Anda di halaman 1dari 40

ABDOMINAL COMPARTEMENT SYNDROME

I. PENDAHULUAN
Sindroma kompartemen didefinisikan sebagai keadaan dimana terjadi peningkatan tekanan
didalam suatu rongga anatomis tubuh yang mempengaruhi sirkulasi dan mengancam fungsi
dan kelangsungan hidup jaringan sekitarnya.1 Sindrom kompartemen abdominal muncul bila
disfungsi organ terjadi sebagai hasil dari hipertensi intra-abdomen. Sindrom ini didefinisikan
dengan menetap atau berulangnya tekanan intra-abdomen lebih dari 20 mmHg atau tekanan
perfusi abdomen kurang dari 60 mmHg dengan disertai onset satu atau lebih kegagalan
system organ. Tekanan intra-abdomen normal antara 0 dan 5 mmHg, tapi biasanya pada
pasien dewasa yang kritis normal IAP dapat mencapai antara 5 dan 7 mmHg.

LATAR BELAKANG
Sindrom kompartemen terjadi bila kompartement terfiksir yang dibentuk dari elemen
miofasial atau tulang menjadi sesuatu yang dapat meningkatkan tekanan sehingga
menjadikan daerah tersebut iskemi dan terjadi disfungsi organ. Seperti yang terjadi di
ekstremitas, hal tersebut dapat juga terjadi di abdomen dan juga rongga intracranial. Kondisi
klinis yang pasti mengenai sindrom kompartemen abdominal masih kontroversial.
Bagaimanapun, disfungsi organ yang disebabkan oleh hipertensi intra abdomen berhubungan
dengan sindrom kompartemen abdominal. Disfungsi tersebut dapat berupa insufisiensi
respirasi sekunder yang menekan volume tidal, menurunkan produksi urin karena kegagalan
perfusi ginjal atau disfungsi organ lain yang disebabkan peningkatan tekanan kompartemen
di abdomen.1
Sindrom kompartemen abdomen (ACS) terjadi berdasarkan peningkatan tekanan
intraabdominal (IAP), dengan konsekuensi patofisiologi terhadap seluruh organ. Setelah
cedera, sebagian besar kasus perut luka serius dengan pendarahan massif intraabdominal dan
retroperitoneal di rongga perut karena koagulopati, atau pada tamponade perdarahan nonbedah di perut, panggul atau ruang retroperitoneal, atau akumulasi koagulan darah, tetapi
juga dalam kasus edema dan kebocoran dinding usus dari volume resusitasi massif dan
perfusi atau dalam kasus ketegangan penutupan dalam rongga abdomen. Namun ACS juga
terjadi setelah operasi berlarut-larut rongga abdomen. Gambaran klinis ACS dijelaskan oleh
Ivatury pada tahun 1997, dengan ciri distensi perut, hipoksia dan hypercapnia dengan oliguria
sampai anuria, saat ini disfungsi organ disesuaikan hanya setelah melakukan dekompresi
abdomen.2

Sindroma kompartemen abdominal adalah manifestasi akhir dari IAH yang ditandai dengan
disfungsi kardiovaskular, paru, ginjal, splaknik dan intracranial. Sebagian besar kondisi klinis
telah menunjukkan dapat terjadinya IAH dan ACS, termasuk trauma tajam atau tumpul, luka
bakar, pancreatitis, ruptur aneurisma aorta, neoplasma, ascites, transplantasi hati, pendarahan
retroperitoneal dan pasien tanpa cedera intra abdomen yang memerlukan volume cairan

resusitasi yang masif. Sekarang ini penyebab terbanyak adalah korban multiple trauma yang
memerlukan intervensi bedah abdomen segera, terutama pembedahan untuk damage control.3
Tingkat morbiditas sindrom kompartement abdominal didasarkan dari efek terhadap system
seluruh organ. Oleh karena itu, sindrom kompartement abdominal mempunyai tingkat
mortalitas yang tinggi meskipun dengan penanganan yang cukup. Lebih lanjut lagi, sindrom
kompartement abdominal sering menjadi sekuel cedera yang berat, yang secara tidak
langsung meningkatkan tingkat morbiditas dan mortalitas. Pada awal 1900-an, Eddy dan
Morris mencatat tingkat mortalitas ACS sebesar 68%, ini sesuai dengan literature yang
mengatakan tingkat mortalitas yaitu 25-75 %.1

BAB II
ABDOMINAL COMPARTMENT SYNDROME
2.1 Definisi
Sindrom kompartemen didefinisikan sebagai keadaan dimana terjadi peningkatan tekanan di
dalam suatu rongga anatomis tubuh yang mempengaruhi sirkulasi dan mengancam fungsi dan
kelangsungan hidup jaringan di sekitarnya.4 Sindrom kompartemen abdominal (ACS) muncul
bila disfungsi organ terjadi sebagai hasil dari hipertensi intra-abdomen. Sindrom ini
didefinisikan dengan menetap atau berulangnya tekanan intra-abdomen lebih dari 20 mmHg
atau tekanan perfusi abdomen kurang dari 60 mmHg dengan disertai onset satu atau lebih
kegagalan system organ.5 Tekanan intra-abdomen normal antara 0 dan 5 mmHg, tapi pada
pasien dewasa yang kritis normal IAP dapat mencapai antara 5 dan 7 mmHg.6
Hipertensi intra-abdomen didefinisikan dengan menetap atau berulangnya tekanan intraabdomen (IAP) lebih dari 12 mmHg atau tekanan perfusi abdomen (APP) kurang dari 60
mmHg, dimana tekanan perfusi abdomen (APP) = tekanan arteri rata-rata (MAP) tekanan
intra-abdomen (IAP). Berbeda dengan hipertensi intra-abdomen (IAH), sindrom
kompartemen abdominal tidak diberi tingkatan tetapi lebih didasarkan sebagai fenomena all
or none.5
2.2 Etiologi
Peningkatan tekanan intra abdomen terjadi pada 4 hingga 15% pasien dengan penanganan
intensive bedah pada berbagai kondisi klinis termasuk pembedahan abdomen yang lama,
akumulasi ascites, trauma tumpul abdomen, ruptur aneurisma aorta abdomen, pancreatitis
hemoragik, fraktur pelvis, ileus dan obstruksi usus, pneumoperitoneum dan syok septic.7
Penyebab peningkatan tekanan intra abdomen dapat dibedakan berdasarkan tipe ACS yang
disusun dalam Tabel 1.4
Tabel 1. Etiologi hipertensi intra-abdomen
Waktu dan kategori

Etiologi

- Primer akut

Perdarahan Intraperitoneal

Intraperitoneal

Trauma tumpul hepar


Obstruksi bowel
Ileus
Dilatasi gaster akut
Pneumoperitoneum
Abdominal packing
Abses
Ascites
Edema visceral

Mesenteric revascularization
Transplantasi ginjal
Retroperitoneal

Pankreatitis
Pendarahan pelvis atau retroperitoneal
Ruptur aneurisma aorta abdomen
Abses

Dinding abdomen

Hematom Rectus sheath


Skar luka bakar
MAST trousers
Repair hernia besar dengan loss of
domain
Repair gastroschisis atau omphalocele
Laparotomy
tension

- Sekunder akut

closure

under

Luka bakar
Trauma nonabdomen signifikan

- Kronik

Obesitas
Ascites
Kehamilan
Tumor abdomen besar
Dialisis peritoneal

extreme

2.3 Klasifikasi 8
1. Akut primer ACS
Keadaan yang berhubungan dengan cedera atau penyakit di region pelvis-abdomen yang
sering memerlukan penanganan bedah atau intervensi radiologis intervensional.
2. Sekunder ACS
ACS yang bukan berasal dari region pelvis-abdomen
3. Kronik
Keadaan dimana ACS kembali terjadi akibat tindakan bedah sebelumnya atau terapi medis
pada primer atau ACS sekunder
2.4 Patofisiologi

Gambar 1. Skema terjadinya peningkatan tekanan intra-abdomen


Patofisiologi dampak ACS pada berbagai system organ
- Disfungsi ginjal
Disfungsi ginjal merupakan dampak yang paling sering terjadi. Efek klasik IAH/ACS pada
system ginjal yaitu oliguria hingga menjadi anuria dengan IAP yang meningkat. IAP 1520
mmHg dapat terjadi oliguria, sementara IAP lebih dari 30 mmHg dapat terjadi anuria.

Mekanisme terjadinya disfungsi ginjal terdapat banyak factor. ACS membuat gangguan pada
kardiovaskular dengan menurunkan curah jantung sehingga menurunkan aliran arteri ginjal,
meningkatkan resistensi vascular ginjal, menurunkan filtrasi glomerulus dan kompresi vena
ginjal.4
- Disfungsi paru
Peningkatan IAP berdampak langsung pada fungsi paru. Komplians paru mengalami resultan
reduksi progresif pada kapasitas total paru, kapasitas residu fungsional dan volume residu. Ini
ditunjukkan secara klinis dengan elevasi hemidiafragma pada radiografi dada. Perubahan ini
ditunjukkan pada IAP diatas 15 mmHg. Terjadi kegagalan respirasi selanjutnya akibat
hipoventilasi dari hasil elevasi progresif IAP. Resistensi vascular paru meningkat sebagai
hasil dari pengurangan tekanan oksigen alveolus dan peningkatan tekanan intra-torak. Pada
akhirnya, disfungsi organ paru ditunjukkan dengan keadaan hipoksia, hiperkapnia dan
peningkatan tekanan ventilasi.9
- Disfungsi jantung
Peningkatan IAP secara konsisten berkorelasi dengan penurunan curah jantung. Ini
ditinjukkan pada IAP diatas 20 mmHg. Penurunan jurah jantung merupakan hasil dari
penurunan alur balik vena jantung dari kompresi langsung pada vena cava dan vena porta.
Peningkatan tekanan intra-thorak juga membuat penurunan aliran vena cava superior dan
inferior. Resistensi maksimal aliran darah vena cava terjadi di hiatus cavum diafragma. Ini
berhubungan dengan gradient tekanan tiba-tiba antara abdomen dan rongga dada.
Peningkatan tekanan intra-thorak menyebabkan kompresi jantung dan pengurangan volume
akhir diastolik. Kenaikan resistensi vascular sistemik berasal dari efek gabungan
vasokonstriksi arteriolar dan IAP yang meningkat. Gangguan ini membuat stroke volume
berkurang dimana hanya satu-satunya yang dikompensasi dengan meningkatkan detak
jantung dan kontraktilitas. Kurva Starling kemudian bergeser ke bawah dan ke kanan dan
curah jantung secara progresif menurun dengan IAP yang meningkat. Kelainan ini terjadi
eksaserbasi bersamaan dengan hipovolemia. Perubahan hemodinamik signifikan ditunjukkan
pada IAP diatas 20 mmHg.9
- Disfungsi hepar
Penurunan aliran darah arteri hepatic, vena porta dan sirkulasi mikro berhubungan dengan
IAH. Ketika babi yang teranestesi IAP-nya meningkat hingga 20 mmHg, kebalikan dari Q
konstan dan tekanan arteri rata-rata, aliran arteri hepatic berkurang hingga 55%, aliran vena
porta menurun hingga 35% dan aliran sirkulasi mikro hepatic berkurang hingga 29%
dibandingkan dengan control. Penurunan pada aliran sirkulasi mikro hepatik yang sama juga
terjadi pada pasien dengan kolesistektomi per laparoskopi. Pasien dengan trauma
kemungkinan meningkat resiko sekunder terhadap penurunan aliran darah portal dan visceral
yang terjadi selama syok.4
- Disfungsi Splaknik
Sama seperti dampak yang terjadi pada hati, ginjal dan vena cava inferior, efek predominan
dari peningkatan IAP juga mengurangi perfusi splaknik. Hipoperfusi splaknik dapat terlihat
pada IAP 15 mmHg dengan laporan kasus iskemia intestinal yang memerlukan intervensi
operatif setelah laparoskopik elektif mempertahankan 15 mmHg pneumoperitonium.

Bagaimanapun aliran darah arteri mesenterikum, mukosa usus, dan vena porta telah menurun
dengan peningkatan IAP. Ini dapat diukur pada pengaturan klinis dengan tonometri gaster
yang mengindikasikan penurunan perfusi pada perut. Sebuah studi menunjukkan bahwa
penurunan perfusi gaster disimpulkan dengan penurunan pHi gaster yang berkurang lebih
awal dari tanda-tanda ACS (oliguria, tekanan puncak inspirasi meningkat). Penurunan perfusi
gastrointestinal ini terjadi tidak bergantung pada penurunan Q. IAP yang meningkat juga
menunjukkan tekanan vena porta yang meningkat. Ini kemungkinan salah satu factor
kontribusi pada patofisiologi varises esophagus pada pasien dengan gagal hati. Meningkatnya
IAP hingga 10 mmHg menghasilkan peningkatan tekanan varises, volume, radius dan
ketegangan dinding. Sebagai tambahan, penurunan perfusi splaknik dan cedera reperfusi
ditunjukkan dengan produksi sitokin dari usus. Ini berperan dalam perkembangan komplikasi
septic dan atau sindrom respon inflamasi sistemik (SIRS) dan kegagalan organ multipel.4
- Disfungsi system saraf pusat
Meskipun ACS tidak menyebabkan kegagalan system saraf pusat, terdapat hubungan erat
antara IAH dan ICP yang meningkat dengan reduksi sekunder pada CPP yang ditunjukkan
pada dua hewan percobaan. Ini akibat mekanisme peningkatan tekanan intrathora dimana
dihasilkan dari IAH, elevasi media pada diafragma. Peningkatan tekanan intra-thorak
meningkatkan tekanan vena jugular dan ICP. Pasien dengan ACS secara klinis dan ICP yang
meningkat telah terkoreksi ICP dengan laparotomi dekompresi. Dengan demikian
pemantauan IAP disarankan pada pasien dengan neurotrauma dan cedera abdomen atau
curiga IAH dengan pemikiran untuk dekompresi pada peningkatan ICP.4

Gambar 2. Dampak IAH/ACS pada berbagai system organ.4


2.5 Gejala Klinis dan Faktor Resiko
Gejala klinis ACS antara lain :3
- Distensi abdomen yang berat
- Gagal napas yang ditandai dengan PCO2 yang meningkat, volume tidal yang berkurang,
tingginya tekanan puncak inspirasi.
- Curah jantung yang menurun
- Tekanan darah yang labil
- pHi rendah yang menetap

- Oliguria yang tidak respon terhadap terapi konvensional


- Tekanan intra abdomen yang meningkat (> 40 mm Hg)

Gambar 3. Pasien dengan distensi abdomen berat


dan sindrom kompartemen abdominal.10
Faktor resiko terjadinya ACS:8

1. Penurunan daya komplians dinding abdomen


- Gagal napas akut khususnya dengan tekanan intra-thorakal yang meningkat.
- Pembedahan abdomen dengan jahitan primer fasia tertutup yang ketat.
- Trauma mayor/ luka bakar
- Posisi telungkup, tinggi kepala bed > 30 derajat
- Indeks massa tubuh yang tinggi, obesitas
2. Peningkatan isi intra-lumen

- Gastroparesis, Ileus, pseudo-obstruksi kolon


3. Peningkatan isi abdomen
- Hemoperitoneum / pneumoperitoneum, Ascites / disfungsi hati
4. Kebocoran kapiler/ resusitasi cairan
- Asidosis (pH <>
- Politransfusi (>10 unit darah / 24 jam)
- Koagulopati (platelet <> 15 detik atau partial thromboplastin time (PTT) > 2 kali normal
atau international standardised ratio (INR) > 1.5)
- Resusitasi cairan yang masif (> 5 L / 24 jam), Pankreatitis, Oliguria, Sepsis
- Trauma mayor/ luka bakar, laparotomi kontrol kerusakan.
2.6 Diagnosis
ACS ditetapkan dengan terjadinya peningkatan IAP dan adanya kegagalan sistem organ.9
Derajat Intra-abdominal hypertension (IAH):11
- grade I IAP 12-15 mmHg
- grade II IAP 16-20 mmHg
- grade III IAP 21-25 mmHg
- grade IV IAP 25 mmHg
Pasien yang dirawat di ICU sebaiknya diskrining untuk melihat faktor resiko terjadinya
IAH/ACS dan dengan kegagalan organ yang baru atau progresif. Bila dua atau lebih faktor
resiko dijumpai, pengukuran IAP harus dilakukan. Dan bila IAH ditemukan, pengukuran IAP
serial harus dilakukan pada pasien tersebut.8
Pengukuran IAP terdiri dari berbagai teknik yaitu penempatan metal intra-abdomen langsung
(sudah lama ditinggalkan), tekanan vena kava inferior (beresiko thrombosis dan infeksi),
tekanan gaster (jarang digunakan tetapi berguna bila terdapat trauma buli-buli dimana distensi
buli merupakan kontraindikasi) dan tekanan buli-buli. Gold standard pengukuran IAP adalah
dengan tekanan buli-buli.4
Untuk mengukur tekanan buli-buli, suntikkan 50-100 ml saline steril ke dalam Foley kateter
melalui lubang aspirasi; klem silang selang steril dari drain kantong urin letak distal dari
lubang aspirasi; hubungkan ujung selang drain kantong urin ke Foley kateter; lepaskan klem
sesaat agar cairan dari buli keluar dan kemudian klem ulang; Y-connect transduser tekanan ke
kantong drain melalui lubang aspirasi menggunakan jarum G 16; pastikan IAP dari transduser
menggunakan puncak dari tulang simfisis pubis sebagai titik nol dalam posisi telentang.
Manometer tangan yang dihubungkan ke Foley kateter melalui kolom cairan di selang dapat
digunakan untuk menentukan tekanan sebagai ganti transduser.12

Gambar 4. Alat untuk pengukuran tekanan buli-buli.4

Gambar 5. Teknik pengukuran IAP dengan tekanan buli-buli


Pada pasien dengan keadaan tertentu terdapat indikasi dilakukan pemantauan IAP untuk
deteksi dini adanya IAH.

Gambar 6. Indikasi pemantauan IAP


2.7 Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium :1
- Comprehensive metabolic panel (CMP)
- Complete blood cell count (CBC)
- Amylase and lipase assessment
- Prothrombin time (PT), activated partial thromboplastin time (aPTT) bila pasien diberi
heparin
- Test untuk marker jantung
- Urinalisis and urine drug screen
- Pengukuran level serum laktat
- Arterial blood gas (ABG): cara cepat untuk mengukur deficit pH, laktat dan basa.
Radiografi :1
- Abdomen serial untuk melihat udara bebas atau obstruksi usus.
o Radiografi polos abdomen sering tidak berguna dalam mengidentifikasi sindrom
kompartemen abdominal.
- CT scan abdomen dapat memberikan banyak temuan. Pada tahun 1999 Pickhardt dkk
menemukan gambaran dibawah ini pada pasien dengan sindrom kompartemen abdominal:

o Round-belly sign distensi abdomen dengan rasio diameter abdomen anteroposterior ke


transversal meningkat. (ratio >0.80;P <0.001)
o Kolaps vena kava
o Penebalan dinding usus dengan enhancement
o Hernia inguinal bilateral
- USG Abdomen
o Aneurisma aorta, bila besar dapat terdeteksi
o Gas usus atau kegemukan mempersulit pemeriksaan
2.8 Penanganan
Penanganan harus berdasarkan pada pemeriksaan klinis dengan peningkatan IAP. IAP kritis
yang menimbulkan berbagai disfungsi organ bergantung pada keadaan premorbid pasien.
Pasien gemuk setiap saat meningkat IAP tetapi telah terkompensasi dengan hal tersebut.
Grade I IAH secara umum hanya memerlukan resusitasi volume dengan pemantauan tekanan
berkelanjutan. Beberapa pasien tidak membaik keadaannya. Pasien dengan grade II harus
ditangani berdasarkan gejalanya. Bila oliguria ringan dengan kompresi jantung dan paru
minimal, dapat diresusitasi lebih lanjut dan dilanjutkan dengan memantau tekanan. Bila
pasien mengalami cedera intra-kranial atau kompresi berat yang lebih, operasi dekompresi
harus dipikirkan. Grades III dan IV ditangani dengan operasi dekompresi. Saat ini sebagian
besar penulis menyetujui bahwa tekanan kritis untuk ACS adalah antara 20 hingga 25
mmHg.3
Sistem grade kompartemen abdominal 6
Tekanan buli-buli Grade (mmHg) Rekomendasi
I 1015 Pertahankan normovolemia
II 1625 Resusitasi Hipervolemik
III 2635 Dekompresi
IV >35 Dekompresi dan re-eksplorasi
Pilihan terapi medis untuk mengurangi IAP :8
1. Memperbaiki komplians dinding abdomen
- Sedasi dan analgesik
- Blokade neuromuskular
- Hindari ketinggian kepala tempat tidur > 30 degrees
2. Evakuasi isi intra-lumen
- Dekompresi nasogaster
- Dekompresi rektum

- Agent gastro-/colo-prokinetik
3. Evakuasi kumpulan cairan abdominal
- Parasentesis
- Drainase perkutan
4. Koreksi keseimbangan cairan positif
- Hindari resusitasi cairan berlebih
- Diuretik
- Koloid / cairan hipertonik
- Hemodialisis / ultrafiltrasi
5. Organ Pendukung
- Pertahankan APP > 60 mmHg dengan vasopressor
- Optimalkan ventilasi, alveolar recruitment
- Gunakan tekanan jalan napas transmural (tm)
- Pplattm = Pplat - IAP
- Pikirkan untuk menggunakan volumetric preload indices
- Jika menggunakan PAOP/CVP, gunakan tekanan transmural
- PAOPtm = PAOP - 0.5 * IAP
CVPtm = CVP - 0.5 * IAP
Terdapat manajemen nonoperatif pada IAH/ACS yang terdiri dari lima intervensi terapi, tiap
terapi mengandung beberapa langkah tingkat terapi yang dijelaskan lebih detil pada Gambar
6.13
1. Evakuasi isi intralumen
2. Evakuasi space-occupying lesion intra-abdomen
3. Memperbaiki komplians dinding abdomen
4. Optimalkan kebutuhan cairan
5. Optimalkan perfusi jaringan regional dan sistemik

Gambar 7. Algoritma manajemen non-operatif IAH/ACS13


Manajemen pembedahan:
Laparotomi dekompresi merupakan gold standard dalam penanganan pasien dengan
ACS.4 Pendekatan dekompresi abdomen sangat beragam. Temporary abdominal closure
(TAC) telah banyak digunakan sebagai mekanisme mengembalikan dampak akibat
peningkatan IAP. Beberapa penulis menganjurkan penggunaan TAC sebagai profilaksis untuk
mengurangi komplikasi post operasi dan mempermudah re-eksplorasi yang telah
direncanakan.10 Setelah laparotomi dekompresi, dilakukan temporer abdominal closure yang
dilanjutkan dengan permanen abdominal closure pada hari berikutnya.12
Temporary abdominal closure12
Beberapa metode dari temporary abdominal closure dapat digunakan. Keputusan pertama
yang harus dibuat adalah apakah menutup fascia dengan bahan sintetis atau membiarkannya
terbuka. Fascia tidak boleh ditutup primer, ini berkaitan dengan tingginya tingkat rekuren dari
ACS. Jika fascia ditutup dengan bahan sintetis, berbagai bahan (absorbable/nonabsorbable;
porous/nonporous) bisa digunakan. Berbagai tipe dari mesh dapat digunakan termasuk
polyglycolic acid (Vicryl), polypropylene (Marlex), atau polytetrafluoroethylene
(PTFE). Bahan yang dapat diserap lebih dipilih. Penutup dengan alat burr artificial (Velcro-

like), kantung cairan intravena (Bogot bag), kantung kaset x-ray steril, dan kertas Silastic
telah digunakan.
Jika fasia dibiarkan terbuka dan abdomen penuh, kulit bisa tertutup atau dibiarkan terbuka.
Kulit bisa ditutup menggunakan jahitan, penjepit kain, perban lateks Esmarch atau mesh. Jika
mesh dijahit ke kulit, akan ditutup dengan adesif drape yang steril dan drape(Vi-drape or
Steri Drape). Menjahit bahan sintetis ke kulit bukan ke fasia, mempersiapkan fasia untuk
definitive closure berikutnya. Jika penutupan kulit saja menyebabkan peningkatan IAP, kulit
dibiarkan terbuka. Usus ditutupi dengan nonadhesive, nonporous materi (seperti tas atau
perekat usus terlipat menggantungkan dirinya sendiri sehingga sisi perekat menempel pada
dirinya sendiri).
Tepi bahan nonadhesive, nonporous diselipkan di bawah tepi dinding abdomen anterior untuk
mencegah pengeluaran isi dari usus. Selanjutnya, handuk steril ditempatkan, diikuti oleh tirai
perekat (Vidrape atau tirai Steri ) yang menempel pada dinding perut dan mencegah
lebih lanjut pengeluaran isi, pengeringan dari usus, dan cairan kerugian dari perut yang
terbuka. Aplikasi langsung dari tirai perekat ke usus meningkatkan risiko enterocutaneous
fistula dan tidak disarankan.

Gambar 8. The "Bogota tas" metode sementara perut penutupan. Sebuah cairan irigasi
urologis tas dijahit ke kulit dan saluran eksternal ditempatkan untuk mengontrol dan
kuantifikasi dari kebocoran cairan atau perdarahan.4

Gambar 9. Setelah memadai granulasi telah terjadi dengan mesh diserap penutupan, jala akan
dihapus dan bagian perut "Tertutup" dengan ketebalan split cangkok kulit untuk menciptakan
terkendali ventral hernia.4
Permanent abdominal closure.12
Penutupan perut permanen dilakukan setelah hipovolemia, hipotermia, coagulapathy, dan
asidosis telah diperbaiki; yang biasanya tiga sampai empat hari setelah dekompresi
abdomen. Beberapa metode penutupan perut telah dideskripsikan. Primer penutupan fasia
dapat dilakukan atau cangkok kulit dapat ditempatkan diikuti oleh dinding perut tertunda
rekonstruksi.
Setelah mobilisasi signifikan cairan, dimungkinkan untuk menutup fasia tanpa ketegangan
yang signifikan. Namun, sebuah "pemisahan bagian" teknik mungkin diperlukan untuk
reapproximate fasia.
Jika mesh ditempatkan sebagai perut sementara penutupan (sebaiknya bahan yang diserap),
jala dapat dibiarkan in situ selama dua minggu kemudian ditutup dengan kulit ketebalan
parsial grafts ke jaringan granulasi yang mendasarinya. Jala biasanya akan dimasukkan ke
dalam jaringan granulasi pada titik waktu ini. Jika fasia tidak ditutup dan pasien yang tersisa
dengan cacat dinding perut, dinding perut rekonstruksi dapat dilakukan enam hingga dua
belas bulan kemudian.
Berbagai metode rekonstruksi telah dijelaskan, termasuk medial bilateral kemajuan
abdominus rektus otot dan fasia dengan atau tanpa sayatan kulit-relaksasi. Expanders jaringan
subkutan diikuti oleh flaps kemajuan myocutaneous bilateral juga telah digunakan. Garis
tengah perut flap cacat mungkin memerlukan rekonstruksi atau rekonstruksi dengan
nonabsorbable mesh.

BAB III
KESIMPULAN
Hipertensi intra-abdomen didefinisikan dengan menetap atau berulangnya tekanan intraabdomen (IAP) lebih dari 12 mmHg atau tekanan perfusi abdomen (APP) kurang dari 60
mmHg, dimana tekanan perfusi abdomen (APP) = tekanan arteri rata-rata (MAP) tekanan
intra-abdomen (IAP).
Gejala klinis ACS antara lain :
- Distensi abdomen yang berat
- Gagal napas yang ditandai dengan PCO2 yang meningkat, volume tidal yang berkurang,
tingginya tekanan puncak inspirasi.
- Curah jantung yang menurun
- Tekanan darah yang labil
- pHi rendah yang menetap
- Oliguria yang tidak respon terhadap terapi konvensional
- Tekanan intra abdomen yang meningkat (> 40 mm Hg)
Penanganan harus berdasarkan pada pemeriksaan klinis dengan peningkatan IAP. Grade I
IAH secara umum hanya memerlukan resusitasi volume dengan pemantauan tekanan
berkelanjutan. Pasien dengan grade II harus ditangani berdasarkan gejalanya. Grades III dan
IV ditangani dengan operasi dekompresi. Sebab laparotomi dekompresi merupakan gold
standard dalam penanganan pasien dengan ACS.
Hasil dari IAH dilihat paling mudah dalam ginjal dan system pernapasan. Namun, hampir
setiap sistem organ dapat terpengaruh. Dalam trauma atau pasien lain beresiko tinggi untuk
mengembangkan ACS berdasarkan temuan perioperatif, pengobatan terbaik adalah
penggunaan TAC untuk mengurangi insiden (meski tidak secara utuh mencegah)
pengembangan ACS. Jika ACS terjadi, pengobatan dengan dekompresi akan mampu
memberikan terapi terbaik dengan resolusi kardiovaskular, paru, dan ginjal derangements,
meskipun derajat dapat ditetapkan untuk kegagalan organ multiple berikutnya.

DAFTAR KEPUSTAKAAN
1. Paula, Richard MD. 2009. Abdominal Compartment Syndrome. Available
at www.emedicine.com/ 829008-overview.htm
2. Pleva, J. r, M. Mayzlk, J. 2004. Abdominal Compartment Syndrome in Polytrauma.
In: Biomed.
Papers
148(1),
8184
(2004). Available
at
http://publib.upol.cz/~obd/fulltext/Biomed/2004/1/81.pdf
3. Stassen, N.A et al. 2002. Abdominal Compartment Syndrome. In:Scandinavian
Journal
of
Surgery
91:
104108
(2002).
Available
at http://www.fimnet.fi/sjs/articles/SJS12002-104.pdf
4. Anjaria, J. D. J. Hoyt, D. B. 2007. Abdominal Compartment Syndrome. In: Trauma
Critical Care Volume 2, 34: 619-629. Available at www.infofarma.com
5. Joseph E. Parrillo, J. E. Dellinger P. R. 2007. Abdominal Compartment Syndrome.
In: Critical care medicine: principles of diagnosis and management in the adult 3 rd ed.
Available athttp://s21.ifile.it/29iq1g0/z531/18272807/209177___ccm3.rar
6. De Backer, Daniel.
at www.pubmed.com

1999. Abdominal

Compartment

Syndrome.

Available

7. Angood, Peter D, et al. 2001. Abdominal Compartment Syndrome. In: Sabiston


Textbook of Surgery The Biological Basis of Modern Surgical Practice 16 th ed.
Available at www.zd.pros.at
8. WSCAS. 2008. Abdominal Compartment Syndrome. Available at www.wscas.org
9. Bailey, Jeffrey. 2000. Abdominal Compartment Syndrome. In: Critical Care 2000
4:23-29. Available at http://ccforum.com/content/4/1/023
10. Sugrue, M. 2005. Abdominal Compartment Syndrome. In: Current Opinion in Critical
Care
2005,
11:333338.
Available
athttp://www.med.nyu.edu/resweb/anes/education/critical%20care/pdf/7.%20Trauma
%20and%20resusc/Abdominal%20Compartment%20Syndrome.pdf
11. Oldner,
A.
2008.
Abdominal
Compartment
athttp://www.sfai.se/files/ACS_Anders_Oldner.pdf

Syndrome.

Available

12. Borst, M J. 2009. Abdominal Compartment Syndrome.


athttp://www.panamtrauma.org/journal/Abdominal%20compartment
%20syndrome.pdf

Available

13. Cheatham, Michael L. 2009. Nonoperative Mangement of IAH and ACS. Available
at http://www.abdominal-compartmentsyndrome.org/acs/Cheatham,NonoperativeMangementofIAH,W%20J%20Surg
%202009.pdf

1. Definisi
Sindrom kompartemen merupakan masalah medis akut setelah cedera pembedahan,di mana
peningkatan tekanan (biasanya disebabkan oleh peradangan) di dalam ruang tertutup
(kompartemen fasia) di dalam tubuh mengganggu suplai darah atau lebih dikenal dengan
sebutan kenaikan tekanan intra-abdomen. Tanpa pembedahan yang cepat dan tepat, hal ini
dapat menyebabkan kerusakan saraf dan otot kematian.
Sindrom kompartemen abdominal (ACS) muncul bila disfungsi organ terjadi sebagai hasil
dari hipertensi intra-abdomen. Sindrom ini didefinisikan dengan menetap atau berulangnya
tekanan intra-abdomen lebih dari 20 mmHg atau tekanan perfusi abdomen kurang dari 60
mmHg dengan disertai onset satu atau lebih kegagalan sistem organ. Tekanan intra-abdomen
normal antara 0-5 mmHg, tapi pada pasien dewasa yang kritis normal IAP dapat mencapai
antara 5-7 mmHg.

Hipertensi intra-abdomen didefinisikan dengan menetap atau berulangnya tekanan intraabdomen (IAP) lebih dari 12 mmHg atau tekanan perfusi abdomen (APP) kurang dari 60
mmHg, dimana tekanan perfusi abdomen:
(APP) = tekanan arteri rata-rata (MAP) tekanan intra-abdomen (IAP)
Berbeda dengan hipertensi intra-abdomen (IAH), sindrom kompartemen abdominal tidak
diberi tingkatan tetapi lebih didasarkan sebagai fenomena.
Sindrom kompartemen abdominal adalah suatu kondisi yang sangat berpotensi akan
terjadinya kematian, hal ini dapat diakibatkan oleh beberapa kasus yang menyebabakan
hipertensi intra-abdominal; penyebab tersering adalah trauma tumpul abdominal. Peningkatan
tekanan intra-abdominal menyebabkan hipoperfusi dan iskemik usus besar, dan selaput perut
lainnya. Efek patofisiologi termasuk pelepasan sitokin, oksigen radikal bebas, dan penurunan
produksi sel (adenosine triphosphat). Proses ini memungkinkan terjadinya translokasi bakteri

yang berasal dari usus dan edema usus besar, yang merupakan faktor pencetus terjadinya
sindrom disfungsi organ pada pasien. Konsekuensi dari sindrom kompartemen abdomen
sangat besar dan mempengaruhi banyak sistem vital pada tubuh. Hemodinamik, respirasi,
renal, dan abnormalitas neurologi adalah bagian-bagian yang dipengaruhi sindrom
kompartemen abdomen. Penatalaksanaan medis berupa laparatomi. Asuhan keperawatan
berupa keterlibatan perawat terhadap monitoring kondisi klien,termasuk ukuran tekanan
intra-abdominal.
ACS dapat dibagi menjadi 3 berdasarkan penyebabnya :
1.
Primer atau ACS akut : jika patologi intra-abdominal terjadi secara langsung di bagian
proksimal.
2.
ACS sekunder : tidak terdapat luka intra-abdominal, tetapi di luar abdominal yang
dikarenakan akumulasi cairan.
3.
ACS kronik : jika disebabkan oleh sirosis dan asites (biasanya pada stadium lanjut
ACS).
Pada bagian gawat darurat dan ICU, klien diduga mengalami ACS jika terjadi metabolik
asidosis, penurunan output urin, dan penurunan curah jantung. Penyebab kasus ini hampir
mirip dengan gejala patologis yang lain, seperti hipovolemi.

2. Etiologi
Sindrom kompartemen abdomen terjadi ketika IAP terlalu tinggi, mirip dengan sindrom
kompartemen dalam ekstremitas.
Ada 3 jenis sindrom kompartemen abdomen yang berbeda dan kadang-kadang menyebabkan
tumpang tindih.
1) Primer (akut)
a.

Menembus trauma

b.

Intraperitoneal pendarahan

c.

Pankreatitis

d. Eksternal mengompresi kekuatan, seperti puing-puing dari sebuahkendaraan bermotor


tabrakan atau setelah struktur besar ledakan
e.

Patah tulang panggul

f.

Pecahnya aneurisma aorta perut

g.

Perforasi ulkus peptikum

2) Sekunder
Sekunder ACS dapat terjadi pada pasien tanpa cedera intra-abdomen, ketika cairan
terakumulasi dalam volume yang cukup untuk menyebabkan IAH.

a. Resusitasi dengan volume besar menunjukkan peningkatan risiko signifikan ketika


diberikan cairan lebih dari 3 L.
b. Area luka bakar yang luas dan tebal menunjukkan sindrom kompartemen abdomen
dalam waktu 24 jam pada pasien luka bakar yang menerima rata-rata dari 237 mL / kg selama
12-jam dalam 2 periode (Hobson et al,2002)
c.

Menembus atau trauma tumpul tanpa cedera diidentifikasi

d. Pascaoperasi
e.

Pengepakan dan penutupan fasia utama, yang meningkatkan insiden

f.

Sepsis

3) Kronis
a.

Peritoneal dialysis

b.

Morbid obesitas

c.

Serosis

d. Meigs sindrom (kumpulan dari asites, efusi pleura,dan tumor jinak ovarium)

3. Faktor Resiko
1.

Penurunan daya komplians dinding abdomen

a.

Gagal napas akut khususnya dengan tekanan intra-thorakal yang meningkat.

b.

Pembedahan abdomen dengan jahitan primer fasia tertutup yang ketat.

c.

Trauma mayor/ luka bakar

d. Posisi telungkup, tinggi kepala bed > 30 derajat


e.

Indeks massa tubuh yang tinggi, obesitas

2.

Peningkatan isi intra-lumen

Gastroparesis, Ileus, pseudo-obstruksi kolon


3.

Peningkatan isi abdomen

Hemoperitoneum / pneumoperitoneum, Ascites / disfungsi hati


4.

Kebocoran kapiler/ resusitasi cairan

a.

Asidosis

b.

Politransfusi (>10 unit darah / 24 jam)

c. Koagulopati (platelet <> 15 detik atau partial thromboplastin time (PTT) > 2kali normal
atau international standardised ratio (INR) > 1.5)

d. Resusitasi cairan yang masif (> 5 L / 24 jam), Pankreatitis, Oliguria, Sepsis


e.

Trauma mayor/ luka bakar, laparotomi kontrol kerusakan.

4. Patofisiologi
Setiap kelainan yang meningkatkan tekanan dalam rongga perut dapat menimbulkan
hipertensi intra-abdomen. Dalam beberapa situasi, seperti pankreatitis akut atau pecahnya
aneurisma aorta abdominal. Obstruksi mekanis usus halus dan pembesaran abdomen bisa
menimbulkan hipertensi intra abdomen. Namun, trauma tumpul abdomen dengan perdarahan
intra-abdomen dari lienalis, hati, dan cedera mesenterika adalah penyebab paling umum dari
hipertensi intra-abdomen.pembedahan perut dengan tujuan untuk mengendalikan pendarahan
juga dapat meningkatkan tekanan dalam ruang peritoneal. Distensi usus sebagai akibat dari
syok hipovolemik dan perpindahan volume yang besar, merupakan penyebab penting
hipertensi intra-abdomen, dan selanjutnya mengakibatkan ACS pada pasien trauma.
Pada kondisi syok, vasokonstriksi dimediasi oleh system syaraf simpatik mengakibatkan
kurangnya suplai darah ke kulit, otot, ginjal, dan saluran pencernaan, hal ini bertujuan untuk
menyuplai jantung dan otak. Redistribusi darah dari usus menghasilkan hipoksia seluler di
jaringan usus. Hipoksia ini berhubungan dengan 3 bagian penting dari perkembangan
kompensasi positif yang mencirikan pathogenesis hipertensi intra-abdomendan
perkembangannya menjadi ACS :
1.

Pelepasan sitokinin

2.

Pembentukan oksigen radikal bebas

3.

Penurunan produksi adenosine trifosfat pada sel

Sebagai respon terhadap jaringan yang mengalami hipoksia, maka sitokinin dilepaskan.
Molekul-molekul ini meningkatkan vasodilatasi dan meningkatkan permeabilitas kapiler
yang mengarah pada terjadinya edema. Setelah seluler mengalami reperfusi, oksigen radikal
bebas dihasilkan. Agen ini memiliki efek toksik pada membran sel yang kondisinya
diperparah oleh adanya sitokinin, yang merangsang pelepasan radikal lebih banyak lagi.
Selain itu, kurangnya penghantaran oksigen ke jaringan yang mengalami keterbatasan
produksi adenosine triphosphat dan penurunan persediaan dari adenosine triphosphat ini
tergantung pada aktivitas seluler. (Paula Richard, 2009)
Yang terkena dampak adalah pompa natrium-kalium. Efisien fungsi pompa sangat penting
untuk peraturan intraseluler elektrolit. Ketika pompa gagal, terjadi kebocoran natrium ke
dalam sel sehingga menarik air. Sel membengkak, selaput kehilangan integritas, isi
intraseluler keluar ke ekstraseluler dan mengakibatkan inflamasi (peradangan). Inflamasi
dengan cepat berubah menjadi edema, sebagai akibat dari kebocoran kapiler, dan jaringan di
usus semakin membengkak akibat dari semakin meningkatnya tekanan intra-abdomen. Pada
awal tekanan, perfusi usus terganggu, hipoksia seluler, kematian sel, peradangan, edema terus
berlanjut. (Pleva Mayzlk, J. 2004)
Jadi, pada hipertensi intra-abdomen dapat menyebabkan vasokonstriksi sehingga terjadi
peningkatan tekanan intra-abdomen. Apabila tekanan intra-abdomen terus meningkat, dapat
menyebabkan terjadinya penurunan perfusi jaringan dan akhirnya terjadi edema yang juga

dapat memperparah peningkatan tekanan intra-abdomen. Meningkatnya tekanan intraabdomen inilah yang akhirnya menyebabkan kompartement sindrom abdominal.
Patofisiologi dampak ACS pada berbagai sistem organ :
a.

Disfungsi ginjal

Disfungsi ginjal merupakan dampak yang paling sering terjadi. Efek klasik IAH/ACS pada
system ginjal yaitu oliguria hingga menjadi anuria dengan IAPyang meningkat. IAP 1520
mmHg dapat terjadi oliguria, sementara IAP lebihdari 30 mmHg dapat terjadi anuria.
Mekanisme terjadinya disfungsi ginjalterdapat banyak faktor. ACS membuat gangguan pada
kardiovaskular denganmenurunkan curah jantung sehingga menurunkan aliran
arteri ginjal,meningkatkan resistensi vaskular ginjal, menurunkan filtrasi glomerulus
dankompresi vena ginjal.
b.

Disfungsi paru

Peningkatan IAP berdampak langsung pada fungsi paru. Komplians paru mengalami resultan
reduksi progresif pada kapasitas total paru, kapasitas residu fungsional dan volume residu. Ini
ditunjukkan secara klinis dengan elevasi hemidiafragma pada radiografi dada. Perubahan ini
ditunjukkan pada IAP diatas 15 mmHg. Terjadi kegagalan respirasi selanjutnya akibat
hipoventilasi dari hasil elevasi progresif IAP. Resistensi vascular paru meningkat sebagai
hasil dari pengurangan tekanan oksigen alveolus dan peningkatan tekanan intra-torak.
Pada akhirnya, disfungsi organ paru ditunjukkan dengan keadaan hipoksia, hiperkapnia dan
peningkatan tekanan ventilasi
c.

Disfungsi jantung

Peningkatan IAP secara konsisten berkorelasi dengan penurunan curah jantung.Ini


ditinjukkan pada IAP diatas 20 mmHg. Penurunan jurah jantung merupakanhasil dari
penurunan alur balik vena jantung dari kompresi langsung pada venacava dan vena porta.
Peningkatan tekanan intra-thorak juga membuat penurunan aliran vena cava superior dan
inferior. Resistensi maksimal aliran darah vena cava terjadi di hiatus cavum diafragma. Ini
berhubungan dengan gradient tekanan tiba-tiba antara abdomen dan rongga dada.
Peningkatan tekanan intra-thorak menyebabkan kompresi jantung dan pengurangan volume
akhir diastolik. Kenaikan resistensi vascular sistemik berasal dari efek gabungan
vasokonstriksi arteriolar dan IAP yang meningkat. Gangguan ini membuat stroke
volume berkurang
dimana
hanya
satu-satunya
yang
dikompensasi
dengan
meningkatkan detak jantung dan kontraktilitas. Kurva Starling kemudian bergeser ke bawah
dan ke kanan dan curah jantung secara progresif menurun dengan IAP yang meningkat.
Kelainan ini terjadi eksaserbasi bersamaan dengan hipovolemia.Perubahan hemodinamik
signifikan ditunjukkan pada IAP diatas 20 mmHg.
d. Disfungsi hepar
Penurunan aliran darah arteri hepatic, vena porta dan sirkulasi mikro berhubungan dengan
IAH. Ketika babi yang teranestesi IAP-nya meningkat hingga 20 mmHg, kebalikan dari Q
konstan dan tekanan arteri rata-rata, aliran arteri hepatic berkurang hingga 55%, aliran vena
porta menurun hingga 35% dan aliran sirkulasimikro hepatic berkurang hingga 29%
dibandingkan dengan control. Penurunan pada aliran sirkulasi mikro hepatik yang sama juga
terjadi pada pasien dengan kolesistektomi per laparoskopi. Pasien dengan trauma

kemungkinan meningkat resiko sekunder terhadap penurunan aliran darah portal dan visceral
yang terjadiselama syok
e.

Disfungsi Splaknik

Sama seperti dampak yang terjadi pada hati, ginjal dan vena cava inferior, efek predominan
dari peningkatan IAP juga mengurangi perfusi splaknik. Hipoperfusisplaknik dapat terlihat
pada IAP 15 mmHg dengan laporan kasus iskemiaintestinal yang memerlukan intervensi
operatif setelah laparoskopik elektif mempertahankan 15 mmHg pneumoperitonium.
Bagaimanapun aliran darah arterimesenterikum, mukosa usus, dan vena porta telah menurun
dengan peningkatan IAP. Ini dapat diukur pada pengaturan klinis dengan tonometri gaster
yangmengindikasikan penurunan perfusi pada perut. Sebuah studi menunjukkan
bahwapenurunan perfusi gaster disimpulkan dengan penurunan pHi gaster yangberkurang
lebih awal dari tanda-tanda ACS (oliguria, tekanan puncak inspirasimeningkat). Penurunan
perfusi gastrointestinal ini terjadi tidak bergantung pada penurunan Q. IAP yang meningkat
juga menunjukkan tekanan vena porta yangmeningkat. Ini kemungkinan salah satu factor
kontribusi pada patofisiologi varises esophagus pada pasien dengan gagal hati. Meningkatnya
IAP hingga 10 mmHgmenghasilkan peningkatan tekanan varises, volume, radius dan
ketegangan dinding. Sebagai tambahan, penurunan perfusi splaknik dan cedera
reperfusi ditunjukkan dengan produksi sitokin dari usus. Ini berperan dalam
perkembangan komplikasi septic dan atau sindrom respon inflamasi sistemik (SIRS)
dankegagalan organ multipel.
f.

Disfungsi system saraf pusat

Meskipun ACS tidak menyebabkan kegagalan system saraf pusat, terdapathubungan erat
antara IAH dan ICP yang meningkat dengan reduksi sekunder pada CPP yang ditunjukkan
pada dua hewan percobaan. Ini akibat mekanismepeningkatan tekanan intrathora dimana
dihasilkan dari IAH, elevasi media padadiafragma. Peningkatan tekanan intra-thorak
meningkatkan tekanan vena jugular dan ICP. Pasien dengan ACS secara klinis dan ICP yang
meningkat telahterkoreksi ICP dengan laparotomi dekompresi. Dengan demikian pemantauan
IAPdisarankan pada pasien dengan neurotrauma dan cedera abdomen atau curiga IAHdengan
pemikiran untuk dekompresi pada peningkatan ICP.

5. Manifestasi Klinis
Gejala klinis ACS antara lain (Paula Richard MD, 2009) :
1.

Distensi abdomen yang berat

2. Gagal napas yang ditandai dengan PCO2 yang meningkat, volume tidal yang berkurang,
tingginya tekanan puncak inspirasi.
3.

Curah jantung yang menurun

4.

Tekanan darah yang labil

5.

pH rendah yang menetap

6.

Oliguria yang tidak respon terhadap terapi konvensional

7.

Tekanan intra abdomen yang meningkat (> 40 mm Hg)

Gejala klinis yang terjadi pada ACS dikenal dengan 5P (Irga, 2008), yaitu :
1. Pain (nyeri), nyeri yang hebat saat peregangan pasif pada otot-otot yang terkena, ketika
ada trauma langsung. Nyeri merupakan gejala dini yang paling penting. Terutama jika
munculnya nyeri tidak sebanding dengan keadaan klinik (pada anak-anak tampak semakin
gelisah atau memerlukan analgesia lebih banyak dari biasanya). Otot yang tegang pada
kompartemen merupakan gejala yang spesifik dan sering.
2.

Pallor (pucat), diakibatkan oleh menurunnya perfusi ke daerah tersebut

3.

Pulselesness (berkurang atau hilangnya denyut nadi)

4.

Parastesia (rasa kesemutan)

5. Paralysis, merupakan tanda lambat akibat menurunnya sensasi saraf yang berlanjut
dengan hilangnya fungsi bagian yang terkena kompartemen sindrom.
Sedangkan gejala yang khas pada kompartemen sindrom, yaitu:
1. Nyeri yang timbul saat aktivitas, terutama saat olahraga. Biasanya setelah berlari atau
beraktivitas selama 20 menit.
2.

Nyeri bersifat sementara dan akan sembuh setelah beristirahat 15-30 menit

3.

Terjadi kelemahan atau atrofi otot (Irga, 2008)

6. Pemeriksaan Diagnostik
1.

Laboratorium :

a.

Comprehensive metabolic panel (CMP)

b.

Complete blood cell count (CBC)

c.

Amylase and lipase assessment

d. Prothrombin time (PT), activated partial thromboplastin time (aPTT) bila pasien diberi
heparin
e.

Test untuk marker jantung

f.

Urinalisis and urine drug screen

g.

Pengukuran level serum laktat

h.

Arterial blood gas (ABG): cara cepat untuk mengukur deficit pH, laktat dan basa.

2.

Radiografi :

a.

Abdomen serial untuk melihat udara bebas atau obstruksi usus.

b. Radiografi polos abdomen sering tidak berguna dalam mengidentifikasi sindrom


kompartemen abdominal.
c. CT scan abdomen dapat memberikan banyak temuan. Pada tahun 1999 Pickhardt dkk
menemukan gambaran dibawah ini pada pasien dengan sindrom kompartemen abdominal :

1) Round-belly sign distensi abdomen dengan rasio diameter abdomen anteroposterior ke


transversal meningkat. (ratio >0.80; P<0.001)
2) Kolaps vena kava
3) Penebalan dinding usus dengan enhancement
4) Hernia inguinal bilateral
5) USG Abdomen
6) Aneurisma aorta, bila besar dapat terdeteksi
7) Gas usus atau kegemukan mempersulit pemeriksaan

7.

Penatalaksanaan

Tekanan Intra Abdomen dibagi atas:


1. Grade I

: IAP 12 15 mmHg

2. Grade II : IAP 16 20 mmHg


3. Grade III : IAP 21 25 mmHg
4. Grade IV : IAP > 25 mmHg
Studi akhir-akhir ini menunjukkan bahwa penilaian klinis dan pemeriksaan klinis adalah tidak
akurat dalam memprediksi IAP pasien. Beberapa metode telah dikembangkan untuk
mengukur IAP, yakni dengan cara langsung (misalnya punksi abdomen saat dialisis peritoneal
atau laparoskopi) dan secara tidak langsung (misalnya pengukuran tekanan intrabuli, tekanan
gaster, colon, atau tekanan uterus). Dari beberapa metode ini, teknik pengukuran tekanan
intrabuli telah diterima secara luas di seluruh dunia oleh karena lebih sederhana dan biaya
lebih minimal. Dalam usaha untuk melakukan standardisasi dari pengukuran IAP, makan
hasil pengukuran IAP dinyatakan dalam mmHg dan diukur saat ekspirasi akhir pada posisi
supine setelah menjamin absennya kontraksi otot abdomen. Nilai normal IAP adalah 5-7
mmHg. (Malbrain, 2006).
Teknik pengukuran intravesika merupakan cara tidak langsung yang cukup tepat untuk
mengukur tekanan intra abdomen. Perubahan tekanan intra peritoneal direfleksikan pada
tekanan intravesika. Validasi metode ini menunjukkan bahwa tekanan intra vesika identik
dengan tekanan intraperitoneal. (Iberti, 1997).
Penanganan harus berdasarkan pada pemeriksaan klinis dengan peningkatan IAP. IAP kritis
yang menimbulkan berbagai disfungsi organ bergantung pada keadaan premorbid pasien.
Pasien gemuk setiap saat meningkat IAP tetapi telah terkompensasi dengan hal tersebut.
Grade I IAH secara umum hanya memerlukan resusitasi volume dengan pemantauan tekanan
berkelanjutan. Beberapa pasien tidak membaik keadaannya. Pasien dengan grade II harus
ditangani berdasarkan gejalanya. Bila oliguria ringan dengan kompresi jantung dan paru
minimal, dapat diresusitasi lebih lanjut dan dilanjutkan dengan memantau tekanan. Bila
pasien mengalami cedera intra-kranial atau kompresi berat yang lebih, operasi dekompresi

harus dipikirkan. Grades III dan IV ditangani dengan operasi dekompresi. Saat ini sebagian
besar penulis menyetujui bahwa tekanan kritis untuk ACS adalah antara 20 hingga 25 mmHg.
a.

Sistem grade kompartemen abdominal

Tekanan buli-buli Grade (mmHg) Rekomendasi


I

1015 Pertahankan normovolemia

II

1625 Resusitasi Hipervolemik

III

2635 Dekompresi

IV >35

Dekompresi dan re-eksplorasi

Pilihan terapi medis untuk mengurangi IAP :


1.

Memperbaiki komplians dinding abdomen

Sedasi dan analgesik

Blokade neuromuskular

Hindari ketinggian kepala tempat tidur > 30 degrees

2.

Evakuasi isi intra-lumen

Dekompresi nasogaster

Dekompresi rektum

Agent gastro-/colo-prokinetik

3.

Evakuasi kumpulan cairan abdominal

Parasentesis

Drainase perkutan

4.

Koreksi keseimbangan cairan positif

Hindari resusitasi cairan berlebih

Diuretik

Koloid / cairan hipertonik

Hemodialisis / ultrafiltrasi

5.

Organ Pendukung

Pertahankan APP > 60 mmHg dengan vasopressor

Optimalkan ventilasi, alveolar recruitment

Gunakan tekanan jalan napas transmural (tm)

Pplattm = Pplat IAP

Pikirkan untuk menggunakan volumetric preload indices

Jika menggunakan PAOP/CVP, gunakan tekanan transmural

PAOPtm = PAOP - 0.5 * IAP

CVPtm = CVP - 0.5 * IAP

Terdapat manajemen nonoperatif pada IAH/ACS yang terdiri dari lima intervensi terapi, tiap
terapi mengandung beberapa langkah tingkat terapi :
1.

Evakuasi isi intralumen

2.

Evakuasi space-occupying lesion intra-abdomen

3.

Memperbaiki komplians dinding abdomen

4.

Optimalkan kebutuhan cairan

5.

Optimalkan perfusi jaringan regional dan sistemik

b.

Manajemen pembedahan

Laparotomi dekompresi merupakan gold standard dalam penanganan pasien dengan ACS.
Pendekatan dekompresi abdomen sangat beragam. Temporary abdominal closure (TAC) telah
banyak digunakan sebagai mekanisme mengembalikan dampak akibat peningkatan IAP.
Beberapa penulis menganjurkan penggunaan TAC sebagai profilaksis untuk mengurangi
komplikasi post operasi dan mempermudah re-eksplorasi yang telah direncanakan. Setelah
laparotomi dekompresi, dilakukan temporer abdominal closure yang dilanjutkan dengan
permanen abdominal closure pada hari berikutnya.

c.

Temporary abdominal closure

Beberapa metode dari temporary abdominal closure dapat digunakan. Keputusan pertama
yang harus dibuat adalah apakah menutup fascia dengan bahan sintetis atau membiarkannya
terbuka. Fascia tidak boleh ditutup primer, ini berkaitan dengan tingginya tingkat rekuren dari
ACS. Jika fascia ditutup dengan bahan sintetis, berbagai bahan (absorbable/nonabsorbable;
porous/nonporous) bisa digunakan. Berbagai tipe dari mesh dapat digunakan termasuk
polyglycolic acid (Vicryl), polypropylene (Marlex), atau polytetrafluoroethylene
(PTFE). Bahan yang dapat diserap lebih dipilih. Penutup dengan alat burr artificial (Velcrolike), kantung cairan intravena (Bogot bag), kantung kaset x-ray steril, dan kertas Silastic
telah digunakan.
Jika fasia dibiarkan terbuka dan abdomen penuh, kulit bisa tertutup atau dibiarkan terbuka.
Kulit bisa ditutup menggunakan jahitan, penjepit kain, perban lateks Esmarch atau mesh. Jika
mesh dijahit ke kulit, akan ditutup dengan adesif drape yang steril dan drape (Vi-drape or
Steri Drape). Menjahit bahan sintetis ke kulit bukan ke fasia, mempersiapkan fasia untuk
definitive closure berikutnya. Jika penutupan kulit saja menyebabkan peningkatan IAP, kulit
dibiarkan terbuka. Usus ditutupi dengan nonadhesive, nonporous materi (seperti tas atau
perekat usus terlipat menggantungkan dirinya sendiri sehingga sisi perekat menempel pada
dirinya sendiri).

Tepi bahan nonadhesive, nonporous diselipkan di bawah tepi dinding abdomen anterior untuk
mencegah pengeluaran isi dari usus. Selanjutnya, handuk steril ditempatkan, diikuti oleh tirai
perekat (Vidrape atau tirai Steri ) yang menempel pada dinding perut dan mencegah
lebih lanjut pengeluaran isi, pengeringan dari usus, dan cairan kerugian dari perut yang
terbuka. Aplikasi langsung dari tirai perekat ke usus meningkatkan risiko enterocutaneous
fistula dan tidak disarankan.
Sebuah cairan irigasi urologis tas dijahit ke kulit dan saluran eksternal ditempatkan untuk
mengontrol dan kuantifikasi dari kebocoran cairan atau perdarahan.

d.

Permanent abdominal closure

Penutupan perut permanen dilakukan setelah hipovolemia, hipotermia, coagulapathy, dan


asidosis telah diperbaiki; yang biasanya tiga sampai empat hari setelah dekompresi abdomen.
Beberapa metode penutupan perut telah dideskripsikan. Primer penutupan fasia dapat
dilakukan atau cangkok kulit dapat ditempatkan diikuti oleh dinding perut tertunda
rekonstruksi.
Setelah mobilisasi signifikan cairan, dimungkinkan untuk menutup fasia tanpa ketegangan
yang signifikan. Namun, sebuah "pemisahan bagian" teknik mungkin diperlukan untuk
reapproximate fasia.
Jika mesh ditempatkan sebagai perut sementara penutupan (sebaiknya bahan yang diserap),
jala dapat dibiarkan in situ selama dua minggu kemudian ditutup dengan kulit ketebalan
parsial grafts ke jaringan granulasi yang mendasarinya. Jala biasanya akan dimasukkan ke
dalam jaringan granulasi pada titik waktu ini. Jika fasia tidak ditutup dan pasien yang tersisa
dengan cacat dinding perut, dinding perut rekonstruksi dapat dilakukan enam hingga dua
belas bulan kemudian.
Berbagai metode rekonstruksi telah dijelaskan, termasuk medial bilateral kemajuan
abdominus rektus otot dan fasia dengan atau tanpa sayatan kulit-relaksasi. Expanders jaringan
subkutan diikuti oleh flaps kemajuan myocutaneous bilateral juga telah digunakan. Garis
tengah perut flap cacat mungkin memerlukan rekonstruksi atau rekonstruksi dengan
nonabsorbable mesh.
Pasien yang dirawat di ICU sebaiknya diskrining untuk melihat faktor resiko terjadinya
IAH/ACS dan dengan kegagalan organ yang baru atau progresif. Biladua atau lebih faktor
resiko dijumpai, pengukuran IAP harus dilakukan. Dan bila IAH ditemukan, pengukuran IAP
serial harus dilakukan pada pasien tersebut.
Pengukuran IAP terdiri dari berbagai teknik yaitu penempatan metal intra-abdomen langsung
(sudah lama ditinggalkan), tekanan vena kava inferior (beresiko thrombosis dan infeksi),
tekanan gaster (jarang digunakan tetapi berguna bila terdapat trauma buli-buli dimana distensi
buli merupakan kontraindikasi) dan tekanan buli-buli. Gold standard pengukuran IAP adalah
dengan tekanan buli-buli.
Untuk mengukur tekanan buli-buli, suntikkan 50-100 ml saline steril kedalam Foley kateter
melalui lubang aspirasi; klem silang selang steril dari drainkantong urin letak distal dari
lubang aspirasi; hubungkan ujung selang drainkantong urin ke Foley kateter; lepaskan klem
sesaat agar cairan dari buli keluar dan kemudian klem ulang; Y-connect transduser tekanan ke

kantong drain melalui lubang aspirasi menggunakan jarum G 16; pastikan IAP dari transduser
menggunakan puncak dari tulang simfisis pubis sebagai titik nol dalam posisitelentang.
Manometer tangan yang dihubungkan ke Foley kateter melalui kolom cairan di selang dapat
digunakan untuk menentukan tekanan sebagai ganti transduser.

8.

Komplikasi

Jika kompartemen sindrom tidak mendapatkan penanganan dengan segera, akan


menimbulkan berbagai komplikasi antara lain (Irga, 2008) :
1.

Nekrosis pada syaraf dan otot dalam kompartemen

2. Kontraktur volkman, merupakan kerusakan otot yang disebabkan oleh terlambatnya


penanganan sindrom kompartemen sehingga timbul deformitas pada tangan, jari, dan
pergelangan tangan karena adanya trauma pada lengan bawah
3.

Trauma vascular

4.

Gagal ginjal akut

5.

Sepsis

6.

Acute respiratory distress syndrome (ARDS)

9. Prognosis
Tingkat kematian dengan kasus ACS dilaporkan 10-68% dari pasien yang
mengalaminya. Prosentase klien yang dapat bertahan hidup dengan kasus ACS sekitar 53%.
Jika sudah diketahui ada tanda-tanda mengalami ACS, maka penatalaksanaan yang harus
dilakukan adalah dekompresi laparotomi

10. Asuhan Keperawatan


3.1

KASUS SEMU

Ny. S, 35 tahun datang ke RS Pendidikan Universitas Airlangga dengan keluhan sesak,


bagian perut semakin membesar, mual, muntah, dan terjadi oliguria, pasien juga terlihat
tampak kurus dan BB semakin menurun. Tekanan darah labil, GCS = 4-5-6. Seminggu
sebelum MRS, klien mengeluh nyeri hebat di perut bagian bawah. Sekitar 1tahun yang
lalu Ny. S pernah mengalami kecelakaan dan pernah rawat inap karenamengalami trauma
tumpul pada perutnya.

3.2

PENGKAJIAN

1.

Identitas klien

Identitas klien meliputi nama, umur, jenis kelamin, suku bangsa, agama, pendidikan,
pekerjaan, alamat tanggal masuk rumahsakit, diagnose medis.

Nama

: Ny.S

Jenis Kelamin

: Perempuan

Umur

: 35 Tahun

Agama

: Islam

Pendidikan

: SMP

Pekerjaan

: Karyawan Swasta

Alamat

: Surabaya

Masuk RS
2.

: 1 Mei 2012

Keluhan utama

Klien mengeluh nyeri di bagian perut bawah


3.

Riwayat penyakit saat ini

Klien mengeluh rasa tidak nyaman pada abdomen dan mual muntah. 2 minggu SMRS, klien
mengeluh nyeri hebat pada perut bagian bawah saat melakukan aktivitas berat dan mereda
dalam keadaan rileks. Saat dalam keadaan nyeri, klien meminum analgesik untuk meredakan
nyeri yang klien rasakan. Klien tidak memeriksakan keadaannya tersebut sampai bagian
perutnya membesar disertai nyeri hebat dan sesak.
4.

Riwayat penyakit dahulu

Sekitar 1 tahun yang lalu, klien pernah kecelakaan dan mengalami trauma tumpul pada perut.
Klien mengaku tidak mempunyai penyakit gastritis, apendisitis, asma dan mengaku tidak
memiliki riwayat alergi.
5.

Riwayat penyakit keluarga

Tidak ada
6.

Pengkajian psiko-sosio-spiritual

a.

Intrapersonal : Klien merasa cemas

b.

Interpersonal : -

7.

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik pada klien dengan compartemen sindrom abdomen meliputi pemeriksaan
fisik umum per system dari observasi keadaan umum, pemeriksaan tanda-tanda vital, B1
(breathing), B2 (Blood), B3 (Brain), B4 (Bladder), B5 (Bowel), dan B6 (Bone).
a.

B1 (Breath)

: Sesak, nafas tidak teratur

b.

B2 (Blood)

: Pucat, peningkatan tekanan darah, penurunan nadi

c.
B3 (Brain)
: Ada perasaan takut. Penampilan yang tidak tenang. Data psikologis
Klien
nampak gelisah.
d.

B4 (Bladder) : Oliguria

Data
DS : Klien mengeluh nyeri
DO :

Etiologi
Trauma

Masalah
tumpul Nyeri

abdomen

P : Nyeri timbul akibat


adanya benturan tumpul
pada
abdomen
saat Perdarahan
intra abdomen
kecelakaan

e.
B5
(Bowel)
:
Mual,
muntah,
nafsu makan
menurun.
Nyeri tekan
pada
abdomen

Q : Nyeri yang dirasakan


seperti ditusuk-tusuk
R : Terasa nyeri di bagian
perut bawah
S : Skala nyeri 8 (skala
antara 1-10)
T : Nyeri timbul ketika
klien melakukan pergerakan

Hipertensi

intra-

f.
B6
(Bone)
: Kelemaha
n, lelah

intra- Ketidakefektifan
pola nafas

3.3 ANALI
SIS DATA

abdomen

Nyeri
DS : Klien mengeluh sesak
saat bernafas
DO : RR meningkat, RR =
>20 x/menit

Tekanan
abdomen meningkat

Relaksasi diafragma
terhambat

Kapasitas

residual

fungsional

Suplai O2 menurun

Sesak

Ketidakefektifan
nafas
DS : Klien mengeluh lemas

pola

Trauma abdomen

DO : Klien terlihat pucat


Nadi : < 60 x/menit
TD : 90/60 mmHg
RR : < 20 x/menit

Perdarahan

antara

peritonial

Akral : Dingin dan lembab


CRT : > 3 detik

Penurunan volume

Penurunan
perfusi jaringan

3.4 DIAGNOSA KEPERAWATAN


1. Nyeri berhubungan dengan adanya peningkatan tekanan intra abdomen yang
mengakibatkan iskemik jaringan
2. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan distensi abdomen yang mengakibatkan
penekanan diafragma (penghambatan relaksasi diafragma)
3. Penurunan perfusi jaringan berhubungan dengan perdarahan yang mengakibatkan syok
hipovolemik
4.

Perubahan pola eliminasi urin berhubungan dengan oliguri

5. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan nafsu makan menurun
akibat adanya mual dan muntah
6. Anxietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan : Potensial komplikasi GI yang
berkenaan dengan adanya penyakit, dan tindakan yang dapat mencegah kekambuhan

3.5 INTERVENSI
1.

Nyeri berhubungan dengan peningkatan tekanan intra abdomen

Tujuan: Nyeri yang dirasakan berkurang atau dapat diadaptasi oleh klien
Kriteria hasil:
-

Klien mengungkapkan nyeri yang dirasakan berkurang atau dapat diadaptasi

Klien tidak merasa kesakitan.

Dapat mengidentifikasi aktifitas yang meningkatkan atau menurunkan nyeri,


klien tampak rileks (TD = 120/80 mmHg, N = 80 x/menit, RR = 15 x/menit)
Intervensi

Rasional

1.
Berikan kesempatan waktu istirahat 1.
Istirahat akan merelaksasi semua
bila terasa nyeri dan berikan posisi yang jaringan sehingga akan meningkatkan
nyaman.
kenyamanan.

2.
Mengajarkan
danmetode distraksi

tehnik

relaksasi 2.
Akan melancarkan peredaran darah,
dan dapat mengalihkan perhatian nyerinya
ke hal-hal yang menyenangkan

3.
Menghindari adanya tekanan intra
3.
Beritahu
pasien
untuk
abdomen
menghindari mengejan, meregang, batuk,
dan mengangkat benda yang berat.

Ajarkan pasien untuk menekan insisi


dengan tangan atau bantal selama episode
batuk; ini khususnya penting selama
periode pascaoperasi awal dan selama 6
minggu setelah pembedahan.
4.

Kolaborasi analgesic

4.
Analgesik memblok lintasan nyeri,
sehingga nyeri berkurang

5.
Kolaborasi pembedahan, seperti 5.
Merupakan gold standard dalam
Laporotomi dekompresi
penanganan pasien dengan AC
6.
Observasi tingkat nyeri dan
respon motorik klien, 30 menit setelah
pemberian analgesik untuk mengkaji
efektivitasnya dan setiap 1-2 jam setelah
tindakan perawatan selama 1-2 hari.

2.

6. Pengkajian
yang
optimal
akan
memberikan perawat data yang objektif
untuk mencegah kemungkinan komplikasi
dan melakukan intervensi yang tepat.

Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan distensi abdomen

Tujuan
: Dalam waktu 3x 24 jam tidak terjadi perubahan pola napas. Klien dapat
bernapas normal.
Kriteria hasil
dada normal

: Klien tidak sesak napas, RR dalam batas normal16- 20x/ menit, ekspansi

Intervensi

Rasional

1. Kaji frekuensi, irama, kedalaman 1. Frekuensi, irama, dan kedalaman napas


pernafasan
yang normal menunjukkan pola napas yang
efektif
2. Auskultasi bunyi nafas

2. Mendengarkan suara napas klien normal


atau tidak

3. Pantau penurunan bunyi nafas

3. Penurunan
bunyi
napas
klien
menunjukkan adanya gangguan pada jalan
napas.
4. Memenuhi kebutuhan oksigenasi klien.

5. Posisi semi fowler mempermudah udara


masuk sehingga klien dapat bernapas
5. Berikan posisi yang nyaman : semi dengan optimal.
fowler
6. Dengan latihan napas yang rutin, klien
4. Pastikan kepatenan O2 binasal

6. Berikan instruksi untuk latihan nafas

dapat terbiasa untuk napas dalam yang


efektif.

dalam

7. Sebagai indikator efektif atau tidakkah


intervensi yang dilakukan perawat pada
klien.

7. Catat kemajuan yang ada pada klien


tentang pernafasan

3. Penurunan perfusi jaringan berhubungan dengan perdarahan


Tujuan : Perfusi jaringan membaik ditandai dengan tanda-tanda vital stabil
Kriteria hasil :
-

Terpeliharanya dan meningkatnya tingkat kesadaran

Menampakkan stabilitas tanda vital

Peran pasien menampakkan tidak adanya kemunduran / kekambuhan


Intervensi

Rasional

1. Monitor dan catat status neurologis secara 1. Memantau keadaan klien


teratur
berhubungan dengan sarafnya

yang

2. Evaluasi pupil (ukuran bentuk kesamaan 2. Mengetahui fungsi pupil masih normal
dan reaksi terhadap cahaya)
atau tidak
3. Monitor tanda tanda vital

4. Bantu untuk mengubah pandangan,


misalnya pandangan kabur, perubahan lapang
pandang / persepsi lapang pandang

5. Bantu meningkatkan fungsi, termasuk


bicara jika pasien mengalami gangguan fungsi

3. Memantau keadaan klien melalui TTV


4.
Membantu
klien
memperjelas
penglihatannya untuk kenyamanan klien

5. Dengan bicara normal, klien bisa


berkomonikasi dengan baik

6. Memberi kesempatan klien untuk


6. Pertahankan tirah baring, sediakan istirahat total agar staminanya bisa pulih
lingkungan yang tenang, atur kunjungan
sesuai indikasi
7. Dengan posisi elevasi, klien bisa
bernapas dengan mudah dan mencegah
7. Kepala dielevasikan perlahan lahan pada pusing
posisi netral
8. Memenuhi kebutuhan oksigen klien
agar klien dapat bernapas dengan normal
8. Berikan suplemen oksigen sesuai indikasi

4. Perubahan pola eliminasi urin berhubungan dengan oliguri


Tujuan

: Mengembalikan pola eliminasi urin normal.

Kriteria hasil
: Klien menunjukkan pola pengeluaran urin yang normal, klien
menunjukkan pengetahuan yang adekuat tentang eliminasi urin.
INTERVENSI

RASIONAL

1. Pantau pengeluaran urine, catat 1.

Pengeluaran urine mungkin


jumlah dan warna saat dimana sedikit dan pekat karena penurunan
diuresis terjadi.
perfusi ginjal. Posisi terlentang
membantu
diuresis
sehingga
pengeluaran urine dapat ditingkatkan
selama tirah baring.

5.
Nutrisi
kurang
dari

keseimbangan 2. Terapi diuretic dapat disebabkan


kehilangan
cairan
tibapemasukan
dan
pengeluaran oleh
tiba/berlebihan
(hipovolemia)
selama 24 jam
meskipun edema/asites masih ada.

2. Pantau/hitung

3. Posisi tersebut meningkatkan


filtrasi ginjal dan menurunkan
dengan posisi semifowler selama produksi
ADH
sehingga
fase akut.
meningkatkan dieresis
4. Pantau TD dan CVP (bila ada)
4. Hipertensi dan peningkatan CVP
3. Pertahakan duduk atau tirah baring

menunjukkan kelebihan cairan dan


dapat
menunjukkan
terjadinya
peningkatan kongesti paru, gagal
jantung
5. Kaji bisisng usus. Catat keluhan 5. Kongesti visceral (terjadi pada

anoreksia, mual, distensi abdomen GJK lanjut) dapat mengganggu


fungsi gaster/intestinal.
dan konstipasi.

kebutuhan tubuh berhubungan dengan nafsu makan manurun akibat adanya mual dan muntah
Tujuan: Kebutuhan nutrisi klien dapat terpenuhi dengan adekuat
Kriteria hasil

Antropometri: berat badan tidak turun (stabil), tinggi badan, lingkar lengan

Biokimia: albumin normal dewasa (3,5-5,0) g/dl


Hb normal (laki-laki 13,5-18 g/dl, perempuan 12-16 g/dl)

Klinis: tidak tampak kurus, terdapat lipatan lemak, rambut tidak jarang dan merah

Diet: klien menghabiskan porsi makannya dan nafsu makan bertambah


Intervensi

Rasional

1.
klien

Kaji pemenuhan kebutuhan nutrisi

2.
Jelaskan pentingnya
bagi proses penyembuhan.

3.
Mencatat
makanan klien.

intake

dan

1.
Mengetahui
klien.

kekurangan

nutrisi

makanan 2.
Dengan pengetahuan yang baik
tentang nutrisi akan memotivasi untuk
meningkatkan pemenuhan nutrisi.

output

3.
Mengetahui
pemenuhan nutrisi klien.

perkembangan

4.
Ahli gizi adalah spesialisasi dalam
4.
Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
ilmu gizi yang membantu klien memilih
membantu memilih makanan yang dapat
makanan sesuai dengan keadaan sakitnya,
memenuhi kebutuhan gizi selama sakit
usia, tinggi, berat badannya.
5.
Manganjurkn
sedikit tapi sering.

makan

sedikit-

5.
Dengan
sedikit
tapi
sering
mengurangi penekanan yang berlebihan
pada lambung.

6. Anxietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan : Potensial komplikasi GI yang


berkenaan dengan adanya penyakit, dan tindakan yang dapat mencegah kekambuhan
Tujuan : Klien memiliki pengetahuan untuk menjaga kesehatannya
Kriteria hasil : Klien bisa menjaga agar peningkatan intra abdomen tidak terjadi.
Intervensi

Rasional

1.
Ajarkan pasien untuk waspada dan 1.
Nyeri dapat segera diatasi, sehingga
melaporkan nyeri berat, menetap ; mual komplikasi tidak terjadi.
dan muntah ; demam ; dan distensi
abdomen, yang dapat memperberat
awitan inkarserasi atau strangulasi usus.
2.
Dorong pasien untuk mengikuti
regimen pengobatan : penggunaan dekker
atau penyokong lainnya dan menghindari

2.
Menghindari adanya
tekanan intra abdomen

peningkatan

mengejan,
meregang,
konstipasi,
mengangkat benda yang berat.
3.
Anjurkan
pasien
untuk
mengkonsumsi diet tinggi residu atau
menggunakan suplemen diet serat untuk
3.
Saluran pencernaan menjadi lancar
mencegah konstipasi. Anjurkan masukan
dan tidak ada konstipasi sehinggan
cairan sedikitnya 2 3 L/hari untuk
mengejan tidak dilakukan.
meningkatkan konsistensi feses lunak.
4.
Beritahu pasien mekanika tubuh
yang tepat untuk bergerak dan
mengangkat, yaitu jangan terlalu
melakukan banyak kegiatan dan jangan
mengangkat beban yang terlalu berat
4.
Mengangkat beban yang terlalu berat
akan menyebabkan meningkatnya tekanan
intra abdomen.

4.1 KESIMPULAN
Kompartemen sindrom abdomen adalah peningkatan tekanan intra-abdomen setelah cedera
pembedahan (biasanya disebabkan oleh peradangan). Gejala yang ditimbulkan meliputi
hipoksia usus, distensi usus, oliguri, sesak napas. Klien mengalami gangguan ini jika terjadi
metabolic asidosis, penurunan output urin, dan penurunan curah jantung. Penyebab kasus ini
hampir mirip dengan gejala patologis yang lain, seperti hipovolemi.
Hipertensi intra-abdomen didefinisikan dengan menetap atau berulangnyatekanan intraabdomen (IAP) lebih dari 12 mmHg atau tekanan perfusi abdomen(APP) kurang dari 60
mmHg, dimana tekanan perfusi abdomen (APP) = tekananarteri rata-rata (MAP) tekanan
intra-abdomen (IAP).
Penanganan harus berdasarkan pada pemeriksaan klinis dengan peningkatan IAP. Grade I
IAH secara umum hanya memerlukan resusitasi volumedengan pemantauan tekanan
berkelanjutan. Pasien dengan grade II harus ditanganiberdasarkan gejalanya. Grades III dan
IV ditangani dengan operasi dekompresi. Sebab laparotomi dekompresi merupakan gold
standard dalam penanganan pasien dengan ACS.

4.2 SARAN
Sebaiknya sedini mungkin penanganan diawali dengan berbagai tes laboratorium, disusul
pada pemberian antibiotik, hingga akhirnya diadakan operasi karena banyak komplikasi yang
ditimbulkan oleh kegawatan sistem pencernaan ini. Proses asuhan keperawatan yang tepat
juga akan menentukan proses penyembuhan dari penyakit kompartemen sindrom abdomen
tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Artawijaya, Agung. 2010. Anatomi Abdomen ~ Catatan Radiograf .


catatanradiograf.blogspot.com/2010/08/anatomi-abdomen.htmi. Diakses tanggal 5 mei 2012
American Journal of Roentgenologi. 2007. Vol 189, No 5 1037-1043.
Doenges, Marylinn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta: EGC
Irga.
2008.
Sindroma
Kompartemen.
http://www.passangereng.blogspot.com

Diakses

12

November

2008.

Jenkins, T. P. N. 2005. Volume 63, 11:873-876. Http://pmj.bmj/content/36/416/388.short.


Diakses tanggal 20 April 2012 pukul 20.35 WIB
Kumalasari, Arief Muttaqin. 2011. Gangguan Gastrointestinal. Salemba Medika: Jakarta.
Paula, Richard MD. 2009. Abdominal
www.emedicine.com / 829008-overview.htm

Compartment

Syndrome.

Available

at

Pleva, J. r, M. Mayzlk, J. 2004. Abdominal Compartment Syndrome inPolytrauma. In:


Biomed.
Papers
148(1),
8184
(2004).
Available
athttp://publib.upol.cz/~obd/fulltext/Biomed/2004/1/81.pdf
Wilkinson, M. Judith. 2006. NIC NOC: Buku Saku Diagnosa Keperawatan edisi 7. Jakarta:
EGC
Wilkinson, Judith, M. 2002. Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC dan
Kriteria NOC. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai