkan progestin (lynestrenol) dengan agonis GnRH (leuprolide)
menemukan penurunan besar dalam volume penyakit pada wanita yang diterapi
dengan agonis GnRH. Studi-studi mengenai gestrinone telah menemukan bahwa
gestrinone sama efektifnya dengan danazol dalam menurunkan volume
endometriosis.

Secara keseluruhan, efek-efek terapi medikamentosa terhadap volume


endometriosis adalah mirip, tetapi terapi medikamentosa tidak efektif untuk
semuanya kecuali endometrioma ovarium ukuran terkecil (kurang dari 1 cm).
Terapi dengan danazol atau agonis GnRH dapat menurunkan ukuran
endometrioma tetapi tidak menghilangkannya.

Hasil-hasil Terapi Medikamentosa ― Nyeri


Untuk memberikan informasi sebenar-benarnya, penelitian-penelitian mengenai
efek terapi medikamentosa pada nyeri harus menggunakan pengukuran nyeri
objektif yang tervalidasi, mengikuti subjek sepanjang interval jangka panjang
karena timbulnya nyeri sifatnya time-dependent, dan menggunakan kontrol
plasebo karena efek plasebo pada penelitian-penelitian mengenai nyeri sering
menunjukkan hasil yang besar (30-50%).

Danazol telah terbukti efektif dalam menurunkan nyeri yang berhubungan dengan
endometriosis (dismenorrhea, dispareunia dalam, nyeri intermenstrual) pada lebih
dari 90% wanita yang diterapi; waktu median untuk rekurensi nyeri setelah terapi
dihentikan adalah sekitar 6 bulan. Tingkat dan durasi pengurang nyeri yang
sebanding dapat dicapai dengan progestin (medroxyprogestrone acetate,

35
norethindrone, lynesterol). Berbagai percobaan tanpa kontrol telah memeriksa
efektivitas kontrasepsi oral kombinasi pada 75-90% wanita. Satu percobaan
random terkontrol yang membandingkan kontrasepsi oral dosis rendah siklik
dengan agonis GnRH menemukan bahwa agonis GnRH memberikan pengurangan
nyeri dismenorrhea yang lebih baik, tetapi kedunya sebanding dalam efektivitas.
Gestrinone paling kurang efektif dibandingkan dengan danazol dan agonis GnRH
untuk terapi nyeri yang berhubungan dengan endometriosis.

Efektivitas agonis GnRH dalam mengurangi nyeri pada wanita dengan


endometriosis telah ditunjukkan pada percobaan terapi placebo-controlled
maupun percobaan komparatif.; semua agonis tampak bekerja dan efektif seperti
danazol. Sejumlah percobaan klinis yang membandingkan terapi agonis GnRH
dengan dan tanpa terapi add-back hormon steroid telah menyimpulkan bahwa
terapi kombinasi sama efektifnya dengan terapi dengan agonis-saja tetapi
mengakibatkan lebih sedikit efek samping yang berhubungan dengan defisiensi
estrogen. Sementara banyak yang memilih untuk memulai terapi add-back sampai
nyeri dapat diatasi, bukti-bukti menunjukkan bahwa penundaan terapi add-back
tidak perlu pada sebagian besar wanita.

Nyeri dan dispareuni yang berhubungan dengan endometriosis yang


menginfiltrasi dalam yang melibatkan septum rektovagina dapat ditangani secara
efektif dengan terapi medikamentosa tetapi gejala rekuren hampir pasti terjadi
kecuali terapi dilanjutkan secara pasti.

Nyeri dengan intensitas yang lebih kecil atau sama dapat terjadi lagi segera
setelah penghentian terapi medikamentosa; angka rekurensi setidaknya sebesar
10-20% per tahun. Keseluruhan ngka rekurensi kumulatif selama 5 tahun setelah
terapi dengan agonis GnRH adalah sekitar 55%, lebih kecil untuk wanita dengan
endometriosis minimal dan ringan (37%) dibandingkan dengan mereka yang
memiliki endometriosis advanced (74%). Angka rekurensi untuk nyeri setelah
terapi dengan danazol, progestin, atau kontrasepsi oral adalah mirip. Respon

36
terhadap re-terapi dengan progestin atau agonis GnRH untuk nyeri rekuren pada
umumnya sebanding dengan apa yang dicapai dengan paket terapi pertama.
Karena paket berulang atau jangka panjang dari terapi medikamentosa dengan
agonis GnRH berisiko kehilangan massa tulang progresif, pengukuran densitas
tulang adalah bijaksana, bahkan ketika diberikan juga terapi add-back.

Hasil-hasil Terapi Medikamentosa ― Fertilitas


Penelitian-penelitian mengenai terapi medikamentosa terhadap fertilitas harus
mempertimbangkan bahwa sebagian besar wanita dengan endometriosis dan
infertilitas tidak steril, hanya subfertil; mereka dapat hamil tetapi memang dengan
kurang efisien. Idealnya, kesuburan siklus sepanjang interval waktu yang telah
ditentukan akan dibandingkan dengan kesuburan pada sebuah grup wanita yang
terkena endometriosis yang sama tetapi tidak diterapi. Sayangnya, semua terapi
medikamentosa yang ada untuk endometriosis menghambat ovulasi. Akibatnya,
fertilitas ada tetapi dihilangkan selama terapi dan hanya dapat dievaluasi
sepanjang interval setelah penghentian terapi.

Sejumlah percobaan random terkontrol telah membandingkan satu regimen terapi


dengan regimen lainnya, dengan plasebo, atau dengan yang tidak diberi apa-apa.
Ditarik kesimpulan, tidak ada bukti substansial bahwa terapi medis tradisional
dapat memperbaiki fertilitas pada wanita endometriosis yang infertil. Selain itu,
karena waktu yang hilang selama terapi, terapi medikamentosa bahkan dapat
memiliki efek merugikan pada fertilitas, khususnya pada wanita tua yang
memiliki jendela harapan yang cepat mengecil. Mungkin terdapat subset wanita
infertil yang mana terapi medikamentosa dapat memperbaiki fertilitas tetapi pada
saat ini tidak ada cara untuk mengidentifikasi mereka-mereka yang mungkin dapat
mengambil keuntungan tersebut.

Ringkasan

37
Pilihan terapi medikamentosa yang ada untuk wanita dengan nyeri yang
berhubungan dengan endometriosis meliputi danazol, progestin, kontrasepsi oral
siklik atau kontinyu, agonis GnRH, dan gestrinone. Semua bukti yang tersedia
mengindikasikan bahwa mereka sama efektif dan bahwa tidak ada satu terapi
yang terbaik; pengurang nyeri, angka kehamilan setelahnya, dan angka rekurensi
adalah mirip untuk semua bentuk terapi medik. Satu bentuk terapi dapat terbukti
efektif dalam pengurang nyeri ketika yang lain telah gagal. Akibatnya, pilihan
terapi sebaiknya ditentukan berdasarkan biaya dan efek samping. Danazol
memiliki efek samping androgenik yang membatasi kegunaan klinisnya.
Kontrasepsi oral pada umumnya dapat ditoleransi dengan baik; perdarahan
episodik lebih sering dengan terapi kontinyu dibandingkan dengan siklik.
Progestin dapat menyebabkan penambahan berat badan, perdarahan dan depresi,
khususnya pada dosis tinggi. Terapi dengan agonis GnRH menyebabkan keadaan
hipogonad dengan gejala hot flushes, atrofi genitourinaria, dan deplesi mineral
tulang. Terapi add-back dengan progestin-saja atau dalam kombinasi dengan
estrogen dosis rendah dapat mencegah kehilangan massa tulang tanpa mengurangi
efektivitas keseluruhan dari terapi agonis GnRH; regimen yang mengandung
estrogen juga efektif dalam mencegah kekeringan vagina. Tidak ada bukti
substansial bahwa terapi medik endometriosis meningkatkan fertilitas.

Terapi Bedah
Tujuan terapi bedah untuk endometriosis adalah untuk menjaga hubungan
anatomik normal, untuk mengeksisi atau menghancurkan semua endometriosis
yang terlihat sampai tingkat yang memungkinkan, dan untuk mencegah atau
menunda rekurensi penyakit. Bagi wanita yang mengharapkan mempertahankan
atau menjaga fertilitas yang memiliki endometriosis moderat atau berat, yang
medistorsi anatomi reproduksi, bedah merupakan terapi pilihan karena terapi
medikamentosa tidak dapat mencapai tujuan tersebut. Ketika endometriosis tidak
berat, terapi medikamentosa dapat secara efektif mengontrol nyeri pada mayoritas
wanita tetapi tidak memiliki efek pada fertilitas; bedah setidaknya sama efektif

38
dengan terapi medikamentosa dalam mengurangi nyeri dan juga dapat
meningkatkan fertilitas.

Walaupun bedah untuk terapi endometriosis dapat dilakukan via laparotomi atau
laparoskopi, perkembangan teknis dalam instrumentasi dan teknik operasi
memungkinkan pendekatan endoskopik pada semua wanita kecuali pada mereka
yang memerlukan enterolisis ekstensif atau reseksi usus; ahli bedah yang sangat
terlatih dapat mencapai tujuan-tujuan ini via laparoskopi. Laparoskopi
menawarkan keuntungan visualisasi yang lebih baik, trauma jaringan dan desikasi
yang lebih kecil, insisi yang lebih kecil, dan penyembuhan postoperatif yang lebih
cepat. Adhesi dan komplikasi postoperatif dapat juga lebih kecil daripada mereka
yang menjalani laparotomi. Yang lebih penting, hasil-hasil yang dicapai dengan
laparoskopi adalah seimbang dengan atau lebih baik dibandingkan yang
ditemukan setelah laparotomi.

Implan endometriosis peritoneal dapat diablasi dengan instrumen


elektrosurgical unipolar atau bipolar atau laser atau dieksisi menggunakan
diseksi tajam. Opini-opini yang berkaitan dengan superioritas salah satu metode
diatas yang lain sangat dicari tetapi tidak dibuktikan oleh hasil-hasil perbandingan
langsung. Mereka yang memilih eksisi diatas ablasi menekankan bahwa, karena
kedalaman penyakit dan ablasi tidak dapat ditentukan, risiko bahwa terapi
mungkin tidak adekuat adalah lebih besar ketika endometriosis diablasi daripada
ketika dieksisi. Adhesi yang berhubungan dengan endometriosis yang mendistorsi
anatomi reproduksi harus dieksisi, walaupun pembentukan kembali adhesi terjadi
pada sebagian besar kasus. Eksisi lebih dipilih dibandingkan dengan lisis
sederhana karena adhesi akan sering mengandung endometriosis. Mengikuti
dengan ketat prinsip-prinsip mikrosurgikal yang mengatur operasi pelvik
rekonstruktif sebelum adanya temuan teknik laparoskopi modern meningkatkan
outcome operatif―penggunaan perbesaran, trauma jaringan dan jahitan yang
minimal, dan hemostasis yang sangat teliti.

39
Manajemen bedah yang optimal dari endometrioma ovarium entah bagaimana
menjadi kontroversial. Endometrioma telah diterapi dengan wedge ressection,
stripping, dan drainase dengan dan tanpa ablasi dinding dalam kista. Hasil
penelitian laparoskopik second-look sangat menunjukkan bahwa penyakit
ovarium yang dalam, cenderung berkurang setelah kistektomi atau fenestrasi
dan ablasi dibandingkan setelah drainase saja. Angka re-operasi juga lebih
rendah setelah dilakukan kistektomi dibandingkan setelah drainase tanpa ablasi.
Anjuran untuk drainase dan ablasi menunjukkan bahwa prosedur ini dapat lebih
mempertahankan jaringan ovarium fungsional dibandingkan dengan kistektomi,
tetapi penelitian-penelitian mengenai respon ovarium terhadap stimulasi
gonadotropin eksogen setelah kistektomi pada wanita dengan endometrioma telah
mengurangi anjuran tersebut. Penelitian second-look juga menunjukkan bahwa
adhesi adnexa postoperatif lebih cenderung terjadi setelah wedge ressection
dibandingkan dengan terapi bedah yang lain dan pada wanita yang operasi
awalnya juga melibatkan adhesiolisis. Angka rekurensi endometrioma setelah
kistektomi laparoskopi adalah sekitar 7%.

Presacral neurectomy dan laparoscopic uterosacral nerve ablation (LUNA) telah


dianjurkan untuk manajemen dismenorrhea dan nyeri pelvik sentral yang
berhubungan dengan endometriosis. Presacral neurectomy melibatkan cara
pemutusan inervasi simpatis uterus pada tingkat pleksus hipogastrik superior, dan
LUNA melibatkan perusakan dari bagian tengah ligamentum sakrouterina.
Kesimpulannya, hasil-hasil percobaan terkontrol tidak memberikan bukti yang
memaksa bahwa prosedur-prosedur ini menambah nilai operasi konservatif.
Risiko untuk komplikasi operatif dan disfungsi usus atau kandung kemih
postoperatif, walaupun relatif kecil, juga cukup nyata dan dapat sangat
mengganggu. Kandidat untuk neurektomi presakral dan LUNA harus dipilih
dengan teliti dan diberikan konsultasi dengan hati-hati.

Endometriosis yang menginfiltasi dalam yang melibatkan septum rektovaginal


membutuhkan operasi yang ekstensif. Karena penyakit pada lokasi ini biasanya

40
melibatkan otot polos seperti juga kelenjar endometrium, dan sedikit stroma,
beberapa melihatnya sebagai hal yang benar-benar berbeda, sebagai suatu nodul
dari adenomiosis yang muncul karena metaplasia pada sisa-sisa duktus müllerian
daripada endometriosis yang meluas kebawah dari permukaan peritoneum. Bedah
melibatkan diseksi menyeluruh dan paparan terhadap rektum anterior, vagina
posterior, dan penyakit noduler. Seringkali, sebagian vagina posterior harus
dieksisi, dan kadangkala sebagian pendek segmen rektum harus direseksi,
kemudian diikuti dengan anastomosis.

Pada wanita dengan penyakit simptomatik yang advanced yang telah memutuskan
tidak memiliki anak lagi dan pada wanita yang terapi bedah konservatif serta
medikamentosa gagal, terapi bedah radikal (histerektomi dan salpingo-
ooforektomi bilateral) patut mendapat perhatian dan diskusi yang serius. Pada
wanita terseleksi yang tidak memiliki penyakit ovarium signifikan, dapat
dipikirkan histerektomi-saja, walaupun risiko penyakit rekuren yang memerlukan
terapi tambahan adalah sekitar 6 kali lebih tinggi jika dibandingkan ketika
ooforektomi tidak dilakukan.

Hasil dari Terapi Bedah―Nyeri


Hanya satu percobaan random terkontrol yang membandingkan hasil operasi
laparoskopik dengan mereka yang tidak diberi terapi sama sekali, yang diberi
terapi lainnya, atau plasebo dalam manajemen nyeri pelvis yang berhubungan
dengan endometriosis. Enam bulan setelah operasi laparoskopik, nyeri
dihilangkan atau disembuhkan pada lebih dari 60% wanita yang menerima terapi
laser pada penyakit mereka (minimal, ringan, atau moderat) dan pada kurang dari
25% wanita yang penyakitnya tidak diablasi. Setelah rata-rata lebih dari 6 tahun
setelah operasi, follow-up pada lebih dari dua pertiga wanita pada penelitian awal
menemukan nyeri rekuren pada hampir 75% subjek dengan median interval
rekurensi mendekati 20 bulan (berkisar 5-60 bulan), tetapi penyembuhan nyeri
sangat memuaskan pada lebih dari 50% wanita; setengahnya lagi yang tidak
mencapai pengurangan nyeri yang memuaskan telah memilih terapi bedah

41
definitif. Walaupun penelitian tersebut tidak cukup besar untuk memberikan hasil
konklusif, data-data ini mewakili bukti terbaik yang tersedia untuk efektivitas
operasi laparoskopik dalam mengurangi nyeri pelvik. Percobaan tanpa kontrol
lainnya telah menemukan kesuksesan dalam mencapai pengurangan nyeri pada
70-100% wanita dengan endometriosis. Sayangnya, seperti dengan terapi
medikamentosa, penyakit dan nyeri yang rekuren setelah terapi bedah konservatif
seringkali menjadi aturan dibandingkan dengan pengecualian; gejala kembali
timbul pada setidaknya 10-20% wanita yang diterapi setiap tahunnya. Insiden
penyakit rekuren mungkin lebih tinggi setelah terapi bedah pada fase lutetal
dibandingkan pada fase folikuler karena sel endometrium yang mengalami refluks
mungkin lebih cenderung untuk menempel pada lokasi trauma peritoneum yang
belum menyembuh ketika interval sejak operasi sampai menstruasi berikutnya
adalah pendek.

Dengan tidak melihat pendekatan bedah mana yang digunakan untuk terapi
endometriosis ovarium, pengurangan nyeri segera setelah operasi telah dicapai
pada 60-100% wanita. Bagaimanapun, bukti menunjukkan bahwa kistektomi
dapat memberikan pengurangan nyeri yang lebih lama dibandingkan drainase plus
ablasi terhadap dinding kista. Pada suatu studi, angka rekurensi kumulatif 24-
bulan untuk dismenorrhea, dispareunia dalam, dan nyeri pelvik intermestrual lebih
rendah secara substansial dan median interval antara operasi dengan rekurensi
nyeri adalah lebih panjang setelah kistektomi yang berhasil (dengan stripping)
dibandingkan setelah drainase dan koagulasi dinding internal.

Kandidat untuk presacral neurectomy dan LUNA meliputi wanita dengan nyeri
pelvic midline yang berat dan dismenorrhea yang tidak berespon terhadap terapi
medikamentosa atau terapi bedah konservatif sebelumnya. Hasil dari sejumlah
percobaan random terkontrol yang telah memeriksa outcome setelah dua prosedur
tersebut menunjukkan bahwa prosedur tersebut dapat efektif untuk mengurangi
dismenorrhea dan nyeri midline yang berkaitan dengan menstruasi, tetapi tidak
pada semua wanita, dan menawarkan sedikit keuntungan untuk gejala dispareunia

42
dan nyeri intermenstrual. Disfungsi usus atau kandung kemih setelah operasi tidak
umum terjadi tetapi bukan merupakan komplikasi yang jarang terjadi akibat
prosedur ini. Dengan memperhatikan keuntungan yang tidak pasti dan risiko yang
mungkin terjadi, presacral neurectomy atau LUNA rutin pada saat bedah
konservatif tidak dapat direkomendasikan, kedua prosedur tadi sebaiknya
disimpan untuk individu yang benar-benar diseleksi.

Dengan tidak melihat apakah seseorang memikirkan penyakit rektovaginal


sebagai endometriosis infiltrasi dalam atau sebagai adenomiosis fokal yang
muncul karena metaplasia, eksisi bedah terhadap lesi pada umumnya mencapai
hasil sangat bagus jika dilakukan ahli yang berpengalaman. Selama 3 tahun lebih,
angka rekurensi postoperatif untuk dismenorrhea, dispareunia dalam, dan nyeri
pelvik berkisar antara 15-30% dan sangat rendah ketika vagina atau rektum yang
terlibat juga diangkat.

Histerektomi dan ooforektomi bilateral sangat efektif dalam mencapai


pengurangan nyeri yang berhubungan dengan endometriosis ketika terapi
medikamentosa gagal dan terapi bedah konservatif tidak tepat atau tidak sukses.
Walaupun sering dipikirkan sebagai terapi “definitif” untuk endometriosis,
penyakit ini dapat membandel menetap atau kembali terjadi pada beberapa
wanita. Faktor risiko terjadinya penyakit dan nyeri yang presisten atau rekuren
adalah ovarium yang dipertahankan, eksisi inkomplit terhadap lesi, dan terapi
estrogen yang tidak dikombinasi setelah operasi pada wanita dengan penyakit
ekstensif atau residual. Bagaimanapun, ketika semua endometriosis yang terlihat
diangkat, risiko untuk nyeri rekuren pada wanita yang menerima terapi hormon
segera atau tertunda, adalah mirip. Ovarian remnant syndrome melibatkan
penyakit dan nyeri yang persisten atau rekuren yang berhubungan dengan sisa
jaringan ovarium fungsional. Sindrome ini tidak jarang dan terjadi paling sering
ketika ovarium membesar atau menempel erat pada dinding samping pelvis dan
diseksi secara teknis sulit dilakukan.

43
Hasil dari Terapi Bedah―Fertilitas
Efek operasi pada fertilitas wanita dengan endometriosis minimal dan ringan telah
diteliti pada dua percobaan random terkontrol. Awalnya, sebuah percobaan
multisenter di Kanada, wanita (n=341) dengan infertilitas yang belum terjelaskan
yang menjalani laparoskopi dengan temuan endometriosis minimal atau ringan
diacak untuk menerima terapi (eksisi atau ablasi penyakit) atau dengan
manajemen menunggu dan diikuti selama 36 minggu atau sampai 20 minggu
kehamilan jika kehamilan terjadi pada saat interval follow-up. Peluang kehamilan
pada wanita yang diterapi adalah dua kali dibandingkan wanita yang tidak diterapi
(OR=2.03, CI=1.28-3.24). Secara keseluruhan, 50/172 (29%) wanita yang diacak
untuk menerima terapi mendapatkan kehamilan, dibandingkan dengan 29/169
(17%) dari mereka yang hanya menunggu, memberikan nilai efek terapi sebesar
0,12 dan jumlah yang perlu diterapi (1/0.12) yaitu 8.3, dibulatkan keatas menjadi
9. Hasil tersebut menunjukkan bahwa sekitar 9 wanita infertil dengan
endometriosis minimal atau ringan harus menjalani terapi bedah untuk
mencapai satu kehamilan lagi, efek yang kecil tapi cukup penting.
Bagaimanapun, pada sebuah percobaan yang lebih kecil di Italia dengan desain
yang mirip (n=96), tidak ada perbedaan yang ditemukan antara terapi dan tanpa
terapi. Sebuah meta-analisis yang mengkombinasikan data dari dua penelitian
menyimpulkan bahwa terapi bedah untuk endometriosis minimal dan ringan dapat
meningkatkan fertilitas (OR=1.64, CI=1.05-2.57).

Walaupun tidak ada penelitian yang membandingkan efektivitas terapi bedah


dengan yang tidak diterapi atau dengan terapi medikamentosa pada wanita infertil
dengan endometriosis moderat sampai berat, angka kehamilan kumulatif 1-3
tahun setelah terapi bedah adalah sekitar 50% untuk wanita dengan
endometrioma, dan sekitar 30% untuk wanita dengan obliterasi komplit cul-de-sac
pada berbagai serial kasus. Angka kesuksesan kumulatif ini lebih rendah tetapi
tidak jauh lebih rendah dibandingkan yang ditemukan pada wanita infertil dengan
penyakit minimal dan ringan yang diterapi bedah (44-62%) dan, secara intuisi,
signifikan lebih tinggi jika dibandingkan dengan yang dibayangkan pada tanpa

44
terapi mengingat bahwa sebagian besar wanita dengan endometriosis moderat
sampai berat memiliki anatomi reproduksi yang sangat terdistorsi. Penggunaan
barier adhesi mengurangi pembentukan adhesi setelah terapi bedah pda wanita
infertil, tetapi tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa barier adhesi atau strategi
pencegahan adhesi yang lain meningkatkan angka kehamilan setelah terapi bedah.

Terapi Medikamentosa Perioperatif


Nilai terapi medikamentosa preoperatif dan postoperatif dalam manajemen
endometriosis moderat dan berat telah menunjukkan hasil kontroversial. Beberapa
menganjurkan terapi medik perioperatif dengan agonis GnRH, mempercayainya
dapat memberikan keuntungan termasuk penurunan volume penyakit yang
memerlukan terapi bedah, eliminasi kista ovarium fungsional yang dapat
memberikan masalah teknis, kenyamanan yang lebih dalam penjadwalan operasi,
dan keseluruhan outcome yang lebih baik. Bagaimanapun, dengan kemungkinan
pengecualian endometriosis rektovaginal dalam dimana terapi medik perioperatif
dapat menurunkan kecenderungan penyakit dan gejala rekuren, tidak terdapat
bukti yang menyakinkan bahwa terapi medik sebelum operasi meningkatkan
kontrol nyeri atau fertilitas dibandingkan dengan terapi bedah-saja.

Terapi medik supresi postoperatif bahkan lebih kontroversial. Sementara beberapa


penelitian telah menemukan interval bebas nyeri yang lebih panjang atau angka
kehamilan yang lebih tinggi ketika terapi bedah diikuti dengan sebuah interval
pemberian terapi medik supresif, berbagai studi lainnya telah tidak menemukan
ada perbedaan antara prevalensi nyeri rekuren atau angka kehamilan 1-3 tahun
setelah operasi pada wanita yang menerima dan tidak menerima terapi medik
postoperatif. Dengan memperhatikan bahwa angka kehamilan yang paling tinggi
setelah bedah konservatif pada wanita infertil pada umumnya ditemukan pada satu
tahun setelah operasi, sebagian besar klinisi enggan untuk menggunakan terapi
medik yang akan mencegah kehamilan setelah terapi bedah. Ketika tujuan utama
terapi bedah untuk endometriosis adalah bebas dari nyeri dan kehamilan
bukan merupakan tujuan segera, terapi medik postoperatif mungkin memiliki

45
nilai, khususnya pada wanita dengan penyakit ekstensif dan mereka dengan
penyakit residual yang tidak dapat dieksisi secara komplit.

Setelah terapi bedah konservatif untuk endometriosis pada wanita infertil, pilihan
antara manajemen menunggu dan terapi aktif harus memperhitungkan usia, hasil
operasi, dan pengaruh serta keparahan dari faktor-faktor infertilitas lainnya.
Dengan memperhatikan kesuburan yang secara pelan-pelan meningkat pada
wanita dengan endometriosis minimal dan ringan setelah terapi operasi, wanita
muda dengan penyakit yang terbatas atau infertilitas yang tidak terjelaskan dapat
diterapi secara ekspektan dalam durasi yang relatif singkat, tetapi tidak lebih dari
6-9 bulan. Pendekatan yang lebih agresif yang melibatkan terapi empiris segera
dengan kombinasi clomiphene citrate atau gonadotropin eksogen dan inseminasi
intrauterin atau bahkan IVF diberikan pada mereka dengan durasi infertilitas atau
endometriosis yang lebih advanced dan pada wanita tua.

Setelah operasi radikal (histerektomi dan salpingo-ooforektomi bilateral) untuk


endometriosis persisten atau rekuren, terapi hormonal dapat dimulai secepatnya
pada sebagian besar wanita dengan risiko yang diabaikan adanya induksi
pertumbuhan penyakit residual dan gejala rekuren. Bagaimanapun, pada mereka
dengan penyakit ekstensif, sebuah interval tanpa terapi hormon atau satu terapi
progestin-saja adalah bijaksana. Progestin (medroxyprogesterone acetate 20 mg
tiap hari, norethindrone 5-q0 mg tiap hari) dapat memiliki nilai baik untuk efek
supresif langsungnya pada fokus residual endometriosis dan pengurangan
terhadap gejala vasomotor yang tidak dapat dihindarkan lainnya yang menyertai
pengangkatan ovarium. Terapi kombinasi estrogen-progestin dosis rendah sangat
direkomendasikan dibandingkan terapi dengan estrogen saja; walaupun uterus
tidak ada, karena berbagai hasil penelitian melaporkan adanya adenokarsinoma
yang muncul dari endometriosis pada wanita yang diterapi dengan estrogen yang
tidak dikombinasi, tidak dapat diabaikan.

Ringkasan

46
Penerimaan terapi bedah untuk implan peritoneal dari endometriosis meliputi
ablasi atau eksisi dari semua penyakit ketika memungkinkan; eksisi menawarkan
keuntungan tambahan spesimen jaringan untuk konfirmasi diagnosis dengan
histopatologi. Endometrioma ovarium paling baik diterapi dengan kistektomi atau
dengan fenestrasi plus ablasi dinding internal dari kista. Endometriosis
rektovagina dalam memerlukan terapi bedah ekstensif dan paling baik ditangani
hanya oleh ahli bedah yang paling terlatih dan berpengalaman. Efektivitas terapi
bedah untuk kontrol nyeri yang berhubungan dengan endometriosis ringan
sebanding dengan terapi medikamentosa, tetapi terapi bedah menawarkan hasil
jangka panjang yang lebih baik untuk wanita dengan endometrioma atau penyakit
infiltratif yang dalam. Terapi bedah meningkatkan fertilitas pada wanita dengan
endometriosis moderat dan berat dan mungkin pada wanita dengan penyakit yang
minimal dan ringan sampai batas tertentu. Terapi medik postoperatif tidak terbukti
bernilai kecuali pada wanita dengan penyakit yang dalam yang melibatkan cul-de-
sac atau septum rektovagina dimana ini mungkin meningkatkan outcome. Terapi
medik postoperatif dapat menunda rekurensi penyakit dan gejala dan menjamin
adanya perhatian pada wanita dengan penyakit ekstensif atau residual tetapi
umumnya tidak menawarkan nilai tambahan untuk wanita infertil. Setelah terapi
bedah, angka rekurensi endometriosis adalah sekitar 10-20% per tahun.
Histerektomi dan salpingo-ooforektomi sangat efektif ketika manajemen
medikamentosa gagal dan terapi bedah konservatif tidak berhasil atau tidak
diperlukan. Terapi kombinasi estrogen-progestin dosis rendah merupakan bentuk
terapi hormon postmenopause yang disukai setelah operasi radikal.

Pencegahan terhadap Infertilitas


Diagnosis endometriosis pada wanita muda yang menjalani laparoskopi
diagnostik untuk keluhan dismenorrhea yang refrakter terhadap terapi
medikamentosa atau nyeri pelvik relatif sering dan banyak atau bahkan sebagian
besar dari mereka tidak meiliki perhatian segera mengenai kehamilan. Setelah
terapi bedah, wanita yang demikian sebaiknya diberikan konseling dengan teliti,
meliputi penjelasan menyeluruh mengenai penyakit, insidensinya yang tinggi

47
untuk rekurensi dan tendensi terjadinya progresi, dan pengaruh potensialnya
terhadap fertilitas yang akan datang

Diantara wanita yang mencari layanan keluarga berencana dan memilih untuk
menggunakan kontrasepsi oral, risiko endometriosis berkurang pada mereka yang
sedang atau baru saja mengkonsumsi pil. Akibatnya, pada wanita dengan
endometriosis ringan, terapi profilaksis dengan kontrasepsi oral yang ditujukan
untuk menurunkan risiko penyakit rekuren membutuhkan perhatian serius, bahkan
untuk wanita yang tidak memerlukan kontrasepsi. Wanita dengan penyakit yang
lebih advanced adalah kandidat untuk terapi medikamenstosa postoperatif yang
lebih agresif dengan progestin atau agonis GnRH, diikuti dengan kontrasepsi
kombinasi estrogen-progestin. Tidak ada alasan untuk memikirkan bahwa produk
kontrasepsi estrogen-progestin transdermal dan transvaginal tidak akan sama
efektif. Amenorrhea yang dicapai dengan penggunaan kontrasepsi oral secara
kontinyu menunjukkan bahwa terapi kontinyu lebih efektif dibandingkan
penggunaan kontrasepsi siklik untuk tujuan profilaksis, tetapi tidak ada bukti
langsung yang mengindikasikan demikian. Follow-up reguler yang teliti, waspada
terhadap kemungkinan endometriosis rekuren, membantu dalam deteksi dini dan
menyediakan kesempatan untuk intervensi lebih jauh yang akan menurunkan
risiko penyakit progresif. Sementara usaha aktif untuk hamil sebaiknya jangan
pernah disarankan pada wanita yang tidak siap secara penuh untuk hamil, mereka
yang merencanakan kehamilan pada masa yang akan datang disarankan dengan
baik untuk berusaha hamil pada umur termuda yang paling memungkinkan.

48

Anda mungkin juga menyukai