Patogenesis Endometriosis
Lesi peritoneal yang saat ini kita kenal sebagai endometriosis pertama kali
disebutkan dalam literatur kedokteran pada tahun 1980an. Bagaimanapun,
penyakit ini mungkin akan selalu dikaitkan dengan John Sampson yang pada
tahun 1921 menjelaskan suatu serial kista ovarium hemoragis yang mengalami
perforasi yang dia sebut “kista coklat”, menemukan istilah “endometriosis” untuk
menjelaskan lesi-lesi peritoneal yang pertama kali dilihatnya sebagai benih–benih
yang diturunkan dari penyakit di ovarium. Artikel klasiknya yang mengajukan
bahwa endometriosis “dikarenakan oleh diseminasi menstruasi dari jaringan
endometrium kedalam ruang peritoneum” diterbitkan pada tahun 1927. Walaupun
tidak ada mekanisme tunggal yang dapat menjelaskan semua kasus endometriosis,
berbagai bukti mendukung teori Sampson mengenai menstruasi retrograde dan
implantasi jaringan endometrium yang viabel sebagai mekanisme primer yang
terlibat dalam patogenesis endometriosis.
• Ketika laparoskopi dilakukan pada saat menstruasi, darah dapat ditemukan
dalam cairan peritoneal pada 75-90% wanita dengan tuba falopii patent.
1
• Sel-sel endometrium viabel yang diambil dari cairan peritoneal pada saat
menstruasi dapat ditumbuhkan pada kultur sel dan dapat menempel dan
melakukan penetrasi pada permukaan mesotelial peritoneum.
• Endometriosis lebih prevalen pada wanita dengan anomali mülleri yang
menutup dibandingkan pada wanita dengan malformasi yang tidak menutupi
aliran keluar menstruasi.
• Insiden endometriosis meningkat pada wanita dengan menarche dini, siklus
menstruasi yang pendek, atau menorrhagia.
• Endometriosis lebih sering dijumpai pada bagian dependen dari pelvis, paling
sering pada ovarium, kemudian diikuti oleh cul-de-sac anterior dan posterior,
ligamentum sakrouterina, uterus posterior, dan posterior broad ligament.
• Endometriosis eksperimental dapat diinduksi pada primata (yang bukan
manusia) setelah menstruasi peritoneal yang diinduksi dengan operasi atau
setelah injeksi endometrium menstruasi di retroperitoneal, dan pada wanita
yang menerima injeksi peritoneal berisi jaringan menstruasinya.
2
• Endometriosis pernah ditemukan pada gadis premenarkhe, pada wanita yang
sama sekali belum pernah menstruasi, dan juga pada gadis remaja yang
memiliki siklus menstruasi yang jarang.
• Karena sel-sel endometrium intak tidak memiliki akses ke thorax pada
keadaan tidak adanya defek anatomis, teori implantasi tidak dapat
menjelaskan kasus-kasus endometriosis pleura dan pulmonal (dimana hampir
semuanya terjadi pada sisi kanan). Metaplasia didalam pleura (yang
diturunkan dari epitel coelomic seperti peritoneum dan duktus müllerian),
yang diinduksi oleh hormon-hormon steroid atau rangsang kimiawi yang
dilepaskan oleh sel-sel endometrium yang mengalami degenerasi kedalam
cairan peritoneal (yang menghubungkan dengan ruang thorax melalui
hemidiafragma kanan), merupakan mekanisme yang masuk akal.
• Metaplasia pada epitelium coelomic yang mengalami misintegrasi (didekat
mesenchymal limb buds (tunas mesenkim tungkai) pada saat embriogenesis
awal) merupakan satu-satunya mekanisme yang dapat menjelaskan
endometriosis pada lokasi perifer yang tidak lazim seperti ekstremitas (jempol,
betis, lutut).
• Kasus endometriosis yang jarang, telah ditemukan pada pria yang diterapi
dengan estrogen dosis tinggi (kandung kemih, dinding abdomen).
• Sel epitelium dan stroma permukaan ovarium, yang dikultur dengan estradiol
pada latex gel kolagen tiga dimensi membentuk kelenjar dan stroma
endometrium.
• Endometrium eutopik (didalam uterus) dan ektopik (diluar uterus) sangat
berbeda, baik secara morfologi dan fungsional, sebuah fakta yang entah
bagaimana sulit untuk menyesuaikan dengan penekanan bahwa implan
endometriotik mewakili autotransplantasi jaringan endometrium normal.
Tetap saja mekanisme lain mungkin diminta untuk menjelaskan beberapa kasus
endometriosis ekstrapelvis. Walaupun metaplasia coelomic mungkin dapat
menjelaskan endometriosis di pelvis, kavitas thorax, traktus urinarius dan traktus
digestivus, kanalis inguinalis, dan umbilikus, bukti-bukti mengindikasikan bahwa
3
transport sel endometrium secara vaskuler atau limfatik dapat juga berperan.
Transplantasi langsung yang tidak disengaja dari jaringan endometrium pada saat
seksio sesarea, operasi pelvis lainnya, atau repair episiotomi tampaknya
merupakan penjelasan yang paling masuk akal untuk endometriosis yang
ditemukan pada jaringan parut bekas operasi dan di perineum.
4
terkena dan orangtua mereka, telah diatur untuk mengidentifikasi gen-gen yang
dapat memberikan kerentanan untuk terjadinya endometriosis. Sebuah website
(http://www.well.ox.ac.uk/~krinaz/genepi_endo.htm) telah dibuat dengan tujuan
untuk menyediakan informasi dan membantu riset dengan mengumpulkan
hipotesis patogenik, bukti gen kandidat, dan data genomik yang relevan.
Abnormalitas pada pola ekspresi molekul adhesi sel pada endometrium eutopic
pada wanita dengan endometriosis telah dijelaskan, dan bermakna dalam
5
implantasi peritoneal dari endometrium ektopik, tetapi belum ada bukti langsung
untuk mekanisme tersebut.
6
menghasilkan prostaglandin (PG) E2, suatu stimulator aromatase yang poten pada
sel stroma yang diturunkan dari endometriosis, yang maka dari itu menghasilkan
feed-forward atau lengkung feedback positif untuk produksi estrogen lokal yang
berkelanjutan.
Ringkasan
Jaringan endometriotik menampilkan sejumlah abnormalitas molekuler yang
berhubungan dengan produksi dan metabolisme estrogen. Aktivitas aromatase
abnormal yang distimulasi lebih jauh oleh produksi PGE 2 lokal yang diinduksi
estrogen, ekspresi 17βHSD tipe 1 yang normal dan absennya aktivitas 17βHSD
tipe 2 karena absennya ekspresi PR-B, bergabung untuk meningkatkan
konsentrasi estrogen lokal yang dapat membantu memastikan dan mengawali
penyakit.
7
Imunobiologi Endometriosis
Makrofag merupakan elemen kunci respon imun bawaan, bagian dari sistem imun
yang tidak antigen-specific dan tidak melibatkan memori imunologi. Makrofag
mempertahankan host dengan cara pengenalan, fagositosis, dan destruksi
mikroorganisme yang melawan dan juga berperan sebagai pembersih sampah,
membantu untuk membersihkan sel yang mengalami apoptosis dan juga debris
seluler. Makrofag mensekresi berbagai sitokin, faktor pertumbuhan, enzim, dan
prostaglandin yang membantu untuk memediasi fungsi mereka sendiri sementara
juga menstimulasi pertumbuhan dan proliferasi tipe sel lain. Makrofag merupakan
inhabitant normal dari cairan peritoneal dan jumlah serta aktivitasnya sangat
meningkat pada wanita dengan endometriosis. Disamping berperan sebagai
pembersih sampah untuk mengeliminasi sel endometrium ektopik, makrofag
peritoneal yang teraktivasi beserta monosit yang beredar pada wanita dengan
endometriosis dapat mengawali penyakit dengan mensekresi growth factor dan
sitokin yang menstimulasi proliferasi endometrium ektopik dan menghambat
fungsi pembersihnya.
Sel natural killer merupakan komponen penting lainnya dalam sistem dan fungsi
imun bawaan melalui dua cara. Sel natural killer memiliki reseptor untuk
8
immunoglobulin G (IgG) dan membunuh sel yang menempel pada IgG melalui
proses yang dikenal sebagai antibody-dependent cellular cytotoxicity. Sel-sel
natural killer juga memiliki reseptor aktivasi killer dan reseptor inhibitor killer
yang ketika digunakan, dapat mengarahkan atau menghambat aktivitas
sitotoksisitas. Sementara penelitian-penelitian yang mempelajari jumlah sel
natural killer peritoneal pada wanita dengan endometriosis telah menghasilkan
hasil-hasil yang saling berlawanan, mereka yang meneliti fungsi sel natural killer
secara konsisten menemukan penurunan aktivitas sitotoksik yang lebih jelas
terlihat pada wanita dengan stadium penyakit yang lebih berat. Satu dari
mekanisme yang bertanggungjawab tampaknya melibatkan ekspresi berlebihan
dari reseptor inhibitor killer pada baik sel natural killer perifer dan peritoneal pada
wanita dengan endometriosis.
Sitokin dan growth factor merupakan keluarga besar dari protein dan glikoprotein
terlarut yang disekresi oleh leukosit dan sel lainnya kedalam lingkungan
ektraseluler dimana mereka bekerja pada sel yang sama (autocrine) atau sel
didekatnya (paracrine), melayani sebagai messenger baik didalam maupun diluar
sistem imun dalam regulasi kemotaksis, mitosis, angiogenesis, dan diferensiasi.
Sementara suatu respon imun seluler yang terganggu dapat menyebabkan klirens
yang tidak efektif dari sel endometrium yang mengalami refluks pada ruang
peritoneal, sitokin dan growth factor justru mengawali implantasi dan
9
pertumbuhan endometrium ektopik dengan cara memfasilitasi penempelannya
pada permukaan peritoneum dan dengan menstimulasi proliferasi dan
angiogenesis.
Interleukin-1 merupakan sitokin yang terlibat dalam inflamasi dan respon imun
dan disekresi oleh monosit dan makrofag teraktivasi, limfosit-T dan-B, dan sel
natural killer. Interleukin-1 telah diidentifikasi dalam cairan peritoneal wanita
dengan endometriosis dan ekspresi reseptor interleukin-1 meningkat pada sel
stroma yang diturunkan dari endometriosis. Interleukin-1 dapat mengawali
perkembangan endometriosis dengan cara menstimulasi pelepasan faktor-faktor
angiogenik (vascular endothelial growth factor, interleukin-6, interleukin-8) dan
dengan membantu sel endometrium yang memasuki ruang peritoneal untuk
meloloskan diri dari imunosurveilans dengan menginduksi pelepasan bentuk
terlarut dari intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) dari sel-sel
endometriotik, yang berkompetisi untuk lokasi pengenalan imun pada sel natural
killer dan sel imun lainnya.
10
meningkat pada endometrium ektopik. Pada wanita degan endometriosis,
konsentrasi sitokin-sitokin ini pada cairan peritoneum meningkat, dan
berhubungan dengan beratnya penyakit. Interleukin-1 meng-up-regulasi ekspresi
monocyte chemotactic protein-1 pada sel-sel epitel endometrium ektopik pada
wanita dengan endometriosis dan pada sel-sel endometrium ektopik yang dikultur,
sebuah aksi yang kemudian distimulasi oleh estrogen. Produksi RANTES oleh
implan endometriotik distimulasi oleh sitokin cairan peritoneum lainnya.
11
Ringkasan
Berbagai abnormalitas imunologik telah dijelaskan pada wanita dengan
endometriosis. Cairan peritoneum dari wanita yang terkena mengandung
peningkatan jumlah sel imun. Bagaimanapun, selain bekerja untuk secara efisien
menghilangkan sel endometrium yang mengalami refluks dari ruang peritoneum,
sel-sel imun ini tampak untuk mempromosikan penyakit dengan cara mensekresi
berbagai sitokin dan growth factor yang menstimulasi penempelan dan proliferasi
endometrium ektopik dan angiogenesis lokal. Walaupun belum jelas apakah
abnormalitas imunologik ini merupakan penyebab atau akibat dari penyakit,
mereka secara jelas memainkan peranan penting dalam patogenesis
endometriosis.
Mekanisme nyeri
Mekanisme-mekanisme yang bertanggung jawab untuk nyeri yang berkaitan
dengan endometriosis sulit untuk ditentukan dikarenakan berbagai alasan. Nyeri
itu sendiri sulit diukur, khususnya ketika nyeri tersebut kronik. Lingkungan
hormonal mempengaruhi persepsi nyeri. Efek plasebo pada nyeri, sangat
substansial dan bervariasi pada berbagai penelitian. Nyeri pelvis kronik memiliki
kecenderungan untuk melibatkan sistem organ disekitarnya sepanjang waktu.
Persepsi dan toleransi terhadap nyeri juga sangat bervariasi tiap-tiap pasien.
12
infiltrating endometriosis). Dismenorrhea berat dan dispareunia dalam merupakan
gejala yang sering; mereka yang memiliki penyakit didekat atau didalam dinding
rektum mungkin juga memiliki dyschesia. Intensitas nyeri yang berhubungan
dengan endometriosis yang menginfiltasi dalam, berhubungan dengan kedalaman
penetrasi dan dengan dekatnya atau invasi langsung pada nervus.
Sementara inflamasi atau invasi neural mungkin menjelaskan nyeri pada wanita
dengan endometriosis yang menginfiltasi dalam, hal ini tidak bisa menjadi
mekanisme yang menghasilkan nyeri pada wanita yang hanya memiliki penyakit
superfisial. Nyeri yang berhubungan dengan penyakit ringan lebih cenderung
berhubungan dengan inflamasi yang disebabkan perdarahan siklik fokal
didalam dan disekitar implan peritoneal atau dari kerja sitokin inflamasi yang
dilepaskan oleh sejumlah besar makrofag dan sel imun lainnya pada cairan
peritoneum wanita dengan endometriosis. Bagaimanapun, tidak ada hubungan
antara stadium, lokasi, atau karakteristik morfologi dari endometriosis pelvis
dengan nyeri. Penjelasan untuk mengapa banyak wanita dengan endometriosis
advanced hanya memiliki nyeri sedikit atau bahkan tidak sama sekali dan mereka
dengan penyakit ringan dapat memiliki nyeri yang mengganggu, masih
merupakan misteri. Penyebabnya mungkin berhubungan dengan fakta bahwa
penyakit berat umumnya kronik dan lebih tidak aktif secara metabolik. Terdapat
juga bukti untuk menjelaskan bahwa input neural persisten dari jaringan
endometriotik dapat menyebabkan sensitisasi sentral sistem nosiseptif (neuron
yang menerima stimulus nyeri), yang bermanifestasi sebagai hiperalgesia somatik
(meningkatnya sensitivitas terhadap nyeri) dan area nyeri rujukan pada beberapa
wanita dengan endometriosis.
Satu mekanisme tambahan yang mungkin terlibat pada nyeri yang berkaitan
dengan endometriosis berhubungan dengan bukti bahwa lingkungan hormonal
mempengaruhi persepsi nyeri. Berbagai penelitian telah meneliti ukuran persepsi
nyeri sepanjang siklus menstruasi. Sebuah meta-analisis yang melibatkan 16
13
penelitian menyimpulkan bahwa ambang dan toleransi nyeri sensoris somatik
mendekati level terendah pada saat sebelum dan selama menstruasi.
Mekanisme Infertilitas
Endometriosis sangat berhubungan dengan infertilitas; antara 20% dan 40%
wanita infertil memiliki penyakit ini. Pada wanita dengan endometriosis stadium
lanjut, anatomi pelvis yang sangat terdistorsi atau oklusi tuba menawarkan
penjelasan logis tetapi pada wanita dengan penyakit yang lebih ringan,
mekanisme apapun yang mungkin bertanggung jawab masih kurang jelas. Benar-
benar masih sangat kontroversial, mengenai apakah derajat penyakit yang
minimal dan ringan dapat dikatakan sebagai penyebab infertilitas.
Jelas bahwa keseluruhan prevalensi endometriosis tampak lebih besar pada wanita
infertil dibandingkan pada wanita fertil. Wanita infertil juga lebih cenderung
memiliki penyakit yang moderat sampai berat dibandingkan dengan wanita fertil;
prevalensi endometriosis minimal pada wanita infertil dengan partner pria normal
dan azoospermia adalah sebanding. Sejajar dengan hal tersebut, berat dari bukti
yang tersedia mengindikasikan bahwa kesuburan bulanan berkurang sampai
derajat yang mirip pada wanita dengan endometriosis minimal dan ringan yang
tidak diterapi dan mereka dengan infertilitas yang tidak terjelaskan, tetapi hal
tersebut menurun dengan meningkatnya keparahan penyakit. Bagaimanapun, hasil
dari penelitian-penelitian terapi menunjukkan bahwa bahkan endometriosis yang
minimal dan ringan dapat mempengaruh fertilitas. Selama terapi dengan stimulasi
gonadotropin eksogen dan inseminasi intrauterin (sperma pasangan), kesuburan
14
bulanan dari wanita dengan endometriosis minimal dan ringan adalah kurang dari
setengah yang ditemukan pada wanita tanpa penyakit ini. Kesuburan bulanan
yang dicapai dengan inseminasi donor sperma pada wanita dengan endometriosis
minimal dan ringan juga signifikan lebih rendah dibandingkan dengan wanita
yang memiliki pelvis normal. Secara keseluruhan, angka kesuksesan yang dicapai
dengan in vitro fertilization (IVF) pada wanita dengan endometriosis (semua
stadium) kira-kira adalah setengah dari yang ditemukan pada wanita dengan
penyakit tuba. Akhirnya, bukti mengindikasikan bahwa wanita dengan
endometriosis minimal dan ringan secara signifikan lebih cenderung untuk
mengandung setelah terapi bedah dibandingkan dengan wanita yang tidak
diterapi. Jika dikumpulkan semua, penelitian-penelitian tersebut mendukung
kesimpulan bahwa endometriosis benar-benar menurunkan fertilitas sampai
tingkat yang berhubungan kasar dengan beratnya penyakit endometriosis
tersebut.
Hasil dari sekian banyak penelitian observasional mengenai outcome IVF pada
wanita dengan endometriosis telah menunjukkan hasil yang bervariasi, tetapi
ketika dikombinasikan, hasil tersebut menawarkan beberapa pandangan berguna.
Secara keseluruhan, angka kesuksesan IVF secara substansial lebih rendah
pada wanita dengan endometriosis dibandingkan pada wanita dengan penyakit
tuba dan prognosisnya lebih buruk untuk endometriosis berat dibandingkan
endometriosis ringan. Respon ovarium terhadap stimulasi gonadotropin pada
wanita dengan endometriosis adalah kurang kuat jika dibandingkan pada wanita
15
dengan penyakit tuba; baik konsentrasi estrogen puncak maupun jumlah oosit
yang ditemukan adalah lebih rendah. Angka fertilisasi dan implantasi juga
menurun ketika dibandingkan dengan wanita dengan semua indikasi untuk IVF
atau dengan wanita dengan infertilitas karena faktor tuba saja. Observasi ini
menunjukkan bahwa efek merugikan dari endometriosis pada fertilitas tidak
hanya berhubungan dengan abnormalitas anatomi reproduksi. Dibandingkan
langsung, wanita dengan endometriosis berat memiliki konsentrasi estrogen
puncak, oosit yang dihasilkan, angka kehamilan, dan angka implantasi yang lebih
rendah dibandingkan dengan wanita dengan penyakit ringan. Kebalikannya, angka
fertilitas pada wanita dengan endometriosis advanced adalah lebih tinggi daripada
mereka dengan penyakit yang ringan, mungkin karena wanita dengan
endometriosis berat penyakitnya lebih kronik yang secara metabolik kurang aktif.
16
endometriosis yang mungkin dapat menjelaskan tanggapan awal mengenai
kulaitas oosit yang buruk pada wanita dengan endometriosis. Penelitian ini telah
membandingkan jumlah dan tipe sel imun yang ada di pelvis; produksi berbagai
hormon, growth factor, dan sitokin; dan ekspresi berbagai gen pada cairan
folikuler dan kultur sel granulosa yang didapat dari wanita dengan dan tanpa
endometriosis, tetapi tidak ada perbedaan konsisten yang ditemukan.
Walaupun outcome dari siklus IVF oosit donor pada wanita dengan dan tanpa
endometriosis tidak menunjukkan bahwa penyakit tersebut memiliki efek adverse
yang penting pada penerimaan endometrium (endometrial receptivity), data yang
lain mengindikasikan bahwa endometrium eutopik pada wanita dengan
endometriosis juga berbeda secara intrinsik dibandingkan dengan yang ada pada
wanita normal. Berbagai peneliti telah memeriksa dan membandingkan
endometrium dari wanita dengan dan tanpa endometriosis dan menemukan
ekspresi abnormal dari beberapa produk gen selama jendela implantasi pada
wanita dengan penyakit ini. Beberapa produk gen tersebut meliputi berbagai cell
adhesion molecule, matrix metalloproteinase, faktor-faktor transkripsi, growth
factor, enzim, dan reseptor hormon steroid.
17
mengidentifikasi sejumlah produk-produk gen tambahan yang mungkin secara
abnormal di-up atau di–down-regulasi di endometrium wanita dengan
endometriosis selama fase implantasi. Secara keseluruhan, hasil dari penelitian-
penelitian terbaru mendukung konsep bahwa fungsi endometrium pada wanita
dengan endometriosis adalah abnormal secara intrinsik.
Ringkasan
Nilai dari bukti yang tersedia mengindikasikan bahwa baik endometriosis ringan
maupun berat memiliki efek merugikan pada fertilitas. Pada wanita dengan
endometriosis advanced, anatomi reproduksi abnormal memiliki pengaruh yang
penting, tetapi dengan tidak melihat stadium penyakit, mekanisme-mekanisme
lainnya yang melibatkan abnormalitas intrinsik atau abnormalitas yang diinduksi
oleh penyakit dari perkembangan oosit, embriogenesis, dan fungsi endometrium
cenderung berkontribusi dan masih harus diidentifikasi.
Epidemiologi Endometriosis
Keseluruhan prevalensi nyata dari endometriosis tidak diketahui, utamanya karena
bedah merupakan satu-satunya metode yang akurat untuk diagnosis dan seringnya
tidak dilakukan pada wanita tanpa gejala atau pemeriksaan fisik yang secara kuat
menunjukkan kemungkinan; estimasi bervariasi berdasarkan cara diagnosis.
Prevalensi endometriosis asimptomatik adalah sekitar 4% pada wanita yang
dioperasi untuk sterilisasi elektif. Sebagian besar estimasi untuk prevalensi
endometriosis berkisar antara 5% dan 20% diantara wanita dengan nyeri pelvis
dan antara 20% dan 40% diantara wanita infertil; prevalensi umum cenderung
berkisar antara 3% dan 10% pada wanita usia reproduksi.
18
dengan anomali duktus Mülleri dan obstruksi servikal atau vaginal. Kurang dari
5% wanita yang memerlukan operasi untuk endometriosis adalah wanita yang
telah postmenopause dan sebagian besar wanita tersebut telah menerima terapi
estrogen. Prevalensi dari endometriosis asimptomatik dapat entah bagaimana
lebih rendah pada orang kulit hitam dan lebih tinggi pada orang Asia
dibandingkan dengan wanita kulit putih.
Diagnosis Endometriosis
Definisi tradisional dari endometriosis memerlukan demonstrasi histologi adanya
kelenjar dan stroma endometrium ektopik tetapi tidak harus demikian karena
adanya gambaran lesi endometrium yang sangat bervariasi dan konsep baru
mengenai progresi alamiahnya. Sayangnya, perkembangan substansial dalam
pengertian kami mengenai patogenesis endometriosis belum menyediakan
alternatif noninvasif yang akurat selain laparoskopi untuk diagnosis penyakit.
19
Satu dari gejala yang paling sering dikeluhkan wanita dengan endometriosis
simptomatik adalah nyeri pelvis kronik. Gejala meliputi dismenorrhea, nyeri
intermenstrual, dan dispareuni. Dismenorrhea merupakan gejala yang sering
dilaporkan; ketika nyeri tersebut baru saat onset, progresif, atau berat, nyeri
tersebut sangat mengindikasikan tetapi tidak secara akurat memprediksikan
endometriosis. Dismenorrhea yang berhubungan dengan endometriosis sering
terjadi sebelum onset keluar darah menstruasi dan seringnya menetap selama
menstruasi, bahkan kadangkala berlanjut setelahnya. Nyeri biasanya difus,
terletak dalam pada pelvis, tumpul, dan nyeri dan dapat menyebar ke punggung
dan paha atau berhubungan dengan tekanan rektal, mual, dan diare episodik.
Setengah sampai dua pertiga wanita dengan endometriosis dan nyeri memiliki
nyeri intermenstrual. Dispareuni yang berhubungan dengan endometriosis
biasanya baru saat onset, lebih intens dengan penetrasi dalam segera sebelum
menstruasi, dan berhubungan dengan penyakit yang melibatkan cul-de-sac dan
septum rektovagina.
Sangat dikenal hubungan yang sering paradoks antara luas dan beratnya nyeri
dengan stadium dan lokasi endometriosis; wanita dengan penyakit advanced
dapat memiliki rasa tidak nyaman yang ringan atau bahkan tidak sama sekali
dan mereka dengan penyakit minimal atau ringan memiliki nyeri yang sangat
mengganggu. Beratnya nyeri pada wanita dengan endometriosis yang
menginfiltrasi dalam berkorelasi baik dengan kedalaman dan volume infiltrasi.
Dispareuni lebih sering terjadi pada wanita dengan penyakit yang melibatkan
septum rektovagina. Endometriosis ekstrapelvis dapat berhubungan dengan
berbagai kelompok gejala siklik yang mencerminkan organ-organ yang terlibat:
scar pada abdomen, traktus gastrointestinalis dan traktus urinarius, diafragma,
pleura, dan syaraf perifer.
20
posterior fornix. Sementara penyakit pada wanita dengan endometriosis infiltasi
dalam yang melibatkan septum rektovagina seringkali dapat dipalpasi, tetapi lesi
ini seringnya tidak terlihat, dan pada sebagian besar kasus tidak ada temuan yang
khas. Uterus seringkali retroversi dan dapat menampilkan mobilitas yang menurun
atau fiksasi. Wanita dengan endometrioma ovarium dapat memiliki masa adnexa
yang terfiksir. Rasa nyeri fokal dan nodularitas dari ligamentum sakrouterina
sangat mengindikasikan endometriosis dan seringnya merupakan satu-satunya
temuan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan fisik memiliki sensitivitas diagnostik
terbaik ketika dilakukan selama menstruasi tetapi tidak berarti pemeriksaan fisik
yang normal mengeksklusikan diagnosis. Secara keseluruhan, dibandingkan
dengan gold standard diagnosis dari endometriosis yang menggunakan
pendekatan bedah, pemeriksaan fisik memiliki sensitivitas, spesifitas, dan nilai
prediktif yang relatif lebih rendah.
CA-125
CA-125 merupakan antigen permukaan sel yang diekspresikan oleh derivat-
derivat epitel coelomic (yang meliputi endometrium) yang telah diketahui sebagai
marker yang berguna untuk monitoring wanita dengan kanker ovarium epitelial.
Konsentrasi CA-125 sering meningkat pada wanita dengan endometriosis
advanced, tetapi peningkatan konsentrasi juga dapat ditemukan pada kehamilan
awal, selama menstruasi normal, dan pada wanita dengan pelvic inflammatory
disease akut atau leiomyoma. Konsentrasi CA-125 serum bervariasi sepanjang
siklus menstruasi; pada umumnya, konsentrasi tertinggi adalah selama fase
menstruasi dan terendah pada fase midfolikuler dan periovulasi. Bagaimanapun,
penelitian-penelitian mengenai sensitivitas dan reprodusibilitas dari cycle-
dependent assay telah menghasilkan hasil yang saling berlawanan dan tidak ada
satu waktu terbaik untuk melakukan tes tersebut. CA-125 serum telah disarankan
sebagai tes skrining untuk diagnosis endometriosis, tetapi sebuah meta-analisis
yang mengukutsertakan 23 penelitian terpisah yang menggunakan pendekatan
bedah sebagai gold standard menyimpulkan bahwa marker tersebut tampil agak
21
buruk. Nilai cutoff yang memberikan 90% keseluruhan spesifitas memiliki
sensitivitas kurang dari 30%, dan jika disesuaikan untuk mencapai sensitivitas
50%, spesifitas jatuh sampai 70%. Sebagai tes skrining untuk endometriosis
stadium advanced, nilai yang berhubungan dengan spesifitas 90% memiliki
sensitivitas kurang dari 50%. Secara keseluruhan, sensitivitas pemeriksaan CA-
125 terlalu rendah untuk membuatnya sebagai tes skrining yang efektif untuk
diagnosis endometriosis.
Konsentrasi CA-125 serum dapat memiliki sedikit nilai pada saat evaluasi
preoperatif wanita yang diketahui atau dicurigai memiliki penyakit yang
advanced Sebuah penelitian menunjukkan bahwa persiapan usus preoperatif dapat
menjadi bijaksana pada wanita dengan konsentrasi CA-125 serum diatas 65
IU/mL (batas atas nilai normal adalah 35 IU/mL) karena mereka lebih cenderung
untuk mengalami adhesi omentum yang erat, ruptur endometrioma, atau obliterasi
cul-de-sac. Konsentrasi CA-125 serum dapat juga membantu dalam membedakan
endometrioma ovarium dari kista jinak lainnya, khususnya ketika dikombinasikan
dengan USG transvaginal. Ketika digunakan untuk mengevaluasi respon terapi,
peningkatan persisten dari CA-125 postoperatif memprediksikan prognosis yang
relatif buruk, tetapi konsentrasi umumnya bukanlah sebuah prediktor yang akurat
untuk efektivitas terapi medis.
Imaging
Ultrasonografi transvaginal dapat menjadi sangat membantu dalam
mengidentifikasi wanita dengan endometriosis advanced. Ultrasonografi
transvaginal khususnya berguna untuk deteksi endometrioma ovarium, tetapi
pemeriksaan ini tidak dapat menggambarkan adhesi pelvis atau fokus penyakit
pada peritoneum superfisial. Endometrioma dapat memiliki gambaran
ultrasonografi yang bervariasi tetapi biasanya tampil sebagai struktur kistik
dengan echo internal diffuse derajat rendah dikelilingi oleh kapsul echogenic yang
jelas. Beberapa dapat memiliki internal septation atau dinding noduler tebal.
Ketika terdapat gambaran khas, ultrasonografi transvagina memiliki sensitivitas
22
90% atau lebih dan hampir 100% spesifitas untuk deteksi endometrioma. Color
Doppler flow imaging secara umum menambah sedikit untuk diferensiasi
endometrioma dari kista hemoragik, teratoma kistik jinak, dan neoplasma kistik
lainnya yang dapat memiliki gambaran yang mirip. Jika tidak dilakukan lebih
awal untuk indikasi lainnya selama evaluasi infertilitas, ultrasonografi
transvaginal sebaiknya dilakukan sebelum dimulai terapi empiris apapun untuk
infertilitas yang tidak terjelaskan, khususnya jika laparoskopi diagnostik tidak
direncanakan; jika tidak, penyakit yang advanced yang dapat mengganggu
kesuksesan dapat tetap tidak terdeteksi. Ultrasonografi transrektal mungkin
membantu dalam evaluasi wanita yang dicurigai memiliki endometriosis yang
memiliki infiltrasi dalam pada septum rektovagina atau melibatkan ligamentum
sakrouterina.
23
Diagnosis dengan Cara Percobaan Terapetik
Hasil dari sebuah randomized clinical trial pada wanita dengan nyeri pelvik
kronik dan secara klinis dicurigai memiliki endometriosis, telah menuntun
beberapa orang untuk menyimpulkan bahwa respon klinis terhadap terapi empiris
dengan agonis gonadotropin-releasing hormone dapat digunakan untuk
mendiagnosis penyakit ini. Wanita dengan nyeri pelvis kronik moderat sampai
berat yang tidak berhubungan dengan menstruasi dan tidak berkurang dengan
terapi NSAID dan antibiotik, diacak untuk menderima depot meuprolide acetate
(3,75 mg intrasmucular setiap bulan selama 3 bulan) atau plasebo sebelum
laparoskopi diagnostik. Mereka yang diterapi dengan leuprolide meNjadi
amenorrheik dan mengalami perbaikan yang besar dari gejala sebelum operasi
yang mengungkap endometriosis pada 78/95 pastisipan (82%).
Walaupun kriteria klinis ketat yang digunakan terbukti memiliki spesifitas yang
cukup (82%) untuk diagnosis endometriosis, dan terapi lebih efektif dibandingkan
dengan plasebo, respon terhadap terapi leuprolide tidak meningkatkan akurasi
diagnostik; wanita tanpa endometriosis yang dibuktikan lewat bedah memiliki
kecenderungan yang sama untuk menerima perbaikan gejala dari terapi seperti
mereka dengan endometriosis yang terbukti. Adalah mungkin bahwa terapi
menghilangkan atau mengaburkan penyakit pada wanita tanpa endometriosis yang
terbukti atau bahwa beberapa orang yang mengalami perbaikan gejala memiliki
endometriosis terisolasi-penetrasi dalam yang terlepas dari deteksi.
Bagaimanapun, setidaknya cenderung seimbang bahwa terapi menekan gejala
yang berhubungan dengan penyebab lainnya, bahwa amenorrhea dan gejala
defisiensi estrogen pada wanita yang diterapi menuntun mereka untuk secara
akurat mencurigai mereka sedang menerima obat aktif dan mempengaruhi respon
mereka yang dilaporkan, atau bahwa hipoestrogenisme yang diinduksi leuprolide
meningkatkan ambang nyeri. Hasil penelitian menunjukkan akurasi diagnostik
24
dari kriteria klinis yang ketat dan efektivitas terapi empiris leuprolide pada wanita
dengan nyeri pelvis kronik tetapi tidak mendukung kesimpulan bahwa respon
klinis terhadap terapi memiliki nilai diagnostik.
25
Endometriosis biasanya tampil sebagai kista gelap, halus, biasanya berhubungan
dengan adhesi dan mengandung cairan coklat dense seperti cokelat.
Endometrioma yang besar sering multilokuler. Inspeksi visual yang teliti dari
ovarium umumnya sangat akurat untuk deteksi endometrioma, tetapi, ketika
penyakit ini sangat dicurigai dan tidak jelas, eksplorasi yang teliti dengan punksi
dan aspirasi ovarium akan sangat membantu. Endometrioma ovarium biasanya
disertai dengan berbagai lesi peritoneal yang visibel. Sebaliknya, endometriosis
yang menginfiltasi dalam seringnya retroperitoneal, sering tidak jelas, dan sering
terisolasi; bahkan dapat mewakili wujud yang berbeda yang berasal dari sisa-sisa
duktus mülleri didalam septum rektovagina.
Revisi lebih lanjut dari skema klasifikasi saat ini diantisipasi sesuai meningkatnya
pemahaman kami mengenai patogenesis infertilitas dan tampaknya akan
mengikutsertakan berat dan ambang yang diturunkan secara empiris untuk
menentukan stadium penyakit. Faktor-faktor lain seperti CA-125 mungkin
26
dimasukkan jika terbukti memiliki nilai prognostik. Juga cukup memungkinkan
bahwa sistem apapun yang didesain untuk memprediksi kehamilan mungkin
memiliki nilai yang kecil bagi wanita dengan endometriosis dan nyeri dan bahwa
mungkin diperlukan sistem klasifikasi yang terpisah.
Ringkasan
Evaluasi klinis yang teliti dapat mengidentifikasi wanita yang cenderung memiliki
endometriosis tetapi tidak dapat memastikan diagnosis. Walaupun konsentrasi
CA-125 serum dapat memberikan bukti nyata dari penyakit ini, sensitivitas dari
tes tersebut terlalu rendah unutk membuatnya sebagai alat skrining yang efektif.
Ultrasonografi transvaginal dan MRI keduanya sangat sensitif dan spesifik untuk
deteksi endometrioma ovarium tetapi tidak dapat melihat implan peritoneal secara
akurat. Respon klinis terhadap terapi medis empiris tidak memastikan diagnosis
endometrioma. Pada sebagian besar wanita, diagnosis endometriosis memerlukan
pemeriksaan laparoskopi yang teliti dan sistematis. Pemeriksaan histologis dari
lesi yang dieksisi dapat mengkonfirmasi kesimpulan bedah dan hal ini disarankan,
tetapi tidak diperlukan untuk memastikan diagnosis dengan kepastian beralasan.
Terapi Medis
Terapi medis tradisional untuk endometriosis telah didasarkan pada teori Sampson
mengenai menstruasi retrograde dan premis sederhana bahwa endometrium
ektopik dapat diharapkan untuk berespon terhadap terapi, hampir sama dengan
endometrium eutopik normal. Maka dari itu, tujuan terapi yaitu untuk mengurangi
atau menghilangkan siklus menstruasi, yang oleh karena itu menurunkan seeding
peritoneal dan kecenderungan bahwa implan baru akan tumbuh, dan untuk
menekan pertumbuhan dan aktivitas endometrium, mengantisipasi bahwa hal
yang sama akan terjadi pada implan endometriotik yang diturunkan dari
endometrium. Konsep operasional sederhana ini telah membentuk terapi medis
untuk endometrium selama beberapa dekade, tetapi perkembangan pemahaman
kami mengenai patogenesis endometrium pada tingkat molekuler, saat ini mulai
27
menunjukkan strategi terapi baru. Saat ini strategi terebut belum ada tetapi jelas
strategi tersebut ada di depan mata.
Danazol
Danazol, obat pertama yang disetujui untuk terapi endometriosis di Amerika
Serikat, merupakan derivat 17α-ethinyltestosterone asoxazol yang diberikan
secara oral yang bekerja utamanya dengan menghambat lonjakan LH urin pada
pertengahan siklus dan mengindukasi status anovulatoir kronik, tetapi obat ini
juga menghambat sejumlah enzim steroidogenik dan meningkatkan konsentrasi
testosteron bebas. Banyak efek-efek yang berbeda dari danazol bergabung untuk
menghasilkan lingkungan tinggi androgen dan rendah estrogen yang menghambat
pertumbuhan endometriosis. Amenorrhea yang sering menyertai terapi danazol
menurunkan seeding baru dari uterus kedalam kavum peritoneum.
28
mengakibatkan kerusakan hepar atau trombosis arterial. Danazol dosis rendah
ditoleransi lebih baik, tetapi mungkin juga menjadi kurang efektif. Danazol juga
pernah diberikan secara vaginal tetapi pengalaman yang ada terbatas.
Obat-obatan Progestasional
Obat-obatan progestasional (progestin) telah lama digunakan untuk mengobati
endometriosis simptomatik. Tersedia berbagai macam obat yang berbeda-beda,
termasuk yang diturunkan dari progesterone-like medroxyprogesterone acetate
dan kelompok lainnya yang diturunkan dari 19-nortestosterone: prototipenya
adalah norethindrone. Pada terapi endometriosis, mekanisme kerja mereka adalah
desidualisasi yang diinduksi progestin yang menyebabkan pengecilan
endometrium sepanjang waktu. Pada dosis tinggi, progestin juga dapat
menghambat fungsi ovulasi dan menginduksi amenorrhea. Efek supresif progestin
pada ekspresi matrix metalloproteinase endometrium (enzim-enzim yang sekarang
diketahui ikut serta dalam patogenesis endometriosis) dapat menjadi kerja lainnya
yang berguna. Walaupun aktivitas matrix metalloproteinase pada endometrium
eutopik wanita dengan endometriosis jarang resisten terhadap supresi progesteron,
dosis yang lebih besar yang digunakan dalam terapi penyakit mungkin cukup
untuk mengatasi efek tersebut.
29
digunakan dalam terapi endometriosis; insiden efek samping yang meliputi
perdarahan dan depresi adalah mirip dengan yang menggunakan
medroxyprogesterone acetate. Penggunaan IUD yang mengandung levonorgestrel
baru-baru ini digunkan untuk terapi endometriosis rektovaginal.
Kontrasepsi Oral
Kontrasepsi oral kombinasi, yang dikonsumsi dalam pola siklik atau kontinyu,
telah menjadi sandaran utama terapi medis untuk endometriosis simptomatik
hampir sejak kontrasepsi ini dikenalkan. Bahkan sekarang, kontrasepsi oral
merupakan terapi yang paling sering diresepkan untuk endometriosis. Terapi
kontinyu telah diberi nama “pseudopregnancy” karena kombinasi estrogen-
progestin menginduksi amenorrhea dan desidualisasi endometrium (seperti terapi
dengan progestin-saja) dan menyerupai lingkungan estrogen tinggi, progesteron
tinggi pada kehamilan yang dipercaya secara luas dapat mengobati atau menekan
30
endometriosis. Kontrasepsi oral dapat juga meningkatkan apoptosis jaringan
endometrium eutopik pada wanita dengan endometriosis.
Pilihan pil sedikit bermasalah, walaupun formulasi monofasik tampak lebih logis
dibandingkan dengan pil multifasik untuk terapi kontinyu. Regimen yang biasa
digunakan adalah terapi kontinyu dengan satu pil per hari untuk 6-12 bulan.
Estrogen (estrogen konjugated 1,25 mg atau estradiol 2,0 mg per hari untuk 1
minggu) dapat ditambahkan sesuai kebutuhan untuk mengontrol perdarahan
episodik, yang lebih sering terjadi dengan terapi kontinyu dibandingkan dengan
terapi siklik. Efek samping terapi adalah yang berhubungan dengan kontrasepsi
oral (Bab 22). Kami memperkirakan bahwa terapi kontinyu dengan kontrasepsi
kombinasi estrogen-progestin yang menggunakan produk transdermal atau
transvaginal akan sama efektif.
31
ovarium mereka tidak menerima stimulasi gonadotropin yang efektif; konsentrasi
FSH maupun LH sangatlah rendah. Mekanisme kerja dari agonis GnRH dalam
terapi endometriosis meliputi keadaan hipogonad yang diinduksinya yang
menghalangi dukungan estrogen pada penyakit yang telah ada dan amenorrhea,
yang menghilangkan kemungkinan untuk terjadinya seeding peritoneal.
Dalam usaha untuk mencegah deplesi mineral tulang yang menyertai terapi agonis
GnRH, sejumlah strategi terapi “add-back” telah dikembangkan. Regimen add-
back kombinasi estrogen-progestin dosis rendah (estrogen konjugated 0,625 mg
dan medroxyprogesterone acetate 2,5 mg per hari atau yang setara) didasarkan
pada pernyataan bahwa konsentrasi estrogen yang diperlukan untuk menyebabkan
endometriosis adalah lebih tinggi daripada yang diperlukan untuk mencegah
gejala vasomotor atau deplesi mineral tulang. Hasil-hasil yang dicapai dengan
32
regimen add-back kombinasi estrogen-progestin dosis rendah mendukung
hipotesis “ambang estrogen” ini. Bagaimanapun, add-back menggunakan dosis
rendah estrogen-saja tidak dianjurkan; percobaan klinis baru-baru ini (estradiol
oral, 1 mg tiap hari) dihentikan lebih dini karena temuan nyeri rekuren pada
subjek yang diteliti. Berbagai regimen add-back lainnya telah disebutkan,
termasuk progestin saja (norethindrone 2,5-5 mg tiap hari), tibolone (2,5 mg tiap
hari), bifosfonat (etidronate siklik 400 mg tiap hari untuk 2 minggu setiap 2 bulan,
alendronate 10 mg tiap hari), dan yang paling terbaru, modulator reseptor estrogen
selektif (raloxifen 60 mg tiap hari). Regimen terapi add-back kombinasi
estrogen-progestin melindungi tulang dan memiliki keuntungan tambahan
mencegah hot flushes dan perkembangan atrofi genitourinaria. Efektivitas
regimen add-back progestin-saja menunjukkan kurang konsisten. Endometriosis
itu sendiri tidak berhubungan dengan kehilangan massa tulang.
Gestrinone
Gestrinone merupakan steroid derivat 19-nortestosteron yang memiliki kerja
androgenik, antiprogestinik, dan antiestrogenik yang telah digunakan secara luas
di Eropa untuk terapi endometriosis, tetapi saat ini tidak tersedia di Amerika
Serikat. Obat ini memiliki kelebihan yaitu pemberiannya yang lebih jarang (2,5-
10 mg dalam jadwal dua atau tiga kali seminggu). Efek samping klinis mirip
dengan yang berhubungan dengan danazol tetapi lebih kecil.
33
endometrium tanpa menghasilkan efek progestasional sistemik. Antagonis GnRH
memblok reseptor GnRH hipofisis dan menekan sekresi gonadotropin tetapi tanpa
flare inisial yang menyertai pemberian agonis GnRH long-acting. Percobaan
klinis fase III dari SPRM dan antagonis GnRH sedang berjalan. Inhibitor
aromatase yang dapat menghambat produksi estrogen pada lokas perifer dan pada
jaringan endometriotik seperti pada ovarium memegang janji sebelum ada
pendekatan lain untuk terapi endometriosis. Inhibitor tumor necrosis factor-α,
angiogenesis, dan matrix metalloproteinase juga sedang diteliti. Akhirnya,
pentoksifilin merupakan obat imunomodulasi multi-site dengan berbagai aksi
yang mungkin dapat digali untuk terapi endometriosis; obat ini menghambat
fagositosis makrofag dan produksi enzim proteolitik dan aksi inflamatorik dari
tumor necrosis factor-α dan interleukin-1.
34
Data yang berhubungan dengan efek progestin lebih terbatas. Sebuah penelitian
tunggal random terkontrol memperlihatkan bahwa medroxyprogesterone acetate
dosis tinggi (100 mg tiap hari selama 6 bulan) menginduksi remisi komplit dari
semua endometriosis yang terlihat pada 50% wanita dibandingkan dengan 12%
dari mereka yang menerima plasebo, dan remisi inkomplit pada 13%
dibandingkan dengan 6% kontrol yang diberi plasebo. Studi lainnya yang
membandingkan progestin (lynestrenol) dengan agonis GnRH (leuprolide)
menemukan penurunan besar dalam volume penyakit pada wanita yang diterapi
dengan agonis GnRH. Studi-studi mengenai gestrinone telah menemukan bahwa
gestrinone sama efektifnya dengan danazol dalam menurunkan volume
endometriosis.
Danazol telah terbukti efektif dalam menurunkan nyeri yang berhubungan dengan
endometriosis (dismenorrhea, dispareunia dalam, nyeri intermenstrual) pada lebih
dari 90% wanita yang diterapi; waktu median untuk rekurensi nyeri setelah terapi
dihentikan adalah sekitar 6 bulan. Tingkat dan durasi pengurang nyeri yang
sebanding dapat dicapai dengan progestin (medroxyprogestrone acetate,
35
norethindrone, lynesterol). Berbagai percobaan tanpa kontrol telah memeriksa
efektivitas kontrasepsi oral kombinasi pada 75-90% wanita. Satu percobaan
random terkontrol yang membandingkan kontrasepsi oral dosis rendah siklik
dengan agonis GnRH menemukan bahwa agonis GnRH memberikan pengurangan
nyeri dismenorrhea yang lebih baik, tetapi kedunya sebanding dalam efektivitas.
Gestrinone paling kurang efektif dibandingkan dengan danazol dan agonis GnRH
untuk terapi nyeri yang berhubungan dengan endometriosis.
Nyeri dengan intensitas yang lebih kecil atau sama dapat terjadi lagi segera
setelah penghentian terapi medikamentosa; angka rekurensi setidaknya sebesar
10-20% per tahun. Keseluruhan ngka rekurensi kumulatif selama 5 tahun setelah
terapi dengan agonis GnRH adalah sekitar 55%, lebih kecil untuk wanita dengan
endometriosis minimal dan ringan (37%) dibandingkan dengan mereka yang
memiliki endometriosis advanced (74%). Angka rekurensi untuk nyeri setelah
terapi dengan danazol, progestin, atau kontrasepsi oral adalah mirip. Respon
36
terhadap re-terapi dengan progestin atau agonis GnRH untuk nyeri rekuren pada
umumnya sebanding dengan apa yang dicapai dengan paket terapi pertama.
Karena paket berulang atau jangka panjang dari terapi medikamentosa dengan
agonis GnRH berisiko kehilangan massa tulang progresif, pengukuran densitas
tulang adalah bijaksana, bahkan ketika diberikan juga terapi add-back.
Ringkasan
37
Pilihan terapi medikamentosa yang ada untuk wanita dengan nyeri yang
berhubungan dengan endometriosis meliputi danazol, progestin, kontrasepsi oral
siklik atau kontinyu, agonis GnRH, dan gestrinone. Semua bukti yang tersedia
mengindikasikan bahwa mereka sama efektif dan bahwa tidak ada satu terapi
yang terbaik; pengurang nyeri, angka kehamilan setelahnya, dan angka rekurensi
adalah mirip untuk semua bentuk terapi medik. Satu bentuk terapi dapat terbukti
efektif dalam pengurang nyeri ketika yang lain telah gagal. Akibatnya, pilihan
terapi sebaiknya ditentukan berdasarkan biaya dan efek samping. Danazol
memiliki efek samping androgenik yang membatasi kegunaan klinisnya.
Kontrasepsi oral pada umumnya dapat ditoleransi dengan baik; perdarahan
episodik lebih sering dengan terapi kontinyu dibandingkan dengan siklik.
Progestin dapat menyebabkan penambahan berat badan, perdarahan dan depresi,
khususnya pada dosis tinggi. Terapi dengan agonis GnRH menyebabkan keadaan
hipogonad dengan gejala hot flushes, atrofi genitourinaria, dan deplesi mineral
tulang. Terapi add-back dengan progestin-saja atau dalam kombinasi dengan
estrogen dosis rendah dapat mencegah kehilangan massa tulang tanpa mengurangi
efektivitas keseluruhan dari terapi agonis GnRH; regimen yang mengandung
estrogen juga efektif dalam mencegah kekeringan vagina. Tidak ada bukti
substansial bahwa terapi medik endometriosis meningkatkan fertilitas.
Terapi Bedah
Tujuan terapi bedah untuk endometriosis adalah untuk menjaga hubungan
anatomik normal, untuk mengeksisi atau menghancurkan semua endometriosis
yang terlihat sampai tingkat yang memungkinkan, dan untuk mencegah atau
menunda rekurensi penyakit. Bagi wanita yang mengharapkan mempertahankan
atau menjaga fertilitas yang memiliki endometriosis moderat atau berat, yang
medistorsi anatomi reproduksi, bedah merupakan terapi pilihan karena terapi
medikamentosa tidak dapat mencapai tujuan tersebut. Ketika endometriosis tidak
berat, terapi medikamentosa dapat secara efektif mengontrol nyeri pada mayoritas
wanita tetapi tidak memiliki efek pada fertilitas; bedah setidaknya sama efektif
38
dengan terapi medikamentosa dalam mengurangi nyeri dan juga dapat
meningkatkan fertilitas.
Walaupun bedah untuk terapi endometriosis dapat dilakukan via laparotomi atau
laparoskopi, perkembangan teknis dalam instrumentasi dan teknik operasi
memungkinkan pendekatan endoskopik pada semua wanita kecuali pada mereka
yang memerlukan enterolisis ekstensif atau reseksi usus; ahli bedah yang sangat
terlatih dapat mencapai tujuan-tujuan ini via laparoskopi. Laparoskopi
menawarkan keuntungan visualisasi yang lebih baik, trauma jaringan dan desikasi
yang lebih kecil, insisi yang lebih kecil, dan penyembuhan postoperatif yang lebih
cepat. Adhesi dan komplikasi postoperatif dapat juga lebih kecil daripada mereka
yang menjalani laparotomi. Yang lebih penting, hasil-hasil yang dicapai dengan
laparoskopi adalah seimbang dengan atau lebih baik dibandingkan yang
ditemukan setelah laparotomi.
39
Manajemen bedah yang optimal dari endometrioma ovarium entah bagaimana
menjadi kontroversial. Endometrioma telah diterapi dengan wedge ressection,
stripping, dan drainase dengan dan tanpa ablasi dinding dalam kista. Hasil
penelitian laparoskopik second-look sangat menunjukkan bahwa penyakit
ovarium yang dalam, cenderung berkurang setelah kistektomi atau fenestrasi
dan ablasi dibandingkan setelah drainase saja. Angka re-operasi juga lebih
rendah setelah dilakukan kistektomi dibandingkan setelah drainase tanpa ablasi.
Anjuran untuk drainase dan ablasi menunjukkan bahwa prosedur ini dapat lebih
mempertahankan jaringan ovarium fungsional dibandingkan dengan kistektomi,
tetapi penelitian-penelitian mengenai respon ovarium terhadap stimulasi
gonadotropin eksogen setelah kistektomi pada wanita dengan endometrioma telah
mengurangi anjuran tersebut. Penelitian second-look juga menunjukkan bahwa
adhesi adnexa postoperatif lebih cenderung terjadi setelah wedge ressection
dibandingkan dengan terapi bedah yang lain dan pada wanita yang operasi
awalnya juga melibatkan adhesiolisis. Angka rekurensi endometrioma setelah
kistektomi laparoskopi adalah sekitar 7%.
40
melibatkan otot polos seperti juga kelenjar endometrium, dan sedikit stroma,
beberapa melihatnya sebagai hal yang benar-benar berbeda, sebagai suatu nodul
dari adenomiosis yang muncul karena metaplasia pada sisa-sisa duktus müllerian
daripada endometriosis yang meluas kebawah dari permukaan peritoneum. Bedah
melibatkan diseksi menyeluruh dan paparan terhadap rektum anterior, vagina
posterior, dan penyakit noduler. Seringkali, sebagian vagina posterior harus
dieksisi, dan kadangkala sebagian pendek segmen rektum harus direseksi,
kemudian diikuti dengan anastomosis.
Pada wanita dengan penyakit simptomatik yang advanced yang telah memutuskan
tidak memiliki anak lagi dan pada wanita yang terapi bedah konservatif serta
medikamentosa gagal, terapi bedah radikal (histerektomi dan salpingo-
ooforektomi bilateral) patut mendapat perhatian dan diskusi yang serius. Pada
wanita terseleksi yang tidak memiliki penyakit ovarium signifikan, dapat
dipikirkan histerektomi-saja, walaupun risiko penyakit rekuren yang memerlukan
terapi tambahan adalah sekitar 6 kali lebih tinggi jika dibandingkan ketika
ooforektomi tidak dilakukan.
41
definitif. Walaupun penelitian tersebut tidak cukup besar untuk memberikan hasil
konklusif, data-data ini mewakili bukti terbaik yang tersedia untuk efektivitas
operasi laparoskopik dalam mengurangi nyeri pelvik. Percobaan tanpa kontrol
lainnya telah menemukan kesuksesan dalam mencapai pengurangan nyeri pada
70-100% wanita dengan endometriosis. Sayangnya, seperti dengan terapi
medikamentosa, penyakit dan nyeri yang rekuren setelah terapi bedah konservatif
seringkali menjadi aturan dibandingkan dengan pengecualian; gejala kembali
timbul pada setidaknya 10-20% wanita yang diterapi setiap tahunnya. Insiden
penyakit rekuren mungkin lebih tinggi setelah terapi bedah pada fase lutetal
dibandingkan pada fase folikuler karena sel endometrium yang mengalami refluks
mungkin lebih cenderung untuk menempel pada lokasi trauma peritoneum yang
belum menyembuh ketika interval sejak operasi sampai menstruasi berikutnya
adalah pendek.
Dengan tidak melihat pendekatan bedah mana yang digunakan untuk terapi
endometriosis ovarium, pengurangan nyeri segera setelah operasi telah dicapai
pada 60-100% wanita. Bagaimanapun, bukti menunjukkan bahwa kistektomi
dapat memberikan pengurangan nyeri yang lebih lama dibandingkan drainase plus
ablasi terhadap dinding kista. Pada suatu studi, angka rekurensi kumulatif 24-
bulan untuk dismenorrhea, dispareunia dalam, dan nyeri pelvik intermestrual lebih
rendah secara substansial dan median interval antara operasi dengan rekurensi
nyeri adalah lebih panjang setelah kistektomi yang berhasil (dengan stripping)
dibandingkan setelah drainase dan koagulasi dinding internal.
Kandidat untuk presacral neurectomy dan LUNA meliputi wanita dengan nyeri
pelvic midline yang berat dan dismenorrhea yang tidak berespon terhadap terapi
medikamentosa atau terapi bedah konservatif sebelumnya. Hasil dari sejumlah
percobaan random terkontrol yang telah memeriksa outcome setelah dua prosedur
tersebut menunjukkan bahwa prosedur tersebut dapat efektif untuk mengurangi
dismenorrhea dan nyeri midline yang berkaitan dengan menstruasi, tetapi tidak
pada semua wanita, dan menawarkan sedikit keuntungan untuk gejala dispareunia
42
dan nyeri intermenstrual. Disfungsi usus atau kandung kemih setelah operasi tidak
umum terjadi tetapi bukan merupakan komplikasi yang jarang terjadi akibat
prosedur ini. Dengan memperhatikan keuntungan yang tidak pasti dan risiko yang
mungkin terjadi, presacral neurectomy atau LUNA rutin pada saat bedah
konservatif tidak dapat direkomendasikan, kedua prosedur tadi sebaiknya
disimpan untuk individu yang benar-benar diseleksi.
43
Hasil dari Terapi Bedah―Fertilitas
Efek operasi pada fertilitas wanita dengan endometriosis minimal dan ringan telah
diteliti pada dua percobaan random terkontrol. Awalnya, sebuah percobaan
multisenter di Kanada, wanita (n=341) dengan infertilitas yang belum terjelaskan
yang menjalani laparoskopi dengan temuan endometriosis minimal atau ringan
diacak untuk menerima terapi (eksisi atau ablasi penyakit) atau dengan
manajemen menunggu dan diikuti selama 36 minggu atau sampai 20 minggu
kehamilan jika kehamilan terjadi pada saat interval follow-up. Peluang kehamilan
pada wanita yang diterapi adalah dua kali dibandingkan wanita yang tidak diterapi
(OR=2.03, CI=1.28-3.24). Secara keseluruhan, 50/172 (29%) wanita yang diacak
untuk menerima terapi mendapatkan kehamilan, dibandingkan dengan 29/169
(17%) dari mereka yang hanya menunggu, memberikan nilai efek terapi sebesar
0,12 dan jumlah yang perlu diterapi (1/0.12) yaitu 8.3, dibulatkan keatas menjadi
9. Hasil tersebut menunjukkan bahwa sekitar 9 wanita infertil dengan
endometriosis minimal atau ringan harus menjalani terapi bedah untuk
mencapai satu kehamilan lagi, efek yang kecil tapi cukup penting.
Bagaimanapun, pada sebuah percobaan yang lebih kecil di Italia dengan desain
yang mirip (n=96), tidak ada perbedaan yang ditemukan antara terapi dan tanpa
terapi. Sebuah meta-analisis yang mengkombinasikan data dari dua penelitian
menyimpulkan bahwa terapi bedah untuk endometriosis minimal dan ringan dapat
meningkatkan fertilitas (OR=1.64, CI=1.05-2.57).
44
terapi mengingat bahwa sebagian besar wanita dengan endometriosis moderat
sampai berat memiliki anatomi reproduksi yang sangat terdistorsi. Penggunaan
barier adhesi mengurangi pembentukan adhesi setelah terapi bedah pda wanita
infertil, tetapi tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa barier adhesi atau strategi
pencegahan adhesi yang lain meningkatkan angka kehamilan setelah terapi bedah.
45
nilai, khususnya pada wanita dengan penyakit ekstensif dan mereka dengan
penyakit residual yang tidak dapat dieksisi secara komplit.
Setelah terapi bedah konservatif untuk endometriosis pada wanita infertil, pilihan
antara manajemen menunggu dan terapi aktif harus memperhitungkan usia, hasil
operasi, dan pengaruh serta keparahan dari faktor-faktor infertilitas lainnya.
Dengan memperhatikan kesuburan yang secara pelan-pelan meningkat pada
wanita dengan endometriosis minimal dan ringan setelah terapi operasi, wanita
muda dengan penyakit yang terbatas atau infertilitas yang tidak terjelaskan dapat
diterapi secara ekspektan dalam durasi yang relatif singkat, tetapi tidak lebih dari
6-9 bulan. Pendekatan yang lebih agresif yang melibatkan terapi empiris segera
dengan kombinasi clomiphene citrate atau gonadotropin eksogen dan inseminasi
intrauterin atau bahkan IVF diberikan pada mereka dengan durasi infertilitas atau
endometriosis yang lebih advanced dan pada wanita tua.
Ringkasan
46
Penerimaan terapi bedah untuk implan peritoneal dari endometriosis meliputi
ablasi atau eksisi dari semua penyakit ketika memungkinkan; eksisi menawarkan
keuntungan tambahan spesimen jaringan untuk konfirmasi diagnosis dengan
histopatologi. Endometrioma ovarium paling baik diterapi dengan kistektomi atau
dengan fenestrasi plus ablasi dinding internal dari kista. Endometriosis
rektovagina dalam memerlukan terapi bedah ekstensif dan paling baik ditangani
hanya oleh ahli bedah yang paling terlatih dan berpengalaman. Efektivitas terapi
bedah untuk kontrol nyeri yang berhubungan dengan endometriosis ringan
sebanding dengan terapi medikamentosa, tetapi terapi bedah menawarkan hasil
jangka panjang yang lebih baik untuk wanita dengan endometrioma atau penyakit
infiltratif yang dalam. Terapi bedah meningkatkan fertilitas pada wanita dengan
endometriosis moderat dan berat dan mungkin pada wanita dengan penyakit yang
minimal dan ringan sampai batas tertentu. Terapi medik postoperatif tidak terbukti
bernilai kecuali pada wanita dengan penyakit yang dalam yang melibatkan cul-de-
sac atau septum rektovagina dimana ini mungkin meningkatkan outcome. Terapi
medik postoperatif dapat menunda rekurensi penyakit dan gejala dan menjamin
adanya perhatian pada wanita dengan penyakit ekstensif atau residual tetapi
umumnya tidak menawarkan nilai tambahan untuk wanita infertil. Setelah terapi
bedah, angka rekurensi endometriosis adalah sekitar 10-20% per tahun.
Histerektomi dan salpingo-ooforektomi sangat efektif ketika manajemen
medikamentosa gagal dan terapi bedah konservatif tidak berhasil atau tidak
diperlukan. Terapi kombinasi estrogen-progestin dosis rendah merupakan bentuk
terapi hormon postmenopause yang disukai setelah operasi radikal.
47
untuk rekurensi dan tendensi terjadinya progresi, dan pengaruh potensialnya
terhadap fertilitas yang akan datang
Diantara wanita yang mencari layanan keluarga berencana dan memilih untuk
menggunakan kontrasepsi oral, risiko endometriosis berkurang pada mereka yang
sedang atau baru saja mengkonsumsi pil. Akibatnya, pada wanita dengan
endometriosis ringan, terapi profilaksis dengan kontrasepsi oral yang ditujukan
untuk menurunkan risiko penyakit rekuren membutuhkan perhatian serius, bahkan
untuk wanita yang tidak memerlukan kontrasepsi. Wanita dengan penyakit yang
lebih advanced adalah kandidat untuk terapi medikamenstosa postoperatif yang
lebih agresif dengan progestin atau agonis GnRH, diikuti dengan kontrasepsi
kombinasi estrogen-progestin. Tidak ada alasan untuk memikirkan bahwa produk
kontrasepsi estrogen-progestin transdermal dan transvaginal tidak akan sama
efektif. Amenorrhea yang dicapai dengan penggunaan kontrasepsi oral secara
kontinyu menunjukkan bahwa terapi kontinyu lebih efektif dibandingkan
penggunaan kontrasepsi siklik untuk tujuan profilaksis, tetapi tidak ada bukti
langsung yang mengindikasikan demikian. Follow-up reguler yang teliti, waspada
terhadap kemungkinan endometriosis rekuren, membantu dalam deteksi dini dan
menyediakan kesempatan untuk intervensi lebih jauh yang akan menurunkan
risiko penyakit progresif. Sementara usaha aktif untuk hamil sebaiknya jangan
pernah disarankan pada wanita yang tidak siap secara penuh untuk hamil, mereka
yang merencanakan kehamilan pada masa yang akan datang disarankan dengan
baik untuk berusaha hamil pada umur termuda yang paling memungkinkan.
48