INTERAKSI OBAT
0706260055
0706260124
0706260194
0706260364
Miranti Fristy M
0706260490
Mohammad Azmi
0706260515
0706259646
Rahmania Kannesia D
0706259702
0706260635
Yelsi Khairani
0706259980
DEPARTEMEN FARMAKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA
JAKARTA 2012
Jawaban
Kasus No. 1
1. Berikan komentar Saudara untuk kasus ini secara keseluruhan.
Dilihat dari jenis penyakit dan usia pasien saat ini maka dapat disimpulkan bahwa kasus diatas
merupakan kumpulan dari beberapa penyakit pada pasien geriatri. Pada pasien geriatri memang
cenderung akan timbul banyak masalah karena dipengaruhi oleh penurunan fungsi sistem organ akibat
penuaan sehingga perlu diperhatikan mengenai penatalaksaan pasien baik dari segi non-farmakologi
dan farmakologi.
Dari aspek non-farmakologi beberapa hal yang perlu diperhatikan pada pasien geriatri adalah adanya
caregiver untuk pasien yang bertindak sebagai pengawas minum obat, membantu melakukan aktivitas
sehari-hari jika pasien memerlukan bantuan, dan sebagai pemerhari pola diet dan aktivitas pasien agar
adekuat untuk pasien dengan usia tua. Dari sisi farmakologis kemungkinan terjadinya polifarmasi
juga harus diperhatikan oleh dokter. Polifarmasi lebih sering terjadi pada pasien geriatri dikarenakan
banyaknya penyakit atau kondisi yang dapat muncul pada pasien di waktu yang bersamaan.
Polifarmasi sendiri adalah keadaan dimana penggunaan lebih dari sama dengan 4 obat dalam waktu
yang bersamaan pada seorang pasien. Penggunaan beberapa obat dalam waktu yang bersamaan ini
yang perlu dipantau dalam beberapa aspek seperti, apakah indikasi pemberian obat sudah benar,
apakah terdapat overuse obat dari golongan yang sama, bagaiama dengan dosis, frekuensi pemberian
obat yang diberikan, perlu dipikirkan kemungkinan terjadinya interaksi obat dan apakah tubuh masih
bisa mengatasi efek samping yang akan ditimbulkan obat, yang biasanya dapat kita pantau melalui
pengecekan fungsi ginjal dan fungsi hati pasien.
Pada pasien ini, dengan adanya multipatologi yang terjadi maka polifarmasi memang perlu dilakukan
untuk menuntukan morbiditas dan mortalitas pasien, tetapi sebagai dokter pemilihan obat yang
diberikan harus merupakan pilihan terapi optimal dengan mempertimbangkan usia pasien dan
kepatuhan berobat pada pasien.
Pada pasien yang sudah tua biasanya sudah terjadi penurunan fungsi organ seperti ginjal dan liver
sehingga perlu diperhatikan apakah perlu penyesuaian dosis dari metabolisme obat yang terjadi di hati
dan sekresi obat yang melalui ginjal . Selain itu juga harus diperhatikan interaksi obat ( penurunan
fungsi obat atau peningkatan efek toksik obat) pada pasien, efek samping dan biaya pengobatan juga
harus diperharikan dan dilakukan pemilihan obat yang paling rasional berdasarkan efficcacy, safety,
suitability, dan juga cost.
Ranitidin tidak memiliki interaksi obat dengan obat-obatan lain yang diberikan pada pasien ini
(ascardia, captorpil, ISDN, simvastatin, clopridogrel, omeprazole, bisoprolol, fluimucil dan
diclofenac).
Omeprazole dan clopidogrel
Omeprazole menurunkan efek dari clopridogrel dengan cara mempengaruhi metabolisme
enzim CYP2C19 di hepar. Interaksi ini merupakan interaksi serius atau bersifat mengancam jiwa,
sehingga merupakan kontraindikasi pemberian bersama, kecuali setelah dipertimbangkan risk
dan benefitnya dan tidak ada obat alternatif lain. Efikasi clopidogrel dapat berkurang oleh obatobatan yang menghambat CYP2C19, karena efek inhibisi terhadap agregasi platelet oleh
clopidogrel sepenuhnya bergantung pada metabolit aktifnya, dan clopidogrel dimetabolisme
menjadi bentuk aktifnya oleh CYP2C19.
Bisoprolol dan ISDN
Kombinasi penggunaan bisoprolol ( beta blocker selektif ) dengan ISDN ( nitrat ) diketahui dapat
memberikan hasil yang sinergis dan baik pada terapi penyakit jantung dan hipertensi. 1
Pemberian bisoprolol dan ISDN pada pasien sudah tepat, karena melihat dari indikasi penyakit
jantung dan hipertensi yang dialami pasien dan interaksi kedua obat yang sinergis dan baik
terhadap penyakit jantung dan hipertensi yang dialami pasien.
Penulis setuju dengan penggunaan ISDN pada pasien ini karena efek vasodilatasinya dan
penggunaannya biasanya diberikan pada angina pectoris. Selain itu ISDN tidak mempunyai
interaksi yang berarti dengan obat-obatan lain yang diberikan kepada pasien. Namun
ketergantungan nitrat organic dapat terjadi sehingga pada pasien yang mendapat nitrat organic
dosis tinggi dan lama, penghentian obat harus dilakukan secara bertahap. Pernah dilaporkan
penghentian obat secara mendadak menimbulkan gejala rebound angina.
Captopril dan Ascardia
OAINS dapat mengurangi efek hipotensi dari ACE inhibitor. ACE inhibitor bekerja mengurangi
pemecahan kinin yang akan menstimulasi produksi prostaglandin namun OAINS menghambat
produksi prostaglandin dengan menghambat enzim siklooksigenase. Prostaglandin ini penting
untuk vasodilatasi dalam menurunkan tekanan darah. Namun penggunaan aspirin dosis rendah
(<100 mg) untuk penggunaan antiplatelet mempunyai efek interaksi obat yang lebih sedikit
dibandingkan penggunaannya untuk analgesik antipiretik. Kombinasi dari OAINS dan ACE
inhibitor juga dapat menyebabkan hiperkalemia yang dapat menyebabkan sinkop terutama pada
pasien geriatri atau pasien dengan hipertensi, diabetes mellitus, dan penyakit jantung iskemik.
atau bersifat mengancam jiwa, sehingga merupakan kontraindikasi pemberian bersama, kecuali
setelah dipertimbangkan risk dan benefitnya dan tidak ada obat alternatif lain. Efikasi clopidogrel
dapat berkurang oleh obat-obatan yang menghambat CYP2C19, karena efek inhibisi terhadap
agregasi platelet oleh clopidogrel sepenuhnya bergantung pada metabolit aktifnya, dan clopidogrel
dimetabolisme menjadi bentuk aktifnya oleh CYP2C19. Pada pasien ini sudah diberikan ranitidin
yang dapat menurunkan sekresi lambung seperti kerja omeprazole dan ranitidin tidak memiliki
interaksi dengan obat lain yang diberikan pada pasien. Pada pasien, sebaiknya diberikan antasid yang
berfungsi sebagai sitoprotektor mukosa lambung. Hal ini terkait dengan pemberian obat diklofenak
dan penggunaan bersama aspirin dan clopidogrel yang berpotensi mengiritasi lambung dan
menimbulkan efek samping gastrointestinal. Penggunaan diklofenak dan bisoprolol serta captopril
berpotensi meningkatkan risiko hiperkalemia sehingga diperlukan pengawasan ketat terhadap kadar
kalium serum pasien.
KASUS 2
Ny. M, 68 tahun masuk rumah sakit dan harus dirawat, karena didiagnosis: CAP, CHF fc I ec CAD,
CKD stage II dan sindroma dyspepsia.
Hasil pemeriksaan laboratorium:
SGOT 21 U/L, SGPT 17 U/L
Albumin 3,0 g/dL
Ureum 72 mg/dL
Kreatinin 2,5 mg/dL
Pernah mengalami peningkatan kolesterol total dan kolesterol LDL 2 tahun lalu, sampai sekarang
masih minum simvastatin. Hasil pemeriksaan fisik: TD 160/100 mmHg, IMT = 25.
Jawab:
Pasien ini didiagnosis sebagai CAP, CHF fc I ec CAD, CKD stage II dan sindroma dyspepsia,
dengan hasil pemeriksaan fisis ditemukan TD 160/100 mmHg, IMT = 25.
Tatalaksana:
1. CAP
Terapi awal CAP didasarkan pada hasil pemeriksaan fisik, laboratorium dan karakteristik
pasien (contoh: usia, penyakit kronis, riwayat merokok, riwayat penyakit sekarang). Dokter sebaiknya
memulai penentuan terapi dengan menilai kebutuhan rawat pasien dengan menggunakan suatu alat
bantu prediksi mortalitas, seperti Pneumonia Severity Index (PSI), digabungkan dengan
penilaianklinis.
Pneumonia Severity Index1
Patient Characteristics
Demographics
Points
Male
Age (years)
Female
Age (years) 10
+ 10
Patient Characteristics
Comorbid illness
Points
Neoplastic disease
+ 30
Liver disease
+ 20
+ 10
Cerebrovascular disease
+ 10
Renal disease
+ 10
+ 20
+ 20
+ 20
+ 15
+ 10
+ 30
+ 20
+ 20
+ 10
+ 10
+ 10
Pleural effusion
+ 10
Total points:
_______
70
Low
II
0.6 (5,778)
Outpatient
71 to 90
Low
III
2.8 (6,790)
Inpatient (briefly)
91 to 130
Moderate IV
8.2 (13,104)
Inpatient
>130
High
29.2 (9,333)
Inpatient
Tujuan utama terapi farmakoterapi pada pasien dengan CAP mencakup eradikasi patogen penyebab,
memperbaiki tanda dan gejala klinis, meminimalisasi perawatan, dan mencegah reinfeksi. Terapi yang
diberikan dinilai dari segi farmakokinetik, efek samping, interaksi obat dan biaya. Selain itu
pemilihan terapi juga harus difokuskan pada derajat penyakit, komorbid, gejala klinis, epidemiologi
dan paparan sebelumnya. Sebagian besar pasien dengan CAP diberikan terapi empirik berdasarkan
patogen tersering yang berhubungan dengan kondisi.
Rekomendasi tatalaksana empiris (ATS 2001)2
Grup
Karakteristik
Antibiotik pilihan
Makrolid
Doksisiklin
II
lactam oral
(cefpodoxime, cefuroxime,
amoxicillin dosis tinggi,
amoxicillin/clavulanat) atau
parenteral (ceftriaxone
diikuti cefpodoxime oral)
Fluoroquinolon
antipneumoccocus
Dikombinasi dengan
makrolid atau doksisiklin
III A
lactam IV (cefotaxime,
ceftriaxone,
ampicilin/sulbactam,
ampicilin dosis tinggi)
Fluoroquinolon
antipneumoccocus
Dikombinasi dengan
makrolid IV atau oral atau
doksisiklin
III B
Azitromizin IV atau
doksisiklin dan lactam
IV A
lactam IV (cefotaxime,
ceftriaxone)
Fluoroquinolon
antipneumoccocus
Dikombinasi dengan
makrolid IV (Azitromisin)
atau fluorokuinolon IV
IV B
lactam antipseudomonas
IV tertentu (cefepime,
imipenem, meropenem,
piperacillin/tazobactam)
lactam antipseudomonas IV
tertentu (cefepime,
imipenem, meropenem,
piperacillin/tazobactam)
Dikombinasi dengan
Dikombinasi dengan
Quinolon antipseudomonas
IV (ciprofloxacin)
aminoglikosida IV
Dikombinasi dengan
makrolid IV (azitromisin)
atau fluorokuinolon
nonpseudomonas IV
Pada pasien ini terdapat CAP yang disertai dengan penyakit kardiopulmoner sehingga pasien
dimasukkan dalam kategori IIIA yaitu pasien drawat inap dengan penyakit kardiopulmoner atau faktor
modifikasi. Terapi empirik utama yang diberikan pada kategori ini adalah dengan menggunakan
sefalosporin generasi ke 3 seperti cefotaxime ataupun ceftriaxone yang dikombinasikan dengan
pemberian makrolid oral/ IV.
Sefalosporin generasi 3 umumnya kurang aktif terhadap gram positif jika dibandingkan
dengan generasi oertama tetapi jauh lebih aktif terhadap enterobacteriaceae, termasuk strain
penghasil penisilase. Penggunaan sefalosporin terhadap pasien dengan gangguan ginjal harus
diperhatikan karena hampir sebagian besar dieksresikan melalui ginjal. Cefotaxime 90%, cetriaxone
70-80% sehingga dapat memperberat CKD yang telah dialami pasien sehingga diperlukan
penyesuaian dosis. Cefotaxime diberikan dengan dosis 1-2g/6-12 jam IV, dosis pada gagal ginjal CCT
50ml/min adalah 50% sedangkan jika CCT 10ml/menit dosis yang digunakan adalah 25%. Pemberian
sefalosporin generasi 3 biasanya dikombinasikan dengan makrolid seperti azitromisin. Azitromisin
disimpan di dalam jaringan dan sel fagosit kemudian dilepaskan secara perlahan-lahan sehingga dapat
diperoleh masa paruh eliminasi sekitar 3 hari. Dengan demikian pengobatan hanya perlu diberikan
sekali dan lama pengobatan dapat dikurangi. Absorbsi berlangsung cepat namun terganggu bila
diberikan dengan makanan, obat ini tidak menghambat CYP450 sehingga tidak menimbulkan masalah
interaksi obat. Untuk CAP dosis azitromisin adalah 1x500mg/hari.
2. CHF fc I ec.CAD
Gagal jantung adalah sindroma klinis (kumpulan tanda dan gejala) yang ditandai dengan sesak napas
dan fatik (saat istirahat atau aktivitas) yang disebabkan oleh kelainan struktur atau fungsi jantung. 1
Masnifestasi gagal jantung yang utama adalah sesak napas dan rasa lelah yang membatasi
kemampuan melakukan kegiatan fisik dan retensi cairan yang menyebabkan kongesti paru dan edema
perifer.2
Class
Patient Symptoms
Class I (Mild)
Class II (Mild)
Class IV (Severe)
Pada pasien ini karena gagal jantungnya masih fc.I diharapkan tidak mengalami perburukan. Oleh
karena itu, pengobatan utama pada pasien ini adalah pemberian ACE-I atau -blocker untuk
menghambat remodeling miokard. -blocker direkomendasikan untuk digunakan rutin pada pasien
gagal jantung ringan dan sedang (NYHA kelas II-III) yang stabil, sedangkan penggunaan -blocker
pada pasien dengan fc I (NYHA kelas I) belum diteliti. 2
Pada pasien ini tidak didapatkan data tentang edema (retensi cairan) sehingga pemberian diuretik
dirasa belum diperlukan. Oleh karena itu, obat yang dapat diberikan pada pasien ini terkait dengan
gagal jantungnya adalah ACE-I. Pada pasien dengan gagal jantung, ACE-I harus selalu dimulai
dengan dosis rendah dan ditritasi sampai dosis target. Dosis target adalah dosis pemeliharaan yang
telah terbukti efektif untuk mengurangi mortalitas/hospitalisasi dalam uji klinik yang besar. Pada
pasien ini dapat diberikan kaptopril 3x6,25mg. Namun, pemberiannya harus diawasi mengingat
pasien juga memiliki CKD. Jika fungsi ginjal memburuk sebaiknya dihentikan terlebih dahulu.
Dosis Awal
Dosis Pemeliharaan
Kaptopril
6,25mg tid
25-50mg tid
Enalapril
2,5mg od
10-20mg bid
Lisinopril
2,5mg od
5-20mg tid
Ramipril
1,25mg od/bid
2,5-5mg bid
10
Trandolapril
1mg od
4mg od
Kuinapril
2,5mg od
5-10mg bid
Fosinopril
5-10mg od
20-40mg od
Perindopril
2mg od
4mg od
11
2. Terapi farmakologis
Obat antihipertensi selain bermanfaat untuk memperkecil risiko kardiovaskular juga sangat
penting untuk memperlambat perburukan kerusakan nefron dengan mengurangi hipertensi
intraglomerular dan hipertrofi glomerular. Obat antihipertensi yang pada berbagai studi
terbukti dapat memperlambat proses perburukan fungsi ginjal adalah ACE-Inhibitor. Oleh
sebab itu, pada pasien ini diberikan Captopril 3x12,5 mg perhari. Apabila pasien tidak dapat
mentoleransi efek samping batuk akibat pemberian ACE-I, maka dapat digantikan dengan
pemberian obat antihipertensi golongan ARB seperti kandesartan 1x4mg perhari.
Selain itu dapat pula diberikan suplemen seperti CaCO3 yang berfungsi sebagai Phosphat
Binder. Pada gagal ginjal, terjadi hiperfosfatemia yang dapat menyebabkan penurunan
kalsium yang terionisasi sehingga terjadi rangsangan ke Parathormon dan dapat menyebabkan
osteodistrofi renal. Untuk mencegah hal ini dapat dilakukan dengan penurunan asupan fosfat
dan dengan pemberian CaCO3 sebagai pengikat fosfat. Dosis yang diberikan adalah 3x1
tablet.
Suplemen lain yang dapat diberikan adalah asam folat 1x3 tablet dan vitamin B12 3x1
tablet. Suplemen ini diberikan untuk menetralisir keadaan hiperhomosisteinemia pada pasien
dengan CKD untuk mencegah terjadinya cardiovascular disease (CVD).
4. Dispepsia
Dispepsia adalah kumpulan gejala berupa nyeri atau rasa tidak nyaman menetap atau berulang yang
berpusat pada bagian atas abdomen. Sedangkan, rasa tidak nyaman didefinisikan sebagai perasaan
negatif yang subyektif dan dapat berhubungan dengan gejala lain seperti rasa cepat kenyang atau
perut bagian atas yang penuh. Secara garis besar penyebab sindrom dyspepsia dibagi menjadi 2
kelompok yaitu :
Dispepsia organik
Dispepsia dengan penyebab patologis yang diketahui secara pasti, seperti ulkus peptic,
gastritis, batu kandung empedu dll
Dispepsia fungsional
Dispepsia dengan penyebab patologis structural atau biokimiawi yang tidak diketahui setelah
dilakukan pemeriksaan penunjang diagnostic yang konvensional atau baku (radiologi,
endoskopi, laboratorium).
12
Etiologi dyspepsia
Obat-obatan
Hepatobilier
Oddi
Gangguan fungsional
Dyspepsia fungsional diklasifikasikan menjadi 3 kelompok menurut jenis keluhan yang paling
dominan pada setiap pasien, yaitu :
Ulcer like dyspepsia nyeri ulu hati yang lebih dominan dan disertai nyeri pada malam hari
Dismotility dyspepsia kembung, mual, cepat kenyang menjadi keluhan dominan
Non-spesifik dyspepsia bila tidak ada keluhan yang spesifik
Tatalaksana Dyspepsia
Non farmakologi
Berhenti merokok, berhenti menggunaka obat ulserogenik dan perlu juga edukasi mengenai
pentingnya menghindari makanan pencetus. Salah satu hal yang perlu dihindarkan adalah stress yang
sering mencetuskan terjadinya dyspepsia. Perlu disarankan dilakukannya olahraga dan relaksasi serta
penghindaran depresi atau kecemasan yang dapat memperburuk keluhan dyspepsia.
Farmakologi
Antasid
Golongan obat ini mudah didapat dan murah. Antasid akan menetralisir sekresi asam lambung.
Antasid biasanya mengandung Na bikarbonat, Al(OH)3, Mg(OH)2, dan Mg triksilat. Pemberian
antasid hanya simtomatis, untuk mengurangi rasa nyeri. Mg triksilat dapat dipakai dalam waktu lebih
lama, juga berkhasiat sebagai adsorben sehingga bersifat nontoksik, namun dalam dosis besar akan
menyebabkan diare karena terbentuk senyawa MgCl2. Obat ini memiliki durasi aksi yang singkat.
Antikolinergik
13
Perlu diperhatikan, karena kerja obat ini tidak spesifik. Obat yang agak selektif yaitu pirenzepin
bekerja sebagai anti reseptor muskarinik yang dapat menekan seksresi asama lambung sekitar 2843%. Pirenzepin juga memiliki efek sitoprotektif.
Antagonis reseptor H2
Golongan obat ini banyak digunakan untuk mengobati dispepsia organik atau esensial seperti tukak
peptik. Obat yang termasuk golongan antagonis respetor H2 antara lain simetidin, roksatidin,
ranitidin, dan famotidin.
Penghambat pompa asam (proton pump inhibitor = PPI)
Golongan obat ini mengatur sekresi asam lambung pada stadium akhir dari proses sekresi asam
lambung. Obat-obat yang termasuk golongan PPI adalah omeperazol, lansoprazol, dan pantoprazol.
onset PPI relatif lebih lama dibandingkan antasida.
Sitoprotektif
Prostoglandinsintetiksepertimisoprostol(PGE1)danenprostil(PGE2).Selainbersifatsitoprotektif,
juga menekan sekresi asam lambung oleh sel parietal. Sukralfat berfungsi meningkatkan sekresi
prostoglandinendogen,yangselanjutnyamemperbaikimikrosirkulasi,meningkatkanproduksimukus
danmeningkatkansekresibikarbonatmukosa,sertamembentuklapisanprotektif(sitoprotective),
yangbersenyawadenganproteinsekitarlesimukosasalurancernabagianatas.
Golonganprokinetik
Obat yang termasuk golongan ini, yaitu sisaprid, domperidon, dan metoklopramid. Golongan ini
cukupefektifuntukmengobatidispepsiafungsionaldanrefluksesofagitisdenganmencegahrefluks
danmemperbaikibersihanasamlambung
Kadangkalajugadibutuhkanpsikoterapidanpadapasiendengandispepsiafungsional,karenatidak
jarangkeluhanyangmunculberhubungandenganfaktorkejiwaanseperticemasdandepresi
14
DAFTAR PUSTAKA
1.
Setiawati, Arini dan Nafrialdi. Obat Gagal Jantung Dalam Farmakologi dan Terapi (Edisi ke-5).
2011. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Hal 299- 314.
2.
3.
Gunawan SG (Editor Utama). Farmakologi dan Terapi edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI,
2008.
4.
Katzung BG, Masters SB, Trevor AJ. Basic and Clinical Pharmacology 11 th ed. New York:
McGraw-Hill, 2009.
5.
6.
15
7.
Panggabean MM. Gagal jantung. Dalam buku ajar IPD Edisi IV. Jakarta: PAPDI.
8.
Setiawati A, Nafrialdi. Obat gagal jantung. Dalam farmakologi dan terapi edisi 5. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI, 2008. Hal 355
9.
http://www.abouthf.org/questions_stages.htm
10.
Nafrialdi. Antihipertensi. Dalam farmakologi dan terapi edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI,
2008. Hal 299-304.
11.
Suyatna FD. Hipolipidemik. Dalam farmakologi dan terapi edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI, 2008. Hal 383.
12.
Dipiro JT, Talbert RL, Yee GC, Matzke GR, Wells BG, Posey LM. ed. Pharmacotherapy a
pathophysiologic approach. 7th edition. New York: McGraw-Hill. 2008.
13.
Suwitra, ketut. Penyakit Ginjal Kronik. Dalam : Sudoyo A, setyohadi B, Alwi A, Simadibrata
M, setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid 1. Ed.4. Pusat penerbitan departemen ilmu
penyakit dalam FKUI; Jakarta. 2007. Hal 581-84
16