Responsi MH
Responsi MH
MORBUS HANSEN
Oleh :
Wiji Hastuti
G99121049
Pembimbing :
dr. Nurrachmat Mulianto, Sp.KK, M.Sc
STATUS RESPONSI
Nama
: Wiji Hastuti
NIM
: G99121049
MORBUS HANSEN
I.
SINONIM
Lepra, kusta. 3
II.
DEFINISI
Morbus Hansen adalah penyakit infeksi granulomatous kronik progresif yang
disebabkan oleh Mycobacterium leprae, terutama mengenai kulit dan sistem saraf
perifer, namun dapat juga terjadi sistem pernapasan bagian atas, mata, kelenjar getah
bening, testis dan sendi-sendi. 1,3, 4,5,6,8,10
III.
EPIDEMIOLOGI
Kusta lebih banyak didapatkan pada laki-laki daripada wanita, dengan
perbandingan 2:1,6 dengan kelompok umur terbanyak usia 25-35 tahun.8 Anak-anak
lebih rentan daripada orang dewasa.10 Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya
penyakit ini antara lain:8
1. Bangsa/ras (pada ras kulit hitam insidens bentuk tuberkuloid lebih tinggi.
Pada kulit putih lebih cenderung tipe lepromatosa),
2. Sosioekonomi (banyak pada negara-negara berkembang dan golongan
sosioekonomi rendah),
3. Kebersihan (lingkungan yang kurang memenuhi kebersihan).
Kuman dapat ditemukan di kulit, folikel rambut, kelenjar keringat, dan air susu
ibu, jarang didapat di dalam urin. Sputum dapat banyak mengandung M. leprae yang
berasal dari traktus respiratorius atas. Tempat implantasi tidak selalu menjadi tempat
lesi pertama.3
Di seluruh dunia, sekitar 250.000 kasus baru kusta dilaporkan setiap tahun dan
sekitar 2 juta orang memiliki cacat kusta. Tiga negara endemik utama (India, Brasil,
dan Indonesia) terhitung untuk 77% dari semua kasus baru.9 Jumlah kasus kusta di
2
seluruh dunia selama 12 tahun terakhir ini telah menurun 85% di sebagian besar negara
atau wilayah endemis. Kasus yang terdaftar pada permulaan tahun 1997 tercatat kurang
lebih 890.000 penderita. Di Indonesia jumlah kasus kusta yang tercatat akhir Maret
1997 adalah 31.699 orang, distribusi tidak merata, yang tertinggi antara lain di Jawa
Timur, Jawa Barat, dan Sulawesi SelatanPrevalensi di Indonesia per 10.000 penduduk
adalah 1,57.3
IV.
ETIOLOGI
Kuman penyebab adalah Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh G.A.
HANSEN pada 1874 di Norwegia, yang sampai sekarang belum juga dapat dibiakkan
pada media artifisial. M. leprae berbentuk kuman dengan ukuran 3-8 m x 0,5 m,
tahan asam dan alkohol serta positif-Gram.3 Masa tunasnya sangat bervariasi, antara
beberapa minggu hingga 30 tahun, rata-rata 3-10 tahun. 2
V.
PATOGENESIS
Sel Schwann (SC) adalah target utama pada infeksi oleh M. leprae yang dapat
menyebabkan cedera pada saraf, demielinasi, dan berisiko cacat. Pengikatan M. leprae
dengan SC menyebabkan demielinasi dan hilangnya konduktansi aksonal. Telah
terbukti bahwa M. leprae dapat menyerang SC dengan protein laminin-mengikat
spesifik 21 kDa selain PGL-1. PGL-1 (sebuah glycoconjugate unik, dominan pada
permukaan M. leprae) mengikat laminin-2. Hal ini menjelaskan mengapa
kecenderungan predileksi bakteri di saraf perifer. Identifikasi dari reseptor bertarget SC
M. leprae, dystroglycan (DG), menunjukkan peran molekul ini dalam degenerasi saraf
awal. M. leprae yang menyebabkan demielinasi adalah hasil dari ligasi bakteri langsung
ke neuregulin reseptor, erbB2 dan Erk1/2 aktivasi, dan selanjutnya MAP kinase
memberikan sinyal dan proliferasi.2
Makrofag adalah salah satu sel inang yang paling banyak bersentuhan dengan
mikobakteri. Fagositosis M. leprae oleh makrofag monosit yang diturunkan dapat
dimediasi oleh reseptor komplemen CR1 (CD35), CR3 (CD11b/CD18), dan CR4
(CD11c/CD18) dan diatur oleh protein kinase. Tidak beresponnya terhadap M. leprae
tampaknya berkorelasi dengan profil sitokin Th2.2
Sebenarnya M. leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang rendah,
sebab penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan gejala
yang lebih berat, bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi
3
dengan derajat penyakit, tidak lain disebabkan oleh respon imun yang berbeda, yang
menggugah timbulnya reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh
sendiri atau progresif. Oleh karena itu, penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit
imunologik. Gejala klinisnya lebih sebanding dengan tingkat reaksi selulernya daripada
intensitas infeksinya. 3
VI.
KLASIFIKASI
Bila kuman M. leprae masuk ke dalam tubuh seseorang, dapat timbul gejala
klinis sesuai dengan kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe klinis bergantung pada
sistem imunitas selular (SIS) penderita. Bila SIS baik akan tampak gambaran klinis ke
arah tuberkuloid, sebaliknya SIS rendah memberikan gambaran lepromatosa. Agar
proses ini selanjutnya lebih jelas lihat bagan patogenesis ini.3
Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah spectrum determinate pada penyakit
kusta yang terdiri atas pelbagai tipe atau bentuk, yaitu:3
TT: Tuberkuloid polar, bentuk yang stabil
Ti: Tuberkuloid indefinite
BT: Borderline tuberculoid
BB: Mid borderline
LL
Lepromatosa
4
WHO
Puskesmas
Pausibasilar (PB)
PB
Multibasilar (MB)
MB
Multibasilar berarti mengandung banyak kuman yaitu tipe LL, BL, BB.
Sedangkan pausibasiler berarti mengandung sedikit kuman yakni tipe TT, BT, dan I.
Menurut WHO pada tahun 1981, kusta dibagi menjadi bentuk multibasilar dan
pausibasilar. Yang termasuk dalam multibasilar adalah tipe LL, BL dan BB pada
klasifikasi Ridley-Jopling dengan indeks Bakteri (IB) lebih dari 2+ sedangkan
pausibasilar adalah tipe I, TT dan BT dengan IB kurang dari 2+.3
Untuk kepentingan pengobatan pada tahun 1987 telah terjadi perubahan. Yang
dimaksud dengan kusta PB adalah kusta dengan BTA negatif pada pemeriksaan
kerokan jaringan kulit, yaitu tipe I, TT, dan BT menurut klasifikasi Ridley-Jopling .
Bila pada tipe-tipe tersebut disertai BTA positif, maka akan dimasukkan ke dalam kusta
MB. Sedangkan kusta MB adalah semua penderita kusta tipe BB, BL, dan LL atau
apapun klasifikasi klinisnya dengan BTA postif, harus diobati dengan regimen MDTMB.3
Tabel. 2 Bahan Diagnosis Klinis Menurut WHO (1995)3
PB
Lesi Kulit
(makula datar,
papul yang meninggi,
nodus)
MB
1-5 lesi
hipopigmentasi / eritema
distribusi tidak asimetris
hilangnya sensasi yang jelas
Kerusakan Saraf
- hanya satu cabang saraf
(menyebabkan hilangnya
sensasi/kelemahan
otot
yang
oleh
dipersarafi
- >5 lesi
- distribusi lebih simetris
- hilangnya sensasi kurang jelas
- banyak cabang saraf
LEPROMATOSA
BORDERLINE
MID BORDERLINE
(LL)
LEPROMATOSA (BL)
(BB )
Lesi
-Bentuk
Makula, Infiltrat
Plakat, Dome-shaped
(kubah), Punched-out
-Distribusi
-Permukaan
sehat
Simetris
Halus berkilat
Hampir simetris
Halus berkilat
Asimetris
Agak kasar, agak
-Batas
-Anestesia
Tak jelas
Tak ada sampai tak
Agak jelas
Tak jelas
berkilat
Agak jelas
Lebih jelas
jelas
BTA
-Lesi kulit
Banyak
Agak banyak
-Sekret hidung
Tes Lepromin
Biasanya negatif
Negatif
Negatif
Biasanya negatif
Gambar .1
Kusta tipe Lepromatosa (LL)
Perbedaan bentuk reaksi host pada kusta tipe lepromatosa .6
Gambar .2
Kusta tipe Borderline Lepromatosa (BL)
Lesi multiple pada pasien BL. Lesi
anuler berbagai ukuran dan terdistribusi
asimetris. Sebaliknya, lesi papula dan
nodul tidak jelas krang lebih simetris.
Penurunan sensibilitas terdapat pada
kebanyakan lesi.6
SIFAT
TUBERKULOID
BORDERLINE
INDETERMINATE
(TT )
TUBERCULOID (BT)
(I)
Lesi
-Bentuk
Makula dibatasi
dibatasi infiltrat
-Jumlah
-Distribusi
-Permukaan
-Batas
Asimetris
Kering bersisik
Jelas
dengan satelit
Masih asimetris
Kering bersisik
Jelas
Variasi
Halus, agak berkilat
Dapat jelas atau
Jelas
-Anesthesia
Jelas
Hanya makula
jelas
BTA
-Lesi kulit
Tes lepromin
Biasanya negatif
Dapat positif lemah
atau negatif
Gambar . 3
Kusta tipe Tuberkuloid (TT)
Lesi tuberkuloid: soliter, anestesi dan lesi
anuler, yang muncul sejak 3 bulan. Tepinya
tajam, eritema, dan skuama lebih jelas
daripada elevasinya.6
Gambar. 4
Kusta tipe Borderline Tuberkuloid (BT)
Satu dari beberapa lesi BT yang memiliki
konfigurasi anuler tidak komplit dengan
papul satelit. Dibandingkan dengan Gambar
3, terdapat eritema yang lebih sedikit, tidak
ada skuama yang jelas, tetapi terlihat juga
tepinya yang tajam.6
7
VII.
DIAGNOSIS
Diagnosis penyakit lepra berdasarkan penemuan tanda cardinal atau tanda
utama yaitu bercak hipopigmentasi atau eritematosa, macula atau plak mati rasa pada
bercak
yang
bersifat
total
atau
sebagian
saja
terhadap
rasa
raba,suhu,
nyeri;bakteriologis dari hapusan kulit cuping telinga dan lesi kulit pada bagian yang
aktif, kadang bahan diperoleh dari biopsy kulit atau syaraf. Untuk menentukan
diagnosis penyakit lepra, paling sedikit harus ditemukan satu tanda cardinal. 4
Ada lima tipe abnormalitas syaraf tepi yang biasa dijumpai pada penderita
kusta:6
1. Penebalan syaraf (biasanya asimetri), terutama pada syaraf yang dekat dengan
kulit, seperti pada syaraf auricularis magnus, ulnaris, radialis, medianus,
poplitea lateralis dan tibialis posterior
2. Penurunan sensorik pada lesi di kulit
3. Kelemahan syaraf tubuh, salah satunya ditandai dengan tanda dan gejala
peradangan atau tanpa manifestasi, seperti neuropati, kelemahan dan atau
kelumpuhan sensorik dan motorik, jika lama dengan kontraktur.
4. Gejala penurunan sensorik stocking-glove (S-GPSI), dari serat tipe C (yang
melibatkan diskriminasi panas dan dingin sebelum hilangnya rasa sakit atau
sentuhan ringan) dimulai di daerah akral dan dari waktu ke waktu, meluas
terpusat terbatas pada telapak tangan, setidaknya untuk sementara waktu.
5. Anhidrosis pada telapak tangan dan kaki, menunjukkan keterlibatan safar
simpatis.
Penyakit lepra dapat menunjukkan gejala yang mirip dengan banyak penyakit
lain (the great imitator). Sebaliknya banyak penyakit lain dapat menunjukkan
gejala yang mirip dengan lepra. Oleh karena itu, dibutuhkan kemampuan untuk
mendiagnosis penyakit lepra secara tepat dan membedakannya dengan berbagai
penyakit lain agar tidak membuat kesalahan yang merugikan pasien. 4
Kalau secara inspeksi mirip penyakit lain, ada tidaknya anestesia sangat
banyak membantu penentuan diagnosis, meskipun tidak selalu jelas. Hal ini
dengan mudah dilakukan dengan menggunakan jarum terhadap rasa nyeri, kapas
terhadap rasa raba dan kalau masih belum jelas dengan kedua cara tersebut
barulah pengujian terhadap rasa suhu, yaitu panas dan dingin dengan
menggunakan 2 tabung reaksi.3
Untuk mengetahui adanya kerusakan fungsi saraf otonom perhatikan ada
tidaknya dehidrasi di daerah lesi yang dapat jelas dan dapat pula tidak, yang
dipertegas menggunakan pensil tinta (tanda Gunawan). Cara menggoresnya mulai
8
dari tengah lesi ke arah kulit normal. Bila ada gangguan, goresan pada kulit
normal akan lebih tebal bila dibandingkan dengan bagian tengah lesi. Dapat pula
diperhatikan adanya alopesia di daerah lesi, yang kadang-kadang dapat
membantu, tetapi bagi penderita yang memiliki kulit berambut sedikit, sangat
sukar menentukannya.3
Mengenai saraf perifer yang perlu diperhatikan ialah pembesaran,
konsistensi, ada/tidaknya nyeri spontan dan/atau nyeri tekan. Hanya beberapa
saraf superfisial yang dapat dan perlu diperiksa, yaitu N. fasialis, N. aurikuralis
magnus, N. radialis, N. ulnaris, N. medianus, N. poplitea lateralis, dan N. tibialis
posterior. Bagi tipe lepramatosa kelainan saraf biasanya bilateral dan menyeluruh,
sedang bagi tipe tuberkuloid kelainan sarafnya lebih terlokalisasi mengikuti
tempat lesinya.
Gejala-gejala kerusakan saraf:3
a. N. ulnaris: anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis;
clawing kelingking dan jari manis; atrofi hipotenar dan otot interoseus
serta kedua otot lumbrikalis medial.
b. N. medianus: anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk,
dan jari tengah; tidak mampu aduksi ibu jari; clawing ibu jari, telunjuk,
dan jari tengah; ibu jari kontraktur; atrofi otot tenar dan kedua otot
lumbrikalis lateral.
c. N. radialis: anestesia dorsum manus, serta ujumg proksimal jari telunjuk;
tangan gantung (wrist drop); tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan
tangan.
d. N. poplitea lateralis: anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum
pedis; kaki gantung (foot drop); kelemahan otot peroneus.
e. N. tibialis posterior: anestesia telapak kaki; claw toes; paralisis otot
intristik kaki dan kolaps arkus pedis.
f. N. fasialis: lagoftalmus (cabang temporal dan zigomatik); kehilangan
ekspresi wajah dan kegagalan mengaktupkan bibir (cabang bukal,
mandibular dan servikal).
g. N. trigeminus: anestesia kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata.
1. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan bakterioskopik (slit skin smear)
Pemeriksaan bakteriologi pasien kusta dilakukan untuk membantu
menegakkan diagnosis, klasifikasi penyakit sebelum pengobatan, menilai
9
Keterangan
Tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP).
1 10 BTA dalam 100 LP
1 10 BTA dalam 10 LP
1 10 BTA rata rata dalam 1 LP
10
4+
5+
6+
pemeriksaan
serologik
kusta
ialah:
Uji
MLPA
IX.
KOMPLIKASI
1. Reaksi Kusta
Dalam perjalanannya sebagai penyakit kronik, pada kusta sering timbul suatu
reaksi. Reaksi kusta adalah suatu reaksi imunologik yang dapat terjadi pada
penderita sebelum mendapatkan pengobatan, pada saat pengobatan, maupun
setelah pengobatan.1 Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada
perjalanan penyakit yang sebenarnya sangat kronik.2,5,6 Reaksi kusta ini terbagi
atas 2 bentuk, yaitu reaksi tipe 1 (reaksi reversal) yang disebabkan oleh
peningkatan respon imun seluler terhadap M. leprae, dan reaksi tipe 2 (eritema
nodusum leprosum) yang disebabkan oleh respon imun humoral berupa fenomena
kompleks imun yang meliputi antigen antibody dan komplemen. 1
Tabel . 6 Reaksi Kusta5
Keterangan
Keadaan umum
Reaksi tipe 1
Reaksi tipe 2
Peradangan di kulit
Bercak
kulit
cenderung
lama
lebih
kelemahan
umum
demam tinggi
menjadi Timbul nodul
meradang lunak
dan
dan
kemerahan,
nyeri
tekan.
Neuritis
Sering
terjadi,
berupa
(ulserasi)
nyeri Dapat terjadi
lain
Waktu timbulnya
pengobatan
Tipe kusta
maupun MB
Reaksi berat ditandai dengan salah satu dari gejala berikut:5
a.
b.
c.
d.
e.
2.
Fenomena Lucio
Merupakan reaksi kusta yang sangat berat yang terjadi pada kusta tipe
lepromatosa non-nodular difus. Kusta tipe ini terutama ditemukan di Meksiko dan
Amerika Tengah, namun dapat juga dijumpai di negeri lain dengan prevalensi
rendah. Gambaran klinis dapat berupa plak atau infiltrat difus, berwarna merah
muda, bentuk tak teratur, dan terasa nyeri. Lesi terutama di ekstremitas, kemudian
meluas ke seluruh tubuh. Lesi yang berat tampak lebih eritematosa, disertai
purpura, dan bula, kemudian dengan cepat terjadi nekrosis serta ulserasi yang
nyeri. Lesi lambat menyembuh dan akhirnya terbentuk jaringan parut.3
Gambaran histopatologik menunjukkan nekrosis epidermal iskemik dengan
nekrosis pembuluh darah superfisial, edema, dan proliferasi endotelial pembuluh
darah lebih dalam. Didapatkan banyak basil M. leprae di endotel kapiler.
Walaupun tidak ditemukan infiltrat polimorfonuklear seperto pada ENL, namun
dengan imunofluoresensi tampak deposit imunoglobulin dan komplemen di
13
dalam dinding pembuluh darah. Titer kompleks imun yang beredar dan
krioglobulin sangat tinggi pada semua penderita.3
3. Relaps
Penderita dinyatakan relaps bila telah pernah mendapatkan MDT dinyatakan
sembuh, tetapi kemudian kambuh lagi.5 Pengertian relaps atau kambuh pada kusta
ada 2 kemungkinan, yaitu relaps sensitif (persisten) dan relaps resisten. Pada
relaps sensitive secara klinis, bakterioskopik, histopatologik dapat dinyatakan
penyakit tiba-tiba aktif kembali dengan timbulnya lesi baru dan bakterioskopik
positif kembali. Pada relaps resisten dengan gejala klinis, bakterioskopik, dan
histopatologik yang khas, dapat dibuktikan dengan percobaan pengobatan dan
inokulasi pada mencit, bahwa M. leprae resisten terhadap DDS.3
Resistensi hanya terjadi pada kusta tipe MB, tetapi tidak pada PB oleh karena
SIS penderita PB tinggi dan pengobatannya relatif singkat. 3 Untuk kasus tipe MB,
diperlukan pemeriksaan ulang BTA. Bila terjadi peningkatan Indeks Bakteriologi
2 dibandingkan saat mendiagnosis, maka penderita dinyatakan relaps.5
4. Klasifikasi Cacat
Cacat pada tangan dan kaki
a.
b.
c.
gangguan
PENATALAKSANAAN KUSTA
14
epidermal
toksik,
hepatitis,
hipoalbuminemia,
dan
methemoglobinemia.3
b. Rifampisin
Rifampisin adalah obat yang menjadi salah satu komponen kombinasi
DDS dengan dosis 10mg/kg berat badan; diberikan setiap hari atau setiap
bulan. Rifampisin tidak boleh diberikan sebagai monoterapi, oleh karena
memperbesar kemungkinan terjadinya resistensi, tetapi pada pengobatan
kombinasi selalu diikutkan, tidak boleh diberikan setiap minggu atau
15
bulan
dengan
syarat
bakterioskopis
harus
negatif.
Apabila
negatif.
PROGNOSIS
Pada lepra yang tidak diterapi, hanya pasien TT atau pasien BT yang telah
berubah menjadi TT yang dapat sembuh sendiri. 6Dengan adanya obat-obat kombinasi,
pengobatan menjadi lebih sederhana dan lebih singkat, serta prognosis menjadi lebih
baik. Jika sudah ada kontraktur dan ulkus kronik, prognosis menjadi kurang baik.8
DAFTAR PUSTAKA
1.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10. Zulkifli.
Penyakit
Kusta
dan
Masalah
yang
Ditimbulkannya.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3679/3/fkm-zulkifli2.pdf.txt
2003.
(diakses
20
STATUS RESPONSI
ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
Pembimbing
Nama
: Wiji Hastuti
NIM
: G99122096
I. ANAMNESIS
A. Identitas
Nama
: Sdr.R.S
Umur
: 22 tahun
Jenis kelamin
: Laki-laki
Agama
: Islam
Status
: Belum menikah
Alamat
: Sukoharjo, Jawa Tengah
Tanggal periksa: 11 Desember 2013
No rekam medik
: 01233017
B. Keluhan utama
Mati rasa di siku sebelah kiri.
C. Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang ke poli Kulit dan Kelamin di RSDM dengan keluhan mati rasa
di siku sebelah kiri. Keluhan tersebut dirasakan sejak sekitar 4 bulan yang lalu. Keluhan
tersebut disertai rasa panas. Keluhan tersebut tidak disertai rasa nyeri, gatal, rasa lemah
21
Kepala
Mata
Mulut
Leher
Thorax Anterior
Thorax Posterior
Abdomen
Ekstremitas atas
Ekstremitas bawah
B. Status dermatologi
Regio thorax posterior
makula,
tampak
patch
23
24
: anestesi
: hipoestesi
: hipoestesi
26
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan BTA: Pemeriksaan biopsi : sesuai tipe BB
VI. DIAGNOSIS KERJA
Morbus Hansen tipe BB
VII. TERAPI
Non medikamentosa
1. Edukasi pasien tentang penyakitnya
2. Bekerjasama ke Puskesmas untuk pemantauan terapi
3. Memakai sandal atau pelindung kaki untuk mencegah terjadinya luka
4. Kontrol 1 bulan kemudian.
Medikamentosa
1. MDT MB :
- Rifampicin 600mg/bulan
- DDS tablet 100 mg/hari
- Klofazimin 300 mg/bulan, diteruskan 50 mg/hari
VIII. PROGNOSIS
Ad vitam
Ad sanam
Ad fungsionam
Ad kosmetikam
: dubia ad bonam
: dubia ad bonam
: dubia ad bonam
: dubia ad bonam
27