Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Shalat adalah pintu yang membuka jalur komunikasi seorang hamba
dengan Tuhannya, dengan shalat pula seorang hamba dapat berdialog secara
langsung dengan Yang Maha Pengasih, tanpa perantara apa pun, dan siapa
pun. Shalat dalam agama Islam menempati kedudukan yang tidak dapat
dibandingi oleh ibadah yang lain, dan merupakan tiang agama serta tidak
dapat tegak kecuali dengan itu. Apabila seseorang shalat dengan tidak benar,
ibadah lain pun menjadi tanpa makna, dan dengan shalat yang benar
sebagainama yang diajarkan Rasulullah, akan lahir makna takwa yang sejati
dalam diri sang hamba yang wujudnya adalah tercegahnya seorang penegak
shalat dari perbuatan keji dan mungkar, sebagaimana firman Allah SWT.:

....

.
....

...Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji


dan mungkar...1
Shalat diwajibkan setiap malam dan siangnya sebayak lima kali. Inilah
yang dinamakan shalat fardu atau shalat wajib. Adapun shalat fardu secara
berjamaah, lebih utama dengan dua puluh tujuh derajat dibandingkan dengan
shalat sendirian. Ketentuan ini sesuai dengan sabda Rasul SAW.:











:





1.

QS. Al-Ankabut (29):45.

Artinya:
Dari Abdullah bin Umar ra. Rasulallah saw. bersabda: shalat berjamaah lebih
afdal (utama) dari pada shalat sendirian 27 derajat.

(HR. Bukhari dan

Muslim)
Pondok pesantren merupakan wadah atau tempat untuk menanamkan
kedisiplinan santri dalam shalat berjamaah. Santri dididik secara langsung
dalam hal kedisiplinan karena shalat berjamaah di dalam pondok pesantren
adalah hal yang diwajibkan bagi santri. Adapun shalat yang diwajibkan
berjamaah di Pondok Pesantren Riyadlatul Ulum ada tiga, yakni shalat subuh,
shalat maghrib, dan shalat isya. Sedangkan shalat duhur dan ashar tidak
diwajibkan berjamaah karena para santri masih di sekolah, dan sekolah dan
pesantren tidak dalam satu lokasi. Disiplin dalam shalat berjamaah yang
diwajibkan bagi santri diharapkan mampu mencetak generasi yang
mempunyai jiwa disiplin dalam melaksanakan tugasnya sebagai hamba Allah.
Pondok pesantren sebagai tempat para santri dalam melatih kedisiplinan
shalat berjamaah, sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya absen
jamaah, teman bermain, lingkungan dan kecerdasan emosional. Adapun
faktor kecerdasan emosional yang dimiliki santri di pondok pesantren yang
berkaitan dengan kedisiplinan shalat berjamaah diantaranya adalah mampu

2.

Al-Hafidz Bin Hajar, Bulughul Maram: Min Adillatil Ahkam, Diterjemahkan Oleh
Salim Bahreisy, Abdullah Bahreisy, Dari Judul Asli Bulughul Maram: Min Adillatil Ahkam,
(Surabaya: Balai Buku, tt), h. 189.

mengendalikan emosinya sendiri sesuai situasi dan kondisi dan mampu


menggunakan emosinya untuk meningkatkan motivasinya sendiri.
Mampu mengendalikan emosinya sesuai situasi dan kondisi sangat
dianjurkan agar tidak berkembang kearah negatif. Misalnya seorang santri
emosinya sedang sedih, maka ia tidak boleh larut dalam kesedihannya.
Apabila tiba waktu untuk shalat berjamaah, ia harus dapat mengendalikan
emosinya (sedih) untuk segera shalat berjamaah. Sedangkan mampu
menggunakan emosinya untuk meningkatkan motivasinya sendiri merupakan
kemampuan internal pada seseorang berupa kekuatan menjadi satu energi
yang mendorong seseorang untuk melakukan aktiftas tertentu sehingga
mampu mencapai keberhasilan yang diharapkan.
Kecerdasan emosional adalah kemampuan seperti kemampuan untuk
memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi; mengendalikan
dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan; mengatur suasana
hati, dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan
berpikir; berempati dan berdoa. 3
Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa kecerdasan
emosional dapat dibentuk oleh diri seseorang itu sendiri, seperti memotivasi
diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan dorongan hati
dan tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati, dan menjaga
agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati dan
berdoa.

3.

Daniel Goleman, Kecerdasan Emosional, diterjemahkan oleh T. Hermaya, dari judul


asli Emotional Intelligence, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2007), h. 45.

Menurut Descartes yang dikutip oleh Sarlito, sejak lahir manusia


mempunyai enam emosi dasar yaitu cinta, kegembiraan, benci, sedih, dan
kagum.4
Menurut Goleman yang dikutip oleh Sarlito, ada hal penting sehingga
kecerdasan emosional bisa dianggap sebagai terobosan, yaitu:
1. Emosi itu bukan bakat, melainkan bisa dibuat, dilatih, dikembangkan,
dipertahankan dan yang kurang baik dikurangi atau dibuang sama
sekali.
2. EQ memegang peran lebih penting ketimbang IQ. Sudah terbukti
bahwa banyak orang dengan IQ tinggi, yang dimasa lalu oleh dunia
psikologi dianggap sebagai jaminan keberhasilan seseorang, justru
mengalami kegagalan. Mereka kalah dari orang-orang dengan IQ ratarata saja tapi memiliki EQ yang tinggi.5
Kecerdasan emosional diakui sebagai suatu kemampuan yang
pengaruhnya setara dengan Intelegence Quotient (IQ) terhadap individu,
bahkan lebih penting kecerdasan emosional. Jadi, setiap orang tidak hanya
dituntut untuk mengendalikan kecerdasan intelektual saja, namun sebenarnya
dia juga harus mempergunakan kecerdasan emosional dalam menghadapi
problem kehidupan yang dijalani. Karena menurut goleman yang dikutip oleh
Sarlito, sumbangan IQ dalam menentukan keberhasilan seseorang hanya
sekitar 20-30% saja, selebihnya ditentukan oleh EQ yang tinggi. 6 Salah
satunya dalam masalah ibadah, terutama shalat.
Kecerdasan emosional dalam lingkungan pesantren merupakan hal
penting untuk mencapai kedisiplinan shalat berjamaah. Apabila seorang
santri telah mempunyai kesadaran diri sendiri untuk shalat berjamaah, maka
4.
Sarlito W. Sarwono, Pengantar Psikologi Umum, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2010), h.126.
5.
Sarlito W. Sarwono, Pengantar Psikologi., h. 136.
6.
Ibid.

seorang santri akan selalu terdorong untuk selalu shalat berjamaah, sehingga
ia disiplin melakukan shalat berjamaah. Tanpa adanya motivasi diri sendiri,
santri tidak akan bersemangat untuk melakukan shalat berjamaah.
Adapun orang yang dikatakan mempunyai EQ yang tinggi adalah jika
memenuhi lima kriteria berikut, yaitu:
a. Mampu mengenali emosinya sendiri,
b. Mampu mengendalikan emosinya sesuai dengan situasi dan kondisi,
c. Mampu menggunakan emosinya untuk meningkatkan motivasinya
sendiri (bukan malah membuat diri putus asa atau bersikap megatif
pada orang lain),
d. Mampu mengenali emosi orang lain, dan
e. Mampu berinteraksi positif dengan orang lain.7
Adapun alasan penulis menetapkan perempuan (santriwati) sebagai objek
penelitian yaitu kaum wanita yang cerdas secara emosional cenderung
bersikap tegas dan mengungkapkan perasaan mereka secara langsung dan
memandang dirinya sendiri secara positif.8 Oleh karena itu, penulis ingin
mengetahui kecerdasan emosional santriwati jika dikaitkan dengan disiplin
shalat berjamaah, karena dengan shalat seseorang dapat membangkitkan
kecerdasan emosionalnya.
Berdasarkan pelaksanaan pra survei pada tanggal 17 Juli 2014, peneliti
mendapatkan hasil dari angket dan absensi (terlampir) yang selanjutnya
digunakan untuk pedoman survei dan hasilnya dimasukkan dalam sebuah
tabel, yaitu:
Tabel 1
Hasil Pra Survei Hubungan antara Kecerdasan Emosional dengan Disiplin
Shalat Jamaah
NILAI
NAMA
NO.
(disingkat) Kecerdasan emosional Disiplin shalat berjamaah
1
1.
MS
Rendah
16
Sedang
7.
8.

Sarlito Wawan Sarwono, Pengantar Psikologi., h. 136-137.


Daniel Goleman, Kecerdasan Emosional,. h. 61.

2.
YF
Tinggi
19
Sedang
1
3.
WO
Sedang
17
Sedang
3
4.
ES
Tinggi
22
Sedang
1
5.
FOR
Sedang
17
Rendah
7
6.
NSE
Rendah
16
Sedang
1
7.
IP
Sedang
18
Rendah
4
8.
SM
Sedang
17
Rendah
4
9.
LH
Rendah
14
Rendah
4
10.
ARN
Sedang
17
Rendah
4
Sumber : Hasil pra survei tentang kecerdasan emosional dengan disiplin
shalat jamaah santriwati Pondok Pesantren Riyadlatul Ulum 39B
Batanghari, Kab. Lampung Timur.
Keterangan kecerdasan emosional:
Tinggi

: 19-27

Sedang

: 10-18

Rendah

: 1-9

Keterangan disiplin shalat jamaah:


Tinggi

: Apabila santriwati selalu shalat jamaah di mushala.

Sedang

: Apabila santriwati absen kurang dari atau sama dengan tiga kali
dalam satu minggu.

Rendah

: Apabila santriwati absen lebih dari tiga kali dalam satu minggu.
Melihat hasil pra survei di atas, maka dapat ditegaskan bahwa dari

sepuluh sampel, tingkat kecerdassan emosional santriwati 20% tinggi, 80%


sedang dan 0% rendah, sedangkan untuk disiplin shalat berjamaah 0% tinggi,
50% sedang dan 50% rendah. Pada dasarnya apabila EQ tinggi, diharapkan
disiplin shalat jamaahnya juga tinggi, namun pada kenyataannya EQ dan
disiplin shalat jamaah tidak seimbang. Asumsi ini sesuai dengan pendapat
Ary Ginanjar: kecerdasan emosi berasal dari suara hati. Shalat, berisi tentang

pokok-pokok pikiran dan bacaan suara-suara hati itu sendiri. 9 Oleh karena
itu, ada kesenjangan antara EQ dengan disiplin shalat jamaah yang perlu
diteliti. Berdasarkan hasil survei di atas, penulis mengadakan penelitian yang
berjudul HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN
DISIPLIN SHOLAT JAMAAH SANTRIWATI DI PONDOK PESANTREN
RIYADLATUL ULUM 39B BATANGHARI, KAB. LAMPUNG TIMUR TA.
2014/2015.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dan hasil pra survei yang penulis
kemukakan di atas, maka masalah yang muncul dalam penelitian ini dapat
diidentifikasi sebagai berikut:
Sabagian santriwati mempunyai kecerdasan emosional yang belum sesuai
dengan disiplin shalat jamaah.
C. Batasan Masalah
Penulis membatasi ruang lingkup permasalahan yang ada dalam penelitian
ini untuk menghindari kemungkinan meluasnya masalah yang akan diteliti,
antara lain sebagai berikut:
1. Kecerdasan emosional yang dimaksud adalah mampu mengendalikan
emosinya sesuai situasi dan kondisi dam mampu menggunakan emosinya
untuk meningkatkan motivasinya sendiri.
2. Disiplin shalat jamaah yang maksud adalah kehadiran santriwati saat
shalat Maghrib, shalat Isya dan shalat Subuh di mushala.
9.

Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosional Dan


Spiritual ESQ: Emotional Spiritual Quotient Berdasarkan 6 Rukun Iman Dan 5 Rukun Islam,
(Jakarta: Arga Wijaya Persda, 2003), h. 200.

3. Santriwati yang diteliti adalah yang mengalami masa haid teratur.

D. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada identifiaskasi dan pembatasan masalah di atas, penulis
merumuskan masalah dalam penelitian ini, yaitu: Adakah hubungan antara
kecerdasan emosional dengan disiplin shalat berjamaah santriwati Pondok
Pesantren Riyadlatul Ulum tahun ajaran 2014/2015?
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian adalah sebagai berikut:
a. Secara teoritis, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kecerdasan
emosional yang dikaitkan dengan disiplin shalat berjamaah.
b. Secara praktis, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana
kondisi kecerdasan emosional santri dalam shalat berjamaah.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian adalah sebagai berikut:
a. Secara teoritis, hasil dari penelitian ini dapat digunakan untuk
memberikan sumbangan pemikiran dan memperkaya informasi bagi
khasanah keilmuan dalam hal kecerdasan emosional.
b. Secara praktis, hasil dari penelitian ini juga dapat bermanfaat
khususnya

bagi

Pondok

Pesantren

Riyadlatul

Ulum

dalam

meningkatkan kedisiplinan shalat berjamaah.


F. Penelitian Relevan

Penelitian relevan dalam skripsi untuk menjelaskan posisi, perbedaan atau


memperkuat hasil penelitian tersebut dengan penelitian yang telah ada. Penulis
mengungkapkan dengan tegas bahwa masalah yang akan dibahas dalam
penelitian ini belum pernah diteliti sebelumnya. Untuk itu tinjauan kritis
terhadap hasil kajian terdahulu perlu dilakukan sehingga dapat ditentukan
dimana posisi penelitian yang akan dilakukan berada.
Penelitian yang berjudul hubungan antara kecerdasan emosional dengan
disiplin shalat jamaah santriwati di Pondok Pesantren Riyadlatul Ulum 39B
Batanghari, Kab. Lampung Timur ini setelah dilakukan penelusuran pustaka
sebatas pengetahuan penulis, menyatakan penelitian ini belum pernah
dilakukan sebelumnya, walaupun terhadap beberapa penelitian yang relevan
namun tetap ada perbedaan dalam fokus penelitiannya. Berikut ini penelitian
yang relevan:
1. Nur Aini Rohmah (STAIN), dengan skripsinya yang berjudul
kecerdasan emosional dalam konsep pendidikan Islam (studi kasus di
SMK Muhammadiyah 2 Metro), menyimpulan kecerdasan emosional
merupakan bagian dari pendidikan Islam yang dalam pembinaannya
harus sejalan dengan pelaksanaan pendidikan Islam. Dari data
lapangan yang diperoleh menunjukkan rendahnya kondisi kecerdasan
emosional siswa SMK Muhammadiyah 2 Metro.10
2. Agus Ahmad (STAIN), dengan skripsinya yang berjudul korelasi
antara emotional spiritual Quotient (ESQ) dengan shalat fardhu
menyimpulkan bahwa adanya korelasi yang signifikan antara ESQ,
dengan pengamalan shalat fardu siswa di sekolah, meskipun korelasi
ini tidak kuat, namun bisa menjadi bahan pertimbangan sehingga
untuk meningkatkan pengamalan shalat fardhu, salah satu hal yang
bisa dilakukan adalah membina dan mengembangkan ESQ siswa.11
3. Eko Yuliyanto (STAIN), dengan skripsinya yang berjudul pengaruh
pengamalan ibadah shalat lima waktu terhadap akhlak siswa kelas VII
10.
Nur Aini Rohmah, Kecerdasan Emosional dalam Konsep Pendidikan Islam: Studi
Kasus Di SMK Muhammadiyah 2 Metro, (Metro: STAIN, 2010), h. iii.
11.
Agus Ahmad, Korelasi antara Emotional Spiritual Quotient (ESQ) dengan Shalat
Fardhu, (Metro: STAIN, 2009), h. iii.

SMP PGRI Kab. Lampung Timur Tahun, menyimpulan pengamalan


ibadah shalat lima waktu mempunyai pengaruh yang erat terhadap
akhlak12.
4. Sunardi (STAIN), dengan skripsinya yang berjudul pengaruh
pembiasaan pengurus Pondok Pesantren terhadap pengamalan ibadah
shalat jamaah para santri di Pondok Pesantren Tumaninah Yasin,
menyimpulan tidak ada pengaruh pembiasaan pengurus Pondok
Pesantren terhadap pengamalan ibadah shalat jamaah para santri.13
Walaupun dalam penelitian-penelitian di atas, terdapat pembahasan
kecerdasan emosional dalam konsep pendidikan Islam, emotional spiritual
Quotient (ESQ) dengan shalat fardhu, pengaruh pengamalan ibadah shalat
lima waktu terhadap akhlak, dan pengaruh pembiasaan pengurus Pondok
Pesantren terhadap pengamalan ibadah shalat jamaah, namun tidak diteliti
secara spesifik mengenai kecerdasan emoional yang dikaitkan dengan disiplin
shalat jamaah. Berdasarkan penelitian relevan tersebut, penelitian ini
memfokuskan bagaimana hubungan kecerdasan emosional santriwati yang
dikaitkan dengan disiplin dalam melaksanakan shalat fardu secara berjamaah
yang tidak terdapat dalam penelitian relevan tersebut. Sehingga skripsi ini
berbeda dengan skripsi tersebut di atas.

12.
Eko Yuliyanto (STAIN), Pengaruh Pengamalan Ibadah Shalat Lima Waktu terhadap
Akhlak.(Metro: STAIN, 2010), h. iii.
13.
Sunardi, Pengaruh Pembiasaan Pengurus Pondok Pesantren terhadap Pengamalan
Ibadah Shalat Jamaah Para Santri, (Metro: STAIN, 2004), h. iii.

10

Anda mungkin juga menyukai