Anda di halaman 1dari 6

WHO menjelaskan bahwa definisi Penggunaan Obat Rasional adalah apabila pasien menerima

pengobatan sesuai dengan kebutuhan klinisnya, dalam dosis yang sesuai dengan kebutuhan,
dalam periode waktu yang sesuai dan dengan biaya yang terjangkau oleh dirinya dan kebanyakan
masyarakat. Dengan empat kata kunci yaitu kebutuhan klinis, dosis, waktu, dan biaya yang
sesuai, POR merupakan upaya intervensi untuk mencapai pengobatan yang efektif.
Kampanye POR oleh WHO dilatarbelakangi oleh dua kondisi yang bertolak belakang. Kondisi
pertama menunjukkan bahwa terdapat lebih dari 50% obat-obatan di dunia diresepkan dan
diberikan secara tidak tepat, tidak efektif, dan tidak efisien. Bertolak belakang dengan kondisi
kedua yaitu kenyataan bahwa sepertiga dari jumlah penduduk dunia ternyata kesulitan
mendapatkan akses memperoleh obat esensial.
Penggunaan obat dapat diidentifikasi rasionalitasnya dengan menggunakan Indikator 8 Tepat
dan 1 Waspada. Indikator 8 Tepat dan 1 Waspada tersebut adalah Tepat diagnosis, Tepat
Pemilihan Obat, Tepat Indikasi, Tepat Pasien, Tepat Dosis, Tepat cara dan lama pemberian, Tepat
harga, Tepat Informasi dan Waspada terhadap Efek Samping Obat. Beberapa pustaka lain
merumuskannya dalam bentuk 7 tepat tetapi penjabarannya tetap sama. Melalui prinsip tersebut,
tenaga kesehatan dapat menganalisis secara sistematis proses penggunaan obat yang sedang
berlangsung. Penggunaan obat yang dapat dianalisis adalah penggunaan obat melalui bantuan
tenaga kesehatan maupun swamedikasi oleh pasien. Berikut ini adalah penjabaran dari Indikator
Rasionalisasi Obat yaitu 8 Tepat dan 1 Waspada:
1. Tepat Diagnosis
Penggunaan obat harus berdasarkan penegakan diagnosis yang tepat. Ketepatan diagnosis
menjadi langkah awal dalam sebuah proses pengobatan karena ketepatan pemilihan obat dan
indikasi akan tergantung pada diagnosis penyakit pasien. Contohnya misalnya pasien diare yang
disebabkan Ameobiasis maka akan diberikan Metronidazol. Jika dalam proses penegakkan
diagnosisnya tidak dikemukakan penyebabnya adalah Amoebiasis, terapi tidak akan
menggunakan metronidazol.
Pada pengobatan oleh tenaga kesehatan, diagnosis merupakan wilayah kerja dokter. Sedangkan
pada swamedikasi oleh pasien, Apoteker mempunyai peran sebagai second opinion untuk pasien
yang telah memiliki self-diagnosis.
2. Tepat pemilihan obat
Berdasarkan diagnosis yang tepat maka harus dilakukan pemilihan obat yang tepat. Pemilihan
obat yang tepat dapat ditimbang dari ketepatan kelas terapi dan jenis obat yang sesuai dengan
diagnosis. Selain itu, Obat juga harus terbukti manfaat dan keamanannya. Obat juga harus
merupakan jenis yang paling mudah didapatkan. Jenis obat yang akan digunakan pasien juga
seharusnya jumlahnya seminimal mungkin.
3. Tepat indikasi
Pasien diberikan obat dengan indikasi yang benar sesuai diagnosa Dokter. Misalnya Antibiotik
hanya diberikan kepada pasien yang terbukti terkena penyakit akibat bakteri.

4.

Tepat pasien

Obat yang akan digunakan oleh pasien mempertimbangkan kondisi individu yang bersangkutan.
Riwayat alergi, adanya penyakit penyerta seperti kelainan ginjal atau kerusakan hati, serta
kondisi khusus misalnya hamil, laktasi, balita, dan lansia harus dipertimbangkan dalam
pemilihan obat. Misalnya Pemberian obat golongan Aminoglikosida pada pasien dengan gagal
ginjal akan meningkatkan resiko nefrotoksik sehingga harus dihindari.
5. Tepat dosis
Dosis obat yang digunakan harus sesuai range terapi obat tersebut. Obat mempunyai
karakteristik farmakodinamik maupun farmakokinetik yang akan mempengaruhi kadar obat di
dalam darah dan efek terapi obat. Dosis juga harus disesuaikan dengan kondisi pasien dari segi
usia, bobot badan, maupun kelainan tertentu.
6. Tepat cara dan lama pemberian
Cara pemberian yang tepat harus mempertimbangkan mempertimbangkan keamanan dan kondisi
pasien. Hal ini juga akan berpengaruh pada bentuk sediaan dan saat pemberian obat. Misalnya
pasien anak yang tidak mampu menelan tablet parasetamol dapat diganti dengan sirup.
Lama pemberian meliputi frekuensi dan lama pemberian yang harus sesuai karakteristik obat dan
penyakit. Frekuensi pemberian akan berkaitan dengan kadar obat dalam darah yang
menghasilkan efek terapi. Contohnya penggunaan antibiotika Amoxicillin 500 mg dalam
penggunaannya diberikan tiga kali sehari selama 3-5 hari akan membunuh bakteri patogen yang
ada. Agar terapi berhasil dan tidak terjadi resistensi maka frekuensi dan lama pemberian harus
tepat.
7. Tepat harga
Penggunaan obat tanpa indikasi yang jelas atau untuk keadaan yang sama sekali tidak
memerlukan terapi obat merupakan pemborosan dan sangat membebani pasien, termasuk
peresepan obat yang mahal. Contoh Pemberian antibiotik pada pasien ISPA non pneumonia dan
diare non spesifik yang sebenarnya tidak diperlukan hanya merupakan pemborosan serta dapat
menyebabkan efek samping yang tidak dikehendaki.l
8. Tepat informasi
Kejelasan informasi tentang obat yang harus diminum atau digunakan pasien akan sangat
mempengaruhi ketaatan pasien dan keberhasilan pengobatan. Misalnya pada peresepan
Rifampisin harus diberi informasi bahwa urin dapat berubah menjadi berwarna merah sehingga
pasien tidak akan berhenti minum obat walaupun urinnya berwarna merah.
9. Waspada efek samping
Pemberian obat potensial menimbulkan efek samping, yaitu efek tidak diinginkan yang timbul
pada pemberian obat dengan dosis terapi. Contohnya Penggunaan Teofilin menyebabkan jantung
berdebar.
Prinsip 8 Tepat dan 1 Waspada diharapkan dapat menjadi indikator untuk menganalisis
rasionalitas dalam penggunaan Obat. Kampanye POR diharapkan dapat meningkatkan efektivitas
dan efisiensi belanja obat dan mempermudah akses masyarakat untuk memperoleh obat dengan
harga terjangkau. POR juga dapat mencegah dampak penggunaan obat yang tidak tepat sehingga

menjaga keselamatan pasien. Pada akhirnya, POR akan meningkatkan kepercayaan masyarakat
(pasien) terhadap mutu pelayanan kesehatan.
Referensi
http://bbpkmakassar.or.id/index.php/Umum/Info-Kesehatan/Penggunaan-ObatRasional-POR-melalui-Indikator-8-Tepat-dan-1-Waspada.phd

Ideally, therapeutically sound and cost-effective use of medicines by health professionals and
consumers is achieved at all levels of the health system, and in both the public and the private
sectors. A sound rational drug use programme in any country has three elements:

Rational use of medicines strategy and monitoring -- advocating rational medicines


use, identifying and promoting successful strategies, and securing responsible medicines
promotion.
Rational use of medicines by health professionals -- working with countries to develop
and update their treatment guidelines, national essential medicines lists and formularies,
and supporting training programmes on rational use of medicines.
Rational use of medicines by consumers -- supporting the creation of effective systems
of medicines information, and empowering consumers to take responsible decisions
regarding their treatment.
The above elements were developed in close collaboration with the regional and country offices.
They are formulated in such a way as to reflect the main responsibilities of a national essential
medicines programme.
Rational medicine use strategy and monitoring : Support countries in implementing and
monitoring a national strategy to promote rational use of medicines by health professionals and
consumers.
Rational medicine use by health professionals: Develop national standard treatment guidelines,
essential medicine lists, educational programmes and other effective mechanisms to promote
rational medicine use by health professionals.
Rational medicine use by consumers : Establishing effective medicines information systems to
provide independent and unbiased medicine information including on traditional medicine to
the general public and to improve medicine use by consumers.
WHO advocates 12 key interventions to promote more rational use:
Establishment of a multidisciplinary national body to coordinate policies on medicine use
Use of clinical guidelines
Development and use of national essential medicines list
Establishment of drug and therapeutics committees in districts and hospitals
Inclusion of problem-based pharmacotherapy training in undergraduate curricula
Continuing in-service medical education as a licensure requirement
Supervision, audit and feedback
Use of independent information on medicines
Public education about medicines
Avoidance of perverse financial incentives
Use of appropriate and enforced regulation
Sufficient government expenditure to ensure availability of medicines and staff.
Referensi
http://www.who.int/medicines/areas/rational_use/rud_activities/en/index.html

Konsep penggunaan obat yang rasional pertama kali dicetuskan dalam konferensi tentang
pengobatan rasional di Nairobi pada tahun 1985 yang diprakarsai oleh WHO. Kerangka
konsepsional tentang penggunaan obat yang rasional itu dirumuskan berdasarkan kenyataan
bahwa dari hasil-hasil survei penyediaan dan penggunaan obat di berbagai negara terdapat
masalah penyediaan dan penggunaan obat yang meliputi
Bertambah banyaknya jenis dan jumlah obat baru yang beredar (pertumbuhan pasaran
obat)
Harga obat yang tidak terjangkau
Penggunaan obat yang berlebihan, tanpa indikasi yang jelas,
Beredarnya obat-obat yang tidak efektif dan tidak aman,
Distribusi obat yang tidak merata
Promosi obat yang berlebihan, dan
Pengetahuan dan sikap tentang pengadaan dan penggunaan obat yang kurang memadai
Penggunaan obat secara rasional memerlukan beberapa kriteria, diantaranya adalah (1) Indikasii
yang tepat, (2) pemilihan obat yang tepat (3), dosis dan cara pemakaian yang tepat, dan (4)
peniliaian terhadap kondisi pasien yang tepat
1. Indikasi Yang tepat. Untuk ini diperlukan penentuan diagnosis penyakit dengan tepat.
kemudian perlu dijawab pertanyaan : apakah obat betul-betul diperlukan? Kalau ya, efek
klinik apa yang paling berperan terhadap manfaat terapi.
2. Pemilihan jenis obat yang tepat. Hal ini memerlukan beberapa pertimbangan, yaitu
Manfaat (efektivitas/mutu obat telah terbukti secara pasti)
Risiko pengobatan dipilah yang paling kecil untuk pasien dan imbang dengan
manfaat yang akan diperoleh
Harga dan Biaya obat. Diantara obat-obat alternatif dengan keamanan dan
kemanfaatnya, obat yang dipilih ialah yang paling sesuai dengan kemampuan
penderita.
Jenis obat yang dipilih tersedia di pasaran dan mudah didapat.
Obat tunggal, atau sesedikit mungkin kombinasinya. Dalam praktik sehari-hari
banyak ditemukan penggunaan obat yang tidak rasional yang bersumber dari
pemilihan obat dengan kemanfaatan dan keamanaan yang tidak jelas, atau
memilih obat-obat mahal, sedangkan obat alternatif yang sama dengan harga lebih
murah juga tersedia,
3. Dosis dan cara pemakian yang tepat. Cara pemberian obat meemrlukan pertimbangan
farmakokinetik, yaitu cara (rute) pemberian, besar dosis, frekuensi pemberian, dan lama
pemberian sampai ke pemilihan cara pemakaian yang paling mudah diikuti pasien, aman,
dan efektif untuk pasien.
Apakah pasien benar-benar memerlukan suntikan? Banyak diantara pemberian suntikan
yang tidak memiliki indikasi jelas; pemberian suntikan sering tidak memberikan
kelibihan manfaat dibanding dengan cara penberian lain (Ex : oral). Risiko suntikan
(Misalnya, syok anafilaktik) akan jauh lebih besar dibanding per oral. Juga perlu
dipertimbangkan akan terjadinya interaksi bila diberikan lebih dari satu macam obat.
4. Pasien yang tepat. Berarti mencakup pertimbangan apakah ada kontra-diksi, atau ada
kondisi-kondisi khusus yang memerlukan pnyesuaian dosis (misalnya adanya kegagalan

ginjal) yang memerlukan penyesuaian dosis secara inidividual. Juga perlu


dipertimbangkan apakah ada faktor konstitusi terjadinya efek samping obat penderita.
Dalam penggunaan obat,harus selalu dipertimbangkan manfaat dan risiko pemberian
suatu obat, Keberhasilan terapi dengan obat sangat ditentukan oleh cara-cara penggunaan
obat yang rasional.
Referensi
Kumpulan Kuliah Farmakologi Edisi 2. Penerbit : EGC. 2009

Anda mungkin juga menyukai