Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Sepsis merupakan salah satu sindrom tertua di dunia kedokteran. Sepsis
didefinisikan sebagai sindroma klinis yang menunjukkan suatu proses infeksi yang
berat, yang dicirikan oleh tanda kardinal inflamasi (vasodilatasi, akumulasi leukosit,
peningkatan permeabilitas mikrovaskular) yang terjadi pada jaringan yang berdekatan
dengan infeksi. Ketika sepsis telah menunjukkan tanda-tanda terjadinya disfungsi organ,
maka pasien tersebut dikatakan telah mengalami sepsis berat1,-5.
Studi yang ada menunjukkan terdapat peningkatan dari jumlah pasien yang
mengalami sepsis dalam waktu 45 tahun terakhir. Data dari Amerika Serikat
menunjukkan peningkatan insidensi sepsis sebanyak 10 kali lipat dengan jumlah kasus
per tahunnya sebanyak 1,665,000 kasus6. Angka kematian sepsis masih berkisar 20-50%
walaupun dengan adanya peningkatan dalam kualitas perawatan dan regimen terapi. Hal
ini menunjukkan bahwa sepsis masih menjadi suatu masalah yang serius dan
membutuhkan perhatian yang lebih6,7.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I.

DEFINISI
Sepsis didefinisikan sebagai suatu keadaan ditemukannya tanda-tanda infeksi

(baik kemungkinan atau pasti) bersama dengan manifestasi sistemik dari infeksi
tersebut. Secara sederhana, sepsis didefinisikan sebagai kondisi yang memenuhi dua
atau lebih kriteria SIRS (Systemic Inflammatory Response Syndrome) disertai dengan
adanya infeksi yang terdokumentasi atau dicurigai. Sepsis berat (severe sepsis)
didefinisikan sebagai keadaan sepsis dengan gejala disfungsi organ atau hipoperfusi
jaringan. Sedangkan syok sepsis (septic shock) didefinisikan sebagai sepsis disertai
dengan komplikasi hipotensi refraktori terhadap resusitasi cairan yang adekuat (30
mL/kg berat badan)1-5.
II.

INSIDENSI DAN PENYEBAB


Studi yang ada menunjukkan bahwa dalam kurun 45 tahun terdapat peningkatan

jumlah kasus sepsis di Amerika Serikat sebanyak kurang lebih 10 kali lipat dengan
jumlah kasus pertahunnya adalah sebanyak 1,665,000 kasus per tahun dengan tingkat
mortalitas antara 20 hingga 50%. Meskipun angka ini mengalami penurunan, sepsis
masih menjadi salah satu masalah yang serius 6,7. Keparahan dari kondisi pasien juga
ditemukan meningkat. Melalui sebuah studi retrospektif, ditemukan peningkatan
sebanyak 18% (26% menjadi 44%) pada kelompok pasien sepsis dengan minimal satu
gangguan organ dalam 10 tahun. Gangguan organ tersering yaitu ARDS, gagal ginjal
akut, dan DIC8.
Penyebab tersering dari sepsis adalah pneumonia (sekitar 50% dari semua kasus)
baik CAP maupun HCAP, diikuti dengan infeksi intraabdomen dan infeksi saluran
kemih. Sepsis yang disebabkan oleh infeksi nosokomial umumnya memiliki tingkat
mortalitas yang lebih tinggi. Kultur darah menunjukkan hasil positif hanya pada
sepertiga kasus, dan pada lebih dari sepertiga kasus menunjukkan hasil negatif untuk
kultur dari seluruh tempat. Studi dari tahun 1979 hingga 2000 menunjukkan organisme
kausatif dominan yaitu bakteri gram positif9,10. Namun, studi yang lebih terbaru

menunjukkan terdapatnya perubahan organisme dominan menjadi bakteri gram


negatif11.
III.

FAKTOR RISIKO
Kelompok pasien dengan risiko tinggi terutama adalah pasien yang dirawat di

ICU. Faktor risiko untuk sepsis yang lain antara lain7:

Bakteremia Pasien dengan bakteremia akan lebih mudah untuk mengalami

gejala-gejala sistemik sebagai respon terhadap infeksi.


Usia Kelompok pasien dengan risiko tinggi mengalami sepsis terutama adalah

pasien dengan usia lanjut ( 65 tahun) atau pada usia muda.


Imunosupresi Pasien dengan kondisi imun yang rendah baik karena penyakit

(AIDS, keganasan, gagal ginjal, dll) atau obat.


Diabetes dan kanker Segala kondisi inflamasi kronik dapat menyebabkan

perubahan pada sistem imun sehingga tubuh lebih mudah mengalami infeksi.
Genetik

IV.

PATOFISIOLOGI
Berbagai mikroorganisme memiliki metode yang berbeda-beda dalam

menimbulkan respon dari sistem pertahanan tubuh. Sebagai contoh, bakteri gram positif
seperti Staphylococcus aureus atau Streptococcal pyogenes memiliki toxin khusus yang
dapat menimbulkan jenis sepsis tertentu yang disebut toxic shock syndrome. Exotoxin
ini berperan sebagai superantigen yang menjadi penghubung bagi reseptor antigen sel
limfosit T dengan major histocompatibility complex (MHC) menyebabkan stimulasi
hebat dari sel-T. Bakteri gram negatif seperti Eschericia coli, memiliki kompleks lipid
(lipopolisakarida) yang mengaktivasi sistem kekebalan tubuh non spesifik (innate
immune system). Sama seperti bakteri, virus memiliki pola molekular unik yang dapat
dikenali dan diidentifikasi oleh Toll-like receptor yang berada dalam tubuh manusia.
Sepsis dapat terjadi sebagai akibat dari infeksi mikroorganisme ini melalui aktivasi dari
respon imun tubuh yang mengakibatkan proses inflamasi dan kaskade koagulasi1-5.
Pada awalnya, manifestasi klinis sepsis diduga dihasilkan dari respon imun
tubuh terhadap infeksi yang menimbulkan respon inflamasi kompensasi. Namun saat
ini, diduga bahwa manifestasi klinis sepsis yang muncul merupakan kombinasi antara

efek inflamasi dari sistem imun yang diperparah dengan efek antiinflamasi yang
meningkatkan kerentanan tubuh pasien terhadap infeksi sekunder. Pada awal patogen
masuk ke dalam tubuh, patogen ini akan berinteraksi dengan sel imun jaringan
(makrofag) melalui reseptor yang mampu mengenali antigen dari patogen tersebut
(Toll-like receptor, C-type lectin receptors, retinoic acid inducible gene 1-like receptor,
dan nucleotide-binding oligomerization domain-like receptors). Sel-sel imun yang telah
mendeteksi patogen melalui reseptor tersebut kemudian memulai proses aktivasi dari
sistem kekebalan non spesifik. Makrofag akan melakukan fagositosis dan meningkatkan
produksi dari mediator inflamasi (IL-6, TNF-) yang mengundang neutrofil untuk
datang ke jaringan yang mengalami infeksi. Makrofag yang telah memfagositosis
patogen mengaktivasi limfosit melalui mekanisme APC (Antigen Presenting Cell) yang
membuat Limfosit T-helper teraktivasi dan memberikan sinyal kepada Limfosit T-killer
dan Limfosit B untuk mengaktivasi sistem kekebalan sekunder (cell mediated
immunity).
Mediator inflamasi yang dihasilkan juga menimbulkan manifestasi dari
inflamasi seperti peningkatan aliran darah ke jaringan, meningkatkan permeabilitas dari
pembuluh darah, dan merekrut neutrofil ke jaringan yang terinfeksi. Kondisi ini
mengakibatkan respon imun yang merusak tidak hanya sel yang mengalami infeksi
namun juga sel sehat sekitarnya (colateral damage). Sedangkan sel yang mengalami
kerusakan juga menghasilkan mediator inflamasi yang dapat semakin memperburuk
kerusakan jaringan dengan semakin meningkatkan respon imun dalam tubuh pasien1-5.

Di saat yang bersamaan terjadi juga respon tubuh untuk mengurangi inflamasi yang
terjadi. Level mediator inflamasi yang tinggi menjadi masukan bagi teraktivasinya
neuroinflammatory reflex yang terjadi secara sistemik, sementara pada jaringan juga
terjadi proses antiinflamasi. Zat-zat yang berperan antara lain cortisol, sitokin anti
inflamasi seperti IL-6 dan IL-10. Glukokortikoid (dalam hal ini cortisol) menghambat
sintesis sitokin oleh monosit, epinephrine menginhibisi respon TNF- terhadap
endotoxin sekaligus meningkatkan pelepasan dari IL-10, prostaglandin E2 dan molekul
lainnya yang berperan untuk menurunkan sensitivitas monosit terhadap LPS dan antigen
bakteri lainnya. Cortisol, epinephrine, IL-10, dan CRP menurunkan kemampuan
neutrofil untuk menempel pada sel endothel vaskular.
Selain itu pada sepsis juga terjadi kerusakan dari sel endothel pembuluh darah
yang mana kerusakan tersebut menimbulkan peningkatan permeabilitas yang semakin
tinggi disertai dengan pendarahan. Kerusakan ini, selain menimbulkan hipoperfusi
jaringan yang dapat mengakibatkan nekrosis dari sel di level molekular melalui
peningkatan asam laktat sebagai produk sampingan dari metabolisme anaerobik. Selain
itu kerusakan endothel ini juga menyebabkan teraktivasinya sistem koagulasi melalui
produksi dari tissue factor yang menyebabkan teraktivasinya jalur koagulasi intrinsik
dan ekstrinsik, yang pada akhirnya meningkatkan pembentukan fibrin. Proses ini
diperburuk dengan gangguan pada fungsi inhibisi protein C dan S dan penurunan

jumlah antitrombin serta protein C dan S itu sendiri (penurunan kualitas dan kuantitas),
sementara proses fibrinolisis juga mengalami penurunan dengan produksi dari
plasminogen activator inhibitor 11-5.
V.

MANIFESTASI KLINIS DAN DIAGNOSIS

Manifestasi klinis dari sepsis sangat beragam karena dipengaruhi oleh lokasi inisial
terjadinya infeksi, organisme kausatif, pola dari disfungsi organ, kondisi kesehatan
pasien, dan interval sebelum pasien menjalani terapi2.
Berikut adalah kriteria diagnosis untuk sepsis yaitu infeksi yang telah dibuktikan atau
dicurigai dengan 1 dari gejala-gejala berikut1:
Variabel umum:

Demam (>38.3oC) atau hipothermia (<36oC)


Frekuensi nadi >90/menit
Takipnea
Perubahan status mental
Edema yang signifikan atau balans cairan positif (>20 mL/kg dalam 24 jam)
Hiperglikemia (glukosa plasma >140 mg/dL) tanpa adanya diabetes

Variabel inflamasi

Leukositosis (leukosit >12,000) atau Leukopenia (leukosit <4,000)


Jumlah leukosit normal dengan lebih dari 10% dalam bentuk imatur
CRP plasma meningkat lebih dari 2 kali lipat standar deviasi
Level procalcitonin plasma meningkat lebih dari 2 kali lipat standar deviasi

Variabel hemodinamik
Hipotensi (SBP <90 mmHg, MAP <70 mmHg, atau penurunan SBP >40 mmHg
atau kurang dari 2 kali standar deviasi di bawah batas normal umur.
Variabel disfungsi organ

Hipoksemia (PaO2/FiO2 <300)


Oliguria akut (UO <0.5 mL/kg/jam selama 2 jam walaupun dengan resusitasi

cairan yang adekuat)


Peningkatan kreatinin >0.5 mg/dL atau 44.2 mol/L
Abnormalitas koagulasi (INR >1.5 atau aPTT >60 detik)
Ileus (bising usus negatif)
Trombositopenia (trombosit <100,000)
Hiperbilirubinemia (total bilirubin >4mg/dL)

Variabel perfusi jaringan


6

Hiperlakatsemia (> 1 mmol/L)


Berkurangnya pengisian kapiler atau

Sedangkan kriteria untuk sepsis berat antara lain yaitu satu atau lebih gejala berikut
yang disebabkan atau diduga sebagai akibat dari infeksi:

Hipotensi yang disebabkan oleh sepsis


Kadar laktat yang melebihi batas normal
Urine output < 0.5 mL/kg/jam selama lebih dari 2 jam dengan resusitasi cairan

yang adekuat.
Acute lung injury dengan PaO2/FiO2 < 250 tanpa adanya pneumonia sebagai

sumber infeksi.
Acute lung injury dengan PaO2/FiO2 < 200 dengan adanya pneumonia sebagai

sumber infeksi.
Kreatinin > 2.0 mg/dL
Bilirubin > 2 mg/dL
Kadar platelet < 100,000
Koagulopati (INR > 1.5)

VI.

TATA LAKSANA

Pada pasien dengan sepsis berat atau syok sepsis, tata laksana yang dapat dilakukan
pada fase awal terbagi menjadi:
Hal yang harus dilakukan dalam waktu 3 jam sejak presentasi1
1. Penghitungan level laktat dalam darah.
2. Mengambil sampel kultur darah sebelum pemberian antibiotik.
3. Pemberian antibiotik spektrum luas (broad spectrum antibiotic)
4. Pemberian cairan kristaloid 30 ml/Kg untuk hipotensi atau level laktat 4 mmol/L
Hal yang harus dilakukan dalam waktu 6 jam sejak presentasi1
1. Pemberian vasopressor (untuk hipotensi yang tidak menunjukkan respon terhadap
resusitasi cairan inisial yang telah diberikan) untuk menjaga MAP 65 mmHg.
2. Pada keadaan hipotensi yang persisten setelah pemberian cairan inisial, atau jika
level laktat inisial 4 mmol/L, lakukan pengkajian ulang pada status volume juga
perfusi jaringan pasien dan dokumentasikan temuan.
3. Lakukan pemeriksaan terhadap kadar laktat ulang jika level laktat inisial meningkat.
Berdasarkan surviving sepsis campaign, tata laksana yang difokuskan untuk menangani
sepsis berat antara lain sebagai berikut:
A. Resusitasi inisial

Resusitasi ini direkomendasikan bagi pasien dengan tanda-tanda hipoperfusi


jaringan. Resusitasi dilakukan dalam waktu 6 jam dan pasien dirawat di ICU. Target
resusitasi yang dilakukan antara lain:
1. CVP 8-12 mmHg
2. MAP 65 mmHg
3. Urine output 0.5 mL/kg/jam
4. Saturasi oksigen vena kava superior (Scvo2) 70% atau mixed venous oxygen
saturation 65%.
Pada pasien dengan level laktat yang meningkat, resusitasi ditargetkan juga untuk
menormalkan level dari laktat1,12.
B. Skrining untuk sepsis dan performance improvement
Identifikasi sepsis dini disertai pemberian terapi dengan evidence-based telah
terbukti meningkatkan kualitas dan menurunkan angka kematian akibat sepsis1,2.
C. Diagnosis
Pengambilan kultur darah direkomendasikan secepatnya tanpa menyebabkan
penundaan yang berarti bagi terapi antibiotik (>45 menit). Kultur darah yang
diambil sebaiknya terdiri dari 2 set yaitu aerob dan anaerob. Kultur dari lokasi lain
seperti urin, LCS, pus dari luka, sputum atau cairan tubuh lainnya juga sebaiknya
diambil sebelum terapi dimulai1,2.
D. Terapi Antimikrobial
Pemberian antibiotik (antimikrobial) disarankan dalam waktu 1 jam sejak
indentifikasi syok sepsis ataupun sepsis berat tanpa syok sepsis. Pemilihan agen
antimikrobial yang digunakan tergantung dari berbagai faktor seperti intoleransi
terhadap obat-obatan, penggunaan antibiotik terakhir (3 bulan terakhir), penyakit
yang diderita, dan pola mikroba di rumah sakit tersebut.
Penggunaan terapi kombinasi terutama disarankan pada keadaan seperti:
1. Pasien dengan sepsis berat dan neutropenia.
2. Pasien dengan infeksi patogen yang sulit ditangani dan/atau resisten seperti
Acitenobacter dan Pseudomonas.
3. Pasien dengan syok sepsis dan gagal nafas.
Kombinasi regimen yang digunakan disesuaikan dengan organisme kausal
yang diketahui melalui hasil kultur darah. Contoh rekomendasi regimen:
1. Untuk P. aeruginosa kombinasi betalaktam dengan spektrum luas dengan
aminoglikosida atau fluoroquinolon.

2. Untuk Streptococcus pneumonia kombinasi antara betalaktam dengan


makrolid.
Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa terapi kombinasi disarankan tidak
lebih dari 3-5 hari pemberian. Regimen yang diberikan ini harus dievaluasi setiap
harinya untuk menilai kemungkinan penurunan dosis untuk menghindari resistensi,
menurunkan toksisitas, dan mengurangi biaya. Procalcitonin menjadi salah satu
parameter yang disarankan untuk menilai respon terapi selain dari gejala yang
ditunjukkan oleh pasien. Lama terapi umumnya berkisar antara 7-10 hari namun
bisa saja lebih lama pada kondisi tertentu seperti misalnya pada pasien dengan
respon yang lambat, fokus infeksi yang tidak didrainase, bakteremia dengan S.
aureus, infeksi viral dan fungal, atau kondisi defisiensi imun1,2,13.
E. Kontrol Sumber Infeksi
Pada pasien dengan sepsis, sumber infeksi (misal peritonitis, cholangitis,
infark intestinal dll) harus segera dicari atau disingkirkan secepatnya dan intervensi
harus dilakukan dalam 12 jam setelah diagnosis. Pengecualian pada kondisi nekrosis
peripankreatik, intervensi dapat ditunda hingga batas antara jaringan yang masih
hidup dengan jaringan yang sudah rusak terlihat dengan jelas. Intervensi yang
dilakukan menggunakan prinsip pendekatan prosedur dengan risiko seminimal
mungkin1,2.
F. Prevensi Infeksi sekunder
Untuk mencegah terjadinya VAP (Ventilator associated pneumonia), maka
dapat

dilakukan

selective

oral

decontamination

dan

selective

digestive

decontamination. Agen yang digunakan dapat berupa chlorhexidine glukonat1.


G. Terapi Cairan
Pada sepsis berat dan syok sepsis, kristaloid tetap menjadi pilihan utama
untuk terapi cairan. Pada pasien dengan hipotensi yang dicurigai sebagai akibat dari
sepsis, dilakukan fluid challenge test dengan memberikan cairan kristaloid hingga
30 mL/kg dan dilanjutkan selama terdapat perbaikan pada hemodinamik. Pada
pasien yang membutuhkan kristaloid dalam jumlah besar dapat diberikan
albumin1,12.

H. Vasopressor
Vasopressor diberikan dengan target MAP 65 mmHg. Norepinephrine
merupakan vasopressor pilihan pertama. Pada pasien yang membutuhkan agen
kedua, epinephrine atau vasopressin (hingga 0.03 U/menit) dapat diberikan. Namun
perlu diperhatikan bahwa penggunaan vasopressin umumnya digunakan jika pasien
tidak mencapai target MAP dengan agen vasopressor lainnya. Pada pasien dengan
kondisi tertentu seperti misalnya pasien dengan risiko rendah aritmia dan
bradikardia relative atau absolut, dapat diberikan dopamin1,2.
I. Agen Inotropik
Pemberian dobutamine disarankan bersama dengan pemberian vasopressor
(infus 20 microgram/Kg/menit) pada pasien dengan disfungsi myocard yang
ditandai dengan peningkatan tekanan pengisian jantung atau tanda hipoperfusi yang
masih ada meskipun target MAP telah tercapai1,14.
J. Kortikosteroid
Pemberian steroid (hydrocortisone) tidak disarankan pada pasien dengan
syok sepsis yang hemodinamiknya dapat distabilkan dengan resusitasi cairan dan
vasopressor. Jika tidak tercapai, hidrocortisone dapat diberikan secara IV
(continuous flow) dengan dosis 200 mg per hari. Dosis pemberian kortikosteroid ini
diturunkan ketikan vasopressor sudah tidak digunakan lagi1.
K. Terapi Suportif Lain
Terdapat beberapa terapi suportif lain yang dapat diberikan pada pasien
sepsis. Misalnya pada keadaan anemia (kadar Hb < 7.0 g/dL), disarankan untuk
transfusi PRC dengan target Hb 9.0 pada orang dewasa. Atau pada keadaan
trombositopenia, transfusi TC diberikan ketika jumlah platelet <10,000 tanpa
adanya pendarahan, atau <20,000 pada pasien dengan risiko pendarahan, atau
<50,000 pada pasien dengan pendarahan aktif atau yang akan menjalani prosedur
operasi1,12.
Untuk keadaan hiperglikemia reaktif pada pasien sepsis, terapi insulin
diindikasikan pada saat pemeriksaan gula darah sebanyak 2 kali berturut-turut
menunjukkan angka > 180 mg/dL. Target gula darah yang dicapai yaitu 180

10

mg/dL bukan lagi 110 mg/dL dikarenakan peningkatan insidensi hipoglikemia


pada kelompok pasien dengan gula darah terkontrol di bawah 110 mg/dL1,15.
Untuk nutrisi, disarankan agar nutrisi diberikan melalui jalur oral atau
enteral sesuai dengan toleransi pasien dalam 48 jam setelah diagnosis dari sepsis
atau syok sepsis. Jumlah kalori yang disarankan adalah kalori rendah (low dose
feeding) yaitu sekitar 500 kalori per hari1.

11

BAB III
KESIMPULAN
Sepsis didefinisikan sebagai kondisi yang memenuhi 2 atau lebih kriteria SIRS
(Systemic Inflammatory Response Syndrome) disertai dengan infeksi baik yang telah
terdokumentasi ataupun yang masih dicurigai. Sepsis berat adalah keadaan sepsis yang
telah menimbulkan disfungsi organ atau hipoperfusi jaringan. Sedangkan syok sepsis
adalah keadaan di mana telah terjadi hipotensi yang refraktori terhadap resusitasi cairan
yang adekuat (mencapai 30 ml/Kg berat badan). Walaupun penelitian dan
perkembangan teknologi di bidang kedokteran sudah maju, angka kematian oleh karena
sepsis masih cukup tinggi yaitu mencakup sekitar 20-50%.
Penanganan sepsis membutuhkan respon yang cepat dan kesadaran dari dokter
yang merawat untuk mengidentifikasi gejala dari sepsis. Tata laksana sepsis terbagi
menjadi 3 jam pertama dan 6 jam pertama setelah diagnosis dari sepsis. Dalam 3 jam
pertama, disarankan untuk mengambil sampel darah untuk kultur dan mengukur level
laktat yang cukup berguna untuk monitor dari respon terapi. Pasien disarankan untuk
menjalani perawatan di ICU. Terapi antibiotik harus segera dimulai dan diharapkan
prosedur lain seperti pengumpulan sampel tidak menunda pemberian antibiotik karena
waktu merupakan hal yang penting dalam penanganan sepsis. Dalam 6 jam penanganan
difokuskan untuk menangani apabila pasien mengalami sepsis berat atau syok sepsis.
Identifikasi sepsis dan penanganan dalam waktu yang cepat akan sangat
membantu dalam meningkatkan kualitas hidup dari pasien sepsis.

12

DAFTAR PUSTAKA
1. Dellinger RP, et al. Surviving Sepsis Campaign: International Guidelines for
Management of Severe Sepsis and Septic Shock: 2012. Crit Care Med. 2013;
Vol. 41 (2): 580-613.
2. Angus DC, van der Poll T. Severe Sepsis and Septic Shock. N Eng J Med. 2013;
Vol. 369 (9): 840-51.
3. Kaukonen KM, Bailey M, Pilcher D, Cooper J, Bellomo R. Systemic
Inflammatory Response Syndrome Criteria in Defining Severe Sepsis. N Eng J
Med. 2015; Vol. 372 (17): 1629-38.
4. Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J.
Harrisons Principles of Internal Medicine. 18th ed. New York: The McGrawHill Companies, Inc. 2012. 18(2): 2223-32.
5. Han J, Cribbs SK, Martin GS. Sepsis, Severe Sepsis, and Septic Shock. In: Hall
JB, Schmidt GA, Kress JP. eds. Principles of Critical Care. 4th ed. New York:
The McGraw-Hill Companies, Inc. 2015.
6. Martin GS, Mannino DM, Eaton S, Moss M. The Epidemiology of Sepsis in the
United States from 1979 Through 2000. N Eng J Med. 2003; Vol 348:1546-54.
7. Angus DC, Linde WT, Lidicker J, Clermont G, Carcillo J, Pinsky MR.
Epidemiology of Severe Sepsis in the United States: Analysis of Incidence,
Outcome, and Associated Costs of Care. Crit Care Med. 2001; Vol. 29: 1303-10.
8. Dombrovskiy VY, Martin AA, Sunderram J, Paz HL. Rapid Increase in
Hospitalization and Mortality Rates for Severe Sepsis in the United States: A
Trend Analysis From 1993 to 2003. Crit Care Med. 2007; Vol. 35:1242-8.
9. Lagu T, Rothberg ME, Shieh MS, Pekow PS, Steingrub JS, Lindenauer PK.
Hospitalizations, Costs, and Outcomes of Severe Sepsis in United States 2003 to
2007. Crit Care Med. 2012; Vol. 40: 754-6.
10. Opal SM, et al. Systemic Host Response in Severe Sepsis Analyzed by
Causative Microorganism and Treatment Effects of Drotrecogin Alfa. Clin Infect
Dis. 2003; Vol.37: 50-8.
11. Vincent JL, Rello J, Marshall J. International Study of the Prevalence and
Outcomes of Infection in Intensive Care Unit. JAMA. 2009; Vol. 302: 2323-9.
12. Rivers E, et al. Early Goal-directed Therapy in the Treatment of Severe Sepsis
and Septic Shock. N Engl J Med. 2001; Vol. 345: 1368.

13

13. Paul M, Benuri-Silbiger I, Soares-Weiser K, Leibovici L. Beta Lactam


Monotherapy Versus Beta Lactam-Aminoglycoside Combination Therapy for
Sepsis in Immunocompetent Patients: Systematic Review and Meta-analysis of
Randomised Trials. BMJ. 2004; Vol. 328: 668.
14. De Backer D, et al. Comparison of Dopamine and Norepinephrine in the
Treatment of Shock. N Eng J Med. 2010; Vol. 362: 779.
15. McCowen KC, Malhotra A, Bistrian BR. Stress-induced Hyperglycemia. Crit
Care Clin. 2001; Vol. 17:107.

14

Anda mungkin juga menyukai