Anda di halaman 1dari 13

STRUKTUR POPULASI

Oleh :
Riskita Dinda P.
Ilham
Awaliatun Nur Azizah
Enur Azizah
Nur Amalah
Akhmad Arifin
Dewi Saroh
Khairina Femiliani Y.
Ridha U. Kusryandarty

B1J011077
B1J011076
B1J011113
B1J011115
B1J011135
B1J011143
B1J011147
B1J011170
B1J010042

Kelompok : 3
Rombongan : II
Asisten : Denisa Intan Diasrani

LAPORAN PRAKTIKUM PENGENDALIAN HAYATI

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO
2015
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Populasi didefinisikan sebagai kelompok kolektif organisme-organisme
dari spesies yang sama yang menduduki ruang atau tempat tertentu, memiliki
berbagai ciri atau sifat yang unik dari kelompok itu. Beberapa sifat tersebut antara
lain kepadatan, laju kelahiran, laju kematian, penyebaran umur, potensi biotik,
dispersi dan bentuk pertumbuhan. Kepadatan populasi suatu habitat tertentu
dipengaruhi oleh imigrasi dan natalitas yang memberi penambahan jumlah kepada
populasi, sedangkan emigrasi dan mortalitas akan mengurangi jumlah dari
populasi. Setiap populasi mempunyai struktur atau penyusunan individu yang
dikenal dengan pola distribusi.
Struktur populasi merupakan komposisi populasi yang meliputi jenis
kelamin (jantan, betina) dan umur (kategori anak, kategori muda, kategori dewasa,
dan kategori tua) yang merupakan proporsi antara tahapan hidup suatu jenis fauna.
Fauna yang mengalami metamorfosa sempurna (holometabola) maka struktur
populasi menunjukkan jumlah masing-masing tingkatan hidup yaitu telur, larva,
pupa dan imago. Fauna dengan metamorfosa tidak lengkap (hemimetabola) maka
struktur populasi merujuk jumlah telur, jumlah nympha dan jumlah imago dari
populasi fauna.
Struktur komunitas merupakan suatu konsep yang mempelajari susunan
atau komposisi spesies dan kelimpahannya dalam suatu komunitas. Secara umun
ada tiga pendekatan yang dapat digunakan untuk menggambarkan struktur
komunitas yaitu keanekaragaman spesies, interaksi spesies dan organisasi
fungsional. Masing-masing pendekatan memberikan informasi yang sangat
berguna dan pemilihan pendekatan yang akan digunakan tergantung pada tujuan
dan pertimbangan praktisnya. Pendekatan yang digunakan untuk mempelajari
struktur

komunitas

Heteropsylla

keanekaragaman spesies.

cubana

pada

penelitian

ini

adalah

B. Tujuan
Tujuan dari praktikum kali ini adalah untuk mengetahui struktur populasi
Kutu Loncat (Heteropsylla cubana) pada tanaman Lamtoro yang terletak di
samping fakultas Biologi.

II.

TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman lamtoro (Leucaena leucocephala Lam de Wit) merupakan salah


satu komponen yang sering digunakan dalam wanatani antara lain sebagai
penaung, tanaman sela dan tanaman penghijauan. kutu loncat lamtoro merupakan
serangga yang berasal dari daerah Amerika tropis. Hama ini populer di Indonesia
sejak sekitar tahun 1986, karena merusak sebagian besar tanaman lamtoro yang
ditanam sebagai penaung pada perkebunan kopi dan coklat. Hama kutu loncat
(Heteropsylla cubana) dewasa meletakkan telur pada pusuk tanaman yang dapat
memenuhi seluruh permukaan tunas. Karena itu populasi nimfa yang berkembang
per pucuk sangat tinggi dan menyebabkan anak daun mengeriting, menggulung
dan mengering kemudian gugur. Kutu loncat juga mengekresikan embun madu
yang segera ditumbuhi jamur jelaga (Capnodium sp.) yang menyebabkan pucuk
tanaman dan daun berwarna kehitam-hitaman (Darman, 1986 ).
Populasi merupakan sekelompok individu yang berasal dari satu spesies
yang mendiami habitat tertentu dimana perkawinan antar individu terjadi secara
acak, sehingga populasi menjadi relatif berkesinambungan. Populasi yang
terbentuk dengan mekanisme tersebut, dikenal dengan istilah populasi tradisional
(panmictic population). Namun demikian, beberapa fakta memperlihatkan bahwa
di alam, perkawinan antar individu di dalam populasi tidak terjadi secara acak,
sehingga populasi dapat terbagi menjadi beberapa kelompok yang di sebut subsub populasi (McCullough, 1996).
Struktur populasi merupakan komposisi populasi yang meliputi jenis
kelamin (jantan, betina) dan umur (kategori anak, kategori muda, kategori dewasa,
dan kategori tua) yang merupakan proporsi antara tahapan hidup suatu jenis fauna.
Fauna yang mengalami metamorfosa sempurna (holometabola) maka struktur
populasi menunjukkan jumlah masing-masing tingkatan hidup yaitu telur, larva,
pupa dan imago. Fauna dengan metamorfosa tidak lengkap (hemimetabola) maka

struktur populasi merujuk jumlah telur, jumlah nympha dan jumlah imago dari
populasi fauna (Bahagiawati et al., 2010).
Menurut Bahagiawati et al. (2010), struktur populasi dipengaruhi empat
faktor yaitu natalitas, migrasi, imigrasi dan mortalitas. Model struktur populasi
dibagi menjadi tiga, yaitu:
1.

Struktur populasi stabil, merupakan populasi yang memiliki jumlah

individu tingkatan yang lebih muda selalu lebih banyak dibanding jumlah individu
yang lebih tua. Telur berjumlah lebih banyak dari larva, larva berjumlah lebih
banyak dari pupa dan pupa berjumlah lebih banyak dari imago.
2.

Struktur populasi konstan, merupakan populasi yang memiliki jumlah

individu tingkatan yang lebih muda sama banyak dibanding jumlah individu yang
lebih tua. Telur berjumlah sama banyak dengan larva, larva berjumlah sama
banyak dengan pupa dan pupa berjumlah sama banyak dengan imago.
3. Struktur populasi tidak stabil, merupakan populasi yang memiliki jumlah
individu tingkatan yang lebih muda selalu lebih sedikit dibanding jumlah individu
yang lebih tua. Telur berjumlah lebih sedikit dari larva, larva berjumlah lebih
sedikit dari pupa dan pupa berjumlah lebih sedikit dari imago.
Kutu loncat bisa beradaptasi terhadap mimosin pada lamtoro, karena
lamtoro diduga mampu mengeluarkan mimosin bersama dengan embun madu
atau menguraikannya menjadi senyawa tidak beracun. Perbedaan antara kadar
mimosin dalam getah lamtoro bila dibandingkan dengan ekskreta kutu loncat
mungkin juga di karenakan getah yang dihisap kutu loncat memiliki kadar
mimosin yang lebih rendah dibandingkan dengan getah yang diperoleh dengan
memotong ujung-ujung tunas. Kadar mimosin yang lebih rendah pada getah yang
dihisap kutu loncat menyebabkan terjadinya pengurasan mimosin karena nimfa
pada umumnya mengumpul di pucuk dan menghisap dari bagian tanaman dengan
getah yang kadar mimosinnya rendah (Darman et al., 1988).

III.

MATERI DAN METODE


A. Materi

Alat yang digunakan dalam praktikum struktur populasi ini adalah hand
counter, gunting, kamera digital dan alat tulis.
Bahan yang digunakan adalah Kutu Loncat (Heteropsylla cubana) pada
tanaman Lamtoro.
B. Metode
Metode yang digunakan dalam praktikum kali ini adalah :
1. Pilihlah 10 tangkai daun Lamtoro secara acak.
2. Berikan penanda sampel ke berapa pada pangkal tangkai daun lamtoro.
3. Kutu Loncat yang terdpat pada tangkai daun Lamtoro yang terpilih diperiksa
dan diamati tingkatan hidupnya.
4. Hitunglah setiap tingkatan hidup (telur, nympha dan sewasa) dari Kutu
Loncat.
5. Hasil dicatat dan dimasukkan ke dalam tabel pengamatan.

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Hasil
B. Tabel 1. Hasil Pengamatan Tingkatan Hidup Kutu Loncat
Tingkatan
Hidup
Telur
Nimfa
Imago

I
3
24
14

II
6
4
2

III
4
1

IV
6
3
-

Ulangan
V
VI
-

Keterangan :
Jumlah telur = 19
Jumlah nimfa = 40
Jumlah imago = 20

B. Pembahasan

VII
1
2

VIII
1
2
1

IX
1
-

X
3
2
-

Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh telur dari hama kutu loncat


lamtoro (Heteropsylla cubana) dengan jumlah telur 19 populasi, jumlah nimfa
populasi 40 dan jumlah imago terdapat 20 populasi. Menurut Darma et al. (1988)
bahwa perbedaan populasi kutu loncat tidak menyebabkan perbedaan kadar
mimosin pada getah yang diperoleh dengan memotong pucuk yang bersangkutan.
Berdasarkan data hasil pengamatan dari hama kutu loncat lamtoro (Heteropsylla
cubana), termasuk kedalam struktur populasi tidak stabil, karena populasi yang
memiliki jumlah individu tingkatan yang lebih muda selalu lebih sedikit
dibanding jumlah individu yang lebih tua. Telur berjumlah lebih sedikit dari larva,
larva berjumlah lebih sedikit dari imago.
Heteropsylla cubana atau yang lebih popular dengan sebutan kutu loncat
adalah serangga hama yang ganas. Heteropsylla cubana merupakan hama eksotik
Indonesia (Oka dan Bahagiawati 1986, dalam Yasin, 2006). Sekitar tahun 1986
Heteropsylla cubana atau kutu loncat ini sangat populer di Indonesia, karena
merusak sebagian besar tanaman lamtoro yang ditanam sebagai penaung pada
perkebunan kopi dan coklat. Tanaman lamtoro merupakan salah satu komponen
yang sering digunakan dalam wanatani antara lain sebagai penaung, tanaman sela
dan tanaman penghijauan. Tanaman lamtoro bagi petani kopi sangat bermanfaat,
karena tanaman kopi peka terhadap sinar matahari langsung terutama di daerah
yang mempunyai musim kering yang tegas. Selain itu, tanaman naungan berfungsi
sebagai pencegah erosi, menahan angin, pemulih kesuburan tanah kritis, menjaga
kelembaban tanah (ketersediaan air tanah) dan bisa juga sebagai pakan ternak
(Handiwirawan,2007).
Heteropsylla cubana memiliki tiga stadia hidup yaitu telur, nimpha dan
dewasa. Siklus hidupnya mulai dari telur sampai dewasa berlangsung antara 16-18
hari pada kondisi panas, sedangkan pada kondisi dingin berlangsung sampai 45
hari.

Dalam kurun waktu satu tahun serangga ini dapat menghasilkan 9-10

generasi. Telur dari Heteropsylla cubana berbentuk lonjong mirip buah alpokat
dan berwarna kuning terang. Cara meletakkan telurnya tidak teratur, kadangkadang berkelompok atau terpisah sendiri-sendiri. Bagian tanaman yang menjadi
tempat meletakkan telur adalah tunas-tunas daun, atau jaringan tanaman yang
masih muda, seperti tangkai tunas dan permukaan daun bagian atas dan bawah

yang belum membuka. Setelah 2- 3 hari telur menetas menjadi nimfa (Baiquni,
2007).
Nimfa yang baru menetas hidup berkelompok pada jaringan tanaman
muda dan mengisap cairan tanaman. Setelah nimfa berumur 2 - 3 hari, kemudian
menyebar dan mencari makan pada daun-daun muda di sekitarnya. Periode nimfa
berlangsung selama 12 - 17 hari dan selama ini terjadi 5 kali pergantian kulit.
Setelah pergantian kulit yang pertama nimfa bertambah aktif mencari makanan
dan berpindah dari satu daun ke daun lainnya, dan nimfa tersebut merusak
tanaman dan mengakibatkan kerugian yang lebih besar bila dibandingkan dengan
serangga dewasanya. Warna nimfa tersebut kuning sampai kuning kecoklatan.
Kelima instar nimfa tersebut dapat dibedakan berdasarkan ukuran, bentuk awal
perkembangan terbentuknya sayap dan penyusunan sklerit pada toraks bagian
dorsal (Baiquni, 2007).
Dampak akibat serangan Heteropsylla cubana

akan mengakibatkan

tanaman menjadi mengkerut, daunnya menggulung, atau tanaman menjadi


mongering. Heteropsylla cubana akan menyerap cairan dari tangkai daun, tunastunas muda, dan jari ngan yang masih muda sehingga pertumbuhaan dadi
tumbuhan tersebut menjadi terhambat dan tidak sempurna.
Ketahanan tanaman terhadap serangan hama pada hakekat telah
terkandung didalam badannya yang diperoleh secara alamiah yang sifatnya
menolak mencegah atau mentolerir serangga. Hakim (1988) mengemukakan
bahwa faktor-faktor pengendali diduga oleh faktor fisis, kimia, anatomis,
fisiologis dan genetis. Kutu loncat lamtoro merusak tanaman dengan cara
mengisap cairan pada pucuk-pucuk daun yang belum mekar. Karena
berkurangnya cairan, maka daun menjadi mengkerut dan gagal untuk
berkembang. Pada serangan yang berat, pucuk daun akan berubah warna menjadi
hitam dan akhirnya rontok. Selain mengisap cairan, kutu loncat lamtoro juga
mengeluarkan cairan yang mengandung gula sehingga mendorong tumbuhnya
jamur jelaga.
Struktur populasi merupakan proporsi antara tahapan hidup suatu jenis
fauna. Pemanfaatan parasitoid telur dalam pengendalian hayati sering menjadi
pilihan karena dapat mengendalikan hama pada fase paling awal sehingga

kerusakan tanaman dapat dicegah sedini mungkin. Beberapa penelitian


menyebutkan bahwa keefektifan parasitoid sebagai agen pengendali hama di
lapang sangat dipengaruhi oleh struktur populasi yang terbentuk. Terbentuknya
struktur populasi ini sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain perilaku
parasitoid itu sendiri (Vaughn & Antolin, 1998), kondisi agroekosistem dan faktor
abiotik yang berpengaruh pada distribusi parasitoid (Roderick, 1996).
Struktur populasi dipengaruhi empat faktor yaitu natalitas, migrasi,
imigrasi dan mortalitas. Model struktur populasi dibagi menjadi tiga, yaitu:
1. Struktur populasi stabil, merupakan populasi yang memiliki jumlah individu
tingkatan yang lebih muda selalu lebih banyak dibanding jumlah individu yang
lebih tua. Telur berjumlah lebih banyak dari larva, larva berjumlah lebih
banyak dari pupa dan pupa berjumlah lebih banyak dari imago.
2. Struktur populasi konstan, merupakan populasi yang memiliki jumlah individu
tingkatan yang lebih muda sama banyak dibanding jumlah individu yang lebih
tua. Telur berjumlah sama banyak dengan larva, larva berjumlah sama banyak
dengan pupa dan pupa berjumlah sama banyak dengan imago.
3. Struktur populasi tidak stabil, merupakan populasi yang memiliki jumlah
individu tingkatan yang lebih muda selalu lebih sedikit dibanding jumlah
individu yang lebih tua. Telur berjumlah lebih sedikit dari larva, larva
berjumlah lebih sedikit dari pupa dan pupa berjumlah lebih sedikit dari imago.
Dalam mengkaji pertumbuhan populasi, beberapa hal yang perlu
diperhatikan adalah dalam lingkaran hidup dari organisme terdapat fase lahir,
pertumbuhan, dewasa, tua dan kemudian mati. Umur hewan terbagi dalam tiga
periode, yaitu fase preduktif, dimana hewan mengalami pertumbuhan yang cepat
tetapi belum mampu berproduksi, fase reproduksi, dimana hewan mampu
bereproduksi, fase post reproduksi, dimana hewan tidak mampu lagi bereproduksi
yaitu pada umur tua. Dengan demikian struktur umur/ratio umur dalam suatu
populasi dapat menunjukkan suatu populasi apakah sedang mengalami
pertumbuhan yang cepat, stabil, atau sedang mengalami penurunan (Setiadi,
1989).
V.

KESIMPULAN DAN SARAN


A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan, diperoleh kesimpulan sebagai berikut :

B. Saran

DAFTAR REFERENSI
Bahagiawati Dwinita, W. Utami, dan Damayanti B. 2010. Pengelompokan dan
Struktur Populasi Parasitoid Telur Trichogrammatoidea armigera pada
Telur Helicoverpa armigera pada Jagung Berdasarkan Karakter
Molekuler. J. Entomol. Indon., Bogor, April 2010, Vol. 7, No. 1, 54-65.

Crowford, D.L. 1914. A. monograph of Jumping Plantlice or Psyllidae of The


New Word. Bulletin United State Nasional Museum. 85.
Darman, J. 1986. Kasus Penampakan Hama Ganas Yang Menyerang Lamtoro.
Laporan Khusus Balitnak. Ciawi. p. 17.
Darman et al. 1988. Faktor Ketahanan Leucaena Terhadap Kutu Loncat Lamtoro
(H. cubana). Seminar Penanggulangan Hama Kutu Loncat Lamtoro.
Balitan Bogor. p. 18.
Hakim, R. 1988. Dasar-dasar Penelitian Resistensi TAnaman Terhadap Hama
Penyakit. Seminar Penanggulangan Hama Kutu Loncat Lamtoro Balitan,
Bogor, p, 6.
Joshi et al. 1986. Profile of Mimosin During Growth. LRR.7 : p.51.
L. Lach, Chadwick V., Tillberg, Andrew V. Suarez , 2010. Contrasting Effects of
An Invasive Ant on A Native and An Invasive Plant. Biol Invasions
(2010) 12:31233133.
Medoza, E.M.T and J.L. Ilaq. 1980. The Test for Eradicative and Protective Effect
of Mimosin. LRR I :p.26.
McCullough, DR (ed). 1996. Metapopulations and Wildlife Conservation. Island
press, Washington DC.
Pound, B., and I. Martinezcairo. 1983. Leucaena : Its Cultivation and Uses.
Overseas developments Administration, London.
Roderick GK. 1996. Geographic Structure on Insect Population: Gene Flow,
Phylogeography, and Their Uses. Ann. Rev. Entomol. 41:325- 352.
Sajimin. 2006. Pemanfaatan Tanaman Lamtoro Tahan Hama Kutu Loncat untuk
Produksi Hijauan Pakan Ternak : Suatu Kajian Pustaka. Animal
Production, Bogor. Vol. 8, No. 2, Mei 2006 : 143 151
Setiadi, D., 1989. Dasar-dasar Ekologi. Pusat Antar Ilmu Hayat. IPB, Bogor.
Tangendjaja, B. dan J.B. Lowry. 1984. Peranan EnzIm Di dalam Daun Lamtoro
pada Pemecahan Mimosin oleh Ternak Ruminasia. Proceeding
Pertemuan Ilmiah Penelitian Ruminansia Kecil. Puslitbangnak, Bogor,
p.12 15.
Baiquni, H. 2007. Pengelolaan Keanekaragaman Hayati. Praktek Unggulan
Program Pembangunan Berkelanjutan Untuk Industri Pertambangan.
Department of Industry Tourism and Resources, Australia.
Handiwiryawan, Eko. 2007. Keragaman Molekuler dalam Suatu Populasi. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.

Heong, K.L., Aquino G.B., Barrion A.T. 1991. Arthropod community structure of
rice ecosystem in the Philippines. Bull. Entomol. Res. 81: 407 416.
Sosromarsono, S. 2005. Biological Control of Agriculture Pests in Indonesia. The
Last Six Decades of Experience. Page 141-165. In Soemodiharjo, S. and
S.D. Sastra pradja, eds. Six Decade of Science and Scentist in Indonesia.
NATURINDO ( Nature Indonesia).
Yasin, Nur. 2006. Perkembangan Hidup dan Daya Memangsa Curinanus coerileus
muslant pada Beberapa Kutu Tanaman. JPT tropica.
cek

Anda mungkin juga menyukai