Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN
Craniosynostosis adalah suatu kondisi dimana terjadi penutupan prematur satu
atau lebih sutura cranial yang muncul di intrauterine atau sesaat setelah kelahiran.1
Hal tersebut dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan pada sutura yang lain dan
akan membuat bentuk kepala yang abnormal. Selain bentuk yang abnormal, kelainan
tersebut juga dapat memberikan gangguan fungsional seperti peningkatan tekanan
intra kranial, hydrocephalus, gangguan perkembangan, dan amblyopia.2
Craniosynostosis ditemukan 1 dari 3000 kelahiran. Sagittal dan coronal
craniosynostosis merupakan tipe yang paling sering ditemui dan ditemukan empat
kali lipat lebih banyak pada laki-laki dibandingkan perempuan.2 Craniosynostosis
dikategorikan sebagai isolated craniosynostosis dan syndromic craniosynostosis.
Isolated craniosynostosis ditemukan pada 80% kasus dan biasanya bersifat sederhana,
tidak

berasosiasi

dengan

abnormalitas

lain

dan

etiologinya

non-genetik.

Kemungkinan terjadi isolated craniosynostosis adalah retriksi kepala fetal saat di


intrauterine. Syndromic craniosynostosis memiliki gejala yang lebih kompleks
dimana sering kali lebih dari satu sutura yang terlibat dan bersifat genetik. Syndromic
craniosynostosis sering kali dikaitkan dengan mutasi pada Fibroblast Growth Factor
Receptors (FGFR).3
Penutupan dari sutura yang terjadi premature menyebabkan gangguan
pertumbuhan sutura lain yang bisa menyebabkan meningkatnya tekanan intrakranial
dan meunurunnya tekanan perfusi otak. Hal ini dapat menyebabkan gangguan pada
penderita seperti gangguan perkembangan otak. Pada kasus-kasus craniosynostosis,
biasanya terdapat malformasi kongenital lainnya seperti midface hypoplasia dan
stenosis choanal yang dapat berujung pada kesulitan dalam proses anestesi.
Managemen untuk anak dengan craniosynostosis telah berkembang selama
beberapa dekade terakhir dan mayoritas terapi pembedahan. Terapi pembedahan yang

dilakukan pada pasien craniosynostosis bermacam-macam tergantung sutura yang


mengalami penutupan. Peranan dokter anestesi sangat penting dalam operasi
craniosynostosis, dan persiapan harus dilakukan dengan matang. Penilaian preoperatif, manajemen pendarahan pada intraoperatif, dan manajemen post-operatif pun
harus dipersiapkan dengan teliti. Selain itu, komplikasi dari operasi seperti
pendarahan masif dan gangguan metabolik.3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Craniosynostosis adalah suatu kondisi dimana satu atau lebih sutura berserat
pada bayi menyatu dan mengeras sebelum waktunya, sehingga mengubah
pertumbuhan cranium. Sedangkan menurut Jeffrey dkk, craniosynostosis adalah suatu
kondisi dimana terjadi penutupan prematur satu atau lebih sutura cranial yang muncul
di intrauterine atau sesaat setelah kelahiran.1
2.2. Anatomi
Tulang-tulang pipih tengkorak (frontal, parietal, temporal, dan oksipital)
berkembang dengan baik pada bulan kelima kehamilan. Pada waktu lahir, tulangtulang tersebut dipisahkan satu sama lainnya oleh perekat tipis dan jaringan
penyambung, yaitu sutura. Di tempat-tempat pertemuan lebih dari dua tulang,
suturanya lebar dan dikenal sebagai ubun-ubun (fontanella). Biasanya fontanella
anterior menutup pada usia 20 bulan manakala fontanella posterior menutup pada
usia 3 bulan.3

Gambar 1. Sutura kranial

Pertumbuhan dari tulang kepala anak memiliki garis lurus dengan


pertumbuhan bayi anak. Pada saat kelahiran, bayi memiliki hamper 40% dari ukuran
otak dewasa dan pada usia 9 tahun, otak dan tulang kepala akan mendekati 90% dari
ukuran orang dewasa. Pertumbuhan yang cepat ini terjadi akibat keberadaan dari
sutura yang belum bergabung dan fontanel yang masih terbuka.
Craniosynostosis adalah suatu kondisi di mana sutura bergabung terlalu dini,
menyebabkan masalah dengan pertumbuhan otak dan tengkorak normal. penutupan
prematur sutura juga dapat menyebabkan tekanan di dalam kepala untuk meningkat
dan tengkorak atau tulang wajah untuk mengubah dari penampilan normal dan
simetris.5 Penutupan dari sutura yang premature akan berujung pada craniosynostosis
yang menyebabkan gambaran dismorfik pada kepala jika tidak diobati (Gambar 2).

Gambar 2. Craniosynostosis

2.3. Epidemiologi
Insiden dari terjadinya craniosynostosis adalah 1 dari 3000 kelahiran.2 Salah
satu kategori yang paling sering adalah non-sindromik dan sindromik. Non-sindromik
craniosynostosis hanya mengenai satu sutura dan tidak disertai dengan sindrom
lainnya. 50% dari kasus non-sindromik craniosynostosis hanya melibatkan sutura
sagitalis. Formasi tersebut disebut juga scaphocephali. Sutura coronal paling sering
terkena selain sutura sagittal dengan angka kejadian 20% dari kasus craniosynostosis,
dan disebut juga plagiocephali. Angka kejadian craniosynostosis pada sutura metopic
adalah 10%, dan disebut juga trigonocephali.4 Sindromik craniosynostosis terhitung
20% dari kasus craniosynostosis dan biasanya melibatkan dua atau lebih sutura.
Lebih dari 150 sindrom sudah diidentifikasi berdasarkan gambaran klinisnya, namun
sindrom apert dan sindrom crouzon merupakan yang paling sering ditemukan.kedua
sutura koronal biasanya mengalami gangguan pada keuda sindrom ini. Penderita
sindro apert dan crouzon juga biasanya mengalami midface hypoplasia dan apnea
obstruktif karena anatomi jalan napas yang abnormal.4
2.4. Patofisiologi dan Gambaran Klinis
Sebagian besar craniosynostosis diturunkan secara genetik autosomal
dominan. Mutasi pada gen yang mengkode Fibroblast Growth Factor Receptors
(FGFRs) menyebabkan sebagian besar sindrom. Fibroblast Growth Factors (FGFs)
berikatan dengan FGFRs dan mengatur pertumbuhan dan differensiasi sel. Interaksi
yang abnormal dari kedua protein berujung pada sinyal intrasellular yang abnormal.
Contohnya pada sindrom apert, FGF berikatan degngan FGFR 2 yang abnormal
dalam jangka waktu yang cukup lama, sehingga memberikan sinyal yang premature
pada sel tulang yang immature untuk berdifferensiasi dan menyebabkan penutupan
sutura.3
Baik craniosynostosis sindromik ataupun non-sindromik bisa menyebabkan
peningkatan tekanan intrakranial. Angka kejadian peningkatan tekanan intrakranial
tercatat pada 40% - 70% dari kasus sindromik craniosynostosis akibat penutupan

sutura yang multipel. Peningkatan tekanan intrakranial bisa disebabkan oleh


hidrosefalus, obstruksi jalan napas, ukuran kepala yang terlalu kecil untuk otak
(disproporsi kranioserebral) atau abnormalitas drainase vena di otak. gejala dari
peningkatan tekanan intrakranial melliputi sakit kepala, iritabilitas, kejang, gangguan
perkembangan, kebutaan, dan kematian.4
Kadar normal untuk tekanan intrakranial dan tekanan perfusi serebral pada
anak belum diteliti secara rinci. Namun, kadar tekanan intrakranial <10 mmHg
dianggap normal. Tekanan intrakranial >15 mgHg telah disetujui sebagai hipertensi
intrakranial. Banyak anak dengan craniosynostosis kompleks yang tekanan
intrakranialnya terus dipantau untuk membantu keputusan intervensi operatif. Pada
kasus penderita disertai peningkatan intrakrania, tekanan perfusi serebral perlu
dipantau sampai operasi selesai.4
Kadar normal dari tekanan perfusi serebral bermacam-macam tergantung
umur, namun konsensus menyatakan tekanan perfusi serebral 40-50 mmHg pada
infansi dan anak dianggap normal. Para dokter anestesi harus bisa meminimalisasi
faktor yang meningkatkan tekanan intrakranial, seperti hiperkapnia dan hipoksia, dan
faktor yang meningkatkan tekanan vena seperti posisi pasien dan batuk.3
Pada sindrom yang bersangkutan dengan cranialsynostosis, seperti sindrom
apert dan crouzon, didapatkan gangguan pada jalan napas. Pada sindrom apert,
midface hypoplasia dan proptosis dapat menyulitkan pemasangan sungkup muka.
Ukuran hidung yang kecil dan choanal stenosis menyebabkan resistensi tinggi
terhadap aliran udara melalui rute nasal yang menyebabkan penderita mengharuskan
bernapas melalui mulut. Pemasangan sungkup muka dengan mulut tertutup cukup
sulit, namun maneuver jalan napas, ditambah penggunaan oropharyngeal airway
(OPA), nasopharyngeal airway (NPA), atau continuous positive airway pressure
(CPAP) biasanya cukup efektif dalam menanggulangi obstruksi. Tindakan intubasi
melalui laringoskop biasanya berhasil di mayoritas kasus. Merupakan hal yang
penting untuk memastikan jika pipa endotrakea tidak akan melengkung atau
terkompresi, dan yang paling penting adalah memastikan dan menegah pergeseran

pipa endotrakea yang dapat menyebabkan hal merugikan, seperti intubasi


endobrochial atau ekstubasi yang tidak disengaja.3
Sebuah studi menunjukkan komplikasi respirasi ditemukan pada 6,1%
penderita sindrom apert. Riwayat infeksi saluran napas atas merupakan faktor risiko
terjadinya komplikasi respirasi pada intraoperatif. Mengi merupakan komplikasi
respirasi yang paling sering ditemukan, bahkan pada beberapa kasus, keadaan mengi
dapat membatalkan rencana operasi. Mekasnisme terjadinya mengi kemungkinan
karena saluran pernapasan bawah mengalami kekakuan atau bergabungnya cincin
trakea secara vertikal dan akumulasi dari sekret yang menyebabkan bunyi mengi yang
monofonik. Hal ini bisa diatasi dengan suctioning trakea, anestesia yang dalam, dan
terapi bronkodilator.3
Hampir 50% penderita sindrom apert, sindrom crouzon, dan sindrom pfeiffer
mengalami OSA. Obstruksi dapat terjadi di tempat yang bermacam-macam, namun
midface hypoplasia dapat menyebabkan distorsi pada anatomi nasofaring.
Penggunaan pipa nasofaring (NPA) diindikasikan pada masa infansi, penggunaan
NPA memegang peranan penting dalam managemen obstruksi jalan napas atas. Anak
penderita craniosynostosis sering dijadwalkan untuk dilakukan trakeostomi 1-2
minggu sebelum pembedahan kraniofasial. Trakeostomi dapat membuat saluran napas
menjadi stabil dan memastikan prosedur intraoperatif dan postoperative yang lebih
lancar. Pada anak dengan obstruksi saluran napas atas yang tidak dilakukan
trakeostomi, proses induksi anestesi bisa cukup sulit mengingat kemungkinan
terjadinya obstruksi saluran napas ketika induksi. Namun pada sebagian besar kasus,
maneuver seperti jaw thrust dan penggunaan alat bantu baik itu pipa oral atau pun
nasofaring sudah cukup.3
Selain kemungkinan obstruksi saluran napas atas terjadi ketika proses
anestesi, efek jangka panjang dari obstruksi saluran napas atas terhadap system
kardiovaskular dan system saraf pusat. Ketika tidur, obstruksi saluran napas yang
dapat terjadi pada anak dengan sindromik craniosynostosis akan membentuk sebuah
siklus yang melibatkan tekanan intrakranial (ICP) dan tekanan perfusi serebral (CPP).

Pada fase aktif dari proses tidur, sebuah studi menemukan terjadinya peningkatan
tekanan intrakranial dan penurunan tekanan perfusi serebral. Penurunan dari tekanan
perfusi serebral yang bersifat intermitten dan episodik mempunyai efek negatif pada
neurological dan gangguan kognitif dalam jangka panjang.3
2.5. Terapi
Manajemen pada

craniosynostosis adalah pembedahan. Tujuan dari

manajemen ini adalah untuk mencegah progresifitas yang abnormal, untuk


memperbaiki abnormalitas, dan untuk mengurangi tekanan intrakranial yang bisa
muncul jika pembedahan tidak dilakukan. Pembedahan bisa dilakukan berdasarkan
indikasi emergensi ataupun elektif. Pembedahan emergensi dilakukan jika memenuhi
kriteria, yaitu memerlukan perlindungan terhadap jalan napas dengan cepat,
memerlukan perlindungan terhadap mata dengan cepat, dan untuk mengurangi
peningkatan tekanan intrakranial baik bersifat akut ataupun kronik. Pada pembedahan
elektif, waktu untuk pembedahan masih kontroversial. Pembedahan pada usia 3 dan 6
bulan memiliki keuntungan karena tulang yang masih lembut sehingga mudah untuk
dibentuk kembali dan otak masih berada dalam masa pertumbuhan yang cepat.
Kerugian dari operasi pada usia dini adalah pembedahan berulang yang bisa
menyebabkan disproporsi kranioserebral yang berujung pada craniostenosis. Risiko
pada anak juga meningkat mengingat volume darah yang lebh kecil. Sebaliknya,
operasi pada usia yang lebih tua, anak akan kehilangan kemampuan menutup defek
kecil akibat craniectomi dan memerlukan graft tulang saat lebih tua.3
2.5.1. Teknik Pembedahan
Teknik yang paling awal, craniectomy linier dan fragmentasi calvaria
crania, masih berguna untuk sebagian kasus deformitas yang lebih berat untuk
memproteksi otak dan mata sementara waktu, hingga prosedur craniofacial
yang

lebih

definitif

dapat

dilakukan.

Craniectomy

sederhana

atau

morcellization dilakukan pada penderita bayi, namun sayangnya, disertai oleh

reosifikasi dalam jumlah yang tinggi dan hanya akan memberikan hasil paling
sederhana jika mobilisasi bulbus okuli dan midface telah dilakukan secara
bersamaan. Sebagai tambahan tulang yang ter-reosifikasi memiliki kualitas
buruk, sehingga tindakan koreksi definitif lebih sulit dilakukan. Pada tahun
1967, Tessier pertama kali mempublikasikan hasil koreksinya pada region
forehead dan supraorbita yang mengalami resesi dengan menggunakan
pendekatan intracranial yang memungkinkan osteotomi, mobilisasi dan
reposisi secara akurat. Saat ini, pendekatan penanganan bedah untuk anak
dengan sindrom craniosynostosis disertai dengan defisiensi midface
memerlukan remodeling frontoorbital dan calvaria crania dini, prosedur
advancement midface dengan atau tanpa distraksi (Le Fort III atau monoblok)
dan pembedahan orthognatic sekunder untuk mengoreksi berbagai deformitas
dentofacial (Le Fort I, osteotomi mandibular).4
2.6. Penatalaksanaan Anestesi
2.6.1. Induksi dan Rumatan Anestesi
Masih banyak perdebatan mengenai induksi melalui intravena dan inhalasi
pada pasien pediatrik, seperti distress yang disebabkan oleh penahanan sungkup pada
wajah dan ketidaknyamanan dengan kanula intravena. Salah satu pertimbangan pada
akses intravena adalah kesulitan pemasangan selang intravena, jadi induksi inhalasi
lebih baik digunakan untuk mengoptimalkan akses intravena. Risiko obstruksi saluran
napas atas merupakan risiko yang ada pada seluruh proses induksi anestesi, namun
risiko ini meningkat pada kasus-kasus sindromik craniosynostosis, terutama obstruksi
pada saluran napas atas. Oleh karena itu, induksi inhalasi disertai rumatan dengan
ventilasi spontan sering dilakukan untuk meminimalisasi risiko gangguan pada jalan
napas. Pipa orofaring (OPA) juga dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas dari jalan
napas. Biasanya, induksi inhalasi dilakukan menggunakan sevoflourane.3
Rumatan anestesi menggunakan agen volatile dan campuran oksigen/udara
{nitrous oxide tidak disarankan mengingat risiko terjadinya emboli udara pada vena

(VAE)}. Bolus fentanyl dengan dosis 10-15 g/kgBB dan pelumpuh otot nondepolarisasi digunakan untuk awal dari proses pembedahan. Ketika mendekati akhir
dari proses pembedahan, kombinasi dari morfin, parasetamol intravena, dan antiemetik diberikan pada penderita (beberapa institusi menggunakan remintanil). Pietrini
melakukan sebuah studi membandingkan remintanil dan sevofluran dengan
remintanil dan isofluran pada anak yang menjalani pembedahan dan tidak ditemukan
perbedaan dari parameter hemodinamik ataupun waktu pemulihan.3
2.2.3. Posisi
Penempatan posisi perlu dilakukan secara hati-hati untuk mengoptimalkan
proses pembedahan dan untuk meminimalisasi risiko komplikasi. Pasien bisa berada
dalam posisi supinasi, pronasi, atau berada pada posisi pronasi yang dimodifikasi.
Posisi pronasi yang dimodifikasi ini disebut juga posisi sphinx karena pasien
berada dalam posisi pronasi dengan kepala dan leher ekstensi sehingga dagu berada
dalam posisi relaks dengan bantuan tahanan. Namun, pada posisi sphinx,
hyperekstensi dari leher dapat berujung pada kerusakan sumsum tulang belakang.
Pada posisi ini harus dipastikan bahwa tidak ada tekanan langsung ke leher untuk
meminimalisir tekanan vena dan menghindari potensi peningkatan tekanan
intrakranial dan pendarahan vena.3
Gangguan pada mata dapat muncul baik pada sindromik ataupun nonsindromik craniosynostosis. Abrasi dan iritasi kornea dari cairan pembersih dapat
dihindari dengan lubrikan topical. Pada anak dengan sindromik synostosis, risiko
terjadi gangguan meningkat karena proptosis. Mekanisme lain daari gangguan pada
bola mata disebabkan oleh tekanan terhadap mata. Tekanan tersebut bisa berujung
pada kerusakan saraf optic dan iskemi retina yang berujung pada kebutaan
pascaoperasi.3

Gambar 3. Posisi sphinx


2.2.4. Manajemen Post-operatif
Pada sebagian besar kasus, pasien akan diekstubasi setelah operasi selesai dan
dipindahkan ke ruang pemulihan. Jika pasien masih dalam keadaan tidak stabil, telah
menjalani operasi prolonged, dan memiliki riwayat gangguan jalan napas maka
ekstubasi bisa ditunda hingga keadaan pasien stabil. Mayoritas pasien akan dirawat
pada pediatric intensive care unit (PICU). Kadar hematokrit harus diperhatikan pada
saat postoperatif. Pemeriksaan koagulasi diindikasikan jika pendarahan berlebih pada
saat post-operatif.3
Seperti pada operasi lain, manajemen nyeri merupakan hal yang krusial.
Penggunaan opioid dengan dosis yang tepat biasanya dibutuhkan, dengan follow up
untuk memastikan bahwa pasien menerima opioid dengan adekuat. Penggunaan nonsteroid anti inflammatory drugs (NSAID) biasanya ditunda karena menghindari
terjdinya inhibisi platelet dan peningkatan pendarahan post-operatif. Asetaminofen
bisa digunakan sebagai penambah opioid.4

2.3. Komplikasi
2.3.1. Emboli Udara Vena (VAE)
Emboli udara vena (VAE) merupakan komplikasi yang sering terjadi pada
operasi craniosynostosis. Faberowski dkk menemukan bahwa insidensi VAE saat
craniectomy untuk craniosynostosis adalah 82,6% ketika dideteksi menggunakan
precordial Doppler. Mereka juga menemukan bahwa mayoritas dari VAE tidak ada
hubungan dengan perubahan hemodinamik. Dari seluruh VAE yang terdeteksi, 48,4%
mengalami perubahan pada Doppler dengan sendirinya. 36% dari kasus VAE
memiliki hubungan dengan perubahan end-tidal CO2, dan hanya 15,6% berasosiasi
dengan hipotensi. Tingginya insidensi VAE pada infansi disebabkan oleh kehilangan
darah yang cepat yang meyebabkan penurunan tekanan vena sentral (CVP) sehingga
perubahan gradient tekanan antara atrium kanan dan tempat pembedahan membuat
terbentuknya gelembung udara.3
2.3.2. Pendarahan dan Manajemen Pendarahan
Pada sebagian besar kasus, transfusi merupakan hal yang tidak terhindarkan
karena terjadinya pendarahan yang masif pada operasi craniofacial. Persentase
volume darah yang hilang meningkat pada anak-anak karena faktor usia dan berat
badan. Hal ini terjadi karena ukuran kepala yang relatif besar sehingga area untuk
terjadi pendarahan lebih besar dan persentase darah pada kepala yang lebih banyak.
Operasi yang lama (durasi dari induksi sampai keluar dari theater lebih dari 5
jam) berasosiasi dengan peningkatan kehilangan volume darah (BVL). Peningkatan
BVL ini bisa berujung pada transfusi. Sindromik craniosynostosis bukan merupakan
faktor risiko terjadi peningkatan BVL. Namun, sindromik synostosis seringkali
bersifat kompleks dan memerlukan operasi yang lama. Hipotermia merupakan salah
satu faktor yang berkontribusi dalam terjadinya koagulopati yang dapat meningkatkan
BVL dan sering terjadi pada operasi craniofacial. Intervensi awal dan cepat untuk
mempertahankan keadaan normothermi perlu dilakukan untuk mencegah hipotermi
yang dapat memperparah BVL.4

Pada proses pembedahan, ada saat ketika pendarahan terjadi secara tiba-tiba.
Pengetahuan mengenai staging pembedahan membuat para dokter anestesi mampu
untuk memprediksi dan mempersiapkan untuk menanggulangi pendarahan.
Pendarahan muncul pada diseksi kepala awal dan pengangkatan periosteum.4
Panduan transfusi berbeda-beda pada setiap pusat kesehatan. Pada saat terjadi
pendarahan yang cepat dan banyak, parameter hemodinamik seperti tekanan arteri
dan tekanan vena pusat bisa menjadi pemandu untuk transfusi. Pada keadaan
hemodinamik stabil, indikasi absolut transfusi bisa diterapkan yaitu ketika kadar
hemoglobin 7-8 g/dL atau hematokrit (Hct) 0,27-0,3. Strategi untuk menanggulangi
pendarahan salah satunya adalah transfusi pada fase awal, ketika proses pembukaan
coronal, transfusi 20% dari perkiraan volume sel darah merah ditambah fresh frozen
plasma (FFP) sepertiga dari volume tersebut dan infus kristaloid sebanyak 8
ml/kgBB/jam. Namun, cara ini banyak ditentang karena dapat menyebabkan
overtransfusi.4
2.2.5.1. Transfusi Sel Darah Merah (RBC)
Pada anak dengan usia lebih dari 4 bulan, transfusi sel darah merah
(RBC) diindikasikan jika pendarahan intraoperatif >15% dari total volume
darah dan kadar hematokrit <24% pada masa perioperatif dengan gejala
anemia. Penggunaan formula Hb yang diinginkan Hb actual x berat (kg) x 3
dapat memberikan jumlah volume darah yang diinginkan (biasanya 10 20
mL RBC/kg). Perhitungan pendarahan maksimal (MABL) juga perlu
dilakukan dalam intraoperatif untuk memperhitungkan kapan transfusi
dilakukan, formula MABL = EBV (Ho H1): Ho, dimana EBV merupakan
estimasi volume darah total, Ho adalah kadar hematokrit awal dan H1 adalah
kadar hematokrit paling rendah yang bisa diterima.4
2.2.5.2. Transfusi Trombosit
Pasien pembedahan dengan pendarahan mikrovaskular biasanya
membutuhkan terapi jika hitung platelet kurang dari 50 x 109 /L, dan jarang

membutukan terapi jika lebih dari 100 x 109 /L. Dosis pemberian platelet
konsentrat biasanya adalah satu platelet konsentrat per 10 kgBB. Pada anak
dengan berat dibawah 10 kg, pemberian 5 mL/kg 10 mL/kg dapat
meningkatkan kadar platelet sebanyak 50 100 x 109 /L.4
2.2.5.3. Fresh Frozen Plasma (FFP)
FFP diindikasikan pada koreksi pendarahan mikrovaskular ketika
prothrombin dan waktu partial thromboplastin (APTT) lebih dari 1,5x normal.
FFP juga diindikasikan untuk mengkoreksi pendarahan mikrovaskular pada
saat transfuse masif ketika tes koagulasi tidak dapat dilakukan. Dosis FFP
harus dihitung untuk mendapatkan minimum 30% dari konsentrasi faktor
plasma, yang biasanya bisa didapat dengan dosis 10 mL/kg 15 mL/kg FFP.4
2.2.5.4. Criopresipitat
Criopresipitat sebaiknya dipertimbangkan pada saat pendarahan
mikrovaskular terjadi dengan kadar fibrinogen dibawah 80 mg/dL. Satu unit
criopresipitat per 10 kg tubuh meningkatkan konsentrasi fibrinogen plasma
sebanyak 50 mg/dL dalam keadaan tidak ada pendarhan masif.4
Pada seluruh jenis operasi perbaikan craniosynostosis, transfuse RBC
merupakan hal yang umum dilakukan, sedangkan transfusi platelet, FFP, dan
criopresipitat terhitung jarang digunakan.4
2.2.5.5. Transfusi Darah Homolog dan Cell Salvage
Transfusi darah homolog (HBT) memiliki risiko tinggi (SHOT) dan
berbahaya. Hal ini meliputi reaksi hemolitik akut, gangguan akut pada paru
karena transfuse, infeksi, dan komplikasi dari transfusi masif seperti
koagulopati, gangguan elektrolit dan gangguan asam basa. Oleh karena itu,
strategi dalam mengurangi kebutuhan dari transfusi darah homolog telah
dibuat (tabel 1).

Pre-operatif

Intra-operatif

Suplemen besi
Erythropoetin

Teknik pembedahan meticulous


Infiltrasi adrenalin
Intraoperatif cell salvage
Acute normovolemic hemodilusi
Hypervolemik hemodilusi
Controlled hypotension
Anti-fibrinolitik
Transfusi darah

Tabel 1. Strategi konservasi darah


Kadar hematokrit preoperatif yang rendah merupakan penanda
peningkatan kebutuhan HBT. Untuk mengoptimalisasi hematokrit preoperatif,
perlu diagnosis dan terapi terhadap anemia, penggunaan suplemen besi, dan
eritropoetin. Recombinant Human Erythropoetin (EPO) diberikan melalui
subkutan setiap minggu selama 3-4 minggu sebelum pembedahan bisa
meningkatkan kadar hematokrit preoperatif sebanyak 28-56% dan mengurangi
kebutuhan transfusi.4
Intraoperatif cell salvage memiliki risiko berbahaya, termasuk
koagulopati, hemolysis, kontaminasi bakteri, dan kerusakan pada platelet.
Sebuah studi menunjukkan bahwa mikroorganisme yang paling sering
ditemukan adalah coagulase-negative staphylococci. Namun, tidak ada
satupun pasien yang menerima transfuse darah kultur positif menunjukan
gejala ataupun gambaran laboratorium bacteremia.3
Teknik dilusi darah sering kali digunakan untuk mengurangi transfuse
darah allogenik. Hemodilusi normovolemik akut meliputi pengambilan darah
utuh dari pasien dan mengganti volume ini dengan kristaloid atau koloid.
Kemudian darah utuh ini akan dimasukkan kembali pada akhir operasi.
Sebuah studi telah dilakukan untuk meneliti teknik ini dan tidak ditemukan
keuntungan dalam penggunaan teknik ini.4

Penggunaan antifibrinolitik sudah sering digunakan dan menunjukan


hasil yaitu menurunnya kebutuhan transfusi. Asam tranexamat sering
digunakan dalam beberapa pusat kesehatan di dunia. Masih banyak
perdebatan mengenai mekanisme asam tranexamat dalam mengurangi
pendarahan.3
2.3.3. Gangguan Metabolik
Gangguan metabolik yang muncul pada operasi adalah terganggunya fisiologi
asam basa dan elektrolit akibat kehilangan darah yang signifikan dan proses transfusi
baik itu kristaloid, koloid, ataupun produk darah.3
Insiden
manajemennya

hipokalsemia
pada

operasi

pada

sebuah

studi

craniosynostosis

terhadap
adalah

pendarahan

10%

dan

(hipokalsemia

didefinisikan sebagai kadar kalsium <0,9 mM). Hal ini mayoritas disebabkan oleh
transfuse dari darah yang mengandung citrate.3
Peningkatan kadar potassium plasma sering kali muncul setelah pasien
menjalani transfusi. Insiden terjadinya hyperkalemia (potassium >5,5 mM) pada
sebuah studi adalah 45%. Packed Red Cell (PRC) yang disimpan lebih dari 2 minggu
mengandung >40 mM potassium. Sebaliknya, PRC yang disimpan <1 minggu
memiliki <20 mM. Karena alasan tersebut, PRC yang digunakan pada operasi
craniofacial anak sebaiknya berusia <1 minggu.3
Sebuah

studi

metabolik

asidosis

pada

operasi

craniosynostosis

mengungkapkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara maksimum base


deficit dan total volume darah dan colloid yang diberikan selama intraoperatif.
Stricker dkk mengungkapkan bahwa terdapat hubungan signifikan antara jumlah
cairan kristaloid yang diberikan dengan metabolic asidosis intraoperative (BE <-5 dan
pH <7,3). Menurut penelitian yang dilakukan Choi dkk, 25% dari pasien memiliki
base deficit awal <-4 pada saat insersi dari jalur arteri. Hal ini menjelaskan bahwa
kemungkinan ketoasidosis merupakan konsekuensi dari puasa preoperatif.3

BAB III
KESIMPULAN

1. Craniosynostosis adalah suatu kondisi dimana terjadi penutupan prematur satu


atau lebih sutura cranial yang muncul di intrauterine atau sesaat setelah
kelahiran yang bersifat multifaktorial.
2. Craniosynostosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh mutasi gen yang
mengkode

Fibroblast

Growth

Factor

Receptor

(FGFR)

sehingga

menimbulkan penutupan sutura yang premature dan menyebabkan gangguan


pertumbuhan pada sutura yang lain.
3. Craniosynostosis bisa menyebabkan gangguan perkembangan otak yang
berujung pada gangguan belajar dan gangguan kognitif akibat terganggunya
pertumbuhan

otak

dan

meningkatnya

tekanan

intrakranial

sehingga

penanggulangan craniosynostosis dengan cepat berupa operasi dapat


mengurangi insidensi dari gangguan kognitif.
4. Perlu dipersiapkan dengan matang terutama dari segi anestesi. Manajemen
preoperasi, intraoperasi, dan post-operasi harus dipersiapkan mengingat risiko
terjadi pendarahan intra operatif dan gangguan metabolik merupakan
komplikasi yang sering dijumpai.

Anda mungkin juga menyukai