Anda di halaman 1dari 25

LABORATORIUM BIOLOGI FARMASI

SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI

LAPORAN FITOKIMIA
DAUN PARE (Momordica charantia L)

OLEH :
KELOMPOK III
GITA PUSPITA

SARINI

MUH RIZAL ARIFUDDIN

SRI REZKY

A. NURFADILAWATI. S

NURAYU RAMDANI

HASTRILA BUNTANG

NURDIAH NINGSIH

NIRMAYANI INDAH SARI

NURUL HIKMAH

ASISTEN

ASRIL BURHAN S.Farm. Apt

SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI


2015
MAKASSAR

BAB I
PENDAHULUAN
I.1. LATAR BELAKANG
Pare dikenal dengan rasa pahitnya. Rasa pahit pare tidak mengurangi khasiat
yang dikandungnya sebagai obat berbagai jenis penyakit. Daun pare (Momordica
charantia L.) dapat digunakan sebagai obat penurun panas atau antipiretik. Selain itu,
daun pare dapat digunakan untuk menyembuhkan mencret pada bayi, membersihkan
darah bagi wanita yang baru melahirkan, mengeluarkan cacing kremi, dan dapat
menyembuhkan batuk (Sudarsono, 2002).
Daun pare digunakan oleh sebagian masyarakat sebagai penurun panas
dengan cara ditumbuk kemudian ditambahkan air dan disaring lalu diminum saat pagi
hari sebelum makan (Dalimartha, 2008)
Daun pare mengandung vitamin A, vitamin B, vitamin C, saponin, flavonoid,
steroid/triterpenoid, asam fenolat, alkaloid, dan karotenoid (Tati, 2004). Flavonoid
menunjukkan lebih dari seratus macam bioaktivitas. Bioaktivitas yang ditunjukkan
antara lain efek antipiretik, analgetik, dan antiinflamasi (Wijayakusuma, 2001).
Flavonoid dapat menghambat siklooksigenase sehingga kemungkinan besar
efek antipiretik disebabkan karena penghambatan siklooksigenase yang merupakan
langkah pertama pada jalur yang menuju eikosanoid seperti prostaglandin dan
tromboksan (Robinson, 1991)
Berdasarkan penelitian sebelumnya, penarikan senyawa aktif yang terdapat
pada daun pare menggunakan metode ekstraksi maserasi (Elly, 2010). Maserasi
merupakan proses ekstraksi dimana obat yang sudah halus di rendam dalam
menstrum sampai meresap dan melunakkan susunan sel sehingga zat zat yang
mudah larut akan melarut sehingga didapatkan ekstrak daun pare (Howard,1989)
II.2 TUJUAN PERCOBAAN
Tujuan dari laporan ini yakni untuk mengetahui senyawa apa yang terdapat di
dalam daun pare (Momordica charantia L.)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 URAIAN TANAMAN
A. Klasifikasi
Kingdom

: Plantae

Divisi

: Spermatophyta

Subdivisi

: Angiospermae

Kelas

: Dicotyledonae

Ordo

: Cucurbitales

Familia

: Cucurbitaceae

Genus

: Momordica

Species

: Momordica charantia L. (Tati, 2004)

B. Nama Daerah
Sumatera: prieu, peria, foria, pepare, kambeh. Jawa: paria, pare, pare pahit,
pepareh. Nusa Tenggara: paya, paria, truwuk, paita, paliak, pariak, pania, pepule.
Sulawesi: poya, pudu, pentu, paria, belenggede, palia. Maluku: papariane,
pariane,

papari,

kakariano,

taparipong,

papariano,

popare,

dan

pepare

(Dalimartha, 2008).
C. Nama Asing
Buah pare di berbagai negara dikenal dengan nama: Ku gua, african
cucumber, bitter cucumber, bitter gourd, bitter melon, balsam pear, maiden blush,
karela, karvel, dan springkomkommer (Dalimartha, 2008).
D. Deskripsi

Perawakan: semak, tumbuhan annual-perennial, liana (menjalar atau


memanjat), berbau tidak enak. Batang: berusuk 5, panjang 2-5 m, yang muda
berambut cukup rapat. Daun: tunggal, bertangkai, helaian; bentuk membulat,
dengan pangkal bentuk jantung, garis tengah 4-7 cm, tepi berbagi 5-9 lobus,
berbintik-bintik tembus cahaya, taju bergigi kasar hingga berlekuk menyirip,
memiliki sulur daun, tunggal. Bunga: tunggal, tangkai bunga 5-15 cm dekat
pangkalnya dengan daun pelindung bentuk jantung hingga bentuk ginjal.
Kelopak: 5, bentuk lonceng, dengan banyak rusuk atau tulang membujur, yang
berakhir pada 2-3 sisik yang melengkung ke bawah. Mahkota: 5, berdekatan,
penampang bentuk roda; taju bentuk memanjang hingga bulat telur terbalik,
bertulang, 1,5-2 kali 1-1,3 cm. Buah: tipe peppo (ketimun) memanjang,
berjerawat tidak beraturan, oranye, pecah sama sekali dengan 3 katup, 5-7 cm
(liar) hingga 30 cm (ditanam). Biji: coklat kekuningan pucat memanjang
(Sudarsono, 2002).
E. Daerah distribusi, habitat, dan budidaya
Tanaman Momordica charantia L. banyak terdapat di daerah tropis, berupa
tumbuhan liar atau sengaja ditanam. Sering dijumpai pada halaman rumah,
kebun-kebun, dan pagar. Tumbuhan ini di Jawa dapat tumbuh pada tempat
buangan, di tepi jalan, di alam membentuk penutupan karpet, ditanam sebagai
buah sayuran (Sudarsono, 2002).
F. Kandungan kimia
Buah: saponin, flavonoid, steroid/triterpenoid, karbohidrat, momordisin,
alkaloid, vitamin A, vitamin B, vitamin C, dan karantin. Daun: vitamin A, vitamin
B, vitamin C, saponin, flavonoid, steroid/triterpenoid, asam fenolat, alkaloid, dan
karotenoid. Biji: asam lemak, asam butirat, asam palmitat, asam linoleat, dan
asam stearat (Tati, 2004).
G. Kegunaan Buah
Dimanfaatkan untuk peluruh dahak atau obat batuk, pembersih darah,
penambah nafsu makan, penurun panas, penyegar badan, dan mengobati sakit

gula. Bunga: dapat memacu enzim pencernaan. Daun: digunakan sebagai obat
cacing, obat luka, peluruh haid, pencahar, dan penurun panas. Akar: menunjukkan
sifat antibiotik (Sudarsono, 2002).
H. Sifat kimiawi dan efek farmakologis
Sifat kimiawi pare adalah rasanya yang pahit dan sifatnya yang dingin. Efek
farmakologis pare dapat mempengaruhi jantung, hati, dan paru. Berkhasiat
antiradang (Dalimartha, 2008).
II. 2 METODE EKSTRAKSI
A. Ekstraksi
Ekstraksi yaitu penarikan zat pokok yang diinginkan dari bahan mentah obat
dengan menggunakan pelarut yang dipilih dimana zat yang diinginkan akan larut.
Sedangkan ekstrak merupakan sediaan sari pekat tumbuh-tumbuhan yang diperoleh
dengan cara melepaskan zat aktif dari masing-masing bahan obat, menggunakan
menstruum yang cocok, uapkan semua atau hampir semua dari pelarutnya dan sisa
endapan atau serbuk diatur untuk ditetapkan standarnya (Horward, 1989).
Tumbuhan segar yang telah dihaluskan atau material tumbuhan yang dikeringkan
diproses dengan suatu cairan pengekstraksi. Jenis ekstraksi mana dan bahan ekstraksi
mana yang digunakan, terutama tergantung dari kelarutan bahan kandungan serta dari
stabilitasnya. Jumlah dan jenis senyawa yang berpindah masuk ke dalam ekstraksi
bergantung dari jenis dan komposisi cairan pengekstraksi. Untuk memperoleh sediaan
obat yang cocok umumnya berlaku campuran etanol-air sebagai cairan pengekstraksi
(Voigt, 1994).
Ada 3 prinsip ekstraksi tumbuhan meliputi fase ekstraksi, maserasi, dan perkolasi
(Voigt, 1994). Metode ekstraksi dipilih berdasarkan beberapa faktor seperti sifat dari
bahan mentah obat dan daya penyesuaian dengan tiap macam metode ekstraksi dan
kepentingan dalam memperoleh ekstrak yang sempurna atau mendekati sempurna
dari obat. Sifat dari bahan mentah merupakan faktor utama yang harus
dipertimbangkan dalam memilih metode ekstraksi. Pada kenyataannya sering

digunakan kombinasi dari proses maserasi dan perkolasi dalam mengekstraksi bahan
mentah obat (Ansel, 1989).
Maserasi merupakan proses paling tepat dimana obat yang sudah halus
memungkinkan untuk direndam dalam menstruum sampai meresap dan melunakkan
susunan sel, sehingga zat-zat yang mudah larut akan melarut. Maserasi biasanya
dilakukan pada temperature 150 - 200 C dalam waktu selama 3 hari sampai bahanbahan yang larut melarut (Ansel, 1989).
Maserasi digunakan untuk penyarian simplisia yang mengandung zat aktif yang
mudah larut dalam cairan penyari, tidak mengandung zat yang mudah mengembang
dalam cairan penyari, tidak mengandung benzoin, stirak dan lain-lain. Penggolongan
ekstrak menurut sifat-sifatnya:
a. Ekstrak encer (extractum tenue) Sediaan ini mempunyai konsistensi seperti
madu dan dapat dituang.
b. Ekstrak kental (extractum spissum) Sediaan ini liat pada kondisi dingin dan
tidak dapat dituang, kandungan airnya sekitar 30%.
c. Ekstrak kering (extractum siccum) Sediaan ini memiliki konsistensi kering
dan mudah digosokkan, kandungan airnya tidak lebih dari 5%.
d. Ekstrak cair (extractum fluidum) (Voigt, 1994).
Flavonoid mudah larut dalam air. Oleh karena itu senyawa ini berada dalam
ekstrak air tumbuhan. Flavonoid diekstrak baik memakai metanol, etanol, dan aseton
(Robinson, 1991). Isolasi senyawa flavonoid dari daun pare secara maserasi
menggunakan pelarut etanol 70% (Waluyantana, 1995).
Pelarut yang digunakan (etanol 70%) memiliki sifat kepolaran yang sama dengan
sebagian besar komponen yang terdapat pada Momordica charantia L seperti vitamin
A, vitamin B, vitamin C, saponin, flavonoid, steroid/triterpenoid, asam fenolat,
alkaloid, dan karotenoid Etanol 70% juga dapat melarutkan senyawa fitokimia lebih
maksimal karena etanol 70% masih mengandung air yang cukup banyak (30%) yang

membantu proses ekstraksi sehingga sebagian senyawa tersebut ada yang dapat
tertarik dalam etanol dan ada pula yang tertarik dalam air (Melodita,2011).
Asam amino, gula, beberapa senyawa fitokimia seperti alkaloid, flavonoid, dan
glikosida flavonoid serta klorofil terlarut dalam pelarut polar sehingga senyawa yang
terekstrak dengan pelarut etanol 70% ini cukup banyak dan menghasilkan rendemen
yang tinggi (Adhianata, H. 2012).
B. Pelarut yang digunakan
Berdasarkan kepolaran pelarut, pelarut dibagi ke dalam tiga kategori yaitu:
a. Pelarut Protik Polar
Protik menunjukkan atom hidrogen yang menyerang atom elektronegatif
yang dalam hal ini adalah oksigen. Dengan kata lain pelarut protik polar
adalah senyawa yang memiliki rumus umum ROH. Contoh dari pelarut protik
polar ini adalah air H2O, metanol (CH3OH), dan asam asetat (CH3COOH).
b. Pelarut Aprotik Polar
Aprotik menunjukkan molekul yang tidak mengandung ikatan O-H.
Pelarut dalam kategori ini, semuanya memiliki ikatan yang memiliki ikatan
dipol besar. Biasanya ikatannya merupakan ikatan ganda antara karbon
dengan oksigen atau nitorgen. Contoh dari pelarut yang termasuk kategori ini
adalah aseton [(CH3)2C=O] dan etil asetat (CH3CO2CH2CH3).
c. Pelarut Non-polar
Pelarut nonpolar merupakan senyawa yang memilki konstanta
dielektrik yang rendah dan tidak larut dalam air. Contoh pelarut dari kategori
ini adalah benzena (C6H6), karbon tetraklorida (CCl4) dan dietil eter
(CH3CH2OCH2CH3) ( Melodita. R, 2011).

Tabel 1 sifat-sifat pelarut umum dari nonpolar ke polar:


Solvent

Rumus Kimia

Titik

Konstanta

Massa

didih

Dielektrik

Jenis

PelarutNon-Polar
Heksana

CH3-CH2-CH2-CH2

69 C

2.0

0.655 g/ml

Benzena

-CH2-CH3
C6H6

80C

2.3

0.879 g/ml

Toluena

C6H5-CH3

111C

2.4

0.867 g/ml

35C

4.3

0.713 g/ml

61C

4.8

1.498 g/ml

77C

6.0

0.894 g/ml

101C

2.3

1.033 g/ml

66C

7.5

0.886 g/ml

CH2Cl2

40C

9.1

1.326 g/ml

Asetona

CH3-C(=O)-CH3

56C

21

0.786 g/ml

Asetonitril

CH3-CN

82C

37

0.786 g/ml

H-C(=O)N(CH3)2

153C

38

0.944 g/ml

CH3-S(=O)-CH3

189C

47

1.092 g/ml

Dietil eter
Kloroform
Etil Asetat

CH3CH2-O-CH2CH3
CHCl3
CH3-C(=O)-O-CH2CH3

Pelarut Polar Apriotic


1,4-Dioksana

/-CH2-CH2-O-CH2CH2-O-\

Tetrahidrofuran

/-CH2-CH2-O-CH2-

(THF)

CH2-\

Diklorometana
(DCM)

Dimetilformamid
a
Dimetilsulfoksida

Pelarut Polar Protic


Asam Asetat

CH3-C(=O)OH

118C

6.2

1.049 g/ml

n-butanol

CH3-CH2-CH2-CH2-

118C

18

0.810 g/ml

OH
Isopropanolol

CH3-CH(-OH)-CH3

82C

18

0.785 g/ml

n-propanol

CH3-CH2-CH2-OH

97C

20

0.803 g/ml

Etanol

CH3-CH2-OH

79C

30

0.789 g/ml

Metanol

CH3-OH

65C

33

0.791 g/ml

Asam Format

H-C(=O)OH

100C

58

1.21 g/ml

Air

H2O

100C

80

1.000 g/ml

C. Fraksinasi
Fraksinasi adalah suatu proses pemisahan senyawa-senyawa berdasarkan tingkat
kepolaran. Jumlah dan senyawa yang dapat dipisahkan menjadi fraksi berbeda-beda
tergantung pada jenis tumbuhan. Pada prakteknya dalam melakukan fraksinasi
digunakan dua metode yaitu dengan menggunakan corong pisah dan kromatografi
kolom.
Corong pemisah atau corong pisah adalah peralatan laboratorium yang digunakan
dalam ekstraksi cair-cair untuk memisahkan komponen-komponen dalam suatu
campuran antara dua fase pelarut dengan densitas yang berbeda yang tak tercampur.
Umumnya salah satu fase berupa larutan air dan yang lainnya berupa pelarut
organik lipofilik seperti eter, MTBE, diklorometana, kloroform, ataupun etil asetat.
Kebanyakan pelarut organik berada di atas fase cair kecuali pelarut yang memiliki
atom dari unsur halogen.
Corong pemisah berbentuk kerucut yang ditutupi setengah bola. Ia mempunyai
penyumbat di atasnya dan kran di bawahnya. Corong pemisah yang digunakan dalam
laboratorium terbuat darikaca borosilikat dan kerannya terbuat dari kaca atupun
teflon. Ukuran corong pemisah berfariasi muali dari 50 ml sampai 3 L. Dalam skala
industri, corong pemisah bisa berukuran sangat besar dan di pasang sentrifuge (.
Macam-macam proses fraksinasi :

1) Proses Fraksinasi Kering (Winterization)


Fraksinasi kering adalah suatu proses fraksinasi yang didasarkan pada
berat molekul dan komposisi dari suatu material. Proses ini lebih murah
dibandingkan dengan proses yang lain, namun hasil kemurnian fraksinasinya
rendah.
2) Proses Fraksinasi Basah (Wet Fractination)
Fraksinasi basah adalah suatu proses fraksinasi dengan menggunakan zat
pembasah (Wetting Agent) atau disebut juga proses Hydrophilization atau
detergent proses. Hasil fraksi dari proses ini sama dengan proses fraksinasi
kering.
3) Proses Fraksinasi dengan menggunakan Solvent (pelarut) Solvent Fractionation
Ini adalah suatu proses fraksinasi dengan menggunakan pelarut. Dimana
pelarut yang digunakan adalah aseton. Proses fraksinasi ini lebih mahal
dibandingkan dengan proses fraksinasi lainnya karena menggunakan bahan
pelarut.
4) Proses Fraksinasi dengan Pengembunan (Fractional Condentation)
Proses fraksinasi ini merupakan suatu proses fraksinasi yang didasarkan
pada titik didih dari suatu zat / bahan sehingga dihasilkan suatu produk dengan
kemurnian yang tinggi. Fraksinasi pengembunan ini membutuhkan biaya yang
cukup tinggi namun proses produksi lebih cepat dan kemurniannya lebih tinggi
(Melodita. R, 2011)
D. KROMATOGRAFI
Kromatografi adalah metode fisika untuk pemisahan dalam mana komponen
komponen yang akan dipisahkan didistribusikan antara dua fase, salah satunya
merupakan lapisan stasioner dengan permukaan yang luas, dan fase yang lain
berupa zat alir (fluid) yang mengalir lambat (perkolasi) menembus atau sepanjang
lapisan stasioner itu. Dalam semua teknik kromatografi, zat terlarut yang akan

dipisahkan bermigrasi sepanjang suatu kolom (atau seperti dalam kromatografi


kertas atau lapisan tipis, padanan fisika dari suatu kolom) (Day dan Underwood,
1999).
Pada dasarnya kromatografi lapis tipis sama dengan kromatografi kertas,
terutama pada cara melakukannya, perbedaan nyata terlihat pada media
pemisahnya, yakni digunakannya lapisan tipis adsorben halus yang tersangga
pada papan kaca, aluminium atau plastik sebagai pengganti kertas. Lapisan tipis
adsorben ini pada proses pemisahan berlaku sebagai fasa diam (Soebagio, 2005).
Kromatografi lapis tipis (KLT) merupakan metode pemisahan fitokimia
yang didasarkan atas penjerapan, partisi (pembagian) atau gabungannya (Harmita,
2006). Lapisan tipis yang memisahkan terdiri atas bahan berbutir-butir (fase
diam), ditempatkan pada penyangga berupa pelat gelas, logam, atau lapisan yang
cocok. Campuran yang akan dipisah, berupa larutan, ditotolkan berupa bercak
atau pita (awal), kemudian pelat dimasukkan di dalam bejana tertutup rapat yang
berisi larutan pengembang yang cocok (fase gerak). Pemisahan terjadi selama
perambatan kapiler (pengembang) dan selanjutnya senyawa yang tidak berwarna
harus ditampakkan.
Deteksi noda KLT terkadang lebih mudah dibandingkan kromatografi kertas
karena dapat digunakan teknik-teknik umum yang lebih banyak. Noda yang tidak
berwarna atau tidak berpendar jika dikenai sinar ultra violet dapat ditampakkan
dengan cara mendedahkan papan pengembang pada uap iod. Pada tahap
identifikasi atau penampakan noda, jika noda sudah berwarna dapat langsung
diperiksa dan ditentukan harga Rf-nya. Besaran Rf ini menyatakan derajat retensi
suatu komponen dalam fasa diam. Rf juga disebut faktor retardasi atau faktor
retensi. Harga Rf dihitung sebagai jarak yang ditempuh oleh komponen dibagi
dengan jarak yang ditempuh eluen (fasa gerak) (Soebagio, 2005).
Tabel 2. Urutan kepolaran eluen, elusi senyawa dan kekuatan adsorben
dalam kromatografi

Urutan Polaritas
Eluen
n-heksana

Hidrokarbon tak jenuh

Selulosa

Petroleum eter

Alkena

Gula

Karbon tetraklorida

Hidrokarbon Aromatik

Silica gel

Benzene

Eter

Florisil (Magnesium silikat)

Kloroform

Aldehida, keton, ester

Aluminium oksida (alumina)

Dietil eter

Alkohol

Etil asetat

Asam karboksilat

Urutan Elusi Senyawa

Urutan Adsorben

Aseton
Metanol
Air
Sumber : Johnson et al, 1991 dan Khopkar, 1990

BAB III
METODE KERJA
III.1 ALAT
Alat yang digunakan dalam proses ekstraksi adalah wadah maserasi, neraca
analitik,batang pengaduk.
III.2 BAHAN
Bahan yang digunakan dalam proses ekstraksi adalah cairan penyari, Daun pare
(Momordica charantia L.)
III.3 METODE KERJA
III.3.1 Pengambilan dan Pengolahan Sampel
a

Pengambilan sampel
Daun Pare (Momordica charantia L.) yang diambil pada jam 6 pagi
di pasar tradisional Daya kota Makassar, Sulawesi Selatan, kemudian

dicuci bersih lalu dipotong-potong dengan derajat halus 4 / 18 atau 0,1


0,6 cm kemudian dilakukan pengeringan langsung yakni di bawah paparan
sinar matahari pada jam 9 10 pagi atau jam 3 4 sore hari
b

Pengolahan sampel
Daun pare (Momordica charantia L.) yang sudah dipotong potong
dan dikeringkan dibawah sinar matahari kemudian di maserasi
menggunakan etanol 70%

III.3.2 Pembuatan Ekstrak Daun pare (Momordica charantia L.)


Serbuk daun pare sebanyak 100 g dimasukkan ke dalam wadah maserasi,
lalu ditambahkan etanol 70 % sebanyak 200 untuk melembabkannya lalu
ditambah lagi 1 liter untuk merendamnya. Rendaman disimpan di tempat yang
tidak terkena sinar matahari langsung dan dibiarkan selama 3 hari sambil
sekali-kali diaduk, setelah 3 hari disaring kemudian ampasnya dimaserasi
kembali dengan pelarut alkohol 70 % yang baru sebanyak 800 ml. Hal ini
dilakukan sebanyak 3 kali dengan jumlah pelarut yang sama.
Ekstrak etanol yang diperoleh kemudian dikumpulkan lalu dipekatkan
dengan rotavapor hingga diperoleh ekstrak cair. Ekstrak cair kemudian
diuapkan hingga kental diatas penangas air.
III.3.3 Skrining Fitokimia
a) Identifikasi Alkaloid
Sebanyak 2 gram ekstrak daun pare dimasukkan dalam tabung reaksi
dan diencerkan dengan etanol 70% kemudian ditambahkan 5 tetes HCl 2
N dan dipanaskan. Setelah itu ditambahkan NaCl dan disaring lalu
ditambahkan 5 tetes HCl 2 N. dipipet 1 ml dimasukkan dalam tabung
reaksi, dimana masing-masing tabung reaksi ditambahkan pereaksi
Dragendorf, pereaksi Mayer dan pereaksi Wagner. Untuk pereaksi
Dragendorf endapan merah/jingga menunjukkan positif senyawa alkaloid,

Pada pereaksi Mayer endapan putih menunjukkan positif senyawa alkaloid


dan pada pereaksi Wagner endapan coklat menunjukkan hasil yang positif.
b) Identifikasi Flavonoid
Sebanyak 2 gram ekstrak daun pare dimasukkan dalam tabung reaksi
dan diencerkan dengan etanol 70% kemudian ditambahkan pereaksi
Wilstater menambahkan serbuk Magnesium sebanyak 0,5 mg lalu
ditambahkan HCl pekat 3 tetes. Endapan merah menunjukkan senyawa
flavon, endapan merah tua menunjukkan senyawa flavonol/flavonon dan
endapan hijau menunjukkan senyawa glikosida/aglikon.
c) Identifikasi Saponin
Sebanyak 2 gram ekstrak daun pare dimasukkan dalam tabung reaksi
dan diencerkan dengan etanol 70%, kemudian ditambahkan 10 ml air
hangat/panas lalu dikocok selam 30 menit. Dilihat busanya dan diukur
berapa cm busa yang terbentuk. Dibiarkan selama 10 menit dan jika
busanya tidak hilang ditambahkan HCl. Apabila masih terdapat busa
yang konstan maka menunjukkan hasil yang positif.
d) Identifikasi Terpenoid-Steroid
Sebanyak 2 gram ekstrak daun pare dimasukkan dalam tabung reaksi
dan diencerkan dengan etanol 70%, kemudian ditambahkan eter
sebanyak 5 tetes hingga terbentuk 2 lapisan antara larutan air dan etanol.
Lapisan bagian atas (larut etanol) dipisahkan dan diuapkan dalam plat
tetes lalu ditambahkan H2SO4. Endapan warna hijau menunjukkan hasil
yang positif.
III.3.4 Fraksinasi
Ekstrak kering tersebut difraksinasi menggunakan corong pisah. Sebelum
dimasukkan ke corong pisah ditambahkan etil asetat. Dibiarkan beberapa menit
hingga terpisah. Kemudian setelah terpisah dimasukkan ke vial yang berbeda antara
ekstrak yang larut dalam etil asetat dan yang tidak larut. Kemudian yang tidak larut
ditambahkan etanol. Dibiarkan beberapa menit hingga terpisah kembali dan
dimasukkan kedalam vial yang berbeda antara ekstrak yang larut dalam etanol dan
yang tidak larut dalam.

III.3.5 Kromatografi Lapis Tipis


Hasil Fraksinasi ekstrak daun pare yang diperoleh dianalisis dengan
menggunakan KLT dengan larutan pengembang (eluen) yaitu etil asetat ; n-heksan
7:3 yang telah di tentukan sebelumnya dari hasil analisis KLT dengan berbagai variasi
eluen untuk menentukan sistem eluen yang akan digunakan pada KLT. Setelah uji
hasil KLT dan sistem eluen diketahuim dilakukan pemisahan komponen-komponen di
dalam ekstrak dengan kromatografi lapis tipis. Sebagai fase diam digunakan silica gel
G60F254 dan eluen etil asetat ; n-heksan 7:3 kemudian diamati noda yang Nampak pada
sinar UV 254 dan 366.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
IV.1. HASIL PENGAMATAN
Daun pare (Momordica charantia) yang diambil dari pasar tradisional Daya
kota Makassar, Sulawesi Selatan pada jam 6 pagi. Sampel daun pare yang telah
dibersihkan, kemudian dikeringan dengan cara diangin-anginkan, selanjutnya
dipotong kecil-kecil hingga menjadi serbuk kasar. Berat serbuk kasar daun pare yang
diperoleh adalah 125,0 gram.
Serbuk daun pare sebanyak 125.0 gram dimaserasi dengan menggunakan
etanol 70 % kemudian dipekatkan dengan cara di rotavapor hingga diperoleh ekstrak
kental etanol 70 % berwarna hijau tua sebanyak 10,9 gram. Ekstrak kental etanol 70%
yang diperoleh kemudian diuji pendahuluan dengan menggunakan pereaksi
dragendroff, mayer, wagner yang positif adanya senyawa alkaloid.
Pada uji senyawa flavonoid positif adanya senyawa flavonon dengan
terbentuknya endapan Hijau. Uji saponin ditandai dengan adanya busa ketika dikocok
selama 30 menit dimana panjang busa yang terbentuk adalah 1,1 cm. Uji terpenoid

tidak adanya senyawa terenoid- steroid ditandai dengan tidak terbentuknya larutan
berwarna biru atau ungu.
Tabel 2. Hasil Skrining Fitokimia Ekstrak Etanol Daun Pare (Momordica
charantia.)
No

Uji Fitokimia

Pereaksi

Perubahan

.
1

Alkaloid

Dragendorf

Warna
Terbentuk endapan

Mayer
Wagner
2

Flavonoid

Wilstater

Saponin

Aquades panas,

Steroid/Terpenoid

dikocok, HCl 2N
Eter, lapisan

etanol diuapkan,

Keterangan
Positif

merah bata
Terbentuk endapan

Positif

coklat
Terbentuk endapan
Positif

putih
Hijau menjadi hijau

Positif

kekuningan
Terbentuk busa
Panjang busa : 1,1 cm

Positif

Terbentuk larutan

Positif

berwarna biru ungu

+ H2SO4
Ekstrak pekat etanol dilarutkan dalam pelarut etanol

dan difraksionasi

berturut menggunakan pelarut kloroform, etil asetat dan n-butanol. Hasil fraksinanya
dapat dilihat pada tabel 3
Tabel 3. Hasil Fraksinasi Ekstrak Cair-cair berdasarkan kepolaran
No
Pelarut
Warna
1
Kloroform
Hijau kehitaman
2
Etil Asetat
Hijau Kehitaman jernih
3
n-Butanol
Hijau Tua
Hasil fraksinasi kloroform, etil asetat dan n-butanol yang diperoleh diuji
kromatografi lapis tipis (KLT) dengan menggunakan eluen etil asetat-n-heksan dalam
volume larutan 10 ml dengan perbandingan 7:3 dan hasil kromatografinya dapat
dilihat pada gambar 1

(Sinar UV 366)

(Sinar UV 254)

Nilai Rf dapat dihitung dengan menggunakan rumus

Rf =

Jarak yang ditempuh substansi


jarak yang ditempuh noda

Nilai Rf yang diperoleh pada KLT ekstrak daun pare dapat dilihat pada tabel 2
Tabel 3 Nilai Rf ekstrak daun pare
N

PELARUT

NODA

NILAI Rf

O
I

Ekstrak Daun Pare

Ekstrak Kloroform
Daun Pare

1.0
=0.18
5.3

II

1.2
=0.22
5.3

III

1.6
=0.30
5.3

IV

2.1
=0.39
5.3

3.7
=0.69
5.3

1.6
=0.30
5.3

KET

Ekstrak Etanol Daun

II

2.0
=0.37
5.3

III

5.1
=0.96
5.3

0.8
=0.15
5.3

II

1.2
5.3

III

1.7
=0.32
5.3

IV

2.2
=0.41
5.3

4.0
=0.75
5.3

2.0
=0.37
5.3

II

2.2
=0.41
5.3

Pare

Ekstrak Etil asetat


Daun Pare

= 0.22

IV. 2. PEMBAHASAN
Daun Pare yang sudah dikeringkan dan dihaluskan menjadi serbuk kasar
sebanyak 100 gram dimaserasi menggunakan etanol 70 % selama 3 hari sambil
sesekali diaduk, yang bertujuan untuk mengekstrak kandungan senyawa kimia yang
terdapat dalam daun pare hingga hasil perendaman terakhir tidak berarti lagi bagi
kandungan kimianya.
Pada proses maserasi digunakan pelarut etanol 70 %

karena merupakan

pelarut yang memiliki sifat kepolaran yang sama dengan sebagian besar komponen
yang terdapat pada daun pare (Momordica charantia L). Etanol juga memiliki titik
didih 79C dimana titik yang tinggi untuk menghilangkan pelarut dapat juga merusak

senyawa yang terekstraksi, terlebih terhadap senyawa yang memiliki titik didih yang
rendah.
Evaporasi digunakan untuk memisahkan pelarut dengan ekstrak karena
dengan evaporasi, pelarut dipisahkan dari ekstrak pada suhu yang jauh lebih rendah di
bawa titik didihnya sehingga senyawa yang mungkin terdapat dalam ekstrak dengan
titik didih yang rendah tidak akan mengalam kerusakan hingga diperoleh ekstrak
kental yang berwarna hijau kehitaman sebanyak 10,9 gram
Ekstrak kental etanol kemudian diuji pendahuluan dengan menggunakan
pereaksi spesifik pada uji alkaloid, flavonoid, saponin dan terpenoid. Hal ini
dimaksukdkan untuk mengetahui golongan senyawa metabolit sekunder yang
terdapat dalam ekstrak etanol tersebut.
Pada tabel tersebut menunjukkan hasil positif terhadap semua pereaksi alkaloid.
Uji Wagner menyebabkan reaksi pembentukan

senyawa

kompleks

yang

mengendap. Hasil positif alkaloid pada uji Wagner ditandai dengan terbentuknya
endapan coklat muda sampai kuning. Diperkirakan endapan tersebut adalah kaliumalkaloid. Pada uji Wagner, ion logam K+ akan membentuk ikatan kovalen koordinat
dengan nitrogen pada alkaloid membentuk kompleks kalium-alkaloid yang
mengendap. Pada uji alkaloid dengan pereaksi Mayer, diperkirakan nitrogen pada
alkaloid akan bereaksi dengan ion logam K+ dari kalium tetraiodomerkurat (II)
membentuk kompleks kalium-alkaloid yang mengendap (Marliana et al, 2005).
Uji flavonoid menunjukkan hasil positif dengan adanya perubahan warna
kuning. Flavonoid termasuk dalam golongan senyawa fenol yang memiliki banyak
gugus OH dengan adanya perbedaan keelektronegatifan yang tinggi, sehingga
sifatnya polar. Golongan senyawa ini mudah terekstrak dalam pelarut etanol yang
memiliki sifat polar karena adanya gugus hidroksil, sehingga dapat terbentuk ikatan
hidrogen (Sriwahyuni, 2010). Uji flavonoid menggunakan pereaksi Wilstater
dilakukan dengan menambah serbuk Magnesium dan HCl pekat pada sampel ekstrak
etanol daun kemangi. Penambahan HCl pekat digunakan untuk menghidrolisis
flavonoid menjadi aglikonnya, yaitu dengan menghidrolisis O-glikosil. Glikosil akan

tergantikan oleh H+ dari asam karena sifatnya yang elektrofilik. Reduksi dengan Mg
dan HCl pekat dapat menghasilkan senyawa kompleks yang berwarna merah atau
jingga pada flavonol, flavanon, flavanonol dan xanton (Robinson, 1995).
Uji menunjukka hasil positif yakni dengan adanya busa yang terbentuk. Panjang
busa yang terbentuk 1.1 cm
Ekstrak etanol yang diperoleh kemudian di fraksinasi ekstrak cair cair
dengan menggunakan pelarut berturut turut yakni kloroform, etil asetat dan nbutanol. Dimana ekstrak terlebih dahulu di fraksinasi dengan menggunakan
kloroform sehingga senyawa yang memiliki tingkat kepolaran yang hampir mirip
akan ikut tertarik pada pelarut klorofom sama halnya dengan penambahan etil asset
dan n-butanol.
Tujuan dari fraksinasi cair cair bertingkat ini adalah untuk memisahkan
kandungan senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada Momordica charantia L
berdasarkan tingkat kepolarannya. Fraksinasi dilakukan dari pelarut dengan tingkat
kepolaran rendah atau nonpolar bertujuan agar proses pengikatan senyawa bertahap
dan agar seluruh senyawa tidak ditarik oleh pelarut polar yang bersifat menarik
seluruh senyawa (Edawati 2012). Kemampuan mengikat senyawa oleh tingkat
kepolaran tersebut menyebabkan fraksinasi dengan pelarut polar dilakukan paling
akhir.
Hasil fraksinasi yang diperoleh kemudian diuji kromatografi lapis tipis (KLT)
dengan menggunakan eluen etil asetat : n-heksan dengan perbandingan 7:3. Hasil
KLT dengan menggunaka eluen etil asetat : n-heksan (7:3) menunjukkan pemisahan
noda yang jelas dan komponen terpisah yang baik setelah disemprot dnegan
menggunakan asam sulfat 10% yang bertujuan untuk mendeteksi noda KLT.
Kemampuan asam sulfat untuk mengoksidasi gugus kromofor dari zat aktif simplisia
sehingga noda menjadi tampak oleh mata. (Muharram,2010)
Pada KLT terdiri atas fase diam dan fase gerak. Dimana fase diam yang
digunakan adalah silica gel karena silika mempunyai kekuatan pemisahan yang
sangat baik (Nyiredy 2002). Fase gerak yang digunakan adalah eluen. Fase gerak

merupakan medium angkut yang terdiri atas satu atau beberapa pelarut. Fase gerak
bergerak dalam fase diam karena adanya gaya kapiler.
Menurut Stahl (1985) eluen atau fase gerak yang digunakan dalam KLT
dikelompokkan ke dalam 2 kelompok, yaitu untuk pemisahan senyawa hidrofil dan
lipofil. Eluen untuk pemisahan senyawa hidrofil meliputi air, metanol, asam asetat,
etanol, isopropanol, aseton, n-propanol, tert-butanol, fenol, dan n-butanol sedangkan
untuk pemisahan senyawa lipofil meliputi etil asetat, eter, kloroform, benzena,
toluena, sikloheksana, dan petroleum eter.
Noda yang diperoleh kemudian dihitung nilai Rfnya, dimana noda ke-IV pada
fraksinasi etanol daun pare dan noda ke II pada fraksinasi etil asetat daun pare
didapatkan nilai Rf yakni 0.41. Berdasarkan dari nilai Rf tersebut diduga
mengandung senyawa terpenoid dimana Nilai terpenoid adalah 0,42 (Fatma
Kumalasari,2014). Dan pada noda ke-III pada fraksi kloroform daun pare didapatkan
nilai Rf 0.96 yang berdasarkan penelitian sebelumnya nilai Rf untuk senyawa
flavonoid adalh 0.95 (South dkk, 2013)
Nilai Rf dalam kisaran 12 senyawa alkaloid yang paling umum yaitu 0.070.62 (Harbone.1987) berdasarkan hal itu dan dilihat dari nilai Rf yang didapat pada
setiap noda KLT ekstrak daun pare menunjukkan bahwa kandungan yang paling
banyak terdapat dalam daun pare adalah alkaloid.
Noda pada KLT dengan lempeng G 60F254 dapat dilihat dengan menggunakan
sinar UV 254 dan 366. Penampakan noda pada UV 366 dan UV 254 disebabkan
karena sinar UV berinteraksi dengan gugus kromofor yang terikat oleh auksokrom
yang terdapat pada noda tersebut. Fluoresensi warna yang tampak pada lempeng
merupakan emisi cahaya yang dipancarkan oleh komponen tersebut ketika elektron
yang tereksitasi dari tingkat energi tinggi ke tingkat energi dasar. Sedangkan
penampakan noda setelah disemprot dengan reagen H 2SO4 10%, karena kemampuan
H2SO4 sebagai reduktor yang mampu merusak gugus kromofor yang terdapat dalam
noda sehingga panjang gelombangnya bergeser ke arah lebih panjang, hal inilah yang
menyebabkan sehingga noda menjadi tampak oleh mata (Still et al , 1978)

BAB V
PENUTUP
V.1 KESIMPULAN
Skrining fitokimia yang dilakukan pada ekstrak etanol daun pare (Momordica
charantia) ditemukan memiliki kandungan senyawa flavonoid, saponin dan
terpenoid. Pada uji KLT nilai Rf pada noda ekstrak kasar tidak berbeda jauh dengan
nilai Rf pada noda fraksinasi menggunaka etanol yakni 0.71 dan 0.77. Ini
menunjukkan bahwa tingkat kepolaran dari ekstrak daun pare tidak berbeda jauh
dengan tingkat kepolaran dari etanol.
V.2 SARAN
Sebaiknya dilanjutkan dengan penggunaan Kromtografi Kolom dan
spektrofotometri agar lebih memudahkan untuk mengidentifikasi kandungan yang
terdapat pada daun pare (M.charantia)

DAFTAR PUSTAKA

Adhianata, H. 2012. Uji Aktivitas Senyawa Anti mikroba Ekstrak Mikroalga


(Tetraselmis chuii) Metode Sonikasi. Fakultas Teknologi Pertanian
Universitas Brawijaya. Malang.
Ansel H.C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta : UIPress, pp : 60519.
Dalimartha S. 2008. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia, Jilid 5. Jakarta : Pustaka
Bunda, pp : 126-135.
Howard C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta : Penerbit UI Press,
pp : 605, 616, 617.
Johnson, E.L dan Stevenson R. 1991. Dasar Kromatografi Cair. Bandung: Institut Teknik
Bandung.

Kumalasari Fatmawati, 2014. Aktivitas Antibakteri Fraksi Polar, Semipolar, dan


Nonpolar Ekstrak Etanol Daun Buni (Antidesma Bunius (L.) Spreng)
terhadap Escherichia Coli dan Pseudomonas Aeruginosa Sensitif Serta
Bioautografinya. Universitas Muhammadiyah. Surakarta

Marliana, SD. Suryanti, V. dan Suyono. 2005. Skrining Fitokimia dan Analisis
Kromatografi Lapis Tipis Komponen Kimia Buah Labu Siam (Sechium
edule Jacq. Swartz.) dalam Ekstrak Etanol. FMIPA Universitas Sebelas
Maret (UNS) Surakarta. Biofarmasi
Melodita, R. 2011. Identifikasi Pendahuluan Senyawa Fitokimia dan Uji
Aktivitas Antioksidan Ekstrak Daun Cincau Hitam Dengan Perlakuan
Jenis Pelarut. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas Brawijaya.
Malang.
Robinson T. 1991. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Edisi 6. Bandung :
Penerbit ITB,
Stahl, E., 1985, Analisis Obat Secara Kromatografi dan Mikroskopi, Penerbit
ITB: Bandung, 3-18.
Still, Clark., M. Kahn, and A. Mitra. 1978. Rapid Chromatographic Technique for
Preparatives Separations with Moderate Resolution. Journal of Organic
Chemistry : Vol. 43. No. 14.
Suoth Elly dkk. 2013. Evaluasi Kandungan Total Polifenol Dan Isolasi Senyawa
Flavonoid Pada Daun Gedi Merah (Abelmoschus Manihot L.). Universitas
Kristen Indonesia Tomohon.Tomohon
Sudarsono D.G., Subagus W. 2002. Tumbuhan Obat II. Hasil Penelitian, SifatSifat
dan Penggunaan. Yogyakarta : Penerbit PSOT UGM,
Tati Subahar. 2004. Khasiat & Manfaat Pare, si Pahit Pembasmi Penyakit. Jakarta
: Agromedia Pustaka,
Voigt R, 1994. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Yogyakarta : Penerbit UGM
Press,
Waluyantana M H., Isolasi dan Identifikasi Flavonoid dari Daun (Plumeria
accuminata Ait.) Bunga Putih Yang tumbuh di Kabupaten Sleman, dalam
Penelitian Tanaman Obat di Beberapa Perguruan Tinggi di Indonesia.
Jakarta : Depkes RI,

SKEMA KERJA
Daun Pare
(Momordica charantia)

Sortasi Basah
Sortasi Kering

Simplisia

Maserasi dengan etanol 70%

Evaporasi

Ekstrak

Fraksinasi

Ekstrak Cair - cair

Uji Pendahuluan

KLT
Alkaloid

Etanol

Etanol
Etanol

Kloroform

Etil Asetat
n-Butanol

Flavonid

Saponin

Terpenoid

Anda mungkin juga menyukai