Anda di halaman 1dari 39

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Teori dan konsep terkait


1.Pneumonia
Dalam hal ini akan dijelaskan mengenai landasan teori atau konsep terkait yang akan
menunjang dan dijadikan acuan dalam pelaksanaan penelitian.

a.

Definisi
Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenchim paru, dari broncheolus terminalis

yang mencakup broncheolus respiratorius, dan alveoli, serta menimbulkan konsolidasi jaringan
paru dan gangguan pertukaran gas setempat ( Dahlan, 2009.Hal 2190 )
Pneumonia adalah infeksi acut jaringan paru (saluran nafas bagian bawah) yang sebagian
besar disebabkan oleh bacteri secara primer atau sekunder setelah infeksi virus ( Corwin, 2001.hal
411 ).
Pneumonia adalah proses inflamasi parenchim paru yang umumnya disebabkan oleh agen
infeksius (Smeltzer & Bare, 2001, h. 57).

Pneumonia adalah inflamasi parenkhim

paru, yang biasanya berhubungan dengan pengisian cairan pada alveoli yang disebabkan dari
berbagai agen infeksi, iritan kimia, dan terapi radiasi (Dongoes, 2000 h 164).

Gambar no 2.1. Bacteri pneumonia menyerang difuse


Diakses dari : http://dhiez.files.wordpress.com/2008/05/02/serangan- pneumonia.

Gambar no 2.2.
Pneumonia
Diakses dari : http://dhiez.wordpress.com/2008/05/02/virus-penyakit-pneumonia

Berdasarkan lingkungan didapatkannya pneumonia dapat digolongkan menjadi :

1)

Community Acquired Pneumonia ( CAP) atau pneumonia komunitas yaitu, pneumonia


yang terjadi infeksi di luar rumah sakit, seperti rumah jompo, home care.
Hospital Acquired Pneumonia ( HAP ) atau Pneumonia Nosokomial yaitu, pneumonia

2)

yang terjadi lebih 48 jam atau lebih setelah penderita dirawat di rumah sakit baik di
ruang perawatan umum maupun di ICU tetapi tidak sedang menggunakan ventilator.
Hampir 1% dari penderita yang dirawat di rumah sakit mendapatkan pneumonia selama
dalam perawatan dan sepertiganya mungkin akan meninggal.
Ventilator Asssociated Pneumonia ( VAP ) yaitu, pneumonia yang terjadi setelah 48 72

3)

jam intubasi tracheal atau menggunakan ventilasi mekanik di ICU .

b. Etiologi
Etiologi pneumonia berbeda-beda pada setiap tipe pneumonia, dan hal ini berdampak
kepada obat yang harus diberikan. Berdasarkan agen penyebab, pneumonia dikategorikan
sebagai pneumonia bacterialis yang disebabkan oleh kuman dan pneumonia atypikal yang
disebabkan oleh selain bacteri seperti virus, jamur, parasit . Penyebab pneumonia yang lain
adalah akibat terapi radiasi pada penyakit kanker payu dara atau paru, dan aspirasi akibat
masuknya kandungan lambung kedalam paru paru.
Jenis bakteri berbeda - beda di antara negara satu dengan yang lain , antara satu daerah
dengan daerah lain pada suatu negara, di luar rumah sakit dan di dalam rumah sakit, rumah
sakit besar / tersier dengan rumah sakit yang kecil. Karena itu perlu diketahui dengan baik pola
kuman di suatu tempat . Seperti contoh di RSCM tahun 2006 2007 melakukan study lokal
pasien VAP (Ventilator Asssociated Pneumonia ) ditemukan beberapa jenis kuman yaitu
Acinatobacter anitratus,Psedomonas Aureginosa, Klebsiela Pneumonia, Stapylococcus epidermis

dan Methicilin Resistant Stapylococcus Aureus ( MRSA). Sedangkan

di

Indonesia belum

mempunyai pola kuman secara umum.


Cara terjadinya penularan sesuai dengan jenis masing masing penyebab, misalnya
infeksi melalui droplet sering disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae, melalui slang infus
oleh Stapyilococcus aureus, sedangkan infeksi pada pemakaian ventilator oleh Pseudomonas
Auroginosa dan Enterubacter.
Berbagai patogen dijumpai pada faktor resiko tertentu misalnya H.Influensa pada pasien
perokok, patogen atypikal pada lansia, gram negatif pada pasien dari rumah jompo dengan
adanya PPOK, penyakit- penyakit penyerta kardio pulmonal atau pasca terapi antibiotika
spektrum luas. Psedomonas Aureginosa dijumpai pada pasien dengan bronchiektasis, terapi
steroid ( lebih 10 hari ), malnutrisi dan imunosupresif dengan disertai leukopenia. Pada rumah
jompo yang sering dijumpai adalah Stapylococcus Aureus yang resisten meticillin
MRSA ), gram negatif, Micrbacterium Tuberculosis dan virus tertentu

(
( adenovirus,

cyncitial virus dan influensa )


Pneumonia yang terjadi hanya pada suatu bagian substansial dari satu lobus atau lebih
yang terkena infeksi disebut sebagai pneumonia lobaris.Istilah broncho pneumonia digunakan
untuk menggambarkan pneumonia yang mempunyai penyebaran bercak - bercak yang teratur
dalam satu atau lebih area bronki dan meluas ke parenkim paru yang berdekatan di sekitarnya.
Broncho pneumonia lebih umum terjadi di banding pneumonia lobaris.

Gambar 2.3. Pneumnia lobaris


Diakses dari : http://dhiez.wordpress.com/2008/05/02/virus-penyakitpneumonia

c. Faktor - faktor resiko terjadinya pneumonia .


Dengan pengetahuan tentang faktor - faktor dan situasi yang menjadi predisposisi
individu terhadap pneumonia akan membantu untuk mengidentifikasi pasien - pasien yang
berisiko terhadap pneumonia.
Secara spesifik terdapat beberapa faktor penyebab patogen pneumonia komunitas dan
nosokomial :
1). Faktor perubah yang meningkatkan resiko infeksi oleh patogen tertentu pada pneumonia
komunitas .
a) Pneumokokus yang resisten penisillin dan obat lain menginfeksi pada usia lansia 60
tahun, kontak dengan lansia, alkoholisme, penyakit imunosupresif ( termasuk
kortikosteroid ),

penyakit kronis penyerta yang melemahkan

Diabetes

mellitus,sepsis, Jantung, PPOK, Bronchiektasis, dll)


b) Patogen gram negatif menginfeksi pada individu yang tinggal di rumah jompo, dengan
penyakit penyerta kardiopulmonal atau selesai mendapatkan terapi antibiotik

c)Pseudomonas Aeruginosa menginfeksi pada kasus Bronchiektasis, terapi kortikostiroid.


10 mg/ hari, terapi antibiotika spektrum luas 7 hari, dan malnutrisi.
2). Faktor resiko terinfeksi patogen multiresisten pada

pneumonia nosokomial danVAP .

a) Terapi dalam 90 hari sebelumnya.


b) Perawatan rumah sakit dalam 5 hari atau lebih di ruang perawatan umum.
c)Frekuensi tingginya kuman resisten antibiotik di rumah sakit atau lingkungan pasien
d) Penyakit imunospresif dengan atau tanpa terapi.
e) Faktor resiko pneumonia kronis : rawat rumah sakit 2 hari/ 90 hari terakhir, tinggal di
rumah jompo,anggota keluarga terinfeksi pathogen multiresisten, terapi infus di
rumah, dialisis kronik, dan perawatan luka di rumah.
3). Faktor resiko utama terinfeksi patogen tertentu pada pneumonia

nosokomial .

a) Stapylococcus Aureus pada pasien koma, cidera kepala, influensa, dan Intubasi
endotracheal
b) Methicillin resisten pada pasien pemakaian antibiotika,DM, gagal ginjal
c) Psedomonas Aureginosa pada pasien yang menggunakan ventilasi mekanik lebih 2
hari, rawat ICU 2 hari atau lebih, kelainan struktur paru

( bronkiektasis,kistik

fibrosis,dan malnutrisi).
d) An aerob pada pasien aspirasi dan setelah operasi abdomen.
e) Acintobacter SP pada pasien antibiotik sebelum onset pneumonia dan penggunaan
ventilasi mekanik.
4) Faktor resiko terjadinya pneumonia nosokomial dibagi

menjadi 2 golongan :

a) Tidak bisa dirubah yaitu berkaitan dengan inang ( jenis kelamin pria, penyakit paru
kronik, dan gagal organ jamak ), dan terkait tindakan yang diberikan ( Intubasi dan
slang nasogastrik )
b) Faktor yang dapat dirubah dapat dilakukan dengan melakukan upaya mengontrol
infeksi, desinfeksi dengan alcohol pada saat menyuntik, pengontrolan pathogen
resisten( Multidrug Resistent - MDR ), penghentian dini alat invasive, dan pengaturan
pemakaian antibiotika yang tepat.

Maka dapat disimpulkan bahwa secara umum terdapat beberapa faktor resiko yang
berhubungan dengan kejadian pneumonia sbb:
a) Jenis kelamin : pria lebih dominan karena diduga dengan kegiatan pria lebih sering
keluar rumah
b) Penyakit imunospresif dengan atau tanpa terapi ( terapi kostikosteroid ), karena terjadi
penurunan daya tahan tubuh.
c) Faktor usia , pada lansia ( usia 6o tahun) dimana kondisi tubuh sudah menurun.
d) Penyakit kronis seperti payah jantung, Gagal

ginjal kronik, sepsis, diabetes, dan

malnutrisi mengakibatkan kelemahan daya tahan tubuh.


e) Penyakit paru seperti PPOK,Bronchiektasis, Ca Paru dan kistik fibrosis, dapat terjadi
peningkatan produksi lendir dan berakibat obstruksi bronchial.
f) Penurunan tingkat kesadaran dengan Glasgow Coma Scale (GCS) 8, gangguan reflek
muntah,menelan ataupun reflek batuk dapat terjadi pengumpulan sekret dan
mengakibatkan terjadi aspirasi cairan lambung.

g) Faktor lingkungan : tinggal di rumah jompo, anggota keluarga menderita pneumonia


karena pneumonia dapat menular melalui droplet, alkoholik ( dapat menekan reflekreflek tubuh , dan melemahnya gerakan mukosiliaris tracheobronchial ), perokok ( asap
rokok mengganggu aktifitas mukosiliaris dan makrofag ).
h) Tindakan invasif dan terapi pernafasan seperti intubasi/ tracheostomi dan ventilasi
mekanik akan mempermudah microorganisme masuk ke dalam paru- paru.
i) Perawatan pasien di ruang perawatan umum / ICU lebih dari 2 hari dan pasien yang
berbaring secara pasif dalam waktu yang lama dapat beresiko mendapatkan kuman dari
lingkungannya dan terjadi kolonisasi kuman di dalam saluran pernafasan.
j)

Menggunakan antibiotik spektrum luas lebih 7 hari, dapat mengakibatkan menjadi


resisten terhadap beberapa antibiotik.

k) Menggunakan alat invasive terapi pernafasan seperti intubasi, ventilasi mekanik sangat
beresiko pneumonia bila tindakan yang dilakukan tidak memperhatikan tehnik sterilitas.
Kuman dapat juga masuk melalui line infuse bila penyuntikan atau penggantian infuse
tidak dilakukan dengan tehnik steril.

d.Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala pneumonia beragam sesuai penyebabnya. Pada pneumonia bakteria
atau pneumokokus secara khas di awali dengan menggigil, demam yang timbul dengan cepat
(39.5 sampai 40.50c), serta nyeri dada yang terasa seperti di tusuk tusuk pada saat bernafas
dan batuk, peningkatan frekuensi pernapasan antara 25 sampai 45 kali per menit , pernapasan
stridor, pernapasan cuping hidung, dan penggunaan otot otot aksesori pernafasan.

Pada beberapa kasus pneumonia penyebab pneumokokus, stafilokokus, klebsiela, dan


Streptokokus didapatkan pipi berwarna kemerahan, mata warna menjadi lebih terang, bibir
dan kuku sianotik. Pasien lebih menyukai untuk duduk tegak di tempat tidur dengan condong
kearah depan, mencoba untuk mencapai pertukaran yang kuat tanpa mencoba untuk batuk
atau nafas dalam, dan banyak mengeluarkan keringat. Sputum tidak dapat menjadi indikator
yang jelas karena pada pneumonia klebsiela sering terjadi sputum berbusa bercampur darah
tetapi dapat juga mengeluarkan sputum yang kental bahkan dapat berwarna hijau.
Gejala pada pneumonia atipikal terjadi secara bertahap, dimulai dengan sakit kepala,
demam tingkat rendah, nyeri pleuritis, mialgia, dan faringitis . Setelah beberapa hari sputum
mukoid purulen dikeluarkan, nadi cepat berhubungan dengan suhu meningkat ( peningkatan
10 kali per menit untuk setiap kenaikan satu derajat selsius). Tetapi dapat terjadi bradikardi
pada infeksi virus, infeksi Mycoplasma atau infeksi dengan spesias Legionela.

Gambar 2.4. .Legionella Pneumonia


Diakses dari : http://dhiez.wordpress.com/2008/05/02/virus- penyakit-

pneumonia

Tanda dan gejala yang lain terjadi pada pasien dalam kondisi tertentu seperti kanker,
atau pada mereka yang menjalani pengobatan dengan imunosupresif yang menurunkan daya
tahan terhadap infeksi adalah menunjukkan demam, kreckles, dan terdapat

area solid

(konsolidasi) pada lobus paru paru, terjadi peningkatan fremitus taktil, perkusi pekak, bunyi
nafas broncho vesicular atau bronchial, egofoni (auskultasi terdengar bunyi mengembik), dan
bisikan pektroliloquy (bunyi bisikan ).Perubahan ini terjadi karena bunyi ditransmisikan lebih
baik melalui jaringan padat atau tebal (konsolidasi) dari pada melalui jaringan normal.
Pada pasien lansia dengan riwayat PPOM (Penyakit Paru Obstruksi Menahun), gejala gejala dapat berkembang secara tersembunyi. Kesulitan untuk mendeteksi terjadi karena telah
mengalami gangguan fungsi paru yang serius, tetapi sputum purulen mungkin menjadi satusatunya tanda pneumonia.
Tanda

dan gejala lainnya yang menjadi indicator perburukan pasien dengan

pneumonia antara lain adalah penurunan kesadaran, takhipnoe ( frekuensi pernafsan lebih
dari 30 kali per menit, tekanan darah rendah kurang dari 90/60 mmHg, Takhikardi frekuensi
nadi lebih dari 100 kali per menit, Suhu badan dapat rendah kurang dari 35

celcius atau

panas lebih dari 40. 0Celcius, dan terbukti adanya infeksi extra paru yang ditunjang dengan
hasil Laboratorium : Lekosit kurang dari normal 4.000 atau bisa leukositosis lebih dari
30.000/mm3, Hipoxemia PaO2 kurang dari 60 mmHg , Hiperkarbi PCO2 lebih dari 50 mmHg,
asidosis dengan PH kurang dari 7.35, Kreatinin tinggi lebih dari 1.2 mg% , ureum 20 mg%,
anemia Hb dibawah 9 gr%, HT dibawah 30% serta hasil foto thorak lesi lobus jamak, rongga
perluasan, dan efusi pleura.

e.Gambaran Patogenesis

Dalam keadaan sehat, paru tidak akan terjadi pertumbuhan mikroorganisme, keadaan
ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan paru. Terdapatnya bakteri di dalam paru
merupakan akibat ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme, dan
lingkungan sehingga mikroorganisme dapat berkembang biak dan berakibat timbulnya sakit.
Proses patogenesis terkait dengan 3 faktor yaitu : keadaan imunitas , microorganisme yang
menyerang pasien dan lingkungan yang berinteraksi satu sama lain. Interaksi ini akan
menentukan klasifikasi dan bentuk manifestasi, berat ringannya penyakit, diagnosis empirik,
rencana terapi secara empirik dan prognosis pasien.
Cara terjadinya penularan berkaitan dengan jenis kuman, misalnya infeksi melalui
droplet sering disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae, melalui slang infus oleh
Stapyilococcus aureus, sedangkan infeksi pada pemakaian ventilator oleh Pseudomonas
Auroginosa dan Enterubacter. Pada masa kini terjadi perubahan pola mikroorganisme
penyebab pneumonia yaitu akibat adanya perubahan keadaan pasien seperti

gangguan

kekebalan dan penyakit kronik, polusi lingkungan , dan penggunaan antibiotik yang tidak tepat
hingga menimbulkan karakteristik kuman.Terjadinya peningkatan patogenensis/jenis kuman
akibat adanya mekanisme, terutama oleh Stapyilococcus aureus, B Catrrhalis, H Influensa,
enterobacteriae, dan berbagai enterik gram positif yang masuk ke paru- paru bagian bawah.
Masuknya mikroorganisme ke saluran nafas dan paru dapat melalui berbagai cara, yaitu :
1)

Inhalasi langsung ke paru-paru

2)

Aspirasi dari bahan-bahan yang ada di nasofaring dan orofaring

3)

Kebocoran pada endotracheal dari rongga mulut

4)

Sumber bahan lain yang mengalami kolonisasi pada pipa endotracheal

5)

Perluasan langsung dari tempat-tempat lain

6)

Penyebaran secara hematogen


Gambaran patologis dalam batas-batas tertentu, tergantung pada penyebabnya. Di

antaranya yaitu :
1)

Pneumonia bakteria
Ditandai oleh eksudat intra alveolar supuratif disertai konsolidasi. Proses infeksi dapat
diklasifikasikan berdasarkan anatomi. Terdapat konsolidasi dari seluruh lobus pada
pneumonia lobaris, sedangkan pneumonia lobularis atau broncopneumonia menunjukkan
penyebaran daerah infeksi yang berbecak dengan diameter sekitar 3-4 cm, mengelilingi
dan mengenai broncus.

2)

Pneumonia Pneumokokus

Pneumokokus mencapai alveolus-alveolus dalam bentuk percikan mucus atau


saliva. Lobus paru bawah paling sering terserang, karena pengaruh gaya tarik bumi.
Bila sudah mencapai dan menetap di alveolus, maka pneumokokus menimbulkan
patologis yang khas yang terdiri dari 4 stadium yang berurutan :
a)

Hiperemi (4-12 jam pertama) awal permulaan peradangan, infeksi menyebar


akibat peningkatan aliran darah dan rusaknya alveolus.

b)

Hepatisasi merah (48 jam berikutnya) alveolus terisi oleh sel-sel darah merah,
eksudat, dan fibrin akibat reaksi dari peradangan.

c)

Hepatisasi kelabu (3-8 hari) paru-paru tampak abu-abu terjadi sewaktu leukosit
mengkolonisasi bagian paru-paru yang terinfeksi. Endapan fibrin terakumulasi di
daerah paru yang terserang

d)

Resolusi (7-11 hari) terjadi sewaktu respon imun dan peradangan mereda, sisasisa sel, fibrin,bakteri telah dicerna, dan waktunya makrofag dan sel pembersih

mendominasi.

Gambar no 2.5. Pneumonia Pneumococus


Diakses dari : http://dhiez.wordpress.com/2008/05/02/virus-

penyakit-

pneumonia

Pneumonia pneumokokus biasanya tidak disertai komplikasi dan jaringan yang


rusak dapat diperbaiki kembali. Tetapi adanya bakterimia diduga terjadinya
lokalisasi proses paru-paru yang tidak efektif, maka dapat timbul lesi metastatik
yang dapat mengakibatkan keadaan seperti meningitis, endokariditis bacterial dan
peritonitis. Pada mereka yang mempunyai resiko fatal seperti anemia sickle-sell,
multiple mieloma, sindroma nefrotik, atau diabetes mellitus, dapat diberikan
vaksin untuk melawan pneumonia pneumokokus.
3)

Pneumonia Stafilokokus

Mempunyai prognosis jelek walaupun diobati dengan antibiotika. Pneumonia ini


menimbulkan kerusakan parenkim paru-paru yang berat dan sering timbul
komplikasi seperti abses paru-paru dan empiema. Merupakan infeksi sekunder yang
sering menyerang pasien yang dirawat di rumah sakit, pasien lemah dan paling

sering menyebabkan broncopneumonia.


4)

Pneumonia Klebsiella / Friedlander

Penderita ini berhasil mempertahankan hidupnya, akhirnya menderita pneumonia


kronik disertai obstruksi progresif paru-paru yang akhirnya menimbulkan
kelumpuhan pernafasannya. Jenis yang khas yaitu, pembentukan sputum kental
seperti sele kismis merah (red currant jelly). Kebanyakan terjadi pada lelaki usia
pertengahan atau tua, pecandu alcohol kronik atau yang menderita penyakit kronik
lainnya.
5)

Pneumonia pseudomonas

Sering ditemukan pada orang yang sakit parah yang dirawat di rumah sakit atau
yang menderita supresi system pertahanan tubuh (misalnya mereka yang menderita
leukemia atau transplantasi ginjal yang menerima obat imunosupresif dosis tinggi).
Seringkali disebabkan karena terkontaminasi peralatan ventilasi.
6)

Pneumonia Virus

Ditandai dengan peradangan interstisial disertai infiltrat dalam dinding alveolus


meskipun rongga alveolar sendiri bebas dari eksudat dan tidak ada konsolidasi.
Pneumonia virus 50 % dari semua pneumonia akut ditandai oleh gejala sakit
kepala, demam dan rasa sakit pada otot-otot yang menyeluruh, rasa lelah sekali dan
batuk kering. Kebanyakan pneumonia ini ringan dan tidak membutuhkan perawatan
di rumah sakit dan tidak mengakibatkan kerusakan paru-paru yang permanen.
Pengobatan pneumonia virus bersifat sympomatik dan paliatif, karena antibiotik
tidak efektif terhadap virus. Juga dapat mengakibatkan pneumonitis berbercak yang
fatal atau pneumonitis difus.

7) Pneumonia Mikoplasma

Serupa dengan pneumonia virus influenza disertai adanya pneumonitis interstitial.


Sangat mudah menular tidak seperti pneumonia virus, dapat memberikan respon
terhadap tetrasiklin atau eritromisin.

Gambar 2.6.. Jaringan paru dengan Mycoplasma

Diakses dari : http://dhiez.wordpress.com/2008/05/02/virus-penyakit-pneumonia

Gambar 2.7 . Streptococcus Pneumonia


Diakses dari : http://dhiez.wordpress.com/2008/05/02/virus-penyakit-pneumonia/
8) Pneumonia Aspirasi

Merupakan pneumonia yang disebabkan oleh aspirasi isi lambung. Pneumonia yang
diakibatkannya karena cairan bersifat kimia, reaksi reaksi dari asam lambung, dan
bersifat bakterial oleh karena adanya organisme yang mendiami mulut atau
lambung. Aspirasi paling sering terjadi selama atau sesudah anestesi (terutama pada
pasien dengan pembedahan darurat karena kurang persiapan pembedahan), pada
anak-anak dan pasien yang disertai penekanan reflek batuk atau reflek muntah.

Aspirasi isi lambung dalam jumlah yang cukup banyak

dapat menimbulkan

kematian yang tiba-tiba, karena adanya obstruksi jalan napas, sedangkan aspirasi isi
lambung dalam jumlah yang sedikit dapat mengakibatkan oedema paru-paru yang
menyebar luas dan kegagalan pernafasan. Beratnya respon peradangan lebih
tergantung dari pH zat yang diaspirasikan. Aspirasi pneumonia selalu terjadi karena
pH dan zat yang diaspirasi 2,5 atau kurang. Aspirasi pneumonia sering
menimbulkan komplikasi abses, bronchiectase, dan gangreen. Muntah bukan sarat
masuknya isi lambung kedalam cabang tracheobronchial, karena regurgitasi dapat
juga terjadi secara diam-diam pada pasien yang diberi anestesi.
Paling penting pasien harus ditempatkan pada posisi yang tepat agar secret
orofaryngeal dapat keluar dari mulut.

Gambar 2.8 . Pneumonia Aspirasi


Diakses dari : http://dhiez.wordpress.com/2008/05/02/virus-penyakit-pneumonia

Gambar 2.9 . CT Scan Pneumonia aspirasi


Diakses dari : http://dhiez.wordpress.com/2008/05/02/virus-penyakit-pneumonia
9) Pneumonia Hypostatik

Pneumonia yang sering timbul pada dasar paru yang disebabkan oleh nafas yang
dangkal dan terus menerus dalam posisi yang sama. Daya tarik bumi menyebabkan
darah tertimbun pada bagian bawah paru dan infeksi membantu timbulnya
pneumonia yang sesungguhnya
10) Pneumonia Jamur

Tidak sesering bakteri, beberapa jamur dapat menyebabkan penyakit paru supuratif
granulomentosa yang seringkali disalah tafsirkan sebagai TBC. Banyak dari infeksi
jamur bersifat endemic pada daerah tertentu.
Contoh : Spora jamur yang ditemukan dari dalam tanah terinhalasi. Spora yang
terbawa masuk kebagian paru yang lebih difagositosis terjadi reaksi peradangan
disertai pembentukan kaverne. Semua perubahan patologis ini mirip sekali dengan
TBC sehingga perbedaan kurang dapat ditentukan dengan menemukan dan
pembiakan jamur dari jaringan paru. Tes serologi dan tes hypersensitifitas kulit
yang lambat belum menunjukkan tanda positif sampai beberapa minggu sesudah

terjadi infeksi, bahkan pada penyakit yang berat tes mungkin negatif. Pneumonia
jamur sering menimbulkan komplikasi pada stadium terakhir penyakit tersebut,
terutama pada penyakit yang sangat berat, misalnya Ca atau leukemia, candida
albicans adalah sejenis ragi yang sering ditemukan pada sputum orang yang sehat
dan dapat menyerang jaringan paru. Penggunaan antibiotik yang lama juga dapat
mengubah flora normal tubuh dan memungkinkan invasi candida. Amfoterisin B
merupakan obat terpilih untuk infeksi jamur pada paru.
Secara umum pneumonia bacterial menyerang baik ventilasi maupun difusi. Suatu
reaksi inflamasi yang dilakukan oleh pneumokokus terjadi pada alveoli dan menghasilkan
eksudat, yang mengganggu gerakan dan difusi oksigen serta karbon dioksida. Sel-sel darah
putih, kebanyakan neutrophil, juga bermigrasi kedalam alveoli dan memenuhi ruang yang
biasanya mengandung udara. Area paru tidak mendapat ventilasi yang cukup karena
sekresi, edema mukosa, dan bronkhospasme, menyebabkan oklusi parsial bronki atau
alveoli dengan mengabibatkan penurunan tahanan oksigen alveolar. Darah yang keluar
dari paru-paru melalui area yang kurang terventilasi akan keluar ke aorta tanpa
mengalami oksigenasi yang adekuat sehingga berakibat hipoksemia arterial.

a. Pemeriksaan Penunjang
a.

Pemeriksaan Laboratorium (hematologi, kimia, dan AGD )


Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leucosit, biasanya >
10.000/l kadang mencapai 30.000 menandai infeksi karena bakteri, jika disebabkan virus
atau mikoplasma jumlah leucosit dapat normal atau menurun, demikian juga bila infeksi
sangat berat sehingga tidak terjadi respon lekosit. Leukopeni menunjukkan depresi

imunitas, misal neutropenia pada kuman gram negatif atau stafilociccus aureus pada
keganasan dan gangguan kekebalan. Kelainan yang lain yaitu peningkatan laju endap
darah,fungsi hati (mungkin terganggu ), peningkatan ureum darah ( kreatinin masih
dalam batas normal), dan analisis gas darah (AGD) menunjukkan hypoksemia dan
hypercarbia bahkan pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik.
b.

Pemeriksaan bakteriologis :
Preparat pemeriksaan diambil

dari sampel sputum/ lendir yang dikeluarkan dari

tenggorokan, aspirasi naso/transtracheal, aspirasi jarum transthoracal, toracosintesis,


broncoscopi atau biopsi. Pada kasus pneumonia hasil kultur didapatkan adanya bakteri
seperti Escherchia choli, klebsiela, pseudomonas, meticilin Resisten Stapilocicus Aureus ,
dll. Hasil kultur sangat bermanfaat bila dilakukan pra terapi dan evaluasi terapi.

f.Pemeriksaan Radiologi
Foto toraks merupakan pemeriksaan penunjang yang sangat penting. Namun foto
toraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia, hanya merupakan
petunjuk kearah diagnosis etiologi.
Gambaran konsolidasi dengan air bronchogram (pneumonia lobaris), tersering
disebabkan oleh streptococcus pneumonia, broncopneumonia oleh antara lain
stapilococcus, virus, atau micoplasma. Distribusi infiltrat pada segmen apical lobus bawah
untuk kuman aspirasi, tetapi pada pasien yang tidak sadar bisa terdapat dimana saja.
Infiltrat pada lobus atas biasanya pada klebsiella Sp, TBC atau amiloidosis. Pada lobus
bawah dapat terjadi infiltrat akibat Stapilococcus dan bacteremia. Gambaran radiologis

pada pneumonia yang disebabkan klebsiella sering menunjukan adanya konsolidasi yang
terjadi pada lobus kanan atas dan kadang dapat mengenai beberapa lobus. Gambaran
infiltrasi bilateral atau gambaran bronchopneumonia disebabkan oleh kuman
pseudomonas. Pembentukan kista terdapat pada pneumonia nekrotikans/ supurativa,
abses dan fibrosis akibat terjadinya nekrosis jaringan paru oleh kuman stapilococus
aureus. Ulangan foto perlu dilakukan untuk mengevaluasi adanya keberhasilan dari terapi
karena resolusi Pneumonia berlangsung 4 12 minggu.

g. Diagnosis
Penegakan diagnosa dibuat dengan maksud pengarahan pemberian terapi yaitu
mencakup bentuk dan luas infeksi, berat penyakit dan perkiraan jenis kuman penyebab infeksi.
Dugaan microorganisme sebagai penyebab infeksi akan mengarah pada pemilihan terapi
empiris antibiotik. Beberapa jenis kuman pneumonia penyebab menimbulkan tanda dan
gejala yang hampir sama, maka harus ditunjang dengan pengkajian atau anamnese riwayat
penyakit yang lengkap dan jelas, pemeriksaan fisik yang teliti, pemeriksaan penunjang berupa
laboratorium dan Radiologi.
Hasil pemeriksaan fisik bervariasi tergantung etiologi dan gejala

klinis yang

mengarah pada tipe kuman penyebab dan tingkat beratnya penyakit :


1)

Apabila awal permulaan terjadinya sakit secara acut, biasanya oleh kuman patogen
seperti S pneumonia, Streptococus sp, Stapylococus dan bila disertai dengan mialgia,
malaise, dan batuk kering biasanya disebabkan oleh virus.

2)

Apabila dimulai dengan gejala lebih ringan pada orang tua atau individu dengan imunitas
menurun diakibatkan oleh kuman yang kurang patogen/ oprtunistik, misal : Klebsiela,
Pseudomonas, enterobactereae, kuman an aerob dan jamur.

3). Tanda pneumonia klasik berupa demam dan konsolidasi paru (perkusi paru pekak, ronkee
nyaring,suara pernapasan bronchial). Pada pneumonia komunitas primer berupa Broncho
Pneumonia, Pneumonia lobaris/ pleuropneumonia dan pada skunder tidak khas karena
didahului dari penyakit dasarnya.
4). Warna, jumlah dan konsistensi lendir perlu diperhatikan.
Beberapa prinsipdalam menegakan diagnosis secara umum :
1)

Gejala-gejala yang timbul :


a) Demam dan menggigil akibat proses peradangan.
b) Batuk yang sering produktif dan purulen.
c) Sputum berwarna merah karat atau kehijauan dengan bau khas.
d) Rasa lelah akibat reaksi peradangan dan hipoksia apabila infeksinya serius.

2)

Pemeriksaan fisik : ronkhi halus, yang kemudian menjadi ronkhi basah kasar pada stadium
resolusi.

3)

Pengkajian : riwayat penyakit dan lingkungan tempat tinggal.

4)

Thorax foto : perselubungan berbatas tegas, kadang disertai efusi pleura.

h. Terapi

Pada pasien rawat inap AB (antibiotik) harus diberikan dalam 8 jam pertama di rawat
di rumah sakit. Pemilihan AB disesuaikan berdasarkan tempat perawatan berlangsung (rawat
jalan, rawat inap, intensif ) dan adanya penyakit kardipulmoner. Namun efektifitas AB
tergantung pada kepekaan kuman, penetrasi pada lesi infeksi, interaksi dengan obat lain dan
reaksi pasien seperti alergi atau intoleransi. Pemberian

AB harus disesuaikan dengan

kepekaan jenis kuman setelah ada hasil kultur.


Terdapat 2 cara pemberian AB :
1)

AB tunggal, yang paling cocok pada pneumonia komunitas yang dalam kondisi masih baik.

2)

AB kombinasi, diberikan pada pasien yang sangat beresiko ( pseudomonas ) dengan


maksud untuk mencakup kuman-kuman yang dicurigai, meningkatkan aktivitas spektrum
dan infeksi jamak.

Contoh pilihan antibiotik yang dapat diberikan :

i.

1)

Sefalosporin antipseudomonal, misalnya : sefepim, seftasidim, sefpirom.

2)

Karbapenem, misalnya : meropenem, imipenem.

3)

Betalaktam atau penghambat beta laktamase, misalnya: piperasilin-tasobaktam.

4)

Aminoglikosida, misalnya : gentamisin, tobramisin, amikasin.

5)

Kuinolon anti pseudomonal, misalnya : levofloksasin, siprofloksasin.

6)

Vankomisin.

7)

Linesolid.

Pencegahan Pneumonia
1)

Berikan dorongan untuk batuk dan keluarkan sekresi/ lendir.

2)

Bagi pasien yang mengalami penurunan kesadaran, reflek batuk dan reflek menelan
buruk, lakukan penghisapan sekresi secara rutin / sering.

3)

Berikan dorongan individu untuk berhenti merokok dan mengurangi masukan alkohol.

4)

Tingkatkan hygiene oral terutama bagi pasien tidak makan melalui mulut

5)

Hindari pemakaian antibiotik yang tidak tepat.

6)

Merubah posisi secara teratur dengan posisi kepala lebih tinggi ( 30-40) untuk mencegah
aspirasi isi lambung.

7)

Memberikan makanan secara kontinyu dan sedikit demi sedikit melalui Gastric Tube,
sehingga tidak muntah dan aspirasi.

8)

Melakukan cuci tangan sesuai prosedur untuk menghindari infeksi silang.

9)

Melakukan suction Tracheostomi dan Endo Tracheal Tube, memberikan obat obat
suntikan, dan mengganti balutan dengan tehnik steriel

10) Mengganti secara berkala alat-alat yang digunakan oleh pasien, misalnya : Naso Gastric
Tube, Cateter urine, Set Infus.
11) Pastikan bahwa peralatan pernafasan dibersihkan dengan tepat.
12) Perlu perhatian pada pasien lansia pasca operatif, pasien yang dapat terapi sistim imun,
pasien yang dalam gangguan pernafasan dan yang tidak sadar .
13) Lakukan terapi fisik dada untuk mengencerkan sekresi dan meningkatkan pengeluaran
sekresi.
14) Tingkatkan nutrisi yang adekuat bagi lansia terutama yang tinggal di rumah jompo atau
keluarga dengan pneumonia.

j.

Penatalaksanaan
1)

Koreksi adanya kelainan yang mendasari.

2)

Tirah baring sampai menunjukkan tanda-tanda penyembuhan.

3) Pemilihan obat-obat anti infeksi sesuai penyebabnya.


4) Inhalasi lembab, hangat sangat membantu dalam menghilangkan iritasi bronchial dan
pertahankan jalan nafas
5) Berikan oksigenasi bila terjadi hipoxemia dan evaluasi dengan monitoring saturasi O2 atau
analisa gas darah
6) Tindakan dukungan pernafasan seperti inspirasi oksigen konsentrasi tingggi, intubasi
endotracheal, ventilasi mekanis, PEEP (Positif end Expirasi Preassure) mungkin diperlukan
untuk kasus pasien pneumonia berat.
7) Jaga keseimbangan cairan dan elektrolit dengan bantuan infus, dextrose 5%, normal salin
atau RL.

2. Konsep Usia
Umur atau usia adalah satuan waktu yang mengukur waktu keberadaan suatu benda atau makh
luk, baik yang hidup maupun yang mati( umur manusia diukur sejak dia lahir hingga waktu umur
itu dihitung ).
Usia atau umur adalah salah satu variabel yang selalu diperhatikan dalam penyelidikan
penyelidikan epidemiologi.Angka angka kejadian ataupun kesakitan hampir semua keadaan
menunjukkan hubungan dengan umur ( Notoatmodjo, 2007) . Dengan bertambahnya usia lanjut
seseorang akan diikuti penurunan semua fungsi organ tubuh sehingga pada masa lanjut usia
akan terjadi penurunan daya tahan tubuh atau dengan kata lain rentan terhadap penyakit.

3. Konsep Penyakit kronik

Penyakit adalah penyakit yang berlangsung lama ( lebih 6 bulan ),


ginjal, Diabetes Melitus, Payah jantung, CRF, Sepsis

antara lain gagal

dan penyakit pulmonal seperti PPOM,

Bronchiectasis, Cancer Paru.


Pasien penderita penyakit kronik akan berakibat terjadi penurunan daya
sehingga rentan terhadap penyakit infeksi baik kuman maupun

tahan tubuh

virus.

4. Konsep Ventilasi mekanik


Ventilasi mekanik adalah suatu alat bantu mekanik yang berfungsi untuk memberikan bantuan
nafas pasien dengan cara memberikan tekanan udara positif pada paru-paru melalui jalan nafas
buatan.
Ventilasi mekanik ini merupakan peralatan wajib dipersiapkan pada setiap unit perawatan
intensif atau ICU.

Gambar no 2.10. Ventilasi mekanik


Diakses dari :
http://www.google.co.id/images?hl=id&tbs=isch:1&btnG=Telusuri&aq
=ventilator

=f &aqi=g5&oq=&q

Indikasi Ventilasi Mekanik


a.Gagal nafas.
Pasien dengan distres pernafasan gagal nafas, henti nafas (apnoe) maupun hipoksemia
yang tidak teratasi dengan pemberian oksigen merupakan indikasi ventilasi mekanik.
Idealnya pasien telah mendapat intubasi dan pemasangan ventilasi mekanik sebelum
terjadi gagal nafas yang sebenarnya.
Distres pernafasan disebabkan karena ventilasi dan atau oksigenasi yang tidak adekuat
pada pasien dengan kerusakan paru seperti pada pneumonia, maupun karena kelemahan
otot pernafasan karena distrofi otot dada sehingga terjadi kegagalan dalam memompa
udara ke paru.
b. Insufisiensi jantung.
Pada pasien dengan syok kardiogenik dan CHF, akan terjadi peningkatan kebutuhan
aliran darah pada sistem pernafasan dengan cara meningkatkan kerja nafas dan konsumsi
oksigen, maka

dapat berakibat kolaps jantung. Pemberian ventilasi mekanik untuk

mengurangi beban kerja sistem pernafasan sehingga beban kerja jantung juga berkurang.
c. Disfungsi neurologis.
Pasien dengan GCS 8 atau kurang yang beresiko mengalami apnoe berulang dan
pasien yang membutuhkan hiperventilasi pada klien dengan peningkatan tekanan intra
cranial , memerlukan penggunaan ventilasi mekanik.

Efek Ventilasi mekanik

Pasien dapat terjadi hipotensi akibat dari adanya tekanan positif pada rongga thorax
sehingga darah yang kembali ke jantung terhambat, venous return menurun, dan cardiac
output juga menurun.
Darah yang melalui paru juga berkurang karena ada kompresi microvaskuler akibat tekanan
positif sehingga darah yang menuju atrium kiri berkurang, akibatnya cardiac output juga
berkurang. Bila volume tidal terlalu tinggi yaitu lebih dari 10-12 ml/kg BB dan tekanan lebih
besar dari 40 CmH2O, tidak hanya mempengaruhi cardiac output (curah jantung) tetapi juga
resiko terjadinya pneumothorax.Efek pada organ lain akibat cardiac output menurun,
perfusi ke organ-organ lainpun menurun seperti hepar dan ginjal, tetapi akibat tekanan
positif di rongga thorax, darah yang kembali dari otak terhambat sehingga dapat terjadi
tekanan peningkatan intrakranial.

4. Komplikasi penggunaan Ventilasi Mekanik ( Ventilator )


Ventilator adalah alat untuk membantu pernafasan pasien, tetapi bila perawatannya
tidak tepat dapat menimbulkan komplikasi seperti:
a.Paru - paru
Paru paru dapat terjadi Baro trauma ( tension pneumothorax, empisema sub cutis,
emboli udara vaskuler ), Atelektasis/kolaps alveoli diffuse, Infeksi paru atau Pneumonia,
keracunan oksigen,
jalan nafas buatan king-king (tertekuk), terekstubasi, tersumbat.

aspirasi cairan lambung, tidak berfungsinya penggunaan ventilator, dan kerusakan jalan
nafas bagian atas.

b.Sistem kardiovaskuler
Pasien hipotensi atau menurunnya cardiac output dikarenakan menurunnya aliran balik
vena akibat meningkatnya tekanan intra thorax pada pemberian ventilasi mekanik dengan
tekanan tinggi.
c.Sistem saraf pusat
Terjadinya

vasokonstriksi cerebral akibat

penurunan tekanan CO2 arteri (PaCO2)

dibawah normal akibat dari hiperventilasi, Oedema cerebral dapat

terjadi karena

peningkatan tekanan CO2 arteri diatas normal akibat dari hipoventilasi, dan dapat terjadi
juga peningkatan tekanan intra cranial.
d.Sistem gastrointestinal
Distensi lambung, illeus, dan perdarahan lambung.
e.Gangguan psikologi : Cemas dan takut, dan gangguan komunikasi

Pencegahan komplikasi ventilasi mekanik


Pasien dengan ventilasi mekanik harus dilakukan pemantauan secara ketat dengan
tindakan pemeriksaan fisik, monitoring saturasi oksigen, monitoring hemodinamik, suction

berkala, posisi alih baring minimal 3-4 jam sekali,posisi kepala 30-40 derajad, thorax foto
tiap 2-3 hari, analisa gas darah dan kontrol gula darah sewaktu minimal tiap pagi.

5.Konsep Infeksi Nosokomial


Infeksi nosokomial adalah infeksi yang diperoleh ketika seseorang dirawat di rumah sakit.
Infeksi nosokomial juga diartikan sebagai infeksi yang didapat selama perawatan atau
pemeriksaan di rumah sakit tanpa adanya infeksi sebelumnya, dan minimal terjadi 48 jam ( 2 x 24
jam ) sesudah masuknya kuman ( masuk rumah sakit). Untuk mencegah dan mengurangi kejadian
infeksi nosokomial serta menekan angka infeksi ke tingkat paling rendah perlu adanya
pengendalian infeksi nosokomial.
Pengendalian infeksi nosokomial bukan hanya tanggung jawab pimpinan rumah sakit, dokter
atau perawat saja tetapi merupakan tanggung jawab bersama dan melibatkan semua unsur/
profesi yang terkait di rumah sakit.
Suatu infeksi dinyatakan sebagai infeksi nosokomial apabila :
a.Waktu mulai dirawat tidak ditemukan tanda- tanda infeksi dan tidak dalam masa inkubasi
infeksi tersebut.
b. Infeksi timbul sekurang kurangnya 2 x 24 jam sejak pasien mulai dirawat.
c.Infeksi terjadi pada pasien dengan masa perawatan lebih lama dari masa inkubasinya.

d.Infeksi terjadi setelah pasien pulang dan dapat dibuktikan bahwa infeksi tersebut berasal
dari rumah sakit.

Patogenesis
Interaksi antar pejamu ( pasien, perawat, dokter dan lain- lain ), agen ( mikrooganisme
patogen ) dan lingkungan ( lingkungan rumah sakit, prosedur pengobatan, dan lain- lain )
menentukan seseorang dapat terinfeksi atau tidak.
Pejamu

Agen

Lingkungan

Gambar no 2.12 Interaksi antara pejamu, agen dan lingkungan


Mirkoorganisme dapat menjadi penyebab infeksi nosokomial tergantung dari :
a. Kemampuan menempel pada permukaan sel pejamu.
b. Dosis yang tidak efektif.
c. Kemampuan untuk invasi dan reproduksi.
d. Kemampuan memproduksi toxin.
e. Kemampuan menekan sistim imun pejamu.

Sumber infeksi

a. Petugas rumah sakit ( perilaku ) : kurang atau tidak memahami cara penularan penyakit,
kurang atau tidak memperhatiakn kebersihan, kurang atau tidak memperhatikan tehnik
aseptik dan antiseptik, menderita suatu penyakit tertentu, dan tidak mencuci tangan
sebelum atau sesudah melakukan tindakan.
b. Alat-alat yang dipakai ( alat kesehatan, linen dll ) : kotor atau kurang bersih / tidak steril, rusak
atau tidak layak pakai, penyimpanan kurang baik, dipakai berulang dan lewat batas waktu.
c. Pasien : kondisi sangat lemah, kebersihan kurang, menderita penyakit kronis/ menahun dan
menderita penyakit menular.
d. Lingkungan : tidak ada sinar matahari / penerangan yang masuk, ventilasi sirkulasi kurang
baik, ruangan lembab, banyak serangga, perhatikan kebersihan dan kelembaban,

dan

pembuangan limbah.

6. Konsep Merokok

Rokok adalah silinder dari kertas berukuran panjang antara 70 hingga 120 mm
(bervariasi tergantung negara) dengan diameter sekitar 10 mm yang berisi daun-daun
tembakau yang telah dicacah (menurut wikipedia). Rokok dibakar pada salah satu
ujungnya dan dibiarkan membara agar asapnya dapat dihirup lewat mulut pada ujung
lain.
Merokok adalah membakar rokok pada salah satu ujungnya dan menghirup asap rokok
tersebut melalui mulut pada ujung rokok yang lain.
Terdapat 2 jenis perokok :
a. Perokok aktif adalah seseorang yang melakukan kegiatan merokok secara rutin setiap hari.

b. Perokok pasief adalah seseorang yang tinggal bersama perokok aktif setiap hari.
Merokok berdampak bagi kesehatan, akibat partikel patikel asap rokok yang mengandung
benzopiren, dibenzopiren, uretan, dan tar yang dihirup masuk ke paru - paru dan melalui semua
aliran pembuluh darah. Gangguan tersebut antara lain pada paru paru terjadi perubahan
struktur dan fungsi saluran napas dimana sel mukosa membesar (hipertrofi), kelenjar mucus
bertambah banyak (hiperplasia) , terjadi peradangan jaringan paru,

penyempitan akibat

bertambahnya sel dan penumpukan lendir, dan kerusakan atau kekakuan alveoli. Seorang
perokok akan merasakan timbul gejala klinis penyakit obstruksi paru menahun ( PPOM )
ataupun kanker paru.Dampak lain adalah dapat mengakibatkan penyakit jantung koroner
karena terjadi penyumbatan arteri koroner, stroke karena terjadi penyumbatan pembuluh
darah otak, dan dapat terjadi trombosis pengapuran serta pembuluh darah perifer karena
partikel asap rokok merusak semua dinding pembuluh darah. Gangguan gangguan tersebut
dapat juga terjadi juga pada orang sekitar yang secara rutin tidak sengaja menghirup asap
rokok,oleh sebab itu perlu ada tempat khusus untuk merokok dan dibuat peraturan tidak
merokok di tempat-tempat umum, sekolah, kendaraan umum, maupun ruangan tempat kerja.

7. Konsep Penurunan Tingkat kesadaran


Tingkat kesadaran adalah ukuran dari kesadaran dan respon seseorang terhadap
rangsangan dari lingkungan, tingkat kesadaran dibedakan menjadi :
a. Compos Mentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar sepenuhnya, dapat menjawab
semua pertanyaan tentang keadaan sekelilingnya..
b. Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan dengan sekitarnya, sikapnya
acuh tak acuh.

c. Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu), memberontak, berteriak-teriak,


berhalusinasi, kadang berhayal.
d. Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun, respon psikomotor yang lambat,
mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila dirangsang (mudah dibangunkan) tetapi
jatuh tertidur lagi, mampu memberi jawaban verbal.
e. Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada respon terhadap nyeri.
f. Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon terhadap rangsangan
apapun (tidak ada respon kornea maupun reflek muntah, mungkin juga tidak ada respon
pupil terhadap cahaya). Perubahan tingkat kesadaran dapat diakibatkan dari berbagai faktor,
termasuk perubahan dalam lingkungan kimia otak seperti keracunan, kekurangan oksigen
karena berkurangnya aliran darah ke otak, dan tekanan berlebihan di dalam rongga tulang
kepala.
Adanya defisit tingkat kesadaran memberi kesan adanya hemiparese serebral atau sistem
aktivitas reticular mengalami injuri. Penurunan tingkat kesadaran berhubungan dengan
peningkatan angka morbiditas (kecacatan) dan mortalitas (kematian).
Jadi sangat penting dalam mengukur status neurologikal dan medis pasien. Tingkat kesadaran ini
bisa dijadikan salah satu bagian dari vital sign.
Penyebab Penurunan Kesadaran
Penurunan tingkat kesadaran mengindikasikan difisit fungsi otak. Tingkat kesadaran dapat
menurun ketika otak mengalami kekurangan oksigen (hipoksia); kekurangan aliran darah
(seperti pada keadaan syok); penyakit metabolic seperti diabetes mellitus (koma ketoasidosis) ;
pada keadaan hipo atau hipernatremia ; dehidrasi; asidosis, alkalosis; pengaruh obat-obatan,

alkohol, keracunan: hipertermia, hipotermia; peningkatan tekanan intrakranial (karena


perdarahan, stroke, tomor otak); infeksi (encephalitis); epilepsi.

Mengukur Tingkat Kesadaran


Salah satu cara untuk mengukur tingkat kesadaran menggunakan GCS (Glasgow Coma Scale)
dengan mengukur nilai reflek membuka mata, respon verbal, dan motorik diukur kemudian
hasil pengukuran dijumlahkan .
Respon Pasien
a. Respon buka mata

Skor

mata terbuka spontan

mata terbuka oleh seruan/panggilan

mata terbuka oleh rasa sakit

tidak ada respon membuka mata


8. Respon motorik

mematuhi perintah verbal

gerakan terarah untuk merespon rasa nyeri

menarik anggota badan dari rangsang nyeri

fleksi kejang/abnormal

postur ekstensor (kaku) thd nyeri

tidak ada respon

C, Respon verbal
percakapan normal

percakapan kacau

mengucapkan kata-kata tidak jelas

bersuara

tidak bersuara

Skor GCS Total (E + M + V) = 3 sampai 15. Intrepretasi atas skor total GCS pada
umumnya adalah sebagai berikut:

15 = normal

13-15 = cedera kepala ringan

9-12 = cedera kepala sedang

3 8 = cedera kepala berat

< 8 = koma

3 = koma dengan kematian otak

B. Penelitian terkait
1. Parno Wijoyo dan Khairudin, tahun 2008

Judul penelitian Kajian penggunaan antibiotika pada kasus Pneumonia yang dirawat
pada bangsal penyakit dalam di RSUP Dr Kariadi Semarang. Penelitian rasionalitas penggunaan
antibiotika pada 94 pasien Pneumonia tersebut didapatkan ketepatan pemberian antibiotika
100%. Ketepatan jenis antibiotika adalah 100%, ketepatan dosis dan frekuensi pemberian
antibiotika 1,06% tidak rasional, sedangkan 98,93% adalah rasional. Ketepatan rute pemberian
antibiotika adalah 100% rasional. Ketepatan lama pemberian antibiotika ada perbedaan antara
pengelolaan Pneumonia. Dengan kesimpulan : Penelitian rasinalitas pada 94 pasien Pneumonia
yang dirawat di bangsal Penyakit Dalam RSUP Kariadi, 93% rasional sedangkan 1,06% tidak
rasional.
Kata kunci : Rasionalitas antibiotik, Pneumonia.
2.Ikeu Nurhidayah S.Kep Ners, tahun 2008.
Judul penelitian : Upaya keluarga dalam pencegahan Infeksi saluran napas Acut (ISPA)
di rumah pada balita di Kecamatan Ciawi, Kabupaten Tasik Malaya. Hasil penelitian berjenis
deskriptif kuantitatif yang dilakukan kepada 42 responden keluarga yang memiliki balita yang
terkena, menunjukkan bahwa sangat sedikit responden yang memiliki upaya yang buruk dalam
melakukan pencegahan ISPA pada balita, yaitu 14,28%. Setengah responden (57,14%) memiliki
upaya yang cenderung buruk dan sebagian kecil responden (26,19 %) memiliki upaya yang
cenderung baik. Dan sangat sedikit yang memiliki upaya baik dalam melakukan pencegahan ISPA
pada balitanya, yaitu 2,38%. Sedangkan untuk sub variable, upaya keluarga dalam melakukan
perawatan ISPA pada balita didapatkan hasil setengahnya responden (52%) memiliki upaya yang
baik, sebagian kecil responden (36%) meiliki upaya cenderung baik, 12% memiliki upaya yang
cenderung buruk, dan tak seorangpun responden (%) yang memiliki upaya buruk dalam
melakukan perawatan ISPA pada balita.Berdasarkan penelitian tersebut di atas, maka

disarankan agar semua pihak terutama keluarga berpartisipasi untuk meningkatkan upaya
pencegahan terjadinya ISPA pada balita terutama dengan menciptakan lingkungan yang bersih
dan sehat, serta diharapkan agar petugas kesehatan dari Puskesmas maupun dari kader
kesehatan lebih intensif memberikan penyuluhan kesehatan. Dengan penyuluhan tentang
pencegahan dan perawatan pada balita ISPA, diharapkankeluarga lebih mengerti dan
termotivasi untuk melakukan tindakan pencegahan dan perawatan pada balita dengan ISPA,
sehingga dapat mengurangi penderita Pneumonia.
Kata kunci : Upaya keluarga, Pencegahan dan Perawatan infeksi Saluran Pernapasan Acut, Balita.

3. Dartini, tahun 2004


Judul penelitian : Gambaran kesehatan lingkungan dan faktor risiko kejadian Infeksi
Nosokomial Pneumonia di Ruang ICU RSU Fatmawati Jakarta tahun 2003-2004 . Dari hasil
surveilans infeksi nosokomial di Ruang ICU pada bulan Maret Juni 2003 didapat bahwa kejadian
infeksi nosokomial pneumonia menempati rangking tertinggi dibandingkan infeksi lainnya, yaitu
18,2%. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran faktor lingkungan dan faktor risiko
dengan kejadian infeksi nosokomial pneumonia di ruang ICU. Dengan memakai desain cross
sectional. Jumlah sampel sebesar 210 pasien yang dirawat 3 hari dari bulan Agustus 2003
sampai Mei 2004. Hasil penelitian menunjukkan bahwa diperoleh kejadian infeksi nosokomial
pneumonia sebesar 13,3%. Variabel yang paling dominan hubungannya dengan kejadian infeksi
nosokomial pneumonia adalah pemakaian ventilator. Kesimpulan penelitian ini adalah pasien
yang memakai ventilator dalam perawatannya mempunyai risiko 5,6 kali lebih tinggi terkena
infeksi nosokomial pneumonia dibandingkan pasien yang tidak memakai ventilator. Disarankan

untuk memperhatikan faktor kesehatan lingkungan dengan memperhatikan septik - anti septik,
kebiasaan mencuci tangan sebelum dan sesudah menangani pasien.

4. Holly Maria, tahun 2009


Hasil analisis penelitian Depkes tahun 2007 yang menggunakan desain cross sectional,
mendapat gambaran dari laporan riskesdas Indonesia bahwa prevalensi pneumonia menurut
diagnosa dan gejala adalah 2,13% ( rentang 0,8% - 5,6%). Data pneumonia menurut propinsi
menunjukkan bahwa propinsi dengan prevalensi pneumonia tinggi (diatas angka nasional),
terdapat di Papua Barat, Gorontalo, NTT, DI Aceh, NTB, Sumatera Barat, Jawa Barat, Kalimantan
Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku Utara, adalah propinsi
dengan prevalensinya diatas 3%. Propensi- propensi tersebut merupakan propensi yang sedang
berkembang, sehingga beberapa sarana dan prasarana pendukung kesehatan masih sangat
minim termasuk sulit air bersih. Hubungan antara penyakit Pneumonia dengan karakteristik
individu, memberikan gambaran bahwa prevalensi pneumonia pada laki-laki yaitu 2,3% sedang
prevalensi kelompok wanita 2%. Dari kelompok umur mempunyai 2 puncak , tetapi kelompok
tua lebih tinggi dari kelompok umur muda. Pada tingkat pendidikan terdapat kelompok tidak
pernah sekolah mempunyai prevalensi terbesar yaitu 4,7%, makin tinggi pendidikan makin
menurun prevalensi pneumonianya yaitu perguruan tinggi (PT) prevalensinya terendah yaitu
1,2%. Pada pekerjaan prevalensi tertinggi adalah pada kelompok nelayan (1), kemudian petani
(0,90) dan lainnya (0,80). Tetapi kalau dilihat OR nya maka pada kelompok responden yang tidak
bekerja adalah (3,008) ini adalah OR tertinggi, kemudian disusul petani ( OR=2,924), kemudian
nelayan, buruh dan lainnya.

C.

Skema Kerangka Teori

Faktor Predisposisi :
1. Usia
2. Perokok
3. Penyakit kronis (Jantung, sepsis,
koma, DM)
4. Penyakit paru, Cidera paru,
Torakotomi, PPOK.

Faktor Pemungkin :
1. Lingkungan
2. Alkoholik
3. Mendapat antibiotic spectrum
luas
4. Malnutrisi

Faktor Penguat :
1. Penggunaan Ventilasi mekanik
2. Lama rawat
3. Daya tahan tubuh menurun
4. Penurunan kesadaran,
gangguan reflek batuk/
menelan.

Pneumonia

Anda mungkin juga menyukai