Anda di halaman 1dari 17

Infeksi Jamur

Leave a reply

Berdasarkan lokasi infeksi dan derajat keterlibatan jaringan, jaumr dapat dibagi menjadi,
superficial, subkutan dan mikosis profunda. Infeksi jamur superfisial terbatas pada lapisan
stratum korneum dan pada dasarnya tidak menimbulkan respon peradangan, biasanya
disebabkan oleh jamur golongan dermatofita yang menghasilkan keratinase dan hidup pada
keratin manusia. Infeksi kutaneus meliputi integumen dan jaringan penyokongnya. Mikosis
Subkutan menyerang jaringan subkutan yaitu inokulasi bekas trauma. Infeksi dalam meliputi
sistem dan organ yang dapat menstimulasi respon imun. Mikosis dalam dapat dibagi menjadi:
Invasif mikosis atau yang disebut sebagai Infeksi Fungal Invasif (IFI) merupakan infeksi
jamur/fungi yang dominan terjadi pada jaringan yang dalam dan tidak terdapat keterlibatan
infeksi di darah yang didiagnosis secara proven atau probable. Mikosis diseminata merupakan
infeksi jamur yang dalam meliputi multipel organ atau sistem yang terjadi melalui darah maupun
sistem limfe. Mikosis sistemik keterlibatan infeksi jamur yang dalam yang melipatkan organ,
sistem dan darah.
Epidemiologi

Pasien neonatus

Pada pasien neonatus, infeksi candida spp sering menjadi penyebab infeksi invasif yang
mengancam nyawa. Umumnya insiden candidiasis invasif pada pediatric lebih tinggi daripada
orang dewasa dengan resiko yang lebih tinggi pada neonatus. Pada pasien neonatus yang sakit
berat, candida spp merupakan agen ketiga tersering penyebab infeksi onset lambat, dengan
insiden berkisar antara 2,6 10% pada bayi BBLR (1001 1500gr) dan 5,5 20% pada bayi
BBLSR (<1000gr). Angka mortalitas kasaryang berhubungan dengan infeksi ini berkisar antara
15 30% dan mortalitas yang disebabkan oleh penyakit tersebut. Tahun 2010, Montagna dkk
mengevaluasi epidemiologi infeksi fungi invasive pada bayi, mereka menunjukkan bahwa secara
keseluruhan insidenny 1,3% dan angka mortalitas kasar sebesar 23,8%. Dimana pada bayi
dengan berat 1500gr (4,3%) menunjukkan insiden yang lebih tinggi secara signifikan
dibandingkan paa bayi dengan berat 2500gr (0,2%). C. parapsilosis (61,9%) merupakan spesies
yang paling sering terisolasi.
Pasien neonatus jarang menunjukkan infeksi yang disebabkan oleh jamur filament, seperti
Aspergillus dan Zygomycetes, meskipun mereka dapat menyebabkan infeksi kulit setelah lesi
kulit nekrotikan dan infeksi saluran pencernaan setelah mucositis yang terinduksi oleh
enterocolitis.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Groll dkk, yang disebabkan oleh aspergillus yang tercatat
pada bayi <3 bulan, 32% mengalami aspergillosis diseminata, 25% mengalami aspergilosis
cutaneus primer, dan 23% mengalami aspergillosis mandi pulmoner invasive. Sedikitnya 41%
pasien mendapatkan terapi kortikosteroid sebelum diagnosis dan hanya 1 pasien yang
mengalami neutropenia, ketikan prematuritas menjadi kondisi yang mendasari (43%), hanya 14%
yang terbukti menderita penyakit granulomatosa kronik. Spesies yang bertanggung jawab dalam

infeksi aspergillosis, A. fumigatus merupakan spesies tersering yang ditemukan pada bayi diikuti
oleh A. flavus, A. terreus, dan A. niger.

Pasien anak

Meskipun anak yang sehat memiliki imunitas alami yang kuat melawan infeksi jamur, beberapa
mikosis superficial seperti Tinea sering muncul. Tinea, disebabkan oleh dermatofit seperti
Tricophyton, Epydermophyton, Microsporum, merupakan infeksi kulit tang ditularkan langsung
dengan kontak kulit dengan penderita atau dengan kontak oleh permukaan seperti pada lantai
kamar mandi atau ruangan loker. Infeksi ini sering ditemukan pada anak usia 3-9 tahunyang
tinggal di area yang padat.
Pada anak dan remaja yang menderita kanker, faktor resiko yang terpenting untuk infeksi jamur
adalah pada pemasangan kateter intravena, mucositis karena kemoterapi, antibiotic spectrum
luas, dan penggunaan kotrikosteroid dalam terapi terutama pada pasien leukemia. Candida spp
dan Aspergillus spp adalah agen penyebab tersering. Pada pasien neutropenia pada anak
dengan leukemia atau transplantasi sumsum tulang, frekuensi candidiasis invasive adalah 8
10% dengan angkat mortalitas kasar 100% pada pasien dengan neutropenia persisten atau
setelah transplantasi hemopoetik stem cell.
Selain infeksi candida spp, pada anak dengan infeksi Aspergillus spp juga tercatat. Aspergillus
dapat menyebabkan penyakit infeksi, saprofitik atau alergi. Faktanya, frekuensinya berkisar 4,510% dengan angka kematian kasar 40 94%. Spesies tersering adalah A. fumigatus, A. flavus,
dan A. terreus.
Diagnosis
Berdasarkan European Organization for Research and treatment of cancer /Mycoses Study e
(EORTC/MSG) diagnosis dari IFI dapat diklasifinisikan seikasikan menjadi proven, probable, dan
possible. Diagnosis proven dipertimbangkan bila pada pemeriksaan histopatologi ditemukan
infeksi dan terdapat hasil kultur yang biasanya tempat tersebut steril. Didefinisikan sebagai
probable jika terdapat manifestasi klinis yang dapat berupa gejala dan tanda dan gambaran
radiologi sekaligus terdapat spemeriksaan mikrobiologis yang mendukung, dikategorikan sebagai
possible bila hanya terdapat faktor resiko dari host dan manifestasi klinis saja.
Menegakkan diagnosis infeksi jamur pada anak secara masih merupakan suatu tantangan
dalam dunia kedokteran. Terapi dengan obat anti jamur yang terbaru dan prosedur lain yang
dianggap efektif untuk mengontrol infeksi jamur ternyata tidak signifikan menurunkan mortalitas
akibat infeksi jamur invasif. Berbagai kemajuan teknologi dan beberapa perangkat diagnostik
terbaru dapat membantu menegakkan adanya infeksi jamur, namun teknik diagnosis yang masih
merupakan gold standard adalah dengan kultur jamur. Kelemahan teknik ini adalah memerlukan
waktu beberapa hari untuk mendeteksi adanya pertumbuhan jamur, pengambilan sampel
memerlukan teknik pengambilan yang benar, disamping itu jamur merupakan kontaminan yang
paling sering ditemukan di laboratorium. Pada neonatus dengan candidemia hasil kultur darah
sering kali menunjukkan hasil negatif karena sampel darah yang terlalu sedikit, disamping itu
strain jamur Candida merupakan spesies jamur yang tumbuh sangat lambat sehingga sulit untuk

menegakkan infeksi lebih dini. Teknik diagnosis yang ideal adalah yang mampu mendeteksi
adanya infeksi jamur pada fase awal infeksi, yang mana kriteria ini tidak dapat dipenuhi oleh
pemeriksaan kultur. Sehingga sensitivitas pemeriksaan dengan kultur jamur menjadi lebih
rendah.
Diagnosis infeksi jamur ditegakkan berdasarkan gejala secara klinis dan beberapa
modalitas pemeriksaan mikrobiologi , biomolekuler dengan pemeriksaan antigen, dan
pencitraan. Beberapa gejala klinis infeksi jamur secara spesifik menunjukkan infeksi jamur
tertentu. Pada infeksi candida di kulit misalnya adanya rash makulopapular dapat merupakan
tanda patognomonik. Namun pada infeksi jamur invasif gejala-gejala yang ditumbulkan seringkali
tidak khas dan seringkali terabaikan. Gejala infeksi Candida invasif biasanya tidak spesifik, gejala
yang ditimbulkan antara lain adalah demam tanpa sebab yang jelas, atau gejala-gejala sindrom
sepsis, neutropenia, nyeri perut kuadran kanan atas dan peningkatan kadar alkali fosfatase bila
candida menginvasi ke hati atau limpa. Oleh karena gejala infeksi yang tidak khas ini sehingga
diperlukan pemeriksaan dan teknik diagnosis lain untuk menegakkan diagnosis infeksi jamur.
Beberapa teknik diagnosis infeksi jamur yang dapat dikerjakan adalah :
1. Kultur darah
Identifikasi infeksi jamur dengan kultur darah masih dianggap merupakan gold standar, namun
sangat disayangkan teknik ini tidak dapat diterapkan pada semua spesies jamur. Infeksi yang
disebabkan oleh candida yang terdeteksi dengan kultur darah hanya 40-70% sehingga
sensitivitasnya sangat rendah. Golongan jamur yang dapat terdeteksi dengan pemeriksaan kultur
darah adalah golongan Fusarium spp dan Scedosporium spp, sedangkan golongan Aspergillus
spp dan Zygomycetes hampir tidak pernah ditemukan pada pemeriksaan kultur darah.
2. Pemeriksaan histopatologi
Jamur dapat diidentifikasi berdasarkan gambaran morfologi dan histopatologinya. Pemeriksaan
histopatologi adalah mendeteksi jamur dengan menggunakan teknik pewarnaan. Berbagai
teknik pewarnaan yang sering digunakan adalah dengan Gomori-silver stain (GMS), periodic
acid schiff (PAS), dan teknik fluoresensi dengan fluorescent dyes. Pemeriksaan histopatologi
memiliki sensitivitas dan spesifitas yang tidak bisa diprediksi. Kelemahan teknik diagnosis
dengan cara ini adalah tergantung kepada jumlah jamur, jenis jamur serta kualitas dan
kedalaman spesimen yang diambil.
3. Pemeriksaan biomolekular
Pemeriksaan ini bertujuan untuk mendeteksi komponen dinding sel jamur dan DNA jamur.
Pemeriksaan yang dapat dilakukan dan masih terus dikembangkan antara lain:
1. Deteksi galactomannan
Galactomannan adalah komponen karbohidrat dinding golongan Aspergillus spp.
Galactomannnan dideteksi dengan teknik ELISA, terdapatmya galactomannan dalam cairan
tubuh merupakan alat bantu diagnostik yang sangat berguna dalam mendeteksi infeksi jamur
oleh Aspergillus spp. Hasil dilaporkan dalam bentuk rasio densitas optik sampel dibandingkan

dengan kontrol. Nilai ambang batas positif adalah >0,8 pada sampel tunggal dan >0,5 pada dua
sampel yang diambil berurutan. Terdeteksinya galactomannan digabungkan dengan kriteria klinis
memenuhi kriteria diagnosis sangat mungkin aspergillosis dengan sensitivitas 89% dan
spesifitas 85% pada pasien anak. Kelemahan teknik ini adalah sering terjadi false positif
khususnya pada pasien yang telah mendapatkan antibiotik betalaktam dan juga pada pasien
anak.
1. Deteksi 1,3--D-glucan
Komponen dinding sel jamur yang lain adalah 1,3--D-glucan (BDG), berbeda dengan
galactomannan yang lebih spesifik untuk Aspergillius spp, 1,3--D-glucan terdapat pada hampir
semua spesies jamur kecuali jenis Zygomycetes dan Cryptococcus spp. Deteksi BDG juga
kerjakan dengan teknik ELISA. Pemeriksaan dianjurkan dilakukan dua sampai tiga kali dalam
seminggu selama masih ada risiko infeksi. Nilai cut-off untuk hasil positif adalah >80 pg/ml.
Infeksi dapat ditegakkan dalam waktu kurang dari tujuh hari. Deteksi BDG dalam serum adalah
teknik yang tepat untuk membedakan infeksi akibat Candida spp atau Aspergillus spp dengan
negative predictive value > 90%. Sensitivitas dan spesifitas teknik pemeriksaan ini adalah 62%
dan 92%.
1. Deteksi mannan antigen dan anti mannan antibodi
Teknik yang sudah banyak digunakan adalah dengan platelia Candida, juga dilakukan dengan
teknik ELISA yang menggabungkan antara deteksi antigen mannan dan anti-mannan antibodi
dalam serum. Sensitivitas mencapai 80% dengan spesifitas 30% dan diagnosis dapat ditegakkan
dalam waktu kurang dari lima hari
1. Polymerase chain reaction (PCR)
Berbagai teknik untuk mendeteksi asam nukleat dari jamur telah dikembangkan dengan tujuan
untuk menegakkan infeksi jamur lebih awal. Deteksi asam nukleat jamur dengan teknik PCR
masih sedang diteliti. Masalah yang dihadapi adalah karena belum ada standarisasi untuk
melakukan tes PCR. Setiap laboratorium memiliki teknik ekstraksi, probe, protokol dan tata cara
yang berbeda dalam melakukan PCR. Kondisi ini menyebabkan teknik diagnosis dengan PCR
hasilnya masih diragukan, sehingga sensitivitas dan spesifitasnya menjadi rendah. Masih sangat
sedikit penelitian yang dilakukan untuk penegakan diagnosis infeksi jamur dengan PCR, yang
sudah dilakukan adalah penelitian untuk mendeteksi adanya Candida spp pada pasien dengan
sakit kritis dan menurut studi yang dipublikasikan tahun 2008, dengan teknik PCR untuk deteksi
beberapa spesies Candida spp dilaporkan nilai positive predictive value dan negative predictive
value adalah > 90%.
1. Pencitraan
Teknik diagnosis dengan pencitraan mempunyai peranan yang penting untuk menegakkan
diagnosis dan pemantauan penyakit infeksi jamur invasif. Pemeriksaan dengan CT scan dan
magnetic resonance imaging (MRI) sangat penting untuk menegakkan diagnosis kandidiasis
pada hepar dan lien. Ekokardiografi merupakan komponen penting dalam menegakkan

diagnosis endokarditis akibat Candida spp. Sedangkan, pemeriksaan dengan foto thoraks
kurang sensitif untuk menegakkan infeksi jamur. Pada pasien yang menjalani transplantasi
organ yang kemudian mengalami febril neutropenia pemeriksaan CT scan daerah thoraks perlu
dilakukan karena kemungkinan infeksi jamur sangat besar. Gambaran infeksi jamur biasanya
tampak sebagai nodul padat dengan batas tegas atau gambaran halo disekelilingnya. Gambaran
ini tidak spesifik sebagai penanda infeksi jenis jamur oleh Aspergillosis spp, namun penemuan
tanda ini lebih dini dan tatalaksana lebih awal memberikan luaran yang lebih baik, karena infeksi
jamur pada paru paling banyak disebabkan oleh spesies Aspergillus spp. Infeksi jamur invasif
lain pada paru seperti fusariosis, zygomycosis dan scedosporiosis mempunyai gambaran yang
sama dengan infeksi aspergillosis.
Tabel dibawah ini menunjukkan keuntungan dan kerugian dari masing-masing teknik diagnostik
infeksi jamur invasif.

Metode

Keuntungan

Kerugian

Strain jamur tumbuh lambat


Gold standard

Kultur darah

Akurat

Memerlukan teknik invasif untuk


mendapatkan spesimen yang sesuai

Spesifik

Hasil kemungkinan negatif palsu

Kemungkinan hasil

Galactomannan

Spesifitas tinggi

Positif palsu

Tidak invasif

Negatif palsu

Tidak invasif

1,3--D-glucan

Nilai prediksi negatif yang tinggi untuk


kebanyakan spesies jamur

Kemungkinan hasil positif palsu

Mannan antigen Candida

Tidak invasif

Meningkat hanya sementara

Sensitifitas dan spesifitas tinggi

Sensitifitas sangat rendah pada infeksi

Candida parapsilosis
Kemungkinan positif palsu

PCR

Dapat mengidentifikasi genus/spesies

Belum ada standarisasi

Spesifitas tinggi

Belum tersedia secara luas

Berdasarkan patogenesis, infeksi jamur bisa dibagi menjadi dua yaitu:


1. Patogen primer (jamur dismorfik seperti Histoplasma, Blastomyces, Coccidioides) yang
juga mempengaruhi status imunitas pasien. Jamur jenis ini merupakan mikroorganisme
endemik di daerah Amerika, Afrika dan Asia.
2. Patogen oportunistik (yeasts and moulds, termasuk diantaranya Candida
spp, Cryptococcus spp, Aspergillus spp, Zygomycetes dan Fusarium spp) yang dapat
merusak host dengan

Infeksi pada Neonatus


Pada saat lahir dapat ditemukan kolonisasi dari jamur Candidas Spp pada permukaan
mukokutaneus, sehingga bayi sehatpun dapat memiliki oral thrush dan diaper rash dimana
disebabkan oleh spesies candida albican dan lebih jarang disebabkan oleh spesies candida
glabrata dan candida tropicalis. Infeksi ini nampak sebagai plak putih pada mukosa oral yang
tidak menimbulkan demam yng biasa dicetuskan oleh pemberian antibiotik dan kortikosteroid
inhalasi, Infeksi ini dapat diatasi dengan pemberian antijamur topikal seperti nystatin,
miconazole, gentian violet dan Amphotericin B, sedangkan diaper rash sendiri merupakan reaksi
dari kulit yang terlihat pada anus, paha, lipatan kulit dekat genital berwarna kemerahan dan
mengalami peninggian, 15-20% dari diaper rash disebabkan oleh Candida albicans. IFI bisa
terjadi pada neonatus keadaan kritis. Pada neonatus dengan keadaan kritis, candida merupakan
spesies penyebab urutan ketiga paling umum menimbulkan infeksi late-onset, dengan angka
insiden 2,6-10% pada neonatus berat lahir sangat rendah (1001-1500 gram), 5,5-20% pada
neonatus dengan berat lahir amat sangat rendah (kurang dari 1000 gram). Pada neonatus faktor
resiko primer terjadinya IFI adalah prematuritas dan kolonisasi dari jamur, yang dapat diperoleh
dari aluran pencernaan, kateter intravaskular dan drain yang terkontaminasi tenaga kesehatan.
Pada bayi prematur umumnya terinfeksi oleh spesies C. Albicans dan C. Parapsilosis, anak

kurang dari 1 tahun umumnya terinfeksi oleh C. Parapsilosis, sedangkan pada pasien dewasa
jumlah insiden infeksi oleh C. Glabarata lebih banyak, kolonidari C. Albicans dan C Parapsilosis
banyak ditmukan pada penggunaan kateter intravena maupun drain.
Pada pasien neonatus jarang didapatkan infeksi yang disebabkan oleh jamur filmen yang
penyebarannya karena air yang terkontaminasi dan sistem ventilasi seperti Aspergillus dan
Zygomycetes, namun golongan jamur tersebut dapat menyebabkan infeksi kulit setelah terjadi
nekrosis pada kulit, terjadi infeksi saluran pencernaan setelah terjadi mukositis karena
enterokolitis.

Infeksi Pada Anak

Infeksi Mikosis superfisial oleh karena Tinea yang merupakan jamur dermatofita seperti
Tricophyton, Epydermophyton, Microsporum sering terjadi pada anak yang ditularkan melalui
kontak langsung. Lain dari spesies kandida yang sering menyebabkan infeksi pada anak, anak
dengan kelainan sistem imun dapat teri nfeksi oleh Aspergillus uang mnyebabkan infeksi invasif,
saprofit maupun penyakit alergi. Infeksi Saprofit meliputi otomikosis dan pulmonary aspergilosis.
Kondisi Alergi meliputi sinusitis alergi dan bronkopulmonary alergi aspergilosis (APBA), yang
merupakan reaksi hipersensitivitas paru yang berkaitan dengan kerusakan saluran nafas karena
proses inflamasi yang disebabkan oleh spesies aspergilus. Yang didefinisikan melalui kriteria
diagnosis episodik obstruksi bronkial, asma, terdapat eosinofilia perifer dan peningkatan serum
IgE, bronkiektasis sentral, dan terdapat krieria diagnostik yang lain berupa berulangnya
terdeteksi spesies aspergilus pada sampel sputum pasien dan terdapat reaksi kulit tipe lambat
terhadap antigen dari aspergillus (Arthus Reaction)
Pada anak dengan keganasan darah dan anak yang menjalankan tranplantasi sumsum
tulang terdapatnya salah satu IFI yakni invasif Aspergilosis yang menyebabkan angka kematian
kasar mencapai 40-94%, infeksi ini jarang terjadi pada anak dengan tumor padat. Infeksi ini
didapat melalui inhalasi dari conidia dengan ukuran 2-5 mikron dan bersarang pada jaringan
paru anak, contoh dari spesies ini A. Fumigatus, A.Flavus, dan A. Terreus, untuk menghindari
infeksi jamur ini upaya pencegahan yang dibutuhkan dapat berupa high Efficiency Particulate Air
(HEPA), Laminar Air Flow (LAF), dan ruangan di rumah sakit dengan tekanan positif

Faktor Resiko IFI

Anak-anak yang memiliki resiko infeksi fungi invasif adalah neonatus prematur, anak dengan
kelainan sistem imun kongenital dan kelainan sistem imun didapat yang terkait dengan infeksi
HIV , kanker dan pasien yang mendapatkan terapi kortokosteroid, secara umum IFI terjadi bila
terdapat kerusakan sel fagosit yang merupakan predisposisi terjadinya IFI oleh patogen

oportunistik (candida,spp, Aspergillus Spp, Fusarium Spp) sedangkan kerusakan sel T memiliki
pengaruh pada terjadinya kandidiasis mukokutan dan IFI pada Cryptococcus neoformans.

Tabel Faktor Resiko terjadinya IFI

Imunologi

Non-Imunologi

Kerusakan fungsional dari sel fagosit dan perubahan fungsi


dari Limfosit sel T

Kateter intravaskular, terdapat kolonisasi dari candida,


penggunaan antibiotik spektrum luas, pemberian nutrisi
parenteral, dan pembedahan abdomen.

Caggiano G. Fungal Infection in patients of Paediatric Age. Available


at ; http://www.intechopen.com

Angka insiden dari infeksi jamur di Negara Amerika Serikat semakin meningkat. Berdasarkan
penelitian terakhir, angka kejadian sepsis yang disebabkan oleh jamur antara tahun 1979 2000
meningkat sebesar 207% (Martin GS et all, 2003). Pada anak, sepsis yang disebabkan oleh
jamur berhubungan dengan case fatality rate (13%) yang berkaitan dengan infeksi
pneumococcal. Beberapa penelitian mengemukakan bahwa tingginya angka kejadian infeksi
oleh jamur berhubungan dengan beberapa faktor diantaranya adalah derajat berat penyakit
utama, frekuensi dan lamanya penggunaan antibiotika spektrum luas, dan derajat
berat underlying disease pada pasien anak dengan sepsis berat (Watson RS, 2003).
Secara umum, faktor risiko infeksi candidiasis pada orang dewasa juga merupakan faktor risiko
yang ditemukan pada bayi dan anak-anak. Beberapa faktor risiko tersebut adalah:
1. Pada pasien dengan pemakaian imunosupresan
2. Pasien dengan pemakaian antibiotika spektrum luas dalam waktu lama
3. Pemakaian central venous catheter
4. Hyperalimentation
5. Pasien yang mengalami operasi abdomen.
6. Pasien yang mengalami perforasi saluran pencernaan
7. Pasien-pasien yang menjalani terapi hemodialisis.

Namun, ada beberapa faktor risiko yang ditemukan pada bayi namun tidak ditemukan pada
orang dewasa dan anak-anak (Tabel 1)

Tabel I. Faktor risiko infeksi candidiasis

Variabel

Umur

Prematuritas
Lama perawatan
Diagnosis keganasan
Tindakan pembedahan
Tingkat kematian dari seluruh pasien
Days of candidemia
Median time of initiation of antifungal therapy
Kultur jamur yang positif
Hyperalimentation
Candidemia persisten (>3 hari)
Candidemia persisten (>3 hari) pada pasien dengan pemakaian CVC
Neutropenia
Pasien dengan terapi imunosupresan
Pasien dengan transplantasi sumsum tulang

Reprinted with permission from Zaotis TE, et al. Pediatr infec Dis J 2004;23:63541
Selain itu, terjadinya prolong ruptur membran pada ibu, pemakaian obat anti histamin 2, pasienpasien yang terintubasi, pasien-pasien yang menggunakan obat antibiotika cefalosporin generasi
3 juga berisiko untuk terjadinya infeksi jamur (Saiman L, 2001).

Usia kehamilan dan berat bayi lahir rendah juga merupakan faktor risiko penting terjadinya infeksi
jamur invasif. Beberapa penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa makin rendah berat badan
bayi saat lahir maka makin tinggi risiko terjadinya infeksi jamur (Benjamin DK, et al, 2006). Pada
penelitian tersebut dikatakan bahwa didapatkan 11,4% bayi dengan berat badan lahir antara 401
750 gram akan terinfeksi candida. Sedangkan penelitian lain yang meneliti antara hubungan
faktor risiko dengan keluaran yang terjadi pada neonatus. Didapatkan bahwa pada bayi dengan
kateter intravena yang dilepas >2 hari memiliki risiko 2,7 kali lebih tinggi untuk terinfeksi candida
dan dengan keluaran yang lebih buruk termasuk terjadinya komplikasi neurologis dan terjadinya
kematian dibandingkan bayi yang hanya menggunakan kateter vena < 2 hari (Benjamin et al,
2006). Demikian juga dilaporkan pada penelitian lain dikatakan bahwa bayi dengan usia
kehamilan <25 minggu didapatkan memiliki risiko 4 kali lebih buruk untuk terjadinya infeksi
candida dan terjadinya kematian (Benjamin et al, 2003).
Pola penyebaran candida dalam aliran darah pada bayi, anak-anak dan orang dewasa tidak jauh
berbeda dimana candida dapat mengenai berbagai sistem organ termasuk otak, paru-paru,
hepar, ginjal, jantung dan lien.
Tabel II. Candidiasis: attributable mortality

Demographics

Chronic Conditions

Procedures

Malignancy
Cardiovascular
Neuromuscular
Gastrointestinal
Respiratory

Central catheter placement

Age

Renal

Mechanical Ventilation

Sex

Metabolic

Hyperalimentation

Race

Congenital/ genetic

Bone Marrow transplantation

Geographic region

Hemat/immunologic

Solid organ transplantation

Hospital size

Diabetes Mellitus

Gastrointestinal surgery

Hospital type

Cirrhosis

Dialysis

Tabel III. Faktor Risiko infeksi Candida invasif

Age and wieght


related risk

Medication that
facilitate fungal
growth

Medication that
suppress immune
function

Diseases

Other risk factors

Low gestation age


Highest (<25 wk,
>20% incidence
High (25-26 wk, 1020% incidence)
Moderate (26-27 wk,
5%-10% incidence

NEC

Low (>28 wk,


incidence <5%)

Focal bowel
perforation

CVC
Low birth weight

Complicated congential
gastrointestinal disease Intubated

High (<750 g, >10%


incidence
Moderate (750-999 g,
5-10% incidence)

Low (1000-1500 g,
incidence <5%)

3rd and 4rd generation


cephalosphorine

Carbapenem

H2 antagonist (and
likely proton pump
inhibitor)

Prior BSI

CVC colonization
Not receiving enteral
feedings

Postnatal
corticosteroids

Congenital cutaneus
candidiasis in preterm
infant

Multiple site
colonization

Terapi IFI
Faktor Resiko dari infeksi jamur pada anak meliputi keganasan, transplantasi stem sel atau
organ tubuh, neutropenia, kemoterapi, penggunaan Kortikosteroid, dan kongenital atau didapat,
prematur, dan penggunaan antibiotik spektrum luas dan pemberian nutrisi parenteral total.
Kematian oleh infeksi jamur semakin meningkat dengan bertambahnya tingkat imunosupresi.
Terdapat 4 golongan obat antijamur yang digunakan sebagai terapi infeksi jamur yakni, Polyenes,
triazoles, echinocandins dan analog nukleosida. Pemberian , terapi didasarkan pada sensitifitas
anti jamur, penyakit yang mendasari dan lokasi dan lamanya infeksi telah terjadi.
Perksepeembangan terapi antijamur terlambat tidak seperti perkembangan dari terapi antibiotik,

hal ini dikarenakan karena sel target berupa protein RNA dan DNA manusia sehingga bersifat
toxic bagi manusia.

Golongan Antjamur
Nistatin digunakan untuk terapi jamur di kutaneus, vagina dan infeksi mukosa yang disebabkan
oleh spesies candida yang bisa diberikan secara oral dan topikal. Neonatus dengan oral thrush
usia kurang dari 1 bullan. Golongan Polyenes merupakan golongan fungicidal, mempunyai
spektrum yang luas dalam terapi seperti pada Aspergillus terreus, Aspergillus Versikolor,
Aspergillus Lentulus dan beberapoa strain dari Aspergillus flavus, schedosporium dan Candida
lusitaniae. Golongan obat ini berintegerasi dengan ergosterol dari mmbran dan membentuk
celah membran, meningkatkan permeabilitas dan menyebabkan kebocoran sitoplasma dan
kematian sel, Golongan Obat ini meliputu Nystatin dan Ampotericin B.
Golongan Azole memiliki efek fungistatik dan memiliki efek melawan yeast dan jamur filamen.
Bekerja dengan cara menghambat enzym yang mengubah lanosterol menjadi ergosterol
meenyebabkan ergosterol hilang dan terakumulasi menjadi sterol di membran. Kerusakan dari
struktur ini menyebabkan penghambatan dari perumbuhan jamur. Kelas ini digunakan untuk
memberikan terapi jamur superficial dan infeksi kutaneus seperti miconazole yang digunakan
sebagai obat luar untuk terapi jamur superfisial (athletes foot, ringworm), untuk mengobati jamur
di mukosa vagina maupun di mukosa oral. Bisa digunakan sebagai terapi alternatif pada bayi
dibawah usia 1 bulan. Econazole juga dapat diberikan untuk terapi tinea kulit, ptyriasis versikolor.
Golongan obat azole yang digunakan untuk terapi mikosis yang invasif adalah flukonazole,
itrakonazole, dan Pasaconazole dan Variconazole. Flukonazole sendiri karena mudah
diekskresikan pada usia anak jadai dosis harian yang diberikan menjadi double dari 6 menjadi 12
mg/KgBB untuk usia neonatus dan anak. Pemberian flukonazole dapat diberikan sebagai
profilaxis pada neonatus dengan berat kurang dari 1000 gram. Itrakonazole sendiri digunakan
untuk terapi invasif Asergillosis pada pasien yang refrakter dengan pemberian standar terapi.
Pemberiannya dikombinasikan dengan kortikosteroid, dan direkomendasikan pada
bronkopulmonary aspergilosis allergy. Pasaconazole direkomendasikan untuk mencegah
aspergillosis invasif pada pasien dengan neutropenia, pasien dengan kelainan hematologi dan
efektif melawan Zygomycetes, golongan obat ini tidak direkomendasikan pemberiannya pada
usia anak.Variconazole digunakan sebagai terapi utama dari aspergilosis invasif. Bisa
dipergunakan pada anak di usia di atas 2 tahun.
Golongan Fluoro Pyrimidines salah satu contohnya adalah 5 fluoro cytosine, molekul yang
menghambat biosintesis dari RNA dan DNA, penggunaannya memerlukan monitor dari serum
obat dalam darh karena penggunaan pada bayi dengan bert lahiramat sangat rendah obat ini
kadarnya bisa meningkat di dalam plasma karena terganggunya fungsi ginjal karena imaturitas.
Biasanya pemberiannya dikombinasikan dengan golongann Ampotericin pada pasien dengan
penyakit invasif.
Golongan Echinocandin merupakan golongan anti jamur terbaru, 1,3 beta D glucan dan cra
kerjanya menghambat pembentukan dari dinding jamur, akantetapi beberapa jenis jamur seperti

Candida guiliermondii dan candida parasilosis, Zygomycetes, Cryptococcus, Trichosporon,


Fusarium dan Schedosporium sedikit kurang sensitif terhadap jenis ini. Golongean ini meliputi
Anidulafungin, Caspofungin, dan micafungin (hanya terdapat preparat parenteral). Hanya
micafungin yang diperbolehkan beredar untuk terapi awal terhadap candidiasis orofaringeal dan
invasif pada bayi baru lahir dan anak yang lebih besar.
Tabel Mekanisme Kerja Terapi antijamur pada praktek klinis

No

Kelas dan Komposisi

Mekanisme Kerja

Polyenes

Berintegrasi dengan ergosterol dari membran


dan membentuk saluran trans membran yang
menyebabkan kebocoran dari isi sitoplasma
dan kematian sel

Penggunaan Klinis

Amphotericin B

Invasif Aspergilosis, Invasif candidiasis,


dan zygomycosis

Nystatin

Nongenital kandidiasis mukokutan,


kandidiasis orofaring, di Amerika Serikat
mengobati oral thrush neonatal dibatasi
pada usia dibawah 1 bulan.

Azoles

Berinteraksi dengan enzyme cytokrom P450


selama pembentukan ergosterol, pada
tahapan pembentukan lanosterol menjadi
ergosterol, sehingga terjadi penghancuran
ergosterol dan akumulasi sterol pada
membran

Econazole

Tinea dan pytiriasis versicolor

Ketoconazole

Infeksi superfisial seperti athletes foot,


ringworm dan kandidiasis

Fluconazole

Pengobatan sekunder dari kandidiasis


invasif dan sebagai profilaksis pada
neonatus dengan berat lahir <1000 gram

Itraconazole

Aspergilosis invasif pada pasien yang

gagal dengan terapi standar dan


pengobatan pada pasien ABPA

Miconazole

Infeksi jamur superfisial seperti athletes


foot dan ringworm, oral dan vaginal thrush,
angular cheilitis, alternatif selain nystatin
untuk pengobatan bayi dibawah 1 bulan

Posaconazole

Direkomendasikan untuk mencegah


aspergilosis invasif pada pasien
neutropenia dengan kelainan darah dan
juga efektif untuk terapi Zygomycetes

Variconazole

Terapi primer untuk aspergilosis invasif


dan sebagai terapi pencegahan terhadap
aspergilosis pada pasien neutropenia

Fluoro Pyrimidines

Menghambat biosintesis DNA dan RNA

Jarang diberikan sebagai terapi tunggal,


biasanya diberikan sebagai terapi
kombinasi dengan Ampotericin B untuk
pasien denganpenyakit invasif seperti
endokarditis candida atau meningitis

5-Flucytosine

Echinocandins

Menghambat beta 1,3 D-glucan,


menghambat pembentukan dinding sel dari
jamur

Anidulafungin

Sangat dipertimbangkan jika diberikan


untuk kandidiasis neonatal dan terbatas
penggnaannya pada resisten dan toksisk
terhadap pemberian flukonazole atau
amphotericin B

Caspofungin

Sangat dipertimbangkan jika diberikan


untuk kandidiasis neonatal dan terbatas
penggnaannya pada resisten dan toksisk
terhadap pemberian flukonazole atau
amphotericin B

Micafungin

Digunakan sebagai terapi invasif dan


kandidiasis orofaring pada bayi baru lahir
dan anak yang lebih dewasa.

Caggiano G. Fungal Infection in patients of Paediatric Age. Available


at ; http://www.intechopen.com
Berdasarkan pedoman yang dibuat oleh australia mengenai terapi antijamur pada neonatus dan
anak dengan kecurigaan telah terbukti, kemungkinan dan infeksi jamur yang invasif :
Rekomendasi 1 untuk pasien dengan demam lama dean neutropenia : golongan terapi yang
dianjurkan adalah Amphotericin B atau Flukonazole, dan pilihan terapi alternatif dengan
caspofungin atau varikonazole, pada pasien dengan resiko tinggi infeksi moulds sebaiknya
mendapatkan terapi amphotericin B seperti pada penerima hematopoietik sresikotem sel, anak
dengan imunodefisiensi kongenital, anak dengan resiko tinggi keganasan atau yang sedang
menjalani protokol kemoterapi, anak yang mengalami neutropenia yang berkepanjangan.
Rekomendasi 2 untuk pasien dengan candidemia dan candidiasis yang invasif, terapi yang
direkomendasikan pada situasi ini adalah flukonazole dan amphotericine B dan terapi
alternatifnya meliputi caspofungin dan variconazole, flikonazole direkomendasikan menjadi terapi
utama pada infeksi kandida, dan tidak dianjurkan penggunaannya pada anak yang sebelumnya
telah mendapatkan terapi anti jamur sampai penggunaan flukonazole dinyatakan sensitif,
amphotericin B direkomendasikan sebagai terapi inisial dari meningitis karena kandida dan
endokarditis.
Rekomendasi 3 penggunaan terapi antijamur pada Infeksi Aspergilosis, terapi yang
direkomendasikan yakni varikonazole, terapi alternatif meliputi amphotericin B dan caspofungin.
Rekomendasi 4 meliputi penggunaan terapi amphotericin B dimana tidak boleh mengguinakan
obat-obtan nefrotoksik, mendapatkan hidrasi yang adekuat, terdapat monitoring ketat dari fungsi
ginjal. Pasien yang memliki resiko tinggi kelaianan gibnjal jika menggunakan amphotericin B
yakni pasien yang menerima stem sel darah, anak yang mengalami gangguan ginjal dimana
kadar kreatinin 2 kali melebihi kadar normal.
Sediaan Ampotericin B aktif melawan kebanyakan infeksi jamur, Jamur C lusitanae dilaporkan
masih sensitif dengan sediaan Ampotericin B, namun jamur Scedosporium dan Fusarium
biasanya sensitif dengan penggunaan dosis tinggi ampotericin B (sampai dengan > 5 mg/KgBB
sediaan lipid) untuk infeksi karena zygomicetes, Antijamur Flukonazole memiliki efek terapi
terhadap yeast tidak terhadap bentul mould. Flukonazole dilaporkan kurang sensitif
penggunaannya terhadap C. Krusei, C glabrata, C tropikalis. Itrakonazole memiliki sensitivitas
tinggti terhadap aspergilosis, Varikonazole memiliki efek pada kebanyakan yeast dan mould,
Zygomicetes sensitif terhadap posaconazole dan S prolificans resisten in vitro pada seluruh anti
jamur. Jamur golongan candida dan Aspergillus sensitif dengan pemberian caspofungin, dan
memiliki efek lemah melawan cryptococcus neoformans, Scedosporium, fusarium dan
Zygomycetes.

Terapi anti jamur pada candidemia dan candidiasis yang invasif


Memulai terapi antijamur lebih awal diperlukan pada IFI saat evaluasi diagnosis masih dilakukan.
Tidak terdapat perbedaan terapi menggunakan Ampotericin B konvensional dengan flukonazole
dan varikonazole pada pasien dewasa yang tidak mengalami neutropenia, penggunaan
echinocandin sama efektif dengan penggunaan ampotericin B secara konvensional dan
flukonazole pada pasien dewasa yang tidak neutropenia. Pengobatan terhadap candidemia
diteruskan sampai dengan 14 hari mengikuti kultur positif terakhir. Jika memungkinkan
pengobatan awal dengan menghentikan penggunaan kateter vaskular. Infeksi Candida Albican
dan candida parapsilosis merupakan penyebab tersering dari infeksi candida invasif. Biasanya
infeksi C parapsilosis terkait dengan penggunaan kateter. Penggunaan Ampotericin dengan
flucytosine merupakan terapi awal yang pada endokarditis yang disebabkan oleh infeksi candida
dan meningitis. Lama terapi 14-21 hari semenjak ditemukan kultur candida terakhir yang positif
pada anak dan neonatus. Pada pasien dengan kelainan neutropenia yng berat dan atau
mendapatkan kemoterapi, kandidemia biasanya berasal dari saluran gastrointestinal.
Terapi anti jamur pada Aspergilosis invasif
Pada aspergilosis paru penggunaan liposomal ampotericin B sebanyak 3 mg/kgBB/hari sama
oral efektifnya dengan dosis 10 mg/kgBB/hari. Penggunaan terapi awal dengan variconazole
intravena dibandingkan dengan Ampotericin B konvensional lebih baik pada aspergilosis invassif,
caspofungin merupakan pilihan alternatif pada pasien yang intoleran pada terapi lain. Lama
terapi tergantung dari respon terapi dan pemulihan sistem imun dengan rata-rata durasi waktu
sampai dengan 93 hari pada anak dengan infeksi jamur yang invasif. Penggunaan terapi
kombinasi antijamur diperlukan pada gabungan infeksi candida dan aspergilosis.
Jamur Patogen lainnya
Pada Criptococcus neoformans complex penggunaan formulasi ampotericin B direkomendasikan
pada fase induksi terapi dari infeksi cryptococcal. Penambahan flucytosine dirkomendasikan
pada infekksi CNS, Infeksi HIV dan anak-anak yang mendapatkan terapi imunosupresan. Terapi
induksi diikuti dengan terapi maintenance dengan menggunakan fluconazole, fluconazole juga
merupakan terapi alternatif pada pasien dengan C. Neoformans var. Neoformans seperti pada
penyakit kulit dan paru. Jamur golongan Pseudallescheria boydii (schedosporium apiospermum)
dan Schedosporium prolificans terapi dengan variconazole intravena merupakan pilihan terapi
pada infeksi ini. Pada infeksi Spesies Fusarium penggunan ampetericin B, variconazole dapat
menjadi pertimbangan terapi. Infeksi oleh spesies zygomycetes penggunaan dosis tinggi dari
preparat lipid ampotericin B dapat direkomendasikan.
Kegagalan dari terapi anti jamur ini sebagai keadaan persisten fungemia dan terdapat tanda
sepsis yang progresif >5 hari setelah pemberian anti jamur, infeksi refrakter jika terdapat 2 dari 3
kriteria klinis, radiologi dan mikologi yangh memburukyang dilihat setelah 7 hari mulainya terapi.
Toksisitas terapi antijamur

Preparat lipid memiliki efek nefrotoksik yang lebih sedikit dibandingkan dengan ampotericin B
yang konvensional. Terapi ampotericin B konvensional jika diberikan dengan infus kontinu,
memiliki efek nefrotoksik yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan pemberian dengan infus
standar.Penggunaan cyclosporin dan diuretik bersamaan dengan ampoticin B meningkatkan efek
nefrotoksik, kecenderungan ini lebih sering terjadi pada pasien post transplantasi. Golongan
Azole dan echinocandin memiliki efek nefrotoksik yang lebih rendah dibandingkan dengan
konvensional maupun liposomal ampotericin B.

Anda mungkin juga menyukai