Leave a reply
Berdasarkan lokasi infeksi dan derajat keterlibatan jaringan, jaumr dapat dibagi menjadi,
superficial, subkutan dan mikosis profunda. Infeksi jamur superfisial terbatas pada lapisan
stratum korneum dan pada dasarnya tidak menimbulkan respon peradangan, biasanya
disebabkan oleh jamur golongan dermatofita yang menghasilkan keratinase dan hidup pada
keratin manusia. Infeksi kutaneus meliputi integumen dan jaringan penyokongnya. Mikosis
Subkutan menyerang jaringan subkutan yaitu inokulasi bekas trauma. Infeksi dalam meliputi
sistem dan organ yang dapat menstimulasi respon imun. Mikosis dalam dapat dibagi menjadi:
Invasif mikosis atau yang disebut sebagai Infeksi Fungal Invasif (IFI) merupakan infeksi
jamur/fungi yang dominan terjadi pada jaringan yang dalam dan tidak terdapat keterlibatan
infeksi di darah yang didiagnosis secara proven atau probable. Mikosis diseminata merupakan
infeksi jamur yang dalam meliputi multipel organ atau sistem yang terjadi melalui darah maupun
sistem limfe. Mikosis sistemik keterlibatan infeksi jamur yang dalam yang melipatkan organ,
sistem dan darah.
Epidemiologi
Pasien neonatus
Pada pasien neonatus, infeksi candida spp sering menjadi penyebab infeksi invasif yang
mengancam nyawa. Umumnya insiden candidiasis invasif pada pediatric lebih tinggi daripada
orang dewasa dengan resiko yang lebih tinggi pada neonatus. Pada pasien neonatus yang sakit
berat, candida spp merupakan agen ketiga tersering penyebab infeksi onset lambat, dengan
insiden berkisar antara 2,6 10% pada bayi BBLR (1001 1500gr) dan 5,5 20% pada bayi
BBLSR (<1000gr). Angka mortalitas kasaryang berhubungan dengan infeksi ini berkisar antara
15 30% dan mortalitas yang disebabkan oleh penyakit tersebut. Tahun 2010, Montagna dkk
mengevaluasi epidemiologi infeksi fungi invasive pada bayi, mereka menunjukkan bahwa secara
keseluruhan insidenny 1,3% dan angka mortalitas kasar sebesar 23,8%. Dimana pada bayi
dengan berat 1500gr (4,3%) menunjukkan insiden yang lebih tinggi secara signifikan
dibandingkan paa bayi dengan berat 2500gr (0,2%). C. parapsilosis (61,9%) merupakan spesies
yang paling sering terisolasi.
Pasien neonatus jarang menunjukkan infeksi yang disebabkan oleh jamur filament, seperti
Aspergillus dan Zygomycetes, meskipun mereka dapat menyebabkan infeksi kulit setelah lesi
kulit nekrotikan dan infeksi saluran pencernaan setelah mucositis yang terinduksi oleh
enterocolitis.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Groll dkk, yang disebabkan oleh aspergillus yang tercatat
pada bayi <3 bulan, 32% mengalami aspergillosis diseminata, 25% mengalami aspergilosis
cutaneus primer, dan 23% mengalami aspergillosis mandi pulmoner invasive. Sedikitnya 41%
pasien mendapatkan terapi kortikosteroid sebelum diagnosis dan hanya 1 pasien yang
mengalami neutropenia, ketikan prematuritas menjadi kondisi yang mendasari (43%), hanya 14%
yang terbukti menderita penyakit granulomatosa kronik. Spesies yang bertanggung jawab dalam
infeksi aspergillosis, A. fumigatus merupakan spesies tersering yang ditemukan pada bayi diikuti
oleh A. flavus, A. terreus, dan A. niger.
Pasien anak
Meskipun anak yang sehat memiliki imunitas alami yang kuat melawan infeksi jamur, beberapa
mikosis superficial seperti Tinea sering muncul. Tinea, disebabkan oleh dermatofit seperti
Tricophyton, Epydermophyton, Microsporum, merupakan infeksi kulit tang ditularkan langsung
dengan kontak kulit dengan penderita atau dengan kontak oleh permukaan seperti pada lantai
kamar mandi atau ruangan loker. Infeksi ini sering ditemukan pada anak usia 3-9 tahunyang
tinggal di area yang padat.
Pada anak dan remaja yang menderita kanker, faktor resiko yang terpenting untuk infeksi jamur
adalah pada pemasangan kateter intravena, mucositis karena kemoterapi, antibiotic spectrum
luas, dan penggunaan kotrikosteroid dalam terapi terutama pada pasien leukemia. Candida spp
dan Aspergillus spp adalah agen penyebab tersering. Pada pasien neutropenia pada anak
dengan leukemia atau transplantasi sumsum tulang, frekuensi candidiasis invasive adalah 8
10% dengan angkat mortalitas kasar 100% pada pasien dengan neutropenia persisten atau
setelah transplantasi hemopoetik stem cell.
Selain infeksi candida spp, pada anak dengan infeksi Aspergillus spp juga tercatat. Aspergillus
dapat menyebabkan penyakit infeksi, saprofitik atau alergi. Faktanya, frekuensinya berkisar 4,510% dengan angka kematian kasar 40 94%. Spesies tersering adalah A. fumigatus, A. flavus,
dan A. terreus.
Diagnosis
Berdasarkan European Organization for Research and treatment of cancer /Mycoses Study e
(EORTC/MSG) diagnosis dari IFI dapat diklasifinisikan seikasikan menjadi proven, probable, dan
possible. Diagnosis proven dipertimbangkan bila pada pemeriksaan histopatologi ditemukan
infeksi dan terdapat hasil kultur yang biasanya tempat tersebut steril. Didefinisikan sebagai
probable jika terdapat manifestasi klinis yang dapat berupa gejala dan tanda dan gambaran
radiologi sekaligus terdapat spemeriksaan mikrobiologis yang mendukung, dikategorikan sebagai
possible bila hanya terdapat faktor resiko dari host dan manifestasi klinis saja.
Menegakkan diagnosis infeksi jamur pada anak secara masih merupakan suatu tantangan
dalam dunia kedokteran. Terapi dengan obat anti jamur yang terbaru dan prosedur lain yang
dianggap efektif untuk mengontrol infeksi jamur ternyata tidak signifikan menurunkan mortalitas
akibat infeksi jamur invasif. Berbagai kemajuan teknologi dan beberapa perangkat diagnostik
terbaru dapat membantu menegakkan adanya infeksi jamur, namun teknik diagnosis yang masih
merupakan gold standard adalah dengan kultur jamur. Kelemahan teknik ini adalah memerlukan
waktu beberapa hari untuk mendeteksi adanya pertumbuhan jamur, pengambilan sampel
memerlukan teknik pengambilan yang benar, disamping itu jamur merupakan kontaminan yang
paling sering ditemukan di laboratorium. Pada neonatus dengan candidemia hasil kultur darah
sering kali menunjukkan hasil negatif karena sampel darah yang terlalu sedikit, disamping itu
strain jamur Candida merupakan spesies jamur yang tumbuh sangat lambat sehingga sulit untuk
menegakkan infeksi lebih dini. Teknik diagnosis yang ideal adalah yang mampu mendeteksi
adanya infeksi jamur pada fase awal infeksi, yang mana kriteria ini tidak dapat dipenuhi oleh
pemeriksaan kultur. Sehingga sensitivitas pemeriksaan dengan kultur jamur menjadi lebih
rendah.
Diagnosis infeksi jamur ditegakkan berdasarkan gejala secara klinis dan beberapa
modalitas pemeriksaan mikrobiologi , biomolekuler dengan pemeriksaan antigen, dan
pencitraan. Beberapa gejala klinis infeksi jamur secara spesifik menunjukkan infeksi jamur
tertentu. Pada infeksi candida di kulit misalnya adanya rash makulopapular dapat merupakan
tanda patognomonik. Namun pada infeksi jamur invasif gejala-gejala yang ditumbulkan seringkali
tidak khas dan seringkali terabaikan. Gejala infeksi Candida invasif biasanya tidak spesifik, gejala
yang ditimbulkan antara lain adalah demam tanpa sebab yang jelas, atau gejala-gejala sindrom
sepsis, neutropenia, nyeri perut kuadran kanan atas dan peningkatan kadar alkali fosfatase bila
candida menginvasi ke hati atau limpa. Oleh karena gejala infeksi yang tidak khas ini sehingga
diperlukan pemeriksaan dan teknik diagnosis lain untuk menegakkan diagnosis infeksi jamur.
Beberapa teknik diagnosis infeksi jamur yang dapat dikerjakan adalah :
1. Kultur darah
Identifikasi infeksi jamur dengan kultur darah masih dianggap merupakan gold standar, namun
sangat disayangkan teknik ini tidak dapat diterapkan pada semua spesies jamur. Infeksi yang
disebabkan oleh candida yang terdeteksi dengan kultur darah hanya 40-70% sehingga
sensitivitasnya sangat rendah. Golongan jamur yang dapat terdeteksi dengan pemeriksaan kultur
darah adalah golongan Fusarium spp dan Scedosporium spp, sedangkan golongan Aspergillus
spp dan Zygomycetes hampir tidak pernah ditemukan pada pemeriksaan kultur darah.
2. Pemeriksaan histopatologi
Jamur dapat diidentifikasi berdasarkan gambaran morfologi dan histopatologinya. Pemeriksaan
histopatologi adalah mendeteksi jamur dengan menggunakan teknik pewarnaan. Berbagai
teknik pewarnaan yang sering digunakan adalah dengan Gomori-silver stain (GMS), periodic
acid schiff (PAS), dan teknik fluoresensi dengan fluorescent dyes. Pemeriksaan histopatologi
memiliki sensitivitas dan spesifitas yang tidak bisa diprediksi. Kelemahan teknik diagnosis
dengan cara ini adalah tergantung kepada jumlah jamur, jenis jamur serta kualitas dan
kedalaman spesimen yang diambil.
3. Pemeriksaan biomolekular
Pemeriksaan ini bertujuan untuk mendeteksi komponen dinding sel jamur dan DNA jamur.
Pemeriksaan yang dapat dilakukan dan masih terus dikembangkan antara lain:
1. Deteksi galactomannan
Galactomannan adalah komponen karbohidrat dinding golongan Aspergillus spp.
Galactomannnan dideteksi dengan teknik ELISA, terdapatmya galactomannan dalam cairan
tubuh merupakan alat bantu diagnostik yang sangat berguna dalam mendeteksi infeksi jamur
oleh Aspergillus spp. Hasil dilaporkan dalam bentuk rasio densitas optik sampel dibandingkan
dengan kontrol. Nilai ambang batas positif adalah >0,8 pada sampel tunggal dan >0,5 pada dua
sampel yang diambil berurutan. Terdeteksinya galactomannan digabungkan dengan kriteria klinis
memenuhi kriteria diagnosis sangat mungkin aspergillosis dengan sensitivitas 89% dan
spesifitas 85% pada pasien anak. Kelemahan teknik ini adalah sering terjadi false positif
khususnya pada pasien yang telah mendapatkan antibiotik betalaktam dan juga pada pasien
anak.
1. Deteksi 1,3--D-glucan
Komponen dinding sel jamur yang lain adalah 1,3--D-glucan (BDG), berbeda dengan
galactomannan yang lebih spesifik untuk Aspergillius spp, 1,3--D-glucan terdapat pada hampir
semua spesies jamur kecuali jenis Zygomycetes dan Cryptococcus spp. Deteksi BDG juga
kerjakan dengan teknik ELISA. Pemeriksaan dianjurkan dilakukan dua sampai tiga kali dalam
seminggu selama masih ada risiko infeksi. Nilai cut-off untuk hasil positif adalah >80 pg/ml.
Infeksi dapat ditegakkan dalam waktu kurang dari tujuh hari. Deteksi BDG dalam serum adalah
teknik yang tepat untuk membedakan infeksi akibat Candida spp atau Aspergillus spp dengan
negative predictive value > 90%. Sensitivitas dan spesifitas teknik pemeriksaan ini adalah 62%
dan 92%.
1. Deteksi mannan antigen dan anti mannan antibodi
Teknik yang sudah banyak digunakan adalah dengan platelia Candida, juga dilakukan dengan
teknik ELISA yang menggabungkan antara deteksi antigen mannan dan anti-mannan antibodi
dalam serum. Sensitivitas mencapai 80% dengan spesifitas 30% dan diagnosis dapat ditegakkan
dalam waktu kurang dari lima hari
1. Polymerase chain reaction (PCR)
Berbagai teknik untuk mendeteksi asam nukleat dari jamur telah dikembangkan dengan tujuan
untuk menegakkan infeksi jamur lebih awal. Deteksi asam nukleat jamur dengan teknik PCR
masih sedang diteliti. Masalah yang dihadapi adalah karena belum ada standarisasi untuk
melakukan tes PCR. Setiap laboratorium memiliki teknik ekstraksi, probe, protokol dan tata cara
yang berbeda dalam melakukan PCR. Kondisi ini menyebabkan teknik diagnosis dengan PCR
hasilnya masih diragukan, sehingga sensitivitas dan spesifitasnya menjadi rendah. Masih sangat
sedikit penelitian yang dilakukan untuk penegakan diagnosis infeksi jamur dengan PCR, yang
sudah dilakukan adalah penelitian untuk mendeteksi adanya Candida spp pada pasien dengan
sakit kritis dan menurut studi yang dipublikasikan tahun 2008, dengan teknik PCR untuk deteksi
beberapa spesies Candida spp dilaporkan nilai positive predictive value dan negative predictive
value adalah > 90%.
1. Pencitraan
Teknik diagnosis dengan pencitraan mempunyai peranan yang penting untuk menegakkan
diagnosis dan pemantauan penyakit infeksi jamur invasif. Pemeriksaan dengan CT scan dan
magnetic resonance imaging (MRI) sangat penting untuk menegakkan diagnosis kandidiasis
pada hepar dan lien. Ekokardiografi merupakan komponen penting dalam menegakkan
diagnosis endokarditis akibat Candida spp. Sedangkan, pemeriksaan dengan foto thoraks
kurang sensitif untuk menegakkan infeksi jamur. Pada pasien yang menjalani transplantasi
organ yang kemudian mengalami febril neutropenia pemeriksaan CT scan daerah thoraks perlu
dilakukan karena kemungkinan infeksi jamur sangat besar. Gambaran infeksi jamur biasanya
tampak sebagai nodul padat dengan batas tegas atau gambaran halo disekelilingnya. Gambaran
ini tidak spesifik sebagai penanda infeksi jenis jamur oleh Aspergillosis spp, namun penemuan
tanda ini lebih dini dan tatalaksana lebih awal memberikan luaran yang lebih baik, karena infeksi
jamur pada paru paling banyak disebabkan oleh spesies Aspergillus spp. Infeksi jamur invasif
lain pada paru seperti fusariosis, zygomycosis dan scedosporiosis mempunyai gambaran yang
sama dengan infeksi aspergillosis.
Tabel dibawah ini menunjukkan keuntungan dan kerugian dari masing-masing teknik diagnostik
infeksi jamur invasif.
Metode
Keuntungan
Kerugian
Kultur darah
Akurat
Spesifik
Kemungkinan hasil
Galactomannan
Spesifitas tinggi
Positif palsu
Tidak invasif
Negatif palsu
Tidak invasif
1,3--D-glucan
Tidak invasif
Candida parapsilosis
Kemungkinan positif palsu
PCR
Spesifitas tinggi
kurang dari 1 tahun umumnya terinfeksi oleh C. Parapsilosis, sedangkan pada pasien dewasa
jumlah insiden infeksi oleh C. Glabarata lebih banyak, kolonidari C. Albicans dan C Parapsilosis
banyak ditmukan pada penggunaan kateter intravena maupun drain.
Pada pasien neonatus jarang didapatkan infeksi yang disebabkan oleh jamur filmen yang
penyebarannya karena air yang terkontaminasi dan sistem ventilasi seperti Aspergillus dan
Zygomycetes, namun golongan jamur tersebut dapat menyebabkan infeksi kulit setelah terjadi
nekrosis pada kulit, terjadi infeksi saluran pencernaan setelah terjadi mukositis karena
enterokolitis.
Infeksi Mikosis superfisial oleh karena Tinea yang merupakan jamur dermatofita seperti
Tricophyton, Epydermophyton, Microsporum sering terjadi pada anak yang ditularkan melalui
kontak langsung. Lain dari spesies kandida yang sering menyebabkan infeksi pada anak, anak
dengan kelainan sistem imun dapat teri nfeksi oleh Aspergillus uang mnyebabkan infeksi invasif,
saprofit maupun penyakit alergi. Infeksi Saprofit meliputi otomikosis dan pulmonary aspergilosis.
Kondisi Alergi meliputi sinusitis alergi dan bronkopulmonary alergi aspergilosis (APBA), yang
merupakan reaksi hipersensitivitas paru yang berkaitan dengan kerusakan saluran nafas karena
proses inflamasi yang disebabkan oleh spesies aspergilus. Yang didefinisikan melalui kriteria
diagnosis episodik obstruksi bronkial, asma, terdapat eosinofilia perifer dan peningkatan serum
IgE, bronkiektasis sentral, dan terdapat krieria diagnostik yang lain berupa berulangnya
terdeteksi spesies aspergilus pada sampel sputum pasien dan terdapat reaksi kulit tipe lambat
terhadap antigen dari aspergillus (Arthus Reaction)
Pada anak dengan keganasan darah dan anak yang menjalankan tranplantasi sumsum
tulang terdapatnya salah satu IFI yakni invasif Aspergilosis yang menyebabkan angka kematian
kasar mencapai 40-94%, infeksi ini jarang terjadi pada anak dengan tumor padat. Infeksi ini
didapat melalui inhalasi dari conidia dengan ukuran 2-5 mikron dan bersarang pada jaringan
paru anak, contoh dari spesies ini A. Fumigatus, A.Flavus, dan A. Terreus, untuk menghindari
infeksi jamur ini upaya pencegahan yang dibutuhkan dapat berupa high Efficiency Particulate Air
(HEPA), Laminar Air Flow (LAF), dan ruangan di rumah sakit dengan tekanan positif
Anak-anak yang memiliki resiko infeksi fungi invasif adalah neonatus prematur, anak dengan
kelainan sistem imun kongenital dan kelainan sistem imun didapat yang terkait dengan infeksi
HIV , kanker dan pasien yang mendapatkan terapi kortokosteroid, secara umum IFI terjadi bila
terdapat kerusakan sel fagosit yang merupakan predisposisi terjadinya IFI oleh patogen
oportunistik (candida,spp, Aspergillus Spp, Fusarium Spp) sedangkan kerusakan sel T memiliki
pengaruh pada terjadinya kandidiasis mukokutan dan IFI pada Cryptococcus neoformans.
Imunologi
Non-Imunologi
Angka insiden dari infeksi jamur di Negara Amerika Serikat semakin meningkat. Berdasarkan
penelitian terakhir, angka kejadian sepsis yang disebabkan oleh jamur antara tahun 1979 2000
meningkat sebesar 207% (Martin GS et all, 2003). Pada anak, sepsis yang disebabkan oleh
jamur berhubungan dengan case fatality rate (13%) yang berkaitan dengan infeksi
pneumococcal. Beberapa penelitian mengemukakan bahwa tingginya angka kejadian infeksi
oleh jamur berhubungan dengan beberapa faktor diantaranya adalah derajat berat penyakit
utama, frekuensi dan lamanya penggunaan antibiotika spektrum luas, dan derajat
berat underlying disease pada pasien anak dengan sepsis berat (Watson RS, 2003).
Secara umum, faktor risiko infeksi candidiasis pada orang dewasa juga merupakan faktor risiko
yang ditemukan pada bayi dan anak-anak. Beberapa faktor risiko tersebut adalah:
1. Pada pasien dengan pemakaian imunosupresan
2. Pasien dengan pemakaian antibiotika spektrum luas dalam waktu lama
3. Pemakaian central venous catheter
4. Hyperalimentation
5. Pasien yang mengalami operasi abdomen.
6. Pasien yang mengalami perforasi saluran pencernaan
7. Pasien-pasien yang menjalani terapi hemodialisis.
Namun, ada beberapa faktor risiko yang ditemukan pada bayi namun tidak ditemukan pada
orang dewasa dan anak-anak (Tabel 1)
Variabel
Umur
Prematuritas
Lama perawatan
Diagnosis keganasan
Tindakan pembedahan
Tingkat kematian dari seluruh pasien
Days of candidemia
Median time of initiation of antifungal therapy
Kultur jamur yang positif
Hyperalimentation
Candidemia persisten (>3 hari)
Candidemia persisten (>3 hari) pada pasien dengan pemakaian CVC
Neutropenia
Pasien dengan terapi imunosupresan
Pasien dengan transplantasi sumsum tulang
Reprinted with permission from Zaotis TE, et al. Pediatr infec Dis J 2004;23:63541
Selain itu, terjadinya prolong ruptur membran pada ibu, pemakaian obat anti histamin 2, pasienpasien yang terintubasi, pasien-pasien yang menggunakan obat antibiotika cefalosporin generasi
3 juga berisiko untuk terjadinya infeksi jamur (Saiman L, 2001).
Usia kehamilan dan berat bayi lahir rendah juga merupakan faktor risiko penting terjadinya infeksi
jamur invasif. Beberapa penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa makin rendah berat badan
bayi saat lahir maka makin tinggi risiko terjadinya infeksi jamur (Benjamin DK, et al, 2006). Pada
penelitian tersebut dikatakan bahwa didapatkan 11,4% bayi dengan berat badan lahir antara 401
750 gram akan terinfeksi candida. Sedangkan penelitian lain yang meneliti antara hubungan
faktor risiko dengan keluaran yang terjadi pada neonatus. Didapatkan bahwa pada bayi dengan
kateter intravena yang dilepas >2 hari memiliki risiko 2,7 kali lebih tinggi untuk terinfeksi candida
dan dengan keluaran yang lebih buruk termasuk terjadinya komplikasi neurologis dan terjadinya
kematian dibandingkan bayi yang hanya menggunakan kateter vena < 2 hari (Benjamin et al,
2006). Demikian juga dilaporkan pada penelitian lain dikatakan bahwa bayi dengan usia
kehamilan <25 minggu didapatkan memiliki risiko 4 kali lebih buruk untuk terjadinya infeksi
candida dan terjadinya kematian (Benjamin et al, 2003).
Pola penyebaran candida dalam aliran darah pada bayi, anak-anak dan orang dewasa tidak jauh
berbeda dimana candida dapat mengenai berbagai sistem organ termasuk otak, paru-paru,
hepar, ginjal, jantung dan lien.
Tabel II. Candidiasis: attributable mortality
Demographics
Chronic Conditions
Procedures
Malignancy
Cardiovascular
Neuromuscular
Gastrointestinal
Respiratory
Age
Renal
Mechanical Ventilation
Sex
Metabolic
Hyperalimentation
Race
Congenital/ genetic
Geographic region
Hemat/immunologic
Hospital size
Diabetes Mellitus
Gastrointestinal surgery
Hospital type
Cirrhosis
Dialysis
Medication that
facilitate fungal
growth
Medication that
suppress immune
function
Diseases
NEC
Focal bowel
perforation
CVC
Low birth weight
Complicated congential
gastrointestinal disease Intubated
Low (1000-1500 g,
incidence <5%)
Carbapenem
H2 antagonist (and
likely proton pump
inhibitor)
Prior BSI
CVC colonization
Not receiving enteral
feedings
Postnatal
corticosteroids
Congenital cutaneus
candidiasis in preterm
infant
Multiple site
colonization
Terapi IFI
Faktor Resiko dari infeksi jamur pada anak meliputi keganasan, transplantasi stem sel atau
organ tubuh, neutropenia, kemoterapi, penggunaan Kortikosteroid, dan kongenital atau didapat,
prematur, dan penggunaan antibiotik spektrum luas dan pemberian nutrisi parenteral total.
Kematian oleh infeksi jamur semakin meningkat dengan bertambahnya tingkat imunosupresi.
Terdapat 4 golongan obat antijamur yang digunakan sebagai terapi infeksi jamur yakni, Polyenes,
triazoles, echinocandins dan analog nukleosida. Pemberian , terapi didasarkan pada sensitifitas
anti jamur, penyakit yang mendasari dan lokasi dan lamanya infeksi telah terjadi.
Perksepeembangan terapi antijamur terlambat tidak seperti perkembangan dari terapi antibiotik,
hal ini dikarenakan karena sel target berupa protein RNA dan DNA manusia sehingga bersifat
toxic bagi manusia.
Golongan Antjamur
Nistatin digunakan untuk terapi jamur di kutaneus, vagina dan infeksi mukosa yang disebabkan
oleh spesies candida yang bisa diberikan secara oral dan topikal. Neonatus dengan oral thrush
usia kurang dari 1 bullan. Golongan Polyenes merupakan golongan fungicidal, mempunyai
spektrum yang luas dalam terapi seperti pada Aspergillus terreus, Aspergillus Versikolor,
Aspergillus Lentulus dan beberapoa strain dari Aspergillus flavus, schedosporium dan Candida
lusitaniae. Golongan obat ini berintegerasi dengan ergosterol dari mmbran dan membentuk
celah membran, meningkatkan permeabilitas dan menyebabkan kebocoran sitoplasma dan
kematian sel, Golongan Obat ini meliputu Nystatin dan Ampotericin B.
Golongan Azole memiliki efek fungistatik dan memiliki efek melawan yeast dan jamur filamen.
Bekerja dengan cara menghambat enzym yang mengubah lanosterol menjadi ergosterol
meenyebabkan ergosterol hilang dan terakumulasi menjadi sterol di membran. Kerusakan dari
struktur ini menyebabkan penghambatan dari perumbuhan jamur. Kelas ini digunakan untuk
memberikan terapi jamur superficial dan infeksi kutaneus seperti miconazole yang digunakan
sebagai obat luar untuk terapi jamur superfisial (athletes foot, ringworm), untuk mengobati jamur
di mukosa vagina maupun di mukosa oral. Bisa digunakan sebagai terapi alternatif pada bayi
dibawah usia 1 bulan. Econazole juga dapat diberikan untuk terapi tinea kulit, ptyriasis versikolor.
Golongan obat azole yang digunakan untuk terapi mikosis yang invasif adalah flukonazole,
itrakonazole, dan Pasaconazole dan Variconazole. Flukonazole sendiri karena mudah
diekskresikan pada usia anak jadai dosis harian yang diberikan menjadi double dari 6 menjadi 12
mg/KgBB untuk usia neonatus dan anak. Pemberian flukonazole dapat diberikan sebagai
profilaxis pada neonatus dengan berat kurang dari 1000 gram. Itrakonazole sendiri digunakan
untuk terapi invasif Asergillosis pada pasien yang refrakter dengan pemberian standar terapi.
Pemberiannya dikombinasikan dengan kortikosteroid, dan direkomendasikan pada
bronkopulmonary aspergilosis allergy. Pasaconazole direkomendasikan untuk mencegah
aspergillosis invasif pada pasien dengan neutropenia, pasien dengan kelainan hematologi dan
efektif melawan Zygomycetes, golongan obat ini tidak direkomendasikan pemberiannya pada
usia anak.Variconazole digunakan sebagai terapi utama dari aspergilosis invasif. Bisa
dipergunakan pada anak di usia di atas 2 tahun.
Golongan Fluoro Pyrimidines salah satu contohnya adalah 5 fluoro cytosine, molekul yang
menghambat biosintesis dari RNA dan DNA, penggunaannya memerlukan monitor dari serum
obat dalam darh karena penggunaan pada bayi dengan bert lahiramat sangat rendah obat ini
kadarnya bisa meningkat di dalam plasma karena terganggunya fungsi ginjal karena imaturitas.
Biasanya pemberiannya dikombinasikan dengan golongann Ampotericin pada pasien dengan
penyakit invasif.
Golongan Echinocandin merupakan golongan anti jamur terbaru, 1,3 beta D glucan dan cra
kerjanya menghambat pembentukan dari dinding jamur, akantetapi beberapa jenis jamur seperti
No
Mekanisme Kerja
Polyenes
Penggunaan Klinis
Amphotericin B
Nystatin
Azoles
Econazole
Ketoconazole
Fluconazole
Itraconazole
Miconazole
Posaconazole
Variconazole
Fluoro Pyrimidines
5-Flucytosine
Echinocandins
Anidulafungin
Caspofungin
Micafungin
Preparat lipid memiliki efek nefrotoksik yang lebih sedikit dibandingkan dengan ampotericin B
yang konvensional. Terapi ampotericin B konvensional jika diberikan dengan infus kontinu,
memiliki efek nefrotoksik yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan pemberian dengan infus
standar.Penggunaan cyclosporin dan diuretik bersamaan dengan ampoticin B meningkatkan efek
nefrotoksik, kecenderungan ini lebih sering terjadi pada pasien post transplantasi. Golongan
Azole dan echinocandin memiliki efek nefrotoksik yang lebih rendah dibandingkan dengan
konvensional maupun liposomal ampotericin B.