Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH STANDAR PENDIDIKAN NASIONAL

BAB I
PENDAHULUAN
Berdasarkan pembukaan UUD 1945 bahwa salah satu tujuan nasional Negara
Kesatuan Republik Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini diperkuat
dalam UUD 1945 pasal 31 yang intinya menjelaskan bahwa setiap warga negara Indonesia
berhak memperoleh pengajaran (pendidikan). Jadi, ini mengindikasikan bahwa negara
mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk memenuhi pendidikan tiap-tiap warga
negaranya guna mewujudkan tujuan nasional, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pendidikan sebagai suatu proses yang bertujuan, dikatakan berjalan baik manakala
pendidikan mampu berperan secara proporsif, konteksual dan komprehensif dalam menjawab
sekaligus memenuhi kebutuhan masyarakat serta tuntutan perubahan dan perkembangan
zaman. Untuk mencapai hal tersebut, maka diperlukan suatu sistem/perangkat pendidikan,
baik yang bersifat lunak (software) maupun keras (hardware). Adapun salah satu perangkat
pendidikan tersebut yakni Undang-Undang, dalam hal ini Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional, yang pada proses selanjutnya memerlukan penjabaran dalam bentuk Peraturan
Pemerintah. Sebagai suatu perangkat lunak, keberadaan UU Sisdiknas ini perlu dikaji dan
dirumuskan secara proporsional. Karena UU Sisdiknas tersebut berisikan bagaimana tujuan,
visi, misi hingga mekanisme prosedural pendidikan diatur dengan tidak melepaskan konteks
sosial-politik pada saat itu dan masa depan. Di Indonesia UU Sisdiknas ini tertuang dalam
UU No. 20 Tahun 2003. Untuk operasionalnya, UU No. 20 Tahun 2003 tersebut masih
memerlukan penjabaran, dan salah satu penjabarannya tersebut tertuang dalam Peraturan
Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang akan saya bahas
dalam makalah ini beserta kontroversi yang muncul dalam Peraturan Pemerintah No. 19/2005
tersebut.

BAB II
PEMBAHASAN

Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan ini
merupakan penjabaran dari Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Sebagaimana tercantum dalam ketentuan umum pasal 1 PP No. 19/2005, yang
dimaksud dengan Standar Nasional Pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem
pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Standar
Nasional Pendidikan ini memiliki fungsi sebagai dasar dalam perencanaan, pelaksanaan dan
pengawasan pendidikan dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu. Di
samping itu, Standar Nasional Pendidikan memiliki tujuan untuk menjamin mutu pendidikan
nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat. Dari fungsi dan tujuan tersebut dapat diketahui, bahwa
standarisasi pendidikan nasional ini merupakan bentuk ijtihad yang mencita-citakan suatu
pendidikan nasional yang bermutu. Tidak dapat dipungkiri, bahwa pada saat ini pendidikan
nasional bisa dikatakan sedikit tertinggal dengan negara-negara tetangga, atau bahkan jauh
tertinggal dengan negara-negara maju, seperti Amerika dan negara-negara eropa. Hal tersebut
dibuktikan dari tidak adanya perguruan tinggi di Indonesia yang masuk dalam peringkat 100
perguruan tinggi terbaik di dunia. Iklim politik dan ekonomi nasional yang tidak menentu, di
tambah lagi dengan perilaku korupsi dari pejabat-pejabat negara yang bisa dibilang sudah
membudaya, semakin memperburuk citra pendidikan nasional di mata dunia. Maka akan
timbul pertanyaan, mau di arahkan kemana pendidikan nasional kita ? Oleh karena itu,
menjadi

sebuah

keniscayaan

adanya

perbaikan-perbaikan

dan

penyempurnaan-

penyempurnaan terhadap sistem pendidikan nasional dalam lingkup makro, dan standar
nasional pendidikan dalm lingkup mikro. Hal ini bertujuan agar pendidikan nasional tidak
selalu tertinggal dalam merespons tantangan dan tuntutan perkembangan zaman.
Sebagaimana termaktub dalam PP No. 19/2005 pasal 2 ayat 3: standar nasional pendidikan
disempurnakan secara terencana, terarah dan berkelanjutan sesuai dengan tuntutan perubahan
kehidupan lokal, nasional, dan global.
Dalam mengoperasionalisasikan standar nasional pendidikan, pemerintah telah
membentuk sebuah badan yang bertugas memantau, mengembangkan dan melaporkan
tingkat pencapaian standar nasional pendidikan, badan yang dimaksud tersebut dikenal
dengan nama Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). BSNP ini memiliki beberapa
wewenang guna menunjang pelaksanaan tugasnya sebagai pemantau dan pengembang
standar nasional pendidikan, wewenang tersebut meliputi:

1. mengembangkan standar nasional pendidikan


2. menyelenggarakan ujian nasional
3.

memberikan rekomendasi kepada pemerintah dan pemerintah daerah dalam penjaminan dan
pengendalian mutu pendidikan

4.

merumuskan kriteria kelulusan dari satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan
menengah.
Berdasarkan PP No. 19/2005, terdapat delapan standar pendidikan nasional yang digarap oleh
BSNP, yaitu:

1. Standar Isi
Standar isi merupakan ruang lingkup materi dan tingkat kompetensi yang dituangkan dalam
kriteria tentang kompetensi tamatan, kompetensi bahan kajian, kompetensi mata pelajaran,
dan silabus pembelajaran ayang harus dipenuhi oleh peserta didik pada jenjang dan jenis
pendidikan tertentu. Standar isi ini memuat kerangka dasar, struktur kurikulum, beban belajar,
kurikulum tingkat satua pendidikan dan kalender pendidikan/akademik.
2. Standar Proses
Standar proses ini meliputi pelaksanaan pembelajaran pada satuan pendidikan untuk
mencapai standar kompetensi lulusan. (lihat bab IV pasal 19-24)
3. Standar Kompetensi Lulusan
Standar ini merupakan kulifikasi kemampuan lulusan yang berkaitan dengan sikap,
pengetahuan, dan ketrampilan. (lihat bab V pasal 25-27)
4. Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan
Standar ini merupakan standar nasional tentang kriteria pendidikan prajabatan dan kelayakan
fisik maupun mental serta pendidikan dalam jabatan dari tenaga guru dan tanaga
kependidikan lainnya. (lihat bab VI pasal 28-41)
5. Standar Sarana dan Prasarana
Standar ini merupakan kriteria minimal tentang ruang belajar, perpustakaan, tempat olahraga,
tempat ibadah, tempat bermain dan rekreasi, laboratorium, bengkel kerja, sumber belajar
lainnya yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran. Dalam standar ini termasuk
pula penggunaan teknologi informasi dan komunikasi. (lihat bab VII pasal 42-48)
6.

Standar Pengelolaan
Standar ini meliputi perencanaan pendidikan, pelaksanaan dan pengawasan kegiatan
pendidikan

pada

tingkat

satuan

pendidikan,

pengelolaan

pendidikan

di

tingkat

kabupaten/kota, provinsi, dan pada tingkat nasional. tujuan dari standar ini ialah

meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pendidikan. (lihat bab VIII pasal 4961)
7. Standar Pembiayaan
Standar ini merupakan standar nasional yang berkaitan dengan komponen dan besarnya biaya
operasi satuan pendidikan selama satu tahun. (lihat bab IX pasal 62)
8. Standar Penilaian Pendidikan
Standar ini merupakan standar nasional penilaian pendidikan tentang mekanisme, prosedur,
instrumen penilaian hasil belajar peserta didik. Penilaian yang dimaksud di sini adalah
penilaian pada jenjang pendidikan dasar dan menengah yang meliputi: penilaian hasil belajar
oleh pendidik, penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan dan penilaian hasil belajar oleh
pemerintah. Sedangkan bagi pendidikan tinggi, penilaian tersebut hanya meliputi: penilaian
hasil belajar oleh pendidik dan satuan pendidikan. (lihat bab X pasal 63-72)
Dari kedelapan standar nasional ini pada akhirnya akan bermuara pada suatu tujuan
untuk menjamin mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa
dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat (lihat pasal 4). Oleh karena
itu, pemerintah mewajibkan setiap satuan pendidikan, baik formal maupun nonformal untuk
melakukan penjaminan mutu pendidikan yang dilakukan secara bertahap, sistematis dan
terencana serta memiliki target dan kerangka waktu yang jelas agar dapat memenuhi atau
bahkan melampaui standar nasional pendidikan. Dalam sebuah sistem pendidikan
meniscayakan adanya sebuah evaluasi guna mengontrol kinerja suatu satuan pendidikan,
sehingga dengan adanya fungsi kontrol tersebut tingkat efektivitas, produktivitas, berhasil
dan gagalnya sistem pendidikan dapat dipantau. Sebagaiman tercantum dalam bab XII pasal
78 PP nomor 19/2005, bahwa evaluasi pendidikan tersebut meliputi:
1.

Evaluasi kinerja pendidikan yang dilakukan oleh satuan pendidiakn sebagai bentuk
akuntabilitas

2. Evaluasi kinerja pendidikan yang dilakukan pemerintah


3. Evaluasi kinerja pendidikan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Provinsi
4. Evaluasi kinerja pendidikan yang dilakukan oleh pemerintah daerah kabupaten.
5. Evaluasi oleh lembaga evaluasi mandiri yang dibentuk masyarakat/ organisasi profesi untuk
menilai pencapaian standar nasional pendidikan.
a.

Evaluasi kinerja pendidikan oleh pemerintah, sebagaimana tercantum pada poin kedua di
atas, dilakukan oleh menteri pendidikan nasional. Setelah menerima hasil laporan evaluasi
kinerja pendidikan dari kabupaten/kota, provinsi dan atau lembaga evaluasi mandiri,

kemudian menteri melakukan evaluasi komprehensif untuk menilai: Tingkat relevansi


pendidikan nasional terhadap visi, misi, tujuan dan paradigma pendidikan nasional
b.

Tingkat relevansi pendidikan nasional terhadap kebutuhan masyarakat akan sumber daya
manusia yang bermutu dan berdaya saing

c.

Tingkat mutu dan daya saing pendidikan nasional

d. Tingkat partisipasi masyarakat dalam pendidikan


e.

Tingkat efisiensi, produktivitas dan akuntabilitas pendidikan nasional.


Di samping ikut serta dalam proses evaluasi kinerja pendidikan, pemerintah juga
berwenang dalam melakukan akreditasi pada setiap jenjang dan satuan pendidikan. Yang
dimaksud akreditasi di sini adalah kegiatan penilaian kelayakan program dan atau satuan
pendidikan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan. Akreditasi oleh pemerintah ini
dilaksanakan oleh BAN- S/M (pada jenjang pendidikan dasar dan menengah), BAN-PT (pada
jenjang pendidikan tinggi), dan BAN-PNF (pada jenjang pendidikan nonformal). Badan
Akreditasi Nasional tersebut berada di bawah menteri dan bertanggung jawab kepada
menteri. Berkaitan dengan sertifikasi sebagai bukti legalitas pencapaian kompetensi peserta
didik, dalam bab XIV pasal 89 dijelaskan bahwa pencapaian kompetensi akhir peserta didik
dinyatakan dalam dokumen ijazah dan atau sertifikat kompetensi yang diterbitkan oleh satuan
pendidikan yang telah terakreditasi. Dalam dokumen ijazah atau sertifikasi kompetensi
tersebut setidaknya harus mencantumkan identitas peserta didik, pernyataan yang
menyatakan peserta didik yang bersangkutan telah lulus dari penilaian akhir satuan
pendidikan beserta daftar nilai mata pelajaran yang ditempuhnya, pernyataan tentang
kelulusan peserta didik dari Ujian Nasional beserta daftar nilai mata pelajaran yang diujikan,
dan pernyataan bahwa peserta didik yang bersangkutan telah memenuhi seluruh kriteria dan
dinyatakan lulus dari satuan pendidikan.
Selanjutnya, pada bab XVI pasal 94 tentang Ketentuan Peralihan disebutkan bahwa
pada saat mulai berlakunya peraturan pemerintah tentang standar nasional pendidikan ini:

a.

Badan Akreditasi Sekolah Nasional (BASNAS), Badan Akreditasi Nasional Perguruan


Tinggi (BANTA), Panitia Nasional Penilaian Buku Pelajaran (PNPBP) masih tetap
menjalankan tugas dan fungsinya sampai dibentuknya badan baru berdasarkan Peraturan
Pemerintahan ini.

b.

Satuan Pendidikan wajib menyesuaikan diri dengan ketentuan Peraturan Pemerintahan ini
paling lambat 7 (tujuh) tahun.

c.

Standar Nasional untuk peserta didik SD/MI/SDLB mulai dilaksanakan 3 (tiga) tahun sejak
ditetapkan Peraturan Pemerintahan ini.

d.

Penyelenggaraan Ujian Nasional dilaksakan oleh pemerintah sebelum BSNP menjalankan


tugas dan wewenangnya berdasarkan Peraturan Pemerintahan ini.
Kemudia pada bab terakhir (XVII) pasal 96 tentang ketentuan Penutup dijelaskan bahwa
semua peraturan yang diperlukan untuk melaksanakan Peraturan Pemerintahan nomor
19/2005 ini harus diselesaikan paling lambat 2 (dua) tahun terhitung sejak berlakunya
Peraturan Pemerintah ini. Lahirnya PP nomor 19 Tahun 2005 ini tidak lepas dari tejadinya
kontroversi di tengah masyarakat, ada sebagian masyarakat yang memandang bahwa lahirnya
PP ini sebagai suatu hal yang tidak perlu. Kemudian ada pula sebagian masyarakat pula
yang menilai bahwa PP nomor 19/2005 kontradiktif sekali dengan UU nomor 20/2003,
padahal sebagaimana diketahui bahwa PP nomor 19/2005 ini merupakan penjabaran dari UU
nomor 20/2003 yang semestinya tidak terdapat kontrakdiksi di dalamnya yang dapat
membingungkan masyarakat sebagai pengguna jasa pendidikan. Isu yang paling panas dan
dianggap paling banyak menimbulkan kontroversi yaitu tentang diberlakukannya Ujian
Nasional

pada

jenjang

pendidikan

sekolah

dasar

dan

menengah.

Mengenai perlu tidaknya standarisasi pendidikan nasional, H.A.R. Tilaar berpendapat bahwa
standarisasi pendidikan sangatlah perlu adanya, dalam artian:
a. Standarisasi pendidikan nasional merupakan suatu tuntutan politik. Sebagai negara
kesatuan Repblik Indonesia, bangsa ini memerlukan suatu ukuran (yardstick) untuk
menilai sejauh mana warga negara Indonesia itu mempunyai visi yang sama,
pengetahuan dan ketrampilan yang dapat mengembangkan negara kesatuan tersebut.
b. Standarisasi nasional pendidikan merupakan suatu tuntutan globalisasi yang penuh
dengan adanya persaingan. Sehingga hal ini perlu disikapi dengan upaya terus
menerus untuk memperbaiki diri dan meningkatkan kemamouan diri agar
tidakmenjadi budak dari bangsa-bangsa lain.
c. Standarisasi pendidikan nasional merupakan tuntutan dari kemajuan (progress). Setiap
negera tidak menginginkan negaranya tertingal dari bangsa-bangsa lain. Setiap negara
menginginkan menjadi negara yang maju, sehingga untuk mencapai hal tersebut,
maka diperlukan kualitas sumber daya manusia yang tinggi yang bukan hanya
menjadi konsumer dari produk-produk negara maju tetapi juga dapat berpartisipasi di
dalam meningkatkan mutu kehidupan manusia.

Di samping ketiga hal tersebut, H.A.R. Tilaar juga mengaskan bahwa standar nasional
pendidikan merupakan kebutuhan bangsa Indonesia, karena standar nasional pendidikan ini
berfungsi sebagai alat untuk mengukur kualitas pendidikan, memetakan masalah pendidikan,
dan pada akhirnya bermuara pada penyusunan strategi dan rencana pengembangan sebagai
sarana perbaikan mutu pendidikan nasional.
Sebagaimana yan telah kami paparkan di atas, bahwa lahirnya PP nomor 19/2005 ini
tidakdapat dilepaskan dari adanya kontroversi di dalamnya. Adapun kontroversi tersebut,
yaitu:
1. Pasal 78 huruf e dijelaskan bahwa pemerintah hanya mengevaluasi kinerja
pendidikan, dan pada pasal 79 ayat 1 huruf a, b, c, dan d yang menegaskan
bahwa tugas evaluasi hasil belajar itu dilakukan oleh satuan pendidikan.
Namun jika dilihat pada pasal 63 ayat 1 huruf b dan c yang menyatakan bahwa
penilaian hasil belajar dilakukan satuan pendidikan dan pemerintah, hal inilah
yang menimbulkan kontradiksi yang dapat menimbulkan kebingungan di
tengah masyarakat sebagai pengguna jasa layanan pendidikan. Sebenarnya
yang berhak melakukan penilaian hasil belajar peserta didik itu siapa?
Pendidik dalam satuan pendidikan, pemerintah , atau kedua-duanya?
2. Dalam Undang-Undang nomor 20/2003 tentang Sisdiknas, pasal 58 ayat 1
dijelaskan bahwa evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik
untuk memantau proses, kemajuan dan perbaikan hasil belajar peserta didik
secara berkesinambungan. Sedangkan dalam PP nomor 19/2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan, pasal 63 ayat 1 ditegaskan bahwa penilaian hasil
belajar dilakukan oleh tenaga pendidik, satuan pendidikan dan pemerintah.
Dari kedua aturan tersebut tampak jelas adanya kontradiksi dalam pembagian
peran/wewenang yang berkaitan dengan evaluasi (penilaian) hasil belajar
antara satuan pendidikan dan pemerintah. hal inilah yang pada akhirnya
menimbulkan perdebatan yang sangat alot antara DPR (Komisi X) dengan
pemerintah (Mendiknas) berkaitan dengan kedua pasal tersebut. DPR
menafsirkan bahwa pada UU No. 20 Tahun 2003 dengan jelas mengatakan
bahwa yang menentukan kelulusan siswa adalah sekolah dan guru.
Berdasarkan UU itu tidak perlu diadakan Ujian Nasional. Namun, dalam PP

No. 19 Tahun 2005 pemerintah menafsirkan lain bahwa yang menentukan


kelulusan siswa adalah Ujian Nasional.
Di luar masalah tersebut di atas, dalam harian Kedaulatan Rakyat edisi kamis 5 Maret
2009 dimuat berita yang bisa dibilang dapat mencoreng wajah pendidikan nasional umumnya
dan Yogyakarta pada khususnya, yang inti dari berita tersebut yaitu, diduga telah terjadi
pemalsuan ijazah oleh oknum guru yang studi di salah satu perguruan tinggi swasta di
Yogyakarta. Motivasi pemalsuan ijazah tersebut tidak lain adalah untuk kenaikan
pangkat/golongan, sehingga dengan naiknya pangkat/golongan tersebut secara otomatis akan
menaikkan juga gaji dan tunjangan profesinya. Selain berita tersebut, adapula berita yang
cukup membuat resah dunia pendidikan, yaitu terjadinya pemalsuan surat keterangan
Penetapan Angka Kredit oleh oknum kepala sekolah di Ciamis dan beberapa guru di
Kulonprogo. Lagi-lagi motif juga sama, yaitu untuk memenuhi persyaratan kenaikan
pangkat/golongan.
Dari kedua kasus tersebut, kiranya cukup memberikan gambaran pada kita bahwa
perlunya membenahi sebuah sistem pendidikan nasional secara komprehensif, agar tidak ada
lubang-lubang atau celah-celah yang dapat dimanfaatkan oleh oknum yang tak bertanggung
jawab untuk kepentingan pribadi. Selain itu, kedua kasus tersebut juga mengindikasikan
bahwa kualitas tenaga pendidik kita saat ini memang sungguh sangat mengkhawatirkan,
mentalitas maling masih terasa kental di negeri ini. Mungkin masih banyak kasus-kasus
lain yang terjadi,yang melibatkan oknum-oknum tenaga pendidik. Bagaimana bisa
mengarahkan pendidikan nasional kita menuju pendidikan yang maju dan bermutu, jika para
pendidiknya saja masih memiliki mental maling. Semestinya pendidik itu memiliki
karakter yang anggun dalam moral (akhlak) dan unggul dalam intelektual, sehingga mampu
mengarahkan dan mengawal pendidikan nasional menuju singasana yang terhormat.

Anda mungkin juga menyukai