Anda di halaman 1dari 14

KONSEP TEORI KEJANG DEMAM

A. Definisi
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang ada berhubungannya dengan demam
dan umur, tetapi tidak didapatkan infeksi ataupun kelainan intrakranial. Pada umumnya
kejang demam terjadi pada umur anak 3 bulan sampai 5 tahun, dan terbanyak pada umur
14- 18 bulan (Yuana, Bahtera & Wijayahadi, 2010).
Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu
rektal diatas 38C). Kejang demam (febris convulsion) adalah perubahan aktivitas motorik
atau behavior yang bersifat paroksimal dan dalam waktu terbatas akibat dari aktivitas
listrik abnormal di otak yang terjadi karena kenaikan suhu tubuh (Riyadi & Sukarmin,
2009).
Kesimpulannya kejang demam adalah bangkitan kejang yang diakibatkan karena
kenaikan suhu tubuh diatas 38C sehingga menyebabkan perubahan aktivitas listrik
abnormal di otak.
B.Etiologi
Penyebab kejang demam masih belum dapat dipastikan. Sebagian besar anak,
tingginya suhu tubuh tetapi bukan pada kecepatan kenaikan suhu yang menjadi faktor
pencetus serangan kejang demam. Pada keadaan suhu demam melebihi 38,8C dan terjadi
pada saat suhu tubuh naik bukan saat setelah terjadinya kenaikan suhu yang lama. Kondisi
yang dapat menyebabkan kejang demam antara lain: infeksi yang mengenai jaringan
ekstrakranial seperti tonsilitis, otitis media akut, bronkitis (Riyadi & Sukarman, 2009).
Seorang anak memiliki risiko kejang demam akan dipengaruhi oleh berbagai faktor,
seperti adanya riwayat kejang tanpa demam dalam keluarga, kelainan dalam
perkembangan atau kelainan saraf sebelum anak menderita kejang demam dan kejang
yang berlangsung lama atau kejang fokal. Jika seorang anak memiliki dua dari tiga fator
risiko yang ada tersebut, maka dikemudian hari anak akan mengalami kejang tanpa
demam sebesar 13%. Jika hanya ada satu atau tidak ada faktor risiko sama sekali, serangan
kejang tanpa demam sebesar 2- 3 % (Sodikin, 2012).
Kejang dibedakan menjadi intrakranial dan ekstrakranial. Dimana penyebab
terjadinya kejang yang mengganggu intrakranial. Pertama, penderita kejang (epilepsy)
akibat trauma (perdarahan) memiliki faktor resiko yang meningkat untuk mendapat
perdarahan subdural akut dan lesi intrakranial lainnya. Kedua, adanya infeksi bakteri,
virus dan parasit, misalnya Streptococcus pneumonia merupakan bakteri menyebabkan
meningitis dan juga sebagai sebagai penyebab komplikasi intrakranial. Ketiga, gangguan
kongenital adanya kelainan serebri (Nurarif & Kusuma 2013; Sastrodiningrat, 2006;
Ritarwan, 2006).
Penyebab kejang yang mengganggu ekstrakranial diantaranya pertama, adanya
gangguan metabolik ditandai dengan hipoglikemia, hipokalsemia, hipomagnesia,
gangguan elektrolit (Na dan K) misalnya pada pasien dengan riwayat diare sebelumnya.
Kedua, adanya toksik dari introksikasi, anestesi lokal dan sindroma putus obat. Ketiga,
gangguan kongenital yang terjadi pada gangguan metabolisme asam basa (Nurarif &
Kusuma, 2013).

C. Patofisiologi
Infeksi pada jaringan di luar kranial seperti otitis media akut, tonsilitis, bronkitis
merupakan bakteri yang bersifat toksik. Toksik yang dihasilkan oleh mikroorganisme
dapat menyebar ke seluruh tubuh melalui hematogen maupun limfogen. Penyebaran toksik
ke seluruh tubuh akan direspon oleh hipotalamus dengan menaikkan suhu di hipotalamus
sebagai tanda tubuh mengalami bahaya secara sistematik. Naiknya suhu di hipotalamus,
akan merangsang kenaikan suhu pada tubuh lainnya seperti otot dan kulit sehingga terjadi
peningkatan kontraksi otot. Pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan
keseimbangan dari membran dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion kalium
maupun ion natrium melalui membran tadi, dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik.
Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga meluas ke seluruh sel maupun ke
membran sel tetangganya dan peristiwa ini di duga dapat menaikkan fase depolarisasi
neuron dengan cepat sehingga terjadi kejang (Riyadi, Sukarmin, 2009).
WOC KEJANG DEMAM
InfeksiRangsang
bakteri virus
mekanik
& parasit
dan biokimia. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
Reaksi Inflamasi
Perubahan konsentrasi ion Kelainan
diruang ekstraseluler
Proses demam
neurologis perinatal/prenatal
Hipertermia
Perubahan
Ketidakseimbangan potensi membran
ATPdifusi Na+ dan K+
Resiko kejang berulang
Resiko keterlambatan perkembangan

Perubahan beda potensial membran sel neuron

Pelepasan muatan listris semakin meluas keseluruh sel maupun membran sel sekitarnya dengan bantuan neurotrans
Resiko cidera

Kejang
Resiko cidera

<15 menit

Kesadaran menurun
Reflek menelan turun

>15 menit

Kontrasi otot meningkat


Perubahan suplay darah ke otak
Resiko kematian sel neuron otak
Metabolisme meningkat

Resiko aspirasi
Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan ke otak
Kebutuhan O2 meningkat
Suhu tubuh makin meningkat

Risiko asfiksia
Thermoregulasi tidak efektif

D. Manifestasi Klinik
Umumnya kejang timbul dalam 24 jam setelah naiknya suhu badan akibat infeksi di
luar susunan saraf misalnya otitis media akut, bronkitis, dan sebagainya. Bangkitan kejang
dapat berbentuk tonik-klonik, tonik, klonik, fokal atau atonik (Lazuardi, Kusumoputro &
Mardioni dalam Markam, 2009).
Menurut Riyadi & Sukarmin (2009), manifestasi klinik yang muncul pada penderita
kejang demam:
1. Suhu tubuh anak (rektal) lebih dari 38C.
2. Timbulnya kejang yang bersifat tonik-klonik, tonik, klonik, fokal atau akinetik.
Beberapa detik setelah kejang berhenti anak tidak memberikan reaksi apapun tetapi
beberapa saat kemudian anak akan tersadar kembali tanpa ada kelainan persarafan.
3. Saat kejang anak tidak berespon terhadap rangsangan seperti panggilan, cahaya
(penurunan kesadaran).
Selain itu pedoman mendiagnosis kejang demam menurut Living-stone juga dapat
dijadikan pedoman untuk menentukan manifestasi klonik kejang demam. Ada 7 (tujuh)
kriteria antara lain:
1. Umur anak saat kejang antara 6 bulan sampai 4 tahun.
2. Kejang hanya berlangsung tidak lebih dari 15 menit.
3. Kejang bersifat umum (tidak pada satu bagian tubuh seperti pada otot rahang saja).
4. Kejang timbul 16 jam pertama setelah timbulnya demam.
5. Pemeriksaan sistem persarafan sebelum dan setelah kejang tidak ada kelainan.
6. Pemeriksaan Elektro Enchephaloghrapy dalam kurun waktu 1 minggu atau lebih
setelah suhu normal tidak dijumpai kelainan.
7. Frekuensi kejang dalam waktu 1 tahun tidak lebih dari 4 kali.
Menurut Nurarif & Kusuma (2013) manifestasi klinik kejang demam, meliputi:
1. Kejang umum
Biasanya diawali kejang tonik (Berupa pergerakan satu ekstremitas atau pergerakan
dengan ekstensi lengan dan tungkai), kemudian klonik (Pergerakan yang terlokalisasi
dengan baik, tidak disertai gangguan kesadaran, dan biasanya tidak diikuti oleh fase
tonik) berlangsung 10 sampai dengan 15 menit, bisa juga lebih.
2. Takikardia
Pada bayi frekuensi denyut jantung sering diatas 150-200 kali permenit.
3. Pulsasi arteri melemah dan tekanan nadi mengecil yang terjadi sebagai akibat
menurunnya curah jantung.
4. Gejala bendungan system vena ditandai dengan hepatomegali dan peningkatan tekanan
vena jegularis.
E. Komplikasi
Pada penderita kejang demam yang mengalami kejang lama biasanya terjadi
hemiparesis. Kelumpuhannya sesuai dengan kejang fokal yang terjadi. Mula mula
kelumpuhan bersifat flaksid, tetapi setelah 2 minggu timbul spastisitas. Kejang demam
yang berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan anatomis di otak sehingga terjadi
epilepsy. Komplikasi yang mungkin terjadi pada klien dengan kejang demam yaitu adanya
pneumonia aspirasi, asfiksia dan retardasi mental (Rafani, 2008).

Komplikasi kejang demam pada anak dapat terjadi, yaitu hemiparase atau adanya
kelemahan dimana anak mengalami kejang berlangsung lama atau hemikonvulsi, anak juga
dapat mengalami bangkitan kejang tanpa demam (epylepsi) yang bergantung pada adanya
gangguan neurologis atau perkembangan sebelum timbulnya kejang, adanya riwayat
kejang tanpa demam pada orang tua atau saudara dan kejang yang berlangsung lebih dari
15 menit. Anak akan mengalami gangguan inteligensi, dimana penderita kejang demam
yang disertai gangguan perkembangan atau ada kelainan neurologis sebelum kejang maka
akan didapatkan I.Q yang lebih rendah. Bila kejang demam disusul oleh kejang tanpa
demam maka kemungkinan retardasi mental menjadi 5 kali lebih besar (Lazuardi,
Kusumoputro & Mardioni dalam Markam, 2009).
Kejang demam sering menyebabkan rasa cemas yang amat sangat pada orang tua,
sebagian besar kejang demam tidak mempengaruhi kesehatan jangka panjang. Kejang
demam simple tidak menyebabkan kerusakan otak, keterbelakangan mental atau kesulitan
belajar, ataupun epilepsi. Komplikasi paling umum dari kejang demam adalah adanya
kejang demam berulang. Sekitar 33% anak akan mengalami kejang berulang jika mereka
demam kembali. Resiko terulang kejang demam akan lebih tinggi jika pada kejang yang
pertama, anak hanya mengalami demam yang tidak terlalu tinggi, jarak waktu antara
mulainya demam dengan kejang yang sempit dan ada faktor turunan (genetik) dari ayah
ataupun dari ibu (Ayukhe, 2007).
F. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Nurarif & Kusuma (2013), pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada
kejang demam:
1. Pemeriksaan laboraturium berupa pemeriksaan darah tepi lengkap, elektrolit dan
glukosa darah dapat dilakukan walaupun kadang tidak menunjukkan kelainan yang
berarti.
2. Indikasi lumbal pungsi pada kejang demam adalah untuk menegakkan atau
menyingkirkan kemungkinan meningitis. Indikasi lumbal pungsi pada pasien dengan
kejang demam meliputi:
a. Bayi<12 bulan harus dilakukan lumbal pungsi karena gejala meningitis sering tidak
jelas.
b. Bayi antara 12 bulan-1 tahun dianjurkan untuk melakukan lumbal pungsi kecuali
pasti bukan meningitis.
c. Pemeriksan Electroencephalography (EEG) dapat dilakukan pada kejang demam
yang tidak khas.
d. Pemeriksaan foto kepala, CT-scan dan/atau Magnetic Resonance Imaging (MRI)
tidak dianjurkan pada anak tanpa kelainan neurologis karena hampir semuanya
menunjukkan gambaran normal. CT-scan atau MRI direkomendasikan untuk kasus
kejang fokal untuk mencari lesi organik di otak.

G. Penatalaksanaan

Prinsip manajemen penatalaksanaan dari kejang demam terdiri dari memberantas


kejang sesegera mungkin, pengobatan penunjang serta mencari dan mengobati faktor
penyebab. Bila pasien datang dalam keadaan kejang, obat pilihan utama adalah
diazepam yang diberikan melalui rute intravena. Efek pengobatan (3 detik sampai 5
menit) tidak ada efek toksik yang serius bila diberikan secara perlahan dan dosis tidak
melebihi 50 mg persuntikan. Jika tidak tersedia dapat diberikan fenobarbital denagn
rute intramuscular. Hasil terbaik bila tersedia fenobarbital yang dapat diberikan
dengan rute intravena dengan dosis 5 mg/kgBB dengan kecepatan 30mg/menit
(Sodikin, 2012).
Manajemen penatalaksanaan kejang demam, meliputi:
a. Penataksanaan di rumah
Penyakit kejang demam seringkali sulit diketahui kapan munculnya, maka
orang tua atau pengasuh anak perlu diberi bekal untuk memberikan tindakan awal
pada anak yang mengalami kejang demam. Tindakan orang tua di rumah yaitu saat
timbul serangan kejang segera pindahkan anak ke tempat yang aman seperti di
lantai yang diberi alas lunak tapi tipis, jauh dari benda-benda berbahaya seperti
gelas, pisau. Selanjutnya posisi kepala anak hiperektensi, pakaian dilonggarkan.
Apabila takut lidah anak menekuk atau tergigit maka diberikan tongue spatel yang
dibungkus dengan kassa atau kain. Tidak lupa ventilasi ruangan harus cukup,
jendela dan pintu di buka supaya terjadi pertukaran oksigen lingkungan. Apabila
memungkinkan sebaiknya orang tua atau pengasuh di rumah menyediakan
diazepam diberikan melalui anus sehingga saat serangan kejang anak dapat segera
dihentikan. Dosis perektal 5 mg untuk berat badan kurang dari 10 Kg. Untuk dosis
rata-rata pemberian perektal adalah 0,4-0,6 mg/KgBB. Apabila beberapa menit
kemudian tidak membaik atau tidak tersedianya diazepam maka segera bawa anak
ke rumah sakit (Riyadi & Sukarmin, 2009).
b. Penatalaksanaan saat di rumah sakit (keperawatan)
Saat terjadi serangan mendadak yang harus diperhatikan pertama adalah; Jalan
nafas (Air way), pernafasan (Breathing) dan sirkulasi cairan/ darah (Circulation).
Pada pemeriksaan jalan nafas (Air way) untuk memastikan kelancaran jalan nafas
(adanya obstruksi jalan nafas oleh benda asing, fraktur tulang wajah dan lain-lain),
untuk mengetahui ventilasi dan oksigenasi yang adekuat. Jika tidak ditemukan
adanya fraktur servikal, dapat dilakukan dengan posisi kepala head- tilt, chin- lift
dan cross finger. Jika tindakan pembersihan jalan napas tidak berhasil, maka dapat
dilakukan tindakan intubasi endotrakeal. Sedangkan pada pemeriksaan pernafasan
(Breathing), untuk mengetahui adanya penurunan oksigen yang tajam (10L/min),
bila hal tersebut terjadi harus dilakukan tindakan ventilasi. Pertukaran gas saat
bernafas, terjadi pertukaran oksigen dan karbondioksida dalam tubuh. Ventilasi
yang baik meliputi fungsi paru, dinding dada dan diafragma yang baik untuk
menghindari adanya tanda hipoksia. Dan pada pemeriksaan sirkulasi cairan/ darah
(Circulation), untuk mengetahui adanya denyut nadi adekuat. Jika terjadi hipotensi
yang terjadi akibat hipovolemia dimana perfusi jaringan tubuh yang lemah, maka

harus segera dilakukan pemberian larutan kristaloid sampai dengan pemberian


transfusi darah (Abadi, 2008).
Bila hal pertama sudah dapat diatasi, baringkan pasien di tempat yang datar
untuk mencegah terjadinya perpindahan posisi tubuh kearah yang membahayakan.
Atur pada posisi terlentang (miringkan) untuk mencegah aspirasi. Jangan
memasang sudip lidah (tongue spatel) karena risiko lidah tergigit kecil serta dapat
membatasi jalan napas. Singkirkan benda-benda berbahaya dari dekat pasien.
Longgarkan pakaian pasien, untuk memberikan jalan napas yang adekuat bila
terjadi distensi abdomen. Berikan obat anti kejang melalui rute rektal, seperti
diazepam berikan dengan dosis 5 mg untuk berat badan kurang dari 10 Kg, pada
anak dengan berat badan lebih dari 10 gram berikan dosis 10 mg. Apabila suhu
tubuh melebihi 38,5C dan bila memungkinkan berikan antipiretik (ibuprofen) dan
beri kompres hangat secara intensif. Hindari pemberian selimut tebal karena uap
panas akan sulit untuk dilepaskan. Bila pasien sudah sadar dan terbangun berikan
minum hangat (Sodikin, 2012).
Tabel
Dosis Diazepam Pada Anak
Terapi Awal Dengan Deazepam
Usia
Dosis IV (Infus)
Dosis perektal
(0,2 mg/kg)
(0,5 mg/kg)
<1 tahun
1-2 mg
2,5-5 mg
1-5 tahun
3 mg
7,5 mg
5-10 tahun
5 mg
10 mg
>10 tahun
5-10 mg
10-15 mg
Sumber (Ayukhe, 2007)

Jika kejang masih berlanjut tindakan yang dilakukan, yaitu pemberian


diazepam 0,2mg/kg per infus diulangi, pengawasan tanda-tanda depresi
pernapasan, pemberian fenobarbita 20-30 mg/kg per infus dalam 30 menit atau
feniton 15-20 mg/kg per infus dalam 30 menit. Pemberian feniton hendaknya
disertai dengan monitor EKG (rekam jantung). Jika kejang masih berlanjut,
diperlakukan penanganan lebih lanjut di ruang perawatan intensif dengan
thiopentone dan alat bantu pernapasan (Ayukhe, 2007).

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN KEJANG DEMAM

A. Pengkajian
Pengkajian keperawatan adalah langkah pertama dari proses keperawatan dengan
mengumpulkan data yang akurat dari klien sehingga diketahui permasalahan
keperawatan. Langkah-langkah dalam pengkajian meliputi pengumpulan data, analisa
dan sintesa data serta perumusan diagnosa keperawatan. Pengumpulan data akan
menentukan kebutuhan dan masalah kesehatan atau keperawatan yang meliputi
kebutuhan fisik, psikososial dan lingkungan pasien. Sumber data didapatkan dari pasien,
keluarga, teman, team kesehatan lain, catatan pasien dan hasil pemeriksaan laboratorium
(Hidayat, 2009).
Data yang diperoleh dari pengkajian klien dengan kejang demam meliputi:
1. Anamnese
a. Biodata atau Identitas
Biodata anak mencakup nama, umur, jenis kelamin, agama. Biodata orang tua
perlu dipertanyakan untuk mengetahui status sosial anak meliputi nama, umur,
agama, suku/bangsa, pendidikan, pekerjaan, penghasilan, alamat (Setia, 2006)
b. Keluhan utama
Ibu anak biasanya mengeluh tubuh anaknya sangat panas kemudian timbul kejang
(tonik, klonik, tonik klonik) secara tiba-tiba (Muttaqin, 2008).
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Sebelum penderita mengalami serangan kejang ini ditanyakan apakah penderita
pernah mengalami kejang sebelumnya, umur berapa saat kejang terjadi untuk
pertama kali. Apakah ada riwayat trauma kepala, radang selaput otak, otitis media
akut (OMA), tumor otak dan lain-lain (Muttaqin, 2008).
d. Riwayat penyakit sekarang
Pada anak kejang demam riwayat yang yang menonjol adalah adanya demam yang
dialami oleh anak (suhu rektal di atas 38C). Demam ini dilatarbelakangi adanya
penyakit lain yang terdapat pada luar kranial sepertia tonsilitis, faringitis.
Sebelumnya serangan kejang pada pengkajian status kesehatan biasanya anak tidak
mengalami kelainan. Anak masih menjalani aktifitas sehari-hari seperti biasa
(Riyadi & Sukarmin, 2009).
e. Riwayat Kehamilan dan Persalinan
Kedaan ibu sewaktu hamil per trimester, apakah ibu pernah mengalami infeksi atau
sakit panas sewaktu hamil. Riwayat trauma, perdarahan per vaginam sewaktu
hamil, penggunaan obat-obatan maupun jamu selama hamil. Riwayat persalinan
ditanyakan apakah sukar, spontan atau dengan tindakan ( forcep/vakum ),
perdarahan ante partum, asfiksi dan lain-lain. Keadaan selama neonatal apakah
bayi panas, diare, muntah, tidak mau menyusui, dan kejang-kejang (Suharso dalam
Setia, 2006).
d. Riwayat Imunisasi
Jenis imunisasi yang sudah didapatkan dan yang belum ditanyakan serta umur
mendapatkan imunisasi dan reaksi dari imunisasi. Pada umumnya setelah
mendapat imunisasi DPT efek sampingnya adalah panas yang dapat menimbulkan
kejang (Suharso dalam Setia, 2006).
e. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan menurut (Riyadi & Sukarmin, 2009).

1. Personal sosial (kepribadian/tingkah laku sosial)


Berhubungan dengan kemampuan mandiri, bersosialisasi, dan berinteraksi
dengan lingkungannya.
2. Gerakan motorik halus
Berhubungan dengan kemampuan anak untuk mengamati sesuatu, melakukan
gerakan yang melibatkan bagian-bagian tubuh tertentu saja dan dilakukan otototot kecil dan memerlukan koordinasi yang cermat, misalnya menggambar,
memegang suatu benda, dan lain-lain.
3. Gerakan motorik kasar :
Berhubungan dengan pergerakan dan sikap tubuh.
4. Bahasa
Kemampuan memberikan respon terhadap suara, mengikuti perintah dan
berbicara spontan.
Menurut Rafani (2008) pemeriksaan fisik pada kejang demam:
1. Pengukuran pertumbuhan
Pengukuran pertumbuhan anak yang perlu dikaji yaitu berat badan, tinggi
badan dan lingkar kepala, lingkar lengan.
2. Pengukuran fisiologis
Pengukuran fisiologis anak dengan kejang demam yaitu mengukur tanda-tanda
vitalnya yaitu suhu (biasanya di atas 38 C), nadi cepat (> 100 kali permenit),
pernafasan (mungkin dyspnea nafas pendek, nafas cepat, sianosis, >30 kali
permenit).
3. Keadaan umum
Pada keadaan umum anak dengan kejang demam biasanya pasien tampak
lemah, malaise.
4. Kulit
Pengkajian pada kulit anak dengan kejang demam melihat turgor kulit dan
kebersihan kulit anak.
5. Kepala
Pengkajian pada kepala anak dengan kejang demam untuk melihat kebersihan
kulit kepala dan warna rambut serta kebersihannya.
6. Mata
Pengkajian mata pada anak kejang demam, melihat konjungtiva, sklera pucat /
tidak, pupil dan palpebra.
7. Telinga
Pengkajian telinga pada anak kejang demam melihat kebersihan telinga,
penyakit yang mungkin ditemukan adanya Otitis Media Akut / Kronis.
8. Hidung
Pemeriksaan hidung umumnya tidak ada kelainan
9. Mulut dan Tenggorokan
Pengkajian pada mulut dan tenggorokan anak kejang demam bisa dijumpai
adanya tonsillitis.
10. Dada

Pengkajian dada anak kejang demam untuk melihat kesimetrisan dada dan
pergerakan dada.
11. Paru paru
Pengkajian paru-paru anak kejang demam, bronchitis kemungkinan
ditemukan.
12. Jantung
Umumnya normal pada anak kejang demam.
13. Abdomen
Pengkajian abdomen anak kejang demam mengetahui adanya mual mual dan
muntah.
14. Genetalia dan anus
Pengkajian bagian genetalia dan anus anak untuk melihat ada kelainan / tidak.
15. Ekstremitas
Pengkajian ekstremitas anak baik atas maupun bawah untuk melihat ada
kelainan / tidak.
16. Selaput Meningen
a. Tanda Kaku Kuduk
Bila leher ditekuk secara pasif terdapat tahanan, sehingga dagu tidak dapat
menempel pada dada menandakan kaku kuduk positif (+).
b. Tanda Kerniq
Fleksi tungkai atas tegak lurus, lalu dicoba meluruskan tungkai bawah pada
sendi lutut. Normal, bila tungkai bawah membentuk sudut 1350 terhadap
tungkai atas. Kernig + bila ekstensi lutut pasif akan menyebabkan rasa sakit
terhadap hambatan.
c. Tanda Laseque
Fleksi sendi paha dengan sendi lutut yang lurus akan menimbulkan nyeri
sepanjang nervus ischiadicus (saraf terbesar dan terpanjang pada tubuh).
d. Tanda Brudzinski I
Letakkan satu tangan pemeriksa dibawah kepala klien dan tangan lain
didada klien untuk mencegah badan tidak terangkat, kemudian kepala klien
difleksikan kedada secara pasif. Brudzinski I positif (+) bila kedua tungkai
bawah akan fleksi pada sendi panggul dan sendi lutut.
e. Tanda Brudzinski II
Tanda Brudzinski II positif (+) bila fleksi tungkai klien pada sendi panggul
secara pasif akan diikuti oleh fleksi tungkai lainnya pada sendi panggul dan
lutut.

B. Analisa Data

No
1.

Sign & Symptom


DS:

Problem
Gangguan aliran

Etiologi
Ketidakefektifan

Ibu klien mengatakan kalau


kejang yang dialami oleh
anaknya sering hilang timbul
dan terjadi secara mendadak
DO
Pasien terlihat kejang
Badan tampak kaku
Mata melihat ke atas
Mulut terkunci
Kaki menendang-nendang
Tangan terlihat mengepal

darah ke otak

perfusi jaringan
otak

2.

DS:
Ibu klien mengatakan badan
anaknya masih demam, teraba
panas, serta demam muncul lagi
setelah meminum obat penurun
panas.
DO:
S: 38.5oC
N: 88 bpm
RR: 26 bpm
Kulit teraba hangat

Proses inflamasi
penyakit

Ketidakefektifan
termoregulasi

3.

DS:
Ibu klien mengatakan anaknya
terlihat lemah dan sering terjadi
kejang secara mendadak
DO:
Anak terlihat lemah
Pucat
Ekstremitas terlihat lemah

Gangguan
integrasi sensori

Resiko cedera

C. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan dengan gangguan aliran darah ke
otak.
2. Ketidakefektifan termoregulasi berhubungan dengan proses inflamasi penyakit
3. Resiko cidera berhubungan dengan gangguan integrasi sensori

D. Intervensi

Diagnosa Keperawatan/
Masalah Kolaborasi

Rencana keperawatan
Tujuan dan Kriteria
Hasil

Ketidakefektifan perfusi
jaringan otak
berhubungan dengan
gangguan aliran darah ke
otak.

NOC:

Intervensi
NIC:

Ci
rculation status

Ne
urologic status

Ti
ssue Perfusion:
cerebral
Setelah dilakukan asuhan
selama1 x 24 jam
ketidakefektifan perfusi
jaringan cerebral teratasi
dengan kriteria hasil:

Te
kanan systole dan
diastole dalam
rentang yang
diharapkan

Ti
dak ada
ortostatikhipertensi

K
omunikasi jelas

M
enunjukkan
konsentrasi dan
orientasi

Pu
pil seimbang dan
reaktif

Be
bas dari aktivitas
kejang

Monitor TTV

Monitor AGD,
ukuran pupil, ketajaman,
kesimetrisan dan reaksi

Monitor adanya
diplopia, pandangan kabur,
nyeri kepala

Monitor tonus
otot pergerakan

Monitor tekanan
intrkranial dan respon
nerologis

Catat perubahan
pasien dalam merespon
stimulus

Monitor status
cairan

Pertahankan
parameter hemodinamik

Tinggikan
kepala 0-45o tergantung
pada konsisi pasien dan
order medis

Ti
dak mengalami nyeri
kepala

Diagnosa Keperawatan/
Masalah Kolaborasi

Rencana keperawatan
Tujuan dan Kriteria
Hasil

Ketidakefektifan
termoregulasi
berhubungan dengan
proses inflamasi penyakit

NOC:

Intervensi
NIC:

Thermoregulasi

Setelah dilakukan
tindakan keperawatan
selama1 x 24
jam.pasien
menunjukkan :
Suhu tubuh dalam batas
normal dengan kreiteria
hasil:

Su

Na

hu 36 37C

Monitor
suhu
sesering mungkin
Monitor warna dan
suhu kulit
Monitor
tekanan
darah, nadi dan RR
Monitor penurunan
tingkat kesadaran
Monitor WBC, Hb,
dan Hct
Monitor intake dan
output
Berikan anti piretik:
Kelola
Antibiotik.

di dan RR dalam
rentang normal
Ti
dak ada perubahan
warna kulit dan
tidak ada pusing,
merasa nyaman

Diagnosa Keperawatan/
Masalah Kolaborasi

.
Selimuti pasien
Berikan
cairan
intravena
Kompres
pasien
pada lipat paha dan aksila
Tingkatkan sirkulasi
udara
Tingkatkan intake
cairan dan nutrisi

Monitor TD, nadi,


suhu, dan RR

Catat
adanya
fluktuasi tekanan darah

Monitor
hidrasi
seperti
turgor
kulit,
kelembaban
membran
mukosa)

Rencana keperawatan
Tujuan dan Kriteria
Hasil

Risiko cedera
berhubungan dengan
gangguan integrasi
sensori

NOC:

Intervensi
NIC:

Kn
owledge: Personal
Safety

Saf
ety Behavior: Fall
Prevention

Saf
ety Behavior =: Fall

Environmental Management
safety

Identifikasi faktor
lingkungan
yang
memungkinkan
resiko
terjadinya cedera

Pantau
status
neurologis setiap 8 jam

Jauhkan bendabenda
yang
dapat
mengakibatkan
terjadinya

occurance

Saf
ety Behavior: Physical
Injury

Tiss
ue Integrity: Skin and
Mucous Membran
Setelah dilakukan
tindakan keperawatan
selama1x 24 jam.klien
tidak mengalami trauma
dengan kriteria hasil:
pasien
terbebas dari trauma
fisik

cedera pada pasien saat terjadi


kejang

Pasang
penghalang
tempat
tidur
pasien

Letakkan pasien
di tempat datar dan rendah

Tinggal bersama
pasien dalam beberapa lama
setelah kejang

Menyiapkan kain
lunak
untuk
mencegah
terjadinya gigitannya lidah
saat terjadi kejang

Tanyakan pasien
bila ada perasaan yang tidak
biasa yang dialami beberapa
saat sebelum kejang

Berikan obat anti


konvulsan
sesuai
advice
dokter

Anjurkan pasien
untuk
memberitahu
jika
merasa ada sesuatu yang tidak
biasa sebagai permulaan
terjadinya kejang

Berikan informasi
pada
keluarga
tentang
tindakan
yang
harus
dilakukan selama pasien
kejang

Anda mungkin juga menyukai