Ide pertama untuk pembangunan dan pengoperasian PLTN sudah dimulai pada tahun 1956 dalam
bentuk pernyataan dalam seminar-seminar yang diselenggarakan di beberapa universitas di
Bandung dan Yogyakarta.
Pada tahun 1972 dibentuk Komisi Persiapan Pembangunan PLTN (KP2PLTN) oleh Badan
Tenaga Atom Nasional (BATAN) dan Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik
(Departemen PUTL).
Kemudian diselenggarakan sebuah seminar di Karangkates, Jawa Timur pada tahun 1975 oleh
BATAN dan Departemen PUTL, salah satu hasilnya suatu keputusan bahwa PLTN akan
dikembangkan di Indonesia. Diusulkan 14 tempat yang memungkinkan di Pulau Jawa untuk
digunakan sebagai lokasi PLTN, dan kemudian hanya 5 tempat yang dinyatakan sebagai lokasi
yang potensial untuk pembangunan PLTN.
Setelah dilakukan beberapa studi tentang beberapa lokasi PLTN, maka diambil suatu keputusan
bahwa Semenanjung Muria adalah lokasi yang paling ideal dan diusulkan agar digunakan sebagai
lokasi pembangunan PLTN yang pertama di Indonesia.
Disusul kemudian dengan pelaksanaan studi kelayakan tentang introduksi PLTN yang pertama
pada tahun 1978 dengan bantuan Pemerinatah Itali, meskipun demikian, rencana pembangunan
PLTN selanjutnya terpaksa ditunda, untuk menunggu penyelesaian pembangunan dan
pengoperasian reaktor riset serbaguna di Puspiptek Serpong.
Pada tahun 1985 dilakukan reevaluasi dan pembaharuan studi yang sudah dilakukan dengan
bantuan International Atomic Energy Agency (IAEA), Pemerintah Amerika Serikat melalui
perusahaan Bechtel International, Perusahaan Perancis melalui perusahaan SOFRATOME, dan
Pada bulan Agustus tahun 1991, sebuah perjanjian kerja tentang studi kelayakan telah
ditandatangani oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia dengan Perusahaan Konsultan
NEWJEC Inc. Berdasarkan hasil studi yang telah dilakukan pada tahun 1991-1996 di wilayah
pantai selatan dan pantai utara Pulau Jawa telah diperoleh 3 calon tapak terbaik untuk
pembangunan PLTN, yaitu Ujung Lemahabang, Ujung Grenggengan dan Ujung Watu. Ketiga
lokasi tersebut berada di Semenanjung Muria, Kabupaten Jepara.
Sebagai alternative lokasi di luar Jepara mulai tahun 1998 telah dilakukan studi di daerah lain dan
telah menemukan calon tapak terpilih yaitu di pulau Panjang dan Bojanegara, keduanya berada di
wilayah Banten
Sedangkan alternative di luar pulau Jawa, sedang dilakukan juga studi kelayakan di Provinsi
Bangka Belitung sejak tahun 2009
Pada tahun-tahun selanjutnya masih dilakukan lagi beberapa studi tambahan yang mendukung
8. Emisi CO2 lebih rendah, apabila: menggunakan bahan tambang berkualitas tinggi yang berkadar uranium 1%
atau lebih (misal batuan tambang lunak atau soft ore -batas emisinya 0,0015%); namun bila makin rendah
kualitas batuan tambang yang digunakan (misal granit -batas emisi lebih tinggi), akan semakin tinggi emisi CO2.
Oxford Research Group dalam laporannya kepada British House of Commons pada tahun 2005 menyatakan
bahwa: emisi CO2 PLTN bervariasi antara 20% - 120% dari PLTU gas, tergantung pada kualitas batuan
tambangnya. Sebagian besar batuan tambang uranium yang diketahui, mempunyai kualitas rendah. Dengan
adanya permintaan untuk bahan bakar nuklir yang juga naik, pada akhirnya batuan tambang berkualitas rendah
juga akan ditambang (sehingga emisi CO2nya lebih tinggi daripada konvensional). Jadi, tidak ada jaminan akan
mengurangi emisi CO2.
B.3. Persepsi kontra:
1. Nisbah Untung/rugi = kecil (merasa tidak atau sedikit merasa mendapatkan keuntungan);
2. Kesediaan menerima resiko = rendah.