Anda di halaman 1dari 41

Laporan kasus

KEPANITERAAN KLINIK
ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
TUBERKULOSIS

Oleh
Fatimah putri sonia
100610039
Pembimbing
dr. Cut khairunnisa, M.Kes

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS
KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
PUSKESMAS TANAH JAMBO AYE
PANTON LABU

2015

BAB 1
PENDAHULUAN
Penyakit tuberkulosis (TB) paru merupakan penyakit infeksi yang masih
menjadi masalah kesehatan masyarakat. TB adalah suatu penyakit infeksi yang
disebabkan bakteri berbentuk batang (basil) yang dikenal dengan nama
Mycobacterium tuberculosis dan ditularkan melalui perantara droplet udara
(Hiswani, 2004).
Mycobacterium tuberkulosis telah menginfeksi sepertiga
pendudiuk

dunia.

Pada

Tahun

1993,

WHO

mencanangkan

kedaruratan global penyakit TB karena pada sebagian besar


negara di dunia. Penyakit TB tidak terkendali, ini disebabkan
banyaknya penderita yang tidak berhasil disembuhkan, terutama
penderita menular / BTA (+). Pada tahun 1995 diperkirakan
setiap tahun terjadi sekitar 9 juta penderita baru TBC dengan
kematian 3 juta orang. Jumlah penderita TB diperkirakan akan
meningkat seiring dengan munculnya epidemi HIV/AIDS di dunia
(Depkes RI, 2002; Kemenkes RI, 2011).
Tahun 1999, WHO memperkirakan setiap tahun terjadi
583.000 kasus baru TB dengan kematian karena TB sekitar
140.000. Secara kasar diperkirakan setiap 100.000 penduduk
Indonesia terdapat 130 penderita baru TB paru BTA (+) (Depkes
RI, 2002; Girsang, 2002; Permatasari, 2005). Seorang penderita
TB aktif dapat menularkan basil TB kepada 10 orang di

sekitarnya

dalam

Permatasari,

kurun

2005).

waktu

Pengobatan

tahun.

yang

(Girsang,

tidak

teratur

2002;
dan

kombinasi obat yang tidak lengkap diduga telah menimbulkan


kekebalan ganda kuman TB terhadap obat Antituberkulosis
(OAT) atau Multi Drug Resistance (MDR) (Depkes RI, 2002;
Hiswani, 2004; Kemenkes RI, 2011).
Kasus baru penyakit TB paru BTA (+) di puskesmas Tanah jambo aye
yang terdeteksi pada tahun 2013 adalah sebanyak 32 kasus, diikuti dengan 43
kasus pada tahun 2014, dan sebanyak 54 kasus pada tahun 2015. Target angka
kesembuhan TB Paru BTA (+) dalam Indonesia Sehat adalah sebesar 85%.
Kejadian kasus TB paru yang tinggi ini paling banyak terjadi pada kelompok
masyarakat dengan sosio ekonomi lemah (Kemenkes RI, 2012; Hasanah,
2015).
Berdasarkan data-data tersebut di atas, maka perlu ditelaah lebih lanjut
mengenai aspek yang menyebabkan mengapa angka kejadian TB paru masih saja
tinggi dan faktor-faktor yang memungkinkan penularannya sehingga dapat
dilakukan pencegahan dan angka kejadian penyakit ini pun dapat ditekan. Maka
dari studi kasus ini, diharapkan untuk dapat mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi kejadian penyakit TB tersebut.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Gambaran Penyakit Tuberkulosis Di Puskesmas Tanah Jambo Aye
Berdasarkan data program TB Paru Puskemas Tanah jambo aye
didapatkan data sebagai berikut:
Tabel 2.1. Data Hasil Cakupan P2 TB Puskesmas Tanah jambo aye Tahun 2013
Kriteria
Suspek
BTA +

Triwulan 1
133
12

Hasil Kegiatan
Triwulan 2
Triwulan 3
108
124
6
6

Total

Triwulan 4
68
8

433
32

Tabel 2.2. Data Hasil Cakupan P2 TB Puskesmas tanah jambo aye Tahun 2014
Kriteria
Suspek
BTA +

Triwulan 1
146
13

Hasil Kegiatan
Triwulan 2
Triwulan 3
139
144
12
9

Total

Triwulan 4
120
9

549
43

Tabel 2.3. Data Hasil Cakupan P2 TB Puskesmas tanah jambo aye Tahun 2015
Kriteria
Suspek
BTA +

Triwulan 1
133
16

Hasil Kegiatan
Triwulan 2
Triwulan 3
159
141
18
19

Total

Triwulan 4
-

433
53

Dari tabel di atas terlihat bahwa kejadian tuberkulosis di Wilayah Kerja


Puskesmas Tanah jambo aye setiap tahun cenderung meningkat. Terjadinya
peningkatan kasus tuberkulosis ini berkaitan dengan perilaku, ekonomi dan
tingkat sosial budaya masyarakatnya.
Penemuan kasus merupakan salah satu cara untuk menemukan masalah
kesehatan, dan bertujuan untuk menemukan sumber penularan dan atau mencari
ada atau tidaknya penderita baru di masyarakat. Penemuan kasus ini dapat

dibedakan menjadi 2 yaitu: (1) penemuan kasus secara aktif, dan (2) penemuan
kasus secara pasif (Asyari, 2005).
Penemuan penderita TB dilakukan secara pasif, artinya penjaringan
tersangka penderita dilakukan pada mereka yang datang berkunjung ke unit
pelayanan kesehatan. Semua tersangka penderita harus diperiksa 3 spesimen
dahak dalam waktu 2 hari berturut-turut, yaitu sewaktu-pagi-sewaktu. Penamuan
secara pasif tersebut didukung oleh penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas
kesehatan ataupun masyarakat, untuk meningkatkan cakupan penemuan penderita.
Cara ini biasa dikenal dengan passive promotive case finding. Disamping itu,
semua kontak penderita TB paru BTA positif dengan gejala yang sama, harus
diperiksa dahaknya (Asyari, 2005).
Penemuan kasus baru TB paru BTA positif di wilayah kerja Puskesmas
Tanah jambo aye tersebar di 30 desa.

2.2. Program Penyakit Tuberkulosis Di Puskesmas Tanah Jambo Aye


Program TB paru di Puskesmas Tanah jambo aye memiliki 3
buah kegiatan pokok, yaitu kegiatan kontak serumah, kegiatan
pelacakan TB mangkir, kegiatan follow up TB
Kegiatan kontak serumah bertujuan untuk memeriksa dahak semua
anggota keluarga yang tinggal serumah atau orang yang berada di sekitar rumah
pasien TB paru BTA positif untuk mengetahui sumber infeksi TB paru
sebelumnya. Kegiatan ini dilakukan 5 kasus dalam sebulan (60 kasus dalam
setahun) dengan dana sebesar Rp1.500.000,00. Dari kegiatan ini masih ada
anggota keluarga atau orang yang berada di sekitar pasien yang menolak untuk

diperiksa dahaknya dengan alasan dahaknya tidak bisa dikeluarkan, merasa tidak
perlu untuk memeriksakan dahaknya, dan lain sebagainya (Puskesmas Tanah
jambo aye, 2015).
Kegiatan pelacakan TB mangkir dilakukan apabila ada pasien TB paru
yang telat atau tidak datang mengambil obat ke Puskesmas dalam jangka waktu
1 minggu dari jadwal yang telah ditentukan. Bila ada kasus TB mangkir, petugas
Puskesmas akan mengunjungi rumah pasien TB paru tersebut dan mencari tahu
penyebab pasien tidak datang mengambil obat. Pada tahun 2014 hanya terdapat 20
kasus TB mankir (Puskesmas Tanah jambo aye, 2015).
Kegiatan follow up TB paru dilakukan setiap hari di Puskesmas tanah
jambo aye. Follow up berupa pemberian obat dan evaluasi perkembangan kondisi
pasien. Hampir sebagian besar pasien yang telah di berikan pengobatan
menunjukkan hasil negatif setelah dilakukan pemeriksaan ulang dahak pada akhir
bulan ke-2, ke-5 dan akhir pengobatan (Puskesmas Tanah jambo aye,
2015).
Salah satu kegiatan lintas program yang dilakukan adalah kegiatan kontak
balita ISPA, dilakukan dengan program Gizi. Kegiatan ini dilakukan sekali
setahun dengan tujuan untuk menemukan kasus TB paru baru. Dari 40 balita
ISPA, diharapkan dapat ditemukan minimal 40 orang sumber kontak yang dapat di
peiksakan dahaknya, namun hanya 30 orang yang mau untuk diperiksa dahaknya
(Puskesmas Tanah jambo aye, 2015).
Kegiatan lintas program yang lainnya antara lain adalah: memeberikan
pengetahuan tentang pentingnya PHBS (Promkes), mempromosikan kebersihan

lingkungan dan kondisi rumah yang sehat (Kesling), memperkenalkan cara


pengobatan pasien TB dan Gizi yang baik (Gizi), dan pemeriksaan dan kualitas
dahak yang bagus (Laboratorium) (Puskesmas Tanah jambo aye, 2015).
2.3. Monitoring dan Evaluasi Program Penyakit Tuberkulosis Di Puskesmas
Tanah Jambo Aye
Pemantauan dan evaluasi merupakan salah satu fungsi
manajemen untuk menilai keberhasilan pelaksanaan program.
Pemantaun dilaksanakan secara berkala dan terus menerus,
untuk

dapat segera

mendeteksi bila

ada

masalah dalam

pelaksanaan kegiatan yang telah direncanakan, supaya dapat


dilakukan tindakan perbaikan segera. Evaluasi dilakukan setelah
suatu jarak-waktu (interval) lebih lama, biasanya setiap 6 bulan
s/d 1 tahun. Dengan evaluasi dapat dinilai sejauh mana tujuan
dan target yang telah ditetapkan sebelumnya dicapai. Dalam
mengukur

keberhasilan tersebut

diperlukan

indikator.

Hasil

evaluasi sangat berguna untuk kepentingan perencanaan dan


pengembangan program (Kemenkes RI, 2011; Kemenkes RI
2012).
Untuk menilai kemajuan atau keberhasilan pengendalian
TB digunakan beberapa indikator. Indikator pengendalian TB
secara Nasional ada 2 yaitu (Kemenkes RI, 2011; Kemenkes RI
2012):

Angka Penemuan Pasien baru TB BTA positif (Case Detection

Rate = CDR).
Angka Keberhasilan Pengobatan (Success Rate = SR).

Disamping itu ada beberapa indikator proses untuk mencapai


indikator Nasional tersebut di atas, yaitu (Kemenkes RI, 2011;
Kemenkes RI 2012):

Angka Penjaringan Suspek.


Proporsi Pasien TB Paru BTA positif diantara Suspek yang

diperiksa dahaknya.
Proporsi Pasien TB Paru BTA positif diantara seluruh pasien TB

paru.
Proporsi pasien TB anak diantara seluruh pasien.
Angka Notifikasi Kasus (Case Notification Rate = CNR)
Angka Konversi
Angka Kesembuhan.

2.3.1. Angka Penjaringan Suspek Tuberkulosis


Target dari indikator angka penjaringan suspek adalah
>50%. Angka penjaringan suspek TB di Puskesmas Tanah Jambo
Aye pada tahun 2013 dan 2014 belum mencapai target, untuk itu
perlu dilakuukan perbaikan pada program kontak serumah, dan
kontak balita ISPA:
Tabel 2.4. Angka Penjaringan Suspek TB di Puskesmas Tanah
Jambo Aye tahun 2013-2015
Tahun
2013
2014
2015

Jumlah
Penjaringan
Suspek
433
459
457

Jumlah Target
Suspek

Nilai / Hasil

944
883
901

45,87%
62,17%
60,71%

2.3.2. Angka Penemuan Pasien Baru TB BTA Positif (CDR)


Dari tahun 2013 sampai tahun 2015 terjadi peningkatan
dalam perentase CDR, namun masih belum dapat mencapai
target indikator. Target indikator CDR adalah >70%. Hal ini
kemungkinan

besar

diakibatkan

oleh

tingkat

keberhasilan

kegiatan-kegiatan program TB di Puskesmas Tanah jambo aye


yang belum maksimal, ataupun kesadaran masyarakat setempat
untuk memeriksakan diri yang masih kurang (Tanah jambo aye
2015; Kemenkes RI 2012):

2.3.3. Proporsi Pasien Baru TB Paru BTA Positif Diantara


Suspek
Nilai target indikator proporsi pasien baru TB BTA positif
diantara suspek adalah 5-15%. Indikator ini menunjukkan mutu
dari proses menemuan sampai diagnosis pasien, serta kepekaan
menetapkan kriteria suspek. Dari tahun 2013 sampai dengan
tahun 2015, proporsi pasien baru TB BTA positif diantara suspek di
Puskesmas Tanah jambo aye berada diantara 5-15%, dan hal ini
perlu dipertahankan (tanah jambo aye, 2015; Kemenkes RI
2012).
Tabel 2.5. Proporsi Pasien Baru TB Paru BTA Positif Diantara Suspek
di Puskesmas tanah jambo aye tahun 2010-2012
Tahu

Jumlah Pasien Baru

Jumlah

Nilai /

2.4.

TB Paru BTA (+)

2010
2011
2012

32
43
54

Penjaringan
Suspek
433
459
457

Hasil
7,62%
7,83%
11,04%

DOTS (Direct Observed Treatment Short-course)


Sejalan dengan meningkatnya kasus TB, pada awal tahun

1990-an

WHO

Tuberculosis

dan

and

IUATLD

Lung

(International

Disease)

Union

Against

mengembangkan

strategi

pengendalian TB yang dikenal sebagai strategi DOTS (Kemenkes


RI, 2011).
Di Indonesia pelaksanaan Strategi DOTS di mulai pada
tahun 1995/1996. Sebelum strategi DOTS dilaksanakan (19691994), angka kesembuhan TB paru yang dapat dicapai oleh
program hanya 40-60% saja, dengan strategi DOTS yang baru ini
diharapkan angka kesembuhan dapat dicapai minimal 85% dari
penderita TB BTA positif yang ditemukan (Asyari, 2005). Hasil
evaluasi pada tahun 1998 menggambarkan bahwa cakupan
penemuan

penderita

baru

mencapai

9,8%

dengan

angka

keberhasilan mencapai 89%, sehingga WHO menggolongkan kita


sebagai Negara dengan penyelenggaraan program yang baik
tetapi ekspansi sangat lambat. Kajian data ini diperoleh dari
Puskesmas pelaksana program DOTS yang baru mencapai 40%
dari 7000 Puskesmas dan RS yang ada (Permatasari, 2005)

10

Strategi DOTS diartikan sebagai berikut (Asyari, 2005):


1. D (Directly). Dilakukan pemeriksaan dengan mikroskop untuk
menentukan apakah ada kuman atau tidak. Agar kasus
penderita TB dapat disembuhkan, maka prioritas utama dari
setiap program TB harus langsung pada sumber penyakit. Jadi,
penderita dengan pemeriksaan sputum BTA positif, langsung
diobati sampai sembuh.
2. O (Observed). Ada observer yang mengamati pasien dalam
minim obat. Hal yang diamati yaitu saat minum obat dan dosis
obat. Observer dapat berupa seorang tenaga kesehatan atau
kader teratih atau keluarga pasien.
3. T (Treatment). Pasien disediakan pengobatan lengkap serta
dimonitor. Pasien harus diyakinkan bahwa mereka akan
sembuh setelah pengobatan selesai. Alat monitor berupa buku
laporan

yang

merupakan

bagian

dari

sistem

dokumen

kemajuan dalam penyembuhan.


4. S (Short-course). Pengobatan TB dengan kombinasi dan dosis
yang benar. OAT dikenal dengan Shortcourse chemotherapy.
Pengobatan harus dilakukan dalam jangka waktu yang benar
selama 6 bulan.
Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan
pasien, prioritas diberikan kepada pasien TB tipe menular.
Strategi ini akan memutuskan penularan TB dan dengan
demikian menurunkan insidens TB di masyarakat. Menemukan

11

dan menyembuhkan pasien merupakan cara terbaik dalam


upaya pencegahan penularan TB (Kemenkes RI, 2011).
Salah satu komponen DOTS adalah pengobatan paduan
OAT

jangka

pendek

dengan

pengawasan

langsung.

Untuk

menjamin keteraturan pengobatan diperlukan seorang PMO


(Pengawasan Menelan Obat) (Kemenkes RI, 2011).
a. Persyaratan PMO
Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh
petugas kesehatan maupun pasien, selain itu harus disegani

dan dihormati oleh pasien.


Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien.
Bersedia membantu pasien dengan sukarela.
Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-

sama dengan pasien


b. Siapa yang bisa jadi PMO
Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan
di Desa, Perawat, Pekarya, Sanitarian, Juru Immunisasi, dan
lain

lain.

Bila

tidak

ada

petugas

kesehatan

yang

memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan,


guru, anggota PPTI, PKK, atau tokoh masyarakat lainnya atau
anggota keluarga.
c. Tugas seorang PMO
Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur

sampai selesai pengobatan.


Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur.
Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu
yang telah ditentukan.

12

Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang


mempunyai gejala-gejala mencurigakan TB untuk segera
memeriksakan diri ke Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
Tugas seorang PMO bukanlah untuk mengganti kewajiban

pasien mengambil obat dari unit pelayanan kesehatan.


d. Informasi

penting

yang

perlu

dipahami

PMO

untuk

disampaikan kepada pasien dan keluarganya:


TB disebabkan kuman, bukan penyakit keturunan atau

kutukan.
TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur.
Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan

cara pencegahannya.
Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan

lanjutan).
Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara

teratur.
Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya
segera meminta pertolongan ke Fasyankes.

2.5. MDR-TB (Multiple Drug Resistance Tuberculosis)


Multiple Drug Resistance Tuberculosis (MDRTB) adalah suatu
keadan dimana M. tuberculosis telah resisten terhadap INH dan rifampisin saja
atau resisten terhadap INH dan rifampisin serta OAT lini pertama lainnya.
Estimasi global terhadap insidensi MDRTB pada tahun 2006

13

adalah sebesar 489.139 atau sekitar 4,8% dari jumlah total


estimasi

insidens

TB

di

114

negara

pada

tahun

2006

(10.229.315). Dua negara penyumbang kasus terbesar adalah


China dan India, yang diperkirakan menyumbang sekitar 50%
dari seluruh kasus MDRTB dan diikuti oleh Rusia sekitar 7%
(Aditama, 2006; Yunita, 2011,).
Resistensi obat pada kasus TB adalah masalah yang
mendapat perhatian besar dalam program penanggulangan TB
oleh karena beberapa strain MDRTB yang sulit diobati. Strain ini
mendapat perhatian oleh karena dapat menyebar di seluruh dunia, menekankan
perlunya peningkatan program kontrol, seperti metode diagnostik baru, obat
obatan yang lebih efektif dan penemuan vaksin yang lebih efektif.
Pasien dengan MDR-TB membutuhkan pengobatan lebih lama
dengan obat yang sebenarnya kurang efektif namun lebih toksik.
Oleh karena itu sangat penting untuk membedakan diagnosis
MDR-TB

dengan

resistensi

lain

dengan

melakukan

kultur

mikrobakterial dan uji sensitifitas karena implikasi terapi yang


berbeda. Kasus kronik dan pengobatan yang gagal memiliki
resiko yang lebih besar mendapatkan resistensi dan MDRTB.
(Yunita, 2011).
Kejadian kasus TB resisten OAT diantara pasien HIV positif
secara nosokomial sudah secara luas diketahui, namun masih
sedikit informasi yang didapat tentang hubungan HIV dan

14

resistensi OAT dalam tingkat populasi. Ada dua alasan utama


kenapa TB resisten OAT dapat dikaitkan dengan HIV. Pertama
adalah terdapatnya resistensi rifampisin diantara pasien TB
dengan HIV dan dalam pengobatan TB, meskipun hal ini
berkaitan dengan pengobatan yang terputusputus. Malabsorbsi
OAT juga telah berhasil dibuktikan dalam penelitian kohort pada
kelompok dengan prevalensi HIV yang tinggi, yang menunjukkan
pasien TB dengan HIV kemungkinan memiliki risiko yang lebih
tinggi untuk mendapatkan resistensi. Alasan kedua berhubungan
dengan paparan, faktor risikonya adalah riwayat dirawat di
rumah sakit yang berarti pasien TB dengan HIV memiliki risiko
yang tinggi terpapar kuman yang resisten (Syahrini et al 2008;
Yunita, 2011).
Empat kategori resistensi OAT dapat dibedakan atas
(Kemenkes RI, 2011; Yunita, 2011):

Monoresistance: resistensi terhadap salah satu dari OAT.


Polyresistance: resistensi terhadap lebih dari satu OAT, selain

isoniazid (INH) dan rifampisin secara bersamaan.


Multidrugresistance (MDR): resisten terhadap

kurangnya INH beserta rifampisin.


Extensive
drugresistance
(XDR):
ditambah

resistensi

terhadap

sekurang

Multidrugresistance

salah

satu

golongan

fluoroquinolon, dan sedikitnya satu dari tiga jenis obat lini


kedua injeksi (kapreomisin, kanamisin dan amikasin).

15

Berdasarkan
berimplikasi

kategori

pada

diagnostik

perbedaan

TB

regimen

oleh

WHO

yang

pengobatan

yang

direkomendasikan, kasus MDRTB tergolong dalam kategori IV.


Kategori diagnostik IV mencakup (Yunita, 2011):

MDRTB yang sudah terkonfirmasi.


Dugaan MDRTB. Kelompok ini memerlukan wewenang medis
yang relevan yang merekomendasikan bahwa pasien perlu
mendapatkan pengobatan Kategori IV. Pasien dapat dicatat
dan

memulai

pengobatan

kategori

IV

sebelum

adanya

konfirmasi MDRTB hanya jika adanya survey resistensi obat


yang

representatif

atau

data

epidemiologik

lain

yang

mengindikasikan kemungkinan besar kasus tersebut MDRTB.


Polyresistant
TB.
Beberapa
kasus
polyresistant
TB
membutuhkan

pengobatan

kategori

IV.

Pasienpasien

ini

membutuhkan pengobatan dengan OAT lini pertama yang


lebih lama (18 bulan atau lebih) diombinasikan dengan dua
atau lebih obat lini kedua dan dicatat sebagai kelompok
kategori IV.
Jika

ada

suspek

kasus

MDRTB

berdasarkan

riwayat

penyakit maupun informasi epidemiologis, sputum pasien harus


diarahkan untuk kultur dan uji sensitifitas OAT dan mendapatkan
regimen pengobatan WHO atau regimen empirik obat lini kedua
yang dianjurkan oleh American Thoracic Society, Centers for
Disease Control and Prevention and the Infectious Diseases

16

Society of America (ATS/CDC/IDSA) sambil menunggu hasil uji


sensitifitas. Pedoman pengobatan selanjutnya berdasarkn hasil
uji sensiifitas obat (Syahrini et al 2008; Yunita, 2011).
Jika hasil uji sensitifitas diperoleh dan terjadi resistensi
terhadap isoniazid dan rifampisin (dengan atau tanpa resistensi
terhadap streptomisin) selama fase inisial, maka digunakan
kombinasi dari ethionamide, fluoroquinolon, obat bakteriostatik
lain seperti ethambutol, PZA dan aminoglikosida selama 3 bulan
atau sampai terjadi konversi sputum. Selama fase lanjutan,
ethionamide,

fluoroquinolon,

obat

bakteriostatik

lain

(ethambutol) sebaiknya digunakan selama minimal 18 bulan


sesudah

terjadi

konversi

sputum.

Pedoman

terbaru

yang

dikeluarkan oleh ATS/CDC/IDSA menyarankan bahwa diantara


golongan fluoroquinolon, levofloksasin adalah yang paling sesuai
untuk pengobatan MDRTB karena memberikan profil keamanan
yang baik pada saat digunakan jangka panjang (Syahrini et al
2008; Yunita, 2011).
MDRTB

saat

penanggulangan
insidensinya

ini

merupakan

tuberkulosis.

mengalami

masalah

Berdasarkan

peningkatan

baru

dalam

survey

WHO,

setiap

tahunnya.

Penegakan diagnosisnya memerlukan pemeriksaan mikrobiologis


terhadap M.tuberculosis dan sensitifitasnya terhadap OAT lini
pertama. Pemeriksaan yang perlu dikembangkan saat ini adalah

17

yang memberikan hasil yang cepat dan akurat untuk menunjang


percepatan penanggulangan infeksi TB. Obatobatan lini kedua
dapat

dipakai

untuk

mengatasi

strain

MDR

dan

perlu

dikembangkan lagi untuk menghasilkan efektifitas yang baik


terhadap strain MDR dengan sifat toksisitas yang rendah
(Syahrini et al 2008; Yunita, 2011).

18

BAB III
LAPORAN KASUS
1.

Identitas Pasien
: Tn. S

Umur

: 62 tahun.

Jenis Kelamin

: Laki-laki.

Pekerjaan

: Petani.

Pendidikan terakhir

: SD.

Alamat

: Ranto panyang, Panton labu.

2.

Nama Pasien

Anamnesis
Keluhan utama: Batuk berdahak.
Riwayat Penyakit Sekarang:
Os sedang menjalani pengobatan fase intensif yang sudah berlangsung
selama 7 minggu. Awalnya os mengeluhkan adanya batuk berdahak yang hilang
timbul sejak kurang lebih 3,5 tahun yang lalu. Awalnya os mengira batuk yang
dialaminya adalah penyakit batuk biasa, sehingga os tidak pernah memeriksakan
penyakitnya ini ke puskesmas ataupun fasilitas pelayanan kesehatan. Namun os
merasakan bahwa batuknya semakin memberat disertai

dengan dahak yang

terkadang berwarna hijau dengan jumlah yang kurang lebih 1 sendok makan
setiap kali batuk, namun os menyangkal adanya riwayat batuknya bercampur
darah ataupun batuk darah sejak pertama kali keluhan batuk muncul. Batuk
dirasakan paling berat pada malam hari sampai-sampai mengganggu tidur, dan

19

biasanya dahak paling banyak pada saat pagi hari. Os juga mengeluh sering
berkeringat malam walau tanpa aktivitas. Os mengaku bahwa berat badannya
terasa menurun dan sering merasa lemas sejak pertama kali mengalami keluhan
batuk tersebut.
Riwayat Penyakit Dahulu:
Riwayat penyakit jantung (-), hipertensi (-), DM (-), riwayat operasi (-),
riwayat minum OAT (-), asma (-), bronkitis (-).

Riwayat Penyakit Keluarga :


Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan yang sama seperti
os.

Riwayat Pengobatan
Os mengaku bahwa ia biasanya mengkonsumsi obat batuk yang dijual di
warung untuk mengatasi batuk yang dialaminya, namun keluhan batuk sulit
mereda. Os dianjurkan untuk memeriksakan diri ke Puskesmas tanah jambo aye
oleh salah satu petugas Posyandu. Sejak memeriksakan diri dan mulai menjalani
pengobatan fase intensif, os mengatakan keluhan batuknya mulai mereda dan
tidak mengganggu saat malam hari.

Riwayat Sosial, Ekonomi dan Lingkungan:

I.
II.
III.

Os memiliki 5 orang anak:


Tn. S, 37 tahun, TKI, menikah, tinggal bersama os.
Tn. S, 33 tahun, nelayan, menikah.
Ny. S, 29 tahun, PRT, menikah.

20

IV.

Ny. R, meninggal 3 tahun yang lalu pada usia 23 tahun akibat


kll,

V.

Ny. M, 17 tahun pelajar


Os tinggal dirumah bersama istrinya, anaknya yang ke-1, menantunya

(istri dari anaknya yang ke-1, Ny. M, 30 tahun, swasta, menikah), dan dua

orang cucu (An. T, 14 tahun, pelajar; An. R, 5 tahun).


Os mengaku sudah tidak merokok lagi sejak melakukan pemeriksaan dan
menjalani pengobatan dari Puskesmas Tanah jambo aye. Sebelumnya, os
merupakan perokok sejak os masih muda dan dapat menghabiskan sampai 1

bungkus rokok per hari.


Os merupakan keluarga ekonomi menengah kebawah. Os tidak bekerja.

Penghasilan keluarga os diperoleh dari hasil kerja anak-anak os.


Untuk air minum, Os mendapatkan air dari air sungai dan sumur. Os
mengaku ia tidak selalu memasak air hingga mendidih untuk keperluan

konsumsi rumah tangga.


Os memiliki sumur yang terletak di samping rumah, dimana air

sumurnya digunakan untuk mandi, berwudhu dan mencuci.


Os belum memiliki fasilitas MCK di rumahnya, sehingga os dan anggota
keluarganya mandi di sungai yang terletak di dekat rumahnya. Sungai tersebut
memang digunakan sebagai fasilitas MCK oleh warga di sekitar rumah os
yang masih belum memiliki fasilitas MCK. Keluarga os sudah memiliki

rencana untuk membangun fasilitas MCK dalam waktu dekat.


Untuk memasak, keluarga os menggunakan tungku dan kayu bakar.

3.

Pemeriksaan Fisik
Keadaaan umum
: Baik
Kesadaran
: Compos mentis
Tekanan darah
: 110/90 mmHg
Frek. Nadi

: 82 x/menit

21

Frek. Nafas
Suhu
Berat Badan

: 20 x/menit
: 36,7 C
: 52 kg

Tinggi Badan

: 167 cm

Status Gizi

: Kurang

Status Generalis
Kepala-Leher
Kepala

: Deformitas (-)

Rambut

: Hitam, lurus, lebat

Mata

: Konjungtiva pucat -/-, sklera ikterik -/-, mata cekung (-)

Telinga: Liang telinga lapang, serumen (+)


Hidung

: Deformitas (-), sekret (-)

Tenggorok

: Uvula di tengah, arkus faring simetris, tonsil T1-T1, detritus (-)

Gigi dan mulut: Karies dentis (-), sianosis (-)


Leher

: Tidak teraba pembesaran KGB

Paru
Inspeksi:
1. Bentuk & ukuran: bentuk dada kiri dan kanan simetris, barrel chest (-),
pergerakan dinding dada simetris.
2. Permukaan dada: papula (-), petechiae (-), purpura (-), ekimosis (-), spider
naevi (-), vena kolateral (-), massa (-).

22

3. Penggunaan otot bantu nafas: SCM aktif, tidak tampak hipertrofi SCM, otot
bantu abdomen aktif dan hipertrofi (-).
4. Iga dan sela iga: pelebaran ICS (-).
5. Fossa supraclavicularis, fossa infraclavicularis: cekung, simetris kiri dan kanan
Fossa jugularis: tak tampak deviasi
6. Tipe pernapasan: torako-abdominal.
Palpasi:

Trakea: tidak ada deviasi trakea, iktus kordis teraba di ICS V linea
parasternal sinistra.

Nyeri tekan (-), massa (-), edema (-), krepitasi (-).

Gerakan dinding dada: simetris kiri dan kanan.

Fremitus vocal: simetris kiri dan kanan.

Perkusi:

Sonor seluruh lapang paru.

Batas paru-hepar Inspirasi: ICS VI, Ekspirasi: ICS IV; Ekskursi: 2 ICS.

Batas paru-jantung:
Kanan: ICS II linea parasternalis dekstra
Kiri: ICS IV linea mid clavicula sinistra

Auskultasi:
Cor: S1 S2 tunggal regular, mur-mur (-), gallop (-).
Pulmo:
Vesikuler (+) pada seluruh lapang paru .

23

Rhonki (-/-).
Wheezing (-/-).
Egofoni (-).

Abdomen
Inspeksi:

Bentuk: simetris

Umbilicus: masuk merata

Permukaan kulit: tanda-tanda inflamasi (-), sianosis (-), venektasi (-),


ikterik (-), massa (-), vena kolateral (-), caput meducae (-), papula (-),
petekie (-), purpura (-), ekimosis (-), spider nevy (-)

Distensi (-)

Ascites (-)

Auskultasi:

Bising usus (+) normal

Metallic sound (-)

Bising aorta (-)

Perkusi:

Timpani pada seluruh lapang abdomen (+)

Nyeri ketok (-)

Nyeri ketok CVA (-/-)

Palpasi:

24

Nyeri tekan epigastrium (-)

Massa (-)

Hepar/lien/ren: tidak teraba

Tes Undulasi (-)

Shifting dullness (-)

Ekstremitas

Inguinal-genitalia-anus : tidak diperiksa

4.

Pemeriksaan Penunjang
- Pemeriksaan sputum hasil BTA +2 (di puskesmas)

5.

Diagnosis Kerja
Tuberkulosis paru kasus baru BTA positif.

6.

Penatalaksanaan
Terapi OAT Kategori 1.

7.

Prognosis
Dubia at Bonam

8.

Konseling
Penyakit yang diderita adalah penyakit TB yang menular dan bisa
menyerang siapa saja.

25

Menjelaskan kepada os tentang gejala-gejala pada penyakit TB dan

cara penularannya.
Membuang dahak pada wadah tertutup yang berisi pasir dan air
sabun, diganti minimal 1x sehari, kemudian menguburnya di tempat

yang jarang dilewati orang.


Menjelaskan kepada anggota keluarga os yang tinggal serumah
dengan os untuk memeriksakan dahaknya di laboratorium, untuk
memastikan adanya anggota keluarga yang lain yang mengidap

penyakit TB seperti os atau tidak.


Menjelaskan kepada os agar tekun meminum obat dan rutin
memeriksakan dirinya sampai dinyatakan sembuh untuk evaluasi
perkembangan penyakit TB di Puskemas, meskipun os sudah merasa

sehat sebelum dinyatakan sembuh.


Jagalah kebersihan rumah dan pencahayaan di dalamnya, buka

jendela setiap hari pagi dan siang hari.


Menganjurkan pasien mengkonsumsi sayur-sayuran dan buahbuahan untuk meningkatkan daya tahan tubuh.

26

BAB IV
PEMBAHASAN

Os adalah seorang laki-laki berusia 62 tahun yang mengeluhkan adanya


batuk berdahak yang hilang timbul sejak kurang lebih 3,5 tahun yang lalu dan
semakin memberat. Batuk disertai dahak yang terkadang berwarna hijau dengan
jumlah yang kurang lebih 1 sendok makan setiap kali batuk, namun os
menyangkal adanya riwayat batuknya bercampur darah ataupun batuk darah sejak
pertama kali keluhan batuk muncul. Batuk dirasakan paling berat pada malam hari
sampai-sampai mengganggu tidur, dan biasanya dahak paling banyak pada saat
pagi hari. Os juga mengeluh sering berkeringat malam walau tanpa aktivitas. Os
mengaku bahwa berat badannya terasa menurun dan sering merasa lemas sejak
pertama kali mengalami keluhan batuk tersebut. Dari pemeriksaan fisik
didapatkan tidak ada kelainan pada kedua lapang paru. Dari hasi pemeriksaan
laboratotium didapatkan BTA +2, sehingga pasien ini di diagnosa dengan kasus
baru dengan BTA positif.
Berdasarkan hasil penelusuran kasus ini, jika mengacu pada konsep
kesehatan masyarakat, maka dapat ditelaah beberapa faktor yang mempengaruhi
atau yang menjadi faktor resiko terhadap penyakit yang diderita oleh pasien dalam
kasus ini.

27

1. Faktor Genetik/Biologis.
Pada kasus ini, os adalah seorang laki-laki berusia 69 tahun dengan status
gizi kurang. Penyakit TB paru cenderung lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan
dengan perempuan. Seiring dengan terjaidnya transisi demografi yang
menyebabkan usia harapan hidup lansia menjadi lebih tinggi, pada usia lanjut
lebih dari 55 tahun sistem imunologis seseorang menurun sehingga sangat rentan
terhadap berbagai penyakit, termasuk penyakit TB paru. Meskipun penyakit TB
paru paling sering ditemukan pada usia muda atau usia produktif, 1550 tahun.
Keadaan malnutrisi, gizi kurang, atau kekurangan kalori, protein,
vitamin, zat besi dan lain-lain, akan mempengaruhi daya tahan
tubuh sesoeranga sehingga rentan terhadap penyakit termasuk
TB paru (Hiswani, 2004).

2. Faktor Lingkungan
Lingkungan memegang peranan yang sangat penting dalam terjadinya
sebuah penyakit, apalagi penyakit tersebut adalah penyakit berbasis lingkungan.
Hal ini tentu saja dapat menyebabkan mudahnya terjadi infeksi apabila tidak ada
keseimbangan dalam lingkungan. Dalam kasus ini, lingkungan tempat tinggal Tn.
S mendukung terjadinya penyakit TB yang dialaminya tersebut. Lingkungan
rumah merupakan salah satu faktor yang memberikan pengaruh besar terhadap
status kesehatan penghuninya. Lingkungan rumah merupakan salah satu faktor
yang berperan dalam penyebaran kuman tuberkulosis. Kuman tuberkulosis dapat
hidup selama 1-2 jam bahkan sampai beberapa hari hingga berminggu-minggu

28

tergantung pada ada tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang baik, kelembaban,
suhu rumah dan kepadatan penghuni rumah (Keman, 2005).
Pencahayaan Rumah
Keadaan rumah os pada kasus ini tergolong lembab dan kurang cahaya.
Rumah os hanya memiliki satu buah jendela dan satu buah pintu untuk semua
ruangan. Bahkan ada ruangan yang tidak memiliki jendela sama sekali. Os dan
keluarga mengaku jarang membuka jendela dan gorden. Cahaya yang masuk ke
dalam rumah os sangat kurang. Hal ini menyebabkan mikroorganisme dapat
berkembang dengan pesat, termasuk kuman dan bakteri penyebab TB.
Untuk memperoleh cahaya cukup pada siang hari, diperlukan luas jendela
kaca minimum 10% luas lantai, dengan durasi pencahayaan minimal 1 jam setiap
hari, dimana pencahayaan efektif dapat diperoleh pada pukul 08.00 sampai
dengan pukul 16.00. Jika peletakan jendela kurang baik atau kurang leluasa maka
dapat dipasang genteng kaca. Cahaya ini sangat penting karena dapat membunuh
bakteri-bakteri patogen di dalam rumah, misalnya basil TB, karena itu rumah yang
sehat harus mempunyai jalan masuk cahaya yang cukup (Keman, 2005).
Semua jenis cahaya dapat mematikan kuman hanya berbeda dari segi
lamanya proses mematikan kuman untuk setiap jenisnya. Cahaya yang sama
apabila dipancarkan melalui kaca tidak berwarna dapat membunuh kuman dalam
waktu yang lebih cepat dari pada yang melalui kaca berwama Penularan kuman
TB paru relatif tidak tahan pada sinar matahari. Bila sinar matahari dapat masuk
dalam rumah serta sirkulasi udara diatur maka resiko penularan antar penghuni
akan sangat berkurang (Helmia & Lulu, 2004).

29

Kepadatan Hunian Rumah


Rumah tempat tinggal pasien dalam kasus ini memiliki jarak yang sangat
dekat dengan rumah tetangga-tetangga sekitarnya. Bahkan sebagian besar rumah
di lingkungan tempat tinggal pasien ini tidak memiliki halaman. Jarak antar rumah
satu dan lainnya 0,5-1 meter. Hal ini tentu saja dapat menjadi faktor pendukung
untuk tersebarnya penyakit TB dengan mudah.
Selain itu, luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni
di dalamnya, artinya luas lantai bangunan rumah tersebut harus disesuaikan
dengan jumlah penghuninya agar tidak menyebabkan overload. Hal ini tidak
sehat, sebab disamping menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen juga bila salah
satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi, akan mudah menular kepada
anggota keluarga yang lain.
Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh rumah biasanya dinyatakan
dalam m2/orang. Luas minimum per orang sangat relatif tergantung dari kualitas
bangunan dan fasilitas yang tersedia. Untuk rumah sederhana luasnya minimum 9
m2/orang. Untuk kamar tidur diperlukan luas lantai minimum 8 m2/orang. Untuk
mencegah penularan penyakit pernapasan, jarak antara tepi tempat tidur yang satu
dengan yang lainnya minimum 90 cm. Kamar tidur sebaiknya tidak dihuni lebih
dari dua orang, kecuali untuk suami istri dan anak di bawah 2 tahun. Untuk
menjamin volume udara yang cukup, di syaratkan juga langit-langit minimum
tingginya 2,8 m (Keman, 2005).

30

Jenis Pekerjaan
Jenis pekerjaan menentukan faktor risiko apa yang harus dihadapi setiap
individu. Bila seseorang bekerja di lingkungan yang berdebu dengan paparan
partikel debu di daerah terpapar akan mempengaruhi terjadinya gangguan pada
saluran pernafasan. Paparan kronis udara yang tercemar dapat meningkatkan
morbiditas, terutama terjadinya gejala penyakit saluran pernafasan dan umumnya
TB paru. Pasien dalam kasus ini tidak bekerja lagi, dan hampir selalu berada di
lingkungan rumah sepanjang hari. Di rumah, istri os memasak dengan
menggunakan kayu bakar, sehingga os kerap terpapar polutan secara kronis.
Sebelumnya os merupakan seorang petani dan sehari-hari dapat menghabiskan
sampai 1 bungkus rokok per hari. Petani memiliki resiko terpapar
partikel padi, pupuk dan pestisida selama bekerja. Hal ini
meningkatkan resiko pasien terkena penyakit saluran napas.
Jenis pekerjaan seseorang juga mempengaruhi terhadap
pendapatan keluarga yang akan mempunyai dampak terhadap
pola hidup sehari-hari diantara konsumsi makanan, pemeliharaan
kesehatan

selain

itu

juga

akan

mempengaruhi

terhadap

kepemilikan rumah (kontruksi rumah) (Keman, 2005).


Riwayat Kontak
Os kurang memperhatikan adanya orang-orang di lingkungan tempat
tinggal dan di lingkungan kerjanya yang memiliki gejala batuk berdahak yang
lama seperti yang dialaminya. Os menyangkal adanya orang tua ataupun saudara
os yang memiliki gejala yang sama dengan os sebelumnya. Sudah dilakukan

31

pemeriksaan sputum BTA pada semua anggota keluarga yang tinggal bersama os,
dan semua menunjukkan hasil negatif. Sehingga sulit untuk mencari sumber
penularan kuman BTA positif pada os.
3. Faktor Perilaku
Perilaku dapat terdiri dari pengetahuan, sikap dan tindakan. Pengetahuan
penderita TB paru yang kurang tentang cara penularan, bahaya dan cara
pengobatan akan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku sebagai orang sakit dan
akhinya berakibat menjadi sumber penular bagi orang disekelilingnya.
Pengetahuan Yang Kurang Tentang TB
Os dan keluarga sebelumnya tidak mengetahui tentang TB, pengertian,
faktor resiko, penularan, akibat dsb. Pengetahuan yang rendah ini mempengaruhi
tindakanya yang menjadi kurang tepat. Pasien dan keluarga mengaku jarang
membuka jendela rumah, memasak menggunakan kayu bakar dan tidak segera
memeriksakan diri ketika sudah ada gejala sakit yang mengarah ke TB.
Kebiasaan Meludah Sembarangan
Sebelum datang berobat, os memiliki kebiasaan meludah sembarangan
yang sangat berpengaruh terhadap penularan TB di lingkungan sekitar os. Hal ini
berkaitan dengan kurangnya pengetahuan os dan keluarga tentang penyakit TB itu
sendiri. Bukan hanya os saja, namun masih banyak didapatkan warga masyarakat
yang meludah sembarangan, dan ini cukup menghawatirkan apabila warga-warga
tersebut memang menderita penyakit TB paru BTA positif.
Kebiasaan Merokok

32

Os dalam kasus ini termasuk mempunyai riwayat perokok berat. Dalam


satu hari os bisa menghabiskan sampai 1 bungkus rokok per hari. Kebiasaan
merokok meningkatkan resiko untuk terkena TB paru sebanyak 2,2 kali. Dengan
adanya kebiasaan merokok akan mempermudah untuk terjadinya infeksi TB Paru.
Kebiasaan Memasak Menggunakan Kayu Bakar
Istri os memiliki kebiasaan memenuhi kebutuhan akan pangannya
menggunakan kayu bakar, dimana kayu bakar memiliki polutan yang berbahaya
untuk terjadinya kelemahan sistem imun akibat terpapar polusi kronis.
Kurang Memperhatian Kegiatan Kesehatan Disekitar
Os tidak pernah mengikuti kegiatan-kegiatan kesehatan masyarakat yang
diadakan oleh puskesmas seperti Posyandu Lansia, padahal jika dilihat dari usia,
os termasuk dalam sasaran program tersebut.

4. Faktor Pelayanan Kesehatan


Penyuluhan Tentang PHBS Dan TB Yang Lebih Terarah
Os dan keluarga mengaku belum pernah mendapatkan penyuluhan tentang
cara hidup bersih dan sehat serta TB dari Puskesmas sebelum datang
memeriksakan diri ke Puskesmas tanah jambo aye. Os juga mengatakan tidak
mengetahui adanya posyandu keliling di dusunnya. Hal ini dapat disebabkan oleh
kurangnya informasi yang didapatkan pasien mengenai kegiatan yang diadakan
oleh Puskesmas atau karena memang dusun tempat os tinggal belum diadakan
posyandu keliling sebelum os memeriksakan diri.

33

Dari beberapa uraian faktor tersebut di atas, dapat diketahui bahwa banyak
hal yang dapat menyebabkan pasien dalam kasus ini menderita TB.
Ketidakseimbangan

antara

faktor

pejamu,

agen

dan

lingkungan

dapat

menyebabkan timbulnya suatu penyakit. Selain itu adanya faktor-faktor dalam


empat determinan kesehatan, seperti faktor biologis, lingkungan, perilaku, dan
faktor pelayanan kesehatan dapat menjadi penyebab timbulnya suatu penyakit
dalam masyarakat.
Jika dilihat dari empat determinan tersebut di atas, dapat dirumuskan
bahwa penyebab terbesar TB pada pasien dalam kasus ini apabila dilihat dari
aspek kesehatan masyarakatnya yaitu dari aspek perilaku. Aspek perilaku untuk
hidup bersih dan sehat sering menjadi penyebab suatu penyakit muncul dan tidak
dapat diberantas dalam lingkungan seseorang. Berikut ini digambarkan secara
skematis faktor-faktor penyebab terjadinya tuberkulosis pada pasien dalam kasus
ini dilihat dari konsep kesehatan masyarakat.

34

BIOLOGIS

Usia Dan Imunitas


ermasuk usia dengan resiko penyakit infeksi (virus, bakteri) yang besar karena imunitas pada usia l

DIABETES
MELITUS

Jenis Kelamin
Laki-laki lebih beresiko untuk menderita TB daripada perempuan

DIABETES
MELITUS

PERILAKU

DIABETES
MELITUS

Kebiasaan Merokok

DIABETES
MELITUS
Kebiasaan Meludah Sembarangan

LINGKUNGAN
Pencahayaan Rumah

DIABETES
Kepadatan
huan serta pendidikan yang kurang mengenai TB
dan pola hidup bersih dan
sehat Hunian Rumah
MELITUS

TB

DIABETES
MELITUS

Pekerjaan
Riwayat Kontak

Memasak Dengan Kayu Bakar

DIABETES
MELITUS

Perhatian Terhadap Kesehatan

PELAYANAN
DIABETES
KESEHATAN
MELITUS
Penyuluhan tentang TB dan PHBS yang lebih terarah

DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS

35

DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
BAB V
MELITUS
KESIMPULAN DAN SARAN

DIABETES
MELITUS

5.1 Kesimpulan

DIABETES
1. Dalam program TB yang MELITUS
dilaksanakan di Puskesmas tanah jambo aye,
hanya indikator CDR yang belum mencapai target yang telah ditentukan.
DIABETES
2. Faktor yang menjadi faktor resiko terjadinya TB pada pasien dalam kasus

MELITUS

ini yaitu faktor usia, jenis kelamin, pencahayaan rumah, pengetahuan,

DIABETES
MELITUS

kebiasaan merokok, memasak menggunakan kayu bakar, dan kurangnya


akses terhadap pelayanan kesehatan.
3. Faktor-faktor tersebut sesuai
DIABETES
dengan determinan masalah kesehatan yang

MELITUS

dikemukakan oleh H.L. Bloom yaitu determinan biologis, lingkungan,

DIABETES
perilaku dan pelayanan kesehatan.
MELITUS

5.2 Saran
1. Perlu dilakukan CBA di daerah-daerah yang tinggi jumlah

DIABETES
MELITUS
pasien baru TB paru BTA
positif agar penemuan kasus lebih

terarah dengan perencanaan


yang lebih matang.
DIABETES
2. Upaya promosi dan preventif terutama dari aspek peningkatan Perilaku

MELITUS

Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) sebagai salah satu upaya dalam

DIABETES

menurunkan angka kejadian


penyakit TB masih perlu terus dilakukan.
MELITUS

DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES

36

MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
Lampiran:

DIABETES
MELITUS

Foto Rumah dan Lingkungan Sekitar Rumah Tn. S:

DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS

37

DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS

38

MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS

DAFTAR PUSTAKA
1. Aditama,

T.Y.,

DIABETES
2006,
XDR-TB,
MELITUS

Jurnal

Tuberkulosis

Indonesia, September, 3(2), 20-22.


2. Asyari, 2005, Determinan
Pencapaian Penemuan Kasus
DIABETES

MELITUS
(Case Finding) Penderita
TB Paru Di Puskesmas Mandala
Kota Medan Tahun 2005, Skripsi S.KM, Fakultas Kesehatan

DIABETES

Masyarakat, Universitas Sumatra Utara, Medan.


MELITUS
3. Departemen Kesehatan
Republik Indonesia,
Pedoman
Cetakan

2002,

Nasional

Penanggulangan
Tuberkulosis,
DIABETES
ke-8, MELITUS
Departemen
Kesehatan
Republik

Indonesia, Jakarta.
4. Girsang, M., 2002,DIABETES
Pengobatan Standar Penderita TBC,
Cermin Dunia Kedokteran
137, 6-8.
MELITUS
5. Hasanah, 2015, Data Hasil Cakupan P2 TB Puskesmas
tanah jambo aye DIABETES
2010-2014, P2M, Puskesmas tanah

MELITUS
jambo aye, panton, aceh.
6. Helmia, Lulu, M., 2004, Tuberkulosis, dalam Alsagaff, H., Wibisono,

DIABETES
M.J., & Winariani, Buku
Ajar Ilmu Penyakit Paru, pp. 10-28, Bagian
MELITUS

Ilmu Penyakit Paru, FK UNAIR-RSU dr. Soetomo, Surabaya.


7. Hiswani, 2004, Tuberkulosis Merupakan Penyakit Infeksi

DIABETES
MELITUS

Yang Masih Menjadi Masalah Kesehatan Masyarakat,


Fakultas

Kesehatan

Masyarakat,

Universitas

Sumatra

Utara, Medan.
DIABETES
8. Keman, S., 2005, Kesehatan Perumahan Dan Lingkungan

MELITUS

Pemukiman, Jurnal Kesehatan Lingkungan, Juli, 2(1), 29-

DIABETES
42.
9. Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, Direktorat
MELITUS
Jenderal

Pengendalian

Lingkungan,

Penyakit

Dan

Penyehatan

DIABETES
Pedoman Nasional Pengendalian
MELITUS

2011,

Tuberkulosis, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,


Jakarta.
DIABETES
10.
Kementerian
Kesehatan
Direktorat

MELITUS

Jenderal

Republik

Pengendalian

DIABETES
MELITUS
DIABETES

Indonesia,

Penyakit

Dan

39

DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
Penyehatan Lingkungan,
2012, Monitoring Dan Evaluasi
DIABETES
Program

MELITUS
Pengendalian
Tuberkulosis,

Kementerian

Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.


DIABETES
11.
Permatasari, A.,
2005, Pemberantasan Penyakit TB
Paru

Dan

MELITUS
Strategi
DOTS, Bagian

Paru,

Fakultas

Kedokteran, Universitas Sumatra Utara, Medan.


DIABETES
12.
Puskesmas tanah
jambo aye, 2015,

Laporan

MELITUS

Tahunan Puskesmas tanah jambo aye Tahun 2014,


Puskesmas tanah jambo
aye, panton labu, aceh.
DIABETES
13.
Syahrini, H., Zubir, Z., Keliat, E.N., Abidin, A., 2008,

MELITUS

Tuberkulosis Paru Resistensi Ganda, Departemen Ilmu


Penyakit Dalam, Fakultas
Kedokteran, Universitas Sumatra
DIABETES

MELITUS
Utara, Medan.
14.
Yunita, R., 2011, Multi-Drug Resistance Tuberculosis,
Departemen

DIABETES Fakultas
Mikrobiologi,

Universitas SumatraMELITUS
Utara, Medan.

Kedokteran,

DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS

40

Anda mungkin juga menyukai