Anda di halaman 1dari 14

Appendisitis Akut

1. Anatomi
Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10cm (315cm), yang berisi jaringan limfoid. Apendiks muncul dari bagian posteromedial dari
sekum dibawah ileocecal junction. Lumennya lebih sempit di bagian proksimal dan
melebar di bagian distal. Pada sebagian besar orang apendiks terletak intraperitoneal
sehingga memungkinkan apendiks bergerak dan ruang geraknya bergantung pada
panjang mesoapendiks penggantungnya. Pada kasus lain, apendiks terletak
retroperitoneal, yaitu dapat di belakang sekum, di belakang kolon asendens, di tepi
lateral kolon asendens.
Persarafan parasimpatis berasal dari cabang nervus vagus, sedangkan
persarafan simpatis berasal dari nervus torakalis X. Oleh karena itu nyeri visceral
pada apendisitis bermula di sekitar umbilicus. Pendarahan apendiks berasal dari arteri
apendikularis yang merupakan arteri tanpa kolateral. Arteri ini merupakan cabang dari
arteri ilecolic caband dari arteri mesenterika superior. Darah dari apendiks akan
mengalir ke vena ilecolic yang akan menuju ke vena mesenterika superior.

Gambar 1. Posisi Appendiks

2. Epidemiologi

Apendisitis akut paling sering terjadi pada dekade kedua hingga keempat,
dengan rata-rata umur 31 tahun dan median umur 22 tahun. Sedikit lebih sering terjadi
pada laki-laki (1,3:1). Walaupun dengan perkembangan pemeriksaan penunjang
dalam membantu diagnosa apendiks, angka kesalahan diagnosis tetap konstan.
Persentase kesalahan diagnosis jauh lebih tinggi pada pasien perempuan.
3. Etiologi
Appendisitis akut merupakan suatu infeksi dari bakteri. Faktor utama yang
mencetuskan terjadinya infeksi ini adalah akibat adanya sumbatan pada pada lumen
appendiks. Sumbatan ini paling sering terjadi akibat adanya fekalit, penyebab lain
adalah adanya hiperplasia jaringan limfe, tumor appendiks, biji-biji sayuran atau
buah-buahan, maupun adanya parasit di lumen appendiks. Penyebab lain yang diduga
dapat menimbulkan appendisitis adalah adanya erosi mukosa yang disebabkan oleh
parasit seperti E.hystolitica.
Kebiasaan makan makanan rendah serat dan konstipasi juga memiliki
pengaruh dalam menimbulkan terjadinya appendisitis. Konstipasi dapat meningkatkan
tekanan intrasekal, yang dapat berakibat terjadinya sumbatan fungsional pada
appendiks dan dapat meningkatkan pertumbuhan flora normal pada kolon.
Bakteri yang menyebabkan apendisitis adalah flora normal pada apendiks
yang jenisnya sama dengan flora normal di kolon. Bakteri yang paling sering
ditemukan sebagai penyebab apendisitis perforata dari hasil kultur adalah Escherichia
coli dan Bacteroides fragilis. Namun, variasi yang luas dari bakteri fakultatif dan
anaerob dapat ditemukan. Apendisitis merupakan infeksi polimikrobial.
Tabel 1. Common Organisms Seen in Patients with Acute Appendicitis
Aerobic and Facultative

Anaerobic

Gram-negative bacilli

Gram-negative bacilli

E. coli

Bacteroides fragilis

Pseudomonas aeruginosa

Bacteroides species

Klebsiella species

Fusobacterium species

Gram-positive cocci

Gram-positive cocci

Streptococcus anginosus

Peptostreptococcus species

Streptococcus species

Gram-positive bacilli

Enterococcus species

Clostridium species

4. Patofisiologi

Peradangan pada appendisitis dimulai dari mukosa yang kemudian dapat


melibatkan seluruh dinding appendiks dalam waktu 24-48 jam sejak dimulainya
peradangan. Obstruksi pada proksimal apendiks akan menghasilkan suatu obstruksi
yang tertutup, dan sekresi dari apendiks yang terus berlangsung akan mengakibatkan
terjadinya distensi lumen apendiks. Kapasitas lumen apendiks normal adalah 0,1 mL.
Distensi dari apendiks akan merangsang saraf-saraf visceral yang akan menyebabkan
terjadinya nyeri difus yang tumpul di daerah abdomen tengah dan daerah epigastrium.
Distensi akan terus berlanjut karena sekresi dari mukosa apendiks, dan diikuti dengan
adanya multiplikasi dari bakteri di apendiks. Distensi lanjut ini biasanya akan
menyebabkan terjadinya mual dan muntah, serta nyeri yang bertambah parah.
Peningkatan tekanan pada organ apendiks ini suatu saat akan melewati tekanan vena.
Kapiler dan vena mengalami oklusi, namun aliran arteriolar masih terus berjalan,
mengakibatkan terjadinya pembesaran dan kongesti vaskular. Proses peradangan akan
berlanjut dan sampai ke lapisan serosa dari apendiks dan peritoneum parietal, yang
menyebabkan berpindahnya

nyeri ke kanan bawah. Mukosa dari traktus

gastrointestinal, termasuk apendiks, rentan terhadap gangguan dari suplai darah,


sehingga integritas mukosa dapat terganggu sejak awal, memudahkan invasi dari
bakteri. Distensi dan invasi bakteri yang terus berlangsung, ditambah dengan adanya
gangguan suplai darah, akan terjadi proses infark dan dapat terjadi perforasi.
Rangkaian kejadian ini adalah sesuatu yang tidak terelakkan, namun, pada beberapa
kejadian apendisitis akut dapat mereda dengan sendirinya. Pada beberapa pasien yang
dilakukan apendektomi memiliki riwayat penyakit yang sama, namun dengan nyeri
yang lebih ringan. Pemeriksaan patologis pada pasien seperti ini biasanya ditemukan
adanya penebalan dan jaringan parut, yang menunjukkan adanya inflamasi lama yang
telah sembuh.
Tubuh juga memiliki mekanisme pertahanan tubuh untuk menekan proses
peradangan, dengan menutup appendiks dengan jaringan disekitarnya seperti
omentun, usus halus, atau adneksa sehingga terpada massa periapendikuler atau yang
dikenal sebagai infiltrate appendiks.
Pada massa periapendikuler ini dapat terjadi nekrosis jaringan yang dapat
membentuk abses dan dapat mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk abses,
appendisitis dapat sembuh dan massa periapendikuler akan menjadi tenang dan
selanjutnya dapat mengurai diri secara lambat. Appendiks yang meradang tidak akan
sembuh sempurna, tapi membentuk jaringan parut yang akan mengalami perlengketan

dengan jaringan sekitar. Perlengketan ini akan sering memberikan keluhan berulang,
dan suatu saat orga ini dapat kembali meradang dan mengalami eksaserbasi akut.
5. Manifestasi Klinis
Gejala klasik dari appendisitis adalah nyeri samar-samar dan tumpul yang
merupakan nyeri visceral di daerah epigastrium dan sekitar umbilicus. Dalam 6-8 jam
(1-12 jam), nyeri ini akan berpidan ke kanan bawah (titik McBurney). Di sini nyeri
akan dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya, yang merupakan nyeri somatic
setempat. Gejala klasik tidak selalu terjadi, kadang nyeri tidak diawali dengan nyeri di
epigastrium. Nyeri juga dipengaruhi oleh letak apendiks. Bila letak appendiks
retrosekal retroperitoneal, appendiks akan terlindungi oleh sekum sehingga tanda
nyeri perut kanan tidak begitu jelas dan tidak ada tanda rangsangan peritoneal. Nyeri
mungkin akan dirasakan pada perut sisi kanan yang terutama timbul saat pasien
berjalan karenan adanya kontraksi dari m.psoas mayor yang menegang dari dorsal.
Nyeri juga mungkin dirasakan pada pinggang atau punggung.
Appendiks yang terletak di rongga pelvis, nyeri dapat dirasakan di suprapubis
dan dapat menimbulkan gejala dan tanda perangsangan pada sigmoid atau rectum
sehingga dapat menyebabkan meningkatnya peristalsis, pengosongan rectum lebih
cepat dan berulang-ulang. Jika appendiks merangsang kandung kemih dapat muncul
keluhan meningkatnya frekuensi berkemih. Apendiks retroileal mungkin dapat
menyebabkan rasa nyeri pada daerah testis.
Anoreksia hampir selalu didapatkan pada pasien dengan apendisitis sehingga
jika tidak ditemukan adanya anoreksia mungkin diagnosis apendisitis perlu
dipertanyakan. Muntah juga sering ditemukan namun biasanya tidak berat dan hanya
satu atau dua kali. Nyeri perut juga biasanya diawali dengan adanya konstipasi, dan
penderita akan merasa lebih nyaman jika buang air besar. Namun, bisa juga
ditemukan diare pada pasien apendisitis terutama pada anak-anak. Bila sudah terdapat
perangsangan peritoneum pasien akan mengeluh sakit perut jika batu ataupun
berjalan.
Urutan kejadian juga dapat membantu dalam menegakkan diagnosis
apendisitis. Biasanya gejala akan dimulai dengan anoreksia yang diikuti dengan nyeri
perut, yang kemudian diikuti muntah jika ada. Jika munculnya gejala muntah
mendahului nyeri perut, mungkin perlu dipikirkan diagnosa lain.
Gejala appendisitis akut pada anak tidak spesifik. Awalnya anak hanya terlihat
rewel dan tidak mau makan. Anak-anak sering tidak bisa mendeskripsikan rasa nyeri

yang dirasakannya. Dalam beberapa jam setelah muncul gejala nyeri, dapat timbul
muntah-muntah dan anak menjadi lemah dan letargik. Oleh sebab itu appendisitis
pada anak sering diketahui setelah terjadi perforasi. Appendisitis pada orang usia
lanjut juga memberikan gejala yang tidak spesifik, sehingga sering juga ditemukan
setelah adanya perforasi.
Pada kehamilan, keluhan utama appendisitis adalah nyeri perut, mual, dan
muntah. Yang perlu diingat bahwa pada kehamilan tanpa appendisitis trimester
pertama juga dapat ditemukan keluhan mual dan muntah. Pada kehamilan lanjut,
sekum dan appendiks terdorong ke kraniolateral sehingga keluhan nyeri tidak
dirasakan di perut kanan bawah tetapi di daerah region lumbal kanan.
Pemeriksaan fisik akan sangat dipengaruhi oleh letak apendiks yang
mengalami peradangan dan juga keadaan apendiks sewaktu diperiksa, apakah sudah
terdapat perforasi. Tanda-tanda vital pasien apendiks tidak banyak mengalami
perubahan. Peningkatan suhu tidak lebih dari 1C. Bila ditemukan suhu yang lebih
tinggi, perlu dicurigai telah terjadinya perforasi. Mungkin didapatkan sedikit
peningkatan frekuensi nadi. Pasien cenderung pada posisi supine dengan posisi kaki,
terutama kaki kanan, dinaikkan. Jika disuru bergerak pasien biasanya akan bergerak
pelan-pelan karena nyeri akan bertambah dengan adanya pergerakan.
Pada inspeksi abdomen, dapat ditemukan perut yang tampak lebih cembung
pada pasien yang telah mengalami perforasi, atau dapat terlihat adanya penonjolan
pada perut kanan bawah yang mungkin merupakan masa atau abses periapendikuler.
Pada palpasi dapat ditemukan nyeri tekan yang terbatas pada region iliaca kanan, dan
dapat pula disertai dengan nyeri lepas. Adanya defans muskuler menunjukkan adanya
rangsangan peritoneum parietal. Pada awalnya defans muskuler biasanya bersifat
volunter yang dicetuskan oleh rangsangan, namun jika peradangan peritoneum sudah
luas defans dapat menjadi involunter. Pada penekanan perut kiri bawah akan
dirasakan nyeri pada perut kanan bawah (Rovsing sign). Pada appendiks yang
letaknya retrosekal atau retroileal mungkin diperlukan palpasi yang lebih dalam untuk
menentukan adanya rasa nyeri.
Peristalsis usus sering ditemukan normal, namun dapat berkurang atau hilang
akibat adanya ileus paralitik pada peritonitis generalisata akibat appendisitis perforata.
Pada pemeriksaan colok dubur dapat ditemukan nyeri tekan pada appendiks sesuai
dengan posisi appendiks jika memang jari telunjuk dapat mencapai daerah tersebut.
Pada appendiks pelvika tanda perut sering meragukan maka kunci diagnosis adalah
nyeri pada waktu colok dubur. Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator merupakan
pemeriksaan yang lebih ditujukan untuk mengetahui letak appendiks. Uji psoas

dilakukan dengan rangsangan otot polos lewat hiperekstensi sendi panggul kanan atau
fleksi aktif sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila appendiks yang
meradang menempel pada m.psoas mayor, tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri.
Uji obturator digunakan untuk melihat apakah appendiks yang meradang mengalami
kontak dengan m.obturator interna. Gerakan fleksi dan endorotasi dari sendi panggul
pada posisi terlentang akan menimbulkan nyeri pada appendisitis pelvika.

Gambar 2. Posisi appendiks pada kehamilan

6. Diagnosis
Penegakkan diagnosis appendisitis akut sebenarnya bisa dilakukan dari
anamnesa dan pemeriksaan fisik yang teliti, namun masih ada kemungkinan kesalah
diagnosis. Kesalahan terutama didapatkan pada pasien perempuan, karena kelainan
ginekologik lain dapat memberikan gambaran yang mirip. Untuk menurukan kesalah
diagnosis dapat dilakukan observasi pasien di rumah sakit selama 1-2 jam.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain pemeriksaan jumlah
leukosit. Pada apendisitis biasanya terdapat leukositosis ringan 10.000-18.000/mm3,
dengan dominan sel polimorfonuklear. Urinalisis mungkin dapat membantu untuk
menyingkirkan sumber infeksi dari traktus urinarius.
Foto polos abdomen merupakan salah satu pemeriksaan yang sering dilakukan
untuk mengevaluasi pasien dengan gawat abdomen, namun kurang berperan untuk
apendisitis. Pada apendisitis mungkin ditemukan pola gas yang abnormal, namun
tidak spesifik. Fekalit di lumen apendiks jarang terlihat pada foto polos abdomen,
namun jika ditemukan sangat mendukung diagnosa apendisitis.

Ultrasonografi merupakan pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan.


Pada ulstrasonografi apendiks akan tampak sebagai tabung tak berujung, yang muncul
dari sekum dan nonperistaltik dengan ukuran 5mm atau kurang. Peneamuan gambaran
apendiks yang normal pada pemeriksaan USG dapat menyingkirkan diagnosis
apendisitis, dan dapat dilakukan pemeriksaan rongga abdomen secara keseluruhan
untuk mencari diagnosis lain. Penemuan pada USG yang perlu dicurigai adanya
apendisitis yaitu ukuran anteroposterior apendiks 6mm, adanya apendikolit,
penebalan dinding apendiks, adanya cairan periapendikuler. Namun terkadang
apendiks tidak terlihat pada USG. Pemeriksaan USG pada apendisitis memiliki
sensitivitas 55-96% dan spesifitas 85-98%. Namun pemeriksaan USG sangat
bergantung pada yang melakukan pemeriksaan. Pemeriksaan USG bisa dilakukan
pada wanita hamil dan anak-anak.
Pada pemeriksaan CT Scan, apendiks tampak melebar (>5mm), terdapat
penebalan dinding apendiks, tanda-tanda peradangan, penebalan mesoapendiks, dan
mungkin terdapat gambaran phlegmon. Fekalit dapat dengan mudah terlihat namun
tidak patognomik. Pemeriksaan CT Scan mahal dan memiliki tingkat radiasi tinggi
sehingga tidak bisa dilakukan pada ibu hamil.
Alvarado Scale dapat digunakan untuk menegakkan diagnosa apendisitis dan
membantu dalam menentukan apakah pasien membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut.
Pasien dengan skor Alvarado 9-10 hampir pasti adalah apendisitis, sehingga
pemeriksaan penunjang tidak dibutuhkan, dan lebih baik dilakukan operasi. Pasien
dengan skor 7-8 kemungkinan besar adalah apendisitis, sedangkan skor 5-6 berarti
gambaran pasien sesuai dengan apendisits tapi tidak diagnostic. Skor 0-4
menunjukkan kemungkinan besar bukan apendisitis, namun bukan tidak mungkin
pasien menderita apendisitis. Pemeriksaan CT Scan perlu dilakukan pada pasien
dengan skor 5-6, dan dapat dilakukan juga pada pasien dengan skor 7-8.

Tabel 2. Alvarado Scale for the Diagnosis of Appendicitis

Symptoms

Signs

Manifestations

Value

Migration of pain

Anorexia

Nausea/vomiting

RLQ tenderness

Rebound

Elevated temperature 1
Laboratory values Leukocytosis
Left shift

2
1
Total Points 10

7. Diagnosis Banding
A. Gastrointestinal
Gastroenteritis akut. Mual, muntah dan diare mendahului rasa sakit. Sakit perut
lebih ringan dan lebih difus. Lokasi nyeri tidak jelas,dan berpindah-pindah.
Sering ditemukan adanya hiperperitalsis usus. Demam dan leukositosis kurang
menonjol dibandingkan dengan appendisitis akut.
Limfadenitis Mesenterika. Biasanya didahului oleh gastroenteritis ditandai
dengan nyeri perut, dan perasaan mual, nyeri tekan. Pada pemeriksaan USG,
dapat terlihat kelenjar limfe yang membesar pada regio mesenterika ileal
bersamaan dengan menebalnya dinding ileum. Appendiks terlihat normal
sehingga membantu untuk menghindari terjadinya pembedahan yang tidak perlu.
Divertikulitis Meckel. Terdapat keluhan nyeri dan nyeri tekan abdomen yang
terpusat pada regio periumbilical.
Intususepsi. Rasa nyeri pada abdomen yang timbul berupa kolik, dengan periode
bebas nyeri, dan tidak adanya tanda-tanda dari peritonitis.
Kolitis. Biasanya terdapat diare, dan nyeri mengikuti lintasan usus besar.
Penyakit saluran cerna lain. Perforasi tukak duodenum atau lambung,
kolesistitis akut, pancreatitis, diverticulitis kolon, obstruksi usus, perforasi kolon,
demam typhoid, karsinoid atau mukokel apendiks, tumor caecum.

B. Traktus Urinarius

Urolitiasis kanan. Ada riwayat kolik dari pinggang yang dapat menjalar ke
bagian perut. Sering ditemukan eritrosit pada urinalisis. Foto polos atau pyelografi
intravena dapat dilakukan untuk mencari adanya batu.
Pyelonefritis. Nyeri dan nyeri tekan pada pyelonephritis biasa dirasakan pada
daerah panggul. Terdapat demam tinggi dan leukositosis, juga terdapat pyuria.
C. Traktus Respiratorius
Basal pneumonia kanan.
Efusi pleura kanan.
D. Sistem Kardiovaskular
Ruptur Aneurisma aorta abdominalis.
Trombosis mesenterika.
E. Sistemik
Demam Dengue. Dapat dimulai dengan nyeri perut yang mirip dengan peritonitis.
Pada penyakit ini dapat ditemukan hasil tes Rumple Leede positif, adanya
trombositopenia, dan hematokrit yang meningkat.
F. Wanita
Kelainan Ovulasi. Ovulasi mungkin memberikan gambaran nyeri perut kanan bawah
pada pertengahan siklus menstruasi. Pada anamnesis, ditemukan adanya nyeri yang
sama pernah timbuh sebelumnya. Tidak ada tanda-tanda radang, nyeri biasanya hilang
dalam 24 jam, tetapi dapat juga mengganggu selama dua hari.
Infeksi Panggul. Salpingitis akut kanan sering mirip dengan apendisitis akut. Suhu
biasanya lebih tinggi, dan nyeri perut lebih difus. Biasanya juga disertai dengan gejala
keputihan dan adanya infeksi di saluran kemih. Pada pemeriksaan colok vagina, akan
didapatkan nyeri hebat pada panggul jika uterus diayunkan. Pada gadis dapat
dilakukan pemeriksaan colok dubur untuk membandingkan.
Kehamilan ektopik. Hampir selalu ada riwayat terlambat haid dengan keluhan yang
tidak menentu. Nyeri mendadak difus di daerah pelvis dan dapat terjadi syok
hipovolemik akibat perdarahan. Pada pemeriksaan colok vagina didapatkan nyeri dan
penonjolan pada rongga Douglas.
Torsi kista ovarium. Nyeri mendadak dengan intensitas tinggi dan teraba massa
dalam rongga pelvis pada pemeriksaan perut, colok vagina, atau colok dubur. Tidak
terdapat demam. Pemeriksaan USG dapat membantu.
Endometriosis eksterna. Endometrium di luar rahim akan memberikan keluhan nyeri
di tempat endometriosis berada, dan darah menstruasi terkumpul di tempat itu karena
tidak ada jalan keluar.

8. Tatalaksana
Bila diagnosis klinis sudah jelas, tindakan paling tepat dan merupakan satusatunya pilihan terbaik ialah appendektomi. Pada apendisitis tanpa komplikasi
biasanya tidak perlu diberikan antibiotic, kecuali pada apendisitis gangrenosa atau
apendisitis perforata. Namun kebanyakan ahli bedah rutin memberikan antibiotik pada
pasien dengan apendisitis. Pada pasien dengan apendisitis tanpa komplikasi, tidak
ditemukan adanya keuntungan memberikan antibiotic lebih dari 24 jam sedangkan
pada pasien dengan apendisitif perforate atau gangrenosa pemberian antibiotik dapat
dilanjutkan hingga pasien afebril dan jumlah leukosit kembali normal. Penundaan
tindakan operasi dapat menyebabkan terjadinya pembentukan abses yang dapat
mengakibatkan terjadinya perforasi. Apendektomi dapat dilakukan secara terbuka
maupun secara laparoskopi.

Tabel 3. Macam-macam Insisi untuk apendektomi

Insisi Grid Iron (McBurney Incision)


Insisi Gridiron pada titik McBurney. Garis
insisi parallel dengan otot oblikus eksternal,
melewati titik McBurney yaitu 1/3 lateral
garis yang menghubungkan spina liaka
anterior superior kanan dan umbilikus.

Lanz transverse incision


Insisi dilakukan pada 2 cm di bawah pusat,
insisi transversal pada garis miklavikulamidinguinal.

Mempunyai

keuntungan

kosmetik yang lebih baik dari pada insisi


grid iron.

Rutherford

Morissons

incision

(insisi

suprainguinal)
Merupakan insisi perluasan dari insisi
McBurney. Dilakukan jika apendiks terletak
di parasekal atau retrosekal dan terfiksir.

Low Midline Incision


Dilakukan jika apendisitis sudah terjadi
perforasi dan terjadi peritonitis umum.

Insisi paramedian kanan bawah


Insisi vertikal paralel dengan midline, 2,5 cm
di bawah umbilikus sampai di atas pubis.

9. Komplikasi
Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik perforasi
bebas maupun perforasi pada apendiks yang telah mengalami pendindingan.
Massa periapendikuler. Massa apendiks terjadi bila apendisitis gangrenosa atau
mikroperforasi ditutupi atau dibungkus oleh omentum dan atau lekuk usus halus. Pada
massa periapendikluer yang pendindingannya belum sempurna, dapat terjadi
penyebaran pus ke seluruh rongga peritoneum sehingga dapat terjadi peritonitis
purulenta generalisata. Oleh karena itu, massa periapendikuler yang masih bebas
disarankan untuk segera dilakukan operasi untuk mencegah penyulit tersebut. Selain
itu, operasi masih lebih mudah. Pada anak selamanya dipersiapkan untuk operasi

dalam waktu 2-3 hari saja. Pasien dewasa dengan masa periapendikuler yang telah
mengalami pendindingan sempurna, dianjurkan untuk dirawat dahulu dan diberi
antibiotik sambil diawasi suhu tubuh, ukuran massa, serta luasnya peritonitis. Bila
suda tidak ada demam, massa periapendikuler hilang dan leukosit normal, penderita
boleh pulang dan apendektomi efektif dapat dikerjakan 2-3 bulan kemudian agar
perdarahan akibat perlengketan dapat ditekan sekecil mungkin. Bila terjadi perforasi,
akan terbentuk abses apendiks. Hal ini ditandai dengan adanya kenaikan suhu tubuh
dan frekuensi nadi, bertambahnya nyeri, dan teraba pembengkakan massa, serta
bertambahnya jumlah leukosit.
Apendektomi direncanakan pada massa periapendikuler tanpa pus yang telah tenang.
Sebelumnya pasien diberikan antibiotik kombinasi yang aktif terhadap kuman aerob
dan anaerob. Setelah keadaan tenang, yaitu biasanya sekitar 6-8 minggu kemudian,
dilakukan apendektomi. Pada anak kecil, wanita hamil, dan penderita usia lanjut yang
diagnosanya tidak jelas, bila terapi secara konservatif tidak membaik dianjurkan
untuk dilakukan operasi secepatnya. Jika sudah terjadi abses, dianjurkan untuk
dilakukan drainase dan apendektomi dapat dilakukan 6-8 minggu kemudian.
Apendisitis perforata. Adanya fekalit dalam lumen, faktor umur, dan keterlambatan
diagnosis, merupakan faktor yang berperan dalam terjadinya perforasi apendiks.
Insidens perforasi dilaporkan 60% pada penderita di atas uisa 60 tahun. Faktor yang
mempengaruhi tingginya insidens perforasi pada orang tua adalah gejalanya yang
samar, keterlambatan berobat, adanya perubahan anatomi apendiks berupa
penyempitan lumen, dan arteriosklerosis. Insidens tinggi pada anak disebabkan oleh
dinding

apendiks

yang

masih

tipis,

anak

kurang

komunikatif

sehingga

memperpanjang waktu diagnosis, dan proses pendindingan kurang sempurna akibat


perforasi yang berlangsung cepat dan omentum anak belum berkembang. Perforasi
apendiks akan mengakibatkan peritonitis purulenta yang ditandai dengan demam
tinggi, nyeri makin hebat yang meliputi seluruh perut, dan perut menjadi tegang dan
kembung. Nyeri tekan dan defans muskuler di seluruh perut, mungkin dengan
pungtum maksimum di region iliaka kanan, peristalsis usus menurun sampai
menghilang. Abses rongga peritoneum bisa terjadi bilamana pus yang menyebar bisa
dilokalisasi, paling sering di rongga pelvis dan subdiafragma. Adanya massa
intraabdomen yang nyeri disertai demam harus dicurigai abses.
Perbaikan keadaan umum dengan infuse, pemberian antibiotic untuk bakteri gram
positif, negatif, dan anaerob, serta pemasangan pipa nasogastrik perlu dilakukan
sebelum pembedahan. Perlu dilakukan laparatomi dengan insisi yang panjang agar

dapat dilakukan pencucian rongga peritoneum dari pus maupun pengeluaran fibrin
yang adekuat secara mudah, begitu pula pembersihan kantong nanah. Akhir-akhir ini
mulai berkembang pengelolaan apendisitis perforata dengan laparaskopi.
10. Prognosis
Mortalitas apendisitis di Amerika sudah menurut dari 9,9 per 100.000 pada
tahun 1939 menjadi 0,2 per 100.000 tahun 2010. Penurunan angka mortalitas ini
merupakan peran dari berkembangnya anestesi, antibiotic, cairan intravena, dan
produk darah. Hal utama yang berpengaruh pada angka mortalitas adalah apakah
perforasi terjadi sebelum dilakukannya operasi dan umur pasien. Angka mortalitas
pada pasien dengan apendisitis yang mengalami perforasi dilaporkan sekitar 1%,
sedangkan appendisitis dengan perforasi pada lansia diaporkan sekitar 5%. Kematian
disebabkan sepsis tidak terkontrol akibat peritonitis, abses intraabdomen, atau
septicemia bakteri gram negative. Emboli pulmonal juga dilaporkan menjadi
penyebab kematian pada beberapa kasus.
Morbiditas juga meningkat akibat perforasi apendiks dan juga pada umur yang
lebih tua. Komplikasi yang sering dihadapi antara lain abses dan infeksi pada luka
bekas operasi. Infeksi luka operasi cukup sering ditemukan tetapi biasanya hanya
terbatas pada jaringan subkutis dan memberikan respon yang cukup baik dengan
melakukan drainase luka. Luka operasi juga akan menjadi faktor predisposisi
terjadinya kegagalan penutupan luka. Hal ini juga tergantung dari jenis insisi.
Insiden terjadinya abses akibat infeksi peritoneal dan perforasi apendiks sudah
menurun dengan ditemukannya antibiotik yang poten. Perlengketan usus yang dapat
menyebabkan terjadinya obstruksi juga ditemukan setelelah tindakan apendektomi
tapi jarang. Insiden hernia inguinalis meningkat tiga kali lebih banyak pada pasien
yang pernah dilakukan apendektomi.

REFERAT
APPENDICITIS AKUT

Pembimbing : dr.Cosmas Gora Triaswhoro, SpBD


Oleh : Sharindra W (2010.061.050)
Budi Darmawan (2011.061.081)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


PERIODE 06 AGUSTUS 20 OKTOBER 2012
RS ST.CAROLUS

Anda mungkin juga menyukai