Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Cedera kranioserebral adalah suatu trauma mekanik yang secara langsung atau tidak
langsung mengenai kepala dan mengakibatkan gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik,
kognitif, psikososial, bersifat temporer atau permanent. Trauma bisa timbul akibat gaya
mekanik, tetapi bisa juga karena gaya non-mekanik.1
Berdasarkan statistik beberapa negara yang sudah maju menunjukkan bahwa cedera
kranioserebral mencakup 26% dari jumlah segala kecelakaan yang mengakibatkan seseorang
tidak dapat bekerja lebih dari satu hari sampai selama jangka panjang. Di Amerika Serikat,
kejadian cedera kranioserebral setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Dari
jumlah tersebut, 10% meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Yang sampai di rumah sakit,
80% dikelompokkan sebagai cedera kranioserebral ringan (CKR), 10% termasuk cedera
kranioserebral sedang (CKS), dan 10% sisanya adalah cedera kranioserebral berat (CKB).2
Insiden cedera kranioserebral terutama terjadi pada kelompok usia produktif antara
15-44 tahun.4 Data epidemiologi di Indonesia belum ada, tetapi data dari salah satu rumah
sakit di Jakarta, RS Cipto Mangunkusumo, untuk penderita rawat inap, terdapat 60%-70%
dengan CKR, 15%-20% CKS, dan sekitar 10% dengan CKB. 1 Statistik negara maju
menunjukan bahwa cedera kranioserebral mencakup 26% dari jumpalh segala macam
kecelakaan, yang mengakibatkan seorang tidak bisa bekerja lebih dari satu hari. Kurang lebih
33% kecelakaan yang berakhir pada kematian menyangkut cedera kranioserebral.1
Sebab dari kematian dan cacat yang menetap akibat cedera kranioserebral, maka
50% ternyata disebabkan oleh trauma secara langsung dan 50% yang tersisa disebabkan
oleh gangguan peredaran darah sebagai komplikasi yang terkait secara tidak langsung
pada trauma. Prinsip penanganan awal pada pasien cedera kranioserebral meliputi survei
primer dan survey sekunder. Pada penderita cedera kranioserebral khususnya dengan
cedera kranioserebral berat survey primer sangatlah penting untuk mencegah cedera otak
sekunder dan mencegah homeostasis otak.
1.2 Rumusan Masalah

Apa definisi dari cedera kranioserebral?


Apa etiologi cedera kranioserebral?
Bagaimana patofisiologi cedera kranioserebral?
Bagaimana klasifikasi dari cedera kranioserebral?
Bagaimana penatalaksanaan cedera kranioserebral?
Bagaimana prognosis cedera kranioserebral?

1.3 Tujuan
Untuk memenuhi salah satu Kepaniteraan Klinik Madya (KKM) di Bagian Neurologi RSUD
Jayapura.
1.4 Manfaat
Sebagai bahan informasi tentang cedera kranioserebral.
Menambah pengetahuan dan melatih kemampuan akademik dalam menyusun referat

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Cedera Kranioserebral

Cedera kranioserebral adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara
langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan fungsi
neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau permanent. Menurut
Brain Injury Assosiation of America, cedera kranioserebral adalah suatu kerusakan pada
kepala,

bukan

bersifat

congenital

ataupun

degeneratif,

tetapi

disebabkan

oleh

serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang
mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.2
2.2. Anatomi Kepala1
2.2.1. Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin atau kulit,
connective tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau galea aponeurotika,
loose conective tissue atau jaringan penunjang longgar dan pericranium.
2.2.2. Tulang Tengkorak
Tengkorak adalah tulang kerangka dari kepala yang disusun menjadi dua bagian
yaitu kranium (kalvaria) yang terdiri atas delapan tulang dan kerangka wajah yang
terdiri atas empat belas tulang. Rongga tengkorak mempunyai permukaan atas yang
dikenal sebagai kubah tengkorak, licin pada permukaan luar dan pada permukaan
dalam ditandai dengan gili-gili dan lekukan supaya dapat sesuai dengan otak dan
pembuluh darah. Permukaan bawah dari rongga dikenal sebagai dasar tengkorak atau
basis kranii. Dasar tengkorak ditembusi oleh banyak lubang supaya dapat dilalui oleh
saraf dan pembuluh darah.
2.3. Meningia1
2.3.1 Durameter (Lapisan sebelah luar)
Durameter ialah selaput keras pembungkus otak yang berasal dari jaringan ikat tebal
dan kuat, dibagian tengkorak terdiri dari selaput tulang tengkorak dan dura meter
propia di bagian dalam. Di dalam kanalis vertebralis kedua lapisan ini terpisah.
Durameter pada tempat tertentu mengandung rongga yang mengalirkan darah vena
dari otak, rongga ini dinamakan sinus longitudinal superior yang terletak diantara
kedua hemisfer otak.

2.3.2 Selaput Arakhnoid (Lapisan tengah)


Selaput arakhnoid merupakan selaput halus yang memisahkan durameter dengan
piameter yang membentuk sebuah kantong atau balon berisi cairan otak yang meliputi
seluruh susunan saraf sentral.
2.3.3 Piameter (Lapisan sebelah dalam)
Piameter merupakan selaput tipis yang terdapat pada permukaan jaringan otak,
piameter berhubungan dengan arakhnoid melalui struktur-struktur jaringan ikat yang
disebut trebekel. Tepi falks serebri membentuk sinus longitudinal inferior dan sinus
sagitalis inferior yang mengeluarkan darah dari flaks serebri. Tentorium memisahkan
cerebrum dengan cerebellum.

Gambar 2.1. Lapisan Meningea

2.2.4. Otak
Otak merupakan suatu alat tubuh yang sangat penting karena merupakan pusat computer
dari semua alat tubuh, bagian dari saraf sentarl yang terletak di dalam rongga tengkorak
(cranium) yang dibungkus oleh selaput otak yang kuat. Otak terdiri dari otak besar

(cerebrum), otak kecil (cerebellum), dan batang otak yang kuat. Otak terdiri dari otak
besar (cerebrum), otak kecil (cerebellum), batang otak (Truncus cerebri). Besar otak orang
dewasa kira-kira 1300 gram, 7/8 bagian berat terdiri dari otak besar.
a. Otak besar (cerebrum)
Otak besar merupakan bagian yang terluas dan terbesar dari otak, berbentuk telur mengisi
penuh bagian depan atas rongga tengkorak. Masing-masing disebut fosa kranialis anterior
atar dan fosa kranialis media. Otak besar terdiri dari dua belahan, yaitu belahan kiri yang
mengendalikan tubuh bagian kanan, dan belahan kanan yang mengendalikan tubuh
bagian kiri. Otak mempunyai 2 permukaan, permukaan atas dan permukaan bawah.
Kedua lapisan ini dilapisi oleh grey matter yaitu pada bagian korteks serebral dan white
matter yang terdapat pada bagian dalamm yang mengandung serabut saraf. Fungsi otak
besar yaitu sebagai pusat berpikir, kecerdasan dan kehendak. Selain itu, otak besar juga
mengendalikan semua kegiatan yang disadari seperti bergerak, medengar, melihat,
berbicara, berpikir dan lain sebagainya.
b. Otak kecil (cerebellum)
Otak kecil terletak di bawah otak besar. Terdiri dari dua belahan yang dihubungkan oleh
jembatan varol, yang menyampaikan rangsangan pada kedua belahan dan menyampaikan
rangsangan dari bagian lain. Fungsi otak kecil adalah untuk mengatur keseimbangan
tubuh serta mengkooordinasikan kerja otot ketika bergerak.
c. Batang otak (Truncus cerebri)
Batang otak terdiri dari :
-

Diensefalon
bagian batang otak paling atas terdapat diantara serebellum dengan mensefalon,
kumpulan dari sel daraf yang terdapat di bagian depan lobus temporalis terdapat
kapsula interna dengan sudut menghadap ke samping. Diensefalon ini berfungsi
sebagai vasokonstriksi (memperkecil pembuluh darah), respiratori (membantu proses
pernapasan), mengontrol kegiatan refleks, dan membantu pekerjaan jantung.

Mensefalon
Atap dari mensefalon terdiri dari empat bagian yang menonjol ke atas, dua di sebelah
atas disebut korpus quadrigeminus superior dan dua di sebelah bawah disebut

quadrigeminus inferior. Mensefalon ini berfungsi untuk sebagai pusat pergerakan


mata, mengangkat kelopak mata, dan memutar mata.
-

Pons varolli
Merupakan bagian tengah batang otak dan arena itu memiliki jalur lintas naik dan
turun seperti otak tengah. Selain itu terdapat banyak serabut yang berjalan menyilang
menghubungkan kedua lobus cerebellum dan menghubungkan cerebellum dan
menghubungkan cerebellum dengan korteks serebri.

Medulla oblongata
Merupakan bagian dari batang otak yang paling bawah yang menghubungkan pons
varolli deng medulla spinalis. Medulla oblongata memiliki fungsi yang sama dnegan
diensefalon.

2.2.5 Cairan Cerebrospinalis


Cairan cerebrospinalis adalah hasil sekresi plexus khoroid. Cairan ini bersifat
alkali, bening mirip plasma dengan tekanan 60-140 mm air. Sirkulasi cairan cerebrospinalis
yaitu cairan ini disalurkan oleh plexus khoroid ke dalam ventrikel-ventrikel yang ada di
dalam otak. Cairan itu masuk ke dalam kanalis sentralis sumsum tulang belakang dan juga
ke dalam ruang subaraknoid melalui celah-celah yang terdapat pada ventrikel keempat.
Setelah cairan ini dapat melintasi ruangan di atas seluruh permukaan otak dan sumsum
tulang belakang hingga akhirnya kembali ke sirkulasi vena melalui granulasi araknoid pada
sinus sagitalis superior. Oleh karena susunan ini, maka bagian saraf otak dan sumsum
tulang belakang yang sangat halus terletak di antara dua lapisan cairan. Dengan adanya
kedua bantalan air ini maka sistem persarafan terlindungi dengan baik. Cairan
cerebrospinal ini berfungsi sebagai buffer, melindungi otak dan sumsum tulang belakang
dan menghantarkan makanan ke jaringan system persarafan pusat.
2.3 Penyebab cedera kranioserebral
Cedera kranioserebral ini dapat terjadi akibat kecelakaan lalu lintas (yang terbanyak) baik
pejalan kaki maupun pengendara motor atau mobil. Selain itu, cedera ini juga terjadi akibat
jatuh, peperangan (luka tembus peluru), dan lain-lain.

2.4 Patofisiologi Cedera Kranioserebral


Berat ringannya daerah otak yang mengalami cedera akibat cedera kranioserebral
tergantung pada besar dan kekuatan benturan, arah dan tempat benturan, serta sifat dan
keadaan kepala sewaktu menerima benturan. Sehubungan dengan berbagai aspek benturan
tersebut maka dapat mengakibatkan lesi otak berupa lesi bentur (Coup), lesi antar (akibat
pergeseran tulang, dasar tengkorak yang menonjol/falx dengan otak peregangan dan
robeknya pembuluh darah dan lain-lain yaitu sama dengan lesi media), dan lesi kontra
(counter coup). Berdasarkan hal tersebut cedera otak dapat dibedakan atas kerusakan primer
dan sekunder.2
2.4.1 Kerusakan primer1
Kerusakan primer adalah kerusakan otak yang timbul pada saat cedera, sebagai
akibat dari kekuatan mekanik yang menyebabkan deformasi jaringan. Kerusakan ini
dapat bersifat fokal ataupun difus. Kerusakan fokal merupakan kerusakan yang
melibatkan bagian-bagian tertentu dari otak, bergantung kepada mekanisme trauma
yang terjadi sedangkan kerusakan difus adalah suatu keadaan patologis penderita koma

(penderita yang tidak sadar sejak benturan kepala dan tidak mengalami suatu interval
lucid) tanpa gambaran Space Occupying Lession (SOL) pada CT-SCAN atau MRI.
2.4.2 Kerusakan sekunder
Kerusakan sekunder adalah kerusakan otak yang timbul sebagai komplikasi dari
kerusakan oleh hipoksia, iskemia, pembengkakan otak, Tekanan Intrakranial (TIK),
hidrosefalus dan infeksi.

2.5 Klasifikasi cedera kranioserebral


2.6.1 Tingkat keparahan cedera kranioserebral ditentukan dengan menggunakan Glasgow
Coma Scale (GCS) :

1. Ringan (GCS 14-15)


Pasien ini biasanya tetap sadar, atau terkadang kesadarannya menurun namun tidak
terlalu lama tanpa ada kerusakan permanen pada otak. Pasien mungkin mengalami
kesulitan dalam mengingat kejadian pasca trauma dan gangguan konstentrasi selama
beberapa hari. Gejala post trauma seperti nyeri kepala, kelemahan otot, gelisah dan

insomnia dapat muncul pada pasien. Pada grade ini pasien dapat kembali sembuh
sempurna.
2. Sedang (GCS 9-13)
Pada pasien ini umumnya hanya mengerang dan membuka mata pada rangsang nyeri.
Tanda tanda trauma yang lain seperti laserasi dan fraktur dapat terlihat. Pasien ini
memerlukan perawatan emergensi, neuroimaging dan pada penangannya selalu
diperhatikan kemungkinan adanya fraktur servikal. Dalam proses penyembuhannya
pasien dapat mengalami nyeri kepala, gangguan memori, ketidakmampuan berkosentrasi,
pusing berputar atau vertigo dalam waktu yang bervariasi.
3. Berat (GCS 3-8)
Pasien dapat berada dalam kondisi koma, perdarahan hebat, hipotensi dan hipoksia yang
memerlukan tindakan emergensi. Keadaan pasien dapat memburuk secara drastis
bersamaan dengan munculnya secondary injury.
2.5.2

Berdasarkan morfologi
1. Fraktur
a. Kalvaria
Fraktur tengkorak dapat terjadi pada kalvaria atau basis. Pada fraktur kalvaria
ditentukan apakah terbuka atau tertutup, linear atau stelata, depressed atau
nondepressed.
Fraktura tengkorak terbuka atau compound berakibat hubungan langsung
antara laserasi scalp dan permukaan serebral karena duranya robek, dan fraktura ini
memerlukan operasi perbaikan segera. Frekuensi fraktur tengkorak bervariasi, lebih
banyak fraktur ditemukan bila penelitian dilakukan pada populasi yang lebih banyak
mempunyai cedera berat.
Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar
400 kali pada pasien yang sadar dan 20 kali pada pasien yang tidak sadar. Untuk
alasan ini, adanya fraktura tengkorak mengharuskan pasien untuk dirawat dirumah
sakit untuk pengamatan, tidak peduli bagaimana baiknya tampak pasien tersebut.
b. Basis kranii

Pada setiap penderita dengan cedera kranioserebral sebaiknya diperiksa secara


rutin dengan foto Roentgen kepala terutama untuk melihat ada tidaknya fraktur pada
tulang tengkorak. Penderita dengan cedera kranioserebral sebaiknya dipalpitasi
dengan teliti untuk mengetahui ada tidaknya suatu hematoma karena dibawah
hematoma mungkin tersembunyi suatu garis fraktur. Pada fraktur impresi (juga
disebut fraktur depresi), bagian yang patah menonjol ke dalam rongga tengkorak.
Biasanya fraktur kepala berbeda dengan fraktur tulang di tulang panjang.
Disini tidak diperlukan fiksasi maupun reposisi-fiksasi karena kedudukan selalu baik,
kecuali bila terjadi fraktur impresi pada kalvarium yang harus ditangani agak cepat
(sebelum 8 minggu) karena potensial menyebabkan epilepsi pascatrauma. Juga
fraktur basis kranii memerlukan perawatan lama karena selalu bersama kontusio
serebral yang berat

2. Lesi intrakranial
a. Fokal

Epidural
Hematoma epidural
Hematoma epidural ialah perdarahan yang terjadi diantara tulang tengkorak dan
durameter. Perdarahan epidural terjadi pada 1-3% kasus cedera kranioserebral.
Perdarahan ini terjadi akibat robeknya salah satu cabang arteria meningitis media,
robeknya sinus venosus durameter dan robeknya arteria diploika. Gejala-gejala yang
dapat dijumpai yaitu :
a. Adanya suatu lucid interval yang berarti bahwa diantara waktu terjadinya
cedera kranioserebral dan waktu terjadinya koma terdapat waktu dimana
kesadaran penderita adalah baik.
b. Tekanan darah yang semakin bertambah tinggi
c. Nadi yang semakin bertambah lambat
d. Sindrom weber, yaitu midriasis (pupil mengecil) di sisi ipsilateral dan hemiplegi
di sisi kontralateral dan garis fraktur.

e. Funduskopi dapat memperlihatkan papil edema (setelah 6 jam kejadian)


f. Foto rontgen : garis fraktur yang jalannya melintang dengan jalan arteri meningea
media atau salah satu cabangnya.

Subdural
Hematoma subdural
Hematoma subdural adalah perdarahan yang terjadi diantara durameter dan
araknoidea. Hematoma ini timbul karena adanya sobekan pada bridging veins.
Menurut saat timbulnya gejala-gejala klinis, hematoma subdural dibagi atas 2 jenis:
a. Hematoma subdural akut
Gejala-gejala timbul segera hingga berjam-jam setelah trauma. Perdarahan dapat
kurang dari 5 mm tebalnya tetapi melebar luas.
b. Hematoma subdural kronik
Gejala-gejala timbul lebih dari 10 hari hingga beberapa bulan setelah
trauma. Kapsula jaringan ikat terbentuk mengelilingi hematoma. Pada hematoma
yang baru, kapsula masih tipis atau belum terbentuk di daerah permukaan
araknoidea. Kapsula merekat pada araknoidea bila terjadi robekan pada selaput
otak. Kapsula ini mengandung pembuluh-pembuluh darah tipis ini protein dari
plasma darah dapat menembusnya dan meningkatkan volume hematoma.
Pembuluh darah ini dapat pula pecah dan menimbulkan perdarahan baru yang
menyebabkan menggembungnya hematoma.
Darah di dalam kapsula akan terurai membentuk cairan kental yang dapat
menghisap cairan dari ruangan subdural araknoidea. Hematoma akan membesar
dan menimbulkan gejala-gejala seperti tumor serebri. Sebagian besar hematoma
subdural ditemukan pada pasien berusia di atas 50 tahun. Seringkali cedera
kranioserebral yang menyebabkan hematoma subdural juga menimbulkan lesi
ada jaringan otak berupa hematoma serebri, laserasi atau kontusi serebri yang
menyebabkan keadaan pasien menjadi lebih parah dengan mortalitas yang lebih
tinggi. Gejala-gejala hematoma subdural aku sama dengan gejala-gejala
hematoma epidural, yaitu midriasis pupil ipsilateral dan hemiparesis kontralateral.
Mungkin dapat juga dijumpai deficit neurologis lainnya.

Pada perdarahan campuran keadaan umum dapat lebih buruk dan deficit
neurologisnya dijumpai lebih banyak. Defisit neurologis yang terjadi mungkin
disebabkan oleh lesi parenkimnya dan bukan oleh penekanan hematomanya. Pada
hematoma subdural sub akut, gejala-gejala berkembang lebih lambat.
Hematoma subdural kronik pada sebagian kasus menimbulkan gejala
tumor serebri, sisanya tidak memberikan gejala atau hanya gejala ringan yang
dapat diabaikan atau diobati sendiri oleh pasien. Hal ini terjadi bila perdarahannya
kecil dan penyerapannya berjalan dengan baik. Gejala-gejala yang dapat timbul
ialah nyeri kepala yang kronis dan progresif, mungkin hemiparesis, anisokori
pupil (pupil tidak sama besar), kaku kuduk, apatis (tidak acuh), amnesia,
perubahan kepribadian dan perilaku misalnya menjadi acuh tidak acuh terhadap
orang lain atau dirinya sendiri, tanda-tanda demensia, dan mungkin pula kejang.

Intraserebral
Hematoma intraserebral
Hematoma intraserebral terjadi bersama dengan kontusio sehingga secara
umum lebih buruk baik dioperasi atau tidak. Dorongan yang mengancam
terjadinya herniasi oleh bekuan darah di tengah otak disertai edema lokal yang
hebat biasanya berprognosis buruk daripada hematoma epidural yang dioperasi.
Pada suatu hematoma intraserebral, seorang penderita yang setelah
mengalami cedera kranioserebral akan memperlihatkan gejala: hemiplegic, papil
edem (pembengkakan pada mata) serta gejala-gejala lain dari tekanan
intrakranium yang meningkat, dan arteriografi karotis dapat memperlihatkan
suatu peranjakan dari arteri perikalosa ke sisi kontralateral serta gambaran
cabang-cabang arteri serebri media yang tidak normal.
Kontusi serebri (memar otak)
Kontusio serebri adalah suatu keadaan yang disebabkan oleh cedera
kranioserebral yang menimbulkan lesi perdarahan interstisial (perdarahan yang
terjadi diantara bagian-bagian atau sela-sela jaringan) nyata pada jaringan otak
tanpa terganggunya kontinuitas jaringan dan dapat mengakibatkan gangguan
neurologis yang menetap. Jika lesi otak menyebabkan terputusnya kontinuitas
jaringan maka disebut laserasio serebri.

a. Difuse
Komosio cerebri
Komosio serebri adalah keadaan dimana penderita setelah mendapat cedera
kranioserebral mengalami kesadaran yang menurun sejenak (tidak lebih dari 10
menit). Kemudian penderita dengan cepat, siuman embali tanpa mengalami suatu
kelainan neurologis. Gejala-gejala yang dapat dilihat yaitu:

Penderita tidak sadar sejenak ( 10 menit)

Wajahnya pucat

Kadang-kadang disertai muntah

Nadi agak lambat : 60-70/ menit

Tensi normal atau sedikit menurun

Subarachnoid
Perdarahan subarachnoid
Keadaan yang akut, karena terjadi perdarahan ke dalam ruangan subarachnoid.
Perdarahan dapat terjadi akibat aneurisma pecah, robeknya malformasi arterivena, kelainan pembekuan darah, tumor otak, dan beberapa sebab lain.
Arterivenous Malformation (AVM)
Arterivenous Malformation (AVM) adalah jaringan penghubung yang
abnormal yang terjadi diantara arteri dan vena. Keadaan ini paling sering terjadi
akibat faktor kongenital. Arterivenous malformation dapat berkembang di
seluruh bagian tubuh tetapi paling sering terjadi di bagian otak. Penyebabnya
belum jelas dan penderita akan mengetahuinya setelah timbul gejala seperti nyeri
kepala atau kejang.
Dalam kasus serius, adanya ruptur pembuluh darah menyebabkan
perdarahan di otak. Arterivenous Malformation (AVM) mungkin menyebabkan

tanda atau gejala sampai terjadi sebuah rupture yang menghasilkan perdarahan di
otak. Gejala yang ditimbulkan akibat adanya AVM yaitu:
-

Kejang
Adanya bruit yang dapat didengar pada pemeriksaan skull dengan stetoskop yang

mungkin terdengar jika terdapat AVM,


Nyeri kepala
Kelemahan hingga kelumpuhan yang progresif
Untuk beberapa kasus yang mengalami gejala yang lebih berat tergantung lokasi
AVM, yaitu:

Nyeri kepala hebat


Kelemahan hingga paralisis
Kehilangan daya penglihatan
Kesulitan dalam berbicara
Ketidakmampuan berkomunikasi
Ketidakstabilan yang parah
Gejala-gejala tersebut dapat terjadi pada semua umur tetapi paling sering timbul
pada saat berumur 10 40 tahun. Arterivenous Malformation dapat merusak
jaringan otak kapan saja. Efek yang terjadi berlangsung lambat dan kadang dapat
terjadi pada dewasa muda. Pada wanita hamil, dapat terjadi gejala yang lebih
buruk. Hal ini masih belum bisa dijelaskan alasan wanita hamil menjadi faktor
risiko terbesar terjadinya perdarahan akibat AVM.
Faktor risiko
Pada Arterivenous Malformation (AVM) yang beresiko mengalami kondisi ini
yaitu penderita yang sudah sejak lahir memiliki kelainan ini, kebanyakan terjadi
pada laki-laki dan yang memiliki riwayat keluarga yang memiliki kelainan ini.
Komplikasi

Perdarahan di otak
Dinding pembuluh darah arteri dan vena menjadi tipis dan lemah. Pada AVM
memberikan tekanan yang hebat pada dinding pembuluh darah karena tidak ada
kapiler yang memiliki aliran darah yang lambat. Hal ini dapat mengakibatkan

perdarahn di otak. Sebuah perdarahan kecil (mikroskopik) menyebabkan


kerusakan yang terbatas pada sekitra jaringan dan tidak menghasilkan gejala
yang berarti. Perdarahan besar dapat menyebabkan kerusakan otak yang dikenal
dengan perdarahan intraserebral ketika perdarahan terjadi di jaringan otak.
Kekurangan oksigen pada jaringan otak

Aneurysma cerebral
Aneurysma intracranial atau cerebral merupakan kondisi dilatasi fokal
yang abnormal arteridi otak yang menghasilkan kelemahan pada lapisan
muscular dalam (intima) pembuluh darah. Pembuluh darah berkembang menjadi
dilatasi seperti menggelembung yang dapat menjadi tebal dan rupture tanpa ada
tanda bahaya. Perdarahan yang dihasilkan masuk ke dalam ruang sekitar otak
yang disebut sebagai subarachnoid hemorraghe (SAH). Jenis perdarahan ini
dapat menjadi stroke, koma, dan/atau kematian.
Aneurysma beragam ukurannya dari kecil sekitar 1/8 inchi samapai
mendekati 1 inchi. Aneurysma yang lebih besar dari 1 inchi disebut giant
aneurysma, yang berisiko dan susah untuk ditangani. Mekanisme pasti
perkembangan aneurysma cerebral, tumbuh dan rupture tidak dikethaui. Faktorfaktor yang berkaitan dengan pembentukan aneurysma yaitu seperti:
-

Hipertensi
Merokok
Faktor congenital
Trauma pada pembuluh darah
Komplikasi dari sejumlah infeksi
Pasien dengan aneurysma intracranial bisa ditemukan bersamaan dengan

SAH dari aneurysma yang rupture dan yang tidak rupture. Pada rupture
aneurysma, ketikan sebuah lubang berkembang di dalam sac aneurysma. Lubang
tersebut dapat kecil, yang mana dalam kasus sejumlah kecil lubang dalam
pembuluh darah atau yang besar yang cenderung dapat menjadi sebuah
perdarahan. Aneurysma yang tidak rupture merupakan satu-satunya yang
memiliki sac yang sebelumnya tidak robek. Setiap tahun kira-kira 30.000 pasien

di Amerika menderita anuerysma yang rupture dan sekitar 6% lebih populasi


memiliki aneurysma yang tidak rupture.
Perawatan untuk aneurysma cerebral yang rupture dapat dilakukan dengan
pemasangan cincin untuk mencegah rupture ulang. Untuk pasien yang dinyatakan
buruk, sulit untuk dilakukan tindakan khususnya untuk kelompok usia tua. Dapat
juga dilakukan terapi endovascular. Terapi yang diberikan yaitu dengan mengatasi
faktor risiko yang menyebabkan adanya aneurysma seperti merokok dan
mengontrol tekanan darah.

Gejala klinis dari perdarahan subaraknoid, yaitu:


1

Nyeri kepala hebat sesisi yang akut dengan atau tanpa gangguan kesadaran.
Kurang lebih 25% penderita didahului dengan nyeri kepala hebat.

Terdapa tanda rangsangan selaput otak (meningeal sign) dan pada 10%
penderita terdapat perdarahan subhialoid pada mata (subhialoid bleeding).

Pada umumnya tidak dijumpai tanda fokal.

Bila dilakukan pungsi lumbal selalu didapatkan cairan otak/likuor yang


berdarah.

Cara menegakkan diagnosis perdarahan subararaknoid:


Anamnesis (mulainya) akut, nyeri kepala hebat satu sisi, mual muntah
dapat disusul gangguan kesadaran dan kejang.
Pemeriksaan klinis neurologis
Pemeriksaan tambahan :

Funduskopi : cari subhyaloid bleeding

CT scan kepala

Lumbal pungsi : dilakukan dalam waktu 12 jam bilamana CT scan


kepala tidak dapat dikerjakan atau gambaran CT scan kepala
normal, sedangkan klinis sangat mencurigakan suatu perdarahan
subarachnoid, dan tidak ada kontra indikasi lumbal pungsi.

MRI tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis perdarahan


subarachnoid.

Angiografi sebagai persiapan operasi.

2.6 Penatalaksanaan Cedera Kranioserebral


Penatalaksanaan cedera kranioserebral sesuai dengan tingkat keparahannya, berupa cedera
kranioserebral ringan, sedang, atau berat. Tidak semua pasien cedera kranioserebral perlu di
rawat inap di rumah sakit. Indikasi rawat inap antara lain :
1. Amnesia posttraumatika jelas (lebih dari 1 jam)
2. Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit)
3. Penurunan tingkat kesadaran
4. Nyeri kepala sedang hingga berat
5. Intoksikasi alkohol atau obat
6. Fraktura tengkorak
7. Kebocoran LCS, otorrhea atau rhinorrhea
8. Cedera penyerta yang jelas
10. CT scan abnormal
Prinsip penanganan awal pada pasien cedera kranioserebral meliputi survei primer
dan survey sekunder. Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan
antara lain airway, breathing, circulation, disability, dan exposure, yang kemudian
dilanjutkan dengan resusitasi. Pada penderita cedera kranioserebral khususnya dengan
cedera kranioserebral berat survey primer sangatlah penting untuk mencegah cedera otak
sekunder dan mencegah homeostasis otak.

Indikasi dilakukan CT SCAN pada pasien cedera kranioserebral :

Indikasi untuk tindakan operatif pada kasus cedera kranioserebral ditentukan oleh
kondisi klinis pasien, temuan neuroradiologi dan patofisiologi dari lesi. Secara umum
digunakan panduan sebagai berikut :
1. volume masa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah supratentorial atau lebih dari
20 cc di daerah infratentorial
2. kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis, serta gejala dantanda
3.
4.
5.
6.
7.

fokal neurologis semakin berat


terjadi gejala sakit kepala, mual, dan muntah yang semakin hebat
pendorongan garis tengah sampai lebih dari 3 mm
terjadi kenaikan tekanan intrakranial lebih dari 25 mmHg.
terjadi penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan ulang CT scan
terjadi gejala akan terjadi herniasi otak
Penatalaksanaan dan terapi untuk perdarahan subararachnoid

Tatalaksanaan awal ditujukan untuk melakukan pencegahan terjadinya perdarahan


ulang dan mencegah terjadinya komplikasi sekunder, seperti infark serebri atau
hidrosefalus. Tatalaksanaan lanjutan ditujukan untuk mengurangi gejala sisa yang sama
seperti yang dilakukan pada penanganan stroke iskemik.
Penatalaksanaan yang mencakup untuk perdarahan ini yaitu tirah baring di ruang
tenang, mengupayakan agar penderita tidak mengedan, menjaga keseimbangan cairan
dan elektrolit. Tindakan ini merupakan rekomendasi konvensional. Belum dapat
dibuktikan bahwa tindakan ini mengurangi perdarahan ulang atau vasospasme
(menciutnya pembuluh darah). Namun meningkatnya tekanan intracranial dan tekanan
darah oleh aktivitas fisik atau lonjakan emosional memang dapat dicegah. Tujuan terapi
medic antara lain ialah:
1. menurunkan tekanan darah untuk mencegah perdarahan ulang. Pada orang
yang dasarnya normotensif (tensi normal) diturunkan sampai sistolik 160
mmHg, pada orang yang hipertensif sedikit lebih tinggi.
2. Penderita harus istirahat total, paling sedikit 4 minggu, agar proliferasi
fibroblastic dan penyembuhan luka pembuluh darah lebih baik.
3. Tekanan dalam rongga tengkorak diturunkan dengan cara:
5

Meninggikan posisi kepala 15-30% (satu bantal)

Memberikan obat antiedem

Memberikan obat deksametason, selain sebagai antiedem juga untuk


mencegah

perlekatan

para

araknoid

yang

dapat

mengakibatkan

hidrosefalus dan peninggian tekanan dalam tengkorak.


4. Mencegah perdarahan ulang, paling sering terjadi selama 2 4 minggu
pertama. Untuk maksud ini dapat diberi obat dari golongan antifibrinolitik,
misalnya asam traksenamat 4-6 gram intravena selama 2 minggu.
5. Mencegah spasme arteri, yang sering terjadi pada hari ke 3 sampai ke 10.
Untuk maksud ini dapat diberi obat nimodipine, 4x30-60 mg sehari selama 2
minggu.

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kranioserebral adalah suatu
kerusakan pada kepala, bukan bersifat congenital ataupun degeneratif, tetapi
disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau
mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan
fungsi fisik. Berat ringannya daerah otak yang mengalami cedera akibat cedera
kranioserebral/cedera kranioserebral tergantung pada besar dan kekuatan benturan, arah
dan tempat benturan, serta sifat dan keadaan kepala sewaktu menerima benturan.
Klasifikasi cedera kranioserebral dibagi berdasarkan tingkat keparahan cedera
kranioserebral ditentukan dengan menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS) yaitu
ringan dengan GCS 14 sampai 15, sedang dengan GCS 9 sampai 13, dan berat dengan
GCS 3 sampai 8. Berdasarkan morfologi, cedera kranioserebral dapat mengenai daerah
kalvaria dan basis crania. Berdasarkan lesi intracranial, cedera kraniocerebral bersifat
fokal dan difuse yang masing-masing memiliki jenis perdarahan.
Penatalaksanaan cedera kranioserebral sesuai dengan tingkat keparahannya,
berupa cedera kranioserebral ringan, sedang, atau berat. Prinsip penanganan awal pada

pasien cedera kranioserebral meliputi survei primer dan survey sekunder. Pada penderita
cedera kranioserebral khususnya dengan cedera kranioserebral berat survey primer
sangatlah penting untuk mencegah cedera otak sekunder dan mencegah homeostasis otak.
Indikasi untuk tindakan operatif pada kasus cedera kranioserebral ditentukan oleh kondisi
klinis pasien, temuan neuroradiologi dan patofisiologi dari lesi.

3.2 Saran
Untuk menangani pasien dengan cedera kranioserebral sangat diperlukan penanganan
yang cepat guna mencegah terjadinya komplikasi lebih lanjut. Oleh karena itu juga,
diperlukan ketepatan pemerikaan klinis yang tepat dan pemeriksaan radiologis yang
lengkap.

DAFTAR PUSTAKA
1

Diakses dari Http/repository.usu.ac.idbistream123456789212585Chapter%20II.pdf

Adams and Victors .2009.Principles of Neurology. Edisi 9. McGraw-Hill eBook

Michael Barnes, dkk.2011. European Handbook of Neurogical Management.Volume 1. Edisi


2. Wiley-Blackwell. Singapura.

Mardjono, Mahar., Priguna Sidarta. Neurologis Klinis Dasar. Cetakan ke-15. 2010. Jakarta.
PT. Dian Rakyat.

Lumbaltobing, S.M. Stroke Bencana Peredaran Di Otak. 2007. Jakarta. Balai penerbit FKUI.

Poerwadi, Troeboes., Fauziya Baoezier, dkk. Pedoman Diagnosis dan Terapi Bagian/SMF
Ilmu Penyakit Saraf. Edisi III. 2006. Surabaya. RSU Dokter Soetomo.

Mayoclinic staf . Arterivenous Malformation. www.mayoclinic.org. Maret 2014. Diambil


tanggal 17 Maret 2015, pukul 21.05 WIT.

American Association Neurological Surgeons. Cerebral Aneurysm. www.aans.org/patient


%20information/conditions%20and%20treatments/cerebral%20aneurysm.aspx. Maret 2015.
Diambil tanggal 17 Maret 2015, pukul 22.30 WIT.

Anda mungkin juga menyukai