PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
Untuk memenuhi salah satu Kepaniteraan Klinik Madya (KKM) di Bagian Neurologi RSUD
Jayapura.
1.4 Manfaat
Sebagai bahan informasi tentang cedera kranioserebral.
Menambah pengetahuan dan melatih kemampuan akademik dalam menyusun referat
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Cedera Kranioserebral
Cedera kranioserebral adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara
langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan fungsi
neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau permanent. Menurut
Brain Injury Assosiation of America, cedera kranioserebral adalah suatu kerusakan pada
kepala,
bukan
bersifat
congenital
ataupun
degeneratif,
tetapi
disebabkan
oleh
serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang
mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.2
2.2. Anatomi Kepala1
2.2.1. Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin atau kulit,
connective tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau galea aponeurotika,
loose conective tissue atau jaringan penunjang longgar dan pericranium.
2.2.2. Tulang Tengkorak
Tengkorak adalah tulang kerangka dari kepala yang disusun menjadi dua bagian
yaitu kranium (kalvaria) yang terdiri atas delapan tulang dan kerangka wajah yang
terdiri atas empat belas tulang. Rongga tengkorak mempunyai permukaan atas yang
dikenal sebagai kubah tengkorak, licin pada permukaan luar dan pada permukaan
dalam ditandai dengan gili-gili dan lekukan supaya dapat sesuai dengan otak dan
pembuluh darah. Permukaan bawah dari rongga dikenal sebagai dasar tengkorak atau
basis kranii. Dasar tengkorak ditembusi oleh banyak lubang supaya dapat dilalui oleh
saraf dan pembuluh darah.
2.3. Meningia1
2.3.1 Durameter (Lapisan sebelah luar)
Durameter ialah selaput keras pembungkus otak yang berasal dari jaringan ikat tebal
dan kuat, dibagian tengkorak terdiri dari selaput tulang tengkorak dan dura meter
propia di bagian dalam. Di dalam kanalis vertebralis kedua lapisan ini terpisah.
Durameter pada tempat tertentu mengandung rongga yang mengalirkan darah vena
dari otak, rongga ini dinamakan sinus longitudinal superior yang terletak diantara
kedua hemisfer otak.
2.2.4. Otak
Otak merupakan suatu alat tubuh yang sangat penting karena merupakan pusat computer
dari semua alat tubuh, bagian dari saraf sentarl yang terletak di dalam rongga tengkorak
(cranium) yang dibungkus oleh selaput otak yang kuat. Otak terdiri dari otak besar
(cerebrum), otak kecil (cerebellum), dan batang otak yang kuat. Otak terdiri dari otak
besar (cerebrum), otak kecil (cerebellum), batang otak (Truncus cerebri). Besar otak orang
dewasa kira-kira 1300 gram, 7/8 bagian berat terdiri dari otak besar.
a. Otak besar (cerebrum)
Otak besar merupakan bagian yang terluas dan terbesar dari otak, berbentuk telur mengisi
penuh bagian depan atas rongga tengkorak. Masing-masing disebut fosa kranialis anterior
atar dan fosa kranialis media. Otak besar terdiri dari dua belahan, yaitu belahan kiri yang
mengendalikan tubuh bagian kanan, dan belahan kanan yang mengendalikan tubuh
bagian kiri. Otak mempunyai 2 permukaan, permukaan atas dan permukaan bawah.
Kedua lapisan ini dilapisi oleh grey matter yaitu pada bagian korteks serebral dan white
matter yang terdapat pada bagian dalamm yang mengandung serabut saraf. Fungsi otak
besar yaitu sebagai pusat berpikir, kecerdasan dan kehendak. Selain itu, otak besar juga
mengendalikan semua kegiatan yang disadari seperti bergerak, medengar, melihat,
berbicara, berpikir dan lain sebagainya.
b. Otak kecil (cerebellum)
Otak kecil terletak di bawah otak besar. Terdiri dari dua belahan yang dihubungkan oleh
jembatan varol, yang menyampaikan rangsangan pada kedua belahan dan menyampaikan
rangsangan dari bagian lain. Fungsi otak kecil adalah untuk mengatur keseimbangan
tubuh serta mengkooordinasikan kerja otot ketika bergerak.
c. Batang otak (Truncus cerebri)
Batang otak terdiri dari :
-
Diensefalon
bagian batang otak paling atas terdapat diantara serebellum dengan mensefalon,
kumpulan dari sel daraf yang terdapat di bagian depan lobus temporalis terdapat
kapsula interna dengan sudut menghadap ke samping. Diensefalon ini berfungsi
sebagai vasokonstriksi (memperkecil pembuluh darah), respiratori (membantu proses
pernapasan), mengontrol kegiatan refleks, dan membantu pekerjaan jantung.
Mensefalon
Atap dari mensefalon terdiri dari empat bagian yang menonjol ke atas, dua di sebelah
atas disebut korpus quadrigeminus superior dan dua di sebelah bawah disebut
Pons varolli
Merupakan bagian tengah batang otak dan arena itu memiliki jalur lintas naik dan
turun seperti otak tengah. Selain itu terdapat banyak serabut yang berjalan menyilang
menghubungkan kedua lobus cerebellum dan menghubungkan cerebellum dan
menghubungkan cerebellum dengan korteks serebri.
Medulla oblongata
Merupakan bagian dari batang otak yang paling bawah yang menghubungkan pons
varolli deng medulla spinalis. Medulla oblongata memiliki fungsi yang sama dnegan
diensefalon.
(penderita yang tidak sadar sejak benturan kepala dan tidak mengalami suatu interval
lucid) tanpa gambaran Space Occupying Lession (SOL) pada CT-SCAN atau MRI.
2.4.2 Kerusakan sekunder
Kerusakan sekunder adalah kerusakan otak yang timbul sebagai komplikasi dari
kerusakan oleh hipoksia, iskemia, pembengkakan otak, Tekanan Intrakranial (TIK),
hidrosefalus dan infeksi.
insomnia dapat muncul pada pasien. Pada grade ini pasien dapat kembali sembuh
sempurna.
2. Sedang (GCS 9-13)
Pada pasien ini umumnya hanya mengerang dan membuka mata pada rangsang nyeri.
Tanda tanda trauma yang lain seperti laserasi dan fraktur dapat terlihat. Pasien ini
memerlukan perawatan emergensi, neuroimaging dan pada penangannya selalu
diperhatikan kemungkinan adanya fraktur servikal. Dalam proses penyembuhannya
pasien dapat mengalami nyeri kepala, gangguan memori, ketidakmampuan berkosentrasi,
pusing berputar atau vertigo dalam waktu yang bervariasi.
3. Berat (GCS 3-8)
Pasien dapat berada dalam kondisi koma, perdarahan hebat, hipotensi dan hipoksia yang
memerlukan tindakan emergensi. Keadaan pasien dapat memburuk secara drastis
bersamaan dengan munculnya secondary injury.
2.5.2
Berdasarkan morfologi
1. Fraktur
a. Kalvaria
Fraktur tengkorak dapat terjadi pada kalvaria atau basis. Pada fraktur kalvaria
ditentukan apakah terbuka atau tertutup, linear atau stelata, depressed atau
nondepressed.
Fraktura tengkorak terbuka atau compound berakibat hubungan langsung
antara laserasi scalp dan permukaan serebral karena duranya robek, dan fraktura ini
memerlukan operasi perbaikan segera. Frekuensi fraktur tengkorak bervariasi, lebih
banyak fraktur ditemukan bila penelitian dilakukan pada populasi yang lebih banyak
mempunyai cedera berat.
Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar
400 kali pada pasien yang sadar dan 20 kali pada pasien yang tidak sadar. Untuk
alasan ini, adanya fraktura tengkorak mengharuskan pasien untuk dirawat dirumah
sakit untuk pengamatan, tidak peduli bagaimana baiknya tampak pasien tersebut.
b. Basis kranii
2. Lesi intrakranial
a. Fokal
Epidural
Hematoma epidural
Hematoma epidural ialah perdarahan yang terjadi diantara tulang tengkorak dan
durameter. Perdarahan epidural terjadi pada 1-3% kasus cedera kranioserebral.
Perdarahan ini terjadi akibat robeknya salah satu cabang arteria meningitis media,
robeknya sinus venosus durameter dan robeknya arteria diploika. Gejala-gejala yang
dapat dijumpai yaitu :
a. Adanya suatu lucid interval yang berarti bahwa diantara waktu terjadinya
cedera kranioserebral dan waktu terjadinya koma terdapat waktu dimana
kesadaran penderita adalah baik.
b. Tekanan darah yang semakin bertambah tinggi
c. Nadi yang semakin bertambah lambat
d. Sindrom weber, yaitu midriasis (pupil mengecil) di sisi ipsilateral dan hemiplegi
di sisi kontralateral dan garis fraktur.
Subdural
Hematoma subdural
Hematoma subdural adalah perdarahan yang terjadi diantara durameter dan
araknoidea. Hematoma ini timbul karena adanya sobekan pada bridging veins.
Menurut saat timbulnya gejala-gejala klinis, hematoma subdural dibagi atas 2 jenis:
a. Hematoma subdural akut
Gejala-gejala timbul segera hingga berjam-jam setelah trauma. Perdarahan dapat
kurang dari 5 mm tebalnya tetapi melebar luas.
b. Hematoma subdural kronik
Gejala-gejala timbul lebih dari 10 hari hingga beberapa bulan setelah
trauma. Kapsula jaringan ikat terbentuk mengelilingi hematoma. Pada hematoma
yang baru, kapsula masih tipis atau belum terbentuk di daerah permukaan
araknoidea. Kapsula merekat pada araknoidea bila terjadi robekan pada selaput
otak. Kapsula ini mengandung pembuluh-pembuluh darah tipis ini protein dari
plasma darah dapat menembusnya dan meningkatkan volume hematoma.
Pembuluh darah ini dapat pula pecah dan menimbulkan perdarahan baru yang
menyebabkan menggembungnya hematoma.
Darah di dalam kapsula akan terurai membentuk cairan kental yang dapat
menghisap cairan dari ruangan subdural araknoidea. Hematoma akan membesar
dan menimbulkan gejala-gejala seperti tumor serebri. Sebagian besar hematoma
subdural ditemukan pada pasien berusia di atas 50 tahun. Seringkali cedera
kranioserebral yang menyebabkan hematoma subdural juga menimbulkan lesi
ada jaringan otak berupa hematoma serebri, laserasi atau kontusi serebri yang
menyebabkan keadaan pasien menjadi lebih parah dengan mortalitas yang lebih
tinggi. Gejala-gejala hematoma subdural aku sama dengan gejala-gejala
hematoma epidural, yaitu midriasis pupil ipsilateral dan hemiparesis kontralateral.
Mungkin dapat juga dijumpai deficit neurologis lainnya.
Pada perdarahan campuran keadaan umum dapat lebih buruk dan deficit
neurologisnya dijumpai lebih banyak. Defisit neurologis yang terjadi mungkin
disebabkan oleh lesi parenkimnya dan bukan oleh penekanan hematomanya. Pada
hematoma subdural sub akut, gejala-gejala berkembang lebih lambat.
Hematoma subdural kronik pada sebagian kasus menimbulkan gejala
tumor serebri, sisanya tidak memberikan gejala atau hanya gejala ringan yang
dapat diabaikan atau diobati sendiri oleh pasien. Hal ini terjadi bila perdarahannya
kecil dan penyerapannya berjalan dengan baik. Gejala-gejala yang dapat timbul
ialah nyeri kepala yang kronis dan progresif, mungkin hemiparesis, anisokori
pupil (pupil tidak sama besar), kaku kuduk, apatis (tidak acuh), amnesia,
perubahan kepribadian dan perilaku misalnya menjadi acuh tidak acuh terhadap
orang lain atau dirinya sendiri, tanda-tanda demensia, dan mungkin pula kejang.
Intraserebral
Hematoma intraserebral
Hematoma intraserebral terjadi bersama dengan kontusio sehingga secara
umum lebih buruk baik dioperasi atau tidak. Dorongan yang mengancam
terjadinya herniasi oleh bekuan darah di tengah otak disertai edema lokal yang
hebat biasanya berprognosis buruk daripada hematoma epidural yang dioperasi.
Pada suatu hematoma intraserebral, seorang penderita yang setelah
mengalami cedera kranioserebral akan memperlihatkan gejala: hemiplegic, papil
edem (pembengkakan pada mata) serta gejala-gejala lain dari tekanan
intrakranium yang meningkat, dan arteriografi karotis dapat memperlihatkan
suatu peranjakan dari arteri perikalosa ke sisi kontralateral serta gambaran
cabang-cabang arteri serebri media yang tidak normal.
Kontusi serebri (memar otak)
Kontusio serebri adalah suatu keadaan yang disebabkan oleh cedera
kranioserebral yang menimbulkan lesi perdarahan interstisial (perdarahan yang
terjadi diantara bagian-bagian atau sela-sela jaringan) nyata pada jaringan otak
tanpa terganggunya kontinuitas jaringan dan dapat mengakibatkan gangguan
neurologis yang menetap. Jika lesi otak menyebabkan terputusnya kontinuitas
jaringan maka disebut laserasio serebri.
a. Difuse
Komosio cerebri
Komosio serebri adalah keadaan dimana penderita setelah mendapat cedera
kranioserebral mengalami kesadaran yang menurun sejenak (tidak lebih dari 10
menit). Kemudian penderita dengan cepat, siuman embali tanpa mengalami suatu
kelainan neurologis. Gejala-gejala yang dapat dilihat yaitu:
Wajahnya pucat
Subarachnoid
Perdarahan subarachnoid
Keadaan yang akut, karena terjadi perdarahan ke dalam ruangan subarachnoid.
Perdarahan dapat terjadi akibat aneurisma pecah, robeknya malformasi arterivena, kelainan pembekuan darah, tumor otak, dan beberapa sebab lain.
Arterivenous Malformation (AVM)
Arterivenous Malformation (AVM) adalah jaringan penghubung yang
abnormal yang terjadi diantara arteri dan vena. Keadaan ini paling sering terjadi
akibat faktor kongenital. Arterivenous malformation dapat berkembang di
seluruh bagian tubuh tetapi paling sering terjadi di bagian otak. Penyebabnya
belum jelas dan penderita akan mengetahuinya setelah timbul gejala seperti nyeri
kepala atau kejang.
Dalam kasus serius, adanya ruptur pembuluh darah menyebabkan
perdarahan di otak. Arterivenous Malformation (AVM) mungkin menyebabkan
tanda atau gejala sampai terjadi sebuah rupture yang menghasilkan perdarahan di
otak. Gejala yang ditimbulkan akibat adanya AVM yaitu:
-
Kejang
Adanya bruit yang dapat didengar pada pemeriksaan skull dengan stetoskop yang
Perdarahan di otak
Dinding pembuluh darah arteri dan vena menjadi tipis dan lemah. Pada AVM
memberikan tekanan yang hebat pada dinding pembuluh darah karena tidak ada
kapiler yang memiliki aliran darah yang lambat. Hal ini dapat mengakibatkan
Aneurysma cerebral
Aneurysma intracranial atau cerebral merupakan kondisi dilatasi fokal
yang abnormal arteridi otak yang menghasilkan kelemahan pada lapisan
muscular dalam (intima) pembuluh darah. Pembuluh darah berkembang menjadi
dilatasi seperti menggelembung yang dapat menjadi tebal dan rupture tanpa ada
tanda bahaya. Perdarahan yang dihasilkan masuk ke dalam ruang sekitar otak
yang disebut sebagai subarachnoid hemorraghe (SAH). Jenis perdarahan ini
dapat menjadi stroke, koma, dan/atau kematian.
Aneurysma beragam ukurannya dari kecil sekitar 1/8 inchi samapai
mendekati 1 inchi. Aneurysma yang lebih besar dari 1 inchi disebut giant
aneurysma, yang berisiko dan susah untuk ditangani. Mekanisme pasti
perkembangan aneurysma cerebral, tumbuh dan rupture tidak dikethaui. Faktorfaktor yang berkaitan dengan pembentukan aneurysma yaitu seperti:
-
Hipertensi
Merokok
Faktor congenital
Trauma pada pembuluh darah
Komplikasi dari sejumlah infeksi
Pasien dengan aneurysma intracranial bisa ditemukan bersamaan dengan
SAH dari aneurysma yang rupture dan yang tidak rupture. Pada rupture
aneurysma, ketikan sebuah lubang berkembang di dalam sac aneurysma. Lubang
tersebut dapat kecil, yang mana dalam kasus sejumlah kecil lubang dalam
pembuluh darah atau yang besar yang cenderung dapat menjadi sebuah
perdarahan. Aneurysma yang tidak rupture merupakan satu-satunya yang
memiliki sac yang sebelumnya tidak robek. Setiap tahun kira-kira 30.000 pasien
Nyeri kepala hebat sesisi yang akut dengan atau tanpa gangguan kesadaran.
Kurang lebih 25% penderita didahului dengan nyeri kepala hebat.
Terdapa tanda rangsangan selaput otak (meningeal sign) dan pada 10%
penderita terdapat perdarahan subhialoid pada mata (subhialoid bleeding).
CT scan kepala
Indikasi untuk tindakan operatif pada kasus cedera kranioserebral ditentukan oleh
kondisi klinis pasien, temuan neuroradiologi dan patofisiologi dari lesi. Secara umum
digunakan panduan sebagai berikut :
1. volume masa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah supratentorial atau lebih dari
20 cc di daerah infratentorial
2. kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis, serta gejala dantanda
3.
4.
5.
6.
7.
perlekatan
para
araknoid
yang
dapat
mengakibatkan
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kranioserebral adalah suatu
kerusakan pada kepala, bukan bersifat congenital ataupun degeneratif, tetapi
disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau
mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan
fungsi fisik. Berat ringannya daerah otak yang mengalami cedera akibat cedera
kranioserebral/cedera kranioserebral tergantung pada besar dan kekuatan benturan, arah
dan tempat benturan, serta sifat dan keadaan kepala sewaktu menerima benturan.
Klasifikasi cedera kranioserebral dibagi berdasarkan tingkat keparahan cedera
kranioserebral ditentukan dengan menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS) yaitu
ringan dengan GCS 14 sampai 15, sedang dengan GCS 9 sampai 13, dan berat dengan
GCS 3 sampai 8. Berdasarkan morfologi, cedera kranioserebral dapat mengenai daerah
kalvaria dan basis crania. Berdasarkan lesi intracranial, cedera kraniocerebral bersifat
fokal dan difuse yang masing-masing memiliki jenis perdarahan.
Penatalaksanaan cedera kranioserebral sesuai dengan tingkat keparahannya,
berupa cedera kranioserebral ringan, sedang, atau berat. Prinsip penanganan awal pada
pasien cedera kranioserebral meliputi survei primer dan survey sekunder. Pada penderita
cedera kranioserebral khususnya dengan cedera kranioserebral berat survey primer
sangatlah penting untuk mencegah cedera otak sekunder dan mencegah homeostasis otak.
Indikasi untuk tindakan operatif pada kasus cedera kranioserebral ditentukan oleh kondisi
klinis pasien, temuan neuroradiologi dan patofisiologi dari lesi.
3.2 Saran
Untuk menangani pasien dengan cedera kranioserebral sangat diperlukan penanganan
yang cepat guna mencegah terjadinya komplikasi lebih lanjut. Oleh karena itu juga,
diperlukan ketepatan pemerikaan klinis yang tepat dan pemeriksaan radiologis yang
lengkap.
DAFTAR PUSTAKA
1
Mardjono, Mahar., Priguna Sidarta. Neurologis Klinis Dasar. Cetakan ke-15. 2010. Jakarta.
PT. Dian Rakyat.
Lumbaltobing, S.M. Stroke Bencana Peredaran Di Otak. 2007. Jakarta. Balai penerbit FKUI.
Poerwadi, Troeboes., Fauziya Baoezier, dkk. Pedoman Diagnosis dan Terapi Bagian/SMF
Ilmu Penyakit Saraf. Edisi III. 2006. Surabaya. RSU Dokter Soetomo.