BAB I Dan II
BAB I Dan II
PENDAHULUAN
Craniosynostosis adalah suatu kondisi dimana terjadi penutupan prematur satu
atau lebih sutura cranial yang muncul di intrauterine atau sesaat setelah kelahiran.1
Hal tersebut dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan pada sutura yang lain dan
akan membuat bentuk kepala yang abnormal. Selain bentuk yang abnormal, kelainan
tersebut juga dapat memberikan gangguan fungsional seperti peningkatan tekanan
intra kranial, hydrocephalus, gangguan perkembangan, dan amblyopia.2
Craniosynostosis ditemukan 1 dari 3000 kelahiran. Sagittal dan coronal
craniosynostosis merupakan tipe yang paling sering ditemui dan ditemukan empat
kali lipat lebih banyak pada laki-laki dibandingkan perempuan.2 Craniosynostosis
dikategorikan sebagai isolated craniosynostosis dan syndromic craniosynostosis.
Isolated craniosynostosis ditemukan pada 80% kasus dan biasanya bersifat sederhana,
tidak
berasosiasi
dengan
abnormalitas
lain
dan
etiologinya
non-genetik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Craniosynostosis adalah suatu kondisi dimana satu atau lebih sutura berserat
pada bayi menyatu dan mengeras sebelum waktunya, sehingga mengubah
pertumbuhan cranium. Sedangkan menurut Jeffrey dkk, craniosynostosis adalah suatu
kondisi dimana terjadi penutupan prematur satu atau lebih sutura cranial yang muncul
di intrauterine atau sesaat setelah kelahiran.1
2.2. Anatomi
Tulang-tulang pipih tengkorak (frontal, parietal, temporal, dan oksipital)
berkembang dengan baik pada bulan kelima kehamilan. Pada waktu lahir, tulangtulang tersebut dipisahkan satu sama lainnya oleh perekat tipis dan jaringan
penyambung, yaitu sutura. Di tempat-tempat pertemuan lebih dari dua tulang,
suturanya lebar dan dikenal sebagai ubun-ubun (fontanella). Biasanya fontanella
anterior menutup pada usia 20 bulan manakala fontanella posterior menutup pada
usia 3 bulan.3
Gambar 2. Craniosynostosis
2.3. Epidemiologi
Insiden dari terjadinya craniosynostosis adalah 1 dari 3000 kelahiran.2 Salah
satu kategori yang paling sering adalah non-sindromik dan sindromik. Non-sindromik
craniosynostosis hanya mengenai satu sutura dan tidak disertai dengan sindrom
lainnya. 50% dari kasus non-sindromik craniosynostosis hanya melibatkan sutura
sagitalis. Formasi tersebut disebut juga scaphocephali. Sutura coronal paling sering
terkena selain sutura sagittal dengan angka kejadian 20% dari kasus craniosynostosis,
dan disebut juga plagiocephali. Angka kejadian craniosynostosis pada sutura metopic
adalah 10%, dan disebut juga trigonocephali.4 Sindromik craniosynostosis terhitung
20% dari kasus craniosynostosis dan biasanya melibatkan dua atau lebih sutura.
Lebih dari 150 sindrom sudah diidentifikasi berdasarkan gambaran klinisnya, namun
sindrom apert dan sindrom crouzon merupakan yang paling sering ditemukan.kedua
sutura koronal biasanya mengalami gangguan pada keuda sindrom ini. Penderita
sindro apert dan crouzon juga biasanya mengalami midface hypoplasia dan apnea
obstruktif karena anatomi jalan napas yang abnormal.4
2.4. Patofisiologi dan Gambaran Klinis
Sebagian besar craniosynostosis diturunkan secara genetik autosomal
dominan. Mutasi pada gen yang mengkode Fibroblast Growth Factor Receptors
(FGFRs) menyebabkan sebagian besar sindrom. Fibroblast Growth Factors (FGFs)
berikatan dengan FGFRs dan mengatur pertumbuhan dan differensiasi sel. Interaksi
yang abnormal dari kedua protein berujung pada sinyal intrasellular yang abnormal.
Contohnya pada sindrom apert, FGF berikatan degngan FGFR 2 yang abnormal
dalam jangka waktu yang cukup lama, sehingga memberikan sinyal yang premature
pada sel tulang yang immature untuk berdifferensiasi dan menyebabkan penutupan
sutura.3
Baik craniosynostosis sindromik ataupun non-sindromik bisa menyebabkan
peningkatan tekanan intrakranial. Angka kejadian peningkatan tekanan intrakranial
tercatat pada 40% - 70% dari kasus sindromik craniosynostosis akibat penutupan
Pada fase aktif dari proses tidur, sebuah studi menemukan terjadinya peningkatan
tekanan intrakranial dan penurunan tekanan perfusi serebral. Penurunan dari tekanan
perfusi serebral yang bersifat intermitten dan episodik mempunyai efek negatif pada
neurological dan gangguan kognitif dalam jangka panjang.3
2.5. Terapi
Manajemen pada
lebih
definitif
dapat
dilakukan.
Craniectomy
sederhana
atau
reosifikasi dalam jumlah yang tinggi dan hanya akan memberikan hasil paling
sederhana jika mobilisasi bulbus okuli dan midface telah dilakukan secara
bersamaan. Sebagai tambahan tulang yang ter-reosifikasi memiliki kualitas
buruk, sehingga tindakan koreksi definitif lebih sulit dilakukan. Pada tahun
1967, Tessier pertama kali mempublikasikan hasil koreksinya pada region
forehead dan supraorbita yang mengalami resesi dengan menggunakan
pendekatan intracranial yang memungkinkan osteotomi, mobilisasi dan
reposisi secara akurat. Saat ini, pendekatan penanganan bedah untuk anak
dengan sindrom craniosynostosis disertai dengan defisiensi midface
memerlukan remodeling frontoorbital dan calvaria crania dini, prosedur
advancement midface dengan atau tanpa distraksi (Le Fort III atau monoblok)
dan pembedahan orthognatic sekunder untuk mengoreksi berbagai deformitas
dentofacial (Le Fort I, osteotomi mandibular).4
2.6. Penatalaksanaan Anestesi
2.6.1. Induksi dan Rumatan Anestesi
Masih banyak perdebatan mengenai induksi melalui intravena dan inhalasi
pada pasien pediatrik, seperti distress yang disebabkan oleh penahanan sungkup pada
wajah dan ketidaknyamanan dengan kanula intravena. Salah satu pertimbangan pada
akses intravena adalah kesulitan pemasangan selang intravena, jadi induksi inhalasi
lebih baik digunakan untuk mengoptimalkan akses intravena. Risiko obstruksi saluran
napas atas merupakan risiko yang ada pada seluruh proses induksi anestesi, namun
risiko ini meningkat pada kasus-kasus sindromik craniosynostosis, terutama obstruksi
pada saluran napas atas. Oleh karena itu, induksi inhalasi disertai rumatan dengan
ventilasi spontan sering dilakukan untuk meminimalisasi risiko gangguan pada jalan
napas. Pipa orofaring (OPA) juga dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas dari jalan
napas. Biasanya, induksi inhalasi dilakukan menggunakan sevoflourane.3
Rumatan anestesi menggunakan agen volatile dan campuran oksigen/udara
{nitrous oxide tidak disarankan mengingat risiko terjadinya emboli udara pada vena
(VAE)}. Bolus fentanyl dengan dosis 10-15 g/kgBB dan pelumpuh otot nondepolarisasi digunakan untuk awal dari proses pembedahan. Ketika mendekati akhir
dari proses pembedahan, kombinasi dari morfin, parasetamol intravena, dan antiemetik diberikan pada penderita (beberapa institusi menggunakan remintanil). Pietrini
melakukan sebuah studi membandingkan remintanil dan sevofluran dengan
remintanil dan isofluran pada anak yang menjalani pembedahan dan tidak ditemukan
perbedaan dari parameter hemodinamik ataupun waktu pemulihan.3
2.2.3. Posisi
Penempatan posisi perlu dilakukan secara hati-hati untuk mengoptimalkan
proses pembedahan dan untuk meminimalisasi risiko komplikasi. Pasien bisa berada
dalam posisi supinasi, pronasi, atau berada pada posisi pronasi yang dimodifikasi.
Posisi pronasi yang dimodifikasi ini disebut juga posisi sphinx karena pasien
berada dalam posisi pronasi dengan kepala dan leher ekstensi sehingga dagu berada
dalam posisi relaks dengan bantuan tahanan. Namun, pada posisi sphinx,
hyperekstensi dari leher dapat berujung pada kerusakan sumsum tulang belakang.
Pada posisi ini harus dipastikan bahwa tidak ada tekanan langsung ke leher untuk
meminimalisir tekanan vena dan menghindari potensi peningkatan tekanan
intrakranial dan pendarahan vena.3
Gangguan pada mata dapat muncul baik pada sindromik ataupun nonsindromik craniosynostosis. Abrasi dan iritasi kornea dari cairan pembersih dapat
dihindari dengan lubrikan topical. Pada anak dengan sindromik synostosis, risiko
terjadi gangguan meningkat karena proptosis. Mekanisme lain daari gangguan pada
bola mata disebabkan oleh tekanan terhadap mata. Tekanan tersebut bisa berujung
pada kerusakan saraf optic dan iskemi retina yang berujung pada kebutaan
pascaoperasi.3
2.3. Komplikasi
2.3.1. Emboli Udara Vena (VAE)
Emboli udara vena (VAE) merupakan komplikasi yang sering terjadi pada
operasi craniosynostosis. Faberowski dkk menemukan bahwa insidensi VAE saat
craniectomy untuk craniosynostosis adalah 82,6% ketika dideteksi menggunakan
precordial Doppler. Mereka juga menemukan bahwa mayoritas dari VAE tidak ada
hubungan dengan perubahan hemodinamik. Dari seluruh VAE yang terdeteksi, 48,4%
mengalami perubahan pada Doppler dengan sendirinya. 36% dari kasus VAE
memiliki hubungan dengan perubahan end-tidal CO2, dan hanya 15,6% berasosiasi
dengan hipotensi. Tingginya insidensi VAE pada infansi disebabkan oleh kehilangan
darah yang cepat yang meyebabkan penurunan tekanan vena sentral (CVP) sehingga
perubahan gradient tekanan antara atrium kanan dan tempat pembedahan membuat
terbentuknya gelembung udara.3
2.3.2. Pendarahan dan Manajemen Pendarahan
Pada sebagian besar kasus, transfusi merupakan hal yang tidak terhindarkan
karena terjadinya pendarahan yang masif pada operasi craniofacial. Persentase
volume darah yang hilang meningkat pada anak-anak karena faktor usia dan berat
badan. Hal ini terjadi karena ukuran kepala yang relatif besar sehingga area untuk
terjadi pendarahan lebih besar dan persentase darah pada kepala yang lebih banyak.
Operasi yang lama (durasi dari induksi sampai keluar dari theater lebih dari 5
jam) berasosiasi dengan peningkatan kehilangan volume darah (BVL). Peningkatan
BVL ini bisa berujung pada transfusi. Sindromik craniosynostosis bukan merupakan
faktor risiko terjadi peningkatan BVL. Namun, sindromik synostosis seringkali
bersifat kompleks dan memerlukan operasi yang lama. Hipotermia merupakan salah
satu faktor yang berkontribusi dalam terjadinya koagulopati yang dapat meningkatkan
BVL dan sering terjadi pada operasi craniofacial. Intervensi awal dan cepat untuk
mempertahankan keadaan normothermi perlu dilakukan untuk mencegah hipotermi
yang dapat memperparah BVL.4
Pada proses pembedahan, ada saat ketika pendarahan terjadi secara tiba-tiba.
Pengetahuan mengenai staging pembedahan membuat para dokter anestesi mampu
untuk memprediksi dan mempersiapkan untuk menanggulangi pendarahan.
Pendarahan muncul pada diseksi kepala awal dan pengangkatan periosteum.4
Panduan transfusi berbeda-beda pada setiap pusat kesehatan. Pada saat terjadi
pendarahan yang cepat dan banyak, parameter hemodinamik seperti tekanan arteri
dan tekanan vena pusat bisa menjadi pemandu untuk transfusi. Pada keadaan
hemodinamik stabil, indikasi absolut transfusi bisa diterapkan yaitu ketika kadar
hemoglobin 7-8 g/dL atau hematokrit (Hct) 0,27-0,3. Strategi untuk menanggulangi
pendarahan salah satunya adalah transfusi pada fase awal, ketika proses pembukaan
coronal, transfusi 20% dari perkiraan volume sel darah merah ditambah fresh frozen
plasma (FFP) sepertiga dari volume tersebut dan infus kristaloid sebanyak 8
ml/kgBB/jam. Namun, cara ini banyak ditentang karena dapat menyebabkan
overtransfusi.4
2.2.5.1. Transfusi Sel Darah Merah (RBC)
Pada anak dengan usia lebih dari 4 bulan, transfusi sel darah merah
(RBC) diindikasikan jika pendarahan intraoperatif >15% dari total volume
darah dan kadar hematokrit <24% pada masa perioperatif dengan gejala
anemia. Penggunaan formula Hb yang diinginkan Hb actual x berat (kg) x 3
dapat memberikan jumlah volume darah yang diinginkan (biasanya 10 20
mL RBC/kg). Perhitungan pendarahan maksimal (MABL) juga perlu
dilakukan dalam intraoperatif untuk memperhitungkan kapan transfusi
dilakukan, formula MABL = EBV (Ho H1): Ho, dimana EBV merupakan
estimasi volume darah total, Ho adalah kadar hematokrit awal dan H1 adalah
kadar hematokrit paling rendah yang bisa diterima.4
2.2.5.2. Transfusi Trombosit
Pasien pembedahan dengan pendarahan mikrovaskular biasanya
membutuhkan terapi jika hitung platelet kurang dari 50 x 109 /L, dan jarang
membutukan terapi jika lebih dari 100 x 109 /L. Dosis pemberian platelet
konsentrat biasanya adalah satu platelet konsentrat per 10 kgBB. Pada anak
dengan berat dibawah 10 kg, pemberian 5 mL/kg 10 mL/kg dapat
meningkatkan kadar platelet sebanyak 50 100 x 109 /L.4
2.2.5.3. Fresh Frozen Plasma (FFP)
FFP diindikasikan pada koreksi pendarahan mikrovaskular ketika
prothrombin dan waktu partial thromboplastin (APTT) lebih dari 1,5x normal.
FFP juga diindikasikan untuk mengkoreksi pendarahan mikrovaskular pada
saat transfuse masif ketika tes koagulasi tidak dapat dilakukan. Dosis FFP
harus dihitung untuk mendapatkan minimum 30% dari konsentrasi faktor
plasma, yang biasanya bisa didapat dengan dosis 10 mL/kg 15 mL/kg FFP.4
2.2.5.4. Criopresipitat
Criopresipitat sebaiknya dipertimbangkan pada saat pendarahan
mikrovaskular terjadi dengan kadar fibrinogen dibawah 80 mg/dL. Satu unit
criopresipitat per 10 kg tubuh meningkatkan konsentrasi fibrinogen plasma
sebanyak 50 mg/dL dalam keadaan tidak ada pendarhan masif.4
Pada seluruh jenis operasi perbaikan craniosynostosis, transfuse RBC
merupakan hal yang umum dilakukan, sedangkan transfusi platelet, FFP, dan
criopresipitat terhitung jarang digunakan.4
2.2.5.5. Transfusi Darah Homolog dan Cell Salvage
Transfusi darah homolog (HBT) memiliki risiko tinggi (SHOT) dan
berbahaya. Hal ini meliputi reaksi hemolitik akut, gangguan akut pada paru
karena transfuse, infeksi, dan komplikasi dari transfusi masif seperti
koagulopati, gangguan elektrolit dan gangguan asam basa. Oleh karena itu,
strategi dalam mengurangi kebutuhan dari transfusi darah homolog telah
dibuat (tabel 1).
Pre-operatif
Intra-operatif
Suplemen besi
Erythropoetin
hipokalsemia
pada
operasi
pada
sebuah
studi
craniosynostosis
terhadap
adalah
pendarahan
10%
dan
(hipokalsemia
didefinisikan sebagai kadar kalsium <0,9 mM). Hal ini mayoritas disebabkan oleh
transfuse dari darah yang mengandung citrate.3
Peningkatan kadar potassium plasma sering kali muncul setelah pasien
menjalani transfusi. Insiden terjadinya hyperkalemia (potassium >5,5 mM) pada
sebuah studi adalah 45%. Packed Red Cell (PRC) yang disimpan lebih dari 2 minggu
mengandung >40 mM potassium. Sebaliknya, PRC yang disimpan <1 minggu
memiliki <20 mM. Karena alasan tersebut, PRC yang digunakan pada operasi
craniofacial anak sebaiknya berusia <1 minggu.3
Sebuah
studi
metabolik
asidosis
pada
operasi
craniosynostosis
BAB III
KESIMPULAN
Fibroblast
Growth
Factor
Receptor
(FGFR)
sehingga
otak
dan
meningkatnya
tekanan
intrakranial
sehingga