Anda di halaman 1dari 25

FUROSEMIDE

Furosemide atau asam 4-kloro-n-furfuril-5-sulfamoil antranilad masih tergolong derifat


sulfonamide. Obat ini merupakan salah satu obat standar untuk pengobatan gagal jangtung dan
edema paru .Bumetanid merupakn derivate asam 3- aminoben-zoat yang lebih poten dari pada
furosemide tetapi dalam hal lain kedua senyawa ini mirip satu dengan senyawa yang lain.
Struktur kimia ke tiga obat ini terlihat di gambar 24-2. Asam etakrinat termasuk deuretik yang
dapat di berikan secara oral maupun parenteral dengan hasil yang memuaskan.

FARMAKODINAMIK
Diuretik kuat terutama bekerja dengan cara menghambat reabsorpsi elektrolit Na + / K+/
2CL- di ansa henle asendens bagian epitel tebal, tempat kerjanya dipermukaan sel epitel bagian
luminal(yang menghadap ke lumen tubuli).pada pemberian secara IV obat in cenderung
meningkatkan aliran darah ginjal tanpa di sertai peningkatan filtrasi glomerulus.perubahan
hemodinamik ginjal ini mengakibatkan menurunnya rearbsorbsi cairan dan elektrolit di tubuli
proximal serta meningkatnya efek awal deuresis. Peningkatan aliran darah ginjal ini relative
hanya berlangsung sebentar. Dengan berkurang nya cairan ekstra sel akibat deuresis, maka aliran
darah ginjal menurun dan hal ini akan mengakibatkan meningkatnya reabsorpsi cairan dan
elektrolit di tubuli proximal. Hal yang terakhir ini agaknya merupakan suatu mekanisme
kompensasi yang membatasi jumlah zat terlarut jyang mencapai

bagian epitel tebal henle

asendens,dengan demikian akan mengurangi deuresis.


Masih di pertentangkan apakah diuretic kuat juga bekerja di tubuli proximal.furosemide
dan bumetanid mempunyai daya hambat enzim karbonik anhidrase karena keduanya
merupakan derivate sulfonamide , seperti juga tiazid dan asetazolamid,tetapi aktivitasnya terlalu
lemah untuk menyebabkan deuresis di tubuli proximal. Asam etakrinat tidak menghambat anzim
karbonik anhidrase.efek duretik kuat terhadap segmen yang ebih distal dari ansa henle asendens
epitel tebal belum dapat di pastikan, tetapi dari besarnya dari deuresis yang terjadi,diduga obat
ini bekerja juga di segmen tubuli lain.

Diuretic kuat juga menyebabkan meningkatnya ekskresi K+ dan kadar asam urat
plasma,mekanisme nya kemungkinan besar sama dengan tiazid.ekskresi Ca++ dan Mg++ juga
di tingkatkan sebanding dengan peningkatan ekskresi Na+. berbeda dengan Tiazid, golongan ini
tidak meningkatkan re-abrsopsi Ca++ di tubuli distal. Berdasarkan efek kalsiuria ini, golongan
diuretic kuat di gunakan untuk pengobatan simtomatik Hiperkalsemia.
Diuretik kuat meningkatkan ekskresi asam yang dapat di titrasi (Titrable acid) dan
ammonia . fenomena yang diduga terjadi karena efeknya di nefron distal ini merupakan salah
satu factor penyebab terjadinya alkalosis metabolic.
Bila mobilisasi cairan edema terlalu cepat, alkalosis metabolic oleh diuretic kuat ini
terutama terjadi akibat penyusutan volume caitran ekstra sel. Sebaliknya pada penggunaan yang
kronik, factor utama penyebab alkalosis adalah besarnya asupan garam ekskresi H+ dan K+.
alkalosis ini sering kali disertai dengan hiponatremia, tetapi masing2 disebabkan oleh mekanisme
yang berbeda.
FARMAKOKINETIK
Diuretic kuat mudah diserap melalui saluran cerna, dengan derajat agak berbeda-beda.
Bioavailabilitas furosemide 65% sedangkan bumetenid hampir 100%. Obat golongan ini terikat
pada protein plasma secara ekstensif ,sehingga tidak di filtrasi di glomerulus tetapi cepat sekali
di sekresi melalui system transport asam organic di tubuli proksimal. Dengan cara ini obat
terakumulasi di cairan tubuli dan mungkin sekali di tempat kerja di daerah di tempat distal lagi.
Probanasid dapat menghambat sekresi furosemid dan interaksi di antaranya ini hanya terbatas
pada tingkat sekkresi tubuli, dan tidak pada tempat kerja diuretic. Toremit memiliki masa kerja
sedikit ebih panjang dari furosemid.
Kira-kira2/3 dari sama etakrinat yang di berikan secara IV di ekskresi dmelalui ginjal
dalam bentuk utuh dan dalam konjugasi dalam senyawa sulfhidril terutama sistein dan N-Acetil
sistein. Sebagian lagi di eksresi melalui hati. Sebagian besar furosemid di ekskresi dengan cara
yang sama, hanya sebagian kecl dalam bentuk glukoronid. Kira-kira 50% bumetanid di ekskresi
dalam bentuk asal, selebihnya sebagai metabolic.

EFEK SAMPING DAN PERHATIAN


Gangguan cairan dan elektrolit. Sebagian efek samping berkaitan dengan gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit, antara lain, hipotensi, hiponatremia, hipokalemia,
hipokloremia, hipokalsemia dan hipomagnesimia.
Ototoksisitas. Asam etakrinat dapat mengakibatkan ketulian sementara maupun
menetap, dan hal ini merupakan efek samping yang serius, ketulian sementara juga dapat terjadi
pada furosemid dan lebih jarang pada bumetanid. Ketulian ini mungkin sekali disebabkan oleh
perubahan komposisi elektrolit cairan endolimfe. Ototoksisitas merupakan suatu efek samping
unik kelompok obat ini.
Hipotensi . Dapat terjadi karena volume sirkulasi.
Efek metabolic. Seperti diuretic tiazid, diuretic kuat juga dapat menimbulkan efek
samping metabolic berupa hiperuresemia, hiperglikemia, peningkatan kolestrol LDL dan
trigliserida, serta penurunan HDL.
Reaksi alergi. Reaksi alergi umumnya berkaitan dengan struktur molekul yang
menyerupai sulfonamid. Diuretic kuat dan diuretic tiazid dikontraindikasikan pada pasien dengan
riwayat alergi sulfonamide. Asam etakrinat merupakan satu-satunya diuretic kuat yang tidak
termasuk golongan sulfunamid, dan digunakan khususnya untuk pasien yang alergi terhadap
sulfonamide.
Nefritis interstisialis alergik. Furosemid dan tiazid diduga dapat menyebabkan
Nefritis interstisialis alergik yang menyebabkan gagal ginjal reversible.
Berdasarkan efeknya pada janin hewan coba, maka diuretic kuat ini tidak dianjurkan pada
wanita hamil kecuali jika mutlak diperlukan.

INTERAKSI
Seperti diuretic tiazid, hipokalemia akibat pemberian diuretic kuat dapat meningkatkan
resiko aritmia pada pasien yang juga mendapat digitalis atau obat anti aritmia.

Pemberian bersama obat yang bersifat mikrotoksik seperti aminoglikosida dan


antikanker sisplatin akan meningkatkan resiko nefrotoksisitas.
Probenezid mengurangi sekresi diuretic kelumen tubulus sehingga efek diuresisnya
berkurang.
Diuretic kuat dapat berinteraksi dengan warfarin dan klofibrat melalui pergeseran
ikatannya dengan protein. Pada penggunaan kronis, diuretic kuat ini dapat menurunkan klirens
litium. Penggunaan bersama dengan sefalosporin dapat meningkatkan nefrotoksisitas
sefalosporin. Anti inflamasi nonsteroid terutama indometasin dan kortikosteroid melawan kerja
furosemid.

PENGGUNAAN KLINIK
Gagal jantung. Furosemid merupakan obat standar untuk gagal jantung yang disertai
edema dan tanda-tanda bendungan sirkulasi seperti peninggian tekanan vena juguler, edema
paru, edema tungkai, dan asites. Furosemid lebih banyak digunakan daripada asam etakrinat,
karena gangguan saluran cerna yang lebih ringan dan kurva dosis responnya kurang curam.
Untuk edema paru akut diperlukan pemberian secara IV. Pada keadaan ini perbaikan klinik
dicapai karena terjadi perubahan hemodinamik dan penurunan volume cairan ekstrasel dengan
cepat. Sehingga alir balik vena dan curah ventrikel kanan berkurang.
Edema refrakter. Untuk mengatasi Edema refrakter diuretic kuat biasanya diberikan
bersama diuretic lain misalnya tiazid atau diuretic hemat K+. pemakaian dua macam obat
diuretic kuat secara bersamaan merupakan tindakan yang tidak rasional.
Diuretik kuat juga merupakan obat yang efektif untuk mengatasi asites yang tebal akibat
penyakit sirosis hepatis dan edema akibat gagal ginjal. Sebaiknya diberikan secara oral, kecuali
bila diperlukan dieresis yang segera, maka dapat diberikan secara IV atau IM. Bila ada nefrosis
atau gagal ginjal kronik, maka diperlukan dosis furosemid jauh lebih besar daripada dosis biasa.
Diduga hal ini disebabkan oleh banyaknya protein dalam cairan tubuli yang akan mengikat
furosemid sehingga menghambat dieresis. Selain itu, pada pasien dengan uremia, sekresi
furosemid pada tubuli menurun.

Diuretic kuat juga digunakan pada pasien gagal ginjal akut yang masih awal (baru
terjadi), namun hasilnya tidak konsisten. Diuretic kuat dikontraindikasikan pada keadaan gagal
ginjal yang disertai anuria. Diuretic kuat dapat menurunkan kadar kalsium plasma pada
pasien hiperkalsemia simtomatik dengan cara meningkatkan eksresi kalsium melalui urin. Bila
digunakan untuk tujuan ini, maka perlu pula diberikan suplemen Na+ dan Cl- untuk
menggantikan kehilangan Na+ dan Cl- melalui urin.

SEDIAAN DAN POSOLOGI


Sediaan dan posologi golongan diuretic kuat dapat dilihat pada table 24-2.

DIGOXIN
Digoxin digunakan dalam pengobatan melemahnya otot jantung pada penderita hipertensi
dan CHF (Congestive Heart Failure) yaitu volume darah yang dipompa oleh jantung kecil
sehingga tidak mencukupi kebutuhan baik oksigen maupun nutrisi bagi tubuh). So, berarti obat
ini digunkan pad kondisi life threatening (dipakai sepanjang umur hidup pasien).
Digoxin

merupakan

contoh

obat

yang

memiliki

masalah

berkaitan

dengan

bioekivalensinya. Sebagai tambahan, theraprutic windows-nya sempit artinya obat ini sangat
poten, dosisnya hanya 0,25 mg/tablet) terus profil dosis responnya yang tajam. Obat ini termasuk
kelas II dalam klasifikasi biofarmasetika yaitu obat dengan karakteristik kelarutan rendah dan
permeabilitas

baik

sehingga

menimbulkan

masalah

dalam

formulasinya.

Upaya peningkatan kelarutan digoxin sangat diperlukan, sehingga perubahan formulasi sangat
berpengaruh terhadap bioavaibilitasnya, padahal formulasi tiap pabrik berbeda-beda so penting
sebagai farmasis kita harus mempertimbangkan bioekivalesinya.
Perbedaan pabrik yang memproduksi tablet digoxin dapat menyebabkan terjadinya
perbedaan bioavaibiltas (karnena absorbsi berbeda) dari digoxin karena raw material yang
digunkan untuk memproduksi dapat berasal dari supplier yang berbeda, sehingga memungkinkan
adanya perbedaan sifat fisikokimianya. Perbadan batch produksi juga dapat memberikan
perbadaan bioavaibilitas dari digoxin. Pabrik yang sama saja belum tentu tablet digoxin yang
diprodukssi

bioekivalen

kalau

bahan

bakunya

bersal

dari

batch

yang

berbeda.

Perbedaan industri farmasi yang memproduksi tablet digoxin dapat menyebabkan perbedaan
yang signifikan. Oleh karena itu, sebaiknya dhindari apabila akan melakukan penggantian atau
substitusi tablet digosin ke pasien yang sudah stabil pada penggunaan digoxin dari pabrik
tertentu. Karena sangat mungkin kedua produk tersebut bio-inekivalen.Apalagi umunya digoxin
digunakan pada kondisi life threatening.
Obat dari batch atau lot yang berbeda menandakkan adanya perbedaan dalam hal
formulasi yang memungkinkan terjadinya perbedaan absorpsi, akibatnya berbeda juga
bioavaibilitasnya. Selain theraprutic window yag sempit dan profil dosis responnya tajam, sifat
fisika kimia digoxin juga menyebabkan bioavaibilitasnya sangat dipengaruhi oleh variabel
formulasi dan perubahan konsentrasi obat dalam darah akibat perubahan dari absorpsinya.
Dari gambaran di atas, maka untuk menyeleksi produk digoxin dari beberapa pabrik
merupakan proses yang krusial sehingga data BA dan BE sangat diperlukan untuk diketahui.

FDA di tahun 1974 menyaratkan BABE comparative sebagai akibat munculnya kasus
pengubahan bahan pengisi fenitoin menggunakan laktosa di Australia , yang meningkatkan
toksisitas dari fenitoin dan kasus talidomid di Eropa yang menyebabkan tertogenitas. Ceritanya
BABE comparative ini oleh FDA untuk mengeliminasi masalah bio-inekuivalensi di antara satu
produk, makanya perlu sertifikasi batch.Caranya bagaimana?Tunjukkan aja data uji disoulsinya.
Tapi ternyata ada syarat lain yaitu produk digoxin harus disertai hasil uji BA comparative pakai
cross over design sebagai akibat yang tadi, beda batch meskipun masih satu pabrik
memungkinkan terjadi perbedaan profil BA yang signifikan. Di USA, jika terjadi perubahan
formulasi yang kecil tidak perlu melakukan uji BA apabila sudah memiliki data korelasi in vivoin

vitro

atau

SUPAC

(Skilll

up,

Push,

Approval,

Change).

DESKRIPSI DIGOXIN
Digoxin diperoleh dari daun tumbuhan digitalis (daun-daunan yang dipakai sebagai obat
memperkuat jantung).Digoxin membantu membuat detak jantung lebih kuat dan dengan irama
yang lebih teratur.Nama & Struktur Kimia : Sinonim : (3, 5 , 12 )-3-[(O-2,6-dideoxy- -Dribo- hexopyranosyl-(1?4)-O-2,6-dideoxy- - D-ribo-hexopyranosyl-(1?4)-2,6-dideoxy- -Dribo-exopyranosyl)oxy]-12,14-dihydroxy-card-20(22)-enolide. C41H64O14.sifat Fisikokimia :
Digoksin merupakan kristal putih tidak berbau. Obat ini praktis tidak larut dalam air dan dalam
eter, sedikit larut dalam alkohol dan dalam kloroform dan sangat larut dalam piridinKeterangan :
Digoksin adalah salah satu glikosida jantung (digitalis), suatu kelompok senyawa yang
mempunyai efek khusus pada miokardium.digoksin diekstraksi dari daunDigitalis lanata

Golongan/Kelas Terapi
Obat Kardiovaskuler
Nama DagangFaRgoxin - Lanoxin - Digoksin Sandoz
INDIKASI
Gagal jantung, aritmia supraventrikular (terutama atrial fibrilasi).Untuk payah jantung
kongestif, fibrilasi atrium, takikardia atrium proksimal dan flutter atrium.Untuk mengobati gagal
jantung kongestif, juga digunakan untuk mengobati fibrilasi atrial, gangguan irama jantung pada
atrium (serambi bagian atas jantung yang membiarkan darah mengalir ke jantung).
KONTRAINDIKASI
Intermittent complete heart block ; Blok AV derajat II ; supraventricular arrhytmias yang
disebabkan oleh Wolff-Parkinson-White Syndrome ; takikardia ventricular atau fibrilasi ;
hypertropic obstructive cardiomyopathy BlokAVtingkat 2dan blok AVtotal.
Aritmia supra ventrikular yang disebabkan sindroma Wolff - Parkinson - White.Fibrilasi
ventrikel.Hipersensitif terhadap digoksin dan penderita dengan riwayat intoleransi terhadap
preparat digitalis.
Dosis, Cara Pemberian dan Lama PemberianOral, untuk digitalisasi cepat, 1 1,5 mg
dalam dosis terbagi, bila tidak diperlukan cepat, 250500 mikrogram sehari (dosis yang lebih
tinggi harus dibagi).
Dosis pemeliharaan : 62,5 500 microgram sehari (dosis yang lebih tinggi harus dibagi).
disesuaikan dengan fungsi ginjal dan pada atrial fibrilasi , tergantung pada respon denyut
jantung; dosis pemeliharaan biasanya berkisar 125 250 mcg sehari (dosis yang lebih rendah
diberikan pada penderita lanjut usia). Pada kondisi emergensi, loading dose (dosis muatan)
diberikan secara infus intravena , 0,75 1 mg hingga paling sedikit 2 jam, kemudian dilanjutkan
dosis pemeliharaan melalui oral .
Dewasa:Dosis digitalisasi rata-rata 3-6 tablet sehari dalam dosis terbagi. Untuk
digitalisasi cepat dimulai 2 - 3 tablet, diikuti 1 -2 tablet tiap 6-8 jam sampai tercapai digitalisasi
penuh. Untuk digitalisasi lambat dan dosis penunjang 1/2-2 tablet sehari (1/2 - 1 tablet pada usia
lanjut),

tergantung

pada

berat

badan

dan

kecepatan

bersihan

kreatinin.

Dosis harus dikurangi pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal.


Anak-anak dibawah 10 tahun :025 mg/kg BB sehari dalam dosis tunggalatau terbagi.
PERINGATAN DAN PERHATIAN :
Dosis lebih rendah pada pasien dengan berat badan rendah.usia lanjut, hipokalemia dan
hipotiroid. Setelah pemberian selama 14 hari, dosis hams diturunkan dan disesuaikan dengan
respon pasien. Hati-hati pemberian pada ibu hamil dan menyusui.

Hati-hati pemberian pada penderita gagal jantung yang menyertai glomerulonefritis akut,
karditis berat, gangguan fungsi ginjal sedang sampai berat, hipokalsemia, hipomagnesemia,
aritmia atrium yang disebabkan keadaan hipermetabolik, penyakit nodus SA, Sindroma Wolff Parkinson - White, perikarditis konstriktif kronik, bayi neonatus dan bayi prematur. Blok AV
tidak lengkap pada pasien dengan serangan Stokes - Adams dapat berianjut menjadi Blok AV
lengkap.Jangan digunakan untuk terapi obesitas atau takikardia sinus, kecuali jika disertai gagal
jantung.
Digoksin dapat menimbulkan perubahan ST-T yang pgsitjf semu pada EKG selama
testlatihan.Anoreksia, mual, muntan dan aritmia dapat merupakan gejala penyerta gagal jantung
atau gejala-gejala keracunan digitalis.Bila timbul keracunan digitalis maka pemberian obat
digitalis dandiuretik dihentikan.
EFEK SAMPING
Biasanya berhubungan dengan dosis yang berlebih, termasuk : anoreksia, mual , muntah,
diare, nyeri abdomen, gangguan penglihatan, sakit kepala, rasa capek, mengantuk , bingung,
delirium, halusinasi, depresi ; aritmia, heart block ; jarang terjadi rash, isckemia intestinal ;
gynecomastia pada penggunaan jangka panjang , trombositopenia.
Dapat terjadi anoreksia, mual, muntah dan sakit kepala. Gejala toksik pada jantung :
kontraksi ventrikel prematur multiform atau unifocal,takikardia ventrikular, desosiasi AV, aritmia
sinus, takikardia atrium dengan berbagai derajat blokAV. Gejala neurologik : depresi, ngantuk,
rasa lemah, letargi, gelisah, vertigo, bingungdan halusinasi visual. Gangguan pada mata:
midriasis, fotofobia, dan berbagai gangguan visus.Ginekomastia, ruam kulit makulopopularatau
reaksikulit yang lain.
Efek samping lainya Biasanya berhubungan dengan dosis yang berlebih, termasuk :
anoreksia, mual , muntah, diare, nyeri abdomen, gangguan penglihatan, sakit kepala, rasa capek,
mengantuk , bingung, delirium, halusinasi, depresi ; aritmia, heart block ; jarang terjadi rash,
isckemia intestinal ; gynecomastia pada penggunaan jangka panjang , trombositopenia.
Efek samping biasanya dalam kaitan dengan keracunan Digoxin atau kelebihan dosis dan
biasanya Digoxin dapat diterima dengan baik apabila diberikan sesuai dengan dosis yang
direkomendasikan untuk gagal jantung kongestif (CHF).
Keracunan Digoxin: Efek GI (N/V, anoreksia, diare, sakit di bagian perut) biasanya
merupakan tanda-tanda pertama dari keracunan Digoxin; Tanda-tanda lain dari keracunan
Digoxin: Efek CNS (sakit kepala, kelelahan, sakit di bagian wajah, kelemahan, kepeningan,
kebingungan mental); Gangguan penglihatan (mengaburkan penglihatan, gangguan warna);

Racun bisa menyebabkan efek CV yang serius (memperburuk gagal jantung (HF), arrhythmias,
ditemukan adanya konduksi).Hipokalemia bisa mempengaruhi seseorang pada keracunan
Digoxin. Reaksi hipersensitif yang agak jarang terjadi.
INSTRUKSI KHUSUS:
Dosis rendah Digoxin (62.5 mcg/hari atau 125 mcg setiap hari lainnya) harus
digunakan pada orang yang lebih tua, pasien dengan kerusakan fungsi ginjal atau
pasien dengan massa tubuh rendah (kurus).
Dosis muatan tidak diperlukan pada pasien gagal jantung kongestif (CHF).
Hindari pada pasien dengan kardiomiopati obstruktif kecuali jika ada gagal jantung
akut,

pada

pasien

dengan

sindrom

Wolff-Parkinson-White

(WPW);

tidak

boleh

digunakan untuk ventricular arrhythmias.


Gunakan dengan hati-hati pada kasus hambatan jantung parsial, gangguan batang sinus,
miokarditis akut, MI (myocardial infarction) akut, gagal jantung parah, penyakit pulmonary akut,
pada pasien yang menjalani cardioversion (pertimbangkan menghentikan cardioversion dalam
waktu 1-2 hari sebelum prosedur dilakukan) dan dengan obat-obatan lain yang bisa menekan
fungsi sinus dan fungsi AV nodal (misalnya, Amiodarone atau beta-blocker).
Hipokalemia, hiperkalemia, hipomagnesemia, hipoksia, dan hipertiroidisme bisa
mempengaruhi sensitivitas terhadap digoxin.Pengawasan tingkat digoxin hanya diperlukan jika
diduga terjadi keracunan.
FARMAKOLOGI
Merupakan prototipe glikosida jantung yang berasal dari Digitalis lanata. Mekanisme
Digoksin melalui 2 cara yaitu efek langsung dan efek tidak langsung. Efek langsung yaitu
meningkatkan kekuatan kontraki otot jantung (efek inotropik positif). Hal ini terjadi berdasarkan
penghambatan enzim Na+,K+ -ATPase dan peningkatan arus masuk ion kalsium ke inta sel. Efek
tidak langsung yaitu pengaruh digoksin terhadap aktivitas saraf otonom dan sensitivitas jantung
terhadap neorotransmiter.
FARMAKODINAMIK/FARMAKOKINETIK
Onset of action (waktu onset) : oral : 1-2 jam; IV : 5-30 menit. Peak effect (waktu efek
puncak) : oral : 2-8 jam; IV : 1-4 jam
DURASI :
dewasa : 3-4 hari pada kedua sediaan

Absorpsi

:melalui

menyebabkan

difusi

absorpsi

pasif

mengalami

pada

usus

penundaan

halus

bagian

(delay),

tetapi

atas,
tidak

makanan

dapat

mempengaruhi

jumlah yang diabsorpsi.


Distribusi :
Fungsi ginjal normal : 6-7 L/kg
Gagal ginjal kronik : 4-6 L/kg
Anak-anak : 16 L/kg
Dewasa : 7 L/kg menurun bila terdapat gangguan ginjal
Ikatan obat dengan protein (protein binding) : 30%
Metabolisme : melalui sequential sugar hydrolysis dalam lambung atau melalui reduksi
cincin akton oleh bakteri di intestinal , metabolisme diturunkan dengan adanya gagal
jantung kongestif
Bioavailabilitas:
T eliminasi (half-life elimination) berdasarkan umur, fungsi ginjal dan jantung:
T eliminasi (half-life elimination): parent drug (obat asal ): 38 jam; metabolit:
digoxigenin: 4 jam ; monodigitoxoside : 3 12 jam
Waktu untuk mencapai kadar puncak, serum: oral ~ 1 jam
Ekskresi : urin (50% hingga 70% dalam bentuk obat yang tidak berubah )
Konsentrasi serum digoksin :
Gagal jantung kongestif : 0,5 -0,8 ng/ml .Aritmia : 0,8-2 ng/ml
Dewasa :< 0,5 ng/ml, kemungkinan menunjukkan underdigitalization, kecuali jika terdapat
hal-hal khusus Toksik > 2,5 ng/ml
MEKANISME KERJA OBAT
mekanisme kerja
Gagal jantung kongestif: menghambat pompa Na/K ATP0-ase yang bekerja dengan
meningkatkan pertukaran natrium-kalsium intraselular sehingga meningkatkan kadar kalsium
intraseluler dan meningkatkan kontraktilitas. Aritmia supraentrikular : Secara langsung menekan
konduksi AV node sehingga meningkatkan periode refractory efektif dan menurunkan konduksi
kecepatn - efek inotropik positif, meningkatkan vagal tone, dan menurunkan dan menurunkan
kecepatan ventrikular dan aritmia atrial. Atrial fibrilasi dapat menurunkan sensitifitas dan
meningkatkan toleransi pada serum konsentrasi digoksin yang lebih tinggi.Digoksin merupakan
prototipe glikosida jantung yang berasal dari Digitalis lanata.
Mekanisme kerja digoksin melalui 2 cara, yaitu efek langsung dan tidaklangsung. Efek
langsung yaitu meningkatkan kekuatan kontraksi otot jantung (efek inotropik positif). Hal ini
terjadi berdasarkan penghambatan enzim Na+, K+ -ATPasedan peningkatan arus masuk

ionkalsium keintra sel. Efektidak langsung yaitu pengaruh digoksin terhadap aktivitas saraf
otonom dan sensitivitas jantung terhadap neurotransmiter.
Mekanisme Aksi
Gagal jantung kongestif: menghambat pompa Na/K ATP0-ase yang bekerja dengan
meningkatkan pertukaran natrium-kalsium intraselular sehingga meningkatkan kadar kalsium
intraseluler dan meningkatkan kontraktilitas. Aritmia supraentrikular : Secara langsung menekan
konduksi AV node sehingga meningkatkan periode refractory efektif dan menurunkan konduksi
kecepatn - efek inotropik positif, meningkatkan vagal tone, dan menurunkan dan menurunkan
kecepatan ventrikular dan aritmia atrial. Atrial fibrilasi dapat menurunkan sensitifitas dan
meningkatkan toleransi pada serum konsentrasi digoksin yang lebih tinggi.
MONITORING PENGGUNAAN OBAT
Kapan mengukur konsentrasi serum digoksin : konsentrasi serum digoksin harus
dimonitor karena digoksin mempunyai rentang terapi yang sempit ; endpoint therapy sukar
ditentukan dan toksisitas digoksin dapat mengancam jiwa. Kadar serum digoksin harus diukur
sedikitnya 4 jam setelah pemberian dosis intravena dan sedikitnya 6 jam setelah pemberian dosis
oral (optimal 12 24 jam setelah pemberian). Terapi awal (inisiasi): Jika loading dose diberikan:
konsentrasi serum digoksin diukur dalam 12 24 jam sesudah pemberian loading dose awal.
Kadar yang terukur menunjukkan hubungan kadar plasma digoksin dan respon. Jika loading dose
tidak diberikan : konsentrasi serum digoksin ditentukan setelah 3 5 hari terapi. Terapi
pemeliharaan (maintenance ):Konsentrasi harus diukur minimal 4 jam setelah dosis IV dan
paling sedikit 6 jam setelah dosis oral.Konsentrasi serum digoxin harus diukur dalam 5-7
hari(rata-rata waktu steady state) setelah mengalami perubahan dosis. Pemeriksaan dilanjutkan 7
14 hari setelah perubahan ke dalam dosis pemeliharaan (maintenance)
Catatan : pada pasien dengan end-stage renal disease (gagal ginjal terminal) diperlukan
waktu 15 20 hari untuk mencapai steady state. Sebagai tambahan pasien yang menerima obatobat yang dapat menurunkan kalium seperti diuretik, harus dimonitor kadar kalium, magnesium
dan kalsium. Konsentrasi serum digoksin harus diukur jika terdapat kondisi berikut : Apabila
meragukan kepatuhan pasien atau mengevaluasi timbulnya respon klinik yang jelek pada
pengobatan awal.
INTERAKSI OBAT

Kuinidin, verapamil, amiodarondan propafenon dapat meningkatkan kadar digitalis.


Diuretik, kortikosteroid, dapat menimbulkan hipokalemia, sehingga mudah terjadi intoksikasi
digitalis.Antibiotik tertentu menginaktivasi digoksin melalui metabolisme bakterial di usus
bagian bawah.Propantelin, difenoksilat, meningkatkan absorpsi digoksin.Antasida, kaolin-peptin,
sulfasalazin,

neomisina,

kolestiramin,

beberapa

obat

kanker,

menghambat

absorpsi

digoksin.Simpatomimetik, meningkatkan resiko aritmia. Beta - bloker, kalsium antagonis,


berefek aditif dalam penghambatan konduksiAV.
Interaksi dengan obat-obat berikut dilaporkan menunjukkan signifikansi klinik
aminoglutetimid, asam aminosalisilat, antasida yang mengandung alumunium, sukralfat,
sulfasalazin, neomycin, ticlopidin.
Dengan Obat Lain :Efek Cytochrome P450: substrat CYP3A4 (minor):Meningkatkan
efek/toksisitas : senyawa beta-blocking (propanolol), verapamil dan diltiazem mempunyai efek
aditif pada denyut jantung. Karvedilol mempunyai efek tambahan pada denyut jantung dan
menghambat metabolisme digoksin. Kadar digoksin ditingkatkan oleh amiodaron (dosis digoksin
diturunkan 50 %), bepridil, siklosporin, diltiazem, indometasin, itrakonazol, beberapa makrolida
(eritromisin, klaritromisin), metimazol, nitrendipin, propafenon, propiltiourasil, kuinidin dosis
digoksin diturunkan 33 % hingga 50 % pada pengobatan awal), tetrasiklin dan verapamil.
Moricizine dapat meningkatkan toksisitas digoksin . Spironolakton dapat mempengaruhi
pemeriksaan digoksin, namun juga dapat meningkatkan kadar digoksin secara langsung.
Pemberian suksinilkolin pada pasien bersamaan dengan digoksindihubungkan dengan
peningkatan risiko aritmia.Jarang terjadi kasus toksisitas akut digoksin yang berhubungan
dengan pemberian kalsium secara parenteral (bolus). Obat-obat berikut dihubungkan dengan
peningkatan kadar darah digoksin yang menunjukkan signifikansi klinik : famciclovir, flecainid,
ibuprofen, fluoxetin, nefazodone, simetidein, famotidin, ranitidin, omeprazoe, trimethoprim.
Menurunkan efek: Amilorid dan spironolakton dapat menurunkan respon inotropik
digoksin. Kolestiramin, kolestipol, kaolin-pektin, dan metoklopramid dapat menurunkan absorpsi
digoksin. Levothyroxine (dan suplemen tiroid yang lain) dapat menurunkan kadar digoksin
dalam darah. Penicillamine dihubungkan dengan penurunan kadar digoxin dalam darah.
Interaksi dengan obat-obat berikut dilaporkan menunjukkan signifikansi klinik
aminoglutetimid, asam aminosalisilat, antasida yang mengandung alumunium, sukralfat,
sulfasalazin, neomycin, ticlopidin.
INTERAKSI MAKANAN DENGAN DIGOXIN
a. Gambaran Umum

Digoxin adalah suatu obat diperoleh dari foxglove [tumbuhan], Digitalis lanata.Digoxin
digunakan terutama untuk meningkatkan kemampuan memompa (kemampuan kontraksi) jantung
dalam keadaan kegagalan jantung/congestive heart failure (CHF). Obat ini juga digunakan untuk
membantu menormalkan beberapa dysrhythmias ( jenis abnormal denyut jantung). Obat ini
termasuk obat dengan TherapeuticWindow sempit (jarak antara MTC [Minimum Toxic
Concentration] dan MEC [Minimum Effectiv Concentration] mempunyai jarak yang sempit.
Artinya rentang antara kadar dalam darah yang dapat menimbulkan efek terapi dan yang dapat
menimbulkan efek toksik sempit. Sehingga kadar obat dalam plasma harus tepat agar tidak
melebihi batas MTC yang dapat menimbulkan efek toxic/keracunan). Efek samping pada
pemakaian dosis tinggi, gangguan susunan syaraf pusat: bingung, tidak nafsu makan,
disorientasi, gangguan saluran cerna: mual, muntah dan gangguan ritme jantung. Reaksi alergi
kulit seperti gatal-gatal, biduran dan juga terjadinya ginekomastia (jarang) yaitu membesarnya
payudara pria)mungkin terjadi.
b. Mekanisme Kerja Digoksin
Mekanisme kerja digoxin yaitu dengan menghambat pompa Na-K ATPase yang
menghasilkan peningkatan sodium intracellular yang menyebabkan lemahnya pertukaran
sodim/kalium dan meningkatkan kalsium intracellular.Hal tersebut dapat mningkatkan
penyimpanan kalsium intrasellular di sarcoplasmic reticulum pada otot jantung, dan dapat
meningkatkan cadangan kalsium untuk memperkuat /meningkatkan kontraksi otot. Digoxin juga
dapat dapat menimbulkan vagally mediated slowing of AV conduction dan meningkatkan atrial
ventricular

block.

Half

life

digoxin

adalah

30-50

jam.

Pasien dengan hipokalemi, second-degree AV block, third-degree AV block, dan pasien dengan
atrial fibrillation dan juga yang menderita penyakit Wolfe-Parkinson-White syndrome sebaiknya
tidak diberikan digoxin. Digoxin diekskresi melalui ginjal, oleh karena itu, pasien dengan renal
insufficiency perlu dimonitor secara ketat.
c. Interaksi Makanan dengan Digoksin dan Reaksinya Terhadap Pengobatan
Secara umum, makanan akan berpengaruh terhadap absorbsi

digoxin.

Absorbsi digoxin yang paling baik pada pada sediaan retikulum zat hidro-alkoholik seperti
minuman (beverage).Absorbsi dogoxin dihambat karena adanya makanan dalam saluran cerna,
melambatnya pengosongan lambung dan adanya sindroma malabsorbsi.
Kadar serum puncak digoksin dapt diturunkan jika digunakan bersama dengan makanan.
Makanan yang mengandung serat (fiber) atau makanan yang kaya akan pektin menurunkan

absorpsi oral digoksin.Hindari ephedra (risiko stimulasi kardiak),Hindari natural licorice


(menyebabkan retensi air dan natrium dan meningkatkanhilangnya kalium dalam tubuh)
1. Interaksi Digoxin dengan suplemen Magnesium (Mg)
Penggunaan Digoxin dapat menurunkan Mg intraseluler dan meningkatkan pengeluaran Mg
dari tubuh melalui urin. Pemberian suplemen Mg akan sangat menguntungkan. Dianjurkan
konsumsi Mg adalah 30-500 mg per hari.Dari makanan, juga dapat ditingkatkan
konsumsinya (tanpa melalui suplemen Mg). Sumber utama Mg adalah sayuran hijau, serealia
tumbuk, biji-bijian dan kacang-kacangan, daging, coklat, susu dan hasil olahannya.
2. Interaksi Digoxin dengan Potassium (Kalium)
Digoxin mengganggu transport potassium dari darah menuju sel sehingga Digoxin pada dosis
yang cukup tinggi dapat menyebabkan hiperkalemia fatal. Oleh karenanya pada saat
mengkonsumsi/menggunakan Digoxin, hindari konsumsi suplemen potassium atau makanan
yang mengandung potassium dalam jumlah besar seperti buah (pisang).Sumber utama
potassium adalah buah, sayuran dan kacang-kacangan.Namun banyak orang mengkonsumsi
digoxin menyebabkan diuretic.Pada kasus tersaebut, peningkatan intake potassium
dibutuhkan. Oleh karenanya harus dikomunikasikan dengan tim kesehatan yang lain.
3. Interaksi Digoxin dengan Calcium(Ca)
Peningkatan Ca dalam plasma dapat meningkatakan toksisitas digoxin. Oleh karenanya,
hindari konsumsi makanan tinggi Ca terutama 2 jam sebelum/sesudah minum obat ini.
Sumber utama Ca adalah susu dan hasil olahannya seperti keju.
4. Interaksi digooksin dengan Makanan Berserat
Serat larut air dalam makanan dapat menurunkan absorbsi digoxin.
5. Interaksi makanan dengan Herb (tanaman/jamu)
a. Ginseng : mekanisma belum jelas, namun penggunaan bersama menyebabkan
Digoxin kurang berfungsi
b. Teh Jawa : menyebabkan diuretik, jika dikonsumi dalam jumlah besar mengakibatkan
kehilangan potassium melalui urin.
c. GFJ : menginduksi P.Glikogen transporter obat dan menurunkan AUC Digoxin.
Beberapa obat dan makanan yang dapat menurunkan absorbsi Digoxin dalam tubuh:
Antacid yang mengandung Aluminium atau Magnesium.
Beberapa obat yang menurunkan kolesterol (Cholestyramine [Prevalite Questran] dan

Colestipol [Colestid]).
Metaclopramide (Maxolon, Octamide PFS, Regulan)
Sulfasalazine (Azulfidine)
Beberapa obat antidiare yang mengandung kaolindan pectin
Bulk laxatives (seperti psyllium, Metamucil atau Citrucel)
Makanan tinggi serat (sepert Bran Muffin) atau suplemen (seperti Ensure)

Jika menggunakan beberapa obat diatas atau mengkonsumsi makanan tinggi serat
bersamaan

dengan

Digoxin

maka

Digoxin

tidak

bisa

bekerja

sewcara

optimal.Menggunakan Digoxin juga harus menghindari konsumsi Black Licorice (yang


mengandung glcyrhizin). Jika dikonsumsi bersama akan lebih mempercepat kontraksi
jantung.
d. Cara Mengatasi Keracunan
Untuk mengatasi keadaan keracunan biasanya dokter memberikan KSR untuk mencegah
terjadinya penurunan kadar kalium dalam darah (hipokalemia). Keadaan hipokalemia
akan meningkatkan kepekaan sel-sel otot jantung terhadap digoxin sehingga akan
meningkatkan toksisitas digoksin. Oleh karena itu pasien juga harus dikontrol
makanannya terutama yang mengandung kalium dengan pengawasan yang tepat.
PENGARUH
a. Terhadap Kehamilan : Faktor risiko : C . Tidak diketahui apakah digoksin dapat
membahayakan fetus jika diberikan pada wanita hamil atau mempengaruhi kapasitas
reproduktif. Pemberian digoksin pada wanita hamil hanya jika memang benar
diperlukandan hanya jika keuntungan pada ibu lebih besar daripada resiko yang
ditimbulkan pada fetus.Literatur dari BNF 50 menyebutkan diperlukan penyesuaian
dosis.
b. Terhadap Ibu Menyusui : Hanya sedikit terdapat dalam air susu. Masuk dalam air susu
ibu (dalam jumlah sedikit)/compatible.
c. Terhadap Anak-anak : Bayi yg baru lahir menunjukkan adanya toleransi yg bervariasi
terhadap digoksin. Bayi prematur dan immatur biasanya sensitif terhadap efek digoksin,
dan dosis obat tidak hanya diturunkan tapi harus dosis individualisasi sesuai dgn tingkat
maturitasnya.
Parameter Monitoring
Konsentrasi
serum

digoksin,

denyut

jantung,

EKG,

fungsi

ginjal

Peringatan
Infark jantung baru ; sick sinus syndrome; penyakit tiroid ; dosis dikurangi pada
penderita lanjut usia ; hindari hipokalemia ; hindari pemberian intravena secara cepat (mual
dan risiko arimia); kerusakan ginjal ; kehamilanInformasi Pasien
Jumlah dan frekuensi penggunaan obat tergantung dari beberapa faktor, seperti kondisi
pasien, umur dan berat badan.Bila anda mempunyai pertanyaan yang berkaitan dengan jumlah

dan/ frekuensi pemakaian obat tanyakan pada apoteker atau dokter. Obat ini harus digunakan
secara teratur, biasanya pada waktu yang sama tiap hari dan biasanya pada pagi hari. Dapat
digunakan tanpa makanan.Diperlukan jumlah kalium yang cukup pada dietnya untuk
menurunkan risiko hipokalemia (hipokalemia dapat meningkatkan risiko toksisitas
digoksin).Tes

laboratorium

diperlukan

untuk

memonitor

terapi.Pastikan

hal

ini

dilakukan.Jangan menggunakan OTC seperti antasida, obat batuk, obat influenza, alergi
kecuali atas petunjuk dokter atau apoteker.Jangan menghentikan pemakaian obat ini tanpa
berkonsultasi dengan dokter.Jangan menggunakan obat melebihi jumlah yang telah diresepkan,
kecuali atas anjuran dokter.Kondisi medis awal pasien harus diceritakan pada petugas
kesehatan sebelum menggunakan obat ini. Jangan menggunakan OTC atau obat resep yang lain
tanpa memberitahu dokter yang merawat Jika pasien lupa minum obat, segera mungkin minum
obat setelah ingat. Jika terlewat beberapa jam dan telah mendekati waktu minum obat
berikutnya jangan minum obat dengan dosis ganda, kecuali atas saran dari tenaga kesehatan.
Jika lebih dari satu kali dosis terlewat, hubungi dokter atau apoteker .Obat ini hanya digunakan
oleh pasien yang mendapat resep. Jangan diberikan pada orang lain.
Perubahan fungsi
Dugaan toksisitas digoksin : Pada permulaan pengobatan atau keputusan menghentikan
terapi dengan obat (amiodaron, kuinidin, verapamil) yang mana berinteraksi dengan digoksin;
jika terapi bersama quinidin dimulai, kadar digoxin harus diukur dalam 24 jam pertama
sesudah mulai terapi dengan quinidin, kemudian sesudah 7 14 hari.Adanya perubahan
penyakit (hypothyroidism).Denyut dan ritme dimonitor melalui pemeriksaan secara periodik
EKG untuk menilai baik efek terapi maupun tanda-tanda toksisitas Monitoring dengan ketat
( terutama pasien yang menerima diuretik atau amphotericin) terhadap penurunan kadar kalium
dan magnesium dan peningkatan kalsium , hal-hal tersebut merupakan pemicu toksisitas
digoksin. Ukur fungsi ginjal.Perhatikan interaksi obat.Obervasi pasien terhadap tanda-tanda
toksisitas nonkardiak, kebingungan dan depresi.

ASETAMINOFEN
Pengertian

Parasetamol (asetaminofen) merupakan obat analgetik non narkotik dengan cara


kerja menghambat sintesis prostaglandin terutama di Sistem Syaraf Pusat (SSP) .
Parasetamol digunakan secara luas di berbagai negara baik dalam bentuk sediaan tunggal
sebagai analgetik-antipiretik maupun kombinasi dengan obat lain dalam sediaan obat flu,
melalui resep dokter atau yang dijual bebas. (Lusiana Darsono 2002)
Parasetamol adalah paraaminofenol yang merupakan metabolit fenasetin dan telah
digunakan sejak tahun 1893 (Wilmana, 1995). Parasetamol (asetaminofen) mempunyai daya
kerja analgetik, antipiretik, tidak mempunyai daya kerja anti radang dan tidak menyebabkan
iritasi serta peradangan lambung (Sartono,1993).
Hal ini disebabkan Parasetamol bekerja pada tempat yang tidak terdapat peroksid
sedangkan pada tempat inflamasi terdapat lekosit yang melepaskan peroksid sehingga efek
anti inflamasinya tidak bermakna. Parasetamol berguna untuk nyeri ringan sampai sedang,
seperti nyeri kepala, mialgia, nyeri paska melahirkan dan keadaan lain (Katzung, 2011).
Parasetamol, mempunyai daya kerja analgetik dan antipiretik sama dengan asetosal,
meskipun secara kimia tidak berkaitan. Tidak seperti Asetosal, Parasetamol tidak
mempunyai daya kerja antiradang, dan tidak menimbulkan iritasi dan pendarahan lambung.
Sebagai obat antipiretika, dapat digunakan baik Asetosal, Salsilamid maupun Parasetamol.
Diantara ketiga obat tersebut, Parasetamol mempunyai efek samping yang paling
ringan dan aman untuk anak-anak. Untuk anak-anak di bawah umur dua tahun sebaiknya
digunakan Parasetamol, kecuali ada pertimbangan khusus lainnya dari dokter. Dari
penelitian pada anak-anak dapat diketahui bahawa kombinasi Asetosal dengan Parasetamol
bekerja lebih efektif terhadap demam daripada jika diberikan sendiri-sendiri. (Sartono 1996)
Sejarah Parasetamol
Pada tahun 1946, Lembaga Studi Analgetik dan obat-obatan sedative telah memberi
bantuan kepada Departemen Kesehatan New York untuk mengkaji masalah yang berkaitan
dengan agen analgetik. Bernard Brodie dan Julius Axelrod telah ditugaskan untuk mengkaji
mengapa agen bukan aspirin dikaitkan dengan adanya methemoglobinemia, sejenis keadaan
darah tidak berbahaya.(Yulida.A.N. 2009)
Di dalam tulisan mereka pada 1948, Brodie dan Axelrod mengaitkan penggunaan
asetanilida dengan methemoglobinemia, dan mendapati pengaruh analgetik asetanilida
adalah disebabkan metabolit Parasetamol aktif. Mereka membela penggunaan Parasetamol

karena memandang bahan kimia ini tidak mengahasilkan racun asetanilida.(Yulida.A.N.


2009)
Derivat- asetanilida ini adalah metabolit dari fenasetin, yang dahulu banyak
digunakan sebagai analgetik, tetapi pada tahun 1978 telah ditarik dari peredaran karena efek
sampingnya (nefrotoksisitas dan karsinogen). Khasiatnya analgetik dan antipiretik, tetapi
tidak antiradang. Dewasa ini pada umumnya dianggap sebagai zat antinyeri yang paling
aman, juga untuk swamedikasi(pengobatan mandiri). Efek analgetiknya diperkuat oleh
kafein dengan kira-kira 50% dan kodein. Resorpsinya dari usus cepat dan praktis tuntas,
secara rectal lebih lambat. Efek samping tak jarang terjadi, antara lain reaksi
hipersensitivitas dan kelainan darah. (Yulida.A.N. 2009)
Overdosis bisa menimbulkan mual, muntah dan anoreksia. Penanggulangannya
dengan cuci lambung, juga perlu diberikan zat-zat penawar (asam amino N-asetilsistein atau
metionin) sedini mungkin, sebaiknya dalam 8-10 jam setelah intoksikasi. Wanita hamil dapat
menggunakan Parasetamol dengan aman, juga selama laktasi walaupun mencapai air susu
ibu. Interaksi pada dosis tinggi memperkuat efek antikoagulansia, dan pada dosis biasa tidak
interaktif.(Tjay, 2002)
Struktur Kimia Parasetamol

Sifat Zat Berkhasiat


Menurut Dirjen POM. (1995), sifat-sifat Parasetamol adalah sebagai berikut:
Sinonim : 4-Hidroksiasetanilida
Berat Molekul : 151.16
Rumus Empiris : C8H9NO2.
Sifat Fisika
Pemerian : Serbuk hablur, putih, tidak berbau, rasa sedikit pahit.
Kelarutan : larut dalam air mendidih dan dalam NaOH 1N; mudah larut dalam etanol.

Jarak lebur : Antara 168 dan 172.


Farmakokinetik
Parasetamol cepat diabsorbsi dari saluran pencernaan, dengan kadar serum puncak dicapai
dalam 30-60 menit. Waktu paruh kira-kira 2 jam. Metabolisme di hati, sekitar 3 % diekskresi
dalam bentuk tidak berubah melalui urin dan 80-90 % dikonjugasi dengan asam glukoronik
atau asam sulfurik kemudian diekskresi melalui urin dalam satu hari pertama; sebagian
dihidroksilasi menjadi N asetil benzokuinon yang sangat reaktif dan berpotensi menjadi
metabolit berbahaya. Pada dosis normal bereaksi dengan gugus sulfhidril dari glutation
menjadi substansi nontoksik. Pada dosis besar akan berikatan dengan sulfhidril dari protein
hati.(Lusiana Darsono 2002)

Farmakodinamik
Efek analgesik Parasetamol dan Fenasetin serupa dengan Salisilat yaitu menghilangkan atau
mengurangi nyeri ringan sampai sedang. Keduanya menurunkan suhu tubuh dengan
mekanisme yang diduga juga berdasarkan efek sentral seperti salisilat.
Efek anti-inflamasinya sangat lemah, oleh karena itu Parasetamol dan Fenasetin tidak
digunakan

sebagai

antireumatik.

Parasetamol

merupakan

penghambat

biosintesis

prostaglandin (PG) yang lemah. Efek iritasi, erosi dan perdarahan lambung tidak terlihat

pada kedua obat ini, demikian juga gangguan pernapasan dan keseimbangan asam basa.
(Mahar Mardjono 1971)
Semua obat analgetik non opioid bekerja melalui penghambatan siklooksigenase.
Parasetamol menghambat siklooksigenase sehingga konversi asam arakhidonat menjadi
prostaglandin terganggu. Setiap obat menghambat siklooksigenase secara berbeda.
Parasetamol menghambat siklooksigenase pusat lebih kuat dari pada aspirin, inilah yang
menyebabkan Parasetamol menjadi obat antipiretik yang kuat melalui efek pada pusat
pengaturan panas. Parasetamol hanya mempunyai efek ringan pada siklooksigenase perifer.
Inilah yang menyebabkan Parasetamol hanya menghilangkan atau mengurangi rasa nyeri
ringan sampai sedang. Parasetamol tidak mempengaruhi nyeri yang ditimbulkan efek
langsung prostaglandin, ini menunjukkan bahwa parasetamol menghambat sintesa
prostaglandin dan bukan blokade langsung prostaglandin. Obat ini menekan efek zat pirogen
endogen dengan menghambat sintesa prostaglandin, tetapi demam yang ditimbulkan akibat
pemberian prostaglandin tidak dipengaruhi, demikian pula peningkatan suhu oleh sebab lain,
seperti latihan fisik. (Aris 2009)
Indikasi
Parasetamol merupakan pilihan lini pertama bagi penanganan demam dan nyeri sebagai
antipiretik dan analgetik. Parasetamol digunakan bagi nyeri yang ringan sampai sedang.
(Cranswick 2000)
Kontra Indikasi
Penderita gangguan fungsi hati yang berat dan penderita hipersensitif terhadap obat ini.
(Yulida 2009)
Sediaan dan Posologi
Parasetamol tersedi sebagai obat tunggal, berbentuk tablet 500mg atau sirup yang
mengandung 120mg/5ml. Selain itu Parasetamol terdapat sebagai sediaan kombinasi tetap,
dalam bentuk tablet maupun cairan.
Dosis Paracetamol
Dosis Parasetamol untuk dewasa 300mg-1g per kali, dengan maksimum 4g per hari, untuk
anak 6-12 tahun: 150-300 mg/kali, dengan maksimum 1,2g/hari. Untuk anak 1-6 tahun:
60mg/kali, pada keduanya diberikan maksimum 6 kali sehari. .(Mahar Mardjono 1971)
Efek Samping

Reaksi alergi terhadap derivate para-aminofenol jarang terjadi. Manifestasinya berupa eritem
atau urtikaria dan gejala yang lebih berat berupa demam dan lesi pada mukosa.
Fenasetin dapat menyebabkan anemia hemolitik, terutama pada pemakaian kronik. Anemia
hemolitik dapat terjadi berdasarkan mekanisme autoimmune, defisiensi enzim G6PD dan
adanya metabolit yang abnormal.
Methemoglobinemia dan Sulfhemoglobinemia jarng menimbulkan masalah pada dosis
terapi, karena hanya kira-kira 1-3% Hb diubah menjadi met-Hb. Methemoglobinemia baru
merupakan masalah pada takar lajak.
Insidens nefropati analgesik berbanding lurus dengan penggunaan Fenasetin. Tetapi karena
Fenasetin jarang digunakan sebagai obat tunggal, hubungan sebab akibat sukar disimpulkan.
Eksperimen pada hewan coba menunjukkan bahwa gangguan ginjal lebih mudah terjadi
akibat Asetosal daripada Fenasetin. Penggunaan semua jenis analgesik dosis besar secara
menahun terutama dalam kombinasi dapat menyebabkan nefropati analgetik.
Mekanisme Toksisitas
Pada dosis terapi, salah satu metabolit Parasetamol bersifat hepatotoksik,
didetoksifikasi oleh glutation membentuk asam merkapturi yang bersifat non toksik dan
diekskresikan melalui urin, tetapi pada dosis berlebih produksi metabolit hepatotoksik
meningkat melebihi kemampuan glutation untuk mendetoksifikasi, sehingga metabolit
tersebut bereaksi dengan sel-sel hepar dan timbulah nekrosis sentro-lobuler. Oleh karena itu
pada penanggulangan keracunan Parasetamol terapi ditujukan untuk menstimulasi sintesa
glutation. Dengan proses yang sama Parasetamol juga bersifat nefrotoksik.
Dosis Toksik
Parasetamol dosis 140 mg/kg pada anak-anak dan 6 gram pada orang dewasa berpotensi
hepatotoksik. Dosis 4g pada anak-anak dan 15g pada dewasa dapat menyebabkan
hepatotoksitas berat sehingga terjadi nekrosis sentrolobuler hati. Dosis lebih dari 20g
bersifat fatal. Pada alkoholisme, penderita yang mengkonsumsi obat-obat yang menginduksi
enzim hati, kerusakan hati lebih berat, hepatotoksik meningkat karena produksi metabolit
meningkat.
Gambaran Klinis
Gejala keracunan parasetamol dapat dibedakan atas 4 stadium :
a. Stadium I (0-24 jam)

Asimptomatis atau gangguan sistem pencernaan berupa mual, muntah, pucat, berkeringat.
Pada anak-anak lebih sering terjadi muntah-muntah tanpa berkeringat.
b. Stadium II (24-48 jam)
Peningkatan SGOT-SGPT. Gejala sistim pencernaan menghilang dan muncul ikterus,
nyeri perut kanan atas, meningkatnya bilirubin dan waktu protombin. Terjadi pula
gangguan faal ginjal berupa oliguria, disuria, hematuria atau proteinuria.
c. Stadium III ( 72 - 96 jam )
Merupakan puncak gangguan faal hati, mual dan muntah muncul kembali, ikterus dan
terjadi penurunan kesadaran, ensefalopati hepatikum.
d. Stadium IV ( 7- 10 hari)
Terjadi proses penyembuhan, tetapi jika kerusakan hati luas dan progresif dapat terjadi
sepsis, Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) dan kematian. (Lusiana Darsono
2002)
Diagnosis
Ditegakkan berdasarkan :
a. Adanya riwayat penggunaan obat.
b. Uji kualitatif: sampel diambil dari urin, isi lambung atau residu di tempat kejadian.
Caranya: 0,5ml sampael + 0,5ml HCL pekat, didihkan kemudian dinginkan,
tambahkan 1ml larutan O-Kresol pada 0,2ml hidrolisat, tambahkan 2ml larutan
ammonium hidroksida dan aduk 5 menit, hasil positip timbul warna biru dengan
cepat. Uji ini sangat sensitive
c. Kuantitatif:
Kadar dalam plasma diperiksa dalam 4 jam setelah paparan dan dapat dibuat
normogram untuk memperkirakan beratnya paparan.
d. Pemeriksaan laboratorium:
Elektrolit, glukosa, BUN, kreatinin, transaminase hati dan prothrombin time.
Penanganan
a. Dekontaminasi
Sebelum ke Rumah Sakit:
Dapat diberikan karbon aktif atau sirup ipekak untuk menginduksi muntah pada
anak-anak dengan waktu paparan 30 menit.

Rumah Sakit:
Pemberian karbon aktif, jika terjadi penurunan kesadaran karbon aktif diberikan
melalui pipa nasogastrik. Jika dipilih pemberian metionin sebagai antidotum untuk
menstimulasi glutation, karbon aktif tidak boleh diberikan karena akan mengikat dan
menghambat metionin.
b. Antidotum

N-asetilsistein merupakan antidotum terpilih untuk keracunan Parasetamol. Nasetil-sistein bekerja mensubstitusi glutation, meningkatkan sintesis glutation dan
mening-katkan konjugasi sulfat pada parasetamol. N-asetilsistein sangat efektif
bila diberikan segera 8-10 jam yaitu sebelum terjadi akumulasi metabolit.

Methionin per oral, suatu antidotum yang efektif, sangat aman dan murah tetapi
absorbsi lebih lambat dibandingkan dengan N asetilsistein

Dosis - Cara pemberian N-asetilsistein


1. Bolus 150 mg /KBB dalam 200 ml dextrose 5 % : secara perlahan selama 15 menit,
dilanjutkan 50 mg/KBB dalam 500 ml dextrose 5 % selama 4 jam, kemudian 100
mg/KBB dalam 1000 ml dextrose melalui IV perlahan selama 16 jam berikut.
2. Oral atau pipa nasogatrik
Dosis awal 140 mg/ kgBB 4 jam kemudian, diberi dosis pemeliharaan 70 mg / kg BB
setiap 4jam sebanyak 17 dosis. Pemberian secara oral dapat menyebabkan mual dan
muntah. Jika muntah dapat diberikan metoklopropamid ( 60-70 mg IV pada dewasa ).
Larutan N-asetilsistein dapat dilarutkan dalam larutan 5% jus atau air dan diberikan
sebagai cairan yang dingin. Keberhasilan terapi bergantung pada terapi dini, sebelum
metabolit terakumulasi.

Anda mungkin juga menyukai