Anda di halaman 1dari 3

Dasar-Dasar Etika

Oleh, Dimas Putra / 1306405181


Judul

: Bab 4 Kekuatan dan Kutamaan Karakter, halaman 135 -155 .

Pengarang

: Bagus Takwin

Data Publikasi : Bagus Takwin, Fristian Hadinata dan Saraswati Putri. Mata Kuliah Pengembangan
Kepribadian Terintegrasi A. Buku Ajar I. Kekuatan dan Keutamaan Karakter, Filsafat,
Logika, dan Etika. Penerbit Universitas Indonesia, Depok, 2013.
Etika dan moralitas adalah dua kata yang berhubungan erat tetapi berbeda makna. Etika adalah refleksi
filosofis atas moral sedangkan moralitas adalah kepercayaan atau perilaku tentang baik dan buruk. Etika
berasal dari kata Yunani thikos yang berarti adat, kebiasaan, atau watak. Secara spesifik, etika
mengacu kepada studi sistematis dan filosofis tentang bagaimana kita seharusnya bertindak. Etika juga
berusaha untuk menjawab pertanyaan radikal.
Etika mempunyai fokus tentang bagaimana kita mendefinisikan sesuatu itu baik atau tidak. Sementara itu,
moralitas mengacu pada nilai baik atau tidak baik yang disepakati dan diadopsi dalam suatu lingkungan
tertentu sehingga biasanya moralitas biasanya bergantung dengan komunitasnya, misalnya agama atau
budaya. Moralitas sangat berhubungan dengan etika karena hal itu adalah objek kajiannya.
Jika pengandaian tentang kehendak bebas tidak ada maka pertanggungjawaban etis tidak bisa diajukan.
Dengan kata lain, seseorang tidak bisa diminta pertanggungjawaban etis ketika seseorang itu tidak punya
kehendak bebas seperti boneka yang dikendalikan oleh dalang. Asumsi seperti ini menjadi kajian etika.
Etika bisa diklasifikasikan dalam empat bidang etika utama.
1. Etika Normatif
Merupakan cabang etika yang penyelidikannya terkait dengan pertimbangan tentang bagaimana
seharusnya seseorang bertindak secara etis.
2. Etika Terapan
Penerapan teori-teori etika secara lebih spesifik kepada topik-topik kontroversial baik pada
dominan privat atau publik seperti perang, hak-hak binatang, hukuman mati, dan lain-lain.
3. Etika Deskriptif
Etika yang membandingkan antara apa yang dianggap etis oleh suatu individu atau masyarakat
dengan individu atau masyarakat yang lain serta perbandingan antara etika di masa lalu dengan
masa sekarang.
4. Metaetika
Beehubungan dengan sifat penilaian moral atau cara kita mengerti apa yang dirujuk dari
pernyataan- pernyataan tersebut dan bagaimana pernyataan itu didemonstrasikan sebagai

sesuatu yang bermakna.


Ada satu persoalan penting di dalam etika, yaitu pernyataan etika itu objektif atau hal itu bergantung pada
subjek etika itu sendiri. Persoalan ini menghasilkan dua aliran besar terkait dengan cara melihat
pernyataan etika atau kualitas etis tersebut, yaitu realisme etis dan nonrealisme etis.
Realisme etis mengajarkan bahwa kualitas etis atau tidak, ada secara independen dari manusia dan
pernyataan etis memberikan pengetahuan tentang dunia objektif. Dengan kata lain, properti etis terlepas
dari apa yang orang pikirkan atau rasakan . Hal ini disebut dengan fakta etis tentang fakta sebuah
tindakan. Artinya, jika seseorang mengatakan bahwa tindakan tertentu salah, maka hal itu adalah
kualitasnya yang salah dan itu harus ada di sana dan bersifat independen.
Nonrealisme etis mengajarkan bahwa manusia yang menciptakan kebenaran etis. Nonrealisme etis
menghormati keragaman budaya dan tindakan manusia yang berbeda pula dalam cara merespon situasi
yang berbeda.
Pengakajian terhadap permasalah etis pada dasarnya bisa dilakukan dengan dengan mengajukan
pertanyaan sebagai berikut. Ketika seseoarang mengatakan pertanyaan pembunuhan itu tidak baik apa
maksud sesungguhnya? Kita bisa mendefinisikan pada banyak hal pada pernyataan tersebut. Perbedaan
ini memberikan pendekatan yang berbeda pula untuk melihat persoalan etis.
Kita dapat melihat hal yang berbeda melalui empat jenis pernyataan etika:
1. Saya mungkin bermaksud membuat pernyataan tentang fakta etis, seperti pembunuhan itu
adalah salah. Hal ini adalah realisme moral. Pernyataan ini memberikan informasi faktual
tentang kebenaran.
2. Saya mungkin bermaksud hendak menyatakan perasaan saya sendiri seperti, saya tidak
menyetujui pembunuhan. Hal ini subjektivisme. Dalam konteks ini, pernyataan ini dinilai benar
jika orang tersebut memegang sifat yang tepat seperti yang diungkapkan dan akan salah, jika
tenyata orang tesebut tidak memiliki perasaan tersebut.
3. Saya mungkin bermaksud untuk mengekspresikan perasaan saya saja tidak ada kompromi
dengan pembunuhan. Hal ini adalah emotivisme. Dengan kata lain, jika dilihat dari emotivisme
ketika seseorang membuat penilaian moral apa yang ditunjukkan adalah perasaan tentang sesuatu.
4. Saya mungkin bermaksud ingin memberikan instruksi atau larangan seperti jangan melakukan
pembunuhan. Hal ini adalah preskriptivisme. Jadi jika saya mengatakan sesuatu itu baik, artinya
saya merekomendasikan kepada anda untuk melakukannya, sedangkan jika saya mengatakan
sesuatu itu buruk, anda jangan melakukannya.

Etika sebenarnya tidak secara langsung mengharuskan orang mengikuti hasil analisisnya. Hal ini
dikarenakan etika menekankan jika seseorang menyadari bahwa secara etis lebih baik untuk melakukan
sesuatu, maka akan menjadi tidak rasional untuk orang yang tidak melakukannya. Akan tetapi etika
menyediakan sebuah gambaran utuh dan lebih mengedepankan rasionalitas ketika menghadapi isu moral
yang sulit. Dalam situasi sulit biasanya kita membiarkan perasaan menentukan keputusan moral kita,
sedangkan nalar kita hanya mengikuti perasaan. Di sini peran etika dalam memberikan prinsip yang
membuat kita mengambil pandangan yang lebih jernih.
Memang harus dimengerti bahwa etika tidak selalu memberikan satu jawaban tepat untuk masalah moral.
Ini disebabkan karena masalah moral yang ada sudah kompleks dan melibatkan banyak dimensi dalam
kehidupan sedangkan seperangkat prinsip etika hanya diterapkan pada kasus yang sesuai saja.
Immanual Kant menekankan konsep kewajiban sebagai dasar dari segala perbuatan etis. Konsep ini
dikenal dengan nama deontologis, yakni yang menyatakan bahwa suatu tidakan memiliki nilai moral yang
baik bila tindakan itu terlepas dari kepentingan individu, dan hanya bertujuan terhadap prinsip kewajiban
tersebut.
John Stuart Mill adalah tokoh konsep etika utilitarian. Utilitarianisme, dari akar kata utility, yang berarti
kegunaan, menganggap bahwa dorongan utama bagi seseorang untuk bersikap etis adalah untuk mencapai
kebahagiaan. Akan tetapi sering kali pernyataan ini disalahartikan menjadi pandangan yang
memperbolehkan apapun untuk mencapai kebahagiaan, inilah kritik utama bagi kaum utilitarian.
W.D Ross berargumen bahwa seseorang mengetahui secara intuitif perbuatan apa yang bernilai baik
maupun buruk. Ia mengkritik pandangan utilitarian yang terlalu menekankan pada konsep kebahagiaan.
Bagi Ross, kebahagiaan tidak dapat secara mudah disamakan dengan kebahagiaan, justru kebaikan bentuk
nilai moral yang lebih tinggi. Ross juga menyebutkan enam hal mengenai kewajiban yang membutuhkan
pertimbangan individu dalam kejadian aktual. Enam hal itu adalah fidelitas(kesetiaan), rasa terima kasih,
kewajiban berdasarkan keadilan, sikap dermawan, kewajiban menjaga diri sendiri, dan kewajiban untuk
tidak menyakiti orang lain.

Anda mungkin juga menyukai