Anda di halaman 1dari 10

Glukoma pada Pasien dengan Luka Bakar Zat Kimia Okuler

MICHELLE P.LIN,UMIT EKSIO GLU, RAGHUC.MUDUMBAI,


MARKA.SLABAUGH, AND PHILIPP.CHEN

TUJUAN: untuk menguji perkembangan dan proses glukoma pada pasien

dengan luka bakar zat kimia okuler


RANCANGAN: retrospektif, rentetan kasus hasil observasi.
METODE: PENGATURAN: Universitas Klinik Mata

Washington.

POPULASI PASIEN: 29 mata (18 pasien) dengan luka bakar zat kimia
okuler yang terlihat antara 1997 dan 2010 dengan sedikitnya 3 bulan
pengamatan. LANGKAH OBSERVASI: mata dibedakan menggunakan skala
Roper-Hall, UKURAN HASIL UTAMA: Penggunaan pengobatan jangka

panjang (3 bulan atau lebih) dan memerlukan pembedahan glukoma.


HASIL: Usia rerata adalah 4517 tahun, dengan masa pengamatan rerata
7547 tahun (nilai tengah, 66 bulan). Mata kelas III atau IV Roper-Hall
(n=20) mempunyai tekanan intraokuler yang lebih tinggi secara signifikan
pada penyajian (35.9 vs 16.4 mm Hg; P=.001) dan pengamatan jauh lebih
memungkinkan untuk memerlukan pengobatan glukoma jangka panjang (P= .
003) atau menjalani pembedahan glukoma (P= .016) daripada mata kelas I
atau II Roper-Hall. 13 mata (12 kelas III atau IV Roper-Hall) menjalani
pembedahan glukoma. 8 mata menjalani pembedahan implan pembuluh
glukoma; 4 memerlukan sedikitnya 1 perbaikan. 7 mata menjalani
siklofotokoagulasi laser dioda; 4 memerlukan pengobatan ulang. Sebagian
besar mata (89%) telah mengkontrol tekanan intraokuler pada pengamatan
akhir. Tetapi, 76% mata dengan ketajaman mata 20/200 atau lebih buruk pada
evaluasi inisial tidak mempunyai penglihatan yang bertambah baik pada

pengamatan terakhir.
KESIMPULAN: mata dengan luka bakar kimia kelas III atau IV Roper-Hall
lebih

memungkinkan

untuk

mempunyai

glukoma

dan

memerlukan

pembedahan. Hasil untuk mengatasi glukoma secara umum baik, meskipun


pembedahan implan pembuluh sering menimbulkan komplikasi yang
memerlukan perbaikan.
(Am J Ophthalmol 2012;154:481485. 2012 by Elsevier Inc. All rights reserved.)

LUKA BAKAR KIMIA ADA DI ANTARA 8% DAN 18% trauma okuler.


Sebagian besar korban adalah laki-laki muda dengan usia antara 16 dan 45 tahun.
Luka sering berhubungan dengan kerja, dan hampir 90% luka terjadi sebagai hasil
kecelakaan. Luka bakar alkali lebih umum daripada luka bakar zat asam dan lebih
parah. Banyak faktor prognostik yang telah diuji dalam evaluasi penyembuah
visual setelah luka bakar kimia, termasuk pH dan konsentrasi zat kimia, durasi
pembukaan, pemutihan stroma kornea, dan luas limbal ischemia. Tetapi, sedikit
yang telah menguji glukoma setelah luka bakar kimia okuler. Tujuan penelitian ini
adalah untuk mengungkap bahaya dari dan faktor bahaya perkembangan glukoma
setelah pembukaan okuler pada agen zat asam dan kimia alkali dan hasil untuk
mengatasi glukoma pada kasus ini.
METODE
KITA MENGULAS ULANG PASIEN ANTARA TAHUN 1997 DAN 2010 DI
Universitas Klinik Mata Washington (University of Washington Medical Center
and Harborview Med- ical Center). Pasien diidentifikasi melalui Klasifikasi
Penyakit Internasional, Edisi 9, kode pencarian untuk luka bakar okuler (940.0
hingga 940.5). Pasien luka bakar kimia okuler dengan sedikitnya 3 bulan
pengamatan terlibat dalam penelitian ini. Meskipun glukoma biasanya dinilai
melalui evaluasi saraf optik dan bidang visual, karena tipe luka dan hasil
kecerahan korneal lemah, sebagian besar pasien tidak mempunyai saraf optik
yang terekam atau uji bidang visual yang yang ditampilkan selama pengamatan.
Karena itu, kita mengartikan glukoma sebagai tekanan intraokuler (IOP) lebih
dari 21 mmHg dan memerlukan penyembuhan selama mengatasi luka bakar kimia
intraokuler.
Data klinis yang dikumpulkan antara lain tipe luka bakar kimia, pH
okuler, data demografis (usia, jenis kelamin, race), ketajaman mata, IOP,
pengobatan glukoma, dan hasil uji dan prosedur yang ditampilkan pada penyajian
dan pengamatan yang lebih jauh. Pengobatan jangka panjang yang digunakan
diartikan sebagai penggunaan pengobatan glukoma selama atau melebihi 3 bulan
setelah terluka.

Klasifikasi Roper-Hall digunakan, pada beberapa kasus secara respektif,


untuk menggolongkan parahnya luka bakar. Singkatnya, luka bakar kelas I RoperHall mengindikasikan kerusakan epitelial korneal tanpa limbal ischemia. Luka
bakar kelas II mengindikasikan haze korneal dengan detail iris yang nampak dan
kurang dari sepertiga limbal ischemia. Luka bakar kelas III mengindikasikan
hilangnya epitelial total, kekaburan stromal dengan detail iris yang tidak jelas, dan
sepertiga hingga setengah limbal ischemia. Luka bakar kelas IV mengindikasikan
kaburnya stromal padat dengan iris dan pupil yang tidak jelas dan lebih dari
setengah limbal ischemia. Mata juga dibagi ke dalam 2 kelompok berdasarkan
ketajaman mata: ketajaman Snellen lebih dari 20/200 dan ketajaman snellen
sebesar 20/200 atau kurang. Data dimasukkan ke halaman (aplikasi SPSS versi
16.0 for Mac; SPSS, Inc, Chicago, Illinois, USA). Analisis statistik dilakukan
menggunakan uji chi-square dan Fisher exact dan sampel independen, uji t 2
ekor.
Terjemahan bagian Tabel 1.
TABEL 1. Ketajaman Mata dan Tekanan Intraokuler Final dan Awal, Penggunaan
Pengobatan Glukoma, dan Pembedahan Glukoma yang Ditampilkan pada 29
Mata dengan Luka Bakar Kimia Okuler.
Keterangan kolom tabel:
Eye no: nomor mata. Age (years): usia (tahun). Follow up (months): pengamatan (
bulan). Roper-Hall Grade: Tingkatan Kelas Roper-Hall. Initial Visual: pandangan
awal. Initial Visual Acuity: ketajaman mata awal. Initial IOP (mmHg): IOP awal
(mmHg). Final visual acuity: ketajaman mata akhir. Final IOP (mmHg): IOP akhir
(mmHg). IOP medications (>3 months): pengobatan IOP (>3 bulan). Glaucoma
surgery type: tipe pembedahan glukoma. No. of months to first glaucoma surgery:
nomor bulan ke pembedahan glukoma pertama. Corneal surgery type: tipe
pembedahan korneal.
Keterangan bawah tabel.
CF

(counting

siklofotokoagulasi

fingers):

transskleral;

CPC
ECP

(transscleral

cyclophotocoagulation):

(endoscopic

cyclophotocoagulation):

siklofotokoagulasi endoskopik; HM (hand movements): perpindahan tangan; IOP

(intraocular pressure): tekanan intraokuler; Kpro (Boston keratoprosthesis


(typeIorII)): keratoprostesis Boston tipe I atau II; LP

(light perception):

penglihatan cahaya; N/A (not applicable): tidak aplikabel; NLP (no light
perception): tanpa penglihatan cahaya; NR (not recorded): tak terekam; PKP
(penetrasi keratoplasty): penetrasi keratoplasti. Suspected methamphetamine
manufacture: membuat metamfetamin yang dicurigai.
Terjemahan bagian Tabel 1.
Tabel 2. Temuan Klinis selama Pengamatan pada Mata dengan Luka Bakar Kimia
Intraokuler (n=29).
Keterangan kolom:
Findings: temuan. Ropper-Hall Grade I/II: kelas I/II Ropper-Hall. Ropper-Hall
Grade I/II: kelas III/IV Ropper-Hall. P value: nilai P.
Keterangan baris:
Age (years): usia (tahun). Follow-up (mos): pengamatan (bulan). Chemical:
alkali/ acid (eyes): zat kimia: alkali/ zat asam (mata). Eyes requiring glaucoma
medication: mata yang memerlukan pengobatan glukoma. Initial: awa. Longterm: jangka panjang. No. of long-term medications: nomor pengobatan jangka
panjang. Glaucoma surgery (eyes): pembedahan glukoma (mata). Other surgery
(eyes): pembedahan lain (mata). Visual ketajaman: ketajaman mata. Final: akhir.
Intraocular pressure (mm Hg): tekanan intraokuler (mmHg).
Keterangan bawah tabel:
logMAR (logarithm of the minimal sudut of resolution: logaritma sudut minimal
resolusi . aIndependent sample t test, 2 tailed: uji t sampel independen, 2 ekor.
bFisher exact test, 2 tailed: uji Fisher exact, 2 ekor.
HASIL
29 MATA (18 PASIEN) DENGAN LUKA BAKAR KIMIA OKULER
diidentifikasi dan ditemukan kriteria pencantuman (Tabel 1). Usia pasien rata-rata
adalah 45.416.7 tahun (jarak, 19 hingga 77 tahun), dan pengamatan rata-rata
adalah 7547 bulan (nilai tengah, 66 bulan; jarak, 10 hingga 157 bulan). Sebagian
besar pasien berjenis kelamin laki-laki (15/18; 83%) dan putih (15/18; 83%). 24

mata (83%) mempunyai luka bakar alkali dengan pH rata-rata 9.38, sedangkan 5
mata (17%) mempunyai luka bakar zat asam. Di antara mata dengan luka bakar
alkali, 68% (15/22) mempunyai ketajaman mata 20/200 atau kurang,
dibandingkan dengan 60% (3/5) pada mata dengan luka bakar zat asam. Pada 2
mata (7%) dengan luka bakar alkali, ketajaman mata awal tidak diketahui karena
pasien dimasuki pembuluh saat evaluasi awal. Pada 1 mata (3.4%), ketajaman
mata tidak ada penglihatan cahaya karena kerusakan sebelumnya dari glukoma
dengan sudut-pengunduran, yang terkontrol dengan baik melalui pengobatan
sebelum luka karena zat kimia; mata ini tidak terlibat dalam evaluasi ketajaman
mata selama pengamatan. 4 mata (14%; semua dengan ketajaman mata awal
20/200 atau kurang; 2 pasien) terluka dalam kecelakaan melibatkan pembuatan
metamfetamin yang dicurigai.
Klasifikasi Roper-Hall yang dihasilkan dari 5 mata (17.2%) dengan luka
bakar kimia okuler kelas I, 4 mata (13.8%) dengan luka bakar kimia okuler kelas
II, 9 mata (31.0%) dengan luka bakar kimia okuler kelas III, dan 11 mata (37.9%)
dengan luka bakar kimia okuler kelas IV. Satu mata (3.4%) terbuka setelah 10 hari
karena endoftalmitis setelah perforasi korneal dan tidak terlibat dalam analisis
perkembangan atau penyembuhan glukoma.
Kelas Ropper-Hall yang lebih tinggi mempunyai hubungan secara
signifikan dengan ketajaman mata awal 20/200 atau kurang. Kelas Ropper-Hall
yang lebih tinggi juga berhubungan dengan ketajaman mata awal yang lebih
rendah (P= .016, analisis varian), tetapi tidak pada IOP awal yang lebih tinggi (P=
.055, analisis varian), kecuali kalau mata kelas III dan IV Ropper-Hall
dikombinasi dan dibandingkan dengan mata kelas I dan II Roper-Hall (P= .001;
Tabel 2). Kelas Ropper-Hall yang lebih tinggi juga mempunyai hubungan secara
signifikan dengan beberapa penggunaan pengobatan glukoma (P< .001),
penggunaan pengobatan glukoma jangka panjang (P= .010), diperlukan bagi
beberapa pembedahan optalamik (P= .003), dan ketajaman mata 20/200 atau
kurang pada kunjungan akhir (P= .020). Sebagian besar mata yang memerlukan
penggunaan pengobatan glukoma jangka panjang telah mengangkat IOP pada
minggu awal setelah terluka (15/18 mata, 83%).

Perbandingan mata dengan luka bakar karena alkali vs zat asam


menunjukkan bahwa di antara mata dengan luka bakar alkali, 16 (70%) dari 23
dan 11 (48%) dari 23 memerlukan pengobatan glukoma jangka panjang dan
pembedahan, secara respektif, yang tidak berbeda secara signifikan terhadap 2
(40%) dari 5 mata dengan luka bakar zat asam yang memerlukan pengobatan
glukoma jangka panjang dan pembedahan glukoma (P .315). Ketajaman mata
akhir yaitu 20/200 atau kurang pada 15 (63%) dari 24 mata dengan luka bakar
alkali dan 2 (40%) dari 5 mata dengan luka bakar zat asam.
Tiga belas mata (46% dari seluruh mata, 5/9 kelas III Roper Hall dan 7/10
kelas IV Roper Hall) memerlukan pembedahan glukoma untuk kontrol IOP;
semuanya diobati secara medis glukomanya sebelum beberapa tipe pembedahan
glukoma. Mata dengan luka bakar kimia okuler kelas III atau IV Roper-Hall lebih
memungkinkan secara signifikan memerlukan pengobatan glukoma jangka
panjang (P= .003) dan pembedahan glukoma (P= .016) dibandingkan dengan
mata dengan luka bakar kimia okuler kelas I atau II Roper-Hall (Tabel 2). Empat
mata menjalani pembedahan glukoma pada saat yang sama pada saat yang sama
sebagai keroplasti penetrasi atau pembedahan keratoprostesis Boston, dan 3 mata
menjalani pembedahan glukoma setelah prosedur. Tiga mata menjalani
pembedahan glukoma sebelum penetrasi keroplasti, dan 3 mata yang menjalani
pembedahan glukoma tidak menampilkan prosedur transplantasi korneal. KaplanMeier memperkirakan perlunya pembedahan glukoma yaitu 58.6% (95% selang
kepercayaan, 34.0% hingga 83.2%) dalam 3 tahun untuk mata kelas III dan IV
Roper-Hall, yang lebih buruk secara signifikan (P= .002, uji log-rank) daripada
mata kelas I dan II Roper-Hall (0%).
Delapan mata (28%) menjalani pembedahan implan pembuluh saluran
glukoma (5 prosedur Baerveldt, 2 prosedur Ahmed, dan 1 prosedur tidak
diketahui). Empat (3 prosedur Baerveldt dan 1 prosedur Ahmed) memerlukan
pembedahan perbaikan selama pengamatan: 1 pembuluhnya tied off karena
hipotoni mata yang belum memiliki siklodestruksi sebelumnya; 1 menjalani 2
perbaikan untuk kontak korneal pembuluh, dengan penempatan pembuluh
akhirnya pada pars plana setelah vitrektomi pars plana; 1 memerlukan 4
perbaikan, 2 rintangan pembuluh, 2 pembukaan pembuluh; dan 1 memerlukan

penghapusan implan, dengan pengobatan siklokrioterapi. Satu pembuluh lain (tipe


tidak diketahui) dipertimbangkan menjadi fungsional secara marginal saat
pembukaan. Tujuh mata menjalani siklofotokoagulasi laser dioda, 3 yang
memerlukan prosedur ganda. Satu mata menjalani siklofotokoagulasi laser dioda
endoskopik, diikuti siklofotokoagulasi laser dioda transkleral; mata yang lain
semuanya hanya menjalani siklofotokoagulasi laser dioda.
Tiga mata (10.3%) terbuka, 1 dalam 10 hari setelah terjadinya luka bakar
kimia okuler dari endolftalmitis setelah perforasi korneal dan 1 masing-masing
dalam 4 dan 8 tahun setelah terluka merasa nyeri yang parah; glukoma
dipertimbangkan penyebab 1 dari kasus-kasus tersebut, pada satu mata yang
belum

menjalani

pembedahan

glukoma.

Untuk

kelompok

total,

IOP

dipertimbangkan untuk dikontrol pada pengamatan akhir pada 25 (89%) dari 28


mata. Di antara 7 mata (24%) dengan rasio cup-to-disc yang terekam, rasio ratarata kunjungan akhir adalah 0.570.20; 2 dari 7 mata (29%) mempunyai konsiten
cupping dengan beberapa degree kerusakan saraf optik (0.75 dan 0.90). Pallor
disc optik tercatat di 4 dari 7 mata (57%).
Delapan belas mata (62%; 17/20 kelas III atau IV Roper-Hall) menjalani
beberapa jenis pembedahan okuler selama pengamatan. Empat belas dari 18 mata
(78%) dilakukan pembedahan korneal, 10 dari 18 mata (56%) dilakukan ekstraksi
katarak, 4 dari 18 mata (22%) dilakukan vitrektomi pars plana, dan 13 dari 18
mata (72%) dilakukan pembedahan okuloplastik selama pengamatan. Dari 13
yang telah menjalani 1 atau lebih pembedahan transplan korneal, 9 (69%)
menjalani keroplasti penetrasi, 4 (31%) kemudian menjalani sedikitnya 1
pengulangan keroplasti penetrasi, dan 7 (54%) menjalani pembedahan
keratoprostesis (5 dari Boston tipe 1 dan 3 dari Boston tipe II; 1 tipe keduanya).
Tujuh dari 18 mata (39%) menjalani pencangkokan membran amniotik, dan 5 dari
18 mata (28%) menjalani transplantasi limbal stem cell.
Pada kunjungan pengamatan akhir, 4 dari 19 mata dengan ketajaman mata
awal 20/200 atau kurang (21%; 2 tiap kelas III dan IV Roper-Hall) telah
bertambah lebih baik daripada 20/200; 3 dari ini (luka alkali) telah menjalani
keratoprostesis Boston tipe II, dan 1 (luka zat asam) hanya memerlukan
pembedahan rekonstruktif kelopak mata. Satu dari 9 mata dengan ketajaman mata

awal lebih baik dari 20/200 (11%; kelas III Roper-Hall, luka alkali) telah
berkurang ke 20/200 atau kurang pada pengamatan akhir. Lima belas mata
tertinggal (76%) dengan ketajaman mata 20/200 atau kurang pada kunjungan
awal tidak memiliki ketajaman mata yang lebih baik dari 20/200 saat pengamatan
akhir atau telah menjalani enukleasi. Di semua mata ini, kecerahan kornea sendiri
telah dapat dihitung dari ketajaman mata yang tercatat, meskipun kontribusi
relatif kerusakan glukoma ke ketajaman yang terukur tidak dapat ditegaskan
karena saraf optik dan bidang visual tidak terevaluasi.
DISKUSI
LUKA BAKAR KIMIA OKULER YANG PARAH REMAIN SEBUAH
TANTANGAN untuk rehabilitasi visual dan pengobatan glukoma, meskipun
kemajuan telah dibuat pada pengatasan luka bakar kimia okuler pada tahun-tahun
sebelumnya. Hilangnya pandangan dari luka bakar kimia tidak terbatas pada luka
kausatif secara langsung ke permukaan okuler, tetapi bisa terjadi sebagai hasil
kerusakan saraf optik akut dan kronis dari IOP yang tak terkontrol. Glukoma
sebagai hasil luka bakar alkali mungkin terjadi segera atau tertunda. Tahun 1946,
Hughes mendokumentasikan beberapa kasus IOP elevated 1 bulan setelah luka
bakar alkali. Kuckelkorn dan asosiasi menjelaskan 66 kasus (90 mata) dengan
luka bakar kimia okuler yang parah; glukoma awal terjadi pada 14 mata (15.6%)
dan glukoma telat (bulanan) terjadi pada 22 mata (22.2%). Tsai dan asosiasi
menemukan glukoma pada 18 dari 33 mata (55%) setelah luka bakar kimia atau
termal okuler yang menyebabkan penyakit permukaan okuler yang parah. Tetapi,
laporan ini tidak melibatkan evaluasi faktor bahaya perkembangan glukoma
maupun hasil pengatasan.
Kita menemukan glukoma setelah luka bakar kimia okuler dihubungkan
dengan luka-luka bakar yang lebih parah: 16 dari 19 mata (84%) dengan luka
bakar kimia okuler kelas III atau IV Roper-Hall memerlukan pengobatan glukoma
jangka panjang. Kita hanya menemukan ukuran kecil mata yang mempunyai IOP
lemah belakangan awalnya memperagakan elevasi IOP memerlukan pengobatan
glukoma; 15 dari 18 mata (83%) yang memerlukan pengobatan glukoma jangka
panjang telah diangkat IOP dalam 1 minggu penyajian. Ini mungkin tidak

mengejutkan, memberikan patofisiologi luka bakar kimia di permukaan okuler.


Luka zat kimia langsung dapat menyebabkan penyusutan dan gangguan lubang
trabekula dan saluran keluar. Inflamasi kronis berikutnya dapat mengarah ke
sinekia dan penutupan sudut, mungkin diimbangi pada bagian oleh nekrosis tubuh
siliar di luka bakar alkali. Mekanisme lain, seperti penggunaan kortikosteroid
pokok jangka panjang setelah prosedur okuler, juga bisa berkontribusi pada
elevasi IOP belakangan.
Glukoma dapat terjadi setelah pembedahan korneal memerlukan
rehabilitasi visual, dengan persentase terlapor 10% hingga 53%, termasuk setelah
prosedur yang lebih baru, seperti penempatan keratoprostesis Boston. Pada
penelitian ini, pembedahan glukoma sering dihubungkan dengan prosedur
transplan korneal dan diperlukan setelah penetrasi pembedahan keratoplasti atau
keratoprostesis pada 3 dari 13 mata (23%), dan pada 4 mata lainnya (31%),
prosedur dilakukan pada waktu yang sama sebagai penetrasi pembedahan
keratoplasti dan keratoprostesis. Tetapi, pada ketujuh mata tersebut, glukoma
diobati secara medis mendahului pembedahan transplan korneal.
Pada 14 pasien dengan luka bakar kimia okuler dan glukoma, Kuckelkorn
dan asosiasi mencatat bahwa pembedahan implan saluran glukoma mempunyai
tingkat komplikasi yang tinggi (6 dari 9 mata) dan menyimpulkan bahwa
siklofotokoagulasi laser transkleral mungkin lebih baik pada pasien tersebut.
Temuan kita, walaupun pada sampel kecil yang sama, ada pada persetujuan,
dengan 4 dari 8 mata yang menerima implan pembuluh glukoma memerlukan
sedikitnya 1 perbaikan, dan 1 lainnya yang dipertimbangkan fungsional dengan
suboptimal saat enukleasi. Pada beberapa mata, konjungtiva yang tergores dan
terluka, kesulitan penempatan pembuluh yang akurat karena kecerahan korneal
yang lemah, dan kesehatan tubuh siliar yang tak tentu dan produksi cairan encer
menyumbang penempatan shunt pembuluh glukoma problematis secara respektif.
Ketika pembedahan implan pembuluh dilakukan sebagai tambahan untuk
pembedahan keratoprostesis, penempatan pembuluh dalam hubungan ke kornea
menjadi kurang kritis, dan beberapa laporan telah melaporkan hasil yang baik
pada kasus-kasus ini dengan implan pembuluh. Tetapi beberapa penulis telah
mencatat frekuensi tinggi secara relatif dari komplikasi berhubungan dengan

pembuluh pada pasien-pasien ini, seperti erosi pembuluh, dan yang lainnya telah
melaporkan bahwa siklofotokoagulasi bersamaan atau berikutnya mungkin
diperlukan.
Penelitian kita mempunya beberapa keterbatasan. Glukoma ditegaskan
hanya oleh IOP, karena sebagian besar pasien tidak memiliki penilaian saraf optik
dan bidang visual selama pengamatan karena gelapnya korneal. Ini membuat sulit
untuk memastikan dengan kepercayaan kontribusi relatif glukoma ke area visual
akhir dari banyak mata yang diteliti, meskipun sebagian besar telah mengkontrol
IOP. Sifat retrospectif dari rancangan penelitian kita dari pengumpulan seluruh
data yang relevan secara klinis pada seluruh subjek karena rekaman medis yang
tidak lengkap dan aturan pengamatan yang tidak terstandarisasi. Selain itu, ukuran
sampel yang lebih besar akan meningkatkan kekuatan penarikan kesimpulan.
Beberapa pasien tidak terlibat karena terbatasnya waktu 3 bulan untuk
pengamatan, meskipun mereka mempunyai luka bakar kimia okuler yang lebih
ringan sebagai syaratnya. Rupanya, banyak dari mereka dengan luka bakar kimia
okuler yang lebih ringan melakukan secara klinis yang cukup baik tidak
memerlukan perawaran optalamik di institusi kita. Aturan institusi kita sebagai
sebuah pusat trauma regional membuat pengamatan sulit untuk banyak pasien
yang diberikan dari wilayah yang jauh, dihasilkan dari panjang pendeknya
pengamatan secara respektif bagi beberapa pasien sebagai keterbatasan lain pada
penelitian ini.
Ringkasnya, mata dengan luka bakar kimia okuler kelas III atau IV RoperHall lebih memungkinkan untuk mempraktikkan IOP terelevasi yang ditahan dan
memerlukan pengobatan glukoma jangka panjang dan pembedahan glukoma.
Hasil glukoma pada umunya lemah meskipun kontrol IOP yang baik secara
relatif, terutama dikarenakan oleh gelapnya korneal.

Anda mungkin juga menyukai