Anda di halaman 1dari 17

REFERAT

ETIOLOGI dan PATOFISIOLOGI


KARSINOMA NASOFARING
Kepaniteraan Klinik Stase Ilmu Penyakit THT

Pembimbing:
dr. Pulo Raja Soaloon Banjarnahor, SpTHT

Oleh:
Patricia Christiani Untoro
07120100016
Fakultas Kedokteran
Universitas Pelita Harapan

1|Page

BAB I
PENDAHULUAN

Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang paling banyak dijumpai di
antara tumor ganas THT di Indonesia, dimana karsinoma nasofaring termasuk dalam lima
besar tumor ganas , dengan frekuensi tertinggi (bersama tumor ganas serviks uteri, tumor
payudara, tumor getah bening dan tumor kulit), sedangkan didaerah kepala dan leher
menduduki tempat pertama ( KNF mendapat persentase hampir 60% dari tumor di daerah
kepala dan leher, diikuti tumor ganas hidung dan sinus paranasal 18%, laring 16%, dan tumor
ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam persentase rendah).1,2,3
Kendala yang dihadapi dalam penanganan karsinoma nasofaring adalah
sebagian besar penderita datang pada stadium lanjut, bahkan sebagian lagi datang dengan
keadaan umum yang jelek. Hal ini disebabkan terlambatnya diagnosa ditegakkan, maka perlu
ditekankan akan pentingnya menemukan dan menegakkan diagnosa sedini mungkin.
Sampai saat ini terapi yang memuaskan belum ditemukan. Keberhasilan terapi sangat
ditentukan oleh stadium penderita. Keterlambatan penderita untuk mendapatkan penanganan
yang adekuat menyebabkan hasil terapi jauh dari memuaskan.
Survei yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan pada tahun 1980 secara
pathology based mendapatkan angka prevalensi karsinoma nasofaring 4,7 per 100.000
penduduk atau diperkirakan 7000 8000 kasus per tahun di seluruh Indonesia.

2|Page

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Definisi
Carcinoma adalah pertumbuhan baru yang ganas terdiri dari sel-sel epithelial yang
cenderung

menginfiltrasi

jaringan

sekitarnya

dan

menimbulkan

metastasis.

(DORLAND.2002)
Nasofaring merupakan suatu rongga dengan dinding kaku di atas, belakang dan lateral
yang secara anatomi termasuk bagian faring.
Nasopharyngeal carcinoma merupakan tumor ganas yang timbul pada epithelial
pelapis ruangan dibelakang hidung (nasofaring) dan ditemukan dengan frekuensi tinggi di
Cina bagian selatan(DORLAND.2002)

Epidemiologi
Karsinoma nasofaring merupakan keganasan yang jarang terjadi hampir di seluruh bagian
dunia dengan angka prevalensi kurang dari 1/100.000. Angka kejadian tertinggi yang dilaporkan
terjadi di negara Cina bagian selatan. Provinsi Guoangdong di bagian Selatan Cina memiliki angka
kejadian karsinoma nasofaring tertinggi, yakni kurang lebih 20 hingga 40 kasus per 100.000
penduduk. Menysusul setelah negara Cina ialah Singapore (15/100.000), Malaysia (9,7/100.000),
Vietnam (7,5/100.000), Taiwan (7/100.000) dan Filipina (6,4/100.000) penduduk.2
Karsinoma nasofaring merupakan jenis kegansan yang sering terjadi di Indonesia. Dimana
jenis keganansan ini menduduki 4 jenis keganasan tertinggi yang terjadi di Indonesia setelah
karsinoma serviks, kanker payudara, dan kanker kulit. Penyakit ini 100% dihubungkan dengan infeksi
virus Epstein Barr (EBV). Angka kejadian karsinoma nasofaring di indonesia ialah sebesar
6,2/100.000 penduduk atau sekitar 12.000 kasus baru per tahun. Namun, sangat disayangkan bahwa
banyak penderita karsinoma nasofaring ini tidak terdaftar karena minimnya fasilitas kesehatan di
daerah pedesaan dan kurangnya pengetahuan masyarakat awam akan penyakit ini.2

3|Page

Anatomi
Nasofaring merupakan rongga dengan dinding kaku di atas, belakang dan lateral. Batasbatas nasofaring yaitu batas atas (atap) adalah os sphenoid dan sebagian prosessus basilaris,
batas anterior adalah koana dan palatum molle, batas posterior adalah vertebra servikal dan
batas inferior adalah permukaan atas palatum molle dan berhubungan dengan orofaring.3
Batas nasofaring:
Superior : basis kranii, diliputi oleh mukosa dan fascia
Inferior : bidang horizontal yang ditarik dari palatum durum ke posterior, bersifat
subjektif karena tergantung dari palatum durum.
Anterior : choane, oleh os vomer dibagi atas choane kanan dan kiri.
Posterior : - vertebra cervicalis I dan II
-

Fascia space = rongga yang berisi jaringan longgar

Mukosa lanjutan dari mukosa atas

Lateral : - mukosa lanjutan dari mukosa atas dan belakang


-

Muara tuba eustachii

Fossa rosenmulleri4,5

Pada dinding lateral nasofaring lebih kurang 1,5 inci dari bagian belakang konka nasal
inferior terdapat muara tuba eustachius. Pada bagian belakang atas muara tuba eustachius
terdapat penonjolan tulang yang disebut torus tubarius dan dibelakangnya terdapat suatu
lekukan dari fossa Rosenmuller dan tepat diujung atas posteriornya terletak foramen laserum.
Pada daerah fossa ini sering terjadi pertumbuhan jaringan limfe yang menyempitkan muara
tuba eustachius sehingga mengganggu ventilasi udara telinga tengah.3
Dinding lateral nasofaring merupakan bagian terpenting, dibentuk oleh lamina
faringobasilaris dari fasia faringeal dan otot konstriktor faring superior. Fasia ini mengandung
jaringan fibrokartilago yang menutupi foramen ovale, foramen jugularis, kanalis karotis dan
kanalis hipoglossus. Struktur ini penting diketahui karena merupakan tempat penyebaran
tumor ke intrakranial.

4|Page

Gambar 1 Anatomi nasofaring

Gambar 2 Fossa of Rosenmuller

5|Page

Nasofaring berbentuk kerucut dan selalu terbuka pada waktu respirasi karena
dindingnya dari tulang, kecuali dasarnya yang dibentuk oleh palatum molle. Nasofaring
akan tertutup bila paltum molle melekat ke dinding posterior pada waktu menelan, muntah,
mengucapkan kata-kata tertentu.
Struktur penting yang ada di Nasopharing
1. Ostium Faringeum tuba auditiva muara dari tuba auditiva
2. Torus tubarius, penonjolan di atas ostium faringeum tuba auditiva yang disebabkan
karena cartilago tuba auditiva
3. Torus levatorius, penonjolan di bawah ostium faringeum tuba auditiva yang
disebabkan karena musculus levator veli palatini.
4. Plica salpingopalatina, lipatan di depan torus tubarius
5. Plica salpingopharingea, lipatan di belakang torus tubarius, merupakan penonjolan
dari musculus salphingopharingeus yang berfungsi untuk membuka ostium faringeum
tuba auditiva terutama ketika menguap atau menelan.
6. Recessus Pharingeus disebut juga fossa rossenmuller. Merupakan tempat predileksi
Karsinoma Nasofaring.
7. Tonsila pharingea, terletak di bagian superior nasopharynx. Disebut adenoid jika ada
pembesaran. Sedangkan jika ada inflammasi disebut adenoiditis.
8. Tonsila tuba, terdapat pada recessus pharingeus.
9. Isthmus pharingeus merupakan suatu penyempitan di antara nasopharing dan
oropharing karena musculus sphincterpalatopharing
10. Musculus constrictor pharingeus dengan origo yang bernama raffae pharingei

6|Page

Gambar 3 Nasofaring

Fungsi nasofaring :
Sebagai jalan udara pada respirasi
Jalan udara ke tuba eustachii
Resonator
Sebagai drainage sinus paranasal kavum timpani dan hidung
Histologi
Mukosa nasofaring dilapisi oleh epitel bersilia repiratory type. Setelah 10 tahun
kehidupan, epitel secara lambat laun bertransformasi menjadi epitel nonkeratinizing
squamous, kecuali pada beberapa area (transition zone). Mukosa mengalami invaginasi
membentuk kripta. Stroma kaya akan jaringan limfoid dan terkadang dijumpai jaringan
limfoid yang reaktif. Epitel permukaan dan kripta sering diinfiltrasi dengan sel radang
limfosit dan terkadang merusak epitel membentuk reticulated pattern. Kelenjar seromucinous
dapat juga dijumpai, tetapi tidak sebanyak yang terdapat pada rongga hidung.6

7|Page

Gambar 4 Sel epitel transisional, pelapis nasofaring (Dikutip dari : Respiratory system pre lab [cited
2010 Jan 5]. Available from: http://anatomy.iupui.edu/courses/histo_D502)

Etiologi
Karsinoma nasofaring umumnya disebabkan oleh multifaktor. Sampai sekarang
penyebab pastinya belum jelas. Faktor yang berperan untuk terjadinya karsinoma nasofaring
ini adalah faktor makanan seperti mengkonsumsi ikan asin, sedikit memakan sayur dan buah
segar. Faktor lain adalah non makanan seperti debu, asap rokok, uap zat kimia, asap kayu
bakar dan asap dupa (kemenyan). 2-19
1

Faktor genetik juga dapat mempengaruhi terjadinya karsinoma nasofaring . Selain itu
terbukti juga infeksi virus Epstein Barr juga dihubungkan dengan terjadinya karsinoma
nasofaring terutama pada tipe karsinoma nasofaring non-keratinisasi. Hal ini dibuktikan
dengan adanya kenaikan titer antigen EBV dalam tubuh penderita Ca Nasofaring non
keratinisasi dan kenaikan titer ini pun berbanding lurus dengan stadium Ca nasofaring; di
mana semakin berat stadium Ca Nasofaring, ditemukan titer antibodi EBV yang semakin
tinggi. Hal ini dapat dibuktikan dengan dijumpai adanya keberadaan protein-protein laten
pada penderita karsinoma nasofaring. Pada penderita ini sel yang terinfeksi oleh EBV akan
menghasilkan protein tertentu yang berfungsi untuk proses proliferasi dan mempertahankan
kelangsungan virus di dalam sel host. Protein laten ini dapat dipakai sebagai petanda
8|Page

(marker) dalam mendiagnosa karsinoma nasofaring, yaitu EBNA-1 dan LMP-1, LMP- 2A
dan LMP-2B. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya pada 50% serum penderita karsinoma
nasofaring LMP-1 sedangkan EBNA-1 dijumpai di dalam serum semua pasien karsinoma
2

nasofaring . Selain itu dibuktikan oleh hasil penelitian Khrisna dkk (2004) terhadap suku
Indian asli bahwa EBV DNA di dalam serum penderita karsinoma nasofaring dapat dipakai
sebagai biomarker pada karsinoma nasofaring primer. 12,13,15
Hubungan antara karsinoma nasofaring dan infeksi virus Epstein-Barr juga
dinyatakan oleh berbagai peneliti dari bagian yang berbeda di dunia ini.

Pada pasien

karsinoma nasofaring dijumpai peninggian titer antibodi anti EBV (EBNA-1) di dalam serum
plasma.1-19 EBNA-1 adalah protein nuklear yang berperan dalam mempertahankan genom
virus. Huang dalam penelitiannya, mengemukakan keberadaan EBV DNA dan EBNA di
dalam sel penderita karsinoma nasofaring. 12,13,15
Karsinoma nasofaring sangat sulit didiagnosa, hal ini mungkin disebabkan karena
letaknya sangat tersembunyi dan juga pada keadaan dini pasien tidak datang untuk berobat.
Biasanya pasien baru datang berobat, bila gejala telah mengganggu dan tumor tersebut telah
mengadakan infiltrasi serta metastase pada pembuluh limfe sevikal. Hal ini merupakan
keadaan lanjut dan biasanya prognosis yang jelek. Pemeriksaan terhadap karsinoma
nasofaring dilakukan dengan cara anamnesa penderita dan disertai dengan pemeriksaan
nasofaringoskopi, radiologi, histopatologi, immunohistokimia, dan juga pemeriksaan serologi
dengan menggunakan tehnik Enzyme Linked Immunosorbent Assay atau disingkat dengan
6

ELISA . Karena beberapa penelitian telah membuktikan bahwa di dalam serum penderita
karsinoma nasofaring dijumpai EBNA-1 maka sebaiknya pasien yang mempunyai gejala
yang mengarah ke karsinoma nasofaring dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan serologi
yaitu antibodi anti EBV (EBNA-1).13,14,15 Tentang pengaruh EBV yang sebagian besar hanya
ditemukan pada Ca Nasofaring tipe non-keratinisasi belum dapat dijelaskan hingga saat ini.
Virus Epstein-Barr
Group

Grup I (dsDNA)

Family

Herpesviridae

Subfamily

Gammaherpesvirinae

Genus

Lymphocryptovirus

Species

Human Herpes Virus 4 (HHV-4)

9|Page

Virus Epstein-Barr bereplikasi dalam sel-sel epitel dan menjadi laten dalam limfosit B.
Infeksi virus epstein-barr terjadi pada dua tempat utama yaitu sel epitel kelenjar saliva dan sel
limfosit. EBV memulai infeksi pada limfosit B dengan cara berikatan dengan reseptor virus,
yaitu komponen komplemen C3d (CD21 atau CR2). Glikoprotein (gp350/220) pada kapsul
EBV berikatan dengan protein CD21 dipermukaan limfosit B3. Aktivitas ini merupakan
rangkaian yang berantai

dimulai dari masuknya EBV

ke dalam DNA limfosit B dan

selanjutnya menyebabkan limfosit B menjadi immortal. Sementara itu, sampai saat ini
mekanisme masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring belum dapat dijelaskan dengan
pasti. Namun demikian, ada dua reseptor yang diduga berperan dalam masuknya EBV ke
dalam sel epitel nasofaring yaitu CR2 dan PIGR (Polimeric Immunogloblin Receptor). Sel
yang terinfeksi oleh virus epstein-barr dapat menimbulkan beberapa kemungkinan yaitu : sel
menjadi mati bila terinfeksi dengan virus epstein-barr dan virus mengadakan replikasi, atau
virus epstein- barr yang menginfeksi sel dapat mengakibatkan kematian virus sehingga sel
kembali menjadi normal atau dapat terjadi transformasi sel yaitu interaksi antara sel dan virus
sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan sifat sel sehingga terjadi transformsi sel
menjadi ganas sehingga terbentuk sel kanker.16
Gen EBV yang diekspresikan pada penderita KNF adalah gen laten, yaitu EBERs,
EBNA1, LMP1, LMP2A dan LMP2B. Protein EBNA1 berperan dalam mempertahankan
virus pada infeksi laten. Protein transmembran LMP2A dan LMP2B menghambat sinyal
tyrosine kinase yang dipercaya dapat menghambat siklus litik virus. Diantara gen-gen
tersebut, gen yang paling berperan dalam transformasi sel adalah gen LMP1. Struktur protein
LMP1 terdiri atas 368 asam amino yang terbagi menjadi 20 asam amino pada ujung N, 6
segmen protein transmembran (166 asam amino) dan 200 asam amino pada ujung karboksi
(C). Protein transmembran LMP1 menjadi perantara untuk sinyal TNF (tumor necrosis
factor) dan meningkatkan regulasi sitokin IL-10 yang memproliferasi sel B dan menghambat
respon imun lokal. 16

10 | P a g e

Gambar 5 Infeksi EBV

Genetik
Walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetik, tetapi kerentanan
terhadap karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relative menonjol dan
memiliki agregasi familial. Analisis korelasi menunjukkan gen HLA (human leukocyte
antigen) dan gen pengode enzim sitokrom p450 2E1 (CYP2E1) kemungkinan adalah gen
kerentanan terhadap karsinoma nasofaring. Sitokrom p450 2E1 bertanggung jawab atas
aktivasi metabolik yang terkait nitrosamine dan karsinogen.
Analisa genetik pada populasi endemik berhubungan dengan HLA-A2, HLAB17 dan
HLA-Bw26. Dimana orang dengan yang memiliki gen ini memiliki resiko dua kali lebih
besar menderita karsinoma nasofaring. Studi pada orang Cina dengan keluarga menderita
karsinoma nasofaring dijumpai adanya kelemahan lokus pada regio HLA. Studi dari
kelemahan HLA pada orang-orang Cina menunjukkan bahwa orang-orang dengan HLA
A*0207 atau B*4601 tetapi tidak pada A*0201 memiliki resiko yang meningkat untuk
terkena karsinoma nasofaring.13,14,15,17
Faktor lingkungan
Sejumlah besar studi kasus yang dilakukan pada populasi yang berada di berbagai
daerah di asia dan america utara, telah dikonfirmasikan bahwa ikan asin dan makanan
lain yang awetkan mengandung sejumlah besar nitrosodimethyamine (NDMA),
11 | P a g e

nitrospurrolidene (NPYR) dan nitrospiperidine (NPIP ) yang mungkin merupakan faktor


karsinogenik karsinoma nasofaring. Selain itu pengkonsumsi alkohol dan perokok juga
merupakan salah satu faktor yan diperkirakan menginisiasi terjadinya karsinoma
nasofaring. Di mana alkohol dan asap rokok ditemukan mengadung formaldehyde yang
diteliti merupakan faktor risiko karsinoma nasofaring dengan cara mengaktifkan kembali
infeksi dari EBV.13,14,15,17

Patofisiologi
Karsinoma Nasofaring merupakan tumor ganas yang berasal dari sel epitel yang
menutupi permukaan nasofaring. Tumbuhnya tumor akan dimulai pada salah satu dinding
nasofaring yang kemudian akan menginfiltrasi kelenjar dan jaringan sekitarnya. Lokasi yang
paling sering menjadi awal terbentuknya KNF adalah pada Fossa Rossenmuller. Penyebaran
ke jaringan dan kelenjar limfa sekitarnya kemudian terjadi perlahan, seperti layaknya
metastasis lesi karsinoma lainnya.
Penyebaran KNF dapat berupa :
1. Penyebaran ke atas
Tumor meluas ke intrakranial menjalar sepanjang fossa medialis, disebut penjalaran
Petrosfenoid, biasanya melalui foramen laserum, kemudian ke sinus kavernosus dan
Fossa kranii media dan fossa kranii anterior dan mengenai saraf-saraf kranialis anterior (
n.I n VI). Kumpulan gejala yang terjadi akibat rusaknya saraf kranialis anterior akibat
metastasis tumor ini disebut Sindrom Petrosfenoid. Yang paling sering terjadi adalah
diplopia dan neuralgia trigeminal.
2. Penyebaran ke belakang
Tumor meluas ke belakang secara ekstrakranial menembus fascia pharyngobasilaris
yaitu sepanjang fossa posterior (termasuk di dalamnya foramen spinosum, foramen ovale dll)
di mana di dalamnya terdapat nervus kranialais IX XII; disebut penjalaran retroparotidian.
Yang terkena adalah grup posterior dari saraf otak yaitu n VII - n XII beserta nervus
simpatikus servikalis. Kumpulan gejala akibat kerusakan pada n IX n XII disebut sindroma
retroparotidean atau disebut juga sindrom Jugular Jackson. Nervus VII dan VIII jarang
mengalami gangguan akibat tumor karena letaknya yang tonggi dalam sistem anatomi tubuh,
Gejala yang muncul umumnya antara lain:
12 | P a g e

a. Trismus
b. Horner Syndrome ( akibat kelumpuhan nervus simpatikus servikalis)
c. Afonia akibat paralisis pita suara
d. Gangguan menelan

3. Penyebaran ke kelenjar getah bening


Penyebaran ke kelenjar getah bening merupakan salah satu penyebab utama sulitnya
menghentikan proses metastasis suatu karsinoma. Pada KNF, penyebaran ke kelenjar getah
bening sangat mudah terjadi akibat banyaknya stroma kelanjar getah bening pada lapisan sub
mukosa nasofaring. Biasanya penyebaran ke kelenjar getah bening diawali pada nodus
limfatik yang terletak di lateral retropharyngeal yaitu Nodus Rouvier.
Di dalam kelenjar ini sel tersebut tumbuh dan berkembang biak sehingga kelenjar
menjadi besar dan tampak sebagai benjolan pada leher bagian samping. Benjolan ini
dirasakan tanpa nyeri karenanya sering diabaikan oleh pasien. Selanjutnya sel-sel kanker
dapat berkembang terus, menembus kelenjar dan mengenai otot dibawahnya. Kelenjar
menjadi lekat pada otot dan sulit digerakkan. Keadaan ini merupakan gejala yang lebih lanjut
lagi. Limfadenopati servikalis merupakan gejala utama yang mendorong pasien datang ke
dokter.
Dari hasil penelitian didapati :
- gejala-gejala hidung sebanyak 77,5%
- gejala-gejala telinga sebanyak 73%
- sakit kepala sebanyak 61%
- pembesaran kelenjar getah bening sebanyak 60%
Dari hasil penelitian lain berdasarkan pemeriksaan fisik didapati :
-Gejala yang paling sering didapati adalah pembesaran kelenjar getah bening tanpa nyeri
sebanyak 80%.
-Kelumpuhan saraf cranial ditemukan pada 25% penderita
Penelitian mengenai metastase jauh, didapati :
- paru-paru 20%
13 | P a g e

- tulang 20%
- hati 10%
- ginja1 0,4%
- otak 0,4%
Gejala akibat metastase jauh:
Sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama getah bening atau darah, mengenai organ
tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring. Yang sering ialah tulang, hati dari paru. Hal ini
merupakan stadium akhir dan prognosis sangat buruk.
Dalam penelitian lain ditemukan bahwa karsinoma nasofaring dapat mengadakan
metastase jauh, yang terbanyak ke paru-paru dan tulang, masing-masing sebanyak 20%,
sedangkan ke hati 10%, otak 4%, ginjal 0,4%, tiroid 0,4%. Kira-kira 25% penderita datang
berobat ke dokter sudah-mempunyai pertumbuhan ke intrakranial atau pada foto rontgen
terlihat destruksi dasar tengkorak dan hampir 70% metastase kelenjar leher.

Tumor Confined
in Nasopharynx

Distant Metastis

Regional Lymph
Node Metastasis

Spread of tumor
to nasopharyngeal

Hemmorhage in
Nasopharynx

Infection in
Nasopharynx

surrounding parts

Neurological
Symptoms

Other
Symptoms
s

Neurological
Symptoms

Other
Symptoms
s

Other
Symptoms
s
Other
Symptoms
s

14 | P a g e

Gambar 5. Patofisiologi KNF

15 | P a g e

DAFTAR PUSTAKA

1. Dorland Medical Dictionary


2. Adham M, Kurniawan A, Muhtadi A, et.al. Nasopharyngeal Carcinoma in Indonesia :
Epidemiology, Incidence, Sign, and Symptoms at Presentation. Taken from :
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3777476/
3. Kartikawati,

Henny.

Penatalaksanaan

karsinoma

nasofaring

menuju

terapi

kombinasi/kemoradioterapi.
4. Averdi Roezin, Aninda Syafril. 2001. Karsinoma Nasofaring. Dalam: Efiaty A.
Soepardi (Ed.). Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok. Edisi kelima.
Jakarta: FKUI. Hal.146-50.
5. Ballenger J. Jacob.. 1994. Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher.
ed.13. Jilid 1. Jakarta: Binarupa Aksara. Hal. 371-396
6. Kurniawan A. N.. 1994. Nasopharynx dan Pharynx. Kumpulan kuliah Patologi.
Jakarta: FKUI. Hal.151-152
7. Lu Jiade J, Cooper Jay S, M Lee Anne WM. The epidemiologi of Nasopharigeal
Carcinoma In : Nasopharyngeal Cancer. Berlin : Springer,2010. p. 1-9.
8. Susworo, Makes D. Karsinoma nasofaring aspek radiodiagnostik dan radioterapi.
Jakarta: FK UI, 1987.h. 69-82.
9. Susworo, R. Kanker nasofaring : epidemiologi dan pengobatan mutakhir. Tinjauan
pustaka artikel. Dalam: Cermin Dunia Kedokteran. No. 144, 2004.h. 16-18.
10. Ahmad, A.. 2002. Diagnosis dan Tindakan Operatif pada Penatalaksanaan
Karsinoma Nasofaring dan Pengobatan Suportif. Jakarta: FKUI. Hal. 1-13.
11. Arif Mansjoer, et al.. 1999. Kapita Selekta Kedokteran. Ed.III. Jilid 1. Jakarta: Media
Aesculapius FKUI. Hal. 371-396
12. Averdi Roezin, Aninda Syafril. 2001. Karsinoma Nasofaring. Dalam: Efiaty A.
Soepardi (Ed.). Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok. Edisi kelima.
Jakarta: FKUI. Hal.146-50.
13. Ballenger J. Jacob.. 1994. Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher.
ed.13. Jilid 1. Jakarta: Binarupa Aksara. Hal. 371-396

16 | P a g e

14. Cottrill, C.P., Nutting, C.M.. 2003. Tumours of The Nasopharynx. Dalam: Evans
P.H.R., Montgomery P.Q., Gullane P.J. (Ed.). Principles and Practice of Head and
Neck Oncology. United Kingdom: Martin-Dunitz. Hal. 473-81.
15. Kurniawan A. N.. 1994. Nasopharynx dan Pharynx. Kumpulan kuliah Patologi.
Jakarta: FKUI. Hal.151-152
16. McDermott, A.L., Dutt, S.N., Watkinson, J.C.. 2001. The Aetiology of
Nasopharyngeal Carcinoma. Clinical Otolaryngology. 26th Edition. Hal. 89-92.
17. Mansjoer Arif, Dkk, KAPITA SELEKTA KEDOKTERAN, 110-111, Media
Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001, Jakarta
18. Tian Y, Zeng L, Siu L, et.al. Prognostic Model for Survival of local recurrent
nasopharyngeal carcinoma with intensity modulated radiotherapy. British Journal of
Cancer. Published 12 December 2013. Taken from :
http://www.nature.com/bjc/journal/v110/n2/full/bjc2013715a.html
19. Anonymous. Nasopharyngeal Cancer. American Cancer Society. Taken from :
http://www.cancer.org/acs/groups/cid/documents/webcontent/003124-pdf.pdf
20. Tabuchi K, Nakayama M, Nishimura B, et.al. Review Artivle : Early Detection of
Nasopharyngeal Carcinoma. International Journal of Otolaryngology. Published April
2011. Taken from : http://www.hindawi.com/journals/ijoto/2011/638058/
21. Adham M, Kurniawan A, Middeldorp J. Nasopharyngeal Carcinoma in Indonesia :
Epidemiology, Incidence, Signs, and Symptoms at presentation. Chinese Journal of
Cancer. April 2012. Taken from :
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3777476/?report=reader
22. Panduan Nasional Penanganan Kanker. Kanker Nasofaring. Kementriak Kesehatan
Republik Indonesia. 2015. Taken from :
http://kanker.kemkes.go.id/guidelines/PNPKKNF.pdf

17 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai