Anda di halaman 1dari 8

LATAR BELAKANG

Salah satu penyakit tidak menular


yang mempunyai angka kejadian tinggi di
dunia
adalah
Dispepsia.
Dispepsia
merupakan salah satu masalah kesehatan
yang sering ditemui pada praktek seharihari. Diperkirakan hampir 30% kasus yang
dijumpai pada praktek umum dan 60% pada
praktek
gastroenterologi
merupakan
Dispepsia. Istilah Dispepsia mulai gencar
dikemukakan sejak tahun 80-an yang
menggambarkan keluhan atau kumpulan
gejala (sindrom) yang terdiri dari nyeri
epigastrium, mual, muntah, kembung, cepat
kenyang, rasa penuh di perut, sendawa,
regurgitasi, dan rasa panas yang menjalar di
dada. Sindrom atau keluhan ini dapat
disebabkan oleh berbagai penyakit tentunya
terutama penyakit lambung.1
Dispepsia bukan merupakan kasus
yang mengancam jiwa namun gejala gejala
tersebut terjadi dalam waktu lama. Dispepsia
merupakan suatu masalah penting apabila
Dispesia tersebut mengakibatkan penurunan
kualitas hidup individu tersebut. Meskipun
demikian, sebagian besar kasus merupakan
Dispepsia fungsional dan Dispepsia tersebut
jarang
berakibat
fatal.
Dispepsia
memberikan dampak yang kuat terhadap
health-related quality of life karena
perjalanan alamiah penyakit dispepsia
berjalan kronis dan sering kambuh dan
pemberian terapi kurang efektif untuk
mengontrol gejala.2 Gejala - gejala
Dispepsia dapat mengganggu aktifitas sehari
- hari dan mengakibatkan suatu dampak
yang bermakna terhadap kualitas hidup dan
peningkatan biaya pengobatan.3 Sebagian
besar pasien masih merasakan nyeri
abdomen dengan tingkat yang bermakna
sehingga menghentikan aktifitas sehari
hari dan pemberian terapi masih dirasakan
tidak memuaskan untuk kondisi kronis
tersebut.4
Perkembangan
teknologi
dan
industri serta perbaikan sosio ekonomi telah
membawa perubahan perilaku dan gaya
hidup masyarakat serta situasi lungkungan
seperti pola konsumsi makanan yang tidak
seimbang, kurangnya aktifitas fisik dan
meningkatnya polusi lingkungan. Perubahan
tersebut telah memberi pengaruh terhadap
terjadinya peningkatan kasus kasus
penyakit tidak menular.5 Pertumbuhan yang
pesat, perubahan psikologis yang dramatis
serta peningkatan aktivitas yang menjadi
karateristik masa remaja, menyebabkan
peningkatan kebutuhan zat gizi dan

terpenuhi atau tidak terpenuhinya kebutuhan


ini akan mempengaruhi status gizi. Saat
mencapai puncak kecepatan pertumbuhan,
remaja biasanya makan lebih sering dan
lebih banyak. Sesudah masa growth spurt
biasanya mereka akan lebih memperhatikan
penampilan dirinya terutama remaja putri.
Mereka sering kali terlalu ketat dalam
pengaturan pola makan dalam menjaga
penampilannya
sehingga
dapat
mengakibatkan kekurangan gizi.6
Menurut profil data kesehatan
tahun 2011 yang diterbitkan oleh depkes
pada tahun 2012, Dispepsia termasuk dalam
10 besar penyakit rawat inap di rumah sakit
sedangkan untuk 10 besar penyakit rawat
jalan di rumah sakit Dispepsia berada pada
urutan ke 6 dengan angka kejadian kasus
sebesar 34.981 kasus pada pria dan 53.618
kasus pada wanita, jumlah kasus baru
sebesar 88.599 kasus.7
Berdasarkan kriteria diagnosa
Roma III sindroma Dispepsia didiagnosa
dengan gejala rasa penuh yang terganggu,
cepat kenyang, rasa tidak enak atau nyeri
epigastrium dan rasa terbakar pada
epigastrium. Pada kriteria tersebut juga
dinyatakan bahwa dispepsia ditandai dengan
satu atau lebih dari gejala dispepsia yang
diperkirakan
berasal
dari
daerah
gastroduodenal.3
Butuh penatalaksanaan secara
menyeluruh terhadap penyakit ini untuk
mencegah komplikasi lebih lanjut. Selain
itu, di butuhkan partisipasi dan dukungan
pelaku rawat keluarga yang optimal dalam
memotivasi,
mengingatkan,
serta
memperhatikan
pasien
dalam
penatalaksanaan penyakitnya.
TUJUAN PENULISAN
Penerapan
pelayanan
dokter
keluarga berbasis evidence based medicine
pada pasien dengan mengidentifikasi faktor
risiko, masalah klinis, serta penatalaksanaan
pasien berdasarkan kerangka penyelesaian
masalah pasien dengan pendekatan patient
centred dan family approach.
ILUSTRASI KASUS
Pada hari Kamis 11 Februari 2016,
datang seorang pasien Nn. F usia 16 tahun
bersama orang tua. Pasien mengeluhkan
sakit perut sejak 1 hari yang lalu pada
bagian ulu yang dirasakan makin memberat
disertai rasa mual dan muntah serta demam.
Pasien mengatakan sudah muntah sebanyak
tiga kali berupa air dan juga mengeluhkan

badannya terasa demam. Setelah dilakukan


pemeriksaan fisik didapatkan tensi 120/70
mmHg dan terdapat nyeri tekan pada
epigastrium, pasien diberikan obat antasida
untuk mengurangi mual dan obat
parasetamol untuk menurunkan suhu badan
serta
vitamin
untuk
mempercepat
penyembuhan.
Dalam
kesehariannya
pasien
mengaku tidak pernah mengatur pola
makannya, pasien hanya memakan makanan
yang dia inginkan dengan waktu yang tidak
teratur, dari pagi hingga sore hari pasien
hanya makan di sekolah satu kali berupa
makanan ringan dan terkadang makan
bersama keluarga pada malam hari. Pasien
mengatakan jarang makan pada malam hari
dikarenakan takut menjadi gemuk. Pasien
juga hanya olahraga ketika jam pelajaran
olahraga. Pasien tidak pernah menderita
keluhan seperti ini sebelumnya, pasien juga
tidak memiliki riwayat penyakit lain.
Keluarga pasien tidak ada yang memiliki
keluhan yang sama dan tidak ada yang
memiliki penyakit degeneratif seperti
riwayat kencing manis, penyakit jantung,
maupun penyakit ginjal.
Keluarga satu rumah Pasien Ny. S
35 tahun seorang istri dan bekerja sebagai
ibu rumah tangga, Tn. S 43 tahun, suami Ny.
S yang bekerja sebagai wiraswasta. Adik
pasien An. D 13 tahun dan An.A 7 tahun
yang saat ini duduk di bangku sekolah
menengah pertama dan An A yang saat ini
duduk di bangku sekolah dasar. Kemudian
nenek pasien Ny. T 85 tahun tidak bekerja.
METODE
Analisis studi ini adalah laporan
kasus. Data primer diperoleh melalui
anamnesis
(autoanamnesis
dan
alloanamnesis dari anggota keluarga),
pemeriksaan fisik dan kunjungan rumah
untuk melengkapi data keluarga, data
psikososial dan lingkungan. Penilaian
dilakukan berdasarkan diagnosis holistik
dari awal, proses, dan akhir studi secara
kuantitatif dan kualitatif.
HASIL
PEMERIKSAAN FISIK
(11 Februari 2016)
A. Keadaan Umum dan Tanda-tanda
Vital termasuk status Gizi
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran
: Compos mentis
Tekanan Darah : 120/70 mmHg

Nadi
Nafas
Suhu
Berat Badan
Tinggi Badan
Status Gizi

: 76 x/menit
: 14 x/menit
: 38,20C
: 47 kg
: 160 cm
: IMT 16 (Underweight)

B. Status Generalis
Kepala
: Tidak ada deformitas
Mata
: Konjungtiva ananemis,
sklera anikterik, lensa
jernih, pupil isokor
Mulut
: Tak tampak kelainan,
sianosis (-)
Telinga
: Normotia, liang lapang,
serumen (-)
Hidung
: Bentuk normal, deviasi
septum (-)
Tenggorokan
: Uvula ditengah, T1-T1
tenang, tidak hiperemis
Leher
Inspeksi

: Bentuk simetris, tidak


terdapat benjolan
: Massa (-), KGB tak
membesar,
JVP
tak
meningkat 5+0 cm H2O

Palpasi
Paru-paru
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Jantung
Inspeksi
Palpasi

: Pergerakan hemithorax
kiri dan kanan simetris
: Fremitus taktil dan vokal
simetris kiri dan kanan
simetris normal
: Sonor pada seluruh
lapangan
paru
: Vesikuler (+/+), Ronki
(-/-), Wheezing(-/-)
: IC tak terlihat
: IC teraba di ICS V
midclavicula

Perkusi
Batas jantung kiri

: Linea midklavikularis
kiri ICS 5-6
Batas jantung kanan : Linea parasternalis
kanan ICS 4-5
Batas atas
: Linea parasternal kiri
ICS 2-3
Auskultasi
: Bunyi jantung I-II
reguler, murmur (-),
gallop (-)
Abdomen
Inspeksi
Palpasi

: Perut datar simetris


: Turgor kulit baik,
massa (-), Nyeri
tekan
epigastrium (+)

Perkusi
Auskultasi
Ekstremitas
Superior
Inferior

: Tymphani
: BU (+) normal
: Oedema -/-, sianosis -/: Pada kaki kulit teraba
lembab, tidak didapatkan
luka ataupun tanda-tanda
infeksi, oedema -/-,
sianosis -/-

Muskuloskeletal
Kekuatan otot 5|5
5|5
Status neurologis
GCS
: E4V4M6 : 15
Pupil
: Isokor, reflek cahaya
(+/+)
Sensorik
: Anesthesi dan
hipesthesia (-)
Reflek fisiologis : Normal
Reflek patologis : Tidak ditemukan
LABORATORIUM
Tidak dilakukan
Data Keluarga
Bentuk keluarga pada pasien ini
adalah keluarga inti dengan nenek. Menurut
siklus Duvall, siklus keluarga ini berada
pada tahap IV, dimana keluarga dalam masa
anak usia sekolah. Tidak terdapat gangguan
pada fungsi keluarga.

Gambar 1. Genogram keluarga Nn. F

Gambar 2
Family mapping keluarga Nn F
Data Lingkungan Rumah
Pasien tinggal bersama dengan
kedua orang tua dan adik adik serta nenek.
Jumlah anggota keluarga yang tinggal
adalah 6 orang. Rumah memiliki halaman
yang cukup sempit. Rumah berukuran 12 x 8
meter tidak bertingkat, memiliki 3 buah
kamar tidur, ruang tamu, dan dapur. Kamar
mandi terdapat satu buah dengan jamban
dan terletak di dalam rumah. Lantai bagian
dalam rumah terbuat dari semen, dinding
terbuat dari tembok serta beratap genteng.
Semua ventilasi cukup terbuka, kondisi
dalam rumah tidak lembab karena
pencahayaan sudah baik. Penataan barang
sudah sesuai pada tempatnya sehingga
terkesan rapih. Lingkungan tempat tinggal
pasien cukup baik, tidak padat. Sumber air
minum dan air cuci/masak dari sumur timba.
Tidak ada pengaliran limbah dan tempat
sampah di luar rumah. Kesan kebersihan
lingkungan rumah baik.
Diagnosa Holistik Akhir
1. Aspek personal
a. Alasan kedatangan : Sakit perut, mual
dan muntah, serta demam.
b. Harapan: Harapan terkait keluhannya
dapat hilang dan tidak kambuh kembali.
c. Kekhawatiran: Kekhawatiran pasien
akan kesembuhan penyakitnya.
2. Aspek klinik
Diagnosis klinis awal: Dispesia
3. Aspek risiko internal
a. Wanita, 16 tahun, memiliki perilaku
Pola makan dan olah-raga yang tidak
teratur. (ICD.K30)
b. Tidak mengetahui tentang penyakit
Dispepsia, gejala dan pengobatannya

c.
Sudah
menjaga
kebersihan
lingkungan rumah
4. Masalah fungsi psikososial dan
ekonomi
keluarga
a. Termotivasi pasien agar menjaga pola
makan.
b. Meningkatnya pengetahuan pasien
tentang
penyakit
Dispepsia
dan
komplikasinya.
5. Skala fungsional
Skala fungsional pada pasien ini adalah 1
yaitu tidak ada perubahan perilaku
seperti sebelum sakit.
PENATALAKSANAAN
Nonmedikamentosa:
1. Konseling pada pasien tentang
penatalaksanaan (gaya hidup dan
pola makan)
2. Menginformasikan segala hal tentang
dispesia serta pola hidup yang
dianjurkan untuk pasien. Mengenai
olahraga minimal 2 -3 kali/minggu
selama 30 menit dan makan yang
teratur.
3. Konseling kepada keluarga pasien
tentang
pentingnya
mengawasi
pengobatan pasien dan pentingnya
memberi dukungan pada pasien tentang
masalah stressor
4. Konseling kepada keluarga pasien
mengenai pentingnya prinsip preventif
dari pada kuartif.
Medikamentosa
1. Parasetamol diminum tiga kali sehari
sesudah makan hanya jika demam
2. Antasida diminum tiga kali sehari
sebelum makan
3. Multivitamin diminum satu kali sehari
PEMBAHASAN
Pada
pasien
ini,
diagnosis
Dispepsia
ditegakkan
berdasarkan
anamnesis yang didapatkan berupa sakit
perut sejak 1 hari yang lalu pada bagian ulu
yang dirasakan makin memberat disertai
rasa mual dan muntah serta demam. Pasien
mengatakan sudah muntah sebanyak tiga
kali berupa air dan juga mengeluhkan
badannya terasa demam. Pada pemeriksaan
fisik didapatkan kesadaran kompos mentis,
TD = 120/70 mmHg, Nadi = 76 x/menit, RR
= 14 x/menit, Suhu = 38,2 C. Status gizi =
underweight dengan IMT 16.
Dispepsia menurut kriteria Roma
III adalah suatu penyakit dengan satu atau

lebih gejala yang berhubungan dengan


gangguan di gastroduodenal
Nyeri epigastrium
Rasa terbakar di epigastrium
Rasa tidak nyaman setelah makan
Rasa cepat kenyang
Dispepsia yang telah diinvestigasi
terdiri dari dispepsia organik dan fungsional.
Dispepsia organik terdiri dari ulkus gaster,
ulkus duodenum, gastritis erosi, gastritis,
duodenitis dan proses keganasan. Dispepsia
fungsional mengacu kepada kriteria Roma
III. Kriteria Roma III belum divalidasi di
Indonesia. Oleh karena hal tersebut kita
memutuskan untuk mengikuti konsep dari
kriteria diagnosis Roma III dengan
penambahan gejala berupa kembung pada
abdomen bagian atas yang umum ditemui
sebagai gejala dispepsia fungsional.8
Evaluasi tanda bahaya harus selalu menjadi
bagian dari evaluasi pasien-pasien yang
datang dengan keluhan dispepsia. Tanda
bahaya pada dispepsia yaitu
Penurunan berat badan (unintended)
Disfagia progresif
Muntah rekuren atau persisten
Perdarahan saluran cerna
Anemia
Demam
Massa daerah abdomen bagian atas
Riwayat keluarga kanker lambung
Dispepsia awitan baru pada pasien di atas
45 tahun
Pasien-pasien dengan keluhan
seperti di atas harus dilakukan investigasi
terlebih dahulu dengan endoskopi.9 Salah
satu penyebab yang paling sering dari
Dispepsia adalah infeksi yang disebabkan
oleh Helicobacter pylori (Hp). Tes diagnosis
infeksi Hp dapat dilakukan secara langsung
melalui endoskopi (rapid urease test,
histologi, kultur dan PCR) dan secara tidak
langsung tanpa endoskopi (urea breath test,
stool test, urine test, dan serologi). Urea
breath test saat ini sudah menjadi gold
standard untuk pemeriksaan Hp, salah satu
urea breath test yang ada antara lain CO2
breath analyzer. Syarat untuk melakukan
pemeriksaan Hp, yaitu harus bebas
antibiotik dan PPI (proton-pump inhibitor)
selama 2 minggu. Ada beberapa faktor yang
perlu dipertimbangkan dalam pemeriksaan
penunjang Hp yaitu situasi klinis, prevalensi
infeksi, prevalensi infeksi dalam populasi,
probabilitas infeksi prates, perbedaan dalam
performa tes, dan faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi hasil tes, seperti penggunaan
terapi antisekretorik dan antibiotik.10

Penderita Dispepsia fungsional


dapat terjadi pada berbagai rentang umur,
jenis kelamin, etnik/suku, kondisi sosioekonomi. Hasil berbagai survei belum dapat
menunjukkan prevalensi umur pasti untuk
Dispepsia fungsional. Dalam beberapa
penelitian di Asia, Dispepsia fungsional
lebih sering dijumpai pada kelompok umur
yang lebih muda, di Jepang prevalensinya
13% dan 8% untuk kelompok umur dibawah
dan diatas 50 tahun, di Cina prevalensi
terbanyak pada kisaran umur 41-50 tahun,
dan di Mumbai, India terbanyak pada umur
>40 tahun.11 Di Indonesia, prevalensi
terbanyak pada umur 40 tahun yaitu 85%,
penelitian lain mendapatkan prevalensi
terbanyak pada kisaran umur 26-35 tahun
sebanyak 50%.11 Pola hidup tidak baik pada
pasien
ini
terjadi
akibat
faktor
perilaku/kebiasaan pasien makan tidak pada
waktunya dan kebiasaan tidak melakukan
olah raga, serta aktivitas fisik yang kurang.
Penatalaksanaan DIspepsia yang diberikan
kepada pasien dan keluarganya mencakup
edukasi dan terapi medikamentosa. Keluarga
dan pasien diedukasi mengenai pengertian,
faktor resiko, cara pengelolaan (terapi
farmakologis dan nonfarmakologis), tujuan
dari pengelolaan, dan komplikasi penyakit
Dispepsia, serta anjuran untuk tetap rutin
kontrol ke pelayanan kesehatan. Edukasi
pasien merupakan proses mempengaruhi
perilaku, mengubah pengetahuan, sikap dan
kemampuan yang dibutuhkan untuk
mempertahankan
dan
meningkatkan
kesehatan. Proses tersebut dimulai dengan
memberikan informasi serta interpretasinya
yang terintegrasi secara praktis sehingga
terbentuk perilaku yang menguntungkan
kesehatan. Dukungan keluarga dekat sangat
penting dalam pembentukan perilaku
kesehatan yang baik. Dalam hal ini
dilakukan edukasi kepasien sebagai alat
salah satu alat intervensi yaitu dengan
menggunakan media leaflet mengenai
penyakit Dispepsia pasien. Kemudian juga
dilakukan terapi medikamentosa. Untuk
penatalaksanaan demam pada pasien
diberikan obat golongan analgesik dan
antipiretik berupa parasetamol, obat
golongan ini merupakan obat analgesik non
narkotik dengan cara kerja menghambat
sintesis prostaglandin terutama di SSP.
Parasetamol digunakan secara luas di
berbagai negara baik dalam bentuk sediaan
tunggal
sebagai
analgetik-antipiretik
maupun kombinasi dengan obat lain dalam
sediaan obat flu, melalui resep dokter atau

yang dijual bebas.12 Untuk mualnya dengan


menggunakan
obat
antasida
serta
multivitamin
untuk
mempercepat
penyembuhan.
Pembahasan Keluarga
Saat pasien datang ke Puskesmas
karang anyar tanggal
Februari 2016,
tatalaksana
yang
dilakukan
adalah
pemberian
Parasetamol,
Antasida,
Multivitamin Pasien juga dianjurkan untuk
minum obat sampai habis serta menerapkan
pola makan sesuai dengan terapi gizi medis
bagi pasien Dispepsia dan melakukan olah
raga
secara
teratur.
Pasien
juga
diinformasikan bahwa pemeriksa akan
melakukan kunjungan ke rumah pasien.
Pada tanggal 16 Februari 2016
dilakukan kunjungan rumah yang pertama.
Pada kesempatan tersebut dilakukan
perkenalan dengan keluarga pasien serta
diberikan penjelasan mengenai pembinaan
keluarga. Setelah itu dilakukan anamnesis
yang lebih mendalam mengenai keadaan
pasien, keluarga dan perilaku /keadaan yang
dapat menjadi faktor risiko terjadinya
Dispepsia pada pasien. Dari anamnesa
tersebut kami memperoleh informasi bahwa
pasien memiliki kebiasaan / pola makan
yang tidak sehat
dan kebiasaan tidak
berolah raga.
Hasil wawancara dengan pasien dan
keluarga, dapat disimpulkan bahwa pasien
dan keluarga belum banyak mengetahui
mengenai penyakit Dispepsia. Kemudian
kepada keluarga dijelaskan bahwa penyakit
Dispepsia merupakan penyakit yang dapat
sering kambuh sehingga yang berperan
dalam pengelolaannya tidak hanya dokter,
perawat dan ahli gizi, akan tetapi lebih
penting lagi keikutsertaan pasien sendiri dan
keluarganya.
Pengelolaan
penyakit
Dispepsia terapi dengan farmakologis dan
nonfarmakologis. Tujuan dari pengelolaan
itu sendiri adalah menurunkan resiko
komplikasi dan kematian akibat penyakit
Dispepsia.
Pembinaan kedua dilakukan pada
tanggal 27 Februari 2016. Dari anamnesis
yang dilakukan diketahui bahwa saat ini
keluhan pasien sudah berkurang namun
belum dapat memperbaiki pola makannya.
Sebagai contoh kami meminta pasien untuk
menyebutkan menu makan, frekuensi makan
dan jumlah makanan yang di konsumsi
dalam sehari. Pasien sudah melakukan

latihan jasmani berupa jalan biasa, namun


tidak rutin hanya satu kali dalam seminggu
selama 30 menit. Pada pemeriksaan
tekanan darah didapatkan hasilnya 120/70
mmHg, berat badan 43kg. Pasien diberitahu
masih perlu memperbaiki dan menjaga pola
hidupnya. Saat itu juga dilakukan edukasi
dan motivasi kembali kepada pasien dan
keluarga mengenai pelaksanaan pengelolaan
Dispepsia yang baik agar tujuan dari
pengelolaan itu dapat tercapai. Adapun
edukasi
yang
dilakukan
meliputi
pemahaman tentang penyakit Dispepsia dan
bahaya komplikasinya, penggunaan obat,
menjaga pola makan dan aktifitas fisik yang
sesuai dengan penyakit dan kondisi pasien
dan edukasi untuk rajin kontrol ke pelayanan
kesehatan terdekat bila keluhan timbul
kembali serta edukasi keikutsertaan program
asuransi bpjs pada pasien dan keluarga
dengan manfaat yang di dapat sesuai dengan
kondisi peyakit pasien yaitu melalui
program rujukan balik. Edukasi dilakukan
menggunan media berupa leaflet.
Kunjungan rumah ketiga pada
tanggal 1 Maret 2016. Dari anamnesa
diketahui bahwa keluhan pasien sudah
hilang.
Pasien
juga
sudah
mulai
memperbaiki pola makanya dengan sesuai
leaflet, meskipun belum sepenuhnya
diterapkan. Pasien juga semakin rutin dalam
melakukan aktifitas latihan jasmani yaitu
dengan berjalan biasa selama 30 menit
berjalan kaki di sekitar lingkungan rumah
pasien. Pada pemeriksaan tekanan darah
didapatkan hasilnya 120/80 mmHg, Saat ini
pasien diberitahu masih perlu memperbaiki
pola
hidupnya
untuk
mencegah
kekambuhan. Pasien juga dibantu oleh orang
tua telah mencoba untuk mendaftarkan diri
ke bpjs.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Dari kegiatan yang telah dilakukan dapat
disimpulkan bahwa
1. Telah ditegakkan diagnosis Dispepsia
pada Nn. F 16 tahun atas dasar
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang serta telah
ditatalaksana dengan pemberian terapi
medikamentosa, edukasi, dan motivasi
untuk
melakukan
terapi
nonfarmakologis. Faktor risiko pada
pasien ini adalah kurang tertaurnya pola
makan dan aktifitas fisik yang kurang.
2. Intervensi yang dilakukan berupa
edukasi dengan menggunakan media

3.

leaflet tentang penyakit Dispepsia


tentang
gejala,
penyebab,
penatalaksanaan dan pengobatan.
Pasien sudah menerapkan pola makan
yang baik dan keluarga pasien sudah
mengetahui
pentingnya
dukungan
keluarga dalam pencegahan serta
penanganan Dispepsia.

SARAN
Untuk Pasien
Perlu
untuk
meningkatkan
pengetahuan/wawasan
mengenai
penyakit Dispepsia sehingga dapat
melakukan pengelolaan dengan
baik
Perlu
untuk
meningkatkan
kesadaran
dan
tekad
untuk
melakukan pengelolaan penyakit
Dispepsia dengan sepenuhnya
sehingga tujuan dari pengelolaan
itu sendiri dapat tercapai..
Kontrol ke pelayanan kesehatan
jika timbul kembali keluhan yang
sama pada pasien
Keluarga
Keluarga
juga
perlu
mengoptimalkan kerjasama antar
anggota
keluarga
untuk
meningkatkan kesehatan keluarga.
Keluarga turut ikut dalam program
pasien sehingga pasien merasa
mendapat dukungan penuh contoh:
- Keluarga ikut mengkonsumsi
menu minimal 1 yang sama dengan
pasien,
- Keluarga ikut olahraga bersama
pasien,
- Keluarga ikut menemani pasien
saat berobat.
Untuk Pembina Selanjutnya
Pemantauan dan re-evaluasi pola
hidup pasien
Anamnesis keluhan pasien jika
bertambah berat
Untuk Pelaksana Pelayanan Kesehatan
Perlunya pelayanan kesehatan yang
lebih menyeluruh, komprehensif,
terpadudan berkesinambungan
Adanya sistem pemantauan dan
pembahasan di fasilitas kesehatan
secara periodik mengenai kasus
yang dibina, bagi kesinambungan
pelayanan dan pemantauan.

1.

2.

3.
4.

5.

6.

Perlu ditingkatkan usaha promosi


kesehatan kepada masyarakat.baik
mengenai
pencegahan
primer
maupun
sekunder
terhadap
penyakit Dispepsia
DAFTAR PUSTAKA
Djojoningrat D. 2014. Pendekatan
klinis penyakit gastrointestinal.
Buku ajar ilmu penyakit dalam. Ed
VI. Indonesia: Balai Penerbit
FKUI. Hal 285
Mahadeva, S. 2012. Epidemiology
of functional dyspepsia: A global
perspective in chua A.S.B. World
journal of gastroenterology. Hal
2661-66
Abdullah M. 2012. Continuing
medical education: Dispepsia.
Jakarta: FKUI. 39(9): 647-51
Kumar, A.
Et
al.,
2012,
Epidemiologi of dispepsia, Journal
of the association of physicia of
India. Vol 60. 9-12
Grace, Pierce A., dan Borley, Neil
R., 2007. Nyeri Abdomen Kronik.
Dalam: Safitri, Amalia, ed. At a
Glance Ilmu Bedah. Edisi ketiga.
Jakarta: Erlangga, hal 30-31.
Tarigan. 2008. Perbedaan depresi
pada pasien dispepsia fungsional
dan dispepsia organik. Medan:
Universitas
Sumatera
Utara.
Diakses tanggal 25 februari 2016.
http://repository.usu.ac.id/handle/12
3456789/6365

7.

Depkes RI. 2012. Profil kesehatan


Indonesia 2012. Jakarta: Depkes
RI. Diakses tanggal 24 Februari
2016. http://www.kemkes.go.id.
8. PGI.
2014.
Konsensus
penatalaksanaan Dyspesia dan
Helicobacter
pylori.
Jakarta:
Perkumpulan
gastroenterologi
indonesiadan kelompok study
helicobacter pylori Indonesia.
9. Miwa
H,
Ghoshal
UC,
Gonlachanvit S, et al. 2012. Asian
consensus report on functional
dyspepsia. J Neurogastroenterol
Motil. vol 18:150-68.
10. Hunt RH, Xiao SD, Megraud F, et
al. 2011. Helicobacter pylori in
developing
countries.
World
Gastroenterology
Organisation
Global Guideline. J Gastrointestin
Liver Dis. vol 20:299-304.
11. Muya Y, Murni AW, Herman BR.
2015.
Karakteristik
Penderita
Dispepsia
Fungsional
yang
Mengalami Kekambuhan di Bagian
Ilmu Penyakit Dalam RSUP Dr. M.
Djamil Padang, Sumatera Barat
Tahun 2011. 4(2): 490-6. Diakses
tanggal
2
Maret
2016.
http://jurnal.fk.unand.ac.id Jurnal
Kesehatan Andalas.
12. Darsono L. 2012. Diagnosis dan
Terapi Intoksikasi Salisilat dan
Parasetamol. Bagian Farmakologi,
Fakultas Kedokteran, Universitas
Kristen Maranatha. Bandung: Hal
30-8.

Anda mungkin juga menyukai