Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gonorea adalah Infeksi menular seksual (STI) paling tua yang pernah
dilaporkan, sudah tersirat dalam laporan-laporan di alkitab, literature Hindu,
dan papirus mesir. Gonorea disebabkan oleh invasi bakteri diplokokus gramnegatif, Neisseria Gonorrhoeae, yang pertama kali ditemukan dan diberi nama
oleh ahli dermatologi polandia, Albert Neisseria. Bakteri ini melekat dan
menghancurkan membrane sel epitel yang melapisi kanalis endoserviks dan
uretra. Infeksi ekstragenital di faring, anus dan rectum dapat dijumpai pada
kedua jenis kelamin. Untuk dapat menular, harus terjadi kontak langsung
mukosa-ke-mukosa. Tidak semua orang terpajan ke gonorea akan terjangkit
penyakit, dan risiko penularan dari laki-laki kepada perempuan lebih tinggi
dari pada dari pada penularan perempuan ke laki-laki (Price & Wilson,2005)
Angka gonorea di amerika serikat lebih tinggi dari pada di negara-negara
industru lainnya, dengan perkiraan 50 kali lebih banyak dari pada swedia dan
8 kali dari pada kanada (CDC, 2000). Angka infeksi paling tinggi pada kaum
muda dengan yang tertinggi pada perempuan berusia 15 sampai 19 tahun dan
laki-laki berusia 20 sampai 24 tahun, dan pada laki-laki yang berhubungan
seks dengan sesame jenis ( Price & Wilson,2005).
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka penting kiranya bagi penyusun
untuk menyusun makalah ini agar dapat dijadikan tambahan ilmu bagi tenaga
calon tenaga kesehatan agar lebih memahami mengenai konsep asuhan
keperawatan pada tentang Asuhan Keperawatan Penyakit Infeksi pada Sistem
Reproduksi khususnya pada gonorea.

B. Perumusan Masalah
1) Bagaimana Definisi dari Gonorea ?
2) Bagaimana Epidemiologi dari Gonorea ?
3) Bagaimana Etiologi dari Gonorea ?
4) Bagaimana Faktor Resiko dari Gonorea ?
1

5) Bagaimana Manifestasi Klinis dari Gonorea ?


6) Bagaimana Komplikasi Klinis dari Gonorea ?
7) Bagaimana Penatalaksanaan dari Gonorea?
8) Bagaimana Pemeriksaan Penunjang untuk Gonorea ?
9) Bagaimana Pencegahan dari Gonorea ?
10) Bagaimana Asuhan Keperawatan dari Gonorea ?
C. Tujuan Penulisan
1) Mengetahui dan Memahami Definisi Gonorea.
2) Mengetahui dan Memahami Epidemiologi Gonorea.
3) Mengetahui dan Memahami Etiologi Gonorea.
4) Mengetahui dan Memahami Faktor Resiko Gonorea.
5) Mengetahui dan Memahami Manifestasi klinis Gonorea.
6) Mengetahui dan Memahami Komplikasi Gonorea.
7) Mengetahui dan Memahami Penatalaksanaan Gonorea.
8) Mengetahui dan Memahami Pemeriksaan penunjang Gonorea.
9) Mengetahui dan Memahami Pencegahan Gonorea.
10) Mengetahui dan Memahami Pemberian Asuhan Keperawatan Penyakit
Infeksi pada Sistem Reproduksi Khususnya pada Gonorea.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Gonorrhea adalah sebuah penyakit infeksi yang disebabkan oleh
Neisseriagonorrhea yang penularannya melalui hubungan kelamin baik
melalui genito-genital, oro-genital, ano-genital. Penyakit ini menginfeksi
lapisan dalam uretra, leher rahim, rektum, tenggorokan, dan konjungtiva (Staf
Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1993).
Gonorrhea adalah sejenis penyakit yang berjangkit melalui hubungan
kelamin yang disebabkan oleh bakteria Neisseria Gonorrhoeae, yaitu sejenis
2

bakteria yang hidup dan mudah membiak dengan cepat di dalamsaluran


pembiakan/peranakan seperti pangkal rahim (cervix), rahim (uterus), dan tuba
fallopi (saluran telur) bagi wanita dan juga saluran kencing (urine canal) bagi
wanita dan lelaki. Bakteria ini juga bisa berkembang biak di dalam mulut,
kerongkong, mata dan dubur (Jawetz, 1996).
B. Epidemiologi/Insiden Kasus
Gonore merupakan penyakit yang mempunyai insidens yang tinggi
diantara penyakit menular seksual yang lain, penyakit ini tersebar di seluruh
dunia secara endemik, termasuk di Indonesia. Pada umumnya diderita oleh
laki-laki muda usia 20 sampai 24 tahun dan wanita muda usia 15 sampai 19
tahun. Gonorrhea banyak di derita oleh kaum homo seksual, kaum remaja dan
dewasa muda. Di AS kasus gonore 400rb 1 jt/tahun (Jawetz, 1996).
C. Etiologi
Penyebab pasti penyakit gonorrheae adalah bakteri Neisseria gonorrhea
yang bersifat patogen. Daerah yang paling mudah terinfeksi adalah daerah
dengan mukosa epitel kuboid atau lapis gepeng yang belum berkembang pada
wanita yang belum pubertas. Nersseria gonorrhoeae kuman kokus negatif
Gram famili Neisseriaceae,tampak di dalam dan di luar leukosit
polimorfonuklear (neutrofil), berukuran 0,6-lJ pm, berbentuk diplokokus
seperti biji kopi dengan sisi datar yang berhadap-hadapan dan mempnnyai 3
lapis dinding sel yaitu outer membrane, membrane periplasma dan inner
membran pada bagian terdalam. Kuman ini tidak motil dan tidak membentuk
spora. Neisseria gonorrhoeae dapat dibiakkan dengan media. Kuman ini tidak
tahan lama di udara bebas, cepat mati pada keadaan kering, tidak tahan suhu
di atas 39C dan tidak tahan zat disinfektan.
Gonorrhea dapat menyebar melalui aliran darah ke bagian tubuh lain
terutama kulit dan persendian. Pada wanita, gonorrhea bisa menjalar ke
saluran kelamin dan menginfeksi selaput di dalam panggul sehingga
menyebabkan nyeri pinggul dan gangguan reproduksi (Hendarto. 1990)

D. Faktor resiko
Faktor dominan yang ikut menentukan besarnya frekuensi dan distribusi
penyakit menular seksual dalam suatu masyarakat, antara lain: (Hartadi,
2001)
1. Penyebab penyakit (agent)
Penyakit menular seksual seperti gonorrhea penyebabnya adalah bakteri
Neisseria gonorrhea.
2. Tuan (host)
Beberapa faktor yang terdapat pada host yang berperan pada perbedaan
insiden gonorrhea adalah:
a. Umur
Umur sangat mempengaruhi insiden penyakit menular seksual seperti
gonorrhea, sesuai dengan cara penularan penyakit menular seksual
yaitu melalui kontak seksual maka golongan umur dengan insiden
meningkat adalah golongan umur dengan kegiatan seksual aktif.
b. Sex / jenis kelamin
Angka kesakitan kelompok umur tertentu pada penderita penyakit
menular

seksual

seperti

gonorrhea,

pria

adalah

lebih

tinggi

dibandingkan dengan wanita, namun tingkat kegawatan pada wanita


penderita penyakit menular seksual adalah lebih serius dibandingkan
dengan laki-laki, faktor yang mempengaruhi antara lain:
a) Perbedaan sex dengan perbedaan susunan antomi organ tubuh tertentu.
Manifestasi gejala klinis penyakit menular seksual pada laki-laki adalah
lebih

jelas

sehingga

memberikan

kesempatan

lebih

banyak

menggunakan fasilitas kesehatan.


b) Diagnosa penderita penyakit menular seksual pada laki-laki lebih
mudah sehingga lebih banyak penderita laki-laki yang dilaporkan.
c) Pilihan dalam hubungan seksual.
Data yang ada dinegara maju angka penyakit menular seksual pada pria
homoseksual

adalah

lebih

tinggi

bila

dibandingkan

dengan

heteroseksual.
d) Lama bekerja sebagai pekerja seksual komersial.
Pekerjaan seseorang sering merupakan ikatan erat dengan kemungkinan
terjadinya penyakit menular seksual seperti gonorrhea. Pada beberapa
orang yang bekerja dengan kondisi tertentu dengan lingkungan yang
memberikan peluang terjadinya kontak seksual akan meningkatkan
4

akibat meningkatkan penderita penyakit menular seksual. Orang


tersebut termasuk dalam kelompok resiko tinggi terkena penyakit
menular seksual.
e) Status perkawinan
Insiden penyakit menular seksual seperti gonorrhea lebih tinggi pada
orang yang belum kawin, bercerai atau orang yang terpisah dari
keluarganya bila dibandingkan dengan orang yang sudah kawin karena
pemenuhan kebutuhan seksualnya terpenuhi.
f) Pemakain kondom
c. Faktor lingkungan
Beberapa faktor yang ikut berperan terhadap penyebaran penyakit menular
seksual seperti gonorrhea adalah faktor dengan sosial ekonomi,
kebudayaan, biologik dan medik yang satu dengan yang lainya saling
berkaitan antara lain: (Hartadi, 2001).
a) Faktor demografi
1) Bertambahnya jumlah penduduk dan pemukiman yang padat
2) Perpindahan populasi yang menambah migrasi dan mobilisasi
penduduk misalnya : perdagangan, hiburan, dll.
3) Meningkatnya protitusi dan homo seksual
4) Remaja lebih cepat matang dibidang seksual yang ingin lebih cepat
mendapatkan kepuasan seksual.
b) Faktor sosial ekonomi
1) Kemiskinan terutama didaerah hutan yang menyebabkan urbanisasi
ke kota besar.
2) Perkembangan ekonomi mendorong terjadinya meningkatkan
promiskuitas (hubungan seksual antara sejumlah laki-laki dengan
sejumlah perempuan), misalnya: orang lebih mudah bepergian
berlibur atau berdarmawisata, berkunjung ke tempat hiburan (Klub
malam, panti pijat, bar, dll)
c) Faktor kebudayaan
1) Pelanggaran nilai moral dan agama yang menyebabkan orang lebih
bebas berbuat sesuatu termasuk hubungan seksual diluar nikah.
2) Melanggarinya ikatan keluarga termasuk pengawasan orang tua
menyebabkan hubungan seksual diluar nikah.
3) Anggapan bahwa pria lebih promiskuitas (hubungan seksual antara
sejumlah laki-laki dengan sejumlah perempuan) menyebabkan
adanya prostitusi.

4) Meningkatkan rangsangan seksual melalui majalah atau film biru,


dan lain-lain.
d) Faktor medik
1) Adanya kekebalan kuman penyakit menular seksual. Kekebalan
karena penderita membeli obat dan minum obat sendiri dengan
dosis obat yang tidak tetap atau tidak adekuat.
2) Diagnosis penyakit kadang susah.
3) Disebabkan Karena adanya penyakit menular seksual yang
tersembunyi (Karier) kebanyakan wanita penderita penyakit
menular seksual tidak menunjukkan gejala sehingga tanpa disadari
mereka sesungguhnya merupakan sumber penularan penyakit
menular seksual yang tersembunyi.
4) Walaupun penderita penyakit menular seksual telah diobati dan
sembuh tetapi bila mitra seksualnya sudah ketularan tidak diobati
maka akan tetap menjadi sumber penularan.
5) Adanya wanita tuna susila yang diluar jangakauan pengobatan dan
pengawasan medik . Misal : wanita tuna susila liar, terselubung,
dan lain-lain.
(Adhi. 1999)
E. Manifestasi Klinis
Respons peradangan yang cepat disertai destruksi sel menyebabkan
keluarnya sekret purulen kuning kehijauan khas dari uretra pada pria dan dari
ostium serviks pada perempuan. Gejala dan tanda pada laki-laki dapat muncul
sedini dua hari setelah pajanan dan mulai dengan uretritis, diikuti dengan
sekret purulen, disuria, dan sering berkemih serta malase. Sebagian besar lakilaki memperlihatkan gejala dalam dua minggu setelah inokulasi oleh organism
ini. Walaupun sebagian laki-laki memperlihatkan gejala, namun sampai 10%
tidak, tetapi mereka tetap mampu menularkan penyakitnya.
Pada perempuan gejala dan tanda timbul dalam 7 sampai 21 hari, dimulai
dengan sekret vagina. Pada pemeriksaan serviks yang terinfeksi tampak
edemaloasa dan rapuh dengan drainase mukopurulen dari ostium. Infeksi dari
N. Gonorrhoeae tidak atau sedikit menimbulkan gejala pada 25% smapai 50%
perempuan. Perempuan yang sedikit atau tidak memperlihatkan gejala menjadi
sumber utama penyebaran infeksi dan beresiko mengalami penyulit. Apabila
6

tidak diobati maka tanda-tanda infeksi meluas biasanya mulai timbul dalam 10
sampai 14 hari. Tempat penyebaran tersering pada perempuan adalah uretra,
dengan gejala uretritis, disuria, dan sering berkemih serta ke kelenjar bartholin
dan skene yang menyebabkan pembengkakan nyeri. Infeksi yang menyebar ke
endometrium dan tuba fallopii menyebabkan pendarahan abnormal vagina,
nyeri panggul dan abdomen, dan gejala PID progresif apabila tidak diobati.
Gonore mungkin asimtomatik atau menyebabkan pengeluaran rabas
purulen dari uretra atau vagina disertai rasa terbakar sewaktu berkemih.
Sebagian individu mengalami kongjitivitas atau faringitis (Price, Sylvia
Anderson. 2005).
a. Pada pria
1) Masa tunas gonore sangat singkat, pada pria umumnya bervariasi
antara 2-5 hari, kadang - kadang lebih lama karena pengobatan diri
sendiri tapi dengan dosis yang tidak cukup atau gejala sangat samar
sehingga tidak diperhatikan.
2) Gejalanya berawal sebagai rasa tidak enak pada uretra kemudian
diikuti nyeri ketika berkemih
3) Disuria yang timbul mendadak, rasa buang air kecil disertai dengan
keluarnya lendir mukoid dari uretra
4) Retensi urin akibat inflamasi prostat
5) Keluarnya nanah dari penis atau kadang-kadang sedikit mengandung
darah.
6) Keluhan subyektif berupa rasa gatal, panas sewaktu kencing terdapat
pada ujung penis atau bagian distal uretra, perasaan nyeri saat ereksi.
b. Pada wanita
1) Gejala awal biasanya timbul dalam waktu 7-21 hari setelah terinfeksi
2) Penderita seringkali tidak merasakan gejala selama beberapa minggu
atau bulan (asimtomatis)
3) Jika timbul gejala, biasanya bersifat ringan. Namun, beberapa
penderita menunjukkan gejala yang berat seperti desakan untuk
berkemih
4) Nyeri ketika berkemih
5) Keluarnya cairan dari vagina
6) Demam

7) Infeksi dapat menyerang leher rahim, rahim, indung telur, uretra, dan
rektum serta menyebabkan nyeri pinggul yang dalam ketika
berhubungan seksual
8) Pada pemeriksaan, serviks tampak merah dengan erosi dan sekret
mukopurulen. Wanita dan pria homoseksual yang melakukan hubunga
seks melalui anus, dapat menderita gonore di rektumnya. Penderita
akan merasa tidak nyaman disekitar anusnya dan dari rektumnya keluar
cairan. Daerah disekitar anus tampak merah dan kasar serta tinja
terbungkus oleh lendir dan nanah.
9) Pada umumnya terdapat rasa sakit pada punggung bagian bawah,
bersama-sama keadaan tidak enak badan
F. Patofisiologi
Infeksi dimulai dengan adhesi pada sel mukosa (urethra, vagina, rectum,
tenggorok) kemudian penetrasi ke submukosa dan menyebar baik secara langsung
maupun hematogen.
1) Langsung pada pria menyebabkan prostatitis dan epididymitis, sedangkan
pada wanita langsung menyebar ke kelenjar Bartholin, paraserviks, tuba falopii, dst.
2) Hematogen
Hanya 1% kasus, kebanyakan dari asymptomatic infection pada wanita. Ini
disebabkan adanya kelainan pertahanan tubuh, misalnya. Defisiensi C6-9
atau bakteri yang kebal terhadap antibodi dan komplemen, bakteri dengan
protein porin A pada dinding sel kemudian menginaktivasi C3b.
Manifestasi berupa arthritis, lesikulit, dan tenosynovitis (Djuanda, Adhi,
Mochtar, Aisah, Siti dkk. 2010).
Bakteri secara langsung menginfeksi uretra, endoserviks, saluran anus,
konjungtiva dan farings. Infeksi dapat meluas dan melibatkan prostate, vas
deferens, vesikula seminalis, epididimis dan testis pada pria dan kelenjar
skene, bartholini, endometrium, tuba fallopi dan ovarium pada wanita.
Setelah melekat, gonokokus berpenetrasi ke dalam sel epitel dan
melalui jaringan sub epitel di mana gonokokus ini terpajan ke sistem imun
(serum, komplemen, immunoglobulin A (IgA dan lain-lain), dan
difagositosis oleh neutrofil. Virulensi bergantung pada apakah gonokokus
mudah melekat dan berpenetrasi ke dalam sel penjamu, begitu pula
8

resistensi terhadap serum, fagositosis, dan pemusnahan intraseluler oleh


polimorfonukleosit. Faktor yang mendukung virulensi ini adalah pili,
protein, membrane bagian luar, lipopolisakarida, dan protease IgA.
Meskipun telah banyak peningkatan dalam pengetahuan tentang
patogenesis dari mikroorganisme, mekanisme molekular yang tepat
tentang invasi gonokokkus ke dalam sel host tetap belum diketahui. Ada
beberapa faktor virulen yang terlibat dalam mekanisme perlekatan,
inflamasi dan invasi mukosa. Pili memainkan peranan penting dalam
patogenesis gonore. Pili meningkatkan adhesi ke sel host, yang mungkin
merupakan alasan mengapa gonokokkus yang tidak memiliki pili kurang
mampu menginfeksi manusia. Antibodi antipili memblok adhesi epithelial
dan meningkatkan kemampuan dari sel fagosit. Juga diketahui bahwa
ekspresi reseptor transferin mempunyai peranan penting dan ekspresi fulllength lipo-oligosaccharide (LOS) tampaknya perlu untuk infeksi
maksimal.
Daerah yang paling mudah terinfeksi ialah daerah epitel kolumnar dari
uretra dan endoserviks, kelenjar dan duktus parauretra pada pria dan
wanita, kelenjar Bartolini, konjungtiva mata dan rectum. Infeksi primer
yang terjadi pada wanita yang belum pubertas terjadi di daerah epitel
skuamosa dari vagina.

Neisseria Gonorhoe
Kontak seksual
(Anus, orogenital, genital)

Infeksi mukosa rectum

Uretra

endoserviks

Faring

(Saluran anus neonates)


Konjungtiva

Infeksi meivas
Laki-laki ( prostat, vasdeferens, vasikula seminalis, epididimis dan testis )
Perempuan ( Kelenjar skene, bartholini, endometrium, tuba falopii,
ovarium )
Gonore
Penyebaran gonore secara sistemik melalui darah
Komplikasi
(sinovitis, atritis, endokarditis, meningitis, dermatis)

10

G. Komplikasi
Gonore yang tidak diobati dapat menyebabkan kemandulan pada wanita
atau penyakit radang panggul, dan meningkatkan kehamilan ektopik. Pria dan
wanita dapat mengalami infeksi diseminata disertai atritis, endokarditis, atau
konjungtivitas yang dapat menyebabkan kebutaan. Apabila ditularkan ke bayi
baru lahir sewaktu persalinan, dapat terjadi kebutaan (Corwin, Elizabeth J.
2009)
a. Pada Pria
1) Tysonitis, biasanya terjadi pada pasien dengan preputium yang sangat
panjang dan kebersihan yang kurang baik. Diagnosis dibuat
berdasarkan ditemukannya butir pus atau pembengkakan pada daerah
frenulum yang nyeri tekan. Bila duktus tertutup akan menjadi akses
dan merupakan sumber infeksi laten.
2) Parauretritis, sering pada orang dengan orifisium uretra eksternum
terbuka atau hipospadia. Infeksi pada duktus ditandai dengan butir pus
pada kedua muara parauretra.
3) Radang kelenjar Littre (littritis), tidak mempunyai gejala khusus. Pada
urin ditemukan benang-benang atau butir-butir. Bila salah satu saluran
tersumbat dapat terjadi abses folikular. Diagnosis komplikasi ini
ditegakkan dengan uretroskopi.
4) Infeksi pada kelenjar Cowper (Cowperitis), dapat menyebabkan abses.
Keluhan berupa nyeri dan adanya benjolan di daerah perineum disertai
rasa penuh dan panas, nyeri pada waktu defekasi, dan disuria. Jika
tidak diobati, abses akan pecah melalui kulit perineum, uretra, atau
rektum dan mengakibatkan proktitis.
5) Prostatitis akut ditandai dengan perasaan tidak enak di daerah
perineum dan suprapubis, malaise, demam, nyeri kencing sampai
hematuria, spasme otot uretra sehingga terjadi retensi urin, tenesmus
ani, sulit buang air besar, dan obstipasi. Pada pemeriksaan teraba
pembesaran prostat dengan konsistensi kenyal, nyeri tekan, dan adanya
fluktuasi bila telah terjadi abses. Jika tidak diobati abses akan pecah,
masuk ke uretra posterior atau ke arah rektum mengakibatkan proktitis.
6) Gejala prostatitis kronik ringan dan intermiten, tetapi kadang-kadang
menetap. Terasa tidak enak di perineum bagian dalam dan rasa tidak
11

enak bila duduk terlalu lama. pada pemeriksaan prostat teraba kenyal,
berbentuk nodus, dan sedikit nyeri pada penekanan. Pemeriksaan
dengan pengurutan prostat biasanya sulit menemukan kuman gonokok.
7) Vesikulitis ialah radang akut yang mengenai vesikula seminalis dan
duktus ejakulatorium, dapat timbul menyertai prostatitis akut atau
apididimitis akut. Gejala subyektif menyerupai gejala prostatitis akut,
yaitu demam, polakisuria, hematuria terminal, nyeri pada waktu ereksi
atau ejakulasi, dan sperma mengandung darah. Pada pemeriksaan
melalui rektum dapat diraba vesikula seminalis yang membengkak dan
keras seperti sosis, memanjang di atas prostat. Ada kalanya
menentukan batas kelenjar prostat yang membesar.
8) Pada vas deferentitis atau funikulitis, gejala berupa perasaan nyeri pada
daerah abdomen bagian bawah pada sisi yang sama.
9) Epididimitis akut biasanya unilateral dan setiap epididimitis biasanya
disertaivas deferentitis. Keadaan yang mempermudah timbulnya
epididimitis ini adalah trauma pada uretra posterior yang disebabkan
oleh pengelolaan atau kelalaian pasien sendiri. Epididimis dan tali
spermatika membengkak dan teraba panas, juga testis, sehingga
menyerupai hidrokel sekunder. Pada penekanan terasa nyeri sekali.
Bila mengenai kedua epididimis dapat mengakibatkan sterilitas.
10) Infeksi asendens dari uretra posterior dapat mengenai trigonum vesika
urinaria. Gejalanya berupa poliuria, disuria terminal, dan hematuria.
b. Pada Wanita
1) Parauretritis. Kelenjar parauretra dapat terkena, tetapi abses jarang
terjadi.
2) Kelenjar bartholin dan labium mayor pada sisi yang terkena
membengkak, merah dan nyeri tekan, terasa nyeri sekali bila pasien
berjalan dan pasien sukar duduk. Abses dapat timbul dan pecah melalui
mukosa atau kulit. Bila tidak diobati dapat rekurens atau menjadi kista.
3) Salpingitis, dapat bersifat akut, subakut atau kronis. Ada beberapa
faktor predisposisi, yaitu masa puerpurium, setelah tindakan dilatasi
dan kuretase, dan pemakaian IUD. Infeksi langsung terjadi dari serviks
melalui tuba fallopi ke daerah salping dan ovum sehingga sehingga
dapat menyebabkan penyakit radang panggul (PRP). Gejalanya terasa
12

nyeri didaerah abdomen bawah, duh tuba vagina, disuria, dan


menstruasi yang tidak teratur atau abnormal. PRP yang simtomatik
atau asimtomatik dapat menyebabkan jaringan parut pada tuba
sehingga dapat mengakibatkan infertilitas atau kehamilan diluar
kandungan (Mandal, dkk. 2006).
H. Penatalaksanaan
Pada pengobatan yang perlu diperhatikan adalah efektivitas,
harga,

dan sesedikit mungkin efek toksiknya. Jalur penatalaksanaan

tergantung pada fasilitas diagnostik yang ada seperti dilihat pada tabel 1,2,3.
Pemilihan regimen pengobatan sebaiknya mempertimbankan pula temapt
infeksi, resistensi galur N. gonorrhoeae terhadap antimikrobial, dan
kemungkinan infeksi Chlamydia trachomatis yang terjadi bersamaan. Oleh
karena seringkali terjadi koinfeksi dengan C. trachomatis, maka pada seorang
dengan

gonore

dianjurkan

pula

untuk

diberi

pengobatan

secara

bersamaan dengan regimen yang sesuai untuk C. trachomatis sesuai dengan


tabel nomor 4 (Dailli, 2007).

Tabel 1. Tidak Ada Pemeriksaan Laboratorium


Duh Tubuh Uretra

Terapi Standar GO
Alergi Penisilin

Duh Tubuh (-)

7
hari

13

Terapi Alternatif

Sembuh

Duh Tubuh (+)

Ter
api
NG
U
7
h
a
r
i

Duh Tubuh (-)

Duh Tubuh (+)

Sembuh

Rujuk

Dikutip dari : Buku Ilmu Penyakit Kelamin, Gonore, 2007

14

Tabel 2. Ada Fasilitas Laboratorium (Mikroskop)


Duh Tubuh Uretra

Gram

Diplokokus intrasel (+)

Diplokokus intrasel (-)

Terapi Standar GO

7 hari

Diplokokus (-)
Leuko < 5

Diplokokus (+)

Alergi Penisilin

Leuko < 5

Terapi Alternatif

Terapi (-)

Terapi NGU

Leuko < 5

Diplokokus (-)
Leuko > 5

Terapi NGU
7 hari
Terapi Alternatif

7 hari

Leuko < 5

Leuko < 5

Leuko > 5

Rujuk

Dikutip dari : Buku Ilmu Penyakit Kelamin, Gonore, 2007

Terapi (-)

Leuko > 5

Rujuk

Tabel 3. Fasilitas Laboratorium Lengkap


Duh Tubuh Uretra

Diplokokus intrasel (+)

NGPP

Terapi
Alternatif
NGPP

Diplokokus intrasel (-)

Non NGPP + Resistensi

Leuko < 5

Leuko > 5

Sembuh

7 hari

Leuko < 5

Leuko > 5

Terapi Alternatif
Non NGPP
3 hari

Diplokokus (-)

Diplokokus (+))

Sembuh
Sembuh

Sesuai Resistensi

Terapi NGU

Di

samping

fasilitas

pemeriksaan

laboratorium,

penatalaksanaan uretritis gonore ini juga bergantung pada insiden


galur NGPP. Akan tetapi bila kita melihat laporan Centers for Disease
Control (C.D.C) pada tahun 1989, pola penatalaksanaan uretritis
gonore mengalami beberapa perubahan yang disebabkan oleh :
1. Tingginya insidensi infeksi chlamydia bersamaan dengan gonore (2550%).
2. Tingginya insidensi infeksi chlamydia dan gonore disertai komplikasi
3. Kesukaran teknik pemeriksaan chlamydia
4. Makin banyaknya laporan galur gonore yang resisten terhadap tetrasiklin.
5. Makin tingginya laporan galur NGPP
Mengingat

hal

tersebut

di

atas,

menganjurkan agar pada pengobatan

maka C.D.C

uretritis

(1989)

gonore

tidak

digunakan lagi penisilin atau derivatnya, dan disamping


diberikan juga obat

untuk

uretritis

non gonore (chlamydia)

secara bersamaan (Werdiningsih, 2005).


Tabel 4. Center for Disease Control
(Untuk Daerah dengan Insidensi NGPP Tinggi)
Uretritis GO :

Seftriakson 250 mg i.m., atau


Spektinomisin 2 gr i.m., atau
Siprofloksasin 500 mg, oral

+
Doksisiklin 2 x 100 mg, selama 7 hari, atau Tetrasiklin
4 x 500 mg, selama 7 hari, atau Eritromisin 4 x 500
mg, selama 7 hari

Alternatif Lain
untuk GO :

itu

Sefuroksim 1 gr. oral


+ 1 gr. Probenesid
Sefotaksim 1 gr. i.m.

+
Doksisiklin 2 x 100 mg, selama 7 hari, atau Tetrasiklin
4 x 500 mg, selama 7 hari, atau Eritromisin 4 x 500
mg, selama 7 hari

(Untuk daerah dengan insidensi galur NGPP rendah)

Penisilin procain in aqua 4,8 juta unit, atau


Ampisilin 3,5 gr, atau
Amoksisilin 3 gr

+ 1gr Probenesid

+
Doksisiklin 2 x 100 mg, selama 7 hari, atau
Tetrasiklin 4 x 500 mg, selama 7 hari, atau
Eritromisin 4 x 500 mg, selama 7 hari

Dikutip dari : Buku Ilmu Penyakit kulit dan Kelamin, Gonore, 2007
Rekomendasi Centers for Disease Control and Prevention (CDC), 2007
dalam pengobatan gonore Centers for Diseases Control and Prevention
(2007) merekomendasikan pengobatan infeksi gonokokus tanpa komplikasi
sebagai berikut (kakoli, 2005) :

Ceftriaxone 125 mg i.m., single dose


Cefixime 400 mg oral, single dose
Ditambah
dengan

Terapi untuk Infeksi Chlamydia jika kemungkinan Infeksi Chlamydia


belum dapat disingkirkan :

Azithromycin 1 g per oral, single dose


Doksisiklin 100 mg per oral, 2 dd 1 selama 7 hari
Obat Alternatif :

Eritromisin 500 mg per oral, 4 dd 1 selama 7 hari


Eritromisin etisuksinat 800 mg per oral, 4 dd 1 selama 7 hari
Ofloxacin 300 mg per oral, 2 dd 1 selama 7 hari
Levofloxacin 500 mg per oral, 1 dd 1 selama 7 hari

Pengobatan Alternatif :

Spektinomisin 2 g, i.m., single dose


Sefalosporin single dose ceftiozime 500 mgi.m., atau cefoxitin 2
g i.m., PLUS probenesid 1 g oral atau cefotaxime 500 mg i.m.
Cefpodoxime 400 mg dan cefuroxime axetil 1 g

Gonore pada Faring

18

Ceftriaxone 125 mg i.m., single dose + Pengobatan Infeksi Chlamydia

Disseminated Gonore
Pengobatan disseminated gonorrhoeae yang direkomendasikan :

Ceftriaxone 1 g i.m/i.v., per 24 jam


Cefotaxime 1 g i.v., per 8 jam atau
Cetioxime 1 g i.v., per 8 jam
Spektinomisin 2 g i.m., per 12 jam

Pengobatan selama 24-48 jam setelah terjadi perbaikan klinis

terapi

antibiotik minimal 1 minggu.

Cefixime 400 mg/suspensi (200mg/5 ml), oral,2 dd 1


Cefpodoxime 400 mg, oral, 2 dd 1

Pelvic Inflammatory Disease (PID)


Rekomendasi Regimen A Parenteral

Cefofetan 2 g i.v., per 12 jam


Cefoxitin 2 g i.v., per 6 jam
Doksisiklin 100 mg oral atau i.v., per 12 jam

Rekomendasi Regimen B Parenteral

Klindamisin 900 mg i.v., per 8 jam


Gentamisin loading dose i.v./i.m. (2 mg/kgBB),
diikuti maintenance dose (1,5 mg/kgBB) per 8
jam, single dose/hari

Alternatif

Ampisilin/Sulbactam 3 g i.v., per 6 jam +


Doksisiklin 100 mg oral atau i.v., per 12 jam

Pengobatan Oral

Ceftriaxone 250 mg i.m., single dose +


Doksisiklin 100 mg oral, 2 dd 1 selama 14 hari
dengan atau tanpa

Metronidazole 500 mg, oral, 2 dd 1 selama 14 hari

19

T
A
U

Cefoxitin 2 g i.m, single dose + probenesid 1 g, oral, single


dose +
dengan atau tanpa

Doksisiklin 100 mg, oral, 2 dd 1 selama 14 hari


Metronidazole 500 mg, oral, 2 dd 1 selama 14 hari

Meskipun didapatkan bahwa fluoroquinolon rata-rata mempunyai efek


pengobatan

yang

sama

dengan

ceftriaxone

(Rocephin),

Neisseria

gonorhoeae semakin tinggi resistensinya terhadap fluoroquinolon di


beberapa daerah geografis. Oleh karena itu, CDC menganjurkan penggunaan
fluoroquinolon untuk mengobati infeksi gonore pada pasien yang tinggal
atau medapat infeksi dapatan di Asia, Pasifik (termasuk Hawai), dan
California. Catatan CDC baru-baru ini terdapat peningkatan resistensi
N.gonorrhoeae terhadap fluoroquinolon pada pria homoseksual, dan tidak
direkomendasikan fluoroquinolon sebagai first-line treatment pada pasien
ini. Inggris, Wales, and Canada dilaporkan Neisseria gonorrhoeae resisten
terhadap fluoroquinolon (Kakoli, 2005).
Pasien dengan suspect infeksi gonokokus disseminata seharusnya
rawat inap di rumah sakit (hospitalisasi). Evaluasi termasuk pemeriksaan
tanda

klinis

endokarditis dan meningitis. CDC merekomendasikan

ceftriaxone, 1 g intravena atau intramuskuler setiap 24 jam, untuk pasien


dengan infeksi disseminata. Antibiotik parenteral dilanjutkan 24-48 jam
setelah mulai ada perbaikan klinis dan kemudian terapi oral mulai
diberikan (Kakoli, 2005).
Fluoroquinolon dan tetrasiklin kontraindikasi pada kehamilan. Apabila
pasien tidak dapat mentoleransi sefalosporin, terapi alternatif yaitu
spektinomisin (Trobicin), 2 g intramuskuler setiap 12 jam. Kedua regimen
terapi ini memiliki efek pengobatan yang sama (Kakoli, 2005).
Penatalaksanaan pasangan seks

20

Pengelolaan klinis yang efektif pada pasien yang menjalani


pengobatan PMS memerlukan pengobatan terhadap pasangan seksual pasien
untuk mencegah terjadinya reinfeksi dan membatasi penularan yang lebih
luas. Pasangan seks dari pasien harus menjalani evaluasi, pemeriksaan,
pengobatan jika mereka melakukan kontak seksual dalam 60 hari sebelum
gejala yang dialami pasien muncul. Pasangan seks dari pasien yang paling
akhir harus menjalani evaluasi dan pengobatan meskipun mereka melakukan
kontak seksual > 60 hari sebelum gejala muncul. Untuk menghindari
terjadinya re-infeksi, pasien dan pasangan seksnya harus menghindari
hubungan intim sampai pengobatan selesai.
Pertimbangan Khusus
a. Alergi, Intoleransi, dan Efek Samping
Pasien yang tidak dapat mentoleransi cephalosporin atau
kuinolon harus diobati dengan spektinomisin, Karena spektinomisin
tidak reliabel (efektifitas 52%) terhadap infeksi faring, pasien yang
dicurigai atau terbukti mengalami infeksi faring harus diperiksa kultur
faring 3-5 hari setelah pengobatan untuk memastikan infeksi telah hilang
b. Kehamilan
Wanita hamil tidak boleh diobati dengan kuinolon atau
tetrasiklin. Wanita hamil yang terinfeksi oleh N. gonorrhoeae

harus

diobati dengan sefalosporin. Wanita yang tidak dapat mentoleransi


sefalosporin harus mendapat 2 g spektinomisin i.m., dosis tunggal. Baik
azithromisin atau amoksisilin direkomendasikan untuk pengobatan
infeksi C. trachomatis selama kehamilan.
c. Pemberian Kuinolon pada Remaja
Fluorokuinolon tidak direkomendasikan untuk individu dengan
usia < 18 tahun, karena banyak penelitian menunjukkan bahwa
fluorokuinolon dapat mengakibatkan kerusakan pembuluh darah. Pada
anak-anak dengan berat badan >45 kg dapat diobati dengan sediaan
obat yang direkomendasikan untuk orang dewasa.
d. Infeksi HIV

21

Pada pasien yang

terinfeksi gonokokus dan juga pasien yang

terinfeksi HIV harus mendapat kan pengobatan yang sama dengan


pasien yang tidak terinfeksi HIV. Menurut British Association for
Sexual Health and HIV (BASSH) pada National Guideline on
The Diagnosis and Treatment of Gonorrhoeae in Adults 2005,
indikasi terapi (Bignell, 2005) :

Tes diagnostik positif


Kultur Neisseria gonorrhoeae positif
Tes asam nukleat positif konfirmasi diagnosis dengan kultur
merupakan

rekomendasi

utama

(recommendation grade C).


Epidemiologi, apabila terdapat

untuk

atau

konfirmasi

saat

patner

pengobatan
sexual

yang

mempunyai infeksi gonokokus


Rekomendasi pengobatan infeksi anogenital tanpa komplikasi pada
dewasa (Bignell, 2005) :

Ceftriaxone 250 mg i.m. sebagai dosis tunggal atau


Cefixime 400 mg oral sebagai dosis tunggal atau
Spektinomisin 2 gr i.m. sebagai dosis tunggal
N. gonorrhoeae
telah menunjukkan kapasitas berkembang untuk
mengurangi sensitivitas dan resisten pada beberapa antimikrobial.
Pengumuman percobaan pengobatan gonore mewakili efikasi klinis pada
era sebelumnya sensitivitas antimikrobial.
2004

menunjukkan

tingkat

Data

penelitian

tahun

signifikansi resistensi N.gonorhoeae

terhadap penisilin 11,2%, tetrasiklin 44,55% dan siprofloksasin 14,1%


(Bignell, 2005).
Regimen alternatif mungkin digunakan ketika infeksi diketahui
sensitif terhadap antimikrobial atau dimana prevalensi resisten
terhadap mereka kurang dari 5% (Bignell, 2005).

Ciprofloxacin 500 mg oral dosis tunggal atau


Ofloxacin 400 mg oral dosis tunggal atau
Ampicillin 2 g atau 3 g + probenecid 1 g oral dosis tunggal
Regimen sefalosporin lain dosis tunggal, seperti cefotaxime 500 mg
i.m. dosis tunggal atau cefoxitin 2 g i.m. dosis tunggal + probenesid 1 g
22

oral.
Cefpodoxime merupakan alternatif obat oral sefalosporin generasi ke-3
sebagai dosis tunggal 200 mg diizinkan untuk pengobatan gonore
tanpa komplikasi. Data percobaan terbatas, tetapi pada gambaran waktu
paruhnya

pendek,

sedikit

menguntungkan

farmakokinetiknya

dibandingkan cefixime dan efikasi suboptimal pada infeksi faring, tidak

dapat direkomendasikan.
Azitromisin (2 g dosis tunggal) menunjukkan efikasi yang dapat
diterima

pada percobaan klinik, tapi dihubungkan dengan intolerasi

gastrointestinal tinggi. Tidak direkomendasikan untuk pengobatan


gonore.
Alergi Beta-laktamase (Bignell, 2005).

Spektinomisin 2 g i.m. dosis tunggal atau


Ciprofloxacin 500 mg oral dosis tunggal saat infeksi diketahui atau
antisipasi apabila sensitif terhadap quinolon
Kehamilan dan Menyusui (Bignell, 2005).

Wanita hamil tidak diobati dengan quinolon atau tetrasiklin

Rekomendasi regimen :

Ceftriaxone 250 mg i. m. dosis tunggal atau


Cefixime 400 mg oral dosis tunggal atau
Spektinomisin 2 g i.m. dosis tunggal atau
Amoxicillin 3 g atau ampicillin 2 g atau 3 g + probenesid 1 g oral
dosis tunggal, dimana terdapat prevalensi daerah penisilin resisten
N.gonorrhoeae 5%
Infeksi faring (Bignell, 2005). Rekomendasi regimen :

Ceftriaxone 250 mg i.m. dosis tunggal atau


Ciprofloxacin 500 mg oral dosis tunggal apabila N.gonorhoeae

diketahui sensitif terhadap quinolon


Ofloxacin 400 mg oral dosis tunggal apabila N.gonorhoeae diketahui

sensitif terhadap quinolon


Terapi dosis tunggal ampisilin atau spektinomisin memiliki efikasi
rendah dalam eradikasi infeksi gonokokus pada faring.

23

Co-infeksi dengan Chlamydia trachomatis (Bignell, 2005).

Infeksi genital dengan C. trachomatis secara umum bersamaan dengan


infeksi genital gonokokus (mencapai 20% pada pria dan 40% pada wanita
dengan gonorhoeae). Skrining pada C. trachomatis secara rutin dilakukan
pada penderita gonorrhoea dewasa atau pengobatan diberikan untuk
eradikasi kemungkinan co- infeksi.
efektif

untuk

C.

trachomatis

Kombinasi

terapi

antimikrobial

dengan dosis tunggal pada infeksi

gonokokus terutama sesuai saat ragu bila pasien akan kembali untuk
evaluasi follow up.
Follow Up (Bignell, 2005) Penilaian pasien setelah pengobatan :

untuk mengetahui tercapainya terapi


untuk memastikan resolusi gejala
untuk menanyakan reaksi efek samping
untuk
mengetahui
kembali
riwayat

seksual

agar

dapat

mengetahui kemungkinan re-infeksi


untuk mengikuti perkembangan patner dan promosi kesehatan
Tes mikrobiologi tidak perlu secara rutin dilakukan ketika infeksi sudah
diobati dengan terapi observasi rekomendasi secara langsung, infeksi
sangat sensitif terhadap pemberian obat antimikrobial, gejala telah
berubah dan tidak ada resiko re-infeksi. Apabila pasien simptomatik
setelah pengobatn, mendapat terapi suboptimal, strain resisten
diidentifikasi

atau

ada

kemingkinan

re-infeksi,

tes

kultur

direkomendasikan. Kehamilan tidak mengurangi efikasi pengobatan.


Semua pengobatan kurang efektif pada eradikasi infeksi faring. Tes
kultur dilakukan paling sedikit 72 jam setelah pengobatan selesai dan
NAATs 2 minggu setelah pengobatan (Bignell, 2005).
Rekomendasi World Health Organization (WHO) dalam Pengobatan
Gonore.

Menurut

World

Health

Organization

2001,

standar

pengobatan gonore (Karl, 2006):


1) First-line drug
Sefalosporin generasi ke-3 yang direkomendasikan ialah
24

cefixime (oral, 400 mg dosis tunggal) atau seftriakson (i.m., 125 mg


dosis tunggal). Golongan quinolon yang direkomendasikan:
siprofloksasin

(oral,

500

mg

dosis

tunggal). Spektinomisin

(i.m., 2 g dosis tunggal) merupakan antibiotik yang paling lama


digunakan untuk pengobatan gonore.
2) Second-and third-line agents
Penisilin sering diberikan dosis tunggal yaitu amoksisilin
(oral, 3 g) atau ampisilin (oral, 3 g). Ampisilin diberikan bersamaan
dengan probenesid (oral, 1 g), dimana ekskresi ginjal terganggu.
Kombinasi

amoksisilin

direkomendasikan.

dengan

clavulanat

Cotrimoxazole

tidak

merupkan

dapat

kombinasi

sulfamethoxazole dengan trimetoprim (400mg/80mg), oral, 3 hari).


Thiamphenicol diberikan 2,5 g oral, selama 2 hari. Kanamycin
diberikan i.m. (2 g, dosis tunggal). Gentamicin diberikan i.m 240
mg, i.m.
Tetrasiklin

tidak

direkomendasikan

untuk

mengobati

gonore, karena multiple-dose terapi dan kontraindikasi pada


kehamilan dan neonatus. Makrolide baru seperti azithromycin
(oral, 1g, dosis tunggal) tidak direkomendasikan untuk gonore,
tetapi dapat digunakan di beberapa tempat meskipun harganya
mahal (Karl, 2006).
Sesuai panduan World Health Organisation (WHO) tahun 2003 terapi
gonore tanpa komplikasi adalah sebagai berikut:
a) Sefiksim 400 mg per oral dosis tunggal atau
b) Seftriakson 125 mg i.m dosis tunggal atau
c) Siprofloksasin 500 mg per oral dosis tunggal atau
d) Spektinomisin 2 gram i.m dosis tunggal
Sedangkan terapi gonore dengan komplikasi (lokal) dapat diberikan
regimen berikut:
a) Siprofloksasin 500 mg per oral selama 5 hari atau

25

b) Seftriakson 125 mg i.m selama 5 hari atau


c) Sefiksim 400 mg per oral selama 5 hari atau
d) Spektinomisin 2 gram i.m selama 5 hari
Regimen terapi untuk infeksi disseminated gonococcal adalah sebagai
berikut:
a) Seftriakson 1 gr i.m/i.v 1x/hari selama 7 hari atau
b) Spektinomisin 2 gr i.m/i.v 2x/hari selama 7 hari
Antibiotik lain yang juga sering digunakan dalam penatalaksanaan
gonore adalah: Kanamisin 2 gram i.m, tiamfenikol oral 2,5-3,5 gram,
ofloksasin oral 400 mg dan levofloksasin 250 mg per oral, tetapi
beberapa kota di Indonesia sudah mulai melaporkan adanya
resistensi terhadap golongan kuinolon ini (WHO, 2003).
I. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis gonore ditegakkan atas dasar anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan laboratorium yang terdiri atas :
a) Sediaan langsung
Dengan pengecatan Gram akan ditemukan gonococcus negatif-Gram
intraseluler dan ekstraseluler. Bahan duh tubuh pria diambil dari daerah
fosa navikularis, sedangkan pada wanita diambil dari uretra, muara
kelenjar Bartholin dan endoserviks (Hook, 2008).
b) Kultur / biakan
Untuk identifikasi dilakukan pembiakan dengan menggunakan media
pertumbuhan yaitu Media Thayer Martin yang mengandung vankomisin,
kolimestat dan nistatin yang dapat menekan pertumbuhan kuman positifGram, negatif-Gram dan jamur, dimana tampak koloni berwarna putih
keabuan, mengkilat dan cembung. Media lain adalah agar coklat Mcleod,
tetapi media ini dapat ditumbuhi oleh kuman lain selain gonococcus.
Pemeriksaan kultur dengan bahan dari duh uretra pria, sensitivitasnya
lebih tinggi 94-98% daripada duh endoserviks 85-95%, sedangkan
spesifisitasnya sama yaitu 99% (Hook, 2008).
c) Pemeriksaan DNA
26

Pemeriksaan

DNA

pada

prinsipnya

mendeteksi

asam

nucleat

mikroorganisme dengan menggunakan pelacak DNA. Biasanya yang


digunakan adalah teknik PCP (Polymerase chain reaction), yaitu suatu
teknik in vitro untuk menggandakan atau amplikasi DNA secara
enzimatis melalui rekayasa sintesis DNA baru secara berulang, sehingga
sedikit sampel DNA dapat dilakukan untuk mendeteksi adanya kelainan
(Suryaningsih, 2007).
d) Tes beta-laktamase
Tes ini menggunakan cefinase TM cakram. BBL 96192 yang
mengandung lrromogenik sepalosporin. Apabila kuman mengandung
enzim beta-laktamase, akan menyebabkan perubahan warna koloni dari
kuning menjadi merah (Hook, 2008).
e) Tes Thomson
Tes ini berguna untuk mengetahui sampai dimana infeksi sudah
berlangsung tanpa melakukan pemeriksaan laboratorium. Tes ini
dilakukan pada pagi hari setelah bangun bagi, urin dibagi 2 gelas dan
tidak boleh menahan kencing dari gelas I ke gelas 2. Dengan hasil
interpretasi infeksi uretritis anterior jika gelas 1keruh sedangkan gelas 2
jernih (Daili, 2009).

J. Pencegahan
Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior).
Untuk terwujudnya sikap menjadi suatu perbuatannya diperlukan factor
pendukung atau kondisi yang memungkinkan, antara lain: fasilitas pelayanan
kesehatan yang mudah dijangkau, factor dukungan (support) dari pihak lain
misalnya tokoh masyarakat, petugas kesehatan sangat penting untuk
mendukung praktek pencegahan penyakit menulars eksual (Notoadmojo,
1997).
Praktek pencegahan penyakit menular seksual, antara lain : (Sjaiful, 2007)
a. Pencegahan primer, meliputi :

27

1. Tidak melakukan hubungan seksual baik vaginal, anal dan oral


dengan orang yang terinfeksia dalah satu-satunya cara yang 100%
efektif untuk pencegahan.
2. Menggunakan kondom saat berhubungan seksual.
3. Selalu menjaga kebersihan alat kelamin.
4. Segera memeriksakan diri serta melakukan konseling ke doktera
atau petugas kesehatan apabila mengalami tanda dan gejala
penyakit menular seksual.
b. Pencegahan sekunder, meliputi :
1. Adanya siraman rohani yang dilakukan di lokalisasi.
2. Peningkatan pengetahuan tentang penyakit menular seksual
melalui penyuluhan dari dinas kesehatan.
c. Pencegahan tersier, meliputi :
1. Adanya peraturan dari pemerintah tentang larangan prostitusi.
Adanya usaha rehabilitasi dengan pelatihan keterampilan pada wanita
pekerja seksual yang meninggalkan pekerjaan sebagai pekerja seksual.

K. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
A) Anamnesa
a) Riwayat Keperawatan
Identitas Meliputi :
1) Nama
2) Umur

:
: angka terjadi pada perempuan berusia 15-

19 th dan laki-laki berusia 20 24 tahun


3) Jenis kelamin
: bisa terjadi pada kedua jenis kelamin tetapi
angka tertinggi pada perempuan
4) Agama
:
5) Suku bangsa
:
6) Pekerjaan :
7) Pendidikan
:
8) Status perkawinan:
9) Alamat
:
10) Tanggal MRS
:
b) Keluhan Utama
Klien biasanya mengatakan nyeri saat kencing namun ada juga
yang asimtomatik.

28

c) Riwayat Penyakit Dahulu


Perlu ditanyakan apakah klien pernah mengalami penyakit seperti
ini sebelumnya.
d) Riwayat Penyakit Sekarang
P = Tanyakan penyebab terjadinya infeksi ?
(Terinfeksinya dikarenakan sering berhubungan seks tanpa

pengaman)
Q = Tanyakan bagaimana gambaran rasa nyeri tersebut.
(Berupa rasa gatal, panas sewaktu kencing terdapat pada ujung
penis atau bagian distal uretra, perasaan nyeri saat ereksi)
R = Tanyakan pada daerah mana yang sakit, apakah menjalar
?
(Rasa tidak nyaman pada uretra kemudian diikuti nyeri ketika

berkemih)
S = Kaji skala nyeri untuk dirasakan.
(Rata-rata nyeri berskala 7)
T = Kapan keluhan dirasakan ?
(Keluhan dirasakan pada saat akan berkemih)
e) Riwayat Kesehatan Keluarga
Tanyakan pada klien apakah ada anggota keluarga klien yang
menderita penyakit yang sama seperti yang diderita klien sekarang
dan juga apakah ada penyakit keturunan yang di derita
keluarganya.
B) Pola-pola Fungsi Kesehatan
1) Pola persepsi dan tata laksana hidup
Perlu dikaji bagaimana kebiasaan kesehatannya dalam kehiduoan
sehati harinya, misalnya PH dari klien seperti mandi dan gosok,
gigi serta kebiasaan kebiasaan dalam mengkonsumsi minum
minuman keras dan perokok.
2) Pola tidur dan istirahat
Perlu dikaji bagaimana kebiasaan pola tidur klien setiap harinya,
sebelum dan setelah sakit, biasanya klien akan mengalami
gangguan pola tidur karena proses inflamasi dan pembengkakan
jika telah terjadi komplikasi.
3) Pola aktifitas dan latihan
Perlu dikaji kegiatan keseharian dari klien, dan keteraturan klien
dalam berolahraga.
29

4) Pola hubungan dan peran


Perlu dikaji bagaimana peran klien dengan keluarganya dan
lingkungan sekitarnya, biasanya pada klien dengan gonore
hubungan peran dengan keluarga terutama suami atau istri kurang
baik sehingga menyebabkan pelampiasannya dengan orang lain
yang telah terjangkit gonore.
5) Pola persepsi dan konsep diri
Perlu dikaji bagaimana persepsi klien dengan kondisi tubuhnya
yang menderita gonore, apakah hal ini akan mempengaruhi
konsep diri klien yang menyebabkan klien ini akan merasa rendah
diri.
6) Pola sensori dan kognitif
Perlu dikaji tingkat pengetahuan klien mengenai penyakit yang
dideritanya

dan

pendidikannya.

juga

kognitif

Biasanya

pada

klien,
klien

misalnya
gonore

tingkatan
tingkat

pendidikannya rendah sehingga mereka sulit mendapatkan


pekerjaan dan akan melakukan pekerjaan yang bisa menyebabkan
tertularnya gonore.
7) Pola penanggulangan stress
Perlu dikaji bagaimana klien dalam menangani stress yang
dialami berhubungan dengan kondisi sakitnya.
8) Pola tata nilai dan kepercayaan
Perlu dikaji bagaimana kebiasaan beribadah klien, serta
kepercayaannya.
9) Pola reproduksi dan seksual
Perlu dikaji apakah klien masih dalam masa subur atau tidak,
berapa jumlah anaknya, apakah menggunakan alat kontrasepsi
dan dengan kondisi sakitnya saat ini bagaimana pola seksualitas
dari klien, biasnya klien mengalami perubahan dalam pola
seksualnya karena adanya inflamasi pada organ reproduksinya.
10) Pola eliminasi
Perlu dikaji frekuensi dan konsistensi BAB serta BAK klien
setiap harinya, apakah mengalami gangguan atau tidak, biasanya
klie mengalami disuria dan sulit untuk BAB serta diikuti dengan
rasa nyeri.
11) Pola nutrisi dan metabolisme

30

Klien perlu dikaji dengan kondisi sakitnya, apakah klien


mengalami gangguan pola makan, namun biasanya klien akan
merasa malas, dan mengalami gangguan pola makannya karena
adanya inflamasi pada faringnya sehingga akan mengalami
penurunan metabolisme tubuh.
C) Pemeriksaan Fisik
1) Tingkat Kesadaran
GCS : biasanya kesadaran pasien normal yaitu
Eye=4, Verbal=5, Motorik=6
Observasi TTV Klien, yaitu :

Nadi

Tekanan Darah

RR

Suhu
2) Pengkajian Persistem
a. Sistem Integumen
Biasanya terjadi inflamasi jaringan sekitar uretra, genital
lesions dan skin rashes.
a.

Sistem Kardiovaskuler
Kaji apakah bunyi jantung normal / mengalami gangguan,
biasanya pada klien bunyi jantung normal, namun akan
mengalami peningkatan nadi karena proses dari inflamasi yang
mengakibatkan demam.

b.

Sistem Pernafasan
Perlu dikaji pola nafas klien, auskultasi paru paru untuk
mengetahui bunyi nafas, dan juga kaji anatomi pada sistem
pernafasan, apakah terjadi peradangan atau tidak. Biasanya
pada klien terdapat peradangan pada faringnya karena adanya
penyakit.

c.

Sistem Penginderaan
Kaji konjungtiva, apakah ada peradangan / tidak.
(Konjungtiva tidak mengalami peradangan, namun akan
mengalami peradangan jika pada konjungtivitis gonore dan
juga bisa ditemukan adanya pus )

d.

Sistem Pencernaan

31

Kaji mulut dan tenggorokan termasuk toksil.

(Mulut sudah terjaga PH nya dan tidak terdapat toksil)


Pada faring biasanya mengalami inflamasi sehingga akan
mengalami gangguan dalam pola makan
Apakah terdapat diare / tidak.
(Pola eliminasi vekal tidak mengalami gangguan)
Anus
Biasanya pasien mengalami inflamasi jaringan akibat
infeksi yang menyebabkan klien sulit dan nyeri saat BAB
yang disebabkan oleh infeksi gonokokus.

e. Sistem Perkemihan
Gejala klinis yang asimptomatik (terjadi infeksi uretritis
akibat infeksi gonokokus pada uretra, endoserviks tubuh
uretra, baru setelah itu diikuti dengan onset munculnya

keluhan disuria.
Keluhan subjektif yang muncul dimulai dengan rasa gatal
panas di bagian distal uretra di sekitar orifisium uretra
eksternum, kemudian disusul dari ujung uretra, disuria, dan

polakisuria.
Biasanya klien akan mengalami , retensi urin karena
inflamasi prostat, keluar nanah dari penis dan kadang
kadang ujung uretra disertai darah, pembengkakan frenulum
pada pria, dan pembengkakan kelenjar bartoloni serta labio

mayora pada wanita yang juga disertai dengan nyeri tekan.


f. Sistem Muskuluskeletal
Biasanya pada pasien laki-laki tidak mengalami kesulitan
bergerak, sedangkan pada pasien wanita yang sudah mengalami
komplikasi akan mengalami kesulitan dalam bergerak dan juga
saat duduk karena terjadinya komplikasi pembengkakan pada
kelenjar bartholini dan juga labio mayoranya.
2. Diagnosa
1) Gangguan rasa nyaman nyeri saat BAK berhubungan dengan adanya
reaksi inflamasi pada uretra ditandai dengan klien mengeluh sakit dan
keluat nanah pada saat berkemih.
32

2) Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan adanya reaksi penyakit


( reaksi inflamasi)
3) Gangguan integritas kulit berhubungan dengan kerusakan jaringan
yang ditandai dengan adanya abses dan kemerahan
4) Perubahan pola eliminasi urin berhubungan dengan inflamasi pada
prostat ditandai dengan retensi urin dan disuria
5) Cemas berhubungan dengan proses penyakit yang ditandai dengan
klien banyak bertanya tentang penyakitnya.
6) Risiko penularan berhubungan dengan kurangnya pengetahuan klien
tentang cara penularan.
7) Resiko harga diri rendah berhubungan dengan proses penyakitnya.

BAB III
PENUTUP

1. KESIMPULAN

33

Gonorea adalah sebuah penyakit infeksi yang disebabkan oleh


Neisseria gonorrhea yang penularannya melalui hubungan kelamin baik
melalui genitor genital, oro genital, ano-genital. SEKS aman merupakan
istilah yang menggambarkan perilaku seks yang bertanggung jawab yang
ditujukan untuk mencegah penyebaran PMS, termasuk gonorea. Perilaku
yang bertanggung jawab adalah mengetahui perilaku seksualnya, dapat
mendiskusikan seksual dan riwayat penggunaan obat-obatan dan alkohol,
mempengaruhi pembuatan keputusan dan menggunakan alat pelindung.
2. SARAN
Jangan lakukan seks bebas, dan setia pada pasangan, bila sudah
mengalami tanda dan gejala gonore yang tercantum diatas segerahlah
diperiksakan ke tenaga medis agar tidak terjadi komplikasi yang parah.

DAFTAR PUSTAKA
Bignell, Chris. 2005. British Association for Sexual Health and HIV: National
Guideline on The Diagnosis and Treatment of Gonorrhoea in Adults 2005.
http://www.bashh.org/guidelines/2005/gc_final_0805.pdf
Bustan. 1997. Epidemiologi Penyakit Menular. Jakarta : Rineka Cipta p. 75
34

Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.


Daili SF. Gonore. Dalam: Daili SF, Makes WI, Zubier F, editor. Infeksi Menular
Seksual, edisi ke-4, Jakarta: FKUI; 2009:65-76.
Daili. F, Sjaiful. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin : Gonore. Edisi V.
Cetakan I hal : 379-387. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta.
Djuanda, Adhi. 1999. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 3. Balai Penerbit
FKUI: Jakarta.
Djuanda, Adhi, Mochtar, Aisah, Siti dkk. 2010. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Edisi Ke-6 Hal.363-792. Jakarta: Badan penerbit FKUI.
Hook EW, Hansdfield HH. Gonococcal infection in the adult. Dalam Holmes KK,
Sparling PF, Stamm WE, Piot P, editor. Sexually tansmitted disease. Edisi
ke-4. NewYork; McGraw-H ill, 2008 :627-43
Hook, Hansfield. 1999. Gonococcal Infection in The Adult. In: Holmes KK,
editors. Sexually Transmitted Disease. 3rd ed. New York: McGraw-Hill.
Jawas, Fitri Abdullah. Murtiastutik, Dwi Vol. 20 No. 3 Desember 2008 Dep/SMF
Kesehatan Kulit dan Kelamin FK UNAIR/RSU Dr. Soetomo (diakses pada
tanggal 23 Juni 2015 pukul 12.00 WIB)
Jawetz. 1996, Mikrobiologi Kedokteran, Edisi 20, 281-285 EGC, Jakarta
Kakoli, Roy, et.al., 2005. Centers for Diseases Control and Prevention :
Optimizing Treatment for Antimicrobial-resistant Neisseria gonorrhoeae.
Emerging Infectious Diseases. Volume I, No. 8. Atlanta, Georgia, USA,
http://www.cdc.gov/ncidod/eid/vol11no08/pdfs/05-0157.pdf
Karl E., Miller. 2006. Diagnosis and Treatment of Neisseria gonorrhoeae
Infections.

Am

Fam

Physician

2006;

73

1779-84,

1786.

http://www.aafp.org/afp
Mandal, dkk. 2006. Penyakit Infeksi. Jakarta : Erlangga.
Natadidjaja, Hendarto. 1990. Kapita Selekta Kedokteran. Bina Rupa Aksara:
Jakarta.
Notoatmodjo, Soekidjo. 1997. Ilmu Kesehatan Masyarakat Prinsip prinsip
Dasar. Jakarta :Rineka Ciptafrf.

35

Price, Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses


Penyakit. Jakarta: EGC.
Soekidjo, Notoatmodjo. 2010. Kesehatan Masyarakat Ilmu Dan Seni. Jakarta:
Rineka Cipta.
Staf Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1993, Mikrobilogi
Kedokteran, 98-99, Binarupa Aksara, Jakarta.
Suryaningsih E. Aplikasi PCR dalam mendeteksi infeksi gonore, klamidia dan
trikomonas vaginalis. Cermin dunia kedokteran no l, vol 20 Januari-Maret.
Jakata; 2007:48-51.
WHO. Guidelines for the management of sexually transmitted infections 2003.
WHO library cataloguing in publication data. 2003;33-5.

36

Anda mungkin juga menyukai